pkmrs anak fix

39
ALERGI I. PENDAHULUAN Istilah alergi yang pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 diartikan sebagai “reaksi penjamu yang berubah” bila terjadi kontak dengan bahan yang sama untuk kedua kali atau lebih. Alergi merupakan suatu reaksi menyimpang dari mekanisme pertahanan tubuh terhadap zat/bahan yang secara normal tidak berbahaya bagi tubuh, dan melibatkan sistem kekebalan tubuh terutama antibodi imunoglobulin E (IgE). Alergi merupakan keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh pajanan terhadap suatu antigen (alergen) tertentu yang menimbulkan reaksi imunologik berbahaya pada pajanan berikutnya. (1, 2) Penyakit alergi merupakan kumpulan penyakit yang sering dijumpai oleh dokter anak dan dokter pelayanan primer khususnya pada Negara-negara berkembang. Alergi dapat menyerang setiap organ tubuh, pada anak- anak lebih sering menyerang saluran napas, kulit, dan saluran pencernaan. Ketika kontak dengan zat-zat penimbul alergi (alergen) baik melalui kulit, saluran napas, makanan, maupun suntikan tubuh kita akan melawan zat yang dianggap berbahaya tersebut dengan histamin dan antibodi lainnya. Hal itu membuat tubuh memberikan respon dengan manifestasi klinis seperti 1

Upload: agus-putra

Post on 05-Dec-2015

239 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

PKMRS Alergi

TRANSCRIPT

ALERGI

I. PENDAHULUAN

Istilah alergi yang pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1906

diartikan sebagai “reaksi penjamu yang berubah” bila terjadi kontak dengan

bahan yang sama untuk kedua kali atau lebih. Alergi merupakan suatu reaksi

menyimpang dari mekanisme pertahanan tubuh terhadap zat/bahan yang secara

normal tidak berbahaya bagi tubuh, dan melibatkan sistem kekebalan tubuh

terutama antibodi imunoglobulin E (IgE). Alergi merupakan keadaan

hipersensitivitas yang diinduksi oleh pajanan terhadap suatu antigen (alergen)

tertentu yang menimbulkan reaksi imunologik berbahaya pada pajanan

berikutnya. (1, 2)

Penyakit alergi merupakan kumpulan penyakit yang sering dijumpai

oleh dokter anak dan dokter pelayanan primer khususnya pada Negara-negara

berkembang. Alergi dapat menyerang setiap organ tubuh, pada anak-anak lebih

sering menyerang saluran napas, kulit, dan saluran pencernaan. Ketika kontak

dengan zat-zat penimbul alergi (alergen) baik melalui kulit, saluran napas,

makanan, maupun suntikan tubuh kita akan melawan zat yang dianggap

berbahaya tersebut dengan histamin dan antibodi lainnya. Hal itu membuat

tubuh memberikan respon dengan manifestasi klinis seperti kulit gatal-gatal,

mencret, bersin-bersin, batuk dan lainnya. (1, 3)

Oleh Coobs dan Gell reaksi hipersensitif dikelompokkan menjadi empat

kelas.

Tipe I (Anafilaktik)

Pada reaksi tipe I (reaksi tipe anafilaktik, reaksi hipersensitivitas tipe

cepat), individu tersensitisasi oleh imunogen tertentu melalui pajanan sebelumnya.

Pada kontak awal yang diproduksi adalah IgE yang kemudian beredar ke seluruh

tubuh dan terfiksasi ke permukaan sel mast dan basofil. Saat tubuh kembali

berkontak dengan imunogen yang sama, interaksi antara imunogen dengan

antibody yang sudah melekat ke sel mast menyebabkan pelepasan secara

mendadak dan besar-besaran zat-zat proinflamasi, seperti histamin, yang

terkandung didalam sel-sel tersebut. Apabila jumlah imunogen yang masuk

1

sedikit dan di daerah yang terbatas, maka pelepasan mediatornya juga lokal. Pada

situasi ini, akibatnya adalah terjadinya vasodilatasi lokal disertai peningkatan

permeabilitas dan pembengkakan. Reaksi ini juga menjadi dasar bagi uji kulit oleh

para ahli alergi. Namun apabila imunogen masuk dalam jumlah lebih besar dan

secara intravena ke dalam orang yang sudah peka, maka pelepasan mediator-

mediator dapat sangat banyak dan meluas dan menimbulkan reaksi anafilaktik.

Contoh klasik reaksi anafilaktik tipe generalisata ini dijumpai saat seseorang yang

sudah tersensitisasi mendapat infus intravena suatu alergen seperti penicillin.

Tanda distress muncul dalam beberapa menit atau kurang, dan orang tersebut

dapat meninggal dengan cepat setelah mengalami serangan agitasi, kejang,

bronkospasme, atau kolaps sirkulasi. Reaksi anafilaktik seperti ini terjadi karena

obstruksi bronkus, yang menyebabkan terperangkapnya udara inhalasi di dalam

paru, gagal napas, dan defisit oksigen atau karena faktor-faktor misalnya hipotensi

berat, pembengkakan laring, atau gangguan irama jantung. Rangkaian kejadian ini

disebabkan oleh pembebasan berbagai mediator dari sel mast yang kemudian

mempengaruhi otot polos vaskular dan jalan napas. Reaksi ringan mencakup

rhinitis alergi, angioedema, dan urtikaria.

Tipe II (Sitotoksik)

Reaksi tipe II bersifat sitotoksik. IgG atau IgM dalam darah berikatan

dengan epitop di permukaan imunogen atau antigen MHC (kompleks

histokompabilitas mayor) yang disajikan dipermukaan sel. Akibat dari interaksi

ini mungkin adalah percepatan fagositosis sel sasaran atau lisis sel sasaran setelah

terjadi pengaktifan system C. Apabila sel sasaran adalah agen penginvasi,

misalnya bakteri, maka hasil akhir dari reaksi ini bermanfaat bagi tubuh. Apabila

sel sasaran adalah tubuh sendiri, misalnya eritrosit, maka akibatnya mungkin

adalah suatu bentuk anemia hemolitik. Jenis lain reaksi tipe II adalah sitotoksisitas

yang diperantarai oleh sel yang independen antigen (ADCC). Pada reaksi tipe ini,

immunoglobulin yang ditujukan terhadap antigen-antigen permukaan suatu sel

berikatan dengan sel tersebut. Leukosit seperti neutrofil dan makrofag yan

mempunyai reseptor untuk bagian tertentu (bagian Fc) molekul immunoglobulin

2

tersebut kemudian berikatan dengan sel dan menghancurkannya. Contoh yang

umum untuk reaksi tipe II adalah destruksi eritrosit sewaktu transfusi darah yang

golongan ABO-nya tidak cocok, miastenia gravis, dan sindrom goodpasture

(serangan pada membrane sel ginjal dan paru)

