referat anes komplikasi

49
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Anestesi secara umum berarti membantu pasien menghilangkan rasa nyeri pada saat pemedahan, persalinan atau pada saat dilakukan tindakan diagnostic-terapeutik (Latief, 2001). Selama proses pembiusan dan setelah pembiusan dapat terjadi komplikasi – komplikasi. Selain itu teknik dari pembiusan baik regional maupun umum juga berpotensi mengakibatkan komplikasi (Ashok, 2010). Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi anestesi, yaitu usia, jenis kelamin, obesitas, faktor individual, premedikasi, teknik dan obat anestesi serta jenis dari operasinya. Komplikasi tersering yang dirasakan setelah anestesi dengan teknik regional dan umum antara lain adalah merasa sakit dan muntah, pusing dan lemah. Sedangkan komplikasi yang jarang ditemukan antara lain adalah kerusakan pada mata, alergi obat serius, kerusakan saraf serta kematian ( Dubai Health Authority, 2010). Terjadinya komplikasi dari anestesi sangat merugikan, karena dapat mempengaruhi keadaan umum pasien, memperpanjangang waktu recovery, memberikan pengalaman buruk, rasa tidak nyaman serta masalah biaya karena dapat memperpanjang masa perawatan di rumah 1

Upload: lembah-barokah

Post on 29-Oct-2015

231 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Anes Komplikasi

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Anestesi secara umum berarti membantu pasien menghilangkan rasa nyeri

pada saat pemedahan, persalinan atau pada saat dilakukan tindakan diagnostic-

terapeutik (Latief, 2001). Selama proses pembiusan dan setelah pembiusan dapat

terjadi komplikasi – komplikasi. Selain itu teknik dari pembiusan baik regional

maupun umum juga berpotensi mengakibatkan komplikasi (Ashok, 2010).

Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi anestesi, yaitu

usia, jenis kelamin, obesitas, faktor individual, premedikasi, teknik dan obat anestesi

serta jenis dari operasinya.

Komplikasi tersering yang dirasakan setelah anestesi dengan teknik regional

dan umum antara lain adalah merasa sakit dan muntah, pusing dan lemah.

Sedangkan komplikasi yang jarang ditemukan antara lain adalah kerusakan pada

mata, alergi obat serius, kerusakan saraf serta kematian ( Dubai Health Authority,

2010).

Terjadinya komplikasi dari anestesi sangat merugikan, karena dapat

mempengaruhi keadaan umum pasien, memperpanjangang waktu recovery,

memberikan pengalaman buruk, rasa tidak nyaman serta masalah biaya karena dapat

memperpanjang masa perawatan di rumah sakit. Komplikasi anestesi yang terjadi

dapat dicegah tetapi beberapa tidak dapat dihindari. Untuk itu kami mengangkat

masalah komplikasi anestesi.

I.2 Tujuan

Referat ini bertujuan untuk mengetahui komplikasi pada anestesi dan juga cara

menangani dan mencegah komplikasi – komplikasi yang tejadi.

1

Page 2: Referat Anes Komplikasi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Komplikasi Anestesi

Komplikasi anestesi dapat terjadi selama/durante anestesi atau pasca anestesi

(Ronald, 2011).

Komplikasi Durante Anestesi

1. Respirasi : obstruksi jalan nafas, respirasi abnormal, batuk, apnea, singultus,

spasme (laryngospasm, bronchospasm)

2. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, emboli, disritmia sampai cardiac

arrest

3. Thermic : hypothermia, hyperthermia

4. Kesadaran selama operasi

Komplikasi Pasca Anestesi

1. Respirasi : atelectase, pneumothorax, hiccup, aspirasi pneumonitis

2. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, decompensatio cordis

3. Mata : laserasi kornea, blepharospasm

4. Cairan tubuh : hipovolemia, hipervlemia

5. Neurologi : kejang, bangun lambat, trauma syaraf perifer

6. Mengigil

7. Malignant hyperthermia

8. Mimpi buruk

9. Gaduh-gelisah

10. Muntah

Komplikasi pada general anestesi terdiri dari (Ismail, 2007/2008) :

1. Komplikasi respiratori

a. Komplikasi dari laringoskopi dan intubasi

b. Obstruksi respirasi

c. Hipoksemia

2

Page 3: Referat Anes Komplikasi

d. Hypercapnea dan hypocapnea

e. Hipoventilasi

f. Aspirasi pneumonia

2. Komplikasi kardiovaskular

a. Hipotensi

b. Hipertensi

c. Aritmia

3. Komplikasi neurologi

a. Kesadaran

b. Tertunda pemulihan

c. Perioperatif neurophaty

4. PONV

5. Perubahan temperature

a. Hypothermia

b. Hyperthermia

6. Efek merugikan obat dan hipersensitivitas

7. Komplikasi dari posisi

Komplikasi Anestesi Regional – Spinal (Marwoto, 2006):

1. Komplikasi Segera

a. Hipotensi

b. Anestesi Spinal Total : Hipotensi, Bradikardi, Apneu

c. Reaksi toksik sistemik

d. Reaksi alergi : urtikaria, syok anafilatik

e. Hipotermi

2. Komplikasi lanjutan

a. Nyeri kepala

b. Nyeri punggung

c. Retensi urin

d. Infeksi

e. Cedera saraf

3

Page 4: Referat Anes Komplikasi

II.2 Komplikasi Respiratori

1. Komplikasi laringoskopi dan intubasi ( Ismail, 2007/2008)

a. Kesalahan posisi ETT

- Intubasi esofagal

- Intubasi endobronkial

- Posisi manset dalam laring

b. Trauma jalan nafas

- Gigi rusak

- Dislokasi mandibula

- Sakit tengorokan

- Tekanan dalam trakea

- Edema glottis atau trakea

- Post intubasi granuloma pada pita suara

c. Respon fisiologi dalam instrumensasi jalan nafas

- Stimulasi simpathetik

- Laryngospasm

- Bronchospam

d. Malfungsi ETT

- Resiko pencapaian

- Obstruksi ETT

- Cuff Perforasi

4

Page 5: Referat Anes Komplikasi

2. Obstruksi Jalan Nafas

Sumbatan jalan nafas pada pasien tidak sadar adalah tersering karena

lidah jatuh ke belakang ke pharing posterior. Penyebab lainnya adalah spasme

laring, udema glottis, sekresi, muntahan, darah di jalan nafas, atau tekanan luar

dari trakea (tersering karena hematoma di leher). Sumabatan parsial jalan nafas

biasanya diketahui dengan adanya respirasi sonor. Sumbatan total

menyebabkan aliran udara terhenti, suara nafas menghilang, dan ditandai

dengan gerakan paradoksal dada (saat inspirasi dada turun sedang perut naik).

Pasien dengan sumbatan jalan nafas harus diberi suplemen oksigen sementara

ukuran koreksi dikerjakan. Kombinasi gerakan mendorong rahang dan

memiringkan kepala akan menarik lidah ke depan dan membuka jalan nafas.

Memasang pipa nasal atau oral sering meringankan masalah. Pipa nasal lebih

ditolelir oleh pasien-pasien selama pemulihan dan lebih sedikit kemungkinan

trauma pada gigi bila mereka menggigit.

Jika manuver diatas gagal, spasme laring harus dipertimbangkan.

Karakteristik dari spasme laring adalah suara tinggi nyaring dan mungkin juga

diam jika glottis tertutup. Spasme dari pita suara adalah lebih mudah terjadi

pada trauma jalan nafas, atau instrumentasi berulang, atau stimulasi dari secret

atau darah di jalan nafas. Manuver jaw thrust (mendorong rahang), terutama

bila dikombinasikan dengan tekanan positif jalan nafas lewat face mask,

biasanya dapat mengakhiri spasme laring. Memasukkan alat jalan nafas oral

atau nasal juga membantu dalam menjamin patensi jalan nafas bawah sampai

pada pita suara. Sekret atau darah pada jalan nafas harus disedot untuk

mencegah kekambuhan. Spasme laring yang parah harus diterapi agresif.

