referat anes

Upload: aliqprasetiyo

Post on 13-Jan-2016

251 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

vvv

TRANSCRIPT

6

BAB I

PENDAHULUAN

Airway management atau manajemen jalan nafas menjadi salah satu bagian terpenting dalam suatu tindakan anestesi, karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan nafas berjalan dengan baik. Bila terjadi henti nafas primer, jantung dapat terus memompa darah selama beberapa menit dan sisa O2 yang ada dalam paru dan darah akan terus beredar ke dalam otak dan organ vital lain. Penanganan dini pada pasien dengan henti nafas atau sumbatan jalan nafas dapat mencegah henti jantung. Bila terjadi henti jantung primer, O2 tidak beredar dan O2 yang tersisa dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik.

Tugas terpenting dari ahli anestesiologi adalah manajemen jalan nafas pasien. Data morbiditas dan mortalitas yang telah dipublikasikan menunjukkan dimana kesulitan dalam menangani jalan nafas dan kesalahan dalam tatalaksananya justru akan memberikan hasil akhir yang buruk bagi pasien tersebut. Penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas yang normal adalah kunci penting dalam penanganan pasien. Pada pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit penting untuk dilakukan penanganan.

Prinsip manajemen jalan nafas secara garis besar adalah aplikasi untuk semua situasi klinis dimana kemungkinan berkembangnya respirasi yang tidak adekuat. Dalam laporan ini akan menerangkan anatomi dari saluran nafas atas, menguraikan alat-alat yang diperlukan, teknik, dan mendiskusikan komplikasi dari laringoskopi, intubasi, dan ekstubasi. Keamanan pasien tergantung dari pemahaman menyeluruh dari setiap topik-topik ini.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Jalan Nafas

Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang menuju nasofaring (pars nasalis) dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis). Kedua bagian ini dipisahkan oleh palatum durum dan palatum mole dan di bagian belakang bersatu di hipofaring (Gambar 1). Hipofaring menuju esofagus dan laring yang dipisahkan oleh epiglotis menuju trakea. Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi dengan menutup glotis-gerbang laring pada saat menelan. Laring adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9 kartilago diantaranya kartilago tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan kuneiformis.4

Gambar 1. Anatomi Jalan Nafas

Hidung

Jalan nafas yang normal secara fungsional dimulai dari hidung. Hidung mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu menghangatkan dan melembabkan (humidifikasi) udara yang masuk melalui hidung. Hidung adalah jalan utama pada pernafasan normal jika tidak ada obstruksi oleh polip atau infeksi saluran nafas atas. Selama bernafas secara normal, tahanan aliran udara yang melewati hidung sejumlah hampir dua per tiga dari total tahanan jalan nafas. Tahanan yang melalui hidung adalah hampir dua kali bila dibandingkan melalui mulut. Ini menjelaskan mengapa pernafasan mulut digunakan ketika aliran udara tinggi dibutuhkan seperti pada saat aktivitas berat.

Inervasi sensoris pada mukosa berasal dari dua divisi nervus trigeminal. Nervus ethmoidalis anterior menginervasi pada septum anterior, dinding lateral, sedangkan pada area posterior di inervasi oleh nervus nasopalatina dari ganglion sphenopalatina. Anestesi lokal dengan topikal cukup efektif memblokade nervus ethmoidalis anterior dan nervus maksila bilateral.3Faring

Faring meluas dari bagian belakang hidung turun ke kartilago krikoid berlanjut sampai esofagus. Bagian atas atau nasofaring dipisahkan dengan orofaring dibawahnya oleh jaringan palatum mole. Lidah adalah sumber dari obstruksi pada orofaring, biasanya karena menurunnya tegangan muskulus genioglosus, yang pada saat berkontraksi berfungsi menggerakkan lidah kedepan selama inspirasi dan juga berfungsi untuk dilatasi faring.3Laring

Laring terletak pada level columna vertebra servikalis 3 sampai 6, meliputi organ fonasi dan katup yang melindung jalan nafas bawah dari isi traktus digestifus. Strukturnya terdiri dari otot, ligamen dan kartilago,termasuk tiroid, krikoid, aritenoid, kornikulata dan epiglotis. Epiglotis merupakan sebuah kartilago fibrosa dan memiliki lapisan membran mukus dan juga merupakan lipatan glosoepiglotis pada permukaan faring dan lidah. Pada bagian yang tertekan disebut velecula. Velecula adalah tempat diletakkannya ujung blade laringoskop Macinthos. Epiglotis menggantung pada bagian dalam laring dan tidak dapat melindungi jalan nafas selama edema.

