peraturan daerah provinsi nusa tenggara barat ... ntb tentang... · wabah penyakit, kebakaran dan...
TRANSCRIPT
PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
NOMOR 9 TAHUN 2014
TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT,
Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat
dan harta benda serta berhak atas rasa aman dari ancaman
dari suatu kejadian bencana baik yang disebabkan oleh
factor alam, factor nonalam maupun factor manusia;
b. bahwa kejadian bencana dapat menyebabkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis, sehingga diperlukan
upaya perlindungan kepada masyarakat melalui
penyelenggaraan penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh baik
pada masa prabencana, tanggap darurat, maupun pasca
bencana;
c. bahwa peraturan perundang-undangan tentang
penyelenggaraan penanggulangan bencana membutuhkan
penjabaran lebih lanjut dengan memperhatikan nilai-nilai
kearifan lokal;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, perlu membentuk
Peraturan Daerah tentang Penanggulangan Bencana;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang
Pembentukan Wilayah-wilayah Daerah Provinsi Bali, Nusa
Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
1649);
2
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 2014 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5589);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (Lembaga
Negara Republik Indonesia tahun 2008 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4828):
6. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang
Peran serta lembaga Internasional dan Lembaga Asing
Nonpemerintah Dalam Penanggulangan Bencana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4830);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA
BARAT
dan
GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENANGGULANGAN
BENCANA.
3
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan Perangkat Daerah
sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Provinsi
Nusa Tenggara Barat.
2. Gubernur adalah Gubernur Nusa Tenggara Barat.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya
disingkat DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat.
4. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah yang
selanjutnya disebut BAPPEDA adalah lembaga teknis
daerah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi koordinasi
dalam perumusan kebijakan perencanaan pembangunan
daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat.
5. Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang selanjutnya
disingkat BPBD adalah Badan Penanggulangan Bencana
Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat.
6. Masyarakat adalah Masyarakat di wilayah Provinsi Nusa
Tenggara Barat.
7. Forum Pengurangan Risiko Bencana yang selanjutnya
disebut Forum PRB adalah suatu forum yang dibentuk
sebagai media diskusi dan mediasi untuk mengakomodasi
inisiatif-inisiatif pengurangnan risiko bencana di daerah.
8. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam
dan/atau nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
9. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh
alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, abrasi pantai, dan
tanah longsor.
10. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa nonalam yang antara
4
lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan
wabah penyakit, kebakaran dan krisis pangan.
11. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia yang meliputi antara lain konflik sosial antar
kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
12. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah
serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan
pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi.
13. Pengurangan Risiko Bencana adalah kegiatan untuk
mengurangi ancaman dan kerentanan serta meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana.
14. Prabencana adalah situasi dimana belum terjadi bencana.
15. Rencana Penanggulangan Bencana yang selanjutnya
disingkat RPB adalah dokumen perencanaan yang berisi
kebijakan strategi, program dan pilihan tindakan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana dari tahap pra,
tanggap darurat dan pascabencana.
16. Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana yang
selanjutnya disingkat RAD PRB adalah dokumen
perencanaan pengurangan risiko bencana yang berisi
landasan prioritas dan strategi yang disusun oleh seluruh
pemangku kepentinganyang disusun secara partisipatif,
komprehensip, dan sinergis untuk mengurangi risiko
bencana dalam rangka membangun kesiapsiagaan dan
ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana.
17. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi
yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah dokumen
perencanaan Provinsi untuk periode 5 (lima) tahun.
18. Rencana Kerja Pembangunan Daerah Provinsi yang
selanjutnya disingkat RKPD adalah dokumen perencanaan
Provinsi untuk periode 1 (satu) tahun atau disebut dengan
rencana pembangunan tahunan daerah.
19. Satuan Kerja Perangkat Daerah Provinsi yang selanjutnya
disingkat dengan SKPD adalah Satuan Kerja Perangkat
Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat.
20. Kegiatan Pencegahan Bencana adlah serangkaian kegiatan
yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan
dan/atau mengurangi ancaman bencana.
5
21. Status Potensi Bencana Daerah adalah suatu keadaan yang
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah untuk menilai potensi
bencana yang akan terjadi pada jangka waktu tertentu atas
dasar rekomendasi Badan yang diberi tugas untuk
menanggulangi bencana.
22. Daerah Rawan Bencana adalah daerah yg memiliki kondisi
atau karakteristik geologis,biologis, hidrologis, klimatologis,
geografis, social, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi
pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang
mengurangi kemampuan mencegas, meredam, mencapai
kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi
dampak buruk bahaya tertentu.
23. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan
akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu
tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa
terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan
atau kehilangan harta dan gangguan kegiatan masyarakat.
24. Analisa risiko bencana yang selanjutnya disingkat ARB
adalah dokumen kajian risiko bencana.
25. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian,
serta melalui langkah yang tepat guna, dan berdaya guna.
26. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik, maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana.
27. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan dengan segera, pada saat kejadian bencana
untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang
meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta
benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan,
pengurusan pengungsi, penyelamatan serta pemulihan
prasarana dan sarana.
28. Kejadian Luar Biasa yang selanjutnya disingkat KLB adalah
salah satu status yang diterapkan di Indonesia untuk
mengklarifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah
penyakit dimana ada kejadian meningkatnya kesakitan
atau kematian yang bermakna secara epidemologi pada
suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.
29. Wilayah Bencana adalah wilayah tertentu yang terkena
dampak bencana.
6
30. Pascabencana adalah situasi setelah tanggap darurat
bencana.
31. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang
memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran
utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar
semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat
pada wilayah pascabencana.
32. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua
prasarana dan sarana kelembagaan pada wilayah
pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya,
tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran
serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
masyarakat pada wilayah pascabencana.
33. Korban bencana yang selanjutnya disebut Korban adalah
orang atau sekelompok orang yang menderita atau
meninggal dunia akibat bencana.
34. Kelompok rentan adalah bayi, anak usia di bawah lima
tahun, anak-anak, ibu hamil atau menyusui, penyamdang
cacat, orang lanjut usia dan orang sakit.
35. Kerugian adalah berkurang atau hilangnya manfaat dari
suatu kepemilikan korban bencana.
36. Sarana dan Prasarana Penanggulangan Bencana adalah
alat yang dipakai untuk mempermudah pekerjaan,
pencapaian maksud dan tujuan, serta upaya yang
digunakan untuk mencegah, mengatasi, dan
menanggulangi bencana.
37. Kemudahan Akses adalah penyederhanaan proses atas
upaya penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat
tanggap darurat yang meliputi pengkajian secara cepat
terhadap lokasi bencana(need assessment), kerusakan
(demage assessment), dan penyediaan sumber daya;
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan terhadap
kelompok rentan, dan pemulihan dengan segera prasarana
dan sarana fasilitas umum.
38. Lembaga usaha adalah setiap badan hukum yang dapat
berbentuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, koperasi atau swasta yang didirikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
7
menjalankan jenis usaha tetap dan terus menerus yang
bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
39. Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang
dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara Republik
Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan,
profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan
dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila.
40. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian
peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang
kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh
lembaga yang berwenang.
BAB II
ASAS, PRINSIP, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Penyelenggaraan penaggulangan bencana berasaskan:
a. kemanusiaan;
b. keseimbangan, keselarasan dan keserasian;
c. kepastian hokum dan keadilan;
d. kebersamaan dan kemitraan;
e. kelestarian budaya dan lingkungan hidup;
f. ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
g. partisipasi;
Pasal 3
Prinsip penanggulangan bencana adalah:
a. cepat dan tepat;
b. prioritas;
c. koordinasi dan keterpaduan;
d. berdaya guna dan berhasil guna;
e. transparansi dan akuntabilitas;
f. pemberdayaan;
g. nondiskriminasi;
h. nonproletisi; dan
i. kemitraan;
j. pemberdayaan;
8
k. nondiskriminatif; dan
l. membangun kembali kea rah yang lebih baik;
Pasal 4
Penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan untuk
menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan
menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada
masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak bencana.
Pasal 5
Ruang lingkup penyelenggaraan penanggulangan bencana
meliputi;
a. tahap pra bencana, dalam hal ancaman dan/atau dampak
bencana secara potensial lintas Kabupaten/Kota;
b. tahap tanggap darurat, dalam hal status dan tingkatan
kedaruratan bencana ditetapkan oleh Gubernur;
c. tahap Pasca bencana, dalam hal status dan tingkatan
kedaruratan bencana telah ditetapkan oleh Gubernur.
BAB III
KELEMBAGAAN
Pasal 6
(1) Pemerintah Daerah menjadi penanggungjawab dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana.
(2) Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
membentuk BPBD.
(3) BPBD terdiri atas unsur:
a. Pengarah penanggulangan bencana; dan
b. Pelaksana penanggulangan bencana
Pasal 7
BPBD mempunyai tugas:
a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan
bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat
dan tepat, efektif dan efisien; dan
b. Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
9
Pasal 8
BPBD berwenang:
a. Menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan
Pemerintah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana
terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup
pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi serta
rekonstruksi secara adil dan setara;
b. Merumuskan dan menetapkan kebijakan penanganan pengungsi
akibat bencana;
c. Menetapkan standarisasi serta kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-
undangan;
d. Menyusun, menetapkan dan menginformasikan peta rawan
bencana;
e. Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan
bencana;
f. Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada
Gubernur setiap bulan dalam kondisi normal dan setiap saat
dalam kondisi darurat bencana;
g. Mengendalikan pegumpulan dan penyaluran uang dan/atau
barang;
h. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima
dari APBD atau sumber lainnya; dan
i. Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh
Pasal 9
(1) Unsur pengarah penanggulangan bencana daerah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) huruf a mempunyai tugas:
a. menyusun konsep pelaksanaan kebijakan penanggulangan
bencana;
b. memantau; dan
c. mengevaluasi penyelenggaraan penanggulangan bencana
daerah;
(2) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Terdiri atas :
a. Pejabat Pemerintah daerah terkait; dan
b. Anggota masyarakat, professional dan ahli.
