tugas anes

27
1 TUGAS UJIAN MEKANISME KERJA N 2 O DAN FENTANYL Oleh: Retno Susilowati Penguji: Dr. Agustina Br Haloho, SpAn, M. Kes DEPARTEMEN TERAPI INTENSIF DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA/ RSUP Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Upload: retno-susilowati

Post on 04-Oct-2015

30 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

n2o fentanyl

TRANSCRIPT

18

TUGAS UJIANMEKANISME KERJA N2O DAN FENTANYL

Oleh:

Retno Susilowati

Penguji:

Dr. Agustina Br Haloho, SpAn, M. KesDEPARTEMEN TERAPI INTENSIF DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA/ RSUP Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

20151. N2ON2O pertama kali ditemukan pada tahun 1973 oleh ilmuwan Inggris Joseph Priestley, yang juga adalah penemu oksigen.Pada tahun 1799, Sir Humphrey Davy memperkenalkan N2O pada pengunjung di Pneumatic Institute dan pertama kali diperkenalkan sebagai laughing gas. Selain itu, beliau mengenalkan N2O sebagai gas yang memiliki efek analgesic dan memprediksi bahwa gas ini dapat diterapkan untuk mengurangi nyeri selama prosedur operasi. N2O digunakan sebagai gas anestetik di dalam dunia kedokteran dan kedokteran gigi pada awal tahun 1840-an.

N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) diperoleh dengan memanaskan ammonium sitrat sampai 2400C.

NH4NO3 ( 2H2O + N2O

N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini dikemas dalam bentuk cair dalam silinder warna biru 9000 liter atau 1800 liter dengan tekanan 750 psi atau 50 atm. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesianya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anesthesia inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan anestesik lainnya seperti halotan dan sebagainya. Pada akhir anesthesia setelah N2O dihentikan, maka N2Oakan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadilah pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia berikan O2 100% selama 5-10 menit.Berikut penjelasan mengenai mekanisme kerja penggunaan klinis N2O sebagai analgesic, anxiolytic (menghilangkan kecemasan), dan anestesi.

ANALGESIK

N2O memberikan efek analgesic dan anxiolytic tanpa menyebabkan keadaan tidak sadar. N2O juga telah lama digunakan sebagai analgesic pada persalinan untuk mengatasi nyeri saat melahirkan. Selain itu, N2O digunakan pada pasien dengan kanker, dan berbagai tindakan medis seperti kanulasi intravena, kolonoskopi, sigmoidoskopi, prosedur tindakan oftalmologi, serta biopsi. Mekanisme efek analgesic dari N2O dijelaskan melalui efek nosiseptif pada hewan.

Hipotesis Opioid dari N2O sebagai Antinosiseptif Pada tahun 1943, efek anlgesik N2O sebanding dengan pemberian opioid 30% N2O sebanding dengan 10-15 mg morfin. Pada pertengahan tahun 170-an, pertama kali dilaporkan bahwa N2O menginduksi antinosepsi di tikus sensitif terhdap antagonis narkotika, Naloxone. Teori ini menyatakan bahwa N2O bekerja sama seperti morfin yaitu pada reseptor opioid dengan menstimulasi pelepasan neuron opioid endogen.Keterlibatan Nitric Oxide (NO) pada N2O sebagai Antinosisepsi

NO yang dilepaskan dari neuron nitrergc meregulasi pelepasan dari berbagai transmitter seperti asetilkolin, katekolamin, asam amino, serotonin, histamine, dan adenosine di otak. N2O sebagai antinosisepsi berantagonis dengan analog L-arginin yang secara kompetitif juga berfungsi untuk menginhibisi NO synthase (NOS). NO juga berperan dalam pelepasan peptide opioid. Teori ini menyatakan bahwa NO memicu pelepasan dari opiate endogen (peptide DYN) yang memiliki peran sebagai mediator dari N2O untuk menciptakan efek antinosiseptif.

