pneumonia aspirasi wina yulinda, ermanta n. keliat, alwinsyah

23
1 PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Zuhrial Zubir Divisi Pulmonologi dan Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUSU / RSUP Haji Adam Malik Medan 1. Pendahuluan a. Definisi Aspirasi merupakan proses terbawanya bahan yang ada di orofaring maupun isi lambung pada saat respirasi ke saluran napas bawah dan dapat menimbulkan kerusakan parenkim paru. 1,2,3 Pada manusia sehat, aspirasi tidak jarang terjadi dan biasanya membaik tanpa komplikasi karena material yang teraspirasi dibersihkan oleh aktivitas mukosilier dan makrofag alveoli. Kerusakan paru akibat aspirasi tergantung pada volume dan kandungan inokulum serta mekanisme pertahanan inang. 2,3 Pneumonia aspirasi adalah kerusakan paru yang disebabkan oleh masuknya cairan, partikel eksogen, atau sekresi endogen ke dalam saluran napas bawah. Secara konvensional aspirasi pneumonia didefinisikan sebagai infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang kurang virulen, terutama bakteri anaerob, yang biasanya merupakan flora normal pada inang yang rentan mengalami aspirasi. 2 b. Epidemiologi Kebanyakan pneumonia terjadi setelah aspirasi mikroorganisme dari rongga mulut atau nasofaring. 2 Di Amerika Serikat pneumonia aspirasi yang terjadi pada komunitas sebanyak 10%, pneumonia pada pusat perawatan kesehatan 30%, dan pneumonia aspirasi nosokomial sebanyak 800 pasien per 100.000 pasien rawat inap per tahun. Pneumonia aspirasi pada pasien dari fasilitas kesehatan jangka panjang ditemukan 3 kali lipat lebih banyak daripada pneumonia ACC Supervisor dr. Ermanta N. Keliat, Sp.PD-KP Sari Kepustakaan III Divisi Pulmonologi & Alergi Imunologi dr.Wina Yulinda

Upload: phungliem

Post on 31-Dec-2016

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

1

PNEUMONIA ASPIRASI

Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Zuhrial Zubir

Divisi Pulmonologi dan Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam

FKUSU / RSUP Haji Adam Malik Medan

1. Pendahuluan

a. Definisi

Aspirasi merupakan proses terbawanya bahan yang ada di orofaring maupun isi lambung

pada saat respirasi ke saluran napas bawah dan dapat menimbulkan kerusakan parenkim paru.1,2,3

Pada manusia sehat, aspirasi tidak jarang terjadi dan biasanya membaik tanpa komplikasi karena

material yang teraspirasi dibersihkan oleh aktivitas mukosilier dan makrofag alveoli. Kerusakan

paru akibat aspirasi tergantung pada volume dan kandungan inokulum serta mekanisme

pertahanan inang.2,3

Pneumonia aspirasi adalah kerusakan paru yang disebabkan oleh masuknya cairan,

partikel eksogen, atau sekresi endogen ke dalam saluran napas bawah. Secara konvensional

aspirasi pneumonia didefinisikan sebagai infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang kurang

virulen, terutama bakteri anaerob, yang biasanya merupakan flora normal pada inang yang rentan

mengalami aspirasi.2

b. Epidemiologi

Kebanyakan pneumonia terjadi setelah aspirasi mikroorganisme dari rongga mulut atau

nasofaring.2 Di Amerika Serikat pneumonia aspirasi yang terjadi pada komunitas sebanyak 10%,

pneumonia pada pusat perawatan kesehatan 30%, dan pneumonia aspirasi nosokomial sebanyak

800 pasien per 100.000 pasien rawat inap per tahun. Pneumonia aspirasi pada pasien dari

fasilitas kesehatan jangka panjang ditemukan 3 kali lipat lebih banyak daripada pneumonia

ACC Supervisor

dr. Ermanta N. Keliat, Sp.PD-KP

Sari Kepustakaan III

Divisi Pulmonologi & Alergi Imunologi

dr.Wina Yulinda

Page 2: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

2

aspirasi dari komunitas. Mortalitas pneumonia aspirasi komunitas berbanding pneumonia

aspirasi di pusat fasilitas kesehatan adalah 19,4% berbanding 28,4%.1

Penelitian lain melaporkan bahwa 5 – 15 % dari 4,5 juta kasus pneumonia komunitas

(community acquired pneumonia) disebabkan oleh pneumonia aspirasi. Sebuah penelitian

retrospektif melaporkan bahwa angka kematian-30 hari pneumonia aspirasi 21 % dan sedikit

lebih tinggi pada pneumonia aspirasi yang didapat di rumah sakit atau nosokomial (29,7 %).3

Pneumonia aspirasi nosokomial merupakan infeksi nosokomial kedua terbanyak setelah

infeksi saluran kemih, dan merupakan penyebab kematian utama pada infeksi nosokomial.

Sekitar 10 % pasien yang drawat inap akibat overdosis obat akan menderita pneumonitis

aspirasi.3

Insidensi pasti aspirasi pneumonia sulit diprediksi karena sebagian besar aspirasi tidak

bergejala dan tidak diketahui terjadinya. Sebuah penelitian prospektif yang dilakukan pada

pasien penyakit kritis, dengan menggunakan kadar pepsin dalam cairan broncoalveolar Lavage

(BAL) sebagai marker penentu aspirasi diperkirakan aspirasi terjadi pada setidaknya + 88,9 %

pasien.4

Pneumonia aspirasi lebih sering dijumpai pada orang dewasa daripada anak-anak, dimana

laki-laki lebih berisiko daripada perempuan. Faktor risiko yang paling berpengaruh adalah usia

lanjut, dimana kelompok usia ini paling rentan menderita pneumonia aspirasi.3

2. Predisposisi

Hampir semua pasien yang menderita pneumonia aspirasi memiliki satu atau lebih faktor

predisposisi. Kondisi-kondisi yang memudahkan aspirasi pneumonia antara lain:2,3

Penurunan kesadaran mengganggu refleks batuk dan penutupan glotis sehingga dapat

meningkatkan risiko pneumonitis aspirasi. Adapun kondisi yang menyebabkan penurunan

kesadaran antara lain alkoholik, overdosis obat-obatan, kejang, stroke, trauma kepala,

anastesi umum, dan tumor intrakranial.3

Kelainan esofagus yang berhubungan dengan aspirasi pneumonia antara lain disfagia,

striktur esofagus, neoplasma esofagus, divertikel esofagus, fistula trakeoesofagus,

gastroesophageal reflux disease (GERD). Pada usia lanjut yang paling sering dijumpai

adalah disfagia esofageal.3 Adanya disfagia bisa dikonfirmasi dengan mudah dengan cara tes

menelan cairan dengan konsitensi dan jumlah yang bervariasi atau dengan menggunakan

Page 3: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

3

pemeriksaan video fluoroscopic swallow. 2

Penyakit neurologis, seperti multipel sklerosis, demensia, penyakit parkinson, myastenia

gravis, pseudobulbar palsy, dan progresive supranuclear palsy (PSP).3,5,6 Pada penyakit

parkinson sering dijumpai disfagia yang berhubungan dengan pneumonia aspirasi.

