bab iii - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2102/1/bab 3.pdf · konvensi wina tahun...

19
BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang sumber-sumber Hukum Internasional. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan mampu: 1. Menjelaskan pengertian sumber hukum; 2. Memaparkan gambaran umum tentang perjanjian internasional; 3. Menjelaskan pengertian kebiasaan internasional; 4. Menjelaskan maksud dari prinsip-prinsip hukum umum; 5. Menjelaskan kedudukan putusan pengadilan dan doktrin sebagai sumber tambahan Hukum Internasional;

Upload: others

Post on 08-Oct-2019

25 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2102/1/Bab 3.pdf · Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara

BAB III

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang

sumber-sumber Hukum Internasional.

SASARAN BELAJAR (SB)

Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan mampu:

1. Menjelaskan pengertian sumber hukum;

2. Memaparkan gambaran umum tentang perjanjian

internasional;

3. Menjelaskan pengertian kebiasaan internasional;

4. Menjelaskan maksud dari prinsip-prinsip hukum umum;

5. Menjelaskan kedudukan putusan pengadilan dan doktrin

sebagai sumber tambahan Hukum Internasional;

Page 2: BAB III - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2102/1/Bab 3.pdf · Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara

P O K O K B A H A S A N

PENGERTIAN SUMBER HUKUM

Sumber hukum mempunyai beberapa pengertian yang dapat digunakan dalam

beberapa arti dan fungsi. Arti sumber hukum yang pertama adalah sebagai dasar

berlakunya hukum (arti materiil). Dalam hal ini yang menjadi permasalahan adalah

kekuatan mengikat hukum itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam bagian pembahasan

mengenai hakikat dan dasar berlakunya hukum internasional.

Arti sumber hukum yang kedua adalah sumber hukum berdasarkan kepada

permasalahan untuk mendapatkan ketentuan hukum mana yang akan diterapkan

sebagai kaidah dalam hukum internasional (arti formil). Dalam hukum tertulis ada dua

tempat yang mencantumkan sumber hukum dalam arti formal yaitu Pasal 7 Konvensi

Den Haag XII (18 Oktober 1907) yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan

Kapal di Laut (International Prize Court) serta dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah

Internasional Permanen (16 Desember 1920) yang kini telah tercantum dalam Pasal 38

Piagam Mahkamah Internasional (Piagam PBB) tertanggal 26 Juni 1945. Untuk

Mahkamah Internasional mengenai Perampasan Kapal tidak pernah dapat dibentuk

karena tidak mencukupi jumlah ratifikasi yang diperlukan.

Page 3: BAB III - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2102/1/Bab 3.pdf · Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara

Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional menyatakan bahwa dalam

mengadili perkara yang diajukan kepada Mahkamah Internasional akan digunakan:

i. Perjanjian Internasional;

ii. Kebiasaan Internasional;

iii. Prinsip Hukum Umum;

iv. Keputusan Pengadilan dan Doktrin;

Dari sumber-sumber di atas dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis sumber yaitu

sumber utama atau primer dan sumber tambahan atau subsider. Untuk itu ada baiknya

kita bahas satu per satu sumber hukum internasional pada bagian selanjutnya.

Page 4: BAB III - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2102/1/Bab 3.pdf · Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara

PERJANJIAN INTERNASIONAL

1. Pengertian Umum Dan Istilah Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional yang pada hakekatnya merupakan sumber hukum

internasional yang utama adalah instrumen-instrumen yuridis yang menampung

kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk

mencapai tujuan bersama. Persetujuan bersama yang dirumuskan dalam perjanjian

tersebut merupakan dasar hukum internasional untuk mengatur kegiatan negara-

negara atau subjek hukum internasional lainnya di dunia ini. Perjanjian

internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-

bangsa dan bertujuan untuk memberikan akibat hukum tertentu.

Dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional (treaty)

dirumuskan sebagai:

Suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis dan diatur

oleh hukum internasional, baik dalam bentuk instrumen tunggal, dua instrumen

atau lebih yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya.

Definisi ini kemudian dikembangkan dalam oleh Pasal 1 ayat (3) Undang-undang

No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, yaitu:

Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun,

yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah

Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau

subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban

kepada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.

Sedangkan menurut undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional yang dibuat dengan merujuk kepada Konvensi Wina tersebut,

menyatakan bahwa perjanjian internasional yang dimaksud dalam undang-undang

No. 24 Tahun 2000 adalah:

Setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional,

dan dibuat oleh pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau

subjek hukum internasional lain.