Tipe III (Kompleks Imun)

Reaksi tipe III memiliki beberapa bentuk tetapi akhirnya akan diperantarai

oleh kompleks imun (kompleks imunogen dengan immunoglobulin, biasanya

IgG) yang mengendap di jaringan, arteri, dan vena. Mekanisme dasarnya adalah

pembentukan kompleks imunogen-imunoglobulin di dinding pembuluh. Unsur

kunci dalam reaksi ini adalah pengaktivan jenjang C oleh kompleks imun yang

mengendap dinding pembuluh darah, walaupun sel-sel vaskular bukan merupakan

sumber imunogen. Imunogen berdifusi ke dalam dinding pembuluh dari darah.

Pengaktivan C menyebabkan terbentuknya faktor-faktor kemotaktik yang menarik

neutrofil dari sirkulasi. Kerusakan pembuluh berlanjut apabila neutrofil

mengalami degranulasi (melepaskan enzim litik) ke daerah sekitar. Kerusakan di

jaringan sekitar disebabkan oleh pembentukan mikrotrombus, peningkatan

permeabilitas vascular, dan pelepasan enzim-enzim yang menyebabkan

peradangan, kerusakan jaringan, dan bahkan kematian jaringan. Reaksi tipe III

berbeda dengan reaksi tipe II, kerusakan sel selama reaksi tipe II terbatas pada

tipe sel tertentu yang merupakan “sasaran” spesifik, sedangkan reaksi tipe III

menghancurkan jaringan atau organ dimana saja tempat kompleks imun

mengendap.

Tipe IV (selular)

Reaksi tipe IV (reaksi yang diperantarai oleh sel, reaksi hipersentivitas tipe

lambat) diperantarai oleh kontak sel-sel T yang telah tersensitisasi dengan

imunogen yang sesuai. Reaksi ini cenderung terjadi 12 sampai 24 jam setelah

pajanan awal ke imunogen. Sel-sel CD4 (T helper) melepas sitokin yang menarik

dan merangsang makrofag untuk membebaskan mediator-mediator peradangan.

Apabila imunogen menetap, maka kerusakan jaringan yang disebabkan oleh

proses ini dapat berkembang menjadi reaksi granulomatosa kronik misalnya

3

berkumpulnya sel-sel mononukleus di daerah kerusakan jaringan. Berbagai

imunogen seperti virus, bakteri,fungus, hapten,dan obat, dapat memicu reaksi tipe

IV. Basil tuberkel tampaknya menyebabkan respon seluler yang menyebabkan

limfotoksisitas. Poison ivy, deterjen, dan parfum juga bisa menyebabkan

dermatitis kontak alergi.

Reaksi tipe 1, 2, dan tipe 3 memerlukan antibodi sedang tipe 4 tidak

memerlukannya, oleh karena yang berperanan pada reaksi tipe 4 adalah sel T .Sel

mast dan basofil berkaitan erat dengan reaksi hipersensitivitas tipe I. Sel mast dan

basofil memiliki peran yang sama dalam mekanisme reaksi alergi. Reaksi dimulai

dengan adanya ikatan antara antigen dengan Ig E pada permukaan sel mast.

Selanjutnya sel mast akan mengalami aktivasi dan melepaskan mediator kimia

yang berkaitan dengan manifestasi klinik alergi.

Alergi sering disamakan dengan reaksi hipersensitif tipe I . Penyakit

alergi merupakan hasil dari interaksi antara faktor predisposisi genetik atopi

dengan alergen lingkungan, infeksi dan polutan. Faktor lingkungan memegang

peranan besar pada sensitisasi awal seseorang yang mempunyai bakat atopi dan

akan menentukan perkembangan gejala klinis serta derajat beratnya penyakit.

Rinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi merupakan jenis penyakit alergi yang

mempunyai jalur imunopatologi yang sama. Perjalanan penyakit alergi merupakan

konsep yang memperlihatkan bahwa penyakit alergi saling berhubungan dan

tampilan penyakit alergi berubah menurut umur. (1, 3-5)

Penyakit alergi timbul dari paparan yang bersifat akut atau kronis pada

individu yang peka terhadap alergen tertentu dengan cara mengisap, menelan,

kontak, atau injeksi alergen tersebut. Gejala yang muncul paling sering

melibatkan hidung (rhinitis), mata (konjungtivitis), paru-paru (asma), kulit

(dermatitis atopik atau angioedema), atau saluran pencernaan (alergi makanan dan

intoleransi), gejala dapat muncul pada satu organmaupun kumpulan dari beberapa

sistem organ (anafilaksis).

4

Reaksi alergi terjadi jika seseorang yang telah memproduksi antibodi IgE

akibat terpapar suatu antigen (alergen), terpapar kembali oleh antigen yang sama.

Alergen memicu terjadinya aktivasi sel mast yang mengikat IgE pada jaringan.IgE

merupakan antibodi yang sering terlihat pada reaksi melawan parasit, terutama

untuk melawan cacing parasit yang umumnya mewabah pada negara yang masih

terbelakang.Namun demikian, pada negara maju, respon IgE terhadap antigen

sangat menonjol dan alergi menjadi sebab timbulnya penyakit.Hampir separuh

masyarakat Amerika bagian utara dan juga masyarakat Eropa mempunyai alergi

terhadap satu atau lebih antigen yang berasal dari lingkungan, misalnya serbuk

bunga.Meskipun bahan alergen itu tidak sampai mengakibatkan kematian namun

sangat mengganggu produktivitas karena menyebabkan penderitanya tidak dapat

bekerja maupun sekolah.

II. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi penyakit alergi dilaporkan meningkat, diperkirakan lebih

dari 20 % populasi di seluruh dunia menderita penyakit yang diperantarai oleh

IgE, seperti asma, rinokonjungtivitis, dermatitis atopik atau eksema, dan

anafilaksis. Untuk kasus asma, WHO memperkirakan terjadi pada 5%-15%

populasi anak di seluruh dunia. Di Indonesia prevalensi penyakit alergi yang

telah diteliti pada beberapa golongan masyarakat atau rumah sakit

menunjukkan variasi, misalnya data dari Poliklinik Alergi-Imunologi Anak

RSCM dari pasien anak yang menderita alergi, sekitar 2,4% berupa alergi susu

sapi. Berdasarkan hasil suatu penelitian dengan subjek 44 pasien, terdiri dari 28

kasus rinitis alergi (63,6%), asma bronkial 11 kasus (25,0%), dermatitis atopik

18 kasus (40,9%), dan konjungtivitis alergi 1 kasus (2,3%). Dari 44 kasus

alergi di dapat 24 kasus pada anak perempuan (54,5%) dan 20 anak laki-laki

(45,5%). (alergi anak, sari pediatri). Beberapa survei yang cukup besar

menunjukkan prevalensi alergi obat pada anak berkisar antara 2,8 % sampai

7,5 %. Penelitian meta-analisi pada 17 studi prospektif menunjukkan proporsi

penderita rawat inap karena alergi obat sekitar 2,1 %, 39,3 % merupakan reaksi

5

yang mengancam jiwa. Insidens reaksi simpang obat pada anak yang dirawat di

rumah sakit sekitar 9,5 % dan pada penderita rawat jalan sekitar 1,5 %. (6)

III. ETIOLOGI

Reaksi alergi terjadi jika seseorang yang telah memproduksi antibodi

IgE akibat terpapar suatu antigen (alergen), terpapar kembali oleh antigen

yang sama. Alergen bisa berupa partikel debu, serbuk tanaman, obat atau

makanan yang bertindak sebagai antigen yang merangsang terjadinya respon

kekebalan. (3, 5)

Contoh alergen yang bisa menjadi pencetus alergi adalah :

Alergen yang teridentifikasi pada asma adalah debu rumah, human dander

dan mite culture, serta kecoa. Alergen lain adalah dog dander dan alergen

makanan berupa coklat dan makanan laut

Indoor allergen banyak ditemui di sekitar kita misalnya tungau debu

rumah yang banyak terdapat pada karpet, atau tempat tidur (kasur, bantal).

Peran indoor allergen sebagai pemicu asma tidak terlepas dari hubungan

alergen dengan lingkungan, tidak sekedar dosis pajanan (kuantitatif ) atau

lama pajanan.

Pada kasus rinitis alergi, alergen positif adalah debu rumah, mite culture,

human dander, kecoa dan alergen makanan laut.

Untuk kasus dermatitis atopi, alergen yang teridentifikasi berupa debu

rumah dan human dander, kecoa, mite culture, alergen dog dander,

makanan laut, telur, maize pollen, mixed fungi, dan cat dander. Alergen

hirup merupakan alergen yang turut berperan dalam dermatitis alergi.(7)

Gambar 1. Alergen

6

Alergen memicu terjadinya aktivasi sel mast yang mengikat IgE pada

jaringan. Selanjutnya sel mast akan mengalami aktivasi dan melepaskan

mediator kimia yang berkaitan dengan manifestasi klinik alergi. Sel mast

ditemukan oleh Ehrlich dan dinamakan sel mast karena sitoplasmanya penuh

dengan granula. Sel ini tersebar luas dalam jaringan ikat, berkelompok kecil-

kecil dekat pembuluh darah. Sel mast berukuran ± 12 µm, berbentuk

lonjong, tidak teratur dan kadang-kadang memiliki pseudopodia pendek,

menunjukkan mobilitasnya yang lambat. Inti sel berbentuk bulat, relatif

kecil dan berwarna basofil/kebiruan, sering tertutup granula sitoplasma. (8)

Gambar 2. Sel Mast

Sel mast merupakan bagian dari sel pengembara jaringan ikat yang

memiliki pseudopodia untuk melakukan mobilisasi. Pada dasarnya sel mast

terdapat pada semua organ, terutama pada jaringan mukosa paru-paru,

traktus digestivus, dan kulit. Kepadatan sel mast di dalam kulit normal

manusia sekitar 10000/mm3 ). Sel mast dari jaringan ikat mempunyai

beberapa persamaan karakteristik sitologikal dan fungsional dengan basofil,

tapi mereka merupakan 2 sel yang berbeda jenis. Basofil berasal dari

sumsum tulang, masuk ke dalam sirkulasi darah, dan bermigrasi melalui

endotel venula masuk ke dalam jaringan ikat ). Sel mast berasal dari jaringan

ikat, ditemukan terutama di sekitar pembuluh darah kecil dan berasal dari

perivascular mesenchymal cell. Sel mast diaktifkan apabila terjadi cross

linking atau bridging dari molekul FceRI oleh ikatan antigen dengan Ig E

yang menempati molekul tersebut. (3, 4, 8)

7

Gambar 3. Ikatan antara molekul FceRI oleh antigen dengan Ig E yang

menempati molekul tersebut

Atopi atau predisposisi genetik untuk memproduksi IgE spesifik

setelah pajanan alergen merupakan komponen dari penyakit atopi seperti

asma, rinitis alergi, alergi makanan, dan dermatitis atopi. Faktor

lingkungan memegang peranan penting dalam memulai sensitisasi

seseorang yang mempunyai bakat alergi. Penyakit atopi ditandai dengan

kecenderungan untuk menghasilkan antibodi IgE terhadap inhalan ( benda

yang terhirup, seperti serbuk bunga, bulu binatang, partikel debu) yang

tidak berbahaya. Eksim (dermatitis atopi) juga merupakan penyakit atopi

meskipun peran IgE dalam penyakit ini masih belum jelas. Seorang yang

menderita penyakit atopi tidak memiliki resiko membentuk antibodi

terhadap alergen yang disuntik (misanya obat dan serangga) (3, 5)

8

IV. PATOFISIOLOGI

Reaksi alergi terpicu jika alergen berikatan silang dengan IgE yang

telah terikat sel mast. Sel mast mempunyai reseptor FcR yang dapat mengikat

IgE. Sel mast mempunyai fungsi sebagai pemberi peringatan adanya infeksi

pada daerah dimana sel tersebut berada. Sel mast yang teraktivasi akan

mensekresikan sitokin proinflamasi yang tersimpan pada granula dan juga

mensintesis prostagladin, leukotrin, dan sitokin lain. Pada alergi, sel mast

menimbulkan reaksi terhadap antigen yang sebenarnya tidak berbahaya.