Korda vokalis yang sesungguhnya berwarna pucat, putih, struktur ligamen melekat pada sudut tiroid bagian belakang. Celah triangular antara korda vokalis saat glotis terbuka merupakan segmen tersempit pada orang dewasa. Pada anak kurang dari 10 tahun, bagian tersempit adalah dibawah plika vocalis pada level setinggi cincin krikoid.

Panjang rata-rata pembukaan glotis sekitar 23 mm pada laki-laki 17 mm pada wanita. Lebar glotik adalah 6-9 mm tapi dapat direntangkan sampai 12 mm. Penampang melintang glotis sekitar 60 100 mm2.

Otot-otot pada laring dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu abduktor, adduktor, dan regulasi tegangan. Seluruh inervasi motorik dan sensorik pada otot-otot laring berasal dari dua cabang nervus vagus yaitu nervus superior dan rekuren laring.3Trakea

Trakea adalah sebuah struktur berbentuk tubulus yang terletak setinggi columna vertebra servikalis pada level kartilago tiroid. Trakea mendatar pada bagian posterior, panjang sekitar 10 15 cm, didukung oleh 16 20 tulang rawan yang berbentuk tapal kuda sampai bercabang menjadi dua atau bifurkasio menjadi brokus kanan dan kiri pada thorakal 5 kolumna vertebaralis. Luas penampang melintang lebih besar dari glotis, antara 150 300 mm2.

Beberapa tipe reseptor pada trakea, sensitif terhadap stimulus mekanik dan kimia. Respon cepat reseptor iritan yang berada pada seluruh permukaan trakea berfungsi sebagai reseptor batuk dan mengandung reflek bronkokontriksi.3Persarafan dan Vaskularisasi

Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial (gambar 2). Membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi ophthalmic (V1) saraf trigeminal (saraf ethmoidalis anterior) dan di bagian posterior oleh divisi maxila (V2) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat serabut saraf sensori dari saraf trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan superior dan inferior dari palatum mole dan palatum durum. Saraf lingual (cabang dari saraf divisi mandibula (V3) saraf trigeminal) dan saraf glosofaringeal (saraf kranial yang ke 9) untuk sensasi umum pada dua pertiga bagian anterior dan sepertiga bagian posterior lidah. Cabang dari saraf fasialis (VII) dan saraf glosofaringeal untuk sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf glosofaringeal juga mempersarafi atap dari faring, tonsil dan bagian dalam palatum mole. Saraf vagus (saraf kranial ke 10) untuk sensasi jalan nafas dibawah epiglotis. Saraf laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf vagus dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang bersifat motoris dan saraf laringeus internal yang bersifat sensoris untuk laring antara epiglotis dan pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal rekuren, mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakhea.

Gambar 3. Persarafan Sistem Jalan Nafas Atas

Otot laring dipersarafi oleh saraf laringeal rekuren (cabang dari saraf laringeal superior) dengan pengecualian otot krikotiroid, yang dipersarafi oleh saraf laringeal externa (motoris). Otot krikotiroid posterior mengabduksi pita suara, seraya otot krikoaritenoid lateral adalah adduktor utama.

Fonasi merupakan kerja yang simultan dari beberapa otot laring. Kerusakan saraf motoris yang mempersarafi laring, menyebabkan gangguan bicara. Gangguan persarafan unilateral dari otot krikotiroid menyebabkan gangguan klinis. Kelumpuhan bilateral dari saraf laringeal superior bisa menyebabkan suara serak atau suara lemah, tapi tidak membahayakan kontrol jalan nafas.

Paralisis unilateral dari saraf laringeal rekuren menyebabkan paralisis dari pita suara ipsilateral, menyebabkan kemunduran dari kualitas suara. Pada saraf laringeal superior yang utuh, kerusakan akut saraf laringeal rekuren bilateral dapat menyebabkan stridor dan distress pernafasan karena masih adanya tekanan dari otot krikotiroid. Jarang terdapat masalah jalan nafas pada kerusakan kronis saraf laringeal rekuren bilateral karena adanya mekanisme kompensasi (seperti atropi dari otot laringeal).

Kerusakan bilateral dari saraf vagus mempengaruhi kedua saraf laringeal rekuren dan superior. Jadi, denervasi vagus bilateral menyebabkan pita suara flasid dan midposisi mirip seperti setelah pemberian suksinilkolin. Walaupun fonasi terganggu berat pada pasien ini, kontrol jalan nafas jarang jadi masalah.

Pasokan darah untuk laring berasal dari cabang arteri tiroidea. Arteri krikoaritenoid berasal dari arteri tiroidea superior itu sendiri, cabang pertama dari arteri carotid eksterna dan menyilang pada membran cricotiroid bagian atas, yang memanjang dari kartilago krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroidea superior ditemukan sepanjang tepi lateral dari membran krikotiroid.