Gambar 1. Mekanisme dari N2O Menginduksi AnalgesiaKeterangan gambar:

N2O merangsang pelepasan neuron dari peptide opioid endogen atau dynorphins (DYNs). Namun bagaimana N2O menginisiasi proses ini masih tidak diketahui. Terminal syaraf pre sinaptik mengambil L-arginine (L-arg) yang menkonversi enzim Nitric Oxide Synthase (NOS) menjadi L-citrulline (L-CIt) dan nitric oxide (NO). NO terlibat dalama merangsang pelepasan dari DYNs melewati celap sinaptik dan mengaktifkan reseptor opioid post sinaptik. Mekanisme ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Jalur Desendens yang Diaktifkan oleh N2OPelepasan dari peptide opioid dan beberapa rangsangan dari reseptor opioid mengaktifkan suatu jalur desendens yang memodulasi proses nosiseptif pada korda spinalis, dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2. Pengaruh N2O pada Jalur Descendens Inhibisi Nyeri Keterangan :

N2O menginduksi pelepasan peptide opioid endogen (EOP) yang mengaktivasi reseptor opioid padanukleus pontine Gama-aminobutyric acid (GABA)-ergic. Jalur ini, mengaktivasi system noradrenergic desendens di dorsal horn dari korda spinalis yang secara langsung atau secara tidak langsung (melalui interneuron GABA) menginhibisi proses nyeri pada level neuron aferen primer dan neuron kedua yang mentransmisi sinyal pada jalur asendens nyeri.ANXIOLYTIC (Menghilangkan Kecemasan)N2O digunakan sebagai sedasi pada prosedur bedah di kedokteran gigi untuk pasien yang mengalami kecemasan. Sedasi minimal dan menengaj simediasi oleh agen-agen yang menyebabkan pengalihan kesadaran, kognisi, koordinasi motoric, derajat kecemasan, dan parameter fisiologis lainnya. N2O memiliki efek mengurangi kecemasan yang tidak tergantung pada aksi analgesik dari N2O. Benzodiazepine/ Hipotesis N2O Anxiolytic Reseptor GABA

N2O dan benzodiazepine memiliki efek antagonis yang sama dengan flumazenil yang memblok situs ikatan dari benzodiazepine. Pada penelitian dengan menggunakan hewan, tikus yang diterapi dengan benzodiazepin memberikan respon anxiolytic yang sama dengan pemberian N2O. Penemuan ini mengindikasikan bahwa N2O mengurangi kecemasan dengan mekanisme yang terkait dengan benzodiazepin.Jalur Sinyal yang Memediasi Aktivitas Menyerupai AnxiolyticBenzodiazepin mengurangi kecemasan melalui fasilitasi neurotransmisi inhibisi GABA-ergic. N2O diduga juga menginduksi pelepasan neuron dari factor endogen benzodiazepine yang kemudia akan menimbulkan rangsangan terhadap resptor GABAA.

Gambar 3. Mekanisme N2O menginduksi AnxiolysisKeterangan :

N2O diduga mengaktivasi situs ikatan benzodiazepin (BZ) yang efeknya dapat diblok oleh Flumazenil. Aksi ini memfasilitasi aktivasi Gama-aminobutyric acid (GABA) dari tempatnya yang akhirnya menyebabkan influx ion Klorida (Cl-). Peningkatan konsentrasi Cl pada neuron menyebabkan aktivasi Calmodulin (CaM) yang kemudian mengaktifkan enzim NOS. NOS mengkonversi asam amino L-Arg menjadi L-Cit dan NO, yang merangsang enzim soluble guanylyl cyclase memproduksi second messenger cyclic guanosine monophosphate (cyclic GMP). Cyclic GMP ini akan merangsang cyclic GMP-dependent protein kinase (PKG) yang akan memberikan efek anxiolytic (mengurangi kecemasan).ANESTESIAN2O merupakan obat pertama yang digunakan sebagai anestesi dalam prosedur bedah. Meskipun N2O bersifat anestetik lemah, agen ini digunakan secara luas pada anestesi umum. Agen-agen anestetik seperti N2O diduga beraksi tidak spesifik pada membrane neuron yang menyebabkan perubahan fluiditas membran, dan/atau mempengaruhi ion channel. Penemuan belakangan ini mengemukakan bahwa agen anestesik umum bekerja pada satu atau lebih family ligand-gated ion channel yaitu GABAA, glisin, asetilkolin nikotinik, 5-hidroksitriptamine, dan resptor glutamate. Di antara channel ion tersebut GABAA merupakan target utama dari anestesi inhalasi dan intravena. Begitu juga dengan N2O yang mempengaruhi beberapa dari ion channel tersebut.Reseptor Glutamat tipe N-methyl D-aspartate (NMDA) belakangan ini dikemukakan sebagai target utama pada anestesi inhalasi. N2O memberikan efek anestesi yang disebabkan oleh inhibisi dari reseptor ini dan menghapus pengaruh eksitatorik pada sistem syaraf.

