penelitian anes fix

21
USULAN PENELITIAN EFEKTIVITAS PEMBERIAN PARASETAMOL INTRAVENA SEBAGAI PREEMPTIVE ANALGESIA PADA OPERASI LAPAROTOMI GINEKOLOGI DI RSUP SANGLAH Disusunoleh : dr. CokordaIstriArintha Devi, S.Ked

Upload: cox-abee

Post on 01-Oct-2015

8 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

agawg

TRANSCRIPT

USULAN PENELITIAN

EFEKTIVITAS PEMBERIAN PARASETAMOL INTRAVENA SEBAGAI PREEMPTIVE ANALGESIA PADA OPERASI LAPAROTOMI GINEKOLOGI DI RSUP SANGLAH

Disusunoleh :

dr. CokordaIstriArintha Devi, S.Ked

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trias anestesia terdiri dari analgetik, hipnosis, dan relaksasi otot. Analgetik merupakan komponen terpenting dalam suatu tindakan anestesi karena analgetik yang inadekuat bisa memicu efek yang merugikan pada pasien, dan memperlambat proses penyembuhan. Nyeri dapat terjadi mulai dari sebelum, selama, dan paska pembedahan. Nyeri paska pembedahan merupakan nyeri akut yang terjadi setelah intervensi bedah. Operasi ginekologi mempunyai risiko nyeri paska pembedahan sedang sampai berat sehingga memerlukan penatalaksaan nyeri paska pembedahan yang efektif .1 Terdapat beberapa golongan obat yang sering digunakan untuk mengatasi nyeri paska pembedahan seperti golongan acetaminophen, NSAID , opioid lemah, hingga opioid kuat. Dengan pemberian satu obat saja, sulit untuk mencapai hasil maksimal dengan efek samping minimal. Penanganan nyeri paska pembedahan akan lebih efektif jika mengkombinasikan obat obat perifer dan sentral. Karena dengan teknik ini, dosis opioid dapat dikurangi, dan efek samping yang tidak diinginkan seperti depresi pernafasan, mual muntah, dan gangguan hemodinamik dapat ditekan. Penatalaksanaan nyeri paska pembedahan juga dapat dicapai dengan preemptive analgesia. Preemptive analgesia adalah metode terapi nyeri yang dimulai sebelum insisi operasi dan efektif untuk membantu mengurangi nyeri pasca pembedahan.2,3Golongan AINS ( Anti inflamasi non steroid ) selama ini sering digunakan sebagai preemptive analgesia karena mekanismenya yang aktif mencegah sensitisasi perifer dengan menghambat terbentuknya prostalgladin. Tetapi golongan AINS non selektif, contohnya ketorolak walaupun efektif untuk penanganan nyeri, tetapi memiliki efek samping berupa gangguan pembekuan darah, mukosa lambung, dan kelainan ginjal.3 Di sisi lain, kini parasetamol yang sudah dikenal sejak dahulu sebagai terapi pertama untuk mengatasi nyeri dan demam, telah tersedia dalam sediaan intravena. Parasetamol meskipun mekanisme kerjanya belum diketahui secara pasti, tetapi banyak bukti yang mengatakan bahwa parasetamol menghambat sintesis prostalgladin di sentral dan sedikit di perifer. Parasetamol dapat mencegah terjadinya sensitisasi sentral.4,5Di dunia, sudah dilakukan beberapa penelitian yang serupa yang membutikan keefektivitasan parasetamol sebagai analgetik paska pembedahan. Pada tahun 2006, Tuncay dkk meneliti tentang efektivitas parasetamol dibandingkan meperidine untuk analgesia post operasi pada seksio sesaria, disini ditemukan bahwa parasetamol lebih efektif daripada meperidine.6 Tahun 2011, hasil penelitian Basar H dkk juga menyebutkan bahwa parasetamol sama efektifnya dengan tramadol sebagai analgetik post adenotonsilektomi pada anak.7 hal ini diperkuat dengan penelitian Muhammad dkk tahun 2013, yang menyebutkan bahwa parasetamol oral 500 mg sama efektiv dengan tramadol 50 mg memiliki efektivitas yang sama pada operasi Transurethral resection of the prostate.8 Penelitian terbaru tahun 2014, penelitian Hamid dkk menyebutkan bahwa parasetamol lebih efektif daripada ketamin.9 Di Indonesia sendiri, keefektivitasan parasetamol diteliti pada tahun 2012 oleh Gunawan, dan menyebutkan parasetamol sama efektifnya dengan ketorolak untuk analgetik post seksio sesaria.10 Parasetamol juga mempunyai sifat opioid sparing effect , pada tahun 2012, Akinyemi dkk menemukan bahwa pemberian parasetamol sebelum penutupan luka jahitan operasi dapat menurukan konsumsi morfin dibandingkan dengan plasebo pada operasi ginekologi.11 Selanjutnya pada tahun 2013, penelitian Marandi dkk menyebutkan pada seksio sesaria, penggunaan parasetamol 20 menit sebelum penutupan luka operasi menurukan konsumsi morfin daripada plasebo.12 Beberapa peneliti juga melakukan penelitian tentang efek parasetamol sebagai preemptive analgesia. Tahun 2009 di Korea, Penelitian Kyung dkk menyebutkan bahwa propacetamol dan ketorolak tidak memiliki efek preemptive analgesia pada operasi adenotosilektomi.13 Hal ini bertentangan dengan penelitian terbaru tahun 2014 yang dilakukan Koteswara menyebutkan bahwa pemberian parasetamol 15 menit sebelum induksi secara signifikan menurunkan skor nyeri daripada parasetamol yang diberikan post operasi pada operasi endoskopi sinus.14 Penelitian Koteswara dilakukan pada operasi sinus yang biasanya menghasilkan nyeri ringan hingga sedang. Hal ini yang membuat peneliti ingin melakukan penelitian tentang efektivitas parasetamol sebagai preemptive analgesia pada operasi yang biasanya menghasilkan nyeri sedang hingga berat, contohnya laparotomi ginekologi.