(3) Keanggotan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b dipilih melalui uji kepatutan yang dilakukan oleh
DPRD.
10
Pasal 10
(1) Pembentukan unsure pelaksana penanggulangan bencana
daerah Sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) huruf b
merupakan kewenangan pemerntah daerah.
(2) Unsur pelaksana penanggulangan bencana sebagaimana
dimaksud
Ayat (1) mempunyai fungsi:
a. koordinasi;
b. komando; dan
c. pengendalian dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana.
(3) Keanggotaan unsur pelaksana penanggulangan bencana
sebagaimana Dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tenaga
professional dan ahli.
Pasal 11
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 10 ayat (2), unsure pelaksana penanggulangan
bencana daerah mempunyai tugas secara terintegrasi yang
meliputi:
a. prabencana;
b. saat tanggap darurat; dan
c. pascabencana.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Hak Masyarakat
Pasal 12
(1) Setiap orang berhak:
a. mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman,
khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana;
b. mendapatkan pendidikan, pelatihan dan keterampilan
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana;
c. mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan
tentang kebijakan penanggulangan bencana;
11
d. berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian
dan/atau pemeliharaan program penyediaan bantuan
pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial;
e. berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap
kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang
berkaitan dengan diri dan komunitasnya; dan
f. melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang
diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana.
(2) Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan
pemenuhan kebutuhan dasar.
(3) Setiap orang berhak untuk memperoleh ganti kerugian
karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan
konstruksi.
Pasal 13
(1) Hak mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan
dalam penyelenggarakan penanggulangan bencana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf b dilaksanakan
melalui kegiatan pendidikan formal dan non formal di semua
jenjang pendidikan.
(2) Kegiatan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dirumuskan dalam materi pelajaran dan/atau kurikulum
sekolah mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi di
daerah wewenangnya.
(3) Pendidikan bagi masyarakat tentang kebencanaan
diselenggarakan oleh SKPD terkait.
Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat
Pasal 14
Setiap orang berkewajiban:
a. menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis,
memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan dan
kelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. memberikan informasi yang benar kepada public tentang
penanggulangan bencana;
12
c. melakukan kegiatan penanggulangan bencana baik secara
pribadi maupun kelompok relawan; dan
d. bertindak sebagai relawan baik sendiri atau secara kelompok
yang sepenuhnya berada dalam pengendalian BPBD.
BAB V
PRA BENCANA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 15
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan
prabencana meliputi:
a. situasi tidak terjadi bencana; dan
b. situasi terdapat potensi terjadi bencana.
Bagian Kedua
Situasi Tidak Terjadi Bencana
Pasal 16
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak
terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1)
meliputi :
a. perencanaan penanggulangan bencana;
b. pengurangan risiko bencana;
c. pencegahan;
d. pemanduan dalam perencanaan pembangunan;
e. persyaratan analisis risiko bencana;
f. pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
g. pendidikan dan pelatihan; dan
h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
Pasal 17
(1) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 huruf a disusun dalam bentuk
RPB dan menjadi bagian dari RPJMD.
(2) Penyusunan RPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana
13
dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada hasil analisis risiko
bencana.
(3) Penyusunan RPB dikoordinasikan oleh BPBD dengan
melibatkan unsure dari instansi/lembaga terkait pemerintah
daerah, non pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha.
(4) RPB ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk jangka
waktu 5 (lima) tahun.
(5) Dalam hal penetapan RPJMD lebih awal dari RPB,
Pemerintah Daerah melakukan review terhadap RPJMD.
Pasal 18
(1) Pengurangan risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf b disusun dalam bentuk RAD PRB.
(2) Penyusunan RAD PRB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan oleh BPBD secara menyeluruh dan terpadu
dalam suatu forum yang meliputi unsure dari pemerintah
daerah, non pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha.
(3) Penetapan RAD PRB dilakukan dengan Keputusan Kepala
BPBD setelah dikoordinasikan dengan BAPPEDA.
(4) RAD PRB diintegrasikan dengan RKPD dalam forum
musrenbang Provinsi oleh BPBD bersama BAPPEDA.
Pasal 19
(1) Upaya mengurangi atau menghilangkan resiko bencana dan
kerentanan pihak yang terancam bencana di koordinasikan
oleh BPBD dengan melibatkan SKPD terkait lainnya.
(2) Skpd sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) adalah instansi
pemerintah daerah yang membidangi :
a. sosial;
b. kesehatan;
c. pendidikan;
d. pekerjaan umum;
e. penataan ruang;
f. lingkungan hidup;
14
g. perumahan;
b. kehutanan;
c. perkebunan;
d. pertanian dan tanaman pangan;
e. kelautan dan perikanan;
f. peternakan;
g. perhubungan;
h. komunikasi dan informasi;
i. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
j. pertambangan dan energy;
k. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
Pasal 20
(1) BPBD sesuai dengan kewenangannya melakukan
inventarisasi dan kajian kegiatan pembangunan yang dapat
menimbulkan risiko bencana
(2) Setiap kegiatan pembangunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilengkapi dengan analisis risiko bencana
sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan oleh Kepala
BNPB.
Pasal 21
(1) BPBD bersama-sama dengan SKPD yang membidangi
penataan ruang berdasarkan kewenangannya melakukan
koordinasi dalam hal pengendalian pemanfaatan ruang
sesuai rencana tata ruang wilayah.
(2) Pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi pemantauan dan evaluasi terhadap
perencanaan dan pelaksanaan tata ruang, serta penerapan
persyaratan analisis risiko bencana.
(3) hasil pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menjadi bahan rekomendasi bagi terbitnya perizinan
pemanfaatan ruang.
15
Pasal 22
(1) Pendidikan dan pelatihan kebencanaan bagi aparatur
diselenggarakan oleh instansi yang membidangi pendidikan dan
pelatihan.
(2) Pendidikan dan pelatihan terkait dengan penanggulangan
bencana bagi masyarakat dapat diselenggarakan oleh
lembaga/organisasi/forum berkoordinasi dengan BPBD.
(3) BPBD memfasilitasi materi pendidikan dan pelatihan
terkait penanggulangan bencana bagi sekolah dan masyarakat.
Bagian Ketiga
Situasi Terdapat Potensi Terjadi Bencana
Pasal 23
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi
terdapat potensi terjadi bencana sebagaiman dimaksud dalam
pasal 15 huruf b, meliputi:
a. kesiapsiagaan;
b. peringatan dini; dan
c. mitigasi bencana.
Pasal 24
(1) BPBD melakukan koordinasi pelaksanaan kegiatan
kesiapsiagaan oleh instansi/lembaga terkait dalam bentuk :
a. penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan
kedaruratan bencana;
b. pengorganisasian, pemasangan dan pengujian sistem
peringatan dini;
c. penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan
kebutuhan dasar;
d. pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan dan gladi
tentang mekanisme tanggap darurat;
e. penyiapan jalur dan lokasi evakuasi;
f. penyusunan data dan informasi yang akurat, serta
pemutakhiran prosedur tetap tanggap darurat bencana;
dan
g. penyediaan dan penyiapan bahan, barang dan peralatan
untuk pemenuhan pemulihan sarana dan prasarana.
16
(2) Pelaksanaan kegiatan kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat melibatkan masyarakat dan lembaga
usaha.
Pasal 25
(1) Peringatan dini disusun dan dilaksanakan oleh
instansi/lembaga yang berwenang sesuai dengan jenis
ancaman bencana.
(2) BPBD melakukan koordinasi dengan instansi/lembaga yang
berwenang untuk memastikan terselenggaranya peringatan
dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 26
(1) Mitigasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
huruf c dilakukan untuk mengurangi risiko dan dampak
yang diakibatkan oleh bencana terhadap masyarakat yang
berada pada kawasan rawan bencana.
(2) Mitigasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui kegiatan structural dan non structural.
(3) Kegiatan mitigasi structural meliputi :
a. Perencanaan dan pelaksanaan penataan ruang
berdasarkan pada analisis risiko bencana; dan
b. pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur,
dan tata bangunan.
(4) Kegiatan mitigasi non structural meliputi penyelenggaraan
Pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan.
BAB VI
TANGGAP DARURAT BENCANA
Pasal 27
(1) Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat
tanggap darurat meliputi:
a. pengkajian secara cepat terhadap lokasi, kerusakan,
kerugian dan sumberdaya;
b. penentuan status keadaan darurat bencana;
c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
d. pemenuhan kebutuhan dasar;
e. perlindungan terhadap kelompok rentan;
17
f. pemulihan dengan segera sarana dan prasarana vital; dan
(2) Pengendalian penyelenggaraan penanggulangan bencana
pada saat tanggap darurat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibawah kewenangan BPBD.
Pasal 28
BPBD melakukan kaji cepat untuk menentukan kebutuhan dan
tindakan penanggulangan bencana yang tepat pada saat
tanggap darurat.
Pasal 29
(1) Status keadaan darurat bencana ditetapkan oleh Gubernur
atas usul BPBD berdasarkan hasil kaji cepat dan tepat.