Reaksi-reaksi yang berkembang itu sebenarnya tidak ada kaitannya dengan

invader yang seharusnya dieliminasi. Seberapa berat akibat aktivasi sel mast

oleh IgE sangat tergantung dengan banyaknya antigen yang masuk dan juga

rutenya. (4)

Pada kasus alergi serbuk sari, gejala yang timbul dapat ringan berupa

pilek, namun di pihak lain dapat menyebabkan kematian jika terjadi kolaps

pada sistem sirkulasi, misalnya terjadi anafilaksis sistemik. Alergi fase cepat

yang ditimbulkan oleh degranulasi sel mast diikuti oleh inflamasi yang

berkelanjutan, yang dikenal dengan istilah respon fase lambat. Respon fase

lambat ini melibatkan perekrutan sel-sel efektor, terutama limfosit TH2,

basofil, dan eosinofil yang berkontribusi pada imunopatologi pada reaksi

alergi. (4)

Respon inflamasi yang terjadi setelah IgE mengaktivasi sel mast

dapat terjadi dalam hitungan detik yang disebut reaksi fase cepat dan reaksi

fase lambat yang makan waktu 8-12 jam. Reaksi fase cepat disebabkan oleh

aktivitas histamin, prostaglandin, dan mediator lain yang telah terbentuk

sebelumnya ataupun disintesis dengan sangat cepat yang meningkatkan

permeabilitas vaskuler dan kontraksi otot polos. Reaksi fase lambat yang

terjadi pada sekitar 50% pasien yang sebelumnya telah mengalami reaksi fase

cepat, disebabkan oleh induksi sintesis dan pelepasan mediator seperti

leukotrin, kemokin, prostaglandin, dan sitokin seperti IL-5 dan IL-13 yang

berasal dari aktivasi basofil dan sel mast. Semua rangkaian reaksi di atas akan

menyebabkan perekrutan sel-sel leukosit termasuk limfosit TH2 dan eosinofil

9

menuju daerah yang mengalami inflamasi. Reaksi fase lambat berhubungan

dengan fase kedua kontraksi otot polos yang dimediasi oleh sel T. Pada reaksi

tersebut terjadi adema yang berlangsung lama dan juga terjadi remodeling

jaringan seperti hipertropi dan hiperlasia otot polos. Reaksi fase lambat dan

kelanjutannya, merupakan inflamasi alergi kronik, yang disamakan dengan

reaksi hipersensitif tipe IV. Inflamasi alergi kronik ini berkontribusi pada

terjadinya penyakit yang sangat parah dalam waktu yang panjang, seperti

asma kronik. Asma fase kronik ditandai dengan munculnya sitokin yang

dilepas TH1 contohnya IFNγ dan juga sitokin yang dilepas oleh TH2 secara

bersama-sama. Dan telah diketahui bahwa pada asma pengaruh sitokin dari

TH2 lebih dominan daripada sitokin dari TH1.(9)

Gambar 4. Mekanisme Th2-cytokine dalam kaskade Alergi yang melibatkan

eosinofil, granulosit-makrofag, sel mast.

V. MANIFESTASI KLINIS DAN JENIS ALERGI

1. Asma Bronkial

Asma adalah kondisi peradangan kronis pada saluran napas paru-paru yang

mengakibatkan obstruksi aliran udara episodik.Meskipun penyebab asma anak

10

belum ditentukan, penelitian kontemporer memperlihatkan kombinasi paparan

lingkungan, serta kerentanan biologis dan genetik. Eksposur pernapasan dalam

lingkungan ini mencakup alergen inhalan, infeksi virus pernapasan, dan zat kimia

dan biologis dari polusi udara seperti asap tembakau di lingkungan. Asma

umumnya digambarkan dengan manifestasi klinis mengi intermitten, atau rekuren,

dengan/tanpa batuk, yang berasal dari proses patologis dari saluran udara yang

berbeda yang mendasari berbagai jenis asma. Ada 2 jenis utama asma anak, mengi

berulang pada anak usia dini, terutama dipicu oleh infeksi virus umum dari

saluran pernapasan dan tidak ditemukan tanda-tanda reaksi hipersensitivitas

terhadap alergen (intrinsik), dan asma kronis yang berhubungan dengan alergi

yang bertahan dari masa kanak-kanak dan sering terjadi pada masa dewasa, dan

mekanisme serangannya melalui reaksi alergi tipe 1 terhadap alergen (ekstrinsik).

Trias asma, khas berhubungan dengan sinusitis hiperplastik atau poliposis

nasal, hipersensitivitas terhadap aspirin dan obat anti-inflamasi non-steroid

(ibuprofen), dan jarang memiliki onset pada masa kanak-kanak. Bentuk persisten

yang paling umum dari asma anak adalah berhubungan dengan alergi. Batuk

kering intermiten dan/atau mengi ekspirasi merupakan gejala kronis yang paling

umum dari asma. Anak-anak dan orang dewasa memperlihatkan terkaitnya

pemendekan napas dan sesak, anak-anak yang lebih muda lebih memperlihatkan

gejala intermiten, nyeri dada non-focal. Gejala pernapasan bisa lebih buruk di

malam hari, khususnya selama eksaserbasi berkepanjangan dipicu oleh infeksi

saluran pernapasan atau alergen inhalan. Gejala siang hari, sering dikaitkan

dengan aktivitas fisik atau bermain, yang dilaporkan dengan frekuensi terbesar

pada anak-anak.

2. Rhinitis Alergi

Rhinitis alergi (AR) adalah gangguan inflamasi dari mukosa hidung yang

ditandai dengan hidung tersumbat, rinore, dan gatal-gatal dan sering disertai

dengan bersin dan iritasi konjungtiva. Ini adalah penyakit kronis utama dari anak-

anak berdasarkan prevalensinya yang tinggi, ko-morbiditas, dan efek yang

merugikan pada kualitas hidup dan sekolah.

11

Dua prasyarat untuk timbulnya rhinitis alergi adalah kepekaan terhadap

alergen dan kehadirannya di lingkungan.Rhinitis alergi diklasifikasikan dalam

jenis intermiten dan persisten. Alergen inhalan merupakan penyebab utama dari

rhinitis alergi terlepas dari klasifikasi tersebut. Rhinitis alergi musiman

(intermiten) didefinisikan dengan eksaserbasi musiman, rhinitis alergi tahunan

(persisten) menimbulkan gejala sepanjang tahun.