Dengan dosis kecil suksinilkolin (10-20 mg) dan ventilasi tekanan positif

dengan O2 100% untuk sementara waktu guna mencegah hipoksia berat atau

udema paru tekanan negatif. Intubasi endotrakea kadang-kadang diperlukan

untuk menjaga ventilasi. Crico tirotomi atau jet ventilasi transtrakea

diindikasikan jika intubasi tak segera berhasil.

5

Page 6: Referat Anes Komplikasi

Udema glotis setelah instrumentasi jalan nafas adalah penyebab penting

sumbatan jalan nafas pada bayi dan anak-anak muda. Kortikosteroid i.v

(dexamethason 0,5 mg/kg) atau aerosol rasemik epinephrine (0,5 ml larutan

2,25 % dengan 3 ml NS) mungkin membantu dalam kasus-kasus semacam ini.

Luka hematoma post operasi setelah prosedur bedah kepala dan leher, tiroid,

dan carotid dapat membahayakan jalan nafas dengan cepat. Pembukaan luka

tersebut segera menghilangkan kompresi trakea. Kasa yang tertinggal tak

sengaja di hipopharing pada bedah mulut dapat menyebabkan sumbatan jalan

nafas total cepat atau lambat.

Etiologi : Obstruksi bisa terjadi pada jaringan lunak, sekret yang

berlebihan, darah, isi lambung, spasme laring, tumor, inflamasi, benda asing,

hipertrofi tonsil dan adenoid dan kaku atau blokade dari ETT dan yang paling

banyak muncul pada periode post operatif adalah jalan napas bagian atas.

Tanda-tandanya

Obstruksi respirasi termasuk

a.) Pertukaran tidal yang inadekuat

b.) Retraksi dinding dada dan supraclavikular dan suprasternalis

c.) Pergerakan perut yang berlebihan

d.) Penggunaan otot-otot aksesoris

e.) Sianosis

Adanya hentakan trakea selama anestesi pada periode pemulihan

dapat diindikasikan sebagai salah satu anestesia dalam, blokade neuromuskular

dan atau hipoksia dengan retensi CO2 penyebab terakhir oleh karena respirasi

yang inadekuat atau obstruksi ventilasi.

Terapi

Termasuk pemasukkan jalan napas hidung atau faring (jika ditoleransi),

elevasi mandibula ke depan dan ke atas oleh tekanan dibelakang sudut

mandibula dan ventilasi buatan. Itu bisa jadi kebutuhan untuk membebaskan

jalan napas dari sekret oleh penghisapan yang sering. Jika jalan napas pasien

6

Page 7: Referat Anes Komplikasi

tidak bisa dijaga, selanjutnya intubasi trakea adalah indikasi. Trakeotomi bila

dibutuhkan, tetapi itu sangat jarang sekali.

3. Apnea

Dapat berkembang karena obstruksi pada jalan napas, depresi respirasi

perifer atau pusat. Terapi seharusnya dilakukam segera dengan ventilasi buatan,

dari mulut ke mulut, mulut ke hidung, mulut ke sungkup, mulut ke jalan napas

atau mulut ke ETT. Pemompaan kantung sendiri, kantung penadah dari mesin

anestesi. Trakeotomi dapat dibutuhkan sewaktu-waktu.

4. Hipercapnea

PaCO2 atau ET CO2 > 40 mhg karena peningkatan FiCo2,

hipoventilasi, peningkatan ruang mati, peningkatan CO2 yang diproduksi

jaringan. Terapi sesuai kasus. (Ismail, 2007/2008)

5. Hipoventilasi

Hipoventilasi didefinisikan sebagai PaCO2 > 45 mmHg, sering terjadi

setelah anestesi umum. Kebanyakan hipoventilasi adalah ringan dan pada

beberapa kasus dapat diabaikan. Hipoventilasi yang bemakna secara klinis akan

tampak bila PaCO2 > 60 mmHg atau pH darah arteri < 7,25. Tanda-tandanya

bervariasi misalnya mengantuk yang berlebihan atau lama, sumbatan jalan nafas,

laju nafas pelan, takipnea dengan nafas dangkal, atau sulit bernafas. Asidosis

ringan sampai sedang dapat menyebabkan takikardi dan hipertensi, jantung

iritabel (lewat stimulasi simpatis), tetapi asidosis yang lebih berat menyebabkan

depresi sirkulasi. Jika curiga hipoventilasi yang bermakna, harus dilakukan

analisa gas darah arteri untuk menilai keparahan dan pemandu tata laksana

selanjutnya.

Hipoventilasi di PACU sangat umum karena efek-efek sisa depresi dari

agen anestesi terhadap pusat nafas. Karakteristik depresi nafas karena opioid

adalah laju nafas yang lambat, sering dengan volume tidal yang besar. Sedasi

yang berlebihan juga sering terjadi, tetapi pasien mungkin mendengar dan dapat

7

Page 8: Referat Anes Komplikasi

meningkatkan pernafasan dengan perintah. Biphasik atau berulangnya bentuk-

bentuk depresi nafas telah dilaporkan sebagai akibat dari semua opioid.

Mekanismenya meliputi variasi-variasi dalam intensitas dari stimulasi selama

pemulihan dan pelepasan lambat opioid dari kompartemen perifer seperti otot

rangka (atau paru pada fentanyl) selama pasien hangat kembali atau mulai

bergerak. Pengeluaran dari pemberian opioid intra vena ke dalam cairan

lambung kemudian diserap lagi juga telah dijelaskan tetapi tampaknya tak diakui

karena pengambilan oleh hati yang tinggi untuk kebanyakan opioid.

Hipoventilasi dapat terjadi pada saat operasi dan selama periode setelah

operasi. Hipoventilasi dapat disebabkan oleh obat-obatan pre anestesia dan

anestesia, narkotik, pelemas otot atau reduksi dalam suhu tubuh (biasanya pada

bayi). Nyeri dari insisi di dada atau perut ditandai dengan menurunnya kapasitas

maksimal bernapas, derajat dari hasil hipoksia dan hiperkapnia.

TERAPI

Terapi dapat diakukan dengan variasi oleh masker atau endo trakeal tube

dengan kantung inflasi nya sendiri, kantung bernapas dari mesin anestesia atau

ventilator mesin. Jika depresi respirasi oleh karena narkotik, antagonis narkotik

seperti nalaxone diindikasikan. Jika hipoventilasi oleh karena tubocurarine atau

pancuronium, injeksi neostigmine dengan atropin juga diindikasikan. Pemberian

oksigen oleh sungkup muka sekali pakai yang direkomendasikan untuk setiap

pasien selama periode post operatif dini.

Revers tidak adekuat, overdosis, hipotermi, interaksi farmakologi

(misalnya dengan antibiotik “mycin” atau terapi magnesium), perubahan

farmakokinetik (karena hipotermi, perubahan distribusi volume, disfungsi ginjal

atau hati) atau factor-faktor metabolic (hipokalemia atau asidosis respiratorik)

dapat berespon terhadap sisa-sisa pelumpuh otot di PACU. Tanpa

memperhatikan penyebabnya, gerakan nafas yang tak terkoordinasi dengan

volume tidal yang dangkal dan takipnea biasanya jelas kelihatan. Diagnosa

dapat ditegakkan dengan sebuah stimulator syaraf pada pasien-pasien yang tak

sadar, pasien yang sadar dapat disuruh memiringkan kepala. Kemampuan untuk

8

Page 9: Referat Anes Komplikasi

mengangkat kepala selama 5 detik mungkin test paling sensitive untuk menilai

keadekuatan dari reversal..