Dari pengertian atau definisi yang sudah diberikan di atas dapat dilihat ada dua

unsur pokok yang terdapat dalam suatu perjanjian internasional, yaitu:

i. Adanya subjek hukum internasional;

Page 5: BAB III - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2102/1/Bab 3.pdf · Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara

Artinya suatu perjanjian adalah dianggap perjanjian internasional jika pelaksana

perjanjian internasional tersebut adalah subjek hukum internasional yaitu

antara negara, negara dengan subjek hukum lain, dan antara subjek hukum satu

sama lainnya.

ii. Adanya rejim hukum internasional;

Artinya suatu perjanjian adalah dianggap perjanjian internasional apabila

perjanjian tersebut diatur oleh rejim hukum internasional. Perjanjian yang

tunduk dan diatur oleh rejim hukum nasional suatu negara tidak termasuk

dalam perjanjian internasional (treaty), walaupun salah satu atau semua

pihaknya adalah subjek hukum internasional

Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986

mengenai Hukum Perjanjian antara Negara dan Organisasi Internasional atau antara

Organisasi-organisasi Internasional tidak memberikan pembedaan terhadap

berbagai bentuk perjanjian internasional. Pada umumnya bentuk dan nama

perjanjian menunjukkan bahwa materi yang diatur oleh perjanjian tersebut memiliki

bobot kerja sama yang berbeda tingkatannya. Namun demikian, secara hukum

perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang

dalam suatu perjanjian internasional. Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu

bagi perjanjian internasional pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud

para pihak terkait serta dampak politik dan hukum bagi para pihak tersebut.

Adapun bentuk-bentuk perjanjian internasional yang sering dipraktekkan di

Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Traktat (Treaty)

Bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang sangat penting

yang mengikat negara secara menyeluruh, yang umumnya bersifat

multilateral.

b. Konvensi (Convention)

Suatu perjanjian penting dan resmi yang bersifat multilateral. Konvensi

biasanya bersifat “Law Making Treaty” dengan pengertian yang meletakkan

kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional.

c. Persetujuan (Agreement)

Suatu bentuk perjanjian internasional yang isinya tidak termasuk materi

seperti yang dikategorikan dalam treaty atau convention. Umumnya

bersifat bilateral.

Page 6: BAB III - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2102/1/Bab 3.pdf · Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara

d. Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding)

Bentuk lain dari perjanjian internasional yang memiliki sifat khas. Dalam

prakteknya, kerjasama melalui MoU lebih disukai karena dianggap

sederhana dan dapat dibuat sebagai persetujuan induk atau sebagai

pelaksanaan perjanjian yang mengatur hal-hal teknis. Karena dianggap

sederhana maka umumnya MoU tidak perlu diratifikasi.

e. Pengaturan (Arrangement)

Bentuk perjanjian yang dibuat sebagai pelaksana teknis dari suatu perjanjian

internasional yang telah ada, atau sering disebut implementing

arrangement.

f. Agreed Minutes/Summary Records/Records of Discussion

Suatu kesepakatan antara wakil-wakil lembaga pemerintahan tentang hasil

akhir atau hasil sementara dari suatu pertemuan teknis. Bentuk ini banyak

dipakai untuk merekam pembicaraan pada acara-acara kunjungan resmi

atau tidak resmi, atau untuk mencapai kesepakatan sementara sebagai

bagian dari rangkaian putaran perundingan mengenai suatu masalah.

g. Pertukaran Nota Politik (Exchange of Notes)

Instrumen diplomatic yang berisi pertukaran penyampaian atau

pemberitahuan resmi posisi Pemerintah masing-masing yang telah disetujui

bersama mengenai suatu masalah tertentu. Exchange of Note dapat berupa

sekedar pelaksanaan tindak lanjut dari suatu persetujuan yang telah dicapai;

konfirmasi dari kesepakatan lisan yang telah dicapai sebelumnya;

kesepakatan tentang perbaikan dari suatu perjanjian yang telah berlaku;

atau suatu perjanjian yang ditandatangani di tempat yang berbeda dan

dalam waktu yang tidak sama.

h. Atau istilah lain seperti Joint Statement, Modus Vivendi, Protocol, Charter,

Joint Declaration, Final Act, Process Verbal, Memorandum of Cooperation,

Side Letter, Reciprocal Agreement, Letter of Intent, Aide Memoire, atau

Demarche.