Dilaporkan bahwa penderita penyakit parkinson 3,8 kali lebih berisiko mengalami

pneumonia aspirasi dibandingkan dengan populasi umum. Selain itu juga dilaporkan bahwa

pneumonia aspirasi merupakan penyebab kematian utama pada penyakit parkinson (+ 70 %

dari mortalitas).5 Penelitian lain melaporkan bahwa pneumonia aspirasi merupakan

merupakan penyebab kematian utama pada PSP. Dari 22 orang pasien PSP yang menderita

pneumonia aspirasi, sebanyak 59 % meninggal. Dijumpainya pneumonia aspirasi merupakan

prediktor survival time yang pendek (periode laten 2,3 tahun).6

Kondisi mekanis, seperti nasogastric tube (NGT), intubasi endotrakeal, trakeostomi,

endoskopi saluran cerna, bronkoskopi, gastrostomi atau postpyloric feeding tube.2,3

Penggunaan obat-obatan yang menekan asam lambung. Diduga bahwa hilangnya barier

asam lambung menyebabkan kandungan bakteri lebih tinggi di paru-paru saat terjadi aspirasi

dari isi lambung.2,3

Kondisi lain, seperti muntah hebat, posisi telentang lama, dan penyakit kritis.2,3

Usia lanjut merupakan kelompok yang berisiko tinggi mengalami aspirasi dan mungkin

aspirasi merupakan faktor risiko paling penting pada pneumonia geriatri. Pneumonia geriatri

sering disebabkan oleh gangguan menelan yang tidak terdeteksi sehingga kejadian aspirasi

tak terdeteksi. Hal ini karena pada 1/3 pasien geriatri dijumpai kelainan sistem saraf

(misalnya stroke).7,8 Insidensi dan prevalensi pasti pneumonia aspirasi pada geriatri belum

diketahui, tetapi dilaporkan berhubungan langsung dengan usia dan penyakit dasar pasien.

Sebuah penelitian prospektif melaporkan bahwa rasio pneumonia aspirasi dengan total kasus

pneumonia meningkat seiring dengan pertambahan usia. Sebanyak 80,1 % (382 kasus) dari

pneumonia geriatri terdiagnosis merupakan pneumonia aspirasi.9

Kondisi-kondisi ini sering menyebabkan aspirasi, yang meningkatkan kemungkinan menderita

aspirasi pneumonia.2

Page 4: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

4

3. Pencegahan

Beberapa perlakuan (misalnya posisikan, perubahan diet, obat-obatan menjaga

kebersihan mulut, dan pemakaian selang makan) telah diajukan untuk mencegah aspirasi pada

orang dewasa, khususnya pada pasien lanjut usia dan stroke:2,3,10,11

Posisikan pasien yang menderita penurunan kesadaran dalam posisi semifowler dengan

sudut antara kepala dengan temat tidur 30 – 45 o (level evidence B). Sebuah penelitian kecil

pada pasien yang dipasang ventilasi mekanis, aspirasi lebih jarang terjadi pada pasien yang

diposisikan semifowler bila dibandingkan dengan posisi supinasi. Walaupun demikian,

penelitian systematic review melaporkan bahwa tidak cukup data untuk menyimpulkan hal

tersebut. 2,3,10,11

Minimalkan penggunaan sedasi (level evidence C). 2,3,10,11

Sebuah penelitian terandomisasi pada 711 orang pasien Parkinson membandingkan insidensi

aspirasi pada pemberian makanan oral dengan konsistensi encer (honey-thickened liquids)

dengan konsistensi kental (nectar-tickened liquids), dilaporkan bahwa insidensi aspirasi

secara signifikan lebih tinggi pada yang mendapat makanan encer. Namun demikian, pada

akhirnya yang berkembang menjadi aspirasi pneumonia 3 bulan setelah itu tidak berbeda

signifikan antara kedua kelompok. 2,3,10,11

Untuk pasien yang memiliki kesulitan menelan, teknik untuk menurunkan aspirasi antara

lain bentuk makanan lunak dan makan sedikit demi sedikit. Walaupun memposisikan

semifowler dan mengganti konsisitensi makanan tampaknya sesuai, efikasinya belum

terbukti pada penelitian dengan kontrol. 2,3,10,11

Pada pasien yang diberi makan melalui NGT, nilai intoleransi saluran cerna terhadap

makanan tiap 4 jam (level evidence C). Hindari pemberian makanan secara bolus pada

pasien yang berisiko tinggi aspirasi (level evidence E). Pemberian makan dengan NGT

mungkin diperlukan untuk pasien dengan disfagia berat. Percutaneus endoscopic

gastrostomy tubes dan NGT lebih efisien untuk memberikan nutrisi dan obat-obatan oral

pada pasien dengan disfagia, tetapi belum terbukti menurunkan insidensi aspirasi

pneumonia. Penelitian terbaru melaporkan bahwa pengobatan pasien dengan gastrostomy

tube dan mosaprid sitrat (obat gastroprokinetik) berhubungan dengan risiko aspirasi yang

lebih rendah bila dibandingkan dengan plasebo dan terapi proton pump inhibitor (PPI).

Sebelum memulai enteral feeding tube, lokasi tip (ujung tube) sebaiknya dikonfirmasi

Page 5: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

5

secara radiologis. Volume residu lambung dipantau secara reguler. Untuk pemberian

makanan secara bolus, volume residu makanan sebaiknya tidak melebihi 150 mL sebelum

pemberian bolus makanan berikutnya. 2,3,10,11

Evaluasi kemampuan menelan sebelum memulai makanan per oral pada pasien yang baru

saja diekstubasi bila ia sebelumnya diintubasi selama > 2 hari (level evidence C). Ekstubasi

sebaiknya dilakukan pada posisi lateral kiri atau posisi duduk. 2,3,10,11

4. Klasifikasi

Karakter inokulum, patogenesis kondisi paru-paru, dan gejala klinis membantu

membedakan sindrom-sindrom klinis dalam klasifikasi pneumonia aspirasi. Empat sindrom yang

paling sering dijumpai secara klinis adalah aspirasi asam lambung yang menyebabkan

pneumonitis kimia (pneumonitis aspirasi), aspirasi bakteri dari rongga mulut dan faring

menyebabkan pneumonia aspirasi, aspirasi benda asing yang menyebabkan obstruksi saluran

napas, dan aspirasi minyak yang menyebabkan pneumonia aspirasi lipoid (jarang).3 Kadang-

kadang pasien memiliki pneumonia aspirasi yang saling tumpang tindih dan tidak bisa

diklasifikasikan dalam satu kasus.2

a. Pneumonitis Kimia

Pneumonitis kimia, dikenal juga dengan pneumonitis aspirasi, merupakan reaksi

inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh aspirasi isi lambung dalam jumlah besar

tanpa infeksi.2,3 Salah satu contoh pneumonitis aspirasi adalah yang disebabkan oleh aspirasi

asam lambung yang pertama kali diungkapkan oleh Mendelson pada tahun 1946 sehingga

disebut juga sindrom Mendelson.2

Patofisiologi pneumonitis akibat asam lambung telah diteliti secara ekstensif pada hewan

coba. Dibutuhkan inokulum dengan pH < 2,5 dan volume cukup besar (> 0,3 mL/kg berat

badan atau 20 – 25 mL pada dewasa) untuk menyebabkan pneumonitis kimia. Volume

inokulum yang lebih kecil bisa menyebabkan gejala yang samar sehingga tidak terdeteksi

secara klinis. 2

Keasaman isi lambung menyebabkan chemical burns terhadap tracheobronchial tree

yang terlibat pada saat aspirasi, diikuti reaksi inflamasi seluler dan pelepasan sitokin,

khususnya tumor necrosis factor (TNF)-alfa dan ilnterleukin (IL)-8.2,3 Perubahan patologis