(2) Pada saat status keadaan darurat bencana telah
ditetapkan,BPBD mempunyai kemudahan akses di bidang :
a. pengerahan sumberdaya manusia;
b. pengerahan peralatan;
c. pengerahan logistik;
d. imigrasi, cukai, dan karantina;
e. perizinan;
f. pengadaan barang/jasa;
g. pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/atau
barang;
h. penyelamatan; dan
i. komando untuk memerintahkan instansi/lembaga.
(3) Pada saat status keadaan darurat bencana telah ditetapkan,
BPBD mempunyai kemudahan dalam hal :
a. Menggunakan dana siap pakai dalam APBD dan
ditempatkan dalam anggaran BPBD untuk pengadaan
barang dan/jasa.
b. Mengajukan permintaan serta melakukan penerimaan dan
penggunaan sumber daya, peralatan dan logistic dari
instansi/lembaga masyarakat untuk melakukan kegiatan
tanggap darurat sesuai kebutuhan.
c. memberikan persetujuan kepada instansi/lembaga terkait
untuk melakukan pengadaan barang/jasa dalam
penyelenggaraan tanggap darurat bencana secara khusus
melalui pembelian/pengadaan langsung yang efektif dan
efisien sesuai dengan kondisi saat keadaan tanggap
darurat berlangsung.
18
(4) dalam hal penerimaan dana siap pakai dari pemerintah,
BPBD membuat laporan :
a. Kepada Gubernur untuk selanjutnya dipergunakan sesuai
dengan kebutuhan situasi dan kondisi kedaruratan
bencana;
b. pertanggungjawaban penggu aan dana siap pakai dari
Pemerintah kepada BNPB sesuai dengan pedoman yang
telah ditetapkan oleh Kepala BNPB: dan
c. pertanggungjawaban dan menginformasikannya kepada
public terkait penerimaan dan penggunaan uang dan/atau
barang dari masyarakat.
Pasal 30
Dalam penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena
bencana,BPBD melaksanakan fungsi komando pengerahan
sumber daya manusia, peralatan, logistic, dan penyelamatan
sesuai dengan lokasi dan tingkatan bencananya
Pasal 31
Pemenuhan kebutuhan dasar dilakukan oleh instansi/lembaga
terkait dibawah koordinasi BPBD sesuai dengan standar
minimum mmeliputi bantuan penyediaan : kebutuhan air bersih
dan sanitasi, pangan, sandang; pelayanan kesehatan; pelayanan
psikososial; dan penampungan serta tempat hunian.
Pasal 32
Perlindungan terhadap kelompok rentan dilakukan oleh
instansi/lembaga terkait dibawah koordinasi BPBD berupa
penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan,
dan psikososial.
Pasal 33
BPBD melakukan koordinasi upaya pemulihan dengan segera
prasarana dan sarana vital dari instansi/lembaga terkait agar
kehidupan masyarakat tetap berlangsung.
19
BAB VII
Pasca Bencana
Pasal 34
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap
pascabencana meliputi:
a. rehabilitas; dan
b. rekonstruksi.
Pasal 35
(1) Rehabilitasi pada wilayah pascabencana dilakukan melalui
kegiatan :
a. perbaikan lingkungan daerah bencana;
b. perbaikan prasarana dan sarana umum;
c. pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
d. pemulihan sosial psikologis;
e. pelayanan kesehatan;
f. rekonsiliasi dan resolusi konflik;
g. pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya;
h. pemulihan keamanan dan ketertiban;
i. pemulihan fungsi pemerintah: dan
j. pemulihan fungsi pelayanan publik.
(2) Untuk mempercepat pemulihan kehidupan masyarakat pada
wilayah pasca bencana, Pemerintah Daerah menetapkan
prioritas rehabilitasi didasarkan pada analisis kerusakan
dan kerugian akibat bencana.
(3) Analisis kerusakan bencana dan kerugian akibat bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
instansi/lembaga terkait dikoordinasikan oleh BPBD.
(4) Prioritas kegiatan rehabilitasi pasca bencana ditetapkan
dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 36
(1) Pemerintah Daerah menyusun rencana rehabilitasi
didasarkan pada analisis kerusak dan kerugian akibat
bencana.
(2) Penyusunan rencana rehabilitasi harus memperhatikan
aspirasi masyarakat melalui sebuah forum konsultasi
publik.
20
(3) Penyusunan rencana rehabilitasi harus memperhatikan :
a. pengaturan mengenai standar konstruksi bangunan; b. kondisi social;
c. adat istiadat; d. budaya; dan e. ekonomi.
(4) Rencana rehabilitasi ditetapkan oleh Gubernur.
Pasal 37 (1) Dalam melakukan rehabilitasi, Pemerintah Daerah wajib
menggunakan dana penanggulangan bencana dari APBD
Provinsi. (2) Dalam hal APBD tidak memadai, Pemerintah Daerah dapat
meminta bantuan dana kepada Pemerintah untuk
melaksanakan kegiatan rehabilitasi.
Pasal 38 (1) Kegiatan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 34
huruf a dilaksanakan oleh instansi/lembaga terkait yang
dikoordinasikan oleh BPBD. (2) Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi harus mengedepankan
aspek pemberdayaan masyarakat sekitar terkena dampak
bencana.
Pasal 39
(1) Rekonstruksi pada wilayah pasca bencana dilakukan melalui
kegiatan :
a. pembangunan kembali prasarana dan sarana;
b. pembangunan kembali sarana sosial masyarakat;
c. pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya
masyarakat;
d. penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan
peralatan yang lebih baik serta tahan bencana;
e. partisipasi dan peran serta lembaga serta organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat;
f. peningkatan kondisi sosial, ekonomi dan budaya;
g. peningkatan fungsi pelayanan publik; dan
h. peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.
(2) Untuk mempercepat pembangunan kembali semua
prasarana dan sarana serta kelembagaan pada wilayah pasca
bencana, pemerintah daerah menetapkan prioritas kegiatan
21
rekonstruksi didasarkan pada analisis kerusakan dan
kerugian akibat bencana.
(3) Analisis kerusakan dan kerugian akibat bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
instansi/lembaga terkait dikoordinasikan oleh BPBD.
(4) Prioritas kegiatan rekonstruksi pasca bencana ditetapkan
dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 40
(1) Pemerintah Daerah bertanggungjawab melaksanakan
kegiatan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam pasal
34 huruf b, kecuali prasarana dan sarana yang merupakan
tanggungjawab Pemerintah.
(2) Pemerintah Daerah menyusun rencana rekonstruksi sebagai
satu kesatuan dari rencana rehabilitasi yang didasarkan
pada analisi kerusakan dan kerugian akibat bencana.
(3) Penyusunan rencana rekonstruksi harus memperhatikan
aspirasi masyarakat melalui sebuah forum konsultasi public.
(4) Penyusunan rencana rekonstruksi harus memperhatikan :
a. rencana tata ruang wilayah;
b. pengaturan mengenai standar konstruksi bangunan;
c. kondisi social;
d. adat istiadat;
e. budaya; dan
f. ekonomi.
(5) Rencana rekonstruksi dtetapkan oleh Gubernur.
Pasal 41
(1) Dalam melakukan rekonstruksi, Pemerintah Daerah wajib
menggunakan dana penanggulangan bencana dari APBD.
(2) Dalam hal APBD tidak memadai, Pemerintah Daerah dapat
meminta bantuan dana kepada Pemerintah untuk
melaksanakan kegiatan rekonstruksi.
(3) Selain permintaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) pemerintah Daerah dapat meminta bantuan kepada
pemerintah berupa:
a. tenaga ahli;
b. peralatan;
c. pembangunan prasarana.
22
Pasal 42
(1) Pelaksanaan kegiatan rekonsrtuksi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 40 ayat (1) dilaksanakan oleh instansi/lembaga
terkait yang dikoordinasikan oleh BPBD.
(2) Pelaksanaan kegiatan rekonstruksi harus mengedepankan
aspek pemberdayaan masyarakat sekitar yang terkena
dampak bencana.
BAB VIII
KOORDINASI DAN KERJASAMA ANTAR DAERAH
Pasal 43
(1) Koordinasi antar daerah dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana meliputi :
a. antar Daerah provinsi dengan Daerah kabupaten/Kota;
b. antar daerah kabupaten/Kota dalam satu daerah
Provinsi;
c. antar daerah provinsi dengan daerah provinsi lainnya.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui rapat koordinasi antar BPBD Provinsi dengan BPBD
Kabupaten/Kota minimal 1 (satu) kali dalam satu tahun dan
sewaktu-waktu sesuai kebutuhan.
Pasal 44
(1 Kerjasama antar Daerah Kabupaten/Kota dimaksudkan
untuk efisiensi penyelenggaraan penanggulangan bencana.
(2) Gubernur bertanggungjawab untuk memfasilitasi kerjasama
wajib penyelenggaraan penanggulangan bencana.
(3) Kerjasama wajib penyelenggaraan penganggulangan bencana
sebagaimana di maksud pada ayat (2) merupakan kerja sama
antar-Daerah yang berbatasan untuk penyelenggaraan
penanggulangan bencana yang memiliki eksternalitas lintas
Daerah, dan penyediaan layanan publik yang lebih efisien
jika dikelola bersama.
(4) Dalam hal kerja sama wajib penyelenggaraann
penanggulanagan bencana tidak dilaksanakan oleh Daerah
kabupaten/kota, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
mengambil alih pelaksanaannya.