2.2. Obstruksi Jalan Nafas Atas

Obstruksi jalan nafas atas dapat berupa total atau parsial. Obstuksi jalan nafas parsial ditandai oleh:

1. Stridor (nafasnya berbunyi), terdengar seperti ngorok,bunyi kumur-kumur atau melengking.

2. Retraksi otot dada ke dalam di daerah supraklavikular, suprasternal, interkosta, dan epigastrium selama inspirasi

3. Nafas paradoksal ( pada waktu inspirasi dinding dada menjadi cekung/datar, bukan mengembang)

4. Balon cadangan pada mesin anestesi kembang-kempisnya lemah.

5. Nafas makin berat dan sulit.

6. Sianosis.

Obstruksi jalan nafas total ditandai oleh:

1. Retraksi lebih jelas

2. Gerakan paradoksal lebih jelas

3. Kerja otot nafas tambahan meningkat dan makin jelas

4. Balon cadangan tidak kembang-kempis lagi

5. Sianosis lebih cepat timbul.

Penatalaksanaan obstruksi jalan nafas atas tergantung dari penyebabnya, disebabkan oleh obstruksi jaringan lunak, tumor, benda asing atau spasme laring. Paling sering disebabkan oleh berkurangnya jarak antara dinding faring dengan dasar lidah karena relaksasinya otot lidah dan rahang. Obstruksi mungkin terjadi karena benda asing seperti gigi palsu. Tidak adanya benda asing, aliran udara dapat dikembalikan dengan mencegah rahang jatuh kebelakang, gerakan kedepan dengan memanfaatkan jari tengah dan telunjuk di belakang sudut mandibula. Leher penderita dapat diektensikan ringan untuk memperoleh jalan nafas yang optimal. Ektensi leher dan menggerakkan mandibula ke anterior, tulang hyoid ke depan, pengangkatan epiglotis untuk menjamin lapangnya bagian dalam laring. Jika occiput diangkat kedepan (sniffing position), berkurangnya ekstensi dibutuhkan untuk mendapatkan jalan nafas yang lapang. Obstruksi pada orofaring dapat juga terjadi oleh peningkatan tekanan orofaring dari inflasi manual dengan ambubag. Satu perhatian pada inflasi manual pada paru-paru tanpa intubasi trakea adalah potensial terjadi insuflasi gaster. Hubungan antara tekanan dan masuknya udara kedalam gaster telah diteliti pada pasien yang tidak sadar atau paralisis. Inflasi gaster jarang terjadi ketika digunakan tekanan kurang dari 15-20 cm H2O, secara umum tekanan berkaitan dengan volume tidal melebihi 1 liter.

Kemampuan yang dibutuhkan ahli anestesiologi adalah kemampuan memperbaiki obstruksi jalan nafas pada pasien tidak sadar atau teranestesi. Keadaan ini sering terjadi dan harus cepat diketahui dan dikoreksi dengan beberapa cara, diantaranya manuver tripel jalan nafas (triple airway manuever), pemasangan alat jalan nafas (pharyngeal airway), pemasangan alat jalan nafas sungkup laring (laryngeal mask airway), pemasangan pipa trakea (endotracheal tube).32.3. Fisiologi dan Proteksi Jalan Nafas

Faring, epiglotis, dan korda vokalis memainkan peranan penting dalam melindungi jalan nafas bawah dari aspirasi benda asing dan sekret. Meskipun epiglotis menutupi pintu laring, ini tidak memberikan perlindungan yang absolut untuk jalan nafas bawah. Paling penting dalam fungsi perlindungan adalah refleks penutupan glotis dimana laring menutup selama deglutition (menelan). Refleks fisiologis berlebihan ini atau spasme laring bersifat kontra produktif terhadap respirasi. Spasme laring merupakan pemanjangan intensitas penutupan glotis sebagai respon langsung dari stimulus langsung glotis atau supra glotis dari agen inhalasi, sekret atau benda asing dan hal ini bisa menyebabkan korda vokalis menutup sebagian atau seluruhnya. Terapi yang dapat dilakukan:

1. Manuver tripel jalan nafas

2. Ventilasi tekanan positif dengan oksigen 100%

3. Pelumpuh otot, suksinil 0,5 mg/kgBB i.v,i.m deltoid, sublingual 2-4mg/kgBB.32.4 Manajemen Jalan Nafas

Triple Airway ManueverTriple airway manuever terdiri dari:

1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital (head tilt)

2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibular (jaw thrust)