Page 6: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

6

pada hewan yang mengalami pneumonitis aspirasi berkembang dengan cepat. Dalam tiga

menit, dijumpai atelektasis, perdarahan peribronkial, edema paru, dan degenerasi sel-sel

epitel bronkiolus. Dalam empat jam alveoli terisi dengan leukosit polimorfonuklear dan

fibrin. Hal ini menyebabkan hilangnya integritas mikrovaskular paru dan dan ekstravasasi

cairan dan protein ke dalam saluran napas dan alveoli. Membran hialin dijumpai dalam 48

jam, dimana paru-paru secara makroskopis tampak edema dan hemoragik dengan

konsolidasi alveoli.2,4

Pada pneumonia aspirasi yang disebabkan oleh aspirasi partikel makanan dalam jumlah

kecil dan tidak asam pada tikus ditemukan inflamasi neutrofilik akut dalam 4 – 6 jam, tetapi

tidak dijumpai edema dini sebagaimana dijumpai pada aspirasi asam. Puncak respon

monositik dijumpai pada jam ke-48 paska aspirasi, dimana jaringan paru menunjukkan

tanda-tanda awal dari pembentukan granuloma.4

Pemberian antibodi monoklonal anti-IL-8 menurunkan kadar IL-8, sekuestrasi neutrofil

ke alveoli, dan mencegah gangguan oksigenasi dan cairan ekstravaskular paru-paru pada

kelinci percobaan.2

Pemberian obat yang menghambat kaskade komplemen di C5 menurunkan kadar TNF-

alfa di serum dan cairan BAL serta sekuestrasi neutrofil pada tikus. Penelitian lain

melaporkan bahwa pemberian antiserum anti-TNF-alfa menurunkan jumlah neutrofil,

konsentrasi protein dalam cairan BAL, serta edema di jantung dan ginjal.2

Sebuah penelitian dengan follow up jangka panjang pada pasien yang bertahan hidup dari

pneumonia aspirasi berat menunjukkan penyembuhan sempurna pada beberapa pasien dan

menjadi fibrosis paru (secara radiografis) pada beberapa pasien lainnya.2

Berikut ini beberapa gambaran klinis yang mungkin ditemukan pada pneumonitis

aspirasi:2

Gejala mendadak dengan sesak napas yang prominen

Demam subfebris

Sianosis dan ronki pada auskultasi paru-paru

Hipoksemia berat dan dijumpai infiltrat pada foto toraks. Bila aspirasi terjadi saat posisi

tegak, maka paru-paru yang terkena adalah lobus bawah. Sedangkan bila aspirasi terjadi

saat posisi berbaring, paru-paru yang terkena adalah bagian superior lobus bawah dan

posterior lobus atas.

Page 7: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

7

Prognosis penyakit ini bervariasi. Sebuah penelitian retrospektif pada 50 kasus

pneumonitis aspirasi dilaporkan bahwa 12 % kasus mengalami pneumonitis fulminan dan

meninggal dalam waktu singkat karena Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), 62 %

mengalami perbaikan klinis yang cepat dengan foto toraks yang kembali normal, dan 26 %

awalnya mengalami perbaikan klinis yang cepat tetapi selanjutnya pada foto toraks dijumpai

perluasan infiltrat baru akibat infeksi sekunder oleh bakteri maupun superimposed ARDS

yang disebabkan oleh kerusakan paru akibat asam.2

Diagnosis pneumonitis aspirasi biasanya secara presumtif berdasarkan gambaran klinis

dan perjalanan penyakit sebagaimana dijelaskan di atas. Kelainan foto toraks baru muncul

dua jam setelah terjadi aspirasi. Pada pemeriksaan bronkoskopi tampak eritema pada bronkus

yang menunjukkan cedera bronkus akibat asam.2

Pasien yang mengalami aspirasi sebaiknya dilakukan tracheal suction untuk

membersihkan cairan dan partikel-partikel yang bisa menyebabkan obstruksi. Walaupun

demikian, hal ini tidak mencegah cedera paru akibat kimia yang terjadi sangat cepat;

selanjutnya inokulum asam akan dinetralisir oleh respon fisiologis.

Penatalaksanaan utama adalah mempertahankan fungsi paru. Sebuah penelitian pada

hewan coba melaporkan manfaat pemberian ventilasi tekanan positif, koloid secara

intravena, dan sodium nitroprusid yang diinfuskan ke dalam arteri pulmonalis. Ventilasi

mekanis diindikasikan pada pasien yang mengalami gagal napas.2

Pengunaan glukokortikoid pada pneumonitis aspirasi masih kontroversial. Penelitian

pada hewan coba melaporkan hasil yang bervariasi, tetapi penelitian pada manusia secara

umum tidak berhasil. Pemberian glukokortikoid untuk ARDS juga masih kontroversial.2

Sebuah penelitian pada hewan coba melaporkan bahwa paru yang mengalami cedera

akibat asam sangat rentan terhadap infeksi bakteri, dan sebuah penelitian klinis melaporkan

bahwa 13 dari 26 % pasien mengalami superinfeksi paru dalam masa penyembuhan.

Antibiotika umumnya diberikan karena sulit untuk mengeksklusi infeksi bakteri pada pasien

yang mengalami aspirasi. Pada pasien yang sakit berat, bisa diberikan antibiotika empirik.

Namun, bila pada foto toraks tidak muncul gambaran infiltrat setelah 48 – 72 jam, pemberian

antibiotika dapat dihentikan.2

Page 8: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

8

b. Pneumonia Aspirasi akibat Infeksi Bakteri

Bentuk pneumonia aspirasi yang paling sering dijumpai adalah yang disebabkan oleh

bakteri flora normal saluran napas bagian atas atau lambung. Pneumonia aspirasi biasanya

didefinisikan sebagai infeksi akibat bakteri yang kurang virulen, terutama bakteri anaerob

dari mulut dan Streptococcus, pada inang yang rentan mengalami aspirasi. Penelitian

terakhir melaporkan dominasi bakteri anaerob pada pneumonia aspirasi, dengan bakteri yang

lebih virulen seperti S. aureus, Pseudomonas aeruginosa, dan basil garam negatif fakultatif

lain.2

Pneumonia aspirasi bisa terjadi di komunitas, rumah sakit atau di rumah sakit / fasilitas

kesehatan (nosokomial). Pada keduanya, penyebab infeksi bisa bakteri anaerob atau disertai

bakteri aerob atau mikroaerofilik. Pneumonia nosokomial yang disebabkan aspirasi sering

dijumpai, dan patogen utama adalah flora yang didapat di rumah sakit melalui kolonisasi

orofaring (contohnya bakteri gram negatif enterik atau basil gram negati dan Staphylococcus

aureus).2,3

Penelitian bakteriologi awal pada pneumonia aspirasi yang didapat di komunitas

melaporkan bahwa etiologi sama seperti community acquired pneumonia (pneumonia

komunitas). Namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa etiologi tersering adalah

Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, dan

Enterobactericeae. Faktanya, dua buah penelitian pada pasien yang mengalami aspirasi

diambil sampel dengan menggunakan protective specimen brush dan dilakukan kultur

anaerob, tidak dijumpai isolasi bakteri anaerob.3

Pneumonia aspirasi nosokomial sering disebabkan oleh bakteri gram negatif, yaitu

Pseudomonas aeruginosa, khususnya pada pasien yang terintubasi. Selain itu, methicillin-

resistant S. Aureus (MRSA) lebih sering dijumpai pada pasien pneumonia aspirasi

nosokomial daripada di komunitas (4,2 % vs 1,4 %).3 Spesimen sputum dari pasien dengan

pneumonia aspirasi nosokimial, bahkan spesimen transtracheal aspiration yang diproses di

laboratorium terspesialisasi, menunjukkan pertumbuhan patogen aerob disertai patogen

anaerob obligat.2

Bakteri anaerob merupakan organisme dominan di saluran napas bagian atas. Peran

penting mikroba ini pada pneumonia aspirasi, abses paru, dan empiema dilaporkan pertama

kali pada tahun 1970 dengan teknik pengambilan sampel yang hati-hati untuk mengisolasi

Page 9: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

9

bakteri anaerob dan trans-tracheal aspiration untuk memperoleh spesimen yang tidak

terkontaminaasi dari saluran napas bagian bawah. Sputum yang dibatukkan tidak sesuai

untuk kultur bakteri anaerob karena kemungkinan kontaminasi oleh flora normal di mulut.