23
BAB IX
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 45
(1) Masyarakat, lembaga social kemasyarakatan dan lembaga
usaha memiliki kesempatan yang sama untuk berperan
serta dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
(2) Masyarakat, lembaga social kemasyarakatan dan lembaga
usaha dapat membentuk forum sebagai wahana untuk
berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Pasal 46
(1) Anggota forum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat
(2) terdiri dari unsur :
a.Pemerintah daerah
b.Lembaga Swadaya Masyarakat
c.Lembaga sosial keagamaan
d.Organisasi sosial kemasyarakatan
e.Perguruan tinggi
f.Sekolah negeri dan swasta
g.Media masa
h.Dunia usaha
i.Masyarakat
(2). Tugas, fungsi dan kepengurusan forum ditetapkan dengan
Keputusan gubernur.
BAB.X
PEMANTAUAN, PELAPORAN DAN EVALUASI
Pasal 47
Pemantauan penyelenggaraan penanggulangan bencana
dilakukan oleh BPBD sebagai bahan evaluasi menyeluruh dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana
Pasal 48
(1) BPBD menyusun laporan penyelenggaraan penanggulangan
bencana
(2) Laporan penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri
dari:
a. Laporan situasi kejadian bencana;
24
b. Laporan bulanan kejadian bencana; dan
c. Laporan menyeluruh penyelenggaraan penanggulangan
bencana.
Pasal 49
Laporan situasi kejadian bencana sebagaimana dimaksud dalam
pasal 48 ayat (2) huruf a disusun pada saat tanggap darurat
dengan memuat :
a. waktu dan lokasi kejadian;
b. penyebab bencana;
c. cakupan wilayah dampak bencana;
d. penyebab kejadian bencana;
e. dampak bencana (jumlah korban jiwa dan
kerusakan/kerugian serta dampak social ekonomi yang
ditimbulkan)
f. upaya penanganan yang dilakukan;
g. bantuan yang diperlukan;
h. kendala yang dihadapi.
Pasal 50
Laporan bulanan kejadian bencana sebagaimana dimaksud
dalam pasal 48 ayat (2) huruf b merupakan rekapituasi jumlah
kejadian, dampak bencana yang disajikan dalam tabulasi.
Pasal 51
Laporan menyeluruh penyelenggaraan penanggulangan bencana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 ayat (2) huruf c meliputi
kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada prabencana yang dibuat
setiap bulan dan setiap tahun.
Pasal 52
(1) Evaluasi penyelenggaraan penanggulangan bencana
dilakukan dalam rangka pencapaian standar minimum dan
peningkatan kinerja penanggulangan bencana.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
oleh BPBD.
25
BAB VII
PENDANAAN PENANGGULANGAN BENCANA
Pasal 53
(1) Sumber Dana penanggulangan bencana dapat berasal dari :
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN)
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
c. Sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
(2) Sumber Dana yang bersumber dari APBD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, dianggarkan setiap tahun 1
% (satu persen) dari APBD sesuai kemampuan keuangan
daerah.
(3) Dana penanggulangan bencana yang bersumber dari APBD
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dialokasikan kepada
masing-masing SKPD yang menangani penanggulangan
bencana.
(4) Besarnya alokasi dana untuk masing-masing SKPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan
Keputusan Gubernur.
(5) Dana penanggulang bencana yang ada dalam anggaran
SKPD, penggunaan dan pemantauannya dikoordinasikan
oleh BPBD.
Pasal 54
(1) Masyarakat dapat mengumpulkan dan menyalurkan dana
untuk penanggulanan bencana ketika tejadi bencana.
(2) Pengumpulan dana oleh masyarakat dan penyalurannya
sebagaimana dimaksud ayat (1) harus dikoordinasikan oleh
BPBD.
26
Pasal 55
(1) Dana uperasional BPBD menjadi tanggung jawab bersama
antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota sesuai kewenangannya yang terdiri atas:
a. dana penanggulangan bencana yang berasal dari APBN,
APBD, dan/atau masyarakat untuk digunakan pada
tahap prabencana,saat tanggap darurat bencana dan
pasca bencana.
b. dana kontijensi bencana yang disediakan dalam APBN
untuk kegiatan kesiapsiagaan pada tahap prabencana.
c. dana siap pakai yang disediakan dalam APBN untuk
kegiatan pada saat tanggap darrat serta Pemerintah
Provinsi/Kabupaten/Kota menyediakan dana siap pakai
dalam anggaran penanggulangan bencana yng berasal
dari APBD dan menempatkannya dalam anggaran
BPBD, dan harus selalu tersedia sesuai dengan
kebutuhan pada saat tanggap darurat; dan
d. dana bantuan social berpola hibah yang disediakan
dalam APBN untuk kegiatan pada tahap pasca bencana.
(2) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai
wilayah dan kewenangannya mendorong partisipasi
masyarakat dalam penyediaan dana, barang dan atau jasa
yang bersumber dari masyarakat, baik masyarakat dalam
negeri maupun masyarakat internasional sesuai peraturan-
perundangan yg berlaku.
(3) Dana, barang maupun jasa yang berasal dari Lembaga
Internasional dan Lembaga Asing Non Pemerintah
penyalurannya berkoordinasi dengan BNPB.
Pasal 56
(1) Dana siap pakai sebagaimana dimaksud dalam pasar 55
huruf c digunakan terbatas pada pengadaan barang dan
atau jasa untuk:
a. pencairan dan penyelamatan korban bencana;
b. pertolongan darurat;
c. evakuasi korban bencana;
d. kebutuhan air bersih dan sanitasi;
27
e. pangan;
f. sandang;
g. pelayanan kesehatan;
h. penampungan serta tempat hunian sementara; dan
i. pembayaran uang lelah petugas semua kegiatan yang
memerlukan tenaga yang telah direkrut dalam Sistem
komando tanggap darurat.
(2) BPBD pada saat Tanggap Darurat dapat melaksanakan
pengadaan barang dan atau jasa sesuai kebutuhan, kondisi
dan karakteristik wilayah bencana secara langsung yang
efisien dan efektif
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 57
Semua ketentuan mengenai pengelolaan bencana yang ada
sebelum diundangkannya Peraturan Daerah ini masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan daerah
ini.
Pasal 58
Peraturan Gubernur sebagai peraturan pelaksanaan dari
peraturan daerah ini wajib ditetapkan paling lama 6 (enam)
bulan sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
28
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 59
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Ditetapkan di Mataram
pada tanggal
GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT,
H. M. ZAINUL MAJDI
Diundangkan di Mataram
pada tanggal
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI NTB,
H. MUHAMMAD NUR
LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2014
NOMOR NOREG PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT:
(7/12)
29
PENJELASAN ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
NOMOR TAHUN 2014
TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA
I. UMUM
Bencana merupakan suatu fenomena yang berdampak merusak
dan muncul dengan atau tanpa prediksi yang selalu menyertai
kehidupan manusia. Dampak yang merusak ini dapat berupa korban
jiwa dan/atau kerugian harta benda sehingga mangacaukan tatanan
alam dan sosial. Potensi penyebab bencana dapat dikelompokkan dalam
3 (tiga) jenis bencana, yaitu bencana alam, bencana non alam, dan
bencana sosial. Bencana alam antara lain berupa gempa bumi karena
alam, letusan gunung berapi, angin topan, tanah longsor, kekeringan,
kebakaran hutan/lahan karena faktor alam, hama penyakit tanaman,
epidemi, wabah, kejadian luar biasa, dan kejadian antariksa/benda-
benda angkasa. Bencana nonalam antara lain kebakaran hutan/lahan
yang disebabkan oleh manusia, kecelakan transportasi, kegagalan
konstruksi/teknologi, dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran
lingkungan dan kegiatan keantariksaan. Bencana sosial antara lain
berupa kerusuhan sosial dan konflik sosial dalam masyarakat yang
sering terjadi.
Sedangkan menurut waktu terjadinya, bencana dikelompokkan
menjadi; 1). Bencana periodik (bencana yang terjadi secara berkala dan
dapat diprediksi, seperti banjir, kekeringan, tanah longsor dan gunung
meletus) dan 2). Bencana sporadis (bencana yang terjadi secara tiba-tiba
dan tidak dapat diprediksi, seperti gempa bumi).
Beberapa ancaman bencana berikut tersebar di beberapa wilayah di
Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu gempa bumi, gunung merapi, tanah
longsor, banjir, erosi, abrasi-sedimentasi,kekeringan,kebakaran
hutan,wabah flu burung, kegagalan teknologi dan sanitari. Mencermati
hal-hal tersebut diatas dan dalam rangka memberikan landasan hokum
yang kuat bagi penyelenggaraan penanggulangan bencana di Provinsi
Nusa Tenggara Barat, perlu disusun Peraturan daerah tentang
penanggulangan bencana yang pada prinsipnya mengatur tahapan
bencana meliputi pra bencana, saat tanggap darurat, dan pasca
30
bencana. Materi muatan peraturan daerah ini berisikan ketentuan-
ketentuan pokok sebagai berikut :
1. Penyelenggaraan Penanggulangan bencana merupakan tanggung
jawab dan wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah, yang
dilaksanakan secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan
menyeluruh.
2. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam tahap tanggap
darurat dilaksanakan sepenuhnya oleh Badan Nasional
Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah. Badan penanggulangan bencana tersebut terdiri dari unsur
pengarah dan unsur pelaksana. Badan Nasional Penanggulangan
Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai
tugas dan fungsi antara lain pengkoordinasian penyelenggaraan
penanggulangan bencana secara terencana dan terpadu sesuai dengan
kewenangannya.
3. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan
memperhatikan hak masyarakat yang antara lain mendapatkan
bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, mendapatkan perlindungan
sosial, mendapatkan pendidikan dan keterampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana, berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan.
4. Kegiatan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan memberikan
kesempatan secara luas kepada lembaga usaha dan lembaga
internasional.