Gejala rhinitis alergi sering diabaikan atau keliru dikaitkan dengan infeksi

saluran pernapasan. Dimana anak-anak yang lebih tua mampu untuk meniupkan

hidung mereka, anak-anak yang lebih muda cenderung hanya bisa mendengus.

Gatal-gatal pada hidung akan membuat anak-anak meringis, berkedut, dan

mengorek hidung yang dapat mengakibatkan epistaksis. Anak-anak dengan

rhinitis alergi sering melakukan allergic salute, yaitu gerakan menggosok hidung

ke atas dengan telapak terbuka atau jari telunjuk diperpanjang. Manuver ini

mengurangi gatal dan melegakan sementara jalan napas. Hal ini juga

menimbulkan lipatan pada hidung, lipatan kulit horisontal di atas jembatan

hidung. Keluhan-keluhan umum pada rhinitis alergi yaitu obstruksi intermiten

pada hidung, gatal, bersin, rinore yang jelas dan iritasi konjungtiva. Gejala akan

meningkat dengan paparan alergen dalam waktu yang lebih panjang dan lebih

tinggi. Pasien mungkin mengalami sakit kepala, mengi, dan batuk, dan mungkin

kehilangan indra penciuman mereka dan perasa. Hidung tersumbat sering terjadi

lebih parah di malam hari, hal ini menyebabkan adanya pernapasan mulut dan

mendengkur, yang mengganggu tidur, dan membuat anak gelisah.

Rhinitis Alergi sering dikaitkan dengan kondisi ko-morbiditas. Sinusitis kronis

adalah komplikasi umum dari rhinitis alergi, dengan proses inflamasi yang

ditandai dengan eosinofilia, penebalan mukosa, dan poliposis nasal. Trias sinusitis

asma (asma, sinusitis dengan poliposis nasal, dan sensitivitas aspirin) sering

menunjukkan respon yang buruk terhadap terapi. Pasien yang menjalani bedah

sinus endoskopi berulang akan menurun tingkat penyembuhannya di setiap

prosedurnya secara berturut-turut.

Anak-anak dengan rhinitis alergi telah dibuktikan memiliki peningkatan

kecemasan dan masalah fisik, sosial, dan emosional yang mempengaruhi belajar

12

dan kemampuan untuk berhubungan dengan teman sebayanya. Gejala-gejala

rhinitis alergi berkontribusi terhadap sakit kepala dan kelelahan, terbatasnya

kegiatan sehari-hari, mengganggu tidur, dan berkontribusi terhadap absensi

sekolah. Anak-anak dengan rhinitis alergi mengalami frustrasi atas penampilan

mereka. Kedua rhinitis alergi yang tidak terkontrol dan efek samping obat sedatif

dapat mengurangi fungsi kognitif dan pembelajaran.

Angka yang dilaporkan atas remisi rhinitis alergi pada anak-anak adalah 10-

23%. Terapi dengan antihistamin generasi ke-2 dan kortikosteroid intranasal

secara signifikan meningkatkan kualitas kesehatan yang berhubungan dengan

langkah-langkah hidup pada pasien dari segala usia, asalkan mereka terus minum

obat mereka.

3. Anafilaksis

Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis akibat reaksi imunologis (reaksi

alergi) yang bersifat sistemik, cepat dan hebat yang dapat menyebabkan gangguan

respirasi, sirkulasi, pencernaan dan kulit. Jika reaksi tersebut cukup hebat dapat

menimbulkan syok yang disebut sebagai syok anafilaktik. Syok anafilaktik

membutuhkan pertolongan cepat dan tepat. Beberapa faktor yang diduga dapat

meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat

atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang sering

menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga,

dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri,

putih telur, dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi

anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik

khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID,

opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi

darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis. (6)

13

Anafilaksis terjadi ketika ada pelepasan tiba-tiba mediator aktif biologis

dari sel mast dan basofil yang mengarah ke kulit (urtikaria, angioedema, flushing),

pernafasan (bronkospasme, edema laring), kardiovaskuler (hipotensi, disritmia,

iskemia miokard), dan gejala gastrointestinal (mual, nyeri kolik abdomen,

muntah, diare).Gambaran patologis utama dalam anafilaksis yang fatal yaitu

hiperinflasi paru akut, edema paru, perdarahan intra-alveolar, obstruksi viseral,

edema laring, dan urtikaria dan angioedema.Hipotensi akut disebabkan pelebaran

vasomotor dan/atau detak jantung tak beraturan.

Timbulnya gejala dapat beragam, tergantung pada penyebab reaksi. Reaksi

dari alergen ingesti (makanan, obat-obatan) tertunda dalam onset (menit sampai 2

jam) dibandingkan dengan alergen injeksi (sengatan serangga, obat-obatan) dan

cenderung memiliki gejala yang lebih mengarah pada gastrointestinal. Gejala awal

akan bervariasi tergantung pada etiologi dan mungkin termasuk salah satu

konstelasi berikut, gejala: pruritus pada mulut dan wajah, sensasi hangat, lemah,

dan ketakutan, memerah, urtikaria dan angioedema, pruritus oral, sesak di

tenggorokan, staccato batuk kering dan suara serak, pruritus periokular, hidung

14

tersumbat, bersin, dispnea, batuk yang mendalam, dan mengi, mual, kram perut,

dan muntah, terutama dengan alergen ingesti, kontraksi uterus (digambarkan

dengan nyeri punggung bawah tidak jarang), dan pingsan dan kehilangan

kesadaran pada kasus yang berat. Beberapa tingkat obstruktif edema laring

biasanya ditemui dalam reaksi yang parah. Gejala kulit mungkin absen sampai

dengan 20% dari kasus, dan onset akut bronkospasme berat dengan asma

sebelumnya juga dapat menunjukkan diagnosis anafilaksis.Kolaps tiba-tiba tanpa

adanya gejala kulit juga dapat meningkatkan kecurigaan terhadap kolapsnya

vasovagal, infark miokard, aspirasi, emboli paru, atau gangguan kejang. Edema

laring, terutama dengan nyeri abdominal, menunjukkan angioedema herediter.