Pengalaman kultur dari spesimen yang diperoleh dari bronkoskopi dengan protected brush

atau broncoalveolar lavage (BAL) masih sedikit.2

Bakteri anaerob utama yang diisolasi dari infeksi paru adalah Peptostreptococcus,

Fusobacterium nucleatum, Prevotella, dan Bacteroides spp. Sebuah penelitian prospektif

pada 95 orang pasien yang berasal dari fasilitas perawatan kronis dan memiliki faktor risiko

aspirasi yang akhirnya dirawat di intensive care unit (ICU) karena pneumonia melaporkan

bahwa basil gram negatif paling sering ditemukan dari isolasi kuman (49 %), diikuti bakteri

anaerob (16 %) dan S. aureus (12 %). Sebanyak 14 % dari pasien memiliki hasil isolasi

kuman basil gram negatif disertai bakteri anaerob.2

Sebagian besar pasien pneumonia aspirasi yang didapat di komunitas memiliki infeksi

campuran bakteri aerob dan anaerob, khususnya kasus-kasus yang melibatkan Streptococcus

aerob dan mikroaerofilik. Sebuah laporan dari Jepang yang menggunakan fine needle

transthoraccic aspiration atau protected brush cathether untuk memperoleh spesimen kultur

pada 212 orang pasien dengan abses paru menunjukkan bahwa Streptococcus aerob dan

mikroaerofilik merupakan patogen tersering (60 %) disusul oleh bakteri anerob (26 %).

Sebaliknya, pasien dengan pneumonia aspirasi nosokomial umumnya memiliki campuran

bakteri anaerob dan basil gram negatif atau S. aureus karena pada pasien rawat inap saluran

napas bagian atas sering dikolonisasi oleh basil gram negatif.2

Gambaran klinis pneumonia aspirasi akibat infeksi bakteri sangat bervariasi. Bila

dibandingkan dengan kebanyakan kasus penumonia komunitas, tempo pneumonia aspirasi

yang disebabkan oleh bakteri anaerob sering timbul perlahan-lahan, dan menggigil jarang

dijumpai.2

Sebagian besar pasien datang dengan keluhan umum pneumonia, yaitu batuk, demam,

sputum purulen, dan sesak napas. Kasus yang melibatkan bakteri anaerob biasanya timbul

perlahan dalam beberapa hari atau minggu. Banyak pasien mengalami penurunan berat

badan dan anemia pada proses yang lebih kronis. Bila aspirasi dengan asam atau infeksi

yang disebabkan S. aureus atau basil gram negatif tempo yang dibutuhkan lebih cepat.2

Page 10: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

10

Gambaran klinis yang merupakan ciri khas pneumonia aspirasi yang disebabkan oleh

bakteri anaerob yaitu:2

Kondisi yang menjadi predisposisi aspirasi, biasanya gangguan kesadaran akibat

penyalahgunaan obat, alkoholik, anastesia, atau disfagia.

Tidak ada menggigil

Tidak membaik sebagaimana yang disebabkan oleh patogen yang diperoleh dari sputum

yang dibatukkan

Sputum putrit odor

Ada komorbid penyakit periodontal

Foto toraks atau CT scan toraks menunjukkan nekrosis paru dengan abses paru dan/ atau

empiema

Karena tempo timbulnya gambaran klinis secara perlahan-lahan, banyak pasien yang

datang terlambat setelah ada komplikasi seperti abses paru, pneumonia nekrotikans, atau

empiema, tapi sudah lebih jarang dijumpai.2

Pengobatan utama pneumonia aspirasi akibat infeksi bakteri adalah antibiotika. Dahulu

antibiotika pilihan untuk pengobatan pneumonia aspirasi dan abses paru yang melibatkan

bakteri anaerob adalah penisilin dosis tinggi yang diberikan secara intravena (IV) atau per

oral (PO). Namun, penelitian bakteriologi tahun 1970 melaporkan bahwa 25 % kasus

memiliki bakteri anaerob yang memproduksi penisilinase, terutama F. nucleatum,

Peptostreptococcus, Bacteroides spp selain B. fragilis, dan Prevotella sehingga adekuasi

penisilin diragukan.2

Dua buah penelitian membandingkan penisilin dan klindamisin dalam mengobati abses

paru menyimpulkan bahwa klindamisin lebih superior dalam hal response rate dan waktu

yang dibutuhkan untuk menurunkan demam. Salah satu penelitian ini mengikutsertakan 37

orang pasien dengan abses paru atau pneumonia nekrotikans, yang mana melaporkan bahwa

failure rate klindamisin lebih rendah (15 %) bila dibandingkan dengan penisilin (44 %).2

Sebuah penelitian terandomisasi pada 100 orang pasien pneumonia aspirasi usia lanjut

melaporkan bahwa klindamisin (2 x 600 mg), ampisilin-sulbaktam (2 x 1,5 g), ampisilin

sulbaktam (2 x 3 g), atau imipenem (2 x 500 mg) sama efektivitasnya dalam mengobati

pneumonia aspirasi (cure rates 76 – 88 %), tetapi klindamisin memiliki angka superinfeksi

methicillin resistant S.aureus (MRSA) paska terapi yang lebih rendah (0 dari 25 kasus) bila

Page 11: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

11

dibandingkan dengan antibiotika lain (5 – 8 dari 25 kasus) dan harga klindamisin juga lebih

murah.2

Terapi alternatif yang tampaknya efektif antara lain amoksisilin-klavulanat dan penisilin

dikombinasi dengan metronidazole. Metronidazole monoterapi memiliki failure rate 50%

dalam mengobati infeksi pleuropulmonal anaerob diduga karena aktivitasnya kurang dalam

melawan Streptococcus aerob dan mikroaerofilik (ditemukan dalam 40 – 70 % kasus).2

Di antara fluoroquinolon, moxifloksasin paling disukai karena penelitian awal hasil yang

baik secara in vitro dalam melawan bakteri anaerob dan sebuah penelitian kecil juga telah

melaporkan manfaatnya pada pneumonia aspirasi dan abses paru. Namun demikian,

moksifloksasin belum diteliti secara adekuat untuk direkomendasikan sebagai terapi lini

pertama untuk pneumonia aspirasi, dan angka resistensi bakteri anaerob terhadap

moksifloksasin juga terus meningkat.2

Penggunaan terapi alternatif seperti makrolide, tetrasiklin, dan cefalosporin belum diteliti

secara sistematis untuk pneumonia aspirasi karena obat-obat ini tidak pernah terbukti

efikaasinya dalam mengobati infeksi anaerob.2

Jika pneumonia aspirasi disebabkan oleh patogen anaerob, terapi lini pertama yang

dianjurkan adalah klindamisin 600 mg (IV) setiap 8 jam diikuti 4 x 300 mg (PO), atau 3 x