Terapi sebaiknya langsung ditujukan pada penyebab yang mendasarinya,

tetapi tanda-tanda hipoventilasi selalu memerlukan ventilasi terkontrol sampai

factor-faktor yang berperan diidentifikasi dan dikoreksi. Adanya depresi

sirkulasi, atau saidosis (pH darah arteri < 7,15) adalah indikasi untuk segera

dilakukan intubasi endotrakea. Antagonis dari opioid penyebab depresi dengan

naloxone adalah pedang bermata dua. Peningkatan ventilasi alveolar biasanya

juga dikaitkan dengan nyeri mendadak dan keluarnya simpatis. Akhirnya dapat

mencetuskan krisis hipertensi,udema paru, dan miokard iskemik atau infark. Jika

naloxone digunakan untuk meningkatkan pernafasan, titrasi dengan dosis kecil

(0,04 mg pada orang dewasa) mungkin menghindari komplikasi-komplikasi oleh

revers sebagian dari depresi nafas tanpa revers bermakna dari analgesia. Setelah

naloxone sebaiknya pasien dipantau secara cermat akan kekambuhan dari

depresi nafas oleh opioid (renarkotisasi),mengingat naloxone berdurasi lebih

pendek daripada kebanyakan opioid. Sebagai alternatif doxapram 60-100mg,

dilanjutkan dengan 1-2mg/mnt i.v boleh digunakan, doxapram tak merevers

analgesia tetapi dapat menyebabkan hipertensi dan takikardi. Bila terdapat sisa

dari pelumpuh otot dapat diberikan penghambat kolinesterase. Sisa pelumpuh

kendati dalam dosis penuh penghambat kolinesterase memerlukan kontrol

ventilasi sampai terjadi pemulihan spontan. Kebijaksanaan memilih analgesi

opiopid (intravena atau intraspinal), anestesi epidural, atau blok saraf interkostal

adalah sering menguntungkan dalam mengurangi pembebatan setelah prosedur

bedah perut atas atau dada.

6. Hipoksemia

Hipoksemia ringan biasa terjadi pada pasien-pasien yang pulih dari

anestesi tanpa diberi suplemen oksigen selama pemulihan. Hipoksia ringan

sampai sedang (PaO2 50-60 mmHg) pada pasien- pasien muda sehat sejak awal

mungkin dapat ditoleransi dengan baik, tetapi dengan peningkatan durasi atau

keparahan stimulasi simpatis awal sering terlihat berganti dengan asidosis

9

Page 10: Referat Anes Komplikasi

progresif dan depresi sirkulasi. Sianosis yang jelas mungkin tak ada jika

konsentrasi hemoglobin berkurang. Secara klinis hipoksemia mungkin juga

dicurigai dari kegelisahan, takikardi, atau iritabel jantung (ventrikel atau atrium).

Kebingungan, bradikardi, hipotensi, dan cardiac arrest adalah tanda-tanda

belakangan. Penggunaan rutin oksimeter denyut di PACU memfasilitasi deteksi

awal. Analisa gas darah sebaiknya dilakukan untuk menegakkan diagnosa dan

pemandu terapi.

Hipoksemia di PACU biasanya disebabkan oleh hipoventilasi,

peningkatan shunting intra pulmoner dari kanan ke kiri atau kedua-

duanya.Penurunan cardiac output atau kenaikan konsumsi oksigen akan

menonjolkan hipoksemia. Hipoksia diffusi tidak biasa menyebabkan hipoksemia

jika selama pemulihan diberi suplemen oksigen. Hipoksia karena murni

hipoventilasi juga tidak biasa jika pasien menerima suplemen oksigen tanpa

tanda-tanda hiperkapnea atau bersamaan dengan adanya kenaikan shunting intra

pulmoner. Kenaikan shunting intra pulmoner dari penurunan FRC relatif

terhadap closing capacity adalah penyebab tersering hipoksemia setelah anestesi

umum. Penurunan FRC terbesar terjadi pada bedah perut atas atau dada.

Kehilangan volume paru adalah sering dihubungkan dengan mikro atelektasis,

karena mikroatelektasis sering tak kelihatan pada foto dada. Posisi semi upright

membantu memelihara FRC.

Tanda shunting intrapulmoner kanan ke kiri (Qs/Qt>15%) biasanya

dihubungkan dengan perbedaan radiografi yang ditemukan seperti atelektasis

paru, infiltrat parenkimal, atau pneumothorak yang luas. Penyebab-penyebabnya

meliputi hipoventilasi intraoperasi yang lama dengan volume tidal rendah,

intubasi endobronkial tak disengaja, kolap lobaris karena bronkus tersumbat oleh

sekresi atau darah, aspirasi paru, atau udema paru. Udema paru post operasi

sering tampak sebagai wheezing dalam 60 menit pertama setelah pembedahan.

Hal itu mungkin disebabkan oleh kegagalan ventrikel kiri, ARDS, atau

pembebasan mendadak sumbatan jalan nafas yang lama. Berlawanan dengan

udema paru, wheezing karena obstruksi primer penyakit paru, yang mana sering

terjadi pada peningkatan besar shunting intrapulmoner, adalah tidak

10

Page 11: Referat Anes Komplikasi

berhubungan dengan auskultasi crackles (gemercik), cairan udema pada jalan

nafas, atau infiltrat pada foto dada. Kemungkinan dari pneumothorak post

operasi sebaiknya selalu diwaspadai mengikuti pergeseran garis tengah, blok

interkosta, patah tulang iga, irisan pada leher, trakeostomi, nephrostomi,

prosedur retroperitoneal atau intraabdomen (termasuk laparoskopy) khususnya

bila daifragma mungkin tertembus. Pasien-pasien dengan bleb subpleural atau

bulla yang besar dapat juga berkembang menjadi pneumothorax selama ventilasi

tekanan positif.

TERAPI

Terapi oksigen dengan atau tanpa tekanan positif jalan nafas adalah dasar

dari terapi. Pemberian rutin 30-60% oksigen biasanya cukup untuk mencegah

hipoksemia dengan hipoventilasi sedang dan hiperkapnea. Pasien-pasien dengan

penyakit paru atau jantung yang mendasari memerlukan konsentrasi oksigen

yang lebih tinggi. Terapi oksigen sebaiknya dipandu dengan SpO2 atau analisa

gas darah arteri. Konsentrasi oksigen harus dikontrol dengan ketat pada pasien-

pasien dengan retensi CO2 untuk menghindari tercetusnya gagal nafas akut.

Pasien-pasien dengan hipoksemia berat atau menetap harus diberi 100% oksigen

lewat NRM atau ETT sampai penyebabnya diketahui dan terapi lainnya dimulai;

Ventilasi mekanik dikontrol atau dibantu mungkin juga diperlukan. Foto dada

( terutama tegak lurus ) adalah amat berguna dalam menilai volume paru dan

ukuran jantung serta menunjukkan pneumothorak atau infiltrat paru. Infiltrat

pada mulanya tidak tampak pada awal inspirasi.

Terapi tambahan sebaiknya langsung pada penyebab dasar. Pipa dada

sebaiknya dipasang pada pneumothorax simtomatis atau yang lebih besar dari

15-20%. Spasme bronkus sebaiknya diterapi dengan bronkodilator aerosol dan

mungkin aminophilin i.v. Diuretik diberikan bila sirkulasi cairan berlebihan.

Fungsi jantung dioptimalkan. Hipoksemia menetap kendati dari 50% oksigen

secara umum diindikasikan untuk PEEP atau CPAP. Bronkoskopi sering

bermanfaat dalam mengembangkan kembali atelektasis lobaris oleh kotoran

bronkus atau partikel aspirasi.

11

Page 12: Referat Anes Komplikasi

7. Aspirasi Pulmonar

Inhalasi dari material didalam jalan nafas pada bawah pita suara.

Material termasuk benda asing, saliva, sekresi nasofaringeal atau component

lambung. Aspirasi paru terjadi sebagai reflex saluran napas pelindung, seperti

penurunan kesadaran dan gangguan batuk. Pada pasien bedah kemungkinan

terjadi ada induksi atau selama muncul anestesi.

Manifestasi

Bervariasi bergantung pada tingkat aspirasi, bisa hipoksi, takikardi dan

takipneu. Bronkospasme kadang muncul dan pada auskultasi dada dapat

didapakan mengi.