5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan pada tahap
prabencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana, karena
masing-masing tahapan mempunyai karakteristik penanganan yang
berbeda.
6. Pada saat tanggap darurat, kegiatan penanggulangan bencana selain
didukung dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
danAnggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, juga disediakan dana
siap pakai dengan pertanggungjawaban melalui mekanisme khusus.
7. Pengawasan terhadap seluruh kegiatan penanggulangan bencana
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat pada
setiap tahapan bencana, agar tidak terjadi penyimpangan dalam
penggunaan dana penanggulangan bencana.
Dengan materi muatan sebagaimana disebutkan diatas, peraturan
daerah ini diharapkan dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana sehingga penyelenggaraan
31
penanggulangan bencana di Provinsi Nusa Tenggara Barat dapat
dilaksanakan secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” termanifestasi dalam
bentuk jaminan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi
manusia, harkat dan martabat setiap masyarakat secara
proporsional.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”asas keadilan” adalah dalam
penanggulangan bencana harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap Masyarakat tanpa terkecuali.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam
hukum danpemerintahan” adalah dalam penanggulangan
bencana tidak boleh berisi hal-hal yang membedakan latar
belakang, antara lain, agama, suku, ras,golongan, gender, atau
status sosial.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keselarasan dan
keserasian” adalah dalam penanggulangan bencana
mencerminkan keseimbangan kehidupan sosial dan lingkungan,
keselarasan tata kehidupan dan lingkungan dan keserasian
lingkungan dan kehidupan sosial Masyarakat.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum”
adalah dalam penanggulangan bencana harus dapat
menimbulkan ketertiban dalam Masyarakat melalui jaminan
adanya kepastian hukum.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah
penanggulangan bencana pada dasarnya menjadi tugas dan
tanggung jawab bersama Pemerintah Daerah dan Masyarakat
yang dilakukan secara gotong royong.
Huruf g
32
Yang dimaksud dengan “asas kelestarian lingkungan hidup”
adalah dalam penanggulangan bencana mencerminkan
kelestarian lingkunganuntuk generasi sekarang dan untuk
generasi yang akan datang demikepentingan Daerah.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas ilmu pengetahuan dan teknologi”
adalah penanggulangan bencana harus memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi secara optimal sehingga
mempermudah dan mempercepat proses penanggulangan
bencana, baik pada tahap pencegahan, pada saat terjadi bencana,
maupun pada tahap pasca bencana.
ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan tepat” adalah
penyelenggaraan penanggulangan bencana harus dilaksanakan
secaracepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan
Huruf b
Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah apabila terjadi
bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan
diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “prinsip koordinasi” adalah kegiatan
penyelenggaraan penanggulangan bencana didasarkan pada
waktu, tenaga, biaya digunakan sesuai kebutuhan. Yang
dimaksud dengan “prinsip keterpaduan” adalah penyelenggaraan
penanggulangan bencana dilakukan tepat sasaran dan
bermanfaat bagi masyarakat.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “prinsip berdaya guna” adalah dalam
mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak
membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan. Yang
dimaksud dengan “prinsip berhasil guna” adalah kegiatan
penyelenggaraan penanggulangan bencana harus berhasil guna,
khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidak
membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “prinsip transparansi” adalah
penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan secara
terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud
dengan “prinsip akuntabilitas” adalah penyelenggaraan
33
penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Yang dimaksud dengan “prinsip nondiskriminasi” adalah negara
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana tidak
memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin,
suku, agama, ras, dan aliran politik apapun.
Huruf i
Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah pelarangan kegiatan
menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat
bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan
darurat bencana.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Ancaman lintas Kabupaten/Kota,contohnya letusan gunung rinjani
yang secara administrative berada pada wilayah Kabupaten Lombok
Utara,Lombok Tengah dan Lombok Timur.
Dampak bencana secara potensial lintas kabupaten/kota,
contohnya gempa bumi dan tsunami
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
34
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
35
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup Jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Contohnya, dalam hal penyusunan system peringatan dini banjir
dimana sumber ancaman berada di suatu kabupaten.kota
36
sementara masyarakat potensial terdampak berada di wilayah
kabupaten/kota lain.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
37
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
NOMOR….
PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
NOMOR 9 TAHUN 2014
TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT,
Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda serta
berhak atas rasa aman dari ancaman dari suatu kejadian bencana
baik yang disebabkan oleh factor alam, factor nonalam maupun
factor manusia;
b. bahwa kejadian bencana dapat menyebabkan timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis, sehingga diperlukan upaya perlindungan
kepada masyarakat melalui penyelenggaraan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan
menyeluruh baik pada masa prabencana, tanggap darurat,
maupun pasca bencana;
c. bahwa peraturan perundang-undangan tentang penyelenggaraan
penanggulangan bencana membutuhkan penjabaran lebih lanjut
dengan memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, perlu membentuk Peraturan Daerah
tentang Penanggulangan Bencana;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan
Wilayah-wilayah Daerah Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan
Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1649);
2
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4723);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5587) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 2014 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5589);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (Lembaga Negara
Republik Indonesia tahun 2008 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4828):
6. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran
serta lembaga Internasional dan Lembaga Asing Nonpemerintah
Dalam Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4830);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
dan
GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
3
1. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan Perangkat Daerah
sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Provinsi Nusa
Tenggara Barat.
2. Gubernur adalah Gubernur Nusa Tenggara Barat.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat
DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nusa
Tenggara Barat.
4. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah yang selanjutnya
disebut BAPPEDA adalah lembaga teknis daerah yang mempunyai
tugas pokok dan fungsi koordinasi dalam perumusan kebijakan
perencanaan pembangunan daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat.
5. Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang selanjutnya
disingkat BPBD adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat.
6. Masyarakat adalah Masyarakat di wilayah Provinsi Nusa Tenggara
Barat.
7. Forum Pengurangan Risiko Bencana yang selanjutnya disebut
Forum PRB adalah suatu forum yang dibentuk sebagai media
diskusi dan mediasi untuk mengakomodasi inisiatif-inisiatif
pengurangnan risiko bencana di daerah.
8. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau
nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis.
9. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain
berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan,
angin topan, abrasi pantai, dan tanah longsor.
10. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal
teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit,
kebakaran dan krisis pangan.
11. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang
meliputi antara lain konflik sosial antar kelompok atau antar
komunitas masyarakat, dan teror.
4
12. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian
upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang
berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana,
tanggap darurat dan rehabilitasi.
13. Pengurangan Risiko Bencana adalah kegiatan untuk mengurangi
ancaman dan kerentanan serta meningkatkan kemampuan
masyarakat dalam menghadapi bencana.
14. Prabencana adalah situasi dimana belum terjadi bencana.
15. Rencana Penanggulangan Bencana yang selanjutnya disingkat RPB
adalah dokumen perencanaan yang berisi kebijakan strategi,
program dan pilihan tindakan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana dari tahap pra, tanggap darurat dan
pascabencana.
16. Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana yang
selanjutnya disingkat RAD PRB adalah dokumen perencanaan
pengurangan risiko bencana yang berisi landasan prioritas dan
strategi yang disusun oleh seluruh pemangku kepentinganyang
disusun secara partisipatif, komprehensip, dan sinergis untuk
mengurangi risiko bencana dalam rangka membangun
kesiapsiagaan dan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi
bencana.
17. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi yang
selanjutnya disingkat RPJMD adalah dokumen perencanaan
Provinsi untuk periode 5 (lima) tahun.
18. Rencana Kerja Pembangunan Daerah Provinsi yang selanjutnya
disingkat RKPD adalah dokumen perencanaan Provinsi untuk
periode 1 (satu) tahun atau disebut dengan rencana pembangunan
tahunan daerah.
19. Satuan Kerja Perangkat Daerah Provinsi yang selanjutnya
disingkat dengan SKPD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat.
20. Kegiatan Pencegahan Bencana adlah serangkaian kegiatan yang
dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau
mengurangi ancaman bencana.
21. Status Potensi Bencana Daerah adalah suatu keadaan yang
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah untuk menilai potensi bencana
yang akan terjadi pada jangka waktu tertentu atas dasar
5
rekomendasi Badan yang diberi tugas untuk menanggulangi
bencana.
22. Daerah Rawan Bencana adalah daerah yg memiliki kondisi atau
karakteristik geologis,biologis, hidrologis, klimatologis, geografis,
social, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah
untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan
mencegas, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi
kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.
23. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat
bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat
berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman,
mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta dan gangguan
kegiatan masyarakat.
24. Analisa risiko bencana yang selanjutnya disingkat ARB adalah
dokumen kajian risiko bencana.
25. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian, serta melalui
langkah yang tepat guna, dan berdaya guna.
26. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik, maupun penyadaran
dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
27. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera, pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan
pengungsi, penyelamatan serta pemulihan prasarana dan sarana.
28. Kejadian Luar Biasa yang selanjutnya disingkat KLB adalah salah
satu status yang diterapkan di Indonesia untuk mengklarifikasikan
peristiwa merebaknya suatu wabah penyakit dimana ada kejadian
meningkatnya kesakitan atau kematian yang bermakna secara
epidemologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.
29. Wilayah Bencana adalah wilayah tertentu yang terkena dampak
bencana.
30. Pascabencana adalah situasi setelah tanggap darurat bencana.
31. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai
pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk
6
normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana.
32. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan
sarana kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada
tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama
tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan
budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran
serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan masyarakat pada
wilayah pascabencana.
33. Korban bencana yang selanjutnya disebut Korban adalah orang
atau sekelompok orang yang menderita atau meninggal dunia
akibat bencana.