450 mg (PO). Terapi alternatif adalah amoksisillin-klavulanat 2 x 875 mg (PO) atau

kombinasi metronidazol 3 x 500 mg (PO) dengan amoksisillin 3 x 500 mg (PO) atau

penisilin G 1 – 2 juta unit (IV) setiap 4 – 6 jam.2

Untuk pneumonia aspirasi nosokomial, kebanyakan penulis melaporkan bahwa bakteri

aerob, khususnya basil gram negatif dan S. aureus, lebih penting daripada bakteri anaerob

sehingga terapi diarahkan pada bakteri aerob. Bila dibutuhkan antibiotika yang bisa

mengontrol bakteri anaerob sekaligus basil gram negatif aerob, dianjurkan untuk

memberikan karbapenem atau piperasilin-tazobaktam.2

Durasi pemberian antibiotika pada pneumonia aspirasi belum banyak diteliti. Pada kasus

pneumonia aspirasi tanpa kavitasi atau empiema antibiotika biasanya diberikan selama 7 –

10 hari. Kasus dengan efusi pleura sebaiknya dilakukan torakosentesis untuk mengeksklusi

empiema, yang sering sebagai komplikasi pneumonia bakteri anaerob. Pasien dengan abses

paru memerlukan antibiotika lebih lama, biasanya sampai terjadi perbaikan radiologis (small

stable residual lession).2

Page 12: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

12

c. Pneumonitis Aspirasi yang menyebabkan Obstruksi Saluran Napas

Pneumonitis aspirasi bisa melibatkan cairan atau partikel yang tidak toksik terhadap paru,

tetapi bisa menyebabkan obstruksi saluran napas atau refleks penutupan saluran napas.

Contoh cairan yang tidak toksik terhadap paru tapi bisa menyebabkan obstruksi saluran

napas adalah larutan salin, barium, cairan yang diminum, isi lambung dengan pH > 2,5.2

Sebuah penelitian pada hewan coba melaporkan masuknya cairan ke dalam trakea dalam

jumlah sedikit menyebabkan hipoksemia transien yang sembuh sendiri. Kadang-kadang hal

ini dapat mencetuskan edema paru, hipoksemia yang lebih berat, dan menurunkan

compliance paru. Namun demikian, reaksi ini bisa reversibel dengan vagotomi atau

pemberian atropin maupun isoproterenol, mengindikasikan adanya refleks penutupan paru.

Jenis aspirasi ini sulit dikenali secara klinis. Penatalaksaan yang tepat adalah dengan

ventilasi tekanan positif (VTP) dengan oksigen 100 % dikombinasi dengan isoproterenol. 2

Contoh pneumonia aspirasi cairan yang menyebabkan obstruksi saluran napas paling

sering adalah tenggelam. Pasien yang berisiko mengalami obstruksi mekanis adalah yang

yang tidak memiliki refleks batuk atau gangguan kesadaran. 2

Penatalaksanaan terpenting adalah tracheal suctioning. Jika selanjutnya foto toraks tidak

menunjukkan gambaran infiltrat pada paru, tidak perlu diberikan terapi lebih lanjut selain

mencegah episode aspirasi terulang kembali. Pada pasien rawat inap dianjurkan posisi

semifowler atau posisi tegak. 2

Derajat keparahan obstruksi saluran napas tergantung pada ukuran relatif zat yang

teraspirasi dan kaliber saluran napas bagian bawah. Aspirasi benda asing paling sering

terjadi pada anak-anak usia 1 – 3 tahun. Benda yang paling sering ditemukan di saluran

napas bagian bawah adalah kacang, partikel sayur-sayuran, zat anorganik, dan gigi. Partikel

sayur-sayuran, termasuk kacang, problematik karena tidak terlihat pada foto toraks.

Dampak klinis bergantung pada level obstruksi. Obstruksi partikel besar yang tersangkut

di laring atau trakea menyebabkan sesak napas mendadak, sianosis, dan afonia yang cepat

menyebabkan kematian bila obstruksi tidak segera dibebaskan. Hal ini kada-kadang disebut

juga “cafe coronary syndrome” karena mirip gejala infark miokard dan sering dijumpai

aspirasi daging saat sedang makan di restoran. Penatalaksanaan yang dianjurkan adalah

Page 13: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

13

Heimlich manuever, yaitu menekan perut bagian atas dengan cepat dan kuat untuk

mendorong diafragma ke atas dan mengeluarkan partikel. 2

Aspirasi partikel yang lebih kecil menyebabkan obstruksi lebih ringan. Pasien sering

datang dengan batuk yang mengganggu dan foto toraks menunjukkan atelektasis atau

emfisema obstruktif dengan pergeseran jantung dan diafragma meninggi. Jika obstruksi

parsial, bisa dijumpai wheezing unilateral. Superinfeksi bakteri merupakan komplikasi yang

sering dijumpai jika obstruksi menetap selama lebih dari satu minggu; patogen tersering

adalah bakteri anaerob yang berasal dari saluran napas bagian atas. Penatalaksanaan primer

adalah membuang benda asing, biasanya dengan menggunakan bronkoskopi fibreoptic atau

rigid. 2

d. Pneumonia Lipoid

Pneumonia lipoid sering disebabkan oleh aspirasi mineral oil ketika digunakan untuk

konstipasi. Pasien yang paling sering terkena adalah usia tua yang memiliki faktor risiko

aspirasi. Akibatnya terjadi respon inflamasi dengan edema regional dan perdarahan

intraalveolar atau parafinoma dimana minyak yang teraspirasi dikapsulasi oleh jaringan

fibrosa. Gambaran klinis awal adalah batuk, demam, dan dispnu; selanjutnya tampak massa

pada pemeriksaan pencitraaan pasien yang sudah asimtomatik.2

5. Diagnosis

Aspirasi bisa asimtomatik atau muncul dengan gejala dan tanda yang hebat, seperti

wheezing, sesak napas, sianosis, dan hipoksia.4 Klinisi harus mempertimbangkan diagnosis

pneumonia aspirasi jika seorang pasien memiliki gambaran klinis disertai faktor risiko dan

gambaran infiltrat pada foto toraks yang mengarah pada pneumonia aspirasi. Lokasi infiltrat

tergantung pada posisi pasien ketika terjadi aspirasi.3

Kejadian aspirasi yang diketahui merupakan bukti dari pneumonia aspirasi dengan

dokumenasi partikel makanan atau isi saluran cerna dalam tracho-bronchial tree. Sedangkan

aspirasi cairan lambung yang tidak diketahui merupakan suatu kondisi yang paling sulit

untuk didiagnosis. Tidak ada standard baku emas untuk mendiagnosis pneumonia aspirasi.