Sumber:Dimitris E. E dan Raymond M.Q. Advances in Understanding the Actions of Nitrous Oxide. Anesth Prog 2007; 54:918.Latief S.A, Suryadi K. A, Dachlan M.R. Anestetik Inhalasi dalam buku: Petunjuk Praktis Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta,. 2002.

2. FentanylFentanyl merupakan derivat agonis sintetik opioid fenil piperidin, yang secara struktur berhubungan dengan meperidirfinn dengan kekuatan 100x morfin. Opioid sendiri ialah zat sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin. Opioid digunakan sebagai analgetika yang sering digunakan dalam anesthesia untuk mengendalikan nyeri. Opioid digolongkan menjadi:

1. Agonis ( mengaktifkan reseptor, contoh: morfin, papaveretum, petidin (meperidin, demerol), fentanyl, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.2. Antagonis ( tidak mengaktifkan reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor. Contoh: nalokson, naltrekson

3. Agonis-antagonis ( pentasosin, nalbufin, butarfanol, buprenorfin

Dalam klinik opioid digolongkan menjadi natural (morfin, kodein, papaverin, dan derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanyl, alfentanil, sufentanil, dan remifentanil).

Mekanisme Kerja

Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas di seluruh jaringan system saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di system limbic, thalamus, hipotalamus, korpus striatum, system aktivasi reticular dan di korda spinalis yaitu di substansia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan resptor opioid dan menghasilkan efek.

Reseptor opioid diidentifikasikan menjadi 5 golongan:

Reseptor (mu): -1, analgesia supraspinal, sedasi -2, analgesia spinal, depresi napas, eforia, ketergantungan fisik, kekakuan otot.Reseptor (delta): analgesia spinal, epileptogen.Reseptor (kappa): -1 analgesia spinal, -2 tidak diketahui, -3 analgesia supraspinal

Reseptor (sigma): disforia, halusinasi, stimulasi jantung

Reseptor (epsilon): respons hormonal

Pada sistem supraspinal, tempat kerja opioid ialah di reseptor substansia grisea, yaitu di periaduktus dan periventrikuler. Sedangkan pada system spinal tempat kerjanya di substansia gelatinosa korda spinalis. Opioid agonis terutama bekerja di reseptor dan sisanya di reseptor .

Gambar 4. Reseptor Opioid pada Sistem Saraf PusatKeterangan:

Opioid mengikat reseptor opioid periaqueductal gray, rostral ventral medulla, medulla spinalis, dan jaringan perifer, mengurangi transmisi nosiseptif di CNS, bertindak utamanya di jalur nosiseptif daripada di korteks untuk mengubah arousal dan sebagiannya untuk mengubah kognisi. Fentanyl, menurunkan kondisi bangun dengan mengurangi asetilkolin di medial pontine reticular formation, sedangkan morfin menurunkan kondisi bangun dengan menghambat neuron di nukleus tegmental dorsal lateralis, dan medial pontine reticular formation, dan basal otak depan.Fentanyl lebih larut dalam lemak dibanding petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hamper sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya. Dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksidan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.

Efek depresi napasnya lebih lama dibanding efek analgesinya.Dosis 1-3 g/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anesthesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 g/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia dan pemeliharaan anesthesia dengan kombinasi benzodiazepine dan anestetik inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Efek tak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, renin, aldosterone, dan kortisolFarmakodinamik

Fentanil adalah analgesik narkotik yang poten, bisa digunakan sebagai tambahan untuk general anastesi maupun sebagai awalan anastetik. Fentanil menyediakan stabilitas jantung dan stress yang berhubungan dengan hormonal, yang berubah pada dosis tinggi. Dosis 100 g (w.o ml) setara dengan aktifits analgesik 10 mg morfin. Fentanil memiliki kerja cepat dan efek durasi kerja kurang lebih 30 menit setelah dosis tunggal IV 100 g. Fentanil bergantung dari dosis dan kecepatan pemberian bisa menyebabkan rigiditas otot, euforia, miosis dan bradikardi. Seluruh efek dari kerja fentanil secara cepat dan secara penuh teratasi dan hilang dengan menggunaka narkotik antagonis seperti Naloxone.