34. Kelompok rentan adalah bayi, anak usia di bawah lima tahun,
anak-anak, ibu hamil atau menyusui, penyamdang cacat, orang
lanjut usia dan orang sakit.
35. Kerugian adalah berkurang atau hilangnya manfaat dari suatu
kepemilikan korban bencana.
36. Sarana dan Prasarana Penanggulangan Bencana adalah alat yang
dipakai untuk mempermudah pekerjaan, pencapaian maksud dan
tujuan, serta upaya yang digunakan untuk mencegah, mengatasi,
dan menanggulangi bencana.
37. Kemudahan Akses adalah penyederhanaan proses atas upaya
penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap
darurat yang meliputi pengkajian secara cepat terhadap lokasi
bencana(need assessment), kerusakan (demage assessment), dan
penyediaan sumber daya; pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan terhadap kelompok rentan, dan pemulihan dengan
segera prasarana dan sarana fasilitas umum.
38. Lembaga usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk
Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi
atau swasta yang didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang menjalankan jenis usaha tetap dan
terus menerus yang bekerja dan berkedudukan dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
39. Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh
anggota masyarakat Warga Negara Republik Indonesia secara
sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama,
7
dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk
berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan
nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila.
40. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan
sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan
terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang
berwenang.
BAB II
ASAS, PRINSIP, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Penyelenggaraan penaggulangan bencana berasaskan:
a. kemanusiaan;
b. keseimbangan, keselarasan dan keserasian;
c. kepastian hokum dan keadilan;
d. kebersamaan dan kemitraan;
e. kelestarian budaya dan lingkungan hidup;
f. ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
g. partisipasi;
Pasal 3
Prinsip penanggulangan bencana adalah:
a. cepat dan tepat;
b. prioritas;
c. koordinasi dan keterpaduan;
d. berdaya guna dan berhasil guna;
e. transparansi dan akuntabilitas;
f. pemberdayaan;
g. nondiskriminasi;
h. nonproletisi; dan
i. kemitraan;
j. pemberdayaan;
k. nondiskriminatif; dan
l. membangun kembali kea rah yang lebih baik;
8
Pasal 4
Penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan untuk menjamin
terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka
memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko,
dan dampak bencana.
Pasal 5
Ruang lingkup penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi;
a. tahap pra bencana, dalam hal ancaman dan/atau dampak
bencana secara potensial lintas Kabupaten/Kota;
b. tahap tanggap darurat, dalam hal status dan tingkatan
kedaruratan bencana ditetapkan oleh Gubernur;
c. tahap Pasca bencana, dalam hal status dan tingkatan kedaruratan
bencana telah ditetapkan oleh Gubernur.
BAB III
KELEMBAGAAN
Pasal 6
(1) Pemerintah Daerah menjadi penanggungjawab dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana.
(2) Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
membentuk BPBD.
(3) BPBD terdiri atas unsur:
a. Pengarah penanggulangan bencana; dan
b. Pelaksana penanggulangan bencana
Pasal 7
BPBD mempunyai tugas:
a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana
dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat,
efektif dan efisien; dan
b. Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
9
Pasal 8
BPBD berwenang:
a. Menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan
Pemerintah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana terhadap
usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana,
penanganan darurat, rehabilitasi serta rekonstruksi secara adil dan
setara;
b. Merumuskan dan menetapkan kebijakan penanganan pengungsi
akibat bencana;
c. Menetapkan standarisasi serta kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundang-
undangan;
d. Menyusun, menetapkan dan menginformasikan peta rawan bencana;
e. Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana;
f. Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada
Gubernur setiap bulan dalam kondisi normal dan setiap saat dalam
kondisi darurat bencana;
g. Mengendalikan pegumpulan dan penyaluran uang dan/atau barang;
h. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari
APBD atau sumber lainnya; dan
i. Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu dan menyeluruh
Pasal 9
(1) Unsur pengarah penanggulangan bencana daerah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) huruf a mempunyai tugas:
a. menyusun konsep pelaksanaan kebijakan penanggulangan
bencana;
b. memantau; dan
c. mengevaluasi penyelenggaraan penanggulangan bencana daerah;
(2) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Terdiri atas :
a. Pejabat Pemerintah daerah terkait; dan
b. Anggota masyarakat, professional dan ahli.
(3) Keanggotan unsure pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dipilih melalui uji kepatutan yang dilakukan oleh DPRD.
10
Pasal 10
(1) Pembentukan unsure pelaksana penanggulangan bencana daerah
Sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) huruf b merupakan
kewenangan pemerntah daerah.
(2) Unsur pelaksana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud
Ayat (1) mempunyai fungsi:
a. koordinasi;
b. komando; dan
c. pengendalian dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
(3) Keanggotaan unsur pelaksana penanggulangan bencana sebagaimana
Dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tenaga professional dan ahli.
Pasal 11
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 10 ayat (2), unsure pelaksana penanggulangan bencana
daerah mempunyai tugas secara terintegrasi yang meliputi:
a. prabencana;
b. saat tanggap darurat; dan
c. pascabencana.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Hak Masyarakat
Pasal 12
(1) Setiap orang berhak:
a. mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya
bagi kelompok masyarakat rentan bencana;
b. mendapatkan pendidikan, pelatihan dan keterampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana;
c. mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang
kebijakan penanggulangan bencana;
11
d. berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian dan/atau
pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan
kesehatan termasuk dukungan psikososial;
e. berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan
penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan
diri dan komunitasnya; dan
f. melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur
atas pelaksanaan penanggulangan bencana.
(2) Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan
pemenuhan kebutuhan dasar.
(3) Setiap orang berhak untuk memperoleh ganti kerugian karena
terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi.
Pasal 13
(1) Hak mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan keterampilan dalam
penyelenggarakan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud
dalam pasal 7 huruf b dilaksanakan melalui kegiatan pendidikan
formal dan non formal di semua jenjang pendidikan.
(2) Kegiatan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dirumuskan dalam materi pelajaran dan/atau kurikulum sekolah
mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi di daerah
wewenangnya.
(3) Pendidikan bagi masyarakat tentang kebencanaan diselenggarakan
oleh SKPD terkait.
Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat
Pasal 14
Setiap orang berkewajiban:
a. menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis, memelihara
keseimbangan, keserasian, keselarasan dan kelestarian fungsi
lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
12
b. memberikan informasi yang benar kepada public tentang
penanggulangan bencana;
c. melakukan kegiatan penanggulangan bencana baik secara pribadi
maupun kelompok relawan; dan
d. bertindak sebagai relawan baik sendiri atau secara kelompok yang
sepenuhnya berada dalam pengendalian BPBD.
BAB V
PRA BENCANA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 15
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan prabencana
meliputi:
a. situasi tidak terjadi bencana; dan
b. situasi terdapat potensi terjadi bencana.
Bagian Kedua
Situasi Tidak Terjadi Bencana
Pasal 16
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi
bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) meliputi :
a. perencanaan penanggulangan bencana;
b. pengurangan risiko bencana;
c. pencegahan;
d. pemanduan dalam perencanaan pembangunan;
e. persyaratan analisis risiko bencana;
f. pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
g. pendidikan dan pelatihan; dan
h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
13
Pasal 17
(1) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 huruf a disusun dalam bentuk RPB dan menjadi
bagian dari RPJMD.
(2) Penyusunan RPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) didasarkan pada hasil analisis risiko bencana.
(3) Penyusunan RPB dikoordinasikan oleh BPBD dengan melibatkan
unsure dari instansi/lembaga terkait pemerintah daerah, non
pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha.
(4) RPB ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk jangka waktu 5
(lima) tahun.
(5) Dalam hal penetapan RPJMD lebih awal dari RPB, Pemerintah
Daerah melakukan review terhadap RPJMD.
Pasal 18
(1) Pengurangan risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 huruf b disusun dalam bentuk RAD PRB.
(2) Penyusunan RAD PRB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan oleh BPBD secara menyeluruh dan terpadu dalam
suatu forum yang meliputi unsure dari pemerintah daerah, non
pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha.
(3) Penetapan RAD PRB dilakukan dengan Keputusan Kepala BPBD
setelah dikoordinasikan dengan BAPPEDA.
(4) RAD PRB diintegrasikan dengan RKPD dalam forum musrenbang
Provinsi oleh BPBD bersama BAPPEDA.
Pasal 19
(1) Upaya mengurangi atau menghilangkan resiko bencana dan
kerentanan pihak yang terancam bencana di koordinasikan oleh
BPBD dengan melibatkan SKPD terkait lainnya.
14
(2) SKPD sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) adalah instansi
pemerintah daerah yang membidangi :
a. sosial;
b. kesehatan;
c. pendidikan;
d. pekerjaan umum;
e. penataan ruang;
f. lingkungan hidup;
g. perumahan;
h. kehutanan;
i. perkebunan;
j. pertanian dan tanaman pangan;
k. kelautan dan perikanan;
l. peternakan;
m. perhubungan;
n. komunikasi dan informasi;
o. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
p. pertambangan dan energy;
q. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
Pasal 20
(1) BPBD sesuai dengan kewenangannya melakukan inventarisasi dan
kajian kegiatan pembangunan yang dapat menimbulkan risiko
bencana
(2) Setiap kegiatan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib dilengkapi dengan analisis risiko bencana sesuai dengan
persyaratan yang telah ditetapkan oleh Kepala BNPB.
15
Pasal 21
(1) BPBD bersama-sama dengan SKPD yang membidangi penataan
ruang berdasarkan kewenangannya melakukan koordinasi dalam
hal pengendalian pemanfaatan ruang sesuai rencana tata ruang
wilayah.