1.2 Rumusan Masalah

Adakah perbedaan Visual Analogue Scale antara pemberian parasetamol intravena sebelum insisi dan tanpa parasetamol intravena pada operasi laparotomi ginekologi.

1.2 Hipotesa

Ada perbedaan Visual Analogue Scale antara pemberian parasetamol intravena sebelum insisi dan tanpa parasetamol intravena pada operasi laparotomi ginekologi.

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mencari alternatif obat yang dapat digunakan sebagai preemptive analgesia dalam operasi laparotomi ginekologi.

1.4 Manfaat

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai landasan dalam memilih obat golongan untuk mengatasi nyeri paska pembedahan laparotomi ginekologi dengan efek samping yang minimal. Dapat dipakai untuk dasar penelitian selanjutnya untuk membandingkan golongan parasetamol dengan golongan lainnya sebagai preemptive analgesia pada operasi yang lebih spesifik.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Nyeri2Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan. Nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai. 2.2 MEKANISME NYERI2,15,16 Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak.

Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi.2.2.1 Sensitisasi Perifer Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan growth factor. Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers) .

Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi.

2.2.2 Sensitisasi Sentral Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler neuron (transcription dependent).

Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif kedalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih sensitif terhadap rangsangan nyeri.

2.3 Perjalanan Nyeri15,17 Kata nosisepsi berasal dari kata noci dari bahasa Latin yang artinya harm atau injury dalam bahasa Inggris atau luka atau trauma. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi ataupun sensitisasi dari nosiseptor perifer, reseptor khusus yang mentransduksi stimulus noksius. Perjalanan nyeri dibagi menjadi empat proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri).

2.3.1 Tranduksi

Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer. Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin, dan zat lainnya yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.

2.3.2 Transmisi Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus spinothalamikus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Selanjutnya impuls dihantarkan dari thalamus ke korteks serebri.

2.3.3 Proses Modulasi Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat. Proses ini adalah terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut.

2.3.4 Persepsi Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada korteks serebri.

2.4 Penilaian Nyeri2Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi nyeri paska pembedahan yang efektif. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan. Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini, salah satunya adalah metode Visual Analogue Scale (VAS). Metode ini menggunakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Nilai VAS antara 05mm dianggap tidak nyeri, 5-44mm adalah nyeri yang ringan dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia, sementara >45mm dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesik penyelamat (rescue analgetic). Dalam praktik sering digunakan skala Nilai VAS 0 -