Farmakokinetik

Sebagai dosis tunggal, fentanil memiliki onset kerja yang cepat dan durasi yang lebih singkat dibanding morfin. Disamping itu juga terdapat jeda waktu tersendiri antara konsentrasi puncak fentanil plasma, dan konsentrasi puncak dari melambatnya EEG. Jeda waktu ini memberi efek waktu Equilibration antara darah dan otak selama 6,4 menit.

Semakin tinggi potency dan onset yang lebih cepat mengakibatkan Lipid solubility meningkat lebih baik daripada morfin, yang memudahkan perjalanan obat menuju sawar darah otak.

Dikarenakan durasi dan kerja dosis tunggal fentanil yang cepat, mengakibatkan distribusi ke jaringan yang tidak aktif menjadi lebih cepat pula, seperti jaringan lemak dan otot skelet, dan ini menjadi dasar penurunan konsentrasi obat dalam plasma.

Paru paru memiliki tempat penyimpanan tidak aktif yang cukup besar, dengan estimasi 75% dari dosis awal fentanil yang di uptake disini. Fungsi non respiratory dari paru ini yang membatasi jumlah obat yang masuk ke sirkulasi sistemik dan memegang peranan utama dari penentuan farmakokinetik dari fentanil. Bila dosis berulang IV berulang atau melalui infus yang terus menerus dari fentanil dilakukan, saturasi yang progesif dari jaringan yang tidak aktif ini terjadi.

Sebagai akibatnya konsentrasi dari fentanil plasma tidak menurun secara cepat, sehingga durasi dari analgesia seperti depresi dari vantilasi memanjang.

Metabolisme

Dimetabolisme oleh N-demethylation, yang memproduksi Norfentanil yang secara struktur mirip Normeperidine, ekskresi fentanil pada ginjal dan terdeteksi pada urine dalam 72 jam setelah dosis tunggal IV dilakukan. Cepat di metabolisme di hati, dan kurang lebih 75% dosis yang diberikan di eksresikan dalam 24 jam dan hanya 10% tereliminasi sebagai obat yang tidak berubah.

Eliminasi dan paruh waktu

Walaupun fentanil memiliki durasi kerja yang cepat, eliminasi dari paruh waktu lebih panjang dari morfin. Ini dikarenakan fentanyl mempunyai Lipid solubility yang lebih baik yang menyebabkan perjalanan cepat menuju jaringan. Konsentrasi plasma fentanil dipertahankan oleh uptake dari jaringan yang lambat, yang memberikan hitungan dari efek obat yang persisten dan paralel dengan eliminasi paruh waktunya.

Eliminasi paruh waktu pada orang tua lebih panjang , dikarenakan klirens opiodi berkurang, disebabkan menurunnya aliran darah hepatik, aktifitas enzym microsome atau produksi albumin (fentanyl 79 % - 87% terikat kepada protein).

Penggunaan secara klinis

Diberikan untuk analgesik narkotik , sebagai tambahan pada general atau regional anestesi, atau untuk pemberian dengan neuroleptik (droperidol) sebagai premedikasi,untuk induksi, sebgai tambahan pemeliharaan general anestesi maupun regional anestesi.

Digunakan secara luas, contohnya dosis injeksi 1 3 g / kg IV memberikan analgesia. Fentanyl 2-20 g/kg IV, biasanya digunakan untuk tambahan pada inhalasi anastetik untuk membantu menurunkan respon sirkulasi, digunakan dengan, a) Laryngoskopi untuk intubasi trakea ,atau b) Stimulasi operasi yang tiba tiba.

Waktu pemberian fentanil injeksi IV untuk menghambat atau menatalaksana beberapa respon operasi harus dipertimbangkan waktu equilibrationnya. Injeksi opioid seperti fentanil sebelum stimulasi operasi yang menyakitkan, mungkin dapat mengurangi dari jumlah opioid yang dibutuhkan untuk periode postoperasi untuk menyediakan analgesia.