Penanganan

Awal penanganan

- Oksigen 100 % mengurangi kontaminasi jalan nafas

- Jika pasien sadar dan bernapas, orofaring harus di suctioned

dan posisi pasien dalam posisi perbaikan

- Jika pasien tidak sadar dan bernapas, tekanan cricoids

sebaiakanya didapatkan, orofaring di suctioned dan posisi

pasien dalam lateral kiri head- down posisi. Tekanan cricoids

sebaiknya tidak diterima pada pasien yang muntah karena

peningkatan tekana intra oesophagal dapat menyebabkan

rupture.

- Jika pasien apneu, intubasi segera dilakukan. Jaan nafas di

suctioned melalui tracheal tube sebelum tekanan posited

ventilasi dimulai.

- Penanganan lanjutan : intensive care pasien dengan aspirasi

pneumonia. Penilaian termasuk foto rontgen thorax, analisa gas

darah, dan kultur sputum. Menggunakan volume tidal 4-6 ml/kg

dengan meningkatkan frekuensi ventilasi untuk pemeliharaan

volume yang berkurag karena injury pulmo. Bronchodilator

seperti salbutamol da ipratropium bromide yang dapat

12

Page 13: Referat Anes Komplikasi

meringankan bronhospasm. Terapi spesifik termasuk fibreoptic

bronchoscopy.

Komplikasi paru muncul pada 30 % pasien yang pernah melakukan operasi

dada atau perut dan ini yang paling banyak menyebabkan kesakitan dan kematian dalam

periode post operatif. Fungsi yang abnormal ini adalah sekunder dari pola abnormal

paru, nyeri, posisi berbaring, operasi cidera otot yang berhubungan dengan posisi perut

bagian atas dan efek agen anestesi serta teknik anestesinya.

1.) Hipoksemia arteri adalah yang sering ditemukan setelah pembedahan besar,

dan dapat dideteksi dengan mengukur gas darah.

2.) Setiap upaya seharusnya dibuat untuk mencegah kemajuan yang lazim dari

atelektasis, takipnea, hipoksia, demam dan pneumonitis.

a. Atelektasis

Atelektasis adalah hasil dari obstruksi dari jalan napas yang disalurkan

dengan mengabsorbsi udara dari bagian distal paru , dan dapat muncul selama

anestesi lokal, regional maupun umum.

1.) Tanda dan gejala

Pergerakkan yang asimetris dan retraksi dada, tidak ada suara napas yang

melewati segmen dari area paru, meningkatnya kesulitan dalam bernapas,

takikardi, takipnea, demam dan sianosis.

2.) Diagnosis dapat dilihat dari hasil x-ray dada dan dugaan dari bukti yang

kuat.

3.) Pengobatan

Fisioterapi dada, penghisapan bronkus melalui kateter atau bronkoskop,

batuk, napas dalam, inflasi tekanan positif dari paru, ekspektoran, surfaktan

dan agen mukolitik dan bronkodilator.

b. Pneumotoraks

Pneumotoraks dapat disebabkan oleh rupturnya jaringan paru ( seperti

emfisema dengan diikuti batuk yang berlebihan). Tekanan positif respirasi yang

hebat atau trauma langsung pada apex paru selama trakeotomi, pemotongan

13

Page 14: Referat Anes Komplikasi

leher, pemasangan CVC atau pemblokkan plexus supraclavicular brakialis.

Pneumotoraks dapat muncul selama obstruksi jalan napas parsial dengan napas

dalam. Selama periode ini, udara dapat terhisap kedalam mediastinum superior

dimana karena ruptur satu atau kedua rongga pleura (retriperitoneal atau

intraperitoneal yang melewati aorta atau esofagus).

1.) Diagnosis dibuat dari pemeriksaan fisik, x-ray dada dan analisis gas darah

2.) Pengobatan. Aspirasi udara melewati suatu titik yang dibuat dengan lubang

jarum yang besar di dalam pleura di linea mid clavicularis anterior kedua

atau ketiga, bersamaan dengan penempatan selang pada dada yang

menghubungkan ke air-drain-botol.

c. Demam

Demam terjadi dalam 24 jam pertama post-operatif dengan atelektasis dalam

48 jam, infeksi traktus urinaria dan setelah 72 jam, infeksi luka. Demam post-

operatif diakibatkan oleh tromboflebitis yang dapat muncul setiap saat. Beberapa

post-operatif meningkatkan suhu tubuh, sesedikitnya 1O F diatas normal / > dari

2 hari, harus dipertimbangkan dan dipelajari untuk diatasi penyebabnya.

d. Pengembungan lambung

Penggembungan lambung bisa karena jalan napas yang sudah payah. Ini bisa

terjadi pada pasien yang lumpuh dengan tekanan jalan napas diatas 25 cm H2O,

meskipun jalan napasnya bersih, dan itu bisa menyebabkan muntah post-

operatif dan kesulitan pembedahan atau cegukan.

e. Cegukan

1.) Cegukan adalah spasme diafragma yang terputus-putus disertai dengan

penutupan glotis secara tiba-tiba.

2.) Cegukan dapat terjadi pada saat induksi dan atau pemeliharaan anestesia,

dengan inhalasi atau dengan anestesi intravena dan bisa menjadi lebih sulit

untuk keduanya, ahli bedah dan ahli anestesinya terutama ketika cegukan

menetap.

14

Page 15: Referat Anes Komplikasi

3.) Terapi nya bertujuan untuk menyingkirkan penyebab yang berkaitan, seperti

penggembungan lambung, iritasi diafragma atau rangsangan viscera

abdominal bagian atas.

a. Membantu pernafasan adalah penting dan jika cegukan berlangsung

lama, obat relaxan bisa digunakan dengan intubasi trakea dan kontrol

ventilasi.

b. Metode teraupetik. Stimulasi nasofaring, anestesia umum, obat oelemas

otot, inhalasi CO2, dekompresi lambung dan blok nervus phrenic

unilateral

15

Page 16: Referat Anes Komplikasi

II.3 Komplikasi Kardiovaskular

Gangguan sirkulasi yang paling umum di PACU adalah hipotensi,

hipertensi dan aritmia. Kemungkinan ketidaknormalan sirkulasi itu adalah

sekunder dari gangguan sirkulasi yang mendasar yang selalu harus

dipertimbangkan sebelum beberapa intervensi yang lain.

1. Hipotensi

Hipotensi biasanya disebabkan oleh penurunan venous return pada

jantung, gangguan fungsi ventrikel kiri, vasodilatasi arteri yang berlebihan yang

kurang umum. Hipovolemia adalah penyebab hipotensi paling umum di PACU.

Hipovolemia absolut dapat disebabkan oleh penggantian cairan yang tidak

adekuat, sekuesterisasi cairan yang terus-menerus oleh jaringan (rongga ketiga),

atau drainase luka, serta perdarahan post operasi. Konstriksi vena selama

hipotermia mungkin menutupi hipovolemia sampai suhu pasien mulai naik lagi.

Kemudian dilatasi vena menghasilkan hipotensi yang tertunda. Hipovolemia

relatif adalah bertanggung jawab untuk hipotensi yang dihubungkan dengan

spinal atau epidural, venodilator, dan blokade alfa adrenergik; peningkatan

kapasitas vena menurunkan venous return kendati volume intra vascular

sebelumnya normal. Hipotensi yang berhubungan dengan sepsis dan reaksi

alergi biasanya hasil dari kedua-duanya hipovolemi dan vasodilatasi. Hipotensi

yang menyertai tension pneumothorax atau tamponade jantung adalah akibat

dari pemburukan pengisian jantung.

Disfungsi ventrikel kiri pada seseorang yang awalnya sehat adalah tidak

biasa tanpa adanya gangguan metabolisme yang berat (hipoksemia, asidosis,

sepsis). Hipotensi karena disfungsi ventrikel ditemui terutama pada pasien dengan

penyakit arteri koroner atau katup jantung, dan biasanya dicetusksn oleh cairan

yang berlebihan, iskemia myokard, peningkatan afterload akut, atau disritmia.