Sering kali pneumonia aspirasi merupakan suatu penyakit eksklusi, dimana etiologi lain dari

hipoksia, seperti edema paru, emboli paru, community acquired pneumonia (CAP) atau

Page 14: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

14

hospital acquired pneumonia (HAP) sudah disingkirkan.4

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan sebaiknya mengarah pada gambaran klinis

pasien. Pasien dengan gejala dan tanda sepsis dan syok sepsis memerlukan pemeriksaan

laboratorium yang lebih banyak daripada pasien dengan sindrom aspirasi yang lebih ringan.3

a. Diagnosis Banding

Ketika mengevaluasi seorang pasien yang diduga menderita pneumonia aspirasi, penyakit

lain yang harus dipertimbangkan adalah pneumonia nekrotikans, bronkopneumonia dengan

fistula, karsinoma paru, abses paru, mikosis paru, dan pneumonitis hipersensitif. Kondisi-

kondisi di bawah ini juga harus dievaluasi:3

ARDS

Tuberkulosis

Bronchitis

Penyakit paru obstruksi kronis

Epiglotitis

Pneumonia, empiema, dan abses paru

Pneumonia mikoplasma

Pneumonia viral

Syok sepsis

b. Pemeriksaan Penunjang

Selain berdasarkan gambaran klinis dan dijumpai infiltrat pada foto toraks atau pada

pemeriksaan pencitraan lain, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti di bawah

ini:3,12,13,14

Analisis Gas Darah

Analisis gas darah arteri digunakan untuk menilai oksigenasi dan status pH.

Analisis gas darah arteri memberikan informasi yang mengarahkan pemberian terapi

oksigen. Hasil analisis gas darah arteri sering menunjukkan hipoksemia akut dan kadar

karbondioksida rendah atau normal pada pasien pneumonitis kimia. Kadar laktat bisa

digunakan sebagai marker awal dari sepsis berat atau syok sepsis.3,14

Page 15: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

15

Panel Metabolik Dasar

Pemeriksaan elektrolit serum, blood urea nitrogen (BUN), dan kadar kreatinin

bisa digunakan untuk menilai status cairan dan perlu atau tidak terapi cairan intravena.

Hal ini penting khususnya pada pasien dengan demam, muntah, atau diare yang mungkin

mengalami kehilangan banyak cairan.3,14

Kadar BUN serum dan kreatinin juga bisa digunakan untuk menilai fungsi ginjal

agar bisa memberikan antibiotika dengan dosis yang sesuai. Selain itu juga bisa untuk

mengevaluasi gangguan ginjal (kidney injury) pada pasien dengan sepsis atau syok

sepsis.3,14

Darah Lengkap

Darah lengkap bisa menunjukkan peningkatan jumlah leukosit (leukositosis),

peningkatan neutrofil (neutrofilia), anemia, dan trombositosis pada pasien dengan

pneumonia akibat bakteri anaerob. Leukositosis dan neutrofilia bisa dijumpai juga pada

pasien pneumonitis kimia.3,14

Pemeriksaan Sputum

Walaupun kultur sputum dan pewarnaan gram secara umum tidak menolong pada

saat mendiagnosis ataupun penatalaksanaan awal, hal ini menunjukkan berbagai bakteri

(misalnya coccus, basil, coccobacillar, dan fusiform) pada pasien penumonia akibat

bakteri anaerob. Pada pneumonia aspirasi nosokomial, kultur sputum bisa membantu

mendeteksi bakteri gram negatif. Kultur sputum bisa menunjukkan tidak ada

pertumbuhan bakteri bila patogen utama adalah bakteri anaerob.3

Kultur Darah

Kultur darah dilakukan sebagai skrining awal untuk bakteremia. Pada pneumonia

tanpa komplikasi (tanpa tanda sepsis atau syok sepsis), kultur darah jarang menunjukkan

pertumbuhan patogen dan tidak diperlukan untuk diagnosis dan penatalaksanaan awal.3

Kultur darah dilakukan sebelum pemberian terapi antibiotika. Namun demikian,

hasil positif hanya dijumpai pada 5 – 14 % pasien pneumonia komunitas yang dirawat

inap, dan patogen yang paling sering dijumpai adalah S. pneumoniae.12 Belum ada

Page 16: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

16

penelitian yang melaporkan mengenai persentasi hasil positif pada pneumonia aspirasi.

Foto Toraks

Gambaran foto toraks pneumonia aspirasi tergantung pada posisi pasien saat

terjadi aspirasi. Lobus paru bagian kanan bawah merupakan lokasi tersering dijumpai

infiltrat karena kalibernya lebih besar dan orientasi lebih vertikal pada bronkus utama

kanan. Pasien yang mengalami aspirasi ketika berdiri bisa memiliki infiltrat bilateral pada

lobus paru bagian bawah. Pasien yang berbaring pada posisi lateral dekubitus kiri lebih

sering memiliki infiltrat pada paru kiri. Paru bagian kanan atas bisa terlibat khusunya

pada alkoholik yang mengalami aspirasi saat posisi telungkup.3

Jika dijumpai efusi pleura mungkin mengindikasikan perlu dilakukan

torakosentesis untuk mengeksklusi empiema.3

Gambaran radiologis pada pasien pneumonitis kimia ditandai dengan infiltrat,

umumnya tipe alveolar, pada satu atau kedua lobus bagian bawah, atau infiltrat difus

seperti edema paru. Hilangnya volume paru pada lobus tertentu mengindikasikan ada

obstruksi (misalnya pada aspirasi partikel makanan atau benda asing) di bronkus.3

Gambaran radiologis pada pneumonia aspirasi akibat bakteri anaerob biasanya

menunjukkan infiltrat dengan atau tanpa kavitasi pada salah satu segmen paru (misalnya

segmen posterior lobus paru bagian atas, segmen superior lobus paru bagian bawah).

Lusensi di dalam infiltrat menggambarkan pneumonia nekrotikans. Air-fluid levels di

dalam infiltrat yang berbatas tegas mengindikasikan abses paru. Sudut kostofrenikus

tumpul dan adanya meniskus adalah tanda efusi pleura parapneumonia.3

Page 17: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

17

Gambar 1 Gambar 2

Gambar 1: Foto toraks seorang pasien pada paru kiri saat overdosis benzodiazepin. Mungkin

posisi pasien miring ke kiri pada saat aspirasi. Gambar 2: Foto toraks pasien dengan pneumonia

aspirasi masif pada paru kanan.3

Gambar 3 Gambar 4

Gambar 3: Pneumonia aspirasi pada seorang pria berusia 84 tahun yang secara umum sehat,

dengan gejala demam dan batuk. Foto toraks menunjukkan opasitas pada lobus kiri bagian

bawah; Gambar 4: Foto toraks lateral pasien berusia 84 tahun dengan pneumonia aspirasi

mengkonfirmasi lokasi infiltrat pada lobus kiri baian bawah.3

Ultrasonografi

Ultrasonografi membantu mengkonfirmasi dan menentukan lokasi efusi pleura.3

Page 18: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

18

CT scan Toraks

CT scan toraks tidak diindikasikan pada semua kasus yang diduga pneumonia

aspirasi. Pemeriksaan ini bisa bermanfaat untuk membedakan efusi pleura dan empiema

serta mendeteksi nekrosis di dalam infiltrat dan kavitas. CT scan memberikan gambaran

lebih baik paru yang terlibat dan digunakan untuk membedakan kelainan paru dengan

kelainan pleura.3

Bronkoskopi

Bronkoskopi diindikasikan pada pasien pneumonitis kimia hanya jika diduga

terjadi aspirasi benda asing atau makanan. Bronkoskopi dengan protected brush dan