3. Mulut dibuka (chin lift)5

Gambar 5. Triple Airway ManueverOral & Nasal AirwayHilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya kelemahan dari otot genioglosus) pada pasien yang dianestesi menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior faring. Mengubah posisi kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang disukai untuk membebaskan jalan nafas. Untuk mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan (artificial airway) dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk menimbulkan adanya aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian posterior (Gambar 5). Pasien yang sadar atau dalam anestesi ringan dapat terjadi batuk atau spasme laring pada saat memasang jalan nafas artifisial bila refleks laring masih ada. Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan penekanan refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah dengan spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran kecil (80 mm/Guedel No 3), medium (90 mm/Guedel no 4), dan besar (100 mm/Guedel no 5).Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang hidung ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway. Disebabkan adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan pada pasien yang diberi antikoagulan atau anak dengan adenoid. Nasal airway juga jangan digunakan pada pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa yang dimasukkan melalui hidung (nasal airway, nasogastric tube, nasotracheal tube) harus dilubrikasi. Nasal airway lebih ditoleransi daripada oral airway pada pasien dengan anestesi ringan.4Face Mask Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas anestesi dari sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan rapat (Gambar 7). Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien. Orifisium face mask dapat disambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui konektor. Tersedia berbagai bentuk face mask. Face mask yang transparan dapat mengobservasi uap gas ekspirasi dan muntahan. Face mask yang dibuat dari karet berwarna hitam cukup lunak untuk menyesuaikan dengan bentuk muka yang tidak umum. Retaining hook dipakai untuk mengaitkan face mask ke kepala sehingga face mask tidak perlu terus dipegang.

Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face mask yang rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat dapat menyebabkan reservoir bag kempis walaupun katupnya ditutup, hal ini menunjukkan adanya kebocoran sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan aliran pernafasan yang tinggi dengan pergerakan dada dan suara pernafasan yang minimal menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.

Gambar 7. Face Mask

Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan untuk melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras breathing bag. Face mask dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada badan face mask dengan ibu jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik mandibula untuk ekstensi sendi atlantooccipital. Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan pada jaringan lunak yang menopang dasar lidah karena dapat terjadi obstruksi jalan nafas. Jari kelingking ditempatkan dibawah sudut jaw dan digunakan untuk jaw thrust manuver yang paling penting untuk dapat melakukan ventilasi pasien.

Gambar 8. Manajemen dalam Kesulitan Jalan Nafas

Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw thrust yang adekuat dan face mask yang rapat. Karena itu diperlukan seorang asisten untuk memompa. Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan karena tekanan kuat dari face mask atau efek ball-valve dari jaw thrust. Terkadang terdapat kesulitan pemasangan face mask yang rapat ke muka. Membiarkan pasien memakai gigi palsu tidak dianjurkan maka dari itu untuk mengatasi kesulitan dilakukan dengan memasukkan gulungan kasa ke rongga mulut mungkin dapat menolong. Ventilasi tekanan normalnya jangan melebihi 20 cm H2O untuk mencegah masuknya udara ke lambung.

Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan oral atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang nervus trigeminal atau fasial. Apabila face mask dan ikatan mask digunakan dalam jangka lama maka posisi harus sering diubah untuk menghindari cedera. Hindari tekanan pada mata dan mata harus diplester untuk menghindari resiko aberasi kornea.4Laryngeal Mask Airway (LMA)

Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face mask dan tracheal tube (TT) selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan TT pada pasien dengan kesulitan jalan nafas, untuk membantu ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic dan pemasangan bronkoskop. LMA memiliki kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan jalan nafas dibandingkan combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan: LMA yang dapat dipakai ulang, LMA yang tidak dapat dipakai ulang, ProSeal LMA yang memiliki lubang untuk memasukkan pipa nasogastrik dan dapat digunakan ventilasi tekanan positif, dan Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan jalan nafas yang sulit.

Gambar 9. LMA

LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15 mm, dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan ke hipofaring, lalu dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara laring. Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk memasukan oral airway. Walaupun pemasangannya relatif mudah, namun perlu perhatian khusus untuk menentukan keberhasilan.

Posisi ideal dari balon adalah dasar lidah di bagian superior, sinus pyriforme di lateral, dan spincter esofagus bagian atas di inferior. Jika esofagus terletak di rim balon, distensi lambung atau regurgitasi masih mungkin terjadi. Kelainan bentuk anatomi membuat fungsi LMA menjadi tidak adekuat pada beberapa pasien, akan tetapi, jika LMA tidak berfungsi semestinya dan setelah diperbaiki masih tidak baik, kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Dikarenakan penutupan oleh epiglotis atau ujung balon merupakan penyebab kegagalan terbanyak, maka memasukkan LMA dengan penglihatan secara langsung dengan laringoskop atau bronchoskop fiberoptik (FOB) menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian juga, sebagian balon dikembangkan sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa di plester seperti halnya penggunaan TT. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak terhadap regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada tempatnya sampai refleks jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai dengan batuk atau membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai lagi, dapat di autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan tersedia dalam berbagai ukuran.