4. Urtikaria dan Angoedema

Urtikaria adalah erupsi kulit menyeluruh, menonjol, berbats tegas, umumnya

berbentuk bulat, gatal, eritematus dan berwarna putih di bagian tengah bila

ditekan. Angioedema adalah pembengkakan asimetris, non pitting, dan umunya

tidak gatal. Penyebab urtikaria terbanyak adalah degranulasi sel mast dengan

akibat munculnya urtika dan kemerahan karena lepasnya prefromed mediator,

histamin, juga newly formed mediator. Pada anak, hal ini terutama terjadi akibat

paparan terhadap alergen. Sumber utama alergen yang mencetuskan urtikaria

dengan perantaraan IgE adalah makanan dan obat. (10)

5. Alergi makanan dan Intoleransi

Alergi makanan adalah suatu respons normal terhadap makanan yang

dicetuskan oleh suatu reaksi yang spesifik didalam suatu sistem imun dan

diekspresikan dalam berbagai gejala yang muncul dalam hitungan menit setelah

makanan masuk, namun gejala dapat muncul hingga beberapa jam kemudian.

Kebanyakan reaksi hipersensitivitas disebabkan oleh susu, kacang, telur, kedelai,

ikan, kerang, gandum. Seperti alergen lain, alergi terhadap makanan dapat

bermanifestasi pada satu atau berbagai organ target : kulit (urtikaria, angioedema,

dermatitis atopik), saluran napas (rinitis, asma), saluran cerna (nyeri abdomen,

muntah, diare) dan sistem kardiovaskuler (syok anafilaksis). (1, 6)

Alergi susu sapi adalah reaksi simpang terhadap protein susu sapi yang

diperantarai reaksi imunologi. Alergi susu sapi yang tidak diperantarai IgE lebih

15

sering mengenai saluran cerna, kulit dan saluran napas serta berhubungan dengan

resiko tinggi timbulnya alergi saluran napas. Edema dan gatal pada bibir, mukosa

oral, dan faring terjadi jika makanan kontak dengan mukosa. Muntah dan/atau

diare , terutama pada bayi, bisa ringan, melanjut atau intractable dan dapat berupa

muntah atau buang air besar berdarah. Jika hipersensitivitas berat, dpat terjadi

kerusakan mukosa usus, dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, dan penurunan

berat badan. (6)

VI. DIAGNOSIS

VI.1 Anamnesis

Pada anamnesis umumnya ditanyakan hal-hal seperti berikut :

a. Kapan gejala timbul dan apakah mulainya mendadak atau berangsur.

Umur permulaan timbulnya gejala dapat menuntun kita untuk

membedakan apakah kondisi tersebut diperantarai IgE atau tidak.

b. Karakter, lama, frekuensi dan beratnya gejala. Urtikaria akut lebih

mungkin disebabkan oleh alergen dibanding urtikaria yang kronik.

c. Saat timbulnya gejala. Apakah keluhan paling hebat di waktu pagi, siang,

malam atau tidak menentu. Alergi dapat intermitten setiap tahun atau

berhubungan dengan musim.

d. Pekerjaan dan hobi. Keluhan pasien dapat saja timbul saat berada di

rumah, di sekolah, atau di tempat kerja. Sekitar 5% kasus asma

berhubungan dengan tempat kerja.

e. Pada pasien asma atau alergi saluran napas lain ditanyakan juga tentang

dahak: jumlahnya ( banyak, sedang, sedikit), warnanya (putih, kuning,

hijau) kekentalan (encer, kental)

f. Pengaruh terhadap kualitas hidup

g. Riwayat alergi dalam keluarga. (10)

16

VI.2 Pemeriksaan Fisis

a. Kulit

Seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada perdangan kronik seperti

ekskoriasi, bekas garukan terutama lipatan-lipatan kulit daerah

fleksor. Lihat pula apakah terdapat lesi urtikaria, angioedema,

dermatitis, dan likenifikasi.

b. Mata

Diperiksa terhadap hiperemis konjungtiva, edema, sekret mata yang

berlebihan.

c. Telinga

Lakukan pemeriksaan membran timpani untuk mencari otitis media

d. Hidung

Allergic salute: Pasien dengan menggunakan telapak tangan

menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa

gatal dan melonggarkan sumbatan; allergic crease, garis melintang

akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies, terdiri dari

pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi-geligi. Bagian

dalam diperiksa dengan menggunakan spekulum hidung dengan

bantuan senter untuk menilai warna mukosa, jumlah dan bentuk

sekret, edema, polip hidung, dan abnormalitas anatomi seperti deviasi

septum.

e. Mulut dan orofaring

Pemeriksaan ditujukan untuk menilai eritema, edema, hipertrofi tonsil,

post nasal drip. Pada rinitis alergi, sering terlihat mukosa orofaring

kemerahan, edema, atau keduanya.

f. Dada

Diperiksa secara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi baik

terhadap organ paru maupun jantung. Pada waktu serangan asma

kelainan dapat berupa hiperinflasi, penggunaan otot bantu pernapasan

dan mengi. (10)

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

17

7.1 Pemeriksaan in vitro

a. Hitung eosinofil total

Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk menunjang

diagnosis dan mengevaluasi pengobatan penyakit alergi. Eosinofilia apabila

dijumpai jumlah eosinofil darah lebih dari 450 eosinofil/µL. Hitung eosinofil

total dengan kamar hitung lebih akurat dibandingkan persentase hitung jenis

eosinofil sediaan apus darah tepi dikalikan hitung leukosit total. Eosinofilia

sedang (15%-40%) didapatkan pada penyakit alergi, infeksi parasit, pajanan

obat, keganasan, dan defisiensi imun, sedangkan eosinofilia yang berlebihan

(50%-90%) ditemukan pada migrasi larva. Dibandingkan IgE, eosinofilia

menunjukkan korelasi yang lebih kuat dengan sinusitis berat maupun sinusitis

kronis. Jumlah eosinofil darah dapat berkurang akibat infeksi dan pemberian

kortikosteroid secara sistemik. Dibandingkan IgE, eosinofilia menunjukkan

korelasi yang lebih kuat dengan sinusitis berat maupun sinusitis kronis.