Dosis besar dari fentanil sebagai awalan dari anestesi mempunyai kelebihan menstabilkan hemodinamik dengan cara. A) Efek depresi myocard yang rendah b) menghilangkan atau tidak mencetuskan pelepasan histamin c) mensupressi stress pada respon operasi.

Kekurangannya a) gagal mencegah respon nervus simpatik pada stimulasi operasi yang menyakitkan, terutama pada pasien dengan funsi ventrikel kiri yang baik. b) kemungkinan pasien sadar c) depresi venilasi pada posoperasi

Fentanil juga dapat digunakan sebagai preparat transmucosal dengan alat (Lozenge mounted on handle), yang didesain memberikan 5 20 g / kg fentanil, tujuannya adalah untuk menurunkan anxiety perioperatif dan memfasilitasi induksi anestesi terutama pada anak.

Pada anak 2-8 th rencana preoperatif dari oral transmucosal fentanil 15 - 20 g/kg, 45 menit sebelum induksi anestesi, secara jelas memberikan sedasi dan memfasilitasi induksi anestesi inhalasi. Tetapi juga memberikan efek seperti mengalamipenurunan frekuensi nafas dan oxigenasi arterial dan meningkatkan kejadian mual dan muntah masa postoperatif. Efek terapi postoperatif pada operasi ortopedi, 1mg oral transmukosal sama dengan 5 mg IV morfin.

Preparat fentanil transdermal memberikan 75-100 g/jam dengan hasil konsentrasi fentanil plasma puncak selama 18 jam yang cukup stabil salama pemasangan patch.

Dosis pemberian

Sebagai tambahan untuk general anestesi

Dosis rendah, 2 g/kg berguna untuk operasi minor

Dosis sedang, 2- 20 g /kg dimana operasi menjadi lebih rumit dan dosis besar dibutuhkan

Dosis tinggi, 2050 g/kg dalam prosedur bedah mayor, dimana waktu tempuh lebih lama dan respon stress operasi lebih tinggi, dosis 20 50 fentanyl dengan N2O telah menjadi pilihan. Bila dosis seperti ini telah digunakan observasi ventilasi posoperatif seperti diperlukan dimana kemungkinan depresi ventilasi posoperatif memanjang.

Sebagai Agen Anestetik

Jika respon stress dari operasi sangat perlu diturunkan, dosis 50 100 g / kg mungkin dapat diberikan dengan oksigen dan muscle relaksan. Teknik ini memberikan anestesi tanpa perlu menambah anestesi lain dalam beberapa kasus dosis lebih dari 150 g/kg mungkin diperlukan untuk menyediakan efek anestesi tersebut, telah banyak digunakan untuk bedah jantung dan operasi lain yang memerlukan proteksi miokard dari kelebihan kebutuhan akan oksigen.

Efek samping

Depresi ventilasi yang persisten maupun rekuren. Fentanil yang bersequesterasi bisa diabsorbsi kembali dari usus halus kembali ke sirkulasi dan meningkatkan konsentrasi plasma menyebabkan depresi ventilasi.

Efek kardiovaskular

Dalam perbandingan dengan morfin, fentanil dalam dosis besarpun (50 g/kg IV) tidak mempengaruhiatau memprovokasi pelepasan histamin sehingga dilatasi vena yang menyebabkan hipotensi minimal.

Tekanan Intrakranial

Pemberian fentanyl pada trauma kepala berhubungan dengan peningkatan 6-9 mhg pada tekanan intrakranial, ataupun menjaga PaCO2 yang tidak berubah. Peningkatan ini biasanya diakibatkan oleh penurunan MAP dan tekanan perfusi otak.

Interaksi Obat

Konsentrasi analgesik dari fentanil sangat berefek pada potensi midazolam dan penurunan dosis dari propofol yang dibutuhkan. Pada klinisnya keuntungan sinergi dari opioid dan benzodiazepin untuk menjaga kenyamanan pasien juga harus dibarengi dengan pemaantauan ketat, karena memili efek buruk yaitu berpotensi efek depresi.

Sumber:Latief S.A, Suryadi K. A, Dachlan M.R. Anestetik Inhalasi dalam buku: Petunjuk Praktis Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta,. 2002.Robert S. Schwartz, M.D. General Anesthesia, Sleep, And Coma. N Engl J Med 2010; 363:2638-2650.