Hipotensi dapat disebabkan oleh narkotika, anestesi, hipoksia, refleks,

penanganan bedah, perdarahan, insufisiensi adrenokortikal, perubahan posisi,

penyakit jantung, transfusi darah yang tidak cocok, hipersensitivitas alergi, atau

emboli udara.

16

Page 17: Referat Anes Komplikasi

1.) Narkotika disuntikkan sebelum operasi, intraoperatif, dan / atau pasca

operasi dapat menurunkan tekanan darah dengan menekan pusat vasomotor,

mengurangi otot, penurunan ventilasi, dan pelebaran pembuluh darah

perifer.

2.) Overdosis inhalasi dan / atau anestesi IV merupakan salah satu penyebab

utama hipotensi selama anestes.i

a. Tekanan darah dapat menurun bila diberikan anestesi yang melebihi

jumlah yang biasanya ditoleransi, terutama selama induksi anestesi

tekanan darah dapat menurun meskipun jumlah yang diberikan adalah

dalam kisaran yang dapat diterima. Overdosis relatif seperti dapat

menghindari jika dosis minimal anestesi digunakan selama induksi

anestesi khususnya pada pasien dengan penyakit jantung, obesitas,

hipertensi, penurunan volume darah, kehilangan berat badan, cachexia,

atau penyakit kronis yang melemahkan.

b. Pengobatan overdosis meliputi penghentian segera dari anestesi

inhalasi, dan jika barbiturat telah diberikan, langkah-langkah dukungan

umum termasuk jalan napas yang memadai, respirasi yang efisien, infus

Solusi RL dan vasopressors.

3.) Adrenocortical insufisiensi.

hipotensi dan shock akibat insufisiensi adrenokortikal jauh lebih mudah

mencegah daripada mengobati. Banyak pasien akan diperlakukan tidak

perlu (tapi tidak berbahaya) untuk melindungi beberapa orang yang

mungkin beresiko. Hipotensi karena penyebab lain harus disingkirkan.

Terapi krisis adrenocortical termasuk IV administrasi hidrokortison dengan

baik salin isotonik atau air asin di dekstrosa. Norepinefrin juga digunakan

dengan hati-hati

4.) Hipotensi berat akibat iskemia miokard atau infark dapat berkembang

selama anestesi dan pembedahan. Diagnosis dibuat oleh bukti-bukti dugaan

yang kuat dan terapi tidak boleh ditunda sampai diagonis yang definitif

ditetapkan dalam beberapa hari.

17

Page 18: Referat Anes Komplikasi

5.) Tanda-tanda transfusi darah yang tidak kompatibel di bawah anestesi adalah

hipotensi, umum mengalir dari luka, hemoglobinuria, dan sianosis.

Kemudian tanda-tanda penyakit kuning, oliguria, dan anuria

6.) Prevention dan pengobatan hipotensi

a. berlebihan preanesthetics dan obat-obatan anestesi harus dihindari

b. manipulasi bedah harus dilakukan selembut mungkin

c. administrasi dan penggantian cairan darah harus dilakukan lebih awal

d. tekanan vena sentral harus dipantau

e. obat cepat pengobatan dengan vasopressors

f. jika hypotensioni disebabkan hipoksia, oksigen harus diberikan pertama

dan terakhir vasopressors

TERAPI

Hipotensi ringan selama pemulihan dari anestesi adalah umum dan

biasanya mencerminkan penurunan tonus simpatis yang normalnya berhubungan

dengan tidur atau efek sisa dari agent anestesi, bentuk seperti ini tak

memerlukan terapi. Hipotensi yang bermakna didefinisikan sebagai penurunan

tensi 20-30 % dari tensi basal pasien dan diindikasikan sebuah kekacauan serius

yang memerlukan terapi. Terapi tergantung pada kemamapuan untuk menilai

volume intravaskuler. Peningkatan tensi setelah bolus caiaran (250-500 ml

kristaloid atau 100-250 ml koloid) umumnya mendukung hipovolemi. Pada

hipotensi berat, suatu vasopressor atau inotropik mungkin diperlukan untuk

meningkatkan tensi sampai defisit volume intravaskuler paling tidak terkoreksi

sebagian. Tanda-tanda disfungsi jantung sebaiknya diperiksa pada pasien-pasien

tua dan pasien-pasien dengan penyakit jantung. Kegagalan pasien untuk segera

berespon terhadap terapi mengamanatkan monitoring hemodinamik invasive;

manipulasi dari preload, kontraktilitas, dan afterload sering diperlukan. Adanya

tension pneumothorax, seperti yang disebabkan oleh hipotensi dengan

penurunan suara nafas sesisi, hiperresonanasi, dan deviasi trakea, adalah suatu

indikasi untuk segera dilakukan aspirasi pleura bahkan sebelum konfirmasi

radiografi. Begitu juga hipotensi karena tamponade jantung, biasanya menyertai

18

Page 19: Referat Anes Komplikasi

trauma dada atau bedah thorax, sering diperlukan pericardiocentesis atau

thoracotomi.

2. Hipertensi

Hipertensi post operasi adalah umum di PACU dan khususnya terjadi

pada 30 menit pertama setelah tindakan. Rangsangan nyeri dari sayatan, intubasi

trakea, atau kandung kemih penuh, biasanya ikut berperan. Hipertensi post

operasi bisa juga karena aktivasi reflek simpatis, yang menjadi bagian dari

respon neuroendokrin terhadap pembedahan atau hipoksemia sekunder,

hiperkapnea, atau asidosis metabolic. Pasien-pasien dengan riwayat hipertensi

sistemik mudah berkembang menjadi hipertensi di PACU, bahkan tanpa sebab

yang jelas. Derajat kontrol hipertensi berbanding terbalik dengan insiden

hipertensi pada beberapa pasien. Cairan berlebihan atau hipertensi intrakranial

dapat juga tampak sebagai hipertensi post operasi.

Hipertensi dapat terjadi selama anestesi dan periode pemulihan akibat

nyeri, hipoksia, hiperkapnia, hipervolemia, dari overtranfusion, stimulasi refleks,

peningkatan tekanan intrakranial, pheochromocytoma, dan obat-obatan

(ketamin, amina vasopressor, atau succinycholine). Penggunaan infus dari

trimethaphan atau nitroprusside, diikuti dengan pemberian obat long-acting

antihipertensi, jika diperlukan, harus disediakan untuk yang terakhir-resor-terapi

darurat.

TERAPI

Hipertensi ringan umumnya tidak memerlukan terapi, tetapi penyebab

reversible sebaiknya dicari. Petanda hipertensi dapat mencetuskan perdarahan

post anestesi, iskemia miokard, gagal jantung atau perdarahan intrakranial.

Keputusan tentang derajat hipertensi dan kapan harus diterapi bersifat

individual. Pada umumnya tensi meningkat lebih dari 20-30% dari basal normal

pasien, atau berkaitan dengan efek samping ( infark miokard, gagal jantung, atau

perdarahan) harus diterapi. Peningkatan ringan sampai sedang dapat diterapi

dengan beta bloker iv seperti labetolol, esmolol, atau propanalol. Ca chanel

19

Page 20: Referat Anes Komplikasi

blocker nicardipin atau pasta nitrogliserin, serta nifedipine sublingual juga

efektif. Hidralazin juga efektif tapi sering menyebabkan takikardi dan

dihubungkan dengan iskemik miokard dan infark. Petanda hipertensi pada

pasien-pasien dengan cadangan jantung terbatas memerlukan monitor tekanan

intra arterial langsung dan harus diterapi dengan nitroprussid, nitrogliserin,

nikardipin, atau fenoldopam infus intravena. Titik akhir esuaian terapi sebaiknya

di sesuaikan dengan tensi normal pasien itu sendiri.