Jumlah eosinofil darah dapat berkurang akibat infeksi dan pemberian

kortikosteroid secara sistemik.

b. Hitung eosinofil dalam sekret

Peningkatan jumlah eosinofil dalam apusan sekret hidung merupakan

indikator yang lebih sensitif dibandingkan eosinofilia darah tepi, dan dapat

membedakan rinitis alergi dari rinitis akibat penyebab lain. Meskipun

demikian tidak dapat menentukan alergen penyebab yang spesifik. Esinofilia

nasal pada anak apabila ditemukan eosinofil lebih dari 4% dalam apusan

sekret hidung, sedangkan pada remaja dan dewasa bila lebih dari 10%.

Eosinofilia sekret hidung juga dapat memperkirakan respons terapi dengan

kortikosteroid hidung topikal. Hitung eosinofil juga dapat dilakukan pada

sekret bronkus dan konjungtiva.

c. Kadar serum IgE total

Peningkatan kadar IgE serum sering didapatkan pada penyakit alergi

sehingga seringkali dilakukan untuk menunjang diagnosis penyakit alergi.(1,2)

Pasien dengan dermatitis atopi memiliki kadar IgE tertinggi dan pasien

asma memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dibandingkan rinitis alergi.(1)

18

Meskipun rerata kadar IgE total pasien alergi di populasi lebih tinggi

dibandingkan pasien non-alergi, namun adanya tumpang tindih kadar IgE pada

populasi alergi dan non-alergi menyebabkan nilai diagnostik IgE total rendah.(1,5)

Kadar IgE total didapatkan normal pada 50% pasien alergi, dan sebaliknya

meningkat pada penyakit non-alergi (infeksi virus/jamur, imunodefisiensi,

keganasan).

d. Kadar IgE spesifik

Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu dapat

dilakukan secara in vivo dengan uji kulit atau secara in vitro dengan metode

RAST (Radio Allergosorbent Test), ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent

Assay), atau RAST enzim.2,5 Kelebihan metode RAST dibanding uji kulit

adalah keamanan dan hasilnya tidak dipengaruhi oleh obat maupun kelainan

kulit. Hasil RAST berkorelasi cukup baik dengan uji kulit dan uji provokasi,

namun sensitivitas RAST lebih rendah.

7.2 Pemeriksaan in vivo

a. Uji kulit

Sel mast dengan IgE spesifik untuk alergen tertentu berlekatan dengan

reseptor yang berafinitas tinggi pada kulit pasien dengan alergi. Kontak

sejumlah kecil alergen pada kulit pasien yang alergi dengan alergen akan

menimbulkan hubungan silang antara alergen dengan sel mast permukaan

kulit, yang akhirnya mencetuskan aktivasi sel mast dan melepaskan berbagai

preformed dan newly generated mediator. Histamin merupakan mediator

utama dalam timbulnya reaksi wheal, gatal, dan kemerahan pada kulit (hasil

uji kulit positif). Reaksi kemerahan kulit ini terjadi segera, mencapai puncak

dalam waktu 20 menit dan mereda setelah 20-30 menit. Beberapa pasien

menunjukkan edema yang lebih lugas dengan batas yang tidak terlalu jelas dan

dasar kemerahan selama 6-12 jam dan berakhir setelah 24 jam (fase lambat).

Terdapat 3 cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal, uji tusuk

(skin prick test/SPT), dan uji gores (scratch test).

19

Uji kulit intradermal: 0,01-0,02 ml ekstrak alergen disuntikkan ke dalam

lapisan dermis sehingga timbul gelembung berdiameter 3 mm. Dimulai

dengan konsentrasi terendah yang menimbulkan reaksi, lalu ditingkatkan

berangsur dengan konsentrasi 10 kali lipat hingga berindurasi 5-15 mm.

Teknik uji kulit intradermal lebih sensitif dibanding skin prick test (SPT),

namun tidak direkomendasikan untuk alergen makanan karena dapat

mencetuskan reaksi anafilaksis.

b. Uji tusuk (skin prick test/SPT):

Uji tusuk dapat dilakukan pada alergen hirup, alergen di tempat kerja, dan

alergen makanan. Lokasi terbaik adalah daerah volar lengan bawah dengan

jarak minimal 2 cm dari lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak

alergen dalam gliserin diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial

kulit ditusuk dan dicungkit ke atas dengan jarum khusus untuk uji tusuk.6

Hasil positif bila wheal yang terbentuk >2 mm. Preparat antihistamin,

efedrin/epinefrin, kortikosteroid dan β-agonis dapat mengurangi reaktivitas

kulit, sehingga harus dihentikan sebelum uji kulit. Uji kulit paling baik

dilakukan setelah pasien berusia tiga tahun. Sensitivitas SPT terhadap alergen

makanan lebih rendah dibanding alergen hirup. Dibanding uji intradermal,

SPT memiliki sensitivitas yang lebih rendah namun spesifisitasnya lebih

tinggi dan memiliki korelasi yang lebih baik dengan gejala yang timbul.

c. Uji provokasi

Uji provokasi dilakukan untuk melihat hubungan antara paparan alergen

dengan gejala pada berbagai organ (kulit, konjungtiva, saluran cerna, paru),

maka dapat dilakukan uji provokasi.

• Uji provokasi bronkial, ekstrak alergen dengan konsentrasi yang makin

tinggi dihirup melalui nebulizer untuk melihat obstruksi jalan napas.

Atkins dalam penelitian menunjukkan bahwa uji provokasi bronkial

berkorelasi baik dengan uji kulit maupun uji alergi in vitro.

• Uji provokasi makanan, dilakukan berdasarkan riwayat makanan yang

dicurigai serta hasil uji kulit ataupun RAST terhadap makanan tersebut.

Pelaksanaannya dapat dilakukan secara terbuka, single-blind, double-

20

blind, atau double-blind placebo-controlled. Jika uji kulit negatif dan

riwayat reaksi terhadap makanan meragukan maka uji provokasi

makanan terbuka dapat dilakukan setelah melakukan diet eliminasi

selama tiga minggu. Pada uji provokasi susu sapi dilakukan dengan

memberikan susu sapi mulai dari 1 tetes/15 menit hingga 30 ml/15

menit, dan bila telah mencapai 200 ml tidak terjadi reaksi alergi, maka

pasien dapat mengkonsumsi susu sapi.