protected cathether untuk memperoleh patogen pada pneumonia akibat bakteri dan

membantu dalam pemilihan antibiotika. Bronkoskopi membantu mengeksklusi adanya

obstruksi akibat neoplasma pada penumonia bakteri dengan abses paru. Namun

demikian, tidak bermanfaat pada penatalaksanaan pneumonia aspirasi komunitas.3

Kateterisasi Arteri Pulmoner

Pemasangan kateter arteri pulmoner bisa membantu membedakan edema paru

kardiogenik dengan nonkardiogenik pada penumonitis kimia. Kateter yang memantau

hemodinamik bisa digunakan untuk memandu pemberian terapi cairan yang tepat.3

Torakosentesis

Torakosentesis, dikenal juga sebagai aspirasi cairan pleura, merupakan prosedur

diagnostik dan terapeutik dimana cairan (atau udara) dikeluarkan dari pleura (antara

pleura parietal dan viseral). Analisis cairan pleura bisa membantu menentukan penyebab

efusi pleura dan mengurangi gejala yang disebabkan efusi pleura. Foto toraks sebaiknya

dilakukan sebelum dan sesudah tindakan untuk mendeteksi komplikasi dari

torakosentesis.3

Ventilasi Mekanis

Ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada kasus berat dari penumonitis kimia

yang menyebabkan ARDS dan pada insufisiensi pernapasan akibat pneumonia aspirasi.3

Page 19: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

19

Pemasangan Chest Tube

Pemasangan chest tube bisa dilakukan untuk mengeluarkan efusi pleura

komplikata atau empiema.3

6. Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan Prehospital

Penatalaksanaan prehospital sebaiknya difokuskan pada stabilisasi jalan napas,

pernapasan, dan sirkulasi. Pada pasien yang dengan tanda aspirasi asam lambung (misalnya

dengan vomitus) men-suction saluran napas bagian atas bisa membersihkan sejumlah besar

aspirat. Intubasi sebaiknya dipertimbangkan pada setiap pasien yang tidak bisa melindungi

saluran napasnya. Kemampuan paramedis untuk melakukan intervensi ini bergantung pada

tingkat pelatihan mereka. Selain itu, emergency medical technician (EMT) dilatih untuk

melakukan intubasi bisa memutuskan untuk mengintubasi pasien dengan gangguan refleks

tersedak untuk mencegah aspirasi. Terapi lain yang diberikan antara lain suplementasi oksigen,

monitoring jantung dan pulse oxymetri, pemasangan kateter intravena dan pemberian cairan

intravena bila diperlukan.3

b. Penatalaksanaan di Intensive Care Unit (ICU)

Penatalaksanaan di ICU sebaikanya dimulai dengan stabilisasi jalan napas pasien,

pernapasan, dan sirkulasi. Suction orofaring / trakeal mungkin diperlukan untuk membersihkan

aspirat. Penilaian ulang perlunya intubasi secara periodik berdasarkan oksigenasi pasien,

kesadaran, sesak napas, atau gagal napas. Lanjutkan pemberian oksigen sesuai kebutuhan, begitu

juga monitoring jantung dan pulse oximetry, serta perawatan suportif dengan cairan intravena

dan substitusi elektrolit.3

c. Penatalaksanaan Rawat Inap

Pasien dengan pneumonia aspirasi, baik pneumonitis kimia maupun pneumonia bakterial,

memerlukan rawat inap untuk beberapa alasan, antara lain penyakit akut, faktor inang, dan

perjalanan penyakit yang tidak pasti serta prognosis pneumonia aspirasi. Pasien dengan

gangguan hemodinamik berat dan atau sesak napas persisten sebaiknya dirawat di ICU. Pasien

Page 20: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

20

yang terintubasi dan ventilasi harus dirujuk ke rumah sakit yang memiliki ICU, begitu juga

pasien dengan sepsis berat atau syok sepsis. Pasien dengan status pernapasan dan hemodinamik

stabil bisa dirawat di ruang rawat inap biasa.3

d. Pemberian Antibiotika

Antibiotika diindikasikan untuk pneumonia aspirasi. Namun, pada pneumonitis aspirasi

pemberian antibiotika profilaksis tidak direkomendasikan karena bisa menyebabkan resistensi.

Selain itu, pasien yang dengan aspirasi baru, demam, dan leukositosis sebaiknya tidak diberikan

antibiotika walaupun secara radiologis dijumpai infiltrat karena bisa menyebabkan resistensi.

Indikasi pemberian antibiotika pada pneumonitis aspirasi antara lain:3

Jika pneumonitis tidak membaik dalam 48 jam

Pasien dengan obsruksi usus kecil, khususnya yang bagian bawah, sebaiknya diberikan

antibiotika karena bakteri bisa mengkolonisasi isi lambung

Pasien yang mengkonsumsi antasida karena berpotensi mengalami kolonisasi bakteri di

lambung

Pada pasien tanpa gejala toksik, pemberian antibiotika sebaiknya yang dapat membunuh

patogen pneumonia komunitas tipikal. Ceftriaxone dikombinasi dengan azitromycin,

levofloxacin, atau moxifloxacin merupakan pilihan yang sesuai.3

Pada pasien dengan gejala toksik atau yang pernah dirawat inap akhir-akhir ini, walaupun

patogen pneumonia komunitas masih merupakan penyebab tersering, patogen lain seperti bakteri

gram negatif seperti P. aeruginosa dan K. pneumoniae, serta methicillin-resistant S. Aureus

(MRSA) harus dapat dibunuh oleh antibiotika empiris yang diberikan. Piperacillin / tazobactam

atau imipenem / cilastatin dikombinasi dengan vancomycin juga sesuai. Telavancin

diindikasikan untuk pneumonia nosokomial, termasuk di dalamnya pneumonia ventilator yang

disebabkan oleh S. aureus, dimana terapi alternatif tidak cocok. Adanya risiko aspirasi kronis,

putrid discharge, indolent hospital course, dan pneumonia nekrotikans mengarahkan kecurigaan

pada keterlibatan bakteri anaerob dan pertimbangkan untuk menambahkan klindamicin.3

Penatalaksanaan pasien pneumonitis kimia harus meliputi pertahankan jalan napas dan

membersihkan sekresi dengan tracheal suction, pemberian oksigen, dan ventilasi mekanis. Jika

pasien tidak bisa mempertahankan oksigenasi yang adekuat walaupun telah diberikan oksigen

Page 21: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

21

fraksi tinggi, positive end expiratory pressure (PEEP) sebaiknya dipertimbangkan. Pemberian

kortikosteroid secara rutin tidak direkomendasikan, karena berdasarkan penelitian pada hewan

coba maupun manusia tidak menunjukkan manfaat. Pemberian antibiotika profilaksis pada

pneumonitis kimia sebelum terbukti adanya infeksi bakteri tidak didukung oleh bukti yang kuat.3

Pemberian antibiotika berdasarkan hasil kultur sputum, aspirat trakea, atau aspirat yang

diperoleh dari protected cathether bronchoscopy lebih tepat daripada antibiotika empiris.