3. Aritmia

Gangguan pernafasan yang berperan khususnya hipoksemia, hiperkarbia,

dan asidosis dalam memacu aritmia jantung tak dapat dikesampingkan. Efek-

efek sisa dari agent anestesi, peningkatan aktivitas sistim saraf simpatis,

abnormalitas metabolic lainnya dan adanya penyakit jantung dan paru juga

mempengaruhi pasien untuk terjadi aritmia di PACU.

Bradikardi sering menunjukkan efek sisa dari kolinesterase inhibitor

(neostigmin), opioid sintetis yang poten (sufentanyl) atau beta bloker

(propanolol). Takikardi mungkin menunjukkan efek dari agent antikolinergik

(atropin) atau vagolitik (pancuronium atau meperidine), beta agonis (albuterol),

reflek takikardi (hidralazine), serta penyebab-penyebab umum seperti nyeri,

demam, hipovolemia dan anemia. Lebih lanjut, anestesi merangsang depresi

dari fungsi baroreseptor membuat frekuensi jantung tak dapat dipercaya

memonitor volume intravaskuler di PACU.

Atrial dan ventrikel premature beat biasanya menunjukkan hipokalemia,

hipomagnesemia, peningkatan tonus simpatis, atau yang kurang umum iskemia

miokard. Yang terakhir ini dapat didiagnosa dengan ECG 12 lead. Supra

ventrikel takiaritmia meliputi paroksismal supraventrikel takikardi, flutter

atrium, dan atrium fibrilasi adalah bentuk-bentuk yang tak terduga pada pasien-

pasien dengan riwayat aritmia-aritmia ini dan lebih tak terduga pada bedah

thorax.

20

Page 21: Referat Anes Komplikasi

4. Cardiac arrest

Insiden serangan jantung secara signifikan lebih besar dengan anestesi spinal

(6,4 + / - 1,2per 10.000 pasien) dibandingkan dengan anestesi epidural dan blok

saraf perifer dikombinasikan. Risiko kematian setelah serangan jantung secara

bermakna dikaitkan dengan usia dan American Society ofAhli anestesi '(ASA)

kelas status fisik. Rata- rata usia korban adalah 50 +/ - 20 th, dan rata- rata usia

yang tidak selamat adalah 82 + /- 7 th. (auroy, yves MD; 1997)

II.4 Komplikasi Neurologi

Inside cedera pada neurologi terlihat lebih tnggi pada setelah spinal

anestesi dari pada anestesi kombinasi seperti epidural, peripheral nervus block,

intravena regional anestesi. (auroy, yves MD; 1997).

1. Kesadaran

- Implicit memori

Informasi disimpan dalam memori tetapi tidak dapat mengingat

kejadian. Contohnya post operasi trauma fisik seperti cemas, insomnia

dan sebagainya

- Explcit memori

Informai disimpan dalam memori diserati kemampuan mengingat

kejadian ( kejadian yang tidak menyenangkan seperti presepsi visual,

auditiri, sesansi lumpuh dan nyeri.

Pencegahan :

a. Preoperative :

i. Kunjungn preoperative

ii. Pengecekan pelaratan dan mein anestesi

iii. Informed consent

b. Intraoperative

i. Monitoring kedalaman anastesiindikas

ii. Teknik anestesi : hindari uscle relaxan tanpa indikasi

21

Page 22: Referat Anes Komplikasi

c. Post operative :

i. Visit pasien

ii. Permintaan maaf

iii. Psikoterapi

2. Penundaan Pemulihan

Penyebab :

1. masalah metabolit dan elektrolit

2. cerebral hyopoperfusi

3. depresi cerebral karena obat

3. Perioperatif neuropati

Penyebab : traksi, kompresi, metabolic, trauma operasi langsung

Faktor resiko : usia, BMI > 38, Pembedahan yang terlalu lama, sudah ada

riwayat disfungsi nervus kronik,Variasi anatomi, Hipotensi, DM, Terlalu lama

bed est postoperative.

4. Paralisis Nervus Ulnaris

Kelemahan motorik dan parestesia dapat terjadi di nervus ulnaris dari tekanan

pada nervus dibawah siku. Hal ini terjadi pada pasien yang sikunya terjepit

dengan benda padat. Hal ini juga dapat terjadi jika nervus tertekan oleh tulang

dan ujung dari meja operasi, atau jika lengan pasien dalam keadaan abduksi

kemudian siku tertekan oleh ujung meja operasi.

Pencegahan termasuk menjaga tangan mendekat ke pada sisi tubuh pada posisi

horizontal .

Ketika timbul rasa lemah, mati rasa, atau paralisis pada nervus ulnaris,

pemeriksaan neurologik secara detail harus dilakukan dan pengobatan

secepatnya , termasuk fisioterapi.

22

Page 23: Referat Anes Komplikasi

II.5 Menggigil dan Hipotermia

Menggigil dapat terjadi di PACU sebagai akibat dari hipotermia intra

operasi atau dari agent anestesi. Hal ini juga biasa terjadi pada pertengahan

periode post partum. Penyebab terpenting dari hipotermia adalah redistribusi

panas dari bagian tengah tubuh ke bagian tepi tubuh. Suhu sekitar ruang operasi

yang dingin, luka besar yang terbuka lama, dan penggunaan sejumlah besar

cairan intravena yang tak dihangatkan, serta aliran gas yang tinggi dan tidak

dilembabkan juga dapat memberi kontribusi. Hampir semua obat anestesi,

terutama yang mudah menguap, menurunkan respon vasokonstriksi terhadap

hpotermia. Meskipun agent-agent anestesi juga menurunkan ambang menggigil,

menggigil umumnya sering nampak selama atau sesudah pulih dari anestesi

umum. Menggigil adalah suatu usaha tubuh untuk meningkatkan produksi

panas, meningkatkan suhu tubuh dan mungkin diikuti oleh vasokonstriksi yang

hebat. Bahkan pemulihan dari anestesi umum yang singkatpun kadang-kadang

juga menggigil. Meskipun menggigil dapat menjadi bagian dari tanda-tanda

neurologis non spesifik (postur, clonus atau Babinski`s sign) kadang-kadang

dapat terjadi selama pemulihan, hal itu paling sering karena hipotermi dan

umumnya dihubungkan dengan obat anestesi yang mudah menguap.

Bagaimanapun mekanismenya, timbulnya nampak berhubungan dengan janga

waktu dari pembedahan dan penggunaan dari konsentrasi tinggi agen mudah

menguap. Menggigil kadangkala cukup hebat sehingga menyebabkan

hypertermia (38-39C) dan acidosis metabolic yang signifikan, kedua-duanya

terselesaikan ketika menggigil berhenti. Anestesi spinal dan epidural keduanya

juga menurunkan nilai ambang menggigil dan respon vasokonstriksi terhadap

hipotermi; menggigil mungkin juga ditemui dalam RR setelah anestesi regional.

Penyebab lain dari menggigil sebaiknya disingkirkan, seperti sepsis, alergi obat,

atau reaksi transfusi.

Setelah penghentian thiopental, halothane, atau anestesi enflurane,

beberapa pasien mungkin menunjukkan spasme dari beberapa otot somatik dan

menggigil seluruh tubuh dengan disertai tremor daerah kepala, bahu, otot tubuh,

dan ekstremitas atas maupun bawah. Hal ini dapat dijelaskan sebagai reaksi

23

Page 24: Referat Anes Komplikasi

termal karena suhu ruangan yang rendah selama anestesi dan operasi di ruang

operasi. Hal itu menghasilkan kebutuhan oksigen yang lebih besar. Faktor lain

yang perlu dipertimbangkan, meskipun kecil kemungkinan, adalah kerugian

besar kadar panas ventilasi selama anestesi umum dengan aliran tinggi dalam

sistem semiclosed-rebreathing atau parsial. Dewasa muda khususnya rentan

terhadap kehilangan panas tubuh.

Terapi meliputi menyelimuti pasien dengan selimut panas dan menjaga

suhu kamar di 24OC. Administrasi 5-10 mg dari Klorpromazin IV akan

membantu dalam mengatasi gejala awalnya.