(2) Pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi pemantauan dan evaluasi terhadap perencanaan dan
pelaksanaan tata ruang, serta penerapan persyaratan analisis
risiko bencana.
(3) hasil pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi
bahan rekomendasi bagi terbitnya perizinan pemanfaatan ruang.
Pasal 22
(1) Pendidikan dan pelatihan kebencanaan bagi aparatur
diselenggarakan oleh instansi yang membidangi pendidikan dan
pelatihan.
(2) Pendidikan dan pelatihan terkait dengan penanggulangan bencana
bagi masyarakat dapat diselenggarakan oleh
lembaga/organisasi/forum berkoordinasi dengan BPBD.
(3) BPBD memfasilitasi materi pendidikan dan pelatihan terkait
penanggulangan bencana bagi sekolah dan masyarakat.
Bagian Ketiga
Situasi Terdapat Potensi Terjadi Bencana
Pasal 23
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat
potensi terjadi bencana sebagaiman dimaksud dalam pasal 15 huruf b,
meliputi:
a. kesiapsiagaan;
b. peringatan dini; dan
c. mitigasi bencana.
16
Pasal 24
(1) BPBD melakukan koordinasi pelaksanaan kegiatan kesiapsiagaan
oleh instansi/lembaga terkait dalam bentuk :
a. penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan
bencana;
b. pengorganisasian, pemasangan dan pengujian sistem
peringatan dini;
c. penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan
kebutuhan dasar;
d. pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan dan gladi tentang
mekanisme tanggap darurat;
e. penyiapan jalur dan lokasi evakuasi;
f. penyusunan data dan informasi yang akurat, serta
pemutakhiran prosedur tetap tanggap darurat bencana; dan
g. penyediaan dan penyiapan bahan, barang dan peralatan untuk
pemenuhan pemulihan sarana dan prasarana.
(2) Pelaksanaan kegiatan kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat melibatkan masyarakat dan lembaga usaha.
Pasal 25
(1) Peringatan dini disusun dan dilaksanakan oleh instansi/lembaga
yang berwenang sesuai dengan jenis ancaman bencana.
(2) BPBD melakukan koordinasi dengan instansi/lembaga yang
berwenang untuk memastikan terselenggaranya peringatan dini
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 26
(1) Mitigasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf c
dilakukan untuk mengurangi risiko dan dampak yang diakibatkan
oleh bencana terhadap masyarakat yang berada pada kawasan
rawan bencana.
(2) Mitigasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui kegiatan structural dan non structural.
(3) Kegiatan mitigasi structural meliputi :
17
a. Perencanaan dan pelaksanaan penataan ruang berdasarkan
pada analisis risiko bencana; dan
b. pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, dan
tata bangunan.
(4) Kegiatan mitigasi non structural meliputi penyelenggaraan
Pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan.
BAB VI
TANGGAP DARURAT BENCANA
Pasal 27
(1) Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap
darurat meliputi:
a. pengkajian secara cepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian
dan sumberdaya;
b. penentuan status keadaan darurat bencana;
c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
d. pemenuhan kebutuhan dasar;
e. perlindungan terhadap kelompok rentan;
f. pemulihan dengan segera sarana dan prasarana vital; dan
(2) Pengendalian penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat
tanggap darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibawah
kewenangan BPBD.
Pasal 28
BPBD melakukan kaji cepat untuk menentukan kebutuhan dan
tindakan penanggulangan bencana yang tepat pada saat tanggap
darurat.
Pasal 29
(1) Status keadaan darurat bencana ditetapkan oleh Gubernur atas
usul BPBD berdasarkan hasil kaji cepat dan tepat.
(2) Pada saat status keadaan darurat bencana telah ditetapkan,BPBD
mempunyai kemudahan akses di bidang :
a. pengerahan sumberdaya manusia;
b. pengerahan peralatan;
c. pengerahan logistik;
18
d. imigrasi, cukai, dan karantina;
e. perizinan;
f. pengadaan barang/jasa;
g. pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/atau barang;
h. penyelamatan; dan
i. komando untuk memerintahkan instansi/lembaga.
(3) Pada saat status keadaan darurat bencana telah ditetapkan, BPBD
mempunyai kemudahan dalam hal :
a. menggunakan dana siap pakai dalam APBD dan ditempatkan
dalam anggaran BPBD untuk pengadaan barang dan/jasa.
b. mengajukan permintaan serta melakukan penerimaan dan
penggunaan sumber daya, peralatan dan logistic dari
instansi/lembaga masyarakat untuk melakukan kegiatan
tanggap darurat sesuai kebutuhan.
c. memberikan persetujuan kepada instansi/lembaga terkait untuk
melakukan pengadaan barang/jasa dalam penyelenggaraan
tanggap darurat bencana secara khusus melalui
pembelian/pengadaan langsung yang efektif dan efisien sesuai
dengan kondisi saat keadaan tanggap darurat berlangsung.
(4) dalam hal penerimaan dana siap pakai dari pemerintah, BPBD
membuat laporan :
a. Kepada Gubernur untuk selanjutnya dipergunakan sesuai
dengan kebutuhan situasi dan kondisi kedaruratan bencana;
b. pertanggungjawaban penggu aan dana siap pakai dari
Pemerintah kepada BNPB sesuai dengan pedoman yang telah
ditetapkan oleh Kepala BNPB: dan
c. pertanggungjawaban dan menginformasikannya kepada public
terkait penerimaan dan penggunaan uang dan/atau barang dari
masyarakat.
Pasal 30
Dalam penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana,BPBD
melaksanakan fungsi komando pengerahan sumber daya manusia,
peralatan, logistic, dan penyelamatan sesuai dengan lokasi dan
tingkatan bencananya
19
Pasal 31
Pemenuhan kebutuhan dasar dilakukan oleh instansi/lembaga
terkait dibawah koordinasi BPBD sesuai dengan standar minimum
mmeliputi bantuan penyediaan : kebutuhan air bersih dan sanitasi,
pangan, sandang; pelayanan kesehatan; pelayanan psikososial; dan
penampungan serta tempat hunian.
Pasal 32
Perlindungan terhadap kelompok rentan dilakukan oleh
instansi/lembaga terkait dibawah koordinasi BPBD berupa
penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan, dan
psikososial.
Pasal 33
BPBD melakukan koordinasi upaya pemulihan dengan segera
prasarana dan sarana vital dari instansi/lembaga terkait agar
kehidupan masyarakat tetap berlangsung.
BAB VII
Pasca Bencana
Pasal 34
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pascabencana
meliputi:
a. rehabilitas; dan
b. rekonstruksi.
Pasal 35
(1) Rehabilitasi pada wilayah pascabencana dilakukan melalui
kegiatan :
a. perbaikan lingkungan daerah bencana;
b. perbaikan prasarana dan sarana umum;
c. pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
d. pemulihan sosial psikologis;
e. pelayanan kesehatan;
f. rekonsiliasi dan resolusi konflik;
20
g. pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya;
h. pemulihan keamanan dan ketertiban;
i. pemulihan fungsi pemerintah: dan
j. pemulihan fungsi pelayanan publik.
(2) Untuk mempercepat pemulihan kehidupan masyarakat pada
wilayah pasca bencana, Pemerintah Daerah menetapkan prioritas
rehabilitasi didasarkan pada analisis kerusakan dan kerugian
akibat bencana.
(3) Analisis kerusakan bencana dan kerugian akibat bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
instansi/lembaga terkait dikoordinasikan oleh BPBD.
(4) Prioritas kegiatan rehabilitasi pasca bencana ditetapkan dengan
Keputusan Gubernur.
Pasal 36
(1) Pemerintah Daerah menyusun rencana rehabilitasi didasarkan
pada analisis kerusak dan kerugian akibat bencana.
(2) Penyusunan rencana rehabilitasi harus memperhatikan aspirasi
masyarakat melalui sebuah forum konsultasi publik.
(3) Penyusunan rencana rehabilitasi harus memperhatikan :
a. pengaturan mengenai standar konstruksi bangunan; b. kondisi social;
c. adat istiadat; d. budaya; dan e. ekonomi.
(4) Rencana rehabilitasi ditetapkan oleh Gubernur.
Pasal 37
(1) Dalam melakukan rehabilitasi, Pemerintah Daerah wajib menggunakan dana penanggulangan bencana dari APBD Provinsi.
(2) Dalam hal APBD tidak memadai, Pemerintah Daerah dapat meminta bantuan dana kepada Pemerintah untuk melaksanakan kegiatan rehabilitasi.
21
Pasal 38 (1) Kegiatan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 huruf
a dilaksanakan oleh instansi/lembaga terkait yang dikoordinasikan oleh BPBD.
(2) Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi harus mengedepankan aspek
pemberdayaan masyarakat sekitar terkena dampak bencana.
Pasal 39
(1) Rekonstruksi pada wilayah pasca bencana dilakukan melalui
kegiatan :
a. pembangunan kembali prasarana dan sarana;
b. pembangunan kembali sarana sosial masyarakat;
c. pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat;
d. penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan
peralatan yang lebih baik serta tahan bencana;
e. partisipasi dan peran serta lembaga serta organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat;
f. peningkatan kondisi sosial, ekonomi dan budaya;
g. peningkatan fungsi pelayanan publik; dan
h. peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.
(2) Untuk mempercepat pembangunan kembali semua prasarana dan
sarana serta kelembagaan pada wilayah pasca bencana,
pemerintah daerah menetapkan prioritas kegiatan rekonstruksi
didasarkan pada analisis kerusakan dan kerugian akibat bencana.
(3) Analisis kerusakan dan kerugian akibat bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh instansi/lembaga terkait
dikoordinasikan oleh BPBD.