2. Kekuasaan Membuat Perjanjian Internasional

Konstitusi masing-masing negara umumnya mengatur dengan jelas badan yang

berwenang untuk melakukan pembuatan perjanjian internasional. Dalam hal ini,

ada tiga bentuk kewenangan dalam memmbuat perjanjian internasional, yaitu:

a. Kewenangan Mutlak Eksklusif;

Kewenangan ini biasanya terdapat pada system monokrasi dengan

kekuasaan terfokus kepada kepala negara sebaga kepala eksekutif. Sistem

ini biasanya dipakai pada system monarki absolut.

Page 7: BAB III - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2102/1/Bab 3.pdf · Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara

b. Kewenangan Mutlak Legislatif;

Kewenangan ini biasanya berkembang pada saat lembaga legislative suatu

negara memegang seluruh kekuasaan termasuk kekuasaan pembuatan

perjanjian.

c. Pembagian Kewenangan antara Eksekutif dengan Legislatif;

Sistem ini dianut oleh banyak negara di dunia, dimana kewenangan untuk

membuat perjanjian berada di tangan lembaga eksekutif, namun untuk

melaksanakannya lembaga eksekutif harus meminta persetujuan dari pihak

legislative. Ini merupakan pembagian kerjasama antara rejim presidential

dengan rejim parlementer.

Pada umumnya, negara bagian dari suatu negara federal tidak mempunyai

wewenang mengadakan perjanjian internasional. Namun, terkadang ada juga yang

diberikan wewenang oleh konstitusi federal negara yang bersangkutan untuk

mengadakan perjanjian internasional. Artinya, wewenang umum untuk

mengadakan perjanjian internasional (treaty making power) dalam suatu negara

federal lazimnya berada pada pemerintah federal.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 11 telah menetapkan bahwa yang menjadi

pemegang kekuasaan membuat perjanjian internasional adalah Presiden.

Kemudian dalam peraturan operasional untuk melaksanakan pembuatan dan

pengesahan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia telah

mengeluarkan Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 13 dan 14 Undang-undang No. 37 Tahun 1999

tentang Hubungan Luar Negeri. Jelas bahwa dalam konteks pembuatan perjanjian

internasional pemegang treaty making power di Indonesia adalah Presiden yang

memberikan wewenangnya kepada Menteri Luar Negeri. Atas dasar KEPPRES No.

102/2001, ditentukan bahwa Departemen Luar Negeri merupakan bagian dari

pemerintah negara dipimpin oleh seorang Menteri yang bertanggung jawab

langsung kepada Presiden. Tugas pokok DEPLU adalah menyelenggarakan sebagian

tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidang politik dan hubungan di

luar negeri.

Dalam melakukan hubungan luar negeri, Indonesia mengacu kepada ketentuan

dalam Konvensi Wina 1969 mengenai Hukum Perjanjian yang telah menjadi hukum

positif internasional dan dasar hukum pembuatan perjanjian internasional.

Konvensi ini menentukan bahwa yang dapat mewakili negara dalam pembuatan

perjanjian adalah:

a. Kepala Negara (Presiden) atau Kepala Pemerintahan (Perdana Menteri);

b. Menteri Luar Negeri;

Page 8: BAB III - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2102/1/Bab 3.pdf · Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara

c. Kepala Perwakilan atau Misi Diplomatik;

d. Pejabat Pemerintah yang diberi kuasa (full power) oleh Presiden atau

Menteri Luar Negeri.

Selanjutnya dalam pelaksanaan treaty making power, Presiden dibantu oleh

Menteri Luar Negeri, yang selanjutnya Deplu c.q. Dit. Perjanjian Polkamwil dan Dit.

Perjanjian Ekososbud tidak saja bertugas menyiapkan naskah perjanjian, tetapi juga

merundingkan dengan pihak-pihak lainnya dalam perjanjian.

3. Tahap-Tahap Pembuatan Perjanjian

Pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu

tahap penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan dan

penandatanganan, sebagaimana dijelaskan di bawah ini.

a. Tahap Penjajakan

Pada tahap ini para pihak yang ingin membuat perjanjian menjajaki

kemungkinan-kemungkinan untuk dibuatnya perjanjian internasional.