• Uji provokasi sekum (colonoscopic allergen provocation l COLAP),

dilakukan melalui kolonoskopi dengan menyuntikkan ekstrak alergen

ke dalam mukosa sekum. Hasil positif berupa pembentukan wheal dan

kemerahan pada mukosa. Derajat alergi ditentukan secara

semikuantitatif, yaitu 0=tidak ada reaksi, 1=meragukan, 2=reaksi

sedang (diameter <1 cm), 3=reaksi berat (1-2 cm), dan 4=reaksi

maksimal (>2 cm). Hasil COLAP sesuai dengan riwayat alergi, namun

tidak sesuai dengan hasil SPT dan RAST. Kejadian kemungkinan

karena IgE spesifik mukosa usus tidak beredar secara sistemik, atau

reaksi hipersensitivitas pada usus bukan (bukan hanya) merupakan

mekanisme yang IgE-tergantung.

• Uji tempel (patch test), pada umumnya digunakan pada kasus dermatitis

kontak. Alergen yang dicurigai diletakkan pada kulit dan hasil positif

berupa reaksi eksatema dalam 48-72 jam. Selain pada dermatitis

kontak, uji tempel juga dilakukan untuk mendiagnosis alergi makanan

pada anak dengan dermatitis atopi dan esofagitis eosinofilik. Dijumpai

67% anak dengan uji provokasi susu sapi yang positif menunjukkan

hasil SPT (reaksi alergi tipe cepat) yang positif, sedangkan uji tempel

menunjukkan hasil yang negatif. Sebaliknya, uji tempel positif pada

89% anak dengan reaksi alergi tipe lambat (25-44 jam). Dikatakan

bahwa kombinasi uji tusuk dan uji tempel memiliki nilai prediksi positif

tertinggi dan dapat menggantikan uji provokasi makanan. (11)

VIII. PENATALAKSANAAN

21

a. Menghindari alergen spesifik (menghidari makanan penyebab, hentikan

pemakaian obat, dan alergen lainnya). Untuk urtikaria kronik pasien

menghindari penyebab yang dapat menimbulkan urtikaria, seperti: Kondisi

yang terlalu panas, stres, alkohol, dan agen fisik; Penggunaan antibiotik

penisilin, aspirin, NSAID, dan ACE inhibitor ; agen lain yang diperkirakan

dapat menyebabkan urtikaria. (1, 10)

b. Memelihara dan meningkatkan kebugaran jasmani

c. Terapi topikal dapat dengan dekongestan hidung topikal melalui semprot

hidung. Obat yang biasa digunakan adalah oxymetazolin atau

xylometazolin, namun hanya bila hidung sangat tersumbat dan dipakai

beberapa hari (< 2 minggu) untuk menghindari rhinitis medikamentosa.

d. Urtikaria akut, atasi keadaan akut terutama pada angioedema karena dapat

terjadi obstruksi saluran napas. Bila disertai obstruksi saluran napas,

diindikasikan pemberian epinefrin subkutan dengan dosis 0,01 ml/kg

maksimum 0,3 ml yang dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid.

Prednison 60-80 mg/hari selama 3 hari, dosis diturunkan 5-10 mg/hari.

e. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons

fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Obat yang sering dipakai

adalah kortikosteroid topikal: beklometason, budesonid, flunisolid,

flutikason, mometason furoat dan triamsinolon.

f. Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida yang

bermanfaat untuk mengatasi rinorea karena aktivitas inhibisi reseptor

kolinergik pada permukaan sel efektor.

g. Terapi oral sistemik

1). Antihistamin

• Anti histamin generasi 1: difenhidramin, klorfeniramin, siproheptadin.

• Anti histamin generasi 2: loratadin, cetirizine

• Anti histamin generasi 3: desloratadine, fexofenadine

Untuk urtikaria :

Antihistamin (AH) oral nonsedatif, misalnya Loratadin 10 mg/hari

pemakaian 1 x sehari selama 1 minggu.

22

Bila tidak berhasil dikombinasi dengan Hidroksizin 3 x 25 mg atau

diphenhydramine 4 x 25-50 mg / hari selama 1 minggu.

Apabila urtikaria karena dingin, diberikan Siproheptadin (3 x 4 mg)

lebih efektif selama 1 minggu terus menerus.

Antipruritus topikal: cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol

1% atau 2% selama 1 minggu terus menerus.

Apabila terjadi angioedema atau urtikaria generalisata, dapat diberikan

Prednison oral 60-80 mg mg per hari dalam 3 kali pemberian selama 3

hari dan dosis diturunkan 5-10 mg/hari.

2). Preparat simpatomimetik golongan agonis alfa dapat dipakai sebagai

dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi antihistamin.

Dekongestan oral: pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin.

h. Terapi lainnya dapat berupa operasi terutama bila terdapat kelainan

anatomi, selain itu dapat juga dengan imunoterapi. (1, 6, 10)

IX. PROGNOSIS

Prognosis pada umumnya bonam dengan tetap menghindari faktor

pencetusnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. 11. Jakarta : EGC

Penerbit Buku Kedokteran. 2008.

23

2. Donald Y.M. Leung. Allergic Disorders. In: Robert M. Kliegman, Richard E.

Behrman, Hal B. Jenson, Stanton. BF, editors. Nelson Textbook of Pediatrics.

18 th ed. Philadelphia: Elseiver; 2007. p. p2184-94.

3. Berman RE, Kliegman RM Jenson HB.Nelson Essential of Pediatrics. 5th ed.

Philadelphia: WB Saunders Co 2003.

4. Abbas AK, Litchman AH. Cellular And Molecular Immunology. 5th Ed.

Elsevier; 2007

5. Lie T Merijanti S. Peran Sel Mast dalam Reaksi Hipersensitivitas Tipe I

Jurnal Kedokteran Trisakti. 1999;Vol. 18 No. 3:p145-53.

6. Schwartz, M. William; Bell, Louis M.; Bingham, Peter M.; Chung. 5-Minute

Pediatric Consult, 4th Edition. Philadelphia: Lippincot Co 2005.

7. William W. Hay, Jr., MD. Current Pediatric Diagnosis & Treatment,

Eighteenth Edition. United States of America Co 2007

8. American Academy of Pediatric. 2007. Allergies in Children.

Site:http://www.aap.org.

9. JD Peter. 2012. Overview of Allergy and Atopy. Dalam: The Merck Manuals

Online Medical Library for Healthcare Professional.

http://www.merckmanuals.com.

10. Sulistia GG. Farmakologi dan Terapi. Ed.5. Jakarta : Badan Penerbit FKUI.

2011

24