Tabel 5. Berbagai ukuran LMA

LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT. Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O.

Dahulu LMA dihindari pada pasien dengan bronkhospasme atau resistensi jalan nafas tinggi, akan tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan bahwa karena tidak ditempatkan dalam trakea, penggunaan LMA dihubungkan dengan kejadian bronchospasme lebih berkurang dari pada dengan TT. Walaupun hal ini nyata tidak sebagai penganti untuk intubasi trakea, LMA membuktikan sangat membantu terutama pada pasien dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah untuk memasangnya dan angka keberhasilannya relatif besar (95-99%). LMA telah digunakan sebagai pipa untuk jalur stylet ( gum elastik, bougie), ventilasi jet stylet, fleksibel FOB, atau TT diameter kecil (6,0 mm).

Tersedia LMA yang telah dimodifikasi untuk memfasilitasi penempatan TT yang lebih besar dengan atau tanpa menggunakan FOB. Pemasukannya dapat dilakukan dibawah anestesi topikal dan blok saraf laringeal bilateral jika jalan nafas harus bebas seraya pasiennya sadar.4Esophageal Tracheal Combitube (ETC)Pipa kombinasi esophagus tracheal (ETC) terbuat dari gabungan 2 pipa, masing-masing dengan konektor 15 mm pada ujung proksimalnya. Pipa biru yang lebih panjang ujung distalnya ditutup. Pipa yang transparan berukuran yang lebih pendek mempunyai ujung distal yang terbuka dan tidak ada sisi yang bocor. ETC ini biasanya dipasangkan melalui mulut dan dimasukkan sampai 2 lingkaran hitam pada batang batas antara gigi atas dan bawah. ETC mempunyai 2 balon untuk dikembangkan, 100 ml untuk balon prosikmal dan 15 ml untuk balon distal, keduanya harus dikembangkan secara penuh setelah pemasangan.

Pipa bening yang lebih pendek dapat digunakan untuk dekompresi lambung. Meskipun pipa kombinasi masih menjadi pilihan untuk manajemen jalan nafas yang sulit dalam algoritma Advanced Cardiac Life Support, biasanya jarang digunakan oleh dokter anestesi yang lebih suka memakai LMA atau alat lain untuk penanganan pasien dengan jalan nafas yang sulit.4Tracheal Tube (TT)TT digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke dalam trakea dan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi. Pabrik menentukan standar TT (American National Standards for Anesthetic Equipment; ANSI Z-79). TT kebanyakan terbuat dari polyvinylchloride. Pada masa lalu, TT diberi tanda IT atau Z-79 untuk indikasi ini telah dicoba untuk memastikan tidak beracun. Bentuk dan kekakuan dari TT dapat diubah dengan pemasangan mandrin. Ujung pipa diruncingkan untuk membantu penglihatan dan pemasangan melalui pita suara. Pipa Murphy memiliki sebuah lubang (mata Murphy) untuk mengurangi resiko sumbatan pada bagian distal tube bila menempel dengan carina atau trakea.

Tahanan aliran udara terutama tergantung dari diameter pipa, tapi ini juga dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya. Ukuran TT biasanya dipola dalam milimeter untuk diameter internal atau yang tidak umum dalam scala Prancis (diameter external dalam milimeter dikalikan dengan 3). Pemilihan pipa berdasarkan hasil kesepakatan antara memaksimalkan flow dengan pipa ukuran besar dan meminimalkan trauma jalan nafas dengan ukuran pipa yang kecil.

Tabel 6. Ukuran Orotracheal Tube

Kebanyakan TT dewasa memiliki sistem pengembangan balon yang terdiri dari katup, balon petunjuk (pilot balloon), pipa pengembangan balon, dan balon (cuff). Katup mencegah udara keluar setelah balon dikembangkan. Balon penunjuk memberikan petunjuk kasar dari balon yang dikembangkan. Inflating tube dihubungkan dengan klep (katup),setelah membuat trakea rapat, kemudian dilakukan ventilasi tekanan positif dan dapat mengurangi kemungkinan aspirasi. Pipa yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk anak-anak untuk meminimalkan resiko dari cedera karena tekanan dan post intubasi croup.