Penjajakan dapat dilakukan melalui inisiatif instansi atau lembaga

pemerintahan (negara) di Indonesia ataupun inisiatif dari calon mitra.

b. Tahap Perundingan

Tahap perundingan merupakan suatu upaya yang ditempuh oleh para pihak

untuk mencapai kesepakatan atas materi yang masih belum dapat disetujui

dalam tahap penjajakan. Tahap ini juga berfungsi sebagai wahana

memperjelas pemahaman setiap pihak tentang ketentuan-ketentuan yang

ada dalam perjanjian internasional.

c. Tahap Perumusan Naskah

Rumusan naskah adalah hasil kesepakatan dalam perundingan oleh para

pihak atas materi perjanjian internasional. Pada tahap ini diberikan tanda

paraf terhadap materi yang telah disetujui, dan dihasilkan juga Agreed

Minutes, atau Minutes of Meeting, atau Records of Discussion atau

Summary Records yang berisi hal-hal yang sudah disepakati, belum

disepakati, serta agenda perundingan berikutnya.

d. Tahap Penerimaan

Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil

perundingan dapat disebut sebagai penerimaan yang ditandai dengan

pemberian tanda paraf pada naskah perjanjian oleh masing-masing ketua

delegasi. Terhadap perjanjian multilateral, proses penerimaan biasanya

merupakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian

internasional.

Page 9: BAB III - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2102/1/Bab 3.pdf · Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara

e. Tahap Penandatanganan

Tahap ini merupakan tahap terakhir dari sebuah perundingan untuk

melegalisasi kesepakatan yang dituangkan dalam naskah perjanjian

internasional. Namun penandatanganan tidak selalu berarti pemberlakuan

perjanjian internasional. Pemberlakuan tergantung dari klausula

pemberlakuan yang telah disepakati dalam perjanjian internasional.

Setelah suatu perjanjian internasional ditandatangani, maka naskah tersebut

disimpan oleh Menteri Luar Negeri c.q. Direktorat Perjanjian Ekososbud sebagai

pelaksana tugas Menteri Luar Negeri sebagai Pejabat Pemelihara naskah asli

perjanjian internasional.

4. Proses Ratifikasi

Penandatanganan suatu perjanjian belum memberikan ikatan hukum bagi para

pihak untuk jenis perjanjian internasional tertentu. Penandatanganan perjanjian

seperti itu harus disertai dengan proses pengesahan yang dilakukan oleh badan

yang berwenang di negaranya. Pengesahan ini disebut dengan “Ratifikasi”.

Page 10: BAB III - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2102/1/Bab 3.pdf · Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara

Pasal 14 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa persetujuan suatu negara

untuk diikat suatu perjanjian dinyatakan dalam bentuk ratifikasi bila:

a. Perjanjian itu sendiri mengharuskan supaya persetujuan diberikan dalam

bentuk ratifikasi;

b. Bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding setuju untuk

mengadakan ratifikasi;

c. Bila utusan-utusan negara menandatangani perjanjian tersebut dengan

syarat utnuk meratifikasinya kemudian, atau;

d. Penerima Kuasa delegasi itu sendiri menyatakan bahwa ratifikasi diharuskan

kemudian.

Adapun kewenangan dan proses ratifikasi suatu perjanjian di Indonesia

dicantumkan dalam Pasal 9, 10 dan 11 ayat (1) Undang-undang No. 24 Tahun 2000.

Pasal 9 menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah

Republik Indonesia dilakukan sepanjang disyaratkan oleh perjanjian internasional

tersebut, dan dilaksanakan dengan undang-undang atau keputusan presiden.

Pengesahan atau ratifikasi perjanjian internasional yang dilakukan dengan

undang-undang (Pasal 10), apabila berhubungan dengan:

a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;

b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik

Indonesia;

c. Kedaulatan atau hak berdaulat negara;

d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

e. Pembentukan kaidah hukum baru;

f. Pinjaman atau hibah luar negeri.

Pasal 11 ayat (1) menyebutkan bahwa untuk ratifikasi perjanjian internasional

yang dilakukan melalui keputusan presiden, apabila materi perjanjian tersebut tidak

termasuk seperti yang dicantumkan dalam Pasal 10. Materi perjanjian ini bersifat

prosedural dan memerlukan penerapan dalam jangka waktu singkat tanpa

mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional. Jenis-jenis perjanjian ini

diantaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerja sama di bidang ilmu

pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran

niaga, penghindaran pajak berganda, dan penanaman modal serta perjanjian yang

bersifat teknis.

Proses ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia baik bilateral maupun

multilateral melalui Keppres ataupun undang-undang, oleh lembaga pemrakarsa

Page 11: BAB III - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2102/1/Bab 3.pdf · Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara

atau instansi terkait dalam perjanjian tersebut mengadakan rapat interdepartemen

dengan tujuan:

a. Menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan, rancangan undang-

undang atau rancangan keputusan presiden tentang pengesahan

perjanjian internasional dimaksud serta dokumen-dokumen yang

dibutuhkan lainnya.

b. Mengkoordinasikan pembahasan rancangan atau materi permasalahan

dimaksud bersama dengan pihak-pihak terkait lainnya.

c. Prosedur pengajuan pengesahan perjanjian internasional dilakukan

melalui Menteri untuk disampaikan kepada Presiden.

5. Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional

Pasal 2 Konvensi Wina menyebutkan bahwa suatu perjanjian internasional

mulai berlaku dengan mengikuti cara dan tanggal yang ditetapkan dalam perjanjian

atau sesuai dengan persetujuan antara negara-negara yang berunding, dan

mungkin juga suatu perjanjian berlaku segera setelah semua negara yang

berunding setuju untuk diikat dalam perjanjian.

Pasal 25 Konvensi Wina juga menyebutkan bahwa suatu perjanjian atau

sebagian dari perjanjian diberlakukan sementara waktu sambil menunggu saat

mulai berlakunya, jika memang ditentukan demikian dalam perjanjian atau

berdasarkan persetujuan negara-negara yang berunding.

Pada dasarnya, dalam pelaksanaan hukum perjanjian internasional, kata

sepakat para pihak dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perjanjian yang langsung

dapat berlaku segera setelah perjanjian ditandatangani tanpa perlu menunggu

diratifikasi, dan jenis yang kedua adalah perjanjian internasional yang memerlukan

ratifikasi sesuai dengan prosedur konstitusional yang berlaku di negara masing-

masing pihak.

a. Mulai berlakunya segera sesudah tanggal penandatanganan

Bagi perjanjian-perjanjian bilateral tertentu yang materinya tidak begitu

penting, dan biasanya merupakan perjanjian pelaksanaan, maka umumnya

berlaku segera setelah tanggal penandatanganan. Sedangkan dalam

perjanjian multilateral hal ini jarang terjadi karena banyaknya para pihak

dalam perjanjian tersebut.

Berdasarkan praktek yang berlaku, perjanjian yang memakai klausula ini

dibuat dalam bentuk arrangement, exchange of notes, memorandum of

understanding, dll.

b. Pemberitahuan tentang telah dipenuhinya persyaratan konstitusional

Page 12: BAB III - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2102/1/Bab 3.pdf · Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara

Bagi perjanjian yang tidak langsung berlaku sejak tanggal penandatanganan

harus disahkan terlebih dulu sesuai dengan prosedur konstitusional yang

berlaku di negara masing-masing. Untuk dapat diberlakukannya perjanjian

tersebut diperlukan adanya notifikasi atau pemberitahuan kepada pihak lain

dan demikian juga sebaliknya. Tanggal pemberlakuan efektif perjanjian

biasanya adalah tanggal notifikasi terakhir.

c. Pertukaran Piagam Pengesahan

Suatu perjanjian dapat mensyaratkan para pihak dalam perjanjian tersebut

untuk membuat piagam pengesahan. Piagam pengesahan ini dibuat oleh

masing-masing negara pihak setelah mereka mengesahkan perjanjian

tersebut sesuai dengan ketentuan prosedur konstitusional yang berlaku di

negara masing-masing pihak. Bagi perjanjian bilateral, kedua piagam

tersebut harus dipertukarkan untuk mengefektifkan berlakunya perjanjian

tersebut. Tanggal berlakunya perjanjian biasanya ditentukan berdasarkan

tanggal pertukaran piagam dan disebutkan dalam klausula penutup

perjanjian tersebut.

d. Penyimpanan Piagam Pengesahan

Bagi perjanjian multilateral yang memerlukan piagam pengesahan, karena

banyaknya negara-negara yang menjadi pihak dalam perjanjian, maka

piagam pengesahannya tidaklah dipertukarkan, melainkan cukup disimpan

dan didepositkan di suatu tempat atau negara tertentu. Pada umumnya

tempat tersebut merupakan Sekretariat suatu Badan Internasional atau

negara tertentu yang telah disepakati oleh para pihak perjanjian tersebut.

Pemberlakuan perjanjian biasanya dilakukan apabila sejumlah tertentu

piagam pengesahan telah didepositkan dari negara-negara yang

menandatangani perjanjian. Setelah jumlah yang ditentukan terpenuhi,

maka perjanjian tersebut mulai berlaku efektif dan dapat dilaksanakan oleh

negara yang telah mendepositkan piagam pengesahannya. Khusus bagi

negara yang mendepositkan piagam setelah mulai berlakunya perjanjian,

maka perjanjian tersebut mulai berlaku bagi mereka sejak tanggal

piagamnya didepositkan.

e. Aksesi

Bagi perjanjian yang bersifat terbuka maka negara yang tidak ikut membuat

atau menandatangani suatu perjanjian dapat menjadi pihak pada perjanjian

di kemudian hari dengan mendepositkan piagam aksesi. Piagam tersebut

dapat didepositkan apabila sudah dilakukan prosedur konstitusional

negaranya.