Hipotermi diterapi dengan alat penghangat udara, lampu hangat atau

selimut hangat untuk meningkatkan suhu tubuh ke normal. Menggigil yang

hebat dapat menyebabkan kenaikan konsumsi oksigen, produksi CO2, dan curah

jantung. Efek fisiologis ini sering sulit ditoleransi oleh pasien yang sudah ada

gangguan jantung atau paru. Hipotermi telah dikaitkan dengan meningkatnya

kejadian iskemia miokard, aritmia, meningkatkan kebutuhan transfusi, dan

meningkatkan durasi obat pelumpuh otot. Dosis kecil meperidine i.v, 10-50 mg,

dapat menurunkan bahkan menghentikan menggigil. Pasien-pasien yang

terintubasi dan memakai ventilator juga dapat di sedasi dan diberi pelumpuh otot

sampai normotermia kembali dan efek dari anestesia sudah tiada lagi.

II.6 Mual dan Muntah

Mual dan muntah adalah masalah umum setelah anestesi umum. Mual juga

bisa nampak pada hipotensi karena anestesi spinal atau epidural. Peningkatan

insiden mual dilaporkan mengikuti pemberian opioid atau mungkin anestesi

dengan N2O,pembedahan intraperitoneal (khususnya laparoskopi), dan bedah

strabismus. Insiden tertinggi tampak pada wanita muda, penelitian menunjukkan

bahwa mual lebih sering terjadi selama menstruasi. Peningkatan tonus vagal

dengan manifestasi bradikardi mendadak umumnya didahului atau disertai

dengan muntah-muntah. Dapat berasal dari isi lambung dan dapat muncul

selama induksi dan pemeliharaan anestesi selama periode pemulihan khususnya

24

Page 25: Referat Anes Komplikasi

pada pasien yang menjalani prosedur abdominalis. Kondisi ini bisa

menimbulkan bencana dan harus diatasi segera.

Tanda dan gejala

a. Aspirasi pada volume yang besar dapat berakibat kematian biasanya pada

kasus tenggelam, volume yang lebih kecil menimbulkan batuk, spasme

laring, bronkospasme dan edema paru yang berakibat hipoksia.

b. Aspirasi pada cairan asam di dalam isi lambung dalam pneumonitis

kimia, padahal aspirasi material dapat menyebabkan atelektasis,

pneumonia atau abses paru. Lesi karena ph kurang dari 2,5. Pneumonitis

kimia seharusnya dapat dicurigai ketika terdapat sianosis persisten,

takikardi dan takipnea beriringan dengan berkembangnya mengi diikuti

muntah atau regurgitasi. X-ray dada diindikasikan untuk mendukung

diagnosis klinis.

c. Jika aspirasi muncul, terapi termasuk ETT, penghisapan pada trakea,

oksigenasi, hidrokortison 500-1000 mg, aminofilin, dan antibiotik.

Respirasi seharusnya di kontrol untuk memblok dari bronkus segmental

nya, terapi bronkoskopi diindikasikan.

Anestesi propofol menurunkan insiden mual dan muntah post operasi.

Droperidol i.v 0,65-1,25 mg (0,05-0,075 mg/kg pada anak-anak) bila diberikan

intra operesi menurunkan mual post operasi secara bermakna tanpa

memperpanjang masa pemulihan; dosis kedua mungkin diperlukan bila mual

masih terjadi di PACU. Metoclopramid 0,15 mg/kg i.v mungkin seefektif

droperidol dan lebih sedikit menyebabkan kantuk. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa jika propofol tidak digunakan selama anestesi, droperidol

mungkin lebih efektif daripada metoklopramid. Selektif 5-hydroxytriptamin

(serotonin) reseptor 3 (5HT3) antagonis seperti ondansetron 4 mg (0,1 mg/kb

pada anak), granisetron 0,01-0,04 mg/kg dan dolasetron 12,5 mg (0,035 mg/kg

pada anak)juga amat efektif. 5HT3 antagonis adalah tidak menimbulkan sedasi,

ekstra pyramidal akut (dystonik), dan reaksi diphoric yang mungkin terjadi

dengan agent lainnya. Ondansetron mungkin lebih efektif daripada agent lainnya

25

Page 26: Referat Anes Komplikasi

pada anak-anak. Dexamethason 8-10 mg (0,1 mg/kg pada anak) jika

dikombinasikan dengan anti muntah lainnya sangat efektif untuk mual muntah

yang sukar disembuhkan. Propofol dosis rendah (20 mg bolus atau 10 mg bolus

dilanjutkan dengan 10mcg/kg/mnt) juga dilaporkan efektif untuk mual muntah

post operasi.

II.7 Komplikasi pada Sistem Pengelihatan

Selama anestesi, pada beberapa pasien kelopak mata tidak menutup

secara penuh, terutama jika pelemas otot sudah digunakan. Karenanya, jika tidak

ada pencegahan yang diambil, cidera pada mata poleh trauma langsung, kornea

menjadi kering- iritasi pada cairan- uap dari obat anestesi dapat terjadi dengan

pemberian anestesia umum.

1) Abrasi kornea adalah komplikasi pada mata yang paling umum yang terjadi

selama anestesi umum dan pemulihan. Gejala ini menyakitkan dan dapat

berkembang menjadi inflamasi di traktus uvea, dan jika terkontaminasi

dapat mengarah ke infeksi serius.

a. Abrasi kornea dapat terjadi, salah satunya oleh karena penempatan

sungkup muka yang kurang hati-hati pada mata yang sedang terbuka atau

oleh tangan dan kuku jari ahli anestesi selam proses pemasangan

laringosko dan intubasi. Kebanyakan tejadi pada operasi kepala dan

leher, terutam pada saat craniotomi dan dalam prosedur ahli bedah saraf

dan ahli ortopedi yang wajib menengkurapkan pasien.

b. Abrasi kornea dapat terjadi selamaoperasi yang melibatkan nervus

facialis seperti mastoidektomi, timpanoplasti atau parotidektomi.

c. Selama prosedur pembedahan, lengan asisten, instrumen, handuk kepala

dapat mengakibatkan konjungtivitis, abrasi kornea, ulserasi.

2) Jika mata hanya terbuka sebagian selama anestesi, produksi air mata tidak

ada, kornea menjadi kering dan epitel rusak.

3) Posisi anatomis dari mata adalah faktor lain. Resiko kekeringan pada mata

adalah baik pada orang dengan mata yang menonjol (proptosis dan

26

Page 27: Referat Anes Komplikasi

eksoftalmus). Cidera pada mata dapat disebabkan oleh sekret yang masuk

kedalam mata atau oleh tumpahnya cairan steril selam persiapan operasi.

Tahanan pada bola mata dapat mengakibatkan kebutaan dengan tidak

adanya suplai dari arteri ke mata, terutama selama teknik induksi hipotensi.

Selama masa pemulihan ,mata dapat terkena cidera oleh sprei, sungkup muka

atau jari pasien.

Diagnosis

Abrasi kornea menyebabkan nyeri, lakrimasi, dan blefarospasme, nyeri

berat dan diperburuk saat pasien berkedip dan gerakan bola mata. Pasien

mengeluhkan adanya sensasi benda asing dimatanya. Dengan pemeriksaan pada

kornea menggunakan lup mata di bawah sinar yang baik, kassa steril dengan

pewarnaan flourescein digunakan untuk menggambarkan cidera epitel. Kornea

yang abrasi memberikan hasil warna yang lebih hijau dibandingkan kornea yang

tidak rusak.

Pengobatan.

Penggunaan salep antibiotik secara lokal dan dengan memberikan

penekanan pada mata, cycloplegik dan cairan midriatik diberikan untuk

mencegah sinekia dan meredakan nyeri yang berhubungan dengan spasme iris

dan otot siliaris.