Namun, karena bronkus yang mengalami cedera kimia sangat rentan terhadap infeksi bakteri,

maka pemberian antibiotika dapat diterima berdasarkan probabilitas infeksi bakteri, beratnya

pneumonia, dan faktor risiko inang (misalnya malnutrisi, penyakit komorbid), faktor intervensi

(misalnya penggunaan antibiotika sebelumnya, kortikosteroid, obat sitotoksik, dan NGT), serta

lama rawat inap.3

Penatalaksanaan awal pasien yang diduga menderita pneumonia aspirasi tanpa faktor

risiko keterlibatan bakteri anaerob sebaiknya serupa dengan penatalaksanaan pneumonia

komunitas: sefalosporin generasi ketiga dengan makrolid atau fluorokuinolon saja. Namun, pada

pneumonia berat yang terjadi lama setelah pemasangan ventilasi mekanis, probabilitas patogen

resisten, seperti P. Aeruginosa, Acinetobacter sp, dan MRSA meningkat, sehingga harus

diberikan antibiotika spektrum lebih luas.3

Sebuah penelitian pada pneumonia aspirasi di ICU melaporkan bahwa bakteri yang

paling sering ditemukan adalah basil gram negatif (57,8 %), infeksi jamur (28,9 %), dan coccus

gram positif (13,3 %), sering dengan resistensi antibiotika. Antibiotika pilihan antara lain

fluorokuinolon respirasi, aminoglikosida dengan penisilin antipseudomonas, cefalosporin

generasi keempat, imipenem, dan vancomisin.3

e. Pemberian Kortikosteroid

Dahulu kortikosteroid diberikan pada pneumonitis aspirasi, tetapi penelitan terandomisasi

dengan kelompok kontrol belum bisa membuktikan manfaat pemberian kortikosteroid dosis

tinggi. Dokter harus mempertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis tinggi padad pasien

syok sepsis yang memerlukan zat vasoaktif untuk mempertahankan tekanan darah dan pada

pasien yang sedang dalam terapi kortikosteroid jangka panjang.3

Page 22: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

22

f. Penatalaksanaan Setelah Dipulangkan

Pasien yang pulih dari pneumonitis kimia secara umum tidak memerlukan perawatan

lanjutan dari rawat jalan, selain sebagai alat untuk mencegah episode aspirasi selanjutnya. Tidak

seperti pneumonitis kimia, infeksi bakteri anaerob memerlukan terapi antibiotika jangka panjang

sehingga terapi lanjutan di rawat jalan diperlukan. Pasien bisa dipulangkan dari rumah sakit

setelah stabil dan ada perbaikan klinis (misalnya tidak demam, tidak leukositosis, resolusi dari

hipoksemia) dan perbaikan radiologis (misalnya berkurangnya infiltrat dan ukuran kavitas, tidak

ada efusi pleura). Pada abses paru, pemberian terapi antibiotika (misalnya klindamisin)

dilanjutkan selama beberapa minggu, walaupun demikian lama pemberian antibiotika yang

dianggap adekuat belum bisa dipastikan.3

6. Komplikasi

Komplikasi aspirasi terdiri dari gagal napas akut, ARDS, dan pneumonia bakterial.

Komplikasi pneumonia bakterial terdiri dari efusi parapneumonia, empiema, abses paru,

superinfeksi, dan fistula bronkopleura. Pneumonitis aspirasi bisa cepat berkembang menjadi

gagal napas.3

Pneumonia aspirasi yang disebabkan oleh bakteri anaerob sering berkomplikasi menjadi

abses paru. Sekitar 80 % abses paru merupakan abses paru primer dan sisanya abses paru

sekunder. Abses paru primer sering disebabkan oleh bakteri anaerob dan muncul tanpa penyakit

dasar paru atau sistemik. Sebaliknya abses paru sekunder terjadi pada pasien dengan penyakit

dasar, seperti proses post-obstruksi (misalnya benda asing di bronkus atau tumor) atau suatu

proses sitemik (misalnya infeksi HIV, atau kondisi imunokompromais lain).13

7. Prognosis

Prognosis baik pneumonitis aspirasi maupun pneumonia aspirasi tergantung pada

penyakit dasar, komplikasi, dan status kesehatan pasien. Sebuah penelitian retrospektif

melaporkan bahwa angka kematian-30 hari pada pneumonia aspirasi secara umum 21 % dan

pada pneumonia aspirasi nosokomial sebesar 29,7 %. Angka kematian ini bervariasi tergantung

komplikasi penyakit. Pada sindrom Mendelson yang dilaporkan pada tahun 1946 pada 61 orang

pasien obstetri yang mengalami aspirasi asam lambung selama anastesi, semuanya mengalami

perbaikan klinis menyeluruh dalam 24 – 36 jam. Pada penelitian selanjutnya pada pasien yang

Page 23: PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

23

lebih tua, angka kematian pneumonitis aspirasi 30 – 62 % karena sering menyebabkan ARDS.

Angka kematian pneumonitis aspirasi yang berat (sindrom Mendelson) bisa mencapai 70 %.3

Jika pneumonia aspirasi yang disebabkan oleh bakteri tidak diterapi secara dini, bisa

menyebabkan komplikasi, antara lain abses paru dan fistula bronkopleura. Pneumonia aspirasi

nosokomial dihubungkan dengan lama rawat lebih panjang dan peningkatan angka mortalitas.3

Angka mortalitas pneumonia aspirasi dengan komplikasi empiema diperkirakan 20 %.

Angka mortalitas pneumonia aspirasi tanpa komplikasi sekitar 5 %. Sebuah penelitian pada tikus

yang mengalami pneumonitis aspirasi lebih rentan terhadap infeksi saluran napas.3

8. Kepustakaan

1. Dahlan Z. 2015. Pneumonia bentuk khusus. Dalam Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,

Simadibrata M, Setiohadi B, Syam AF (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI.

Jakarta: InternaPublishing. 2015. p.2300-2301.

2. Bartlett JG. Aspiration pneumonia in adults. Updated on July 6, 2015. Available from:

www.uptodate.com. Downloaded on April 10, 2016.

3. Swaminathan. Aspiration pneumonitis and pneumonia. Updated on April 02, 2015.

Available from: http://emedicine.medscape.com/article/296198. Downloaded on April

10, 2016.

4. Ragahavendran, Nemzek J, Napolitano LM, et al. Aspiration-induced lung injury. Crit

Care Med.2011;39(4):818-826.

5. Martinez-Ramirez D, Almeida L, Giugni JC, et al. Rate of aspiration pneumonia in

hospitalized parkinson’s disease: a cross-sectional study. BMC.2015;15(104):1-6.

6. Tomita S, Oeda T, Umemura A, et al. Impact of aspiration pneumonia on the clinical

course of progressive supranucluar palsy: a retrospective cohort study.

Plosone.2015.DOI:10.137/journal.pone.0135823. p.1-11.

7. Tohoku J. Preventive strategies for aspiration pneumonia in elderly disabled persons.

J.Exp.Med.2005;207:3-12.

8. Chong CP, Street PR. Pneumonia in the elderly: a review of severity assesment,

prognosis, mortality, prevention, and treatment. Southern Medical

Journal.2008;101(11):1134-1140.

9. Teramoto S. Clinical significance of aspiration pneumonia and diffuse aspiration

bronchiolitis in the elderly. J Gerontol Geriat Res.2014;3(1):1-6.

10. American Association of Critical-Care Nurses. Prevention of aspiration in adults.

CriticalCareNurse.2016;36(1):e20-e23.

11. Samantaray A. Pulmonary aspiraton of gastric contents: prevention and prophylaxis.

DOI: http://dx.doi.org/10.15380/2277-5706.JCSR.14.003.

12. Mandell LA and Wunderink RG. Pneumonia. In: Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, et

al. Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th Ed. New York: 2015.p.803-813.

13. Baron RM, Barshak MB. Lung Abscess. In: Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, et al.

Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th Ed. New York: 2015.p.813-815.

14. Dhar R. Pneumonia: review of guideline. JAPI.2012;60:25-60.