6. Akibat-Akibat Perjanjian

Page 13: BAB III - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2102/1/Bab 3.pdf · Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara

Suatu perjanjian internasional akan mengikat para pihaknya sesuai dengan asas

pacta sunt servanda. Selain itu akan ada akibat-akibat yang timbul karena suatu

perjanjian internasional. Perjanjian internasional akan memberikan akibat kepada

pihak-pihak, yaitu:

a. Akibat terhadap negara-negara pihak;

Pasal 26 Konvensi Wina menyatakan bahwa tiap-tiap perjanjian yang

berlaku akan mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan

itikad baik (good faith). Prinsip ini merupakan asas pokok hukum perjanjian

dan telah diakui secara universal dan merupakan bagian dari prinsip-prinsip

hukum umum (general principles of law).

b. Akibat terhadap negara lainnya;

Pada dasarnya tidak ada perjanjian yang mengikat bagi pihak ketiga yang

tidak ikut terlibat dalam perjanjian tersebut. Asas in dikenal dengan asas

pacta tertiis nex nocent nec prosunt yang artinya bahwa perjanjian tidak

dapat menimbulkan kewajiban-kewajiban dan memberikan hak pada

negara ketiga. Namun demikian, ada beberapa pengecualian untuk prinsip

tersebut, jika :

- Perjanjian yang dibuat mempunyai akibat kepada negara ketiga atas

persetujuan mereka sendiri;

- Perjanjian yang memang memberikan hak-hak kepada negara ketiga;

- Perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga tanpa

persetujuan mereka.

c. Implementasi terhadap peraturan perundang-undangan nasional;

Dengan adanya perjanjian internasional yang telah disahkan oleh suatu

negara, maka akan dibutuhkan ketentuan-ketentuan yang menampung isi

perjanjian tersebut. Artinya diperlukan perundang-undangan nasional yang

menjadi sarana ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian

internasional, bila hal ini tidak dilakukan maka perjanjian tersebut menjadi

tidak dapat dilaksanakan dan tidak bermanfaat bagi negara para pihak.

7. Batal dan Berakhirnya Perjanjian

Batalnya suatu perjanjian karena adanya :

a. Bentuk perjanjian yang salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum

nasional (irregularitas formal);

Termasuk dalam jenis irregularitas formal ini adalah adanya ratifikasi yang

tidak sempurna, yaitu apabila negara meratifikasi suatu perjanjian tanpa

Page 14: BAB III - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2102/1/Bab 3.pdf · Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara

meminta atau memperoleh otorisasi parlemen terlebih dahulu, sedangkan

menurut konstitusi hal tersebut harus dilakukan.

b. Kekeliruan mengenai unsur pokok atau dasar perjanjian (irregularitas

substantial).

Yang termasuk dalam jenis irregularitas substantial ini adalah kekeliruan,

penipuan, korupsi wakil negara, dan kekerasan.

Apabila ada perjanjian yang bertentangan dengan perjanjian sebelumnya, maka

hal ini tidak dapat membatalkan suatu perjanjian yang sudah dibuat. Hal ini hanya

berkaitan dengan persoalan prioritas pelaksanaan saja. Sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 103 Piagam PBB bahwa apabila ada pertentangan kewajiban antara

anggota PBB yang berdasarkan Piagam dengan kewajiban terhadap suatu

perjanjian internasional lainnya, maka kewajiban terhadap Piagam PBB yang harus

diutamakan.

Pembatalan suatu perjanjian internasional memberikan akibat bahwa

ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian tersebut menjadi tidak

mempunyai kekuatan hukum lagi. Apabila kegiatan telah dilakukan maka para pihak

harus mengembalikan kepada keadaan semula, dan menganggap bahwa perjanjian

tersebut tidak pernah ada sama sekali. Bila batalnya perjanjian karena adanya

pelanggaran terhadap norma imperatif, negara-negara para pihak hanya

diharuskan untuk menyesuaikan diri dengan norma tersebut.