Profilaksis

Komplikasi pada mata dapat dicegah dengan memastikan bahwa mata

pasien tertutup selama anestesi. Tindakan ini bisa dilakukan dengan cara

memegang kelopak mata dengan cairan adesif dan plester.

27

Page 28: Referat Anes Komplikasi

II.8 Hipertermia Malignant

Hipertermia malignant adalah krisis hipermetabolik fulminan yang dipicu

oleh obat-obatan anestesi.

1.) Hypertermia malignant jarang terjadi tetapi berpotensi mengancam nyawa

dan terjadi selama anestesi umum, dengan angka kematian 60%. semakin

tinggi suhu maksimum dan semakin lama durasi anestesi, semakin tinggi

angka kematian tersebut. Oleh karena itu deteksi dini dan pengobatan yang

cepat adalah kunci sukses reversal.

2.) Kejadian telah dilaporkan 1 dalam 15.000 administrasi anestesi pada anak-

anak, dan 1 dalam 50.000 pada orang dewasa. Sebagian besar kasus terjadi

pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda. Laki-laki lebih sering daripada

perempuan.

3.) Penyebabnya masih belum jelas dan kontroversial. Faktor predisposisi

diwariskan oleh 50% pada keturunan korban. Meskipun reaksi dikenal

turun-temurun, tempat dan sifat kerusakan belum dapat dijelaskan

sepenuhnya. 50% dari pasien memiliki kerabat yang juga mengalami

hipertermia malignant yang dipicu di bawah anestesi umum, yang

mengarahkan kepada sifat dominan autosomal. Kekakuan otot terjadi dalam

tiga-perempat dari pasien, sejumlah besar pasien yang memanifestasikan

kekakuan otot sebelumnya sudah memiliki penyakit muskuloskeletal.

a. Hipertermia malignant yang paling sering berkembang setelah pemberian

halothen dan succinycholine. mungkin terjadi, bagaimanapun, dengan

hampir semua bentuk anestesi umum. belum dilaporkan selama anestesi

lokal atau regional.

b. Pengalaman anestesi sebelumnya yang tanpa komplikasi tidak

mengesampingkan kemungkinan terjadinya hipertermia malignant

selama anestesi umum berikutnya.

Tanda-tanda klinis dan temuan laboratorium

1. Tanda-tanda klinis termasuk takikardia, takipnea, demam lebih dari

40oC, aritmia, sianosis, darah vena gelap di bidang bedah, urin merah,

kulit panas, dan kekakuan otot berkepanjangan umum rangka.

28

Page 29: Referat Anes Komplikasi

2. Takikardia dan takipnea adalah tanda-tanda awal dan karena

metabolisme intens dan acidocis pernapasan. asidosis pernapasan hadir

karena peningkatan tajam dalam produksi karbondioksida. Aritmia

berasal dari hiperkalemia yang berhubungan dengan sindrom ini.

3. Temuan laboratorium termasuk asidosis metabolik dan respiratorik,

hipoksemia, hiperkalemia, hypermagnesemia, myoglobinemia, dan

laktat tinggi dan piruvat tinggi.

4. Gagal ginjal akut, hemolisis, dan kerusakan otak dapat terjadi kemudian

dalam perjalanan dari sindrom ini.

Diagnosis. Pentingnya diagnosis dini dan terminasi dini anestesi terletak

pada kenyataan bahwa kemungkinan runtuhnya cardiopulmonary dan akhirnya

statistik kematian meningkat sebanding dengan durasi anestesi.

Seseorang harus menduga komplikasi dengan adanya takikardia,

takipnea, aritmia, respon abnormal terhadap succinylcholine, kekakuan otot

umum atau lokal, dan / atau kenaikan suhu tubuh cepat. Rutinitas pemantauan

aktivitas listrik jantung dan suhu tubuh dianjurkan untuk semua pasien anestesi,

terutama anak-anak dan dewasa muda. Termometer elektronik untuk

pemantauan suhu tubuh terus-menerus lewat dubur, kerongkongan, atau timpani.

Setelah diagnosis dibuat, indeks yang akan dipantau termasuk EKG, suhu, gas

darah arteri, elektrolit, hematrokrit, output urin, dan tekanan vena sentral.

Terapi

Penekanan ditempatkan pada betapa pentingnya deteksi dini, penghentian

awal anestesi (dan operasi, jika mungkin), dan aplikasi awal tindakan terapi,

yang meliputi;

1.) Hiperventilasi dengan oksigen 100% melalui tabung endotraceal.

2.) Dantrolene (dantrium), 1-2 mg / kg IV. Ini dapat diulang setiap 5-10 menit

untuk dosis total 10 mg / kg. Setiap vial dantrolene untuk IVdiencerkan

dengan menambahkan 60 ml injeksi cairan untuk infus

3.) IV administrasi bikarbonat (2 sampai 4 mEq / kg) untuk mengoreksi

asidosis metabolik

29

Page 30: Referat Anes Komplikasi

4.) Langkah-langkah cepat untuk mengontrol suhu dengan pendinginan

eksternal dan internal yang cepat

a. eksternal metode pendinginan, dengan menutupi pasien dengan es

dan/atau menggunakan selimut dingin

b. metode pendinginan internal, termasuk infus yang cepat IV cairan dingin

c. IV obat-obatan diuretic

d. IV procainamide (1 gr diencerkan dalam 500 ml NaCl)

e. Hiperkalemia ditatalaksana menggunakan dextrose dengan insulin

II.9 Reaksi alergi obat

Anafilaksis

Reaksi alergi antigen – antiodi ( hipersenstifitas tipe 1) reaksi dimulai

pengikatan antigen immunoglobulin E pad permukaan el mast dan basofil,

menyebabkan pengeluaran mediator kimia termasuk leukotrien, histamine,

protsglanding, kinin, platelet activating faktor.

Manifestasi :

- Kardivaskular : hipotensi, takikardi, disritmia

- Pulmo : broncospase, batuk, dispneu, edeapulmonary, edema laring,

hipoksemiaologi

- Dermatologi : urtika, pruritusm facial edema

Penanganan :

Terapi awal : Jauhi allergen, Oksigen 100 %, Cairan intravena 1-5 liter LR,

Epinephrine (10-100 mcg IV bolus untuk hipotensi, 0.1-0.5 mg

IV untuk kolaps cardiovascular)

Penanganan sekunder : Antihistamin intra vena, Epinephrine 2-4 mcg/min,

norepinephrine 2-4 mcg/min, Aminophylline 5-6 mg/kg IV

setelah 20 menit, 1-2 grams methylprednisolone atau 0.25-1 gm

hydrocortisone.55. Sodium bicarbonate 0.5-1 mEq/kg.66.

Evaluasi jalan napas (sebelumnya ekstubasi).

30

Page 31: Referat Anes Komplikasi

BAB III

KESIMPULAN

1. Komplikasi anestesi dapat terjadi selama proses pembiusan dan setelah

pembiusan. Teknik dari pembiusan baik regional maupun umum juga

berpotensi mengakibatkan komplikasi.

2. Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi

anestesi, yaitu usia, jenis kelamin, obesitas, faktor individual,

premedikasi, teknik dan obat anestesi serta jenis dari operasinya.

3. Komplikasi selama anestesi yaitu:

a. respirasi : obstruksi jalan nafas, respirasi abnormal, batuk, apnea,

singultus, spasme (laryngospasm, bronchospasm)

b. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, emboli, disritmia sampai

cardiac arrest

c. Thermic : hypothermia, hyperthermia

d. Kesadaran selama operasi

4. Komplikasi Pasca Anestesi, yaitu :

a. Respirasi : atelectase, pneumothorax, hiccup, aspirasi

pneumonitis

b. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, decompensatio cordis

c. Mata : laserasi kornea, blepharospasm

d. Cairan tubuh : hipovolemia, hipervlemia

e. Neurologi : kejang, bangun lambat, trauma syaraf perifer

f. Mengigil

g. Malignant hyperthermia

h. Mimpi buruk, gaduh-gelisah

i. Muntah

31