(4) Prioritas kegiatan rekonstruksi pasca bencana ditetapkan dengan
Keputusan Gubernur.
Pasal 40
(1) Pemerintah Daerah bertanggungjawab melaksanakan kegiatan
rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 huruf b,
kecuali prasarana dan sarana yang merupakan tanggungjawab
Pemerintah.
22
(2) Pemerintah Daerah menyusun rencana rekonstruksi sebagai satu
kesatuan dari rencana rehabilitasi yang didasarkan pada analisi
kerusakan dan kerugian akibat bencana.
(3) Penyusunan rencana rekonstruksi harus memperhatikan aspirasi
masyarakat melalui sebuah forum konsultasi public.
(4) Penyusunan rencana rekonstruksi harus memperhatikan :
a. rencana tata ruang wilayah;
b. pengaturan mengenai standar konstruksi bangunan;
c. kondisi social;
d. adat istiadat;
e. budaya; dan
f. ekonomi.
(5) Rencana rekonstruksi dtetapkan oleh Gubernur.
Pasal 41
(1) Dalam melakukan rekonstruksi, Pemerintah Daerah wajib
menggunakan dana penanggulangan bencana dari APBD.
(2) Dalam hal APBD tidak memadai, Pemerintah Daerah dapat
meminta bantuan dana kepada Pemerintah untuk melaksanakan
kegiatan rekonstruksi.
(3) Selain permintaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
pemerintah Daerah dapat meminta bantuan kepada pemerintah
berupa:
a. tenaga ahli;
b. peralatan;
c. pembangunan prasarana.
Pasal 42
(1) Pelaksanaan kegiatan rekonsrtuksi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 40 ayat (1) dilaksanakan oleh instansi/lembaga terkait yang
dikoordinasikan oleh BPBD.
(2) Pelaksanaan kegiatan rekonstruksi harus mengedepankan aspek
pemberdayaan masyarakat sekitar yang terkena dampak bencana.
23
BAB VIII
KOORDINASI DAN KERJASAMA ANTAR DAERAH
Pasal 43
(1) Koordinasi antar daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana meliputi :
a. antar Daerah provinsi dengan Daerah kabupaten/Kota;
b. antar daerah kabupaten/Kota dalam satu daerah Provinsi;
c. antar daerah provinsi dengan daerah provinsi lainnya.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
rapat koordinasi antar BPBD Provinsi dengan BPBD
Kabupaten/Kota minimal 1 (satu) kali dalam satu tahun dan
sewaktu-waktu sesuai kebutuhan.
Pasal 44
(1) Kerjasama antar Daerah Kabupaten/Kota dimaksudkan untuk
efisiensi penyelenggaraan penanggulangan bencana.
(2) Gubernur bertanggungjawab untuk memfasilitasi kerjasama wajib
penyelenggaraan penanggulangan bencana.
(3) Kerjasama wajib penyelenggaraan penganggulangan bencana
sebagaimana di maksud pada ayat (2) merupakan kerja sama
antar-Daerah yang berbatasan untuk penyelenggaraan
penanggulangan bencana yang memiliki eksternalitas lintas
Daerah, dan penyediaan layanan publik yang lebih efisien jika
dikelola bersama.
(4) Dalam hal kerja sama wajib penyelenggaraann penanggulanagan
bencana tidak dilaksanakan oleh Daerah kabupaten/kota,gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat mengambil alih pelaksanaannya.
BAB IX
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 45
(1) Masyarakat, lembaga social kemasyarakatan dan lembaga usaha
memiliki kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana.
(2) Masyarakat, lembaga social kemasyarakatan dan lembaga usaha
dapat membentuk forum sebagai wahana untuk berperan serta
24
dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Pasal 46
(1) Anggota forum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)
terdiri dari unsur :
a. Pemerintah daerah
b. Lembaga Swadaya Masyarakat
c. embaga sosial keagamaan
d. Organisasi sosial kemasyarakatan
e. Perguruan tinggi
f. Sekolah negeri dan swasta
g. Media masa
h. Dunia usaha
i. Masyarakat
(2) Tugas, fungsi dan kepengurusan forum ditetapkan dengan
Keputusan gubernur.
BAB.X
PEMANTAUAN, PELAPORAN DAN EVALUASI
Pasal 47
Pemantauan penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan
oleh BPBD sebagai bahan evaluasi menyeluruh dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana
Pasal 48
(1) BPBD menyusun laporan penyelenggaraan penanggulangan
bencana
(2) Laporan penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri dari:
a. Laporan situasi kejadian bencana;
b. Laporan bulanan kejadian bencana; dan
c. Laporan menyeluruh penyelenggaraan penanggulangan
bencana.
25
Pasal 49
Laporan situasi kejadian bencana sebagaimana dimaksud dalam pasal
48 ayat (2) huruf a disusun pada saat tanggap darurat dengan
memuat:
a. waktu dan lokasi kejadian;
b. penyebab bencana;
c. cakupan wilayah dampak bencana;
d. penyebab kejadian bencana;
e. dampak bencana (jumlah korban jiwa dan kerusakan/kerugian serta
dampak social ekonomi yang ditimbulkan)
f. upaya penanganan yang dilakukan;
g. bantuan yang diperlukan;
h. kendala yang dihadapi.
Pasal 50
Laporan bulanan kejadian bencana sebagaimana dimaksud dalam
pasal 48 ayat (2) huruf b merupakan rekapituasi jumlah kejadian,
dampak bencana yang disajikan dalam tabulasi.
Pasal 51
Laporan menyeluruh penyelenggaraan penanggulangan bencana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 ayat (2) huruf c meliputi
kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada prabencana yang dibuat setiap
bulan dan setiap tahun.
Pasal 52
(1) Evaluasi penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan
dalam rangka pencapaian standar minimum dan peningkatan
kinerja penanggulangan bencana.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh
BPBD.
BAB VII
PENDANAAN PENANGGULANGAN BENCANA
Pasal 53
(1) Sumber Dana penanggulangan bencana dapat berasal dari :
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN)
26
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
c. Sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
(2) Sumber Dana yang bersumber dari APBD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, dianggarkan setiap tahun 1 % (satu persen)
dari APBD sesuai kemampuan keuangan daerah.
(3) Dana penanggulangan bencana yang bersumber dari APBD
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dialokasikan kepada masing-
masing SKPD yang menangani penanggulangan bencana.
(4) Besarnya alokasi dana untuk masing-masing SKPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
(5) Dana penanggulang bencana yang ada dalam anggaran SKPD,
penggunaan dan pemantauannya dikoordinasikan oleh BPBD.
Pasal 54
(1) Masyarakat dapat mengumpulkan dan menyalurkan dana untuk
penanggulanan bencana ketika tejadi bencana.
(2) Pengumpulan dana oleh masyarakat dan penyalurannya
sebagaimana dimaksud ayat (1) harus dikoordinasikan oleh BPBD.
Pasal 55
(1) Dana uperasional BPBD menjadi tanggung jawab bersama antara
pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
sesuai kewenangannya yang terdiri atas:
a. dana penanggulangan bencana yang berasal dari APBN, APBD,
dan/atau masyarakat untuk digunakan pada tahap
prabencana,saat tanggap darurat bencana dan pasca bencana.
b. dana kontijensi bencana yang disediakan dalam APBN untuk
kegiatan kesiapsiagaan pada tahap prabencana.
c. dana siap pakai yang disediakan dalam APBN untuk kegiatan
pada saat tanggap darrat serta Pemerintah
Provinsi/Kabupaten/Kota menyediakan dana siap pakai dalam
anggaran penanggulangan bencana yng berasal dari APBD dan
menempatkannya dalam anggaran BPBD, dan harus selalu
tersedia sesuai dengan kebutuhan pada saat tanggap darurat;
dan
27
d. dana bantuan social berpola hibah yang disediakan dalam APBN
untuk kegiatan pada tahap pasca bencana.
(2) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai
wilayah dan kewenangannya mendorong partisipasi masyarakat
dalam penyediaan dana, barang dan atau jasa yang bersumber dari
masyarakat, baik masyarakat dalam negeri maupun masyarakat
internasional sesuai peraturan-perundangan yg berlaku.
(3) Dana, barang maupun jasa yang berasal dari Lembaga
Internasional dan Lembaga Asing Non Pemerintah penyalurannya
berkoordinasi dengan BNPB.
Pasal 56
(1) Dana siap pakai sebagaimana dimaksud dalam pasar 55 huruf c
digunakan terbatas pada pengadaan barang dan atau jasa untuk:
a. pencairan dan penyelamatan korban bencana;
b. pertolongan darurat;
c. evakuasi korban bencana;
d. kebutuhan air bersih dan sanitasi;
e. pangan;
f. sandang;
g. pelayanan kesehatan;
h. penampungan serta tempat hunian sementara; dan
i. pembayaran uang lelah petugas semua kegiatan yang
memerlukan tenaga yang telah direkrut dalam Sistem komando
tanggap darurat.
(2) BPBD pada saat Tanggap Darurat dapat melaksanakan pengadaan
barang dan atau jasa sesuai kebutuhan, kondisi dan karakteristik
wilayah bencana secara langsung yang efisien dan efektif
28
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 57
Semua ketentuan mengenai pengelolaan bencana yang ada sebelum
diundangkannya Peraturan Daerah ini masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Peraturan daerah ini.
Pasal 58
Peraturan Gubernur sebagai peraturan pelaksanaan dari peraturan
daerah ini wajib ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan sejak
Peraturan Daerah ini diundangkan.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 59
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Ditetapkan di Mataram
pada tanggal
GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT,
H. M. ZAINUL MAJDI