Gambar 10. Tracheal Tube

Ada 2 tipe balon TT yaitu balon dengan tekanan tinggi volume rendah dan tekanan rendah volume tinggi. Balon tekanan tinggi dikaitkan dengan besarnya iskemia mukosa trakea dan kurang nyaman untuk intubasi pada waktu lama. Balon tekanan rendah dapat meningkatkan kemungkinan nyeri tenggorokan, aspirasi, ekstubasi spontan, dan pemasangan yang sulit ( karena adanya floppy cuff). Meskipun demikian, karena insiden kerusakan mukosa rendah, balon tekanan rendah lebih dianjurkan.

Tekanan balon tergantung dari beberapa faktor: volume pengembangan, diameter balon yang berhubungan dengan trakea, trakea dan komplians balon, serta tekanan intratorak (tekanan balon dapat meningkat pada saat batuk). Tekanan balon dapat meningkat selama anetesi umum sebagai hasil dari difusi dari N2O dari mukosa trakea ke balon TT.4Rigid Laryngoscope

Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk intubasi trakea. Handle biasanya berisi baterai untuk cahaya bola lampu pada ujung blade. Cahaya dari fiberoptic bundle tertuju langsung dan tidak tersebar.

Gambar 11. Rigid LaryngoscopeLaringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat digunakan diruang MRI. Blade Macintosh berbentuk lengkung biasa digunakan untuk bayi, anak-anak dan dewasa sedangkan blade Miller berbentuk lurus biasanya untuk anak besar-dewasa. Pemilihan dari blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien.4

Gambar 12. Laryngoscope BladeLaringoskop Khusus

Dalam 15 tahun terakhir, terdapat 2 laringskop baru yang telah dibuat, untuk membantu dokter anestesi menjamin jalan nafas pada pasien dengan jalan nafas yang sulit- laringokop Bullard dan laringoskop Wu.

Gambar 13. A. Laryngoscope Bullard B. Laryngoskope WuKeduanya memiliki sumber cahaya fiberoptic dan blade yang melengkung dengan ujung yang panjang yang berfungsi untuk membantu melihat muara glotis pada pasien dengan lidah besar atau yang memiliki muara glotis sangat anterior. Banyak dokter anestesi percaya bahwa alat ini untuk mengantisipasi pasien yang memiliki jalan nafas sulit. Meskipun begitu, seperti halnya alat-alat lain yang digunakan jalan nafas pasien, pengalaman penggunaannya harus dilakukan pada pasien normal sebelum digunakan pada saat penting dan emergensi pada pasien dengan jalan nafas sulit.4Teknik Laringoskopi dan IntubasiIndikasi IntubasiPemasangan TT merupakan bagian rutin dari pemberian anestasi umum. Intubasi bukan prosedur bebas resiko, tidak semua pasien dengan anestesi umum memerlukan intubasi, tetapi TT dipasang untuk proteksi, dan untuk akses jalan nafas. Secara umum, intubasi diindikasikan untuk pasien yang memiliki resiko untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut atau kepala dan leher.4Persiapan untuk Intubasi

Persiapan untuk intubasi biasanya disingkat dengan STATICS:

Scope: Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop, untuk pemeriksaan laring dan intubasi trakea.

Tubes: Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia 5 tahun dengan balon (cuff).

Airway: Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (nasotracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah pada saat pasien tidak sadar untuk menjaga lidah agar tidak menyumbat jalan nafas.

Tape: Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut.

Introducer: Mandrin atau stilet dari kawat yang dibungkus plastic (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu agar pipa trakea mudah dimasukkan.

Connector: Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia.

Suction: Penyedot lendir, ludah, dan lain-lain.5Sistem inflasi cuff pipa dapat dites dengan mengembangkan balon dengan menggunakan spuit 10 ml. Pemeliharaan tekanan balon menjamin balon tidak mengalami kebocoran dan katup berfungsi. Beberapa dokter anestesi memotong TT untuk mengurangi panjangnya dengan tujuan untuk mengurangi resiko dari intubasi bronchial. Konektor harus ditekan sedalam mungkin untuk menurunkan kemungkinan terlepas, sedangkan mandrin digunakan harus dimasukan ke dalam TT dan ini ditekuk menyerupai stik hoki. Blade harus terkunci di atas handle laringoskop dan bola lampu dicoba terlebih dahulu untuk melihat berfungsi atau tidak. Intensitas cahanya harus tetap walaupun bola lampu bergoyang. Jika sinyal cahaya berkedap kedip karena lemahnya hubungan listrik, ini merupakan tanda untuk mengganti baterai. Extra blade, handle, TT (1 ukuran lebih kecil atau lebih besar) dan mandrin harus disediakan. Suction diperlukan untuk membersihkan jalan nafas pada kasus dimana sekresi jalan nafas tidak diinginkan, darah, atau muntah.