Bila lahirnya suatu perjanjian internasional didasarkan kepada persetujuan

bersama negara pihak, maka perjanjian tersebut juga berakhir harus dengan

persetujuan bersama. Tetapi, ada juga perjanjian yang berakhir tanpa persetujuan

bersama negara pihak karena adanya peristiwa-peristiwa tertentu yang tidak

terduga sebelumnya. Perjanjian dapat berakhir karena adanya perjanjian atas

persetujuan negara-negara pihak, adanya klausula pembubaran diri, penarikan diri,

dan penangguhan berlakunya konvensi. Selain itu perjanjian juga dapat berakhir

karena persetujuan kemudian dan akibat terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu.

KEBIASAAN INTERNASIONAL

Page 15: BAB III - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2102/1/Bab 3.pdf · Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara

Hukum kebiasaan muncul dari praktek negara-negara melalui sikap dan tindakan

yang diambil terhadap suatu persoalan. Bila suatu negara mengambil suatu

kebijaksanaan dan kemudian diikuti oleh negara-negara lain dan dilakukan berkali-kali

serta tanpa adanya protes dari pihak lain, maka secara berangsur-angsur akan

terbentuk suatu kebiasaan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah setiap

kebiasaan internasional itu merupakan kaidah hukum yang akan menjadi sumber

hukum internasional atau hanya merupakan kesopanan internasional.

Pasal 38 ayat (1) sub (b) menyebutkan bahwa international custom, as evidence of

a general practice accepted as law, artinya bahwa hukum kebiasaan internasional

adalah kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima

sebagai hukum. Dari pengertian di atas dapat kita ketahui ada dua unsur yaitu harus

terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum dan kebiasaan tersebut harus diterima

sebagai hukum. Unsur ini disebut dengan unsur material dan unsur psikologis.

Contoh ketentuan hukum internasional yang timbul dari proses kebiasaan

internasional adalah penggunaan bendera putih sebagai bendera parlementer, yaitu

bendera yang digunakan untuk memberi perlindungan kepada utusan yang dikirim

untuk mengadakan hubungan dengan pihak musuh. Kini bendera putih dijadikan

sebagai simbol perdamaian atau menyerah kalah.

Sebaliknya, dalam hukum perang ada juga kebiasaan yang tidak pernah menjelma

menjadi ketentuan hukum internasional, karena tidak memenuhi rasa keadilan dan

perikemanusiaan. Contohnya dalam Perang Dunia I dan Perang Dunia II, kapal selam

Page 16: BAB III - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2102/1/Bab 3.pdf · Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara

Jerman biasa menenggelamkan kapal dagang pihak lawan tanpa pemberitahuan

terlebih dulu, dan tanpa memberi kesempatan kepada awak kapal untuk

menyelamatkan dirinya. Hal ini berlawanan dengan hukum perang di laut yang

mensyaratkan adanya pemberitahuan dan memberi kesempatan untuk

menyelamatkan diri sebelum menenggelamkan kapal musuh.

PRINSIP-PRINSIP HUKUM UMUM

Menurut Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional, yang dimaksud dengan

prinsip-prinsip hukum umum adalah asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-

bangsa yang beradab (general principles of law recognized by civilized nation). Asas

hukum umum ini harus berdasarkan system hukum modern yaitu system hukum positif

yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara barat yang sebagian besar

merupakan asas dan lembaga hukum Romawi.

Walaupun hukum nasional suatu negara berbeda satu sama lain, namun prinsip-

prinsip pokoknya tetap sama. Prinsip-prinsip tersebut diantaranya adalah asas pacta

sunt servanda, bona fides, dan asas abus de droit. Prinsip-prinsip hukum umum ini juga

termasuk didalamnya asas dalam hukum perdata, pidana, maupun hukum

internasional itu sendiri, seperti asas non intervensi, penghormatan kemerdekaan, dan

sebagainya.

Adanya prinsip hukum umum ini memberikan arti penting dalam perkembangan

hukum internasional karena dengan adanya prinsip-prinsip hukum umum maka

mahkamah tidak akan dapat menolak mengadili perkara dengan alasan tidak ada

hukum yang mengatur persoalan tersebut, sehingga mahkamah kemudian akan dapat

menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya prinsip-prinsip hukum baru dalam hukum

internasional.

PUTUSAN PENGADILAN DAN DOKTRIN

Berbeda dengan sumber hukum yang telah dibahas di atas, putusan pengadilan dan

doktrin merupakan sumber hukum tambahan dalam hukum internasional. Maksudnya

putusan pengadilan dan doktrin dapat digunakan untuk memperkuat atau

membuktikan tentang kaidah hukum internasional yang didasarkan pada sumber

utama di atas, yaitu perjanjian internasional, kebiasaan dan asas hukum umum.