Gambar 14. Tracheal Tube dengan Stilet (Mandrin)

Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala pasien harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk mencegah ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama laringoskopi. Rigid laringoskop memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis langsung untuk melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang (sekitar 5-10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari sendi atlanto-ocipital menempatkan pasien pada posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari tulang leher berbentuk fleksi dengan menepatkan kepala diatas bantal.

Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin. Preoksigenasi dengan beberapa (4 dari total kapasitas paru paru) kali nafas dalam dengan 100% oksigen memberikan ekstra margin of safety pada pasien yang tidak mudah diventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat tidak dilakukan pada pasien yang mau di face mask, yang bebas dari penyakit paru, dan yang tidak memiliki jalan nafas yang sulit.

Gambar 15. Sniffing Position dan Intubasi dengan menggunakan Blade Macintosh

Pada anestesi umum terjadi hilangnya refleks proteksi kornea sehingga perlindungan harus dilakukan selama periode ini, tidak boleh ada cedera pada mata pasien dengan terjadi abrasi kornea tanpa disengaja. Oleh karena itu mata rutin direkat dengan plester, walaupun telah diberi petrolum atau salep mata.4,52. Intubasi Orotracheal

Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar, blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade. Puncak dari lengkung blade biasanya di masukan ke dalam vallecula, dan ujung blade lurus menutupi epiglotis. Dengan blade lain, handle diangkat dan jauh dari pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade dan pengungkitan dari gigi harus dihindari. TT diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Balon TT harus berada dalam trakea bagian atas tapi diluar laring. Langingoskop ditarik dengan hati- hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon dikembangkan dengan sedikit udara yang dibutuhkan untuk tidak adanya kebocoran selama ventilasi tekanan positif, untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trakea.

Gambar 16. Tampakan Glottis Selama Laringoskopi dengan Menggunakan Blade Lengkung

Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan capnogragraf dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratracheal. Jika terdapat keraguan apakah pipa dalam esofagus atau trakea, ETT dicabut kembali dan ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya,jika sudah yakin, pipa diplester atau diikat untuk mengamankan posisi. Walaupun deteksi kadar CO2 dengan capnograf yang merupakan konfirmasi terbaik dari letak TT di trakea, tapi tidak dapat mengecualikan intubasi bronchial. Manifestasi dini dari intubasi bronkhial adalah peningkatan tekanan respirasi puncak. Balon jangan ada diatas level kartilago cricoid, karena lokasi intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak pada post operasi dan meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi dada, tapi ini jarang dilakukan kecuali dalam ICU. Intubasi melalui mulut ini biasanya kurang ditoleran pada pasien yang sadar.

Kegagalan intubasi jangan diikuti dengan pengulangan usaha karena hasilnya akan sama. Perubahan harus dilakukan meningkatkan keberhasilan, seperti mengatur kembali posisi pasien, penurunan ukuran pipa, pemasangan mandrin, memilih blade yang berbeda, mencoba lewat hidung atau meminta bantuan dokter anestesi lainnya. Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan face mask, pilihan pengelolaan jalan nafas yang lain (contoh LMA, combitube, cricotirotomi dengan jet ventilasi, tracheostomi). Petunjuk yang dikembangkan oleh ASA untuk penanganan jalan nafas yang sulit, termasuk algoritma rencana terapi.4Intubasi Nasotracheal

Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa TT masuk lewat hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih gampang. Tetes hidung phenylephrine (0,5 0,25%) menyebabkan pembuluh vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Akan tetapi, pemberian tetes hidung phenyleprine yang berlebihan dapat menimbulkan hipertensi, takikardi dan lain lain. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan blok saraf dapat digunakan.

TT yang telah dilubrikasi dengan jeli yang larut dalam air, dimasukkan dipergunakan didasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel TT disisi lateral jauh dari turbin. Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal dari TT harus ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga ujungnya terlihat di orofaring, laringoskop, digunakan adduksi pita suara. Seringnya ujung distal dari TT dapat dimasukan pada trakea tanpa kesulitan. Jika ditemukan kesulitan memasukkan ujung pipa menuju pita suara mungkin difasilitasi dengan forcep Magil, yang dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusakkan balon. Memasukkan TT melalaui hidung atau pemasangan kateter nasogastrik berbahaya pada pasien dengan trauma wajah yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke intrakranial.4Teknik Ekstubasi

Keputusan untuk memindahkan TT ini adalah bagian dan seni anestesiologi yang berkembang dengan pengalaman. Ini hal penting dalam praktek karena banyak komplikasi timbul selama ekstubasi dan segera setelahnya dibandingkan dengan setelah intubasi. Secara umum, ekstubasi paling baik dilakukan ketika pasien dalam keadaan teranestesi dalam atau sadar. Pada beberapa kasus, pemulihan dari obat neuromuskuler blok harus adekuat sebelum ekstubasi.

Ektubasi saat anestesi dangkal (keadaan antara anestesi dalam dan sadar) harus dihindari karena meningkatkan resiko laringospasme. Perbedaan antara anestesi dalam dan anestesi dangkal terlihat biasanya pada setiap reaksi terhadap tindakan suction (misalnya tahan nafas, batuk) merupakan tanda dari anestesi dangkal, sedangkan bila tidak ada reaksi disebut dalam keadaan anestesi dalam. Buka mata atau melakukan gerakan sesuai perintah menunjukkan pasien telah sadar.

Ekstubasi pada pasien sadar biasanya disertai batuk. Reaksi ini meningkatkan denyut jantung, tekanan intrakranial, tekanan intraokuli, tekanan vena central, tekanan arteri. Hal ini dapat juga menyebabkan luka operasi terbuka dan berdarah kembali. Adanya TT pada pasien asma dapat mencetuskan terjadinya bronkospasme. Walaupun konsekuensi ini dapat menurun dengan pemberian lidokain 1,5 mg/kg intravena 1-2 menit sebelum suction dan ekstubasi, ekstubasi dalam anestesi yang dalam mungkin lebih baik pada pasien tidak dapat mentolerir efek ini. Sebaliknya, ekstubasi mungkin kontra indikasi pada pasien dengan resiko untuk aspirasi atau pada orang yang jalan nafasnya sulit untuk dikontrol setelah ekstubasi.

Tanpa membedakan apakah ekstubasi dilakukan saat pasien dalam anestesi dalam atau sudah sadar, faring pasien harus dibersihkan sebelum ekstubasi untuk mengurangi resiko terjadinya aspirasi atau spasme laring. Pasien harus diventilasi dengan O2 100% pada kasus dimana jalan nafas sulit dikendalikan setelah ekstubasi. Tepat sebelum ekstubasi, ETT dilepaskan dari plester dan balon dikempiskan. ETT diangkat dalam sekalai tarikan dengan gerakan yang halus dan kemudian diberikan O2 100% melalui face mask sampai pasien stabil dan dibawa ke ruang pemulihan. Di beberapa pusat pendidikan, oksigen melalui face mask tetap diberikan selama transportasi.4Komplikasi laringoskopi dan intubasi

Komplikasi laringoskopi dan intubasi termasuk hipoksia, hiperkarbia, trauma gigi dan jalan nafas, posisi ETT yang salah, respons fisiologi, atau malfungsi ETT. Komplikasi-komplikasi ini dapat terjadi selama laringoskopi atau intubasi, saat ETT dimasukkan, dan setelah ekstubasi.4BAB III

KESIMPULAN

Penyebab utama kesulitan bernafas pasien tidak sadar adalah hilangnya tonus otot tenggorokan sehingga pangkal lidah jatuh menyumbat faring dan epiglotis menutup laring. Bila pasien masih bernafas sumbatan partial menyebabkan bunyi nafas saat inspirasi bertambah (stridor), sianosis (tanda lanjut) dan retraksi otot nafas tambahan. Tanda ini akan hilang pada pasien yang tidak bernafas. Keadaan ini sering terjadi, bila terjadi dapat di koreksi dengan beberapa cara : Manuver triple jalan nafas (triple airway manuver), pemasangan alat jalan nafas faring (pharyngeal airway), pemasangan sungkup laring (laringeal mask airway), pemasangan pipa trakea (endotracheal tube). Tujuan dilakukan nya manajemen jalan nafas atau intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien.DAFTAR PUSTAKA

1. Barrash et al. 2006. Clinical Anesthesia, 5th Edition. Lippincott Williams & Wilkins: United State.

2. Magboul, M. Ali. 2004. The Dilemma of Airway Assessment and Evaluation. The Internet Journal of Anesthesiology, Volume 10 No. 1. (http://ispub.com/IJA/10/1/10460 diakses pada 5 April 2014).

3. Miller, Ronald D. 2005. Millers Anesthesia, 6th Edition. Elsevier Inc. : United State.

4. Morgan GE , Mikhail MS. 2013. Clinical Anesthesiology, 5th Edition. Mc Graw-Hill Companies Inc: United State.

5. Said, A dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.1