Page 17: BAB III - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2102/1/Bab 3.pdf · Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara

Putusan pengadilan dan doktrin itu sendiri tidak mengikat atau tidak dapat

menimbulkan suatu kaidah hukum.

Putusan pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) sub (d) adalah semua

pengadilan dalam arti luas dan meliputi segala macam peradilan internasional maupun

nasional, termasuk didalamnya mahkamah dan komisi arbitrase.

Sedangkan yang dimaksud dengan doktrin yaitu ajaran sarjana hukum terkemuka

merupakan hasil karya mereka yang dapat dipakai untuk pegangan dan pedoman untuk

menemukan hukum internasional, walaupun ajaran itu sendiri tidak menimbulkan

hukum. Selain yang telah disebutkan di atas, ada juga sumber hukum yang berasal dari

keputusan badan perlengkapan organisasi dan lembaga internasional. Keputusan

badan ini dapat melahirkan berbagai kaidah yang mengatur pergaulan antar anggota

lembaga itu sendiri.

R I N G K A S A N

1. Pengertian sumber hukum;

Arti sumber hukum yang pertama adalah sebagai dasar berlakunya hukum (arti

materiil). Arti sumber hukum yang kedua adalah sumber hukum berdasarkan

kepada permasalahan untuk mendapatkan ketentuan hukum mana yang akan

diterapkan sebagai kaidah dalam hukum internasional (arti formal).

2. Gambaran umum tentang perjanjian internasional;

Setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional,

dan dibuat oleh pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek

hukum internasional lain.

3. Pengertian kebiasaan internasional;

Hukum kebiasaan internasional adalah kebiasaan internasional yang merupakan

kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum.

4. Maksud dari prinsip-prinsip hukum umum;

Prinsip-prinsip hukum umum adalah asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-

bangsa yang beradab (general principles of law recognized by civilized nation).

5. Kedudukan putusan pengadilan dan doktrin sebagai sumber tambahan Hukum

Internasional;

Page 18: BAB III - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2102/1/Bab 3.pdf · Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara

Putusan pengadilan dan doktrin merupakan sumber hukum tambahan dalam

hukum internasional. Maksudnya putusan pengadilan dan doktrin dapat digunakan

untuk memperkuat atau membuktikan tentang kaidah hukum internasional yang

didasarkan pada sumber utama di atas, yaitu perjanjian internasional, kebiasaan

dan asas hukum umum. Putusan pengadilan dan doktrin itu sendiri tidak mengikat

atau tidak dapat menimbulkan suatu kaidah hukum.

L A T I H A N

1. Apakah pengertian sumber hukum dalam arti materiil dan arti formil?

2. Apakah dasar terdapat beberapa macam sumber hukum internasional?

3. Apakah isi Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional?

4. Jelaskan peran penting perjanjian internasional dalam perkembangan hukum

internasional!

5. Apakah yang dimaksud perjanjian internasional?

6. Dalam praktik negara-negara, tahapan pembentukan perjanjian internasional

dibedakan menjadi 2 (dua) golongan. Sebutkan!

7. Apakah arti istilah reservasi dalam perjanjian internasional?

8. Apakah maksud treaty contract?

9. Apakah maksud law making treaty?

10. Apakah yang dimaksud putusan pengadilan dalam Pasal 38 (1) sub (d) Piagam

Mahkamah Internasional?

D A F T A R P U S T A K A

Akehurst, Michael, A Modern Introduction to International Law, 7th edition, Peter Malanczuk, Routledge, New York, 1997

Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, 2003, Alumni, Bandung

Page 19: BAB III - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2102/1/Bab 3.pdf · Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara

Brierly, J.L, The Law of Nations, 6th Edition, Edited by Sir Humpherly Waldock, Oxford, London, 1985

Brownly, Ian. Principles of Publik International Law, Fourth edition, Oxford University Press, 1990

Chairul Anwar, Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1989

Dunoff, Jeffrey L. International Law: Norm, Actors, Process: A Problem Oriented Approach, 2nd edition. Aspen Publishers, NY. 2006

Kusumaatmadja. Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003.

Schwarzenberger, Georg, and Brown, A Manual of International Law, 6th edition, Professional Books Limiter, London and Cardiff, 1976.

Soekotjo Hardiwinoto, Pengantar Hukum Internasional, Badan Penerbit Undip, Semarang, 1995.

Starke, An Introduction to International Law, 9th edition, Butterworths, London, 1987

Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties

http://treaties.un.org/doc/Treaties/1996/11/19961106%2005-

51%20AM/Ch_XXIII_02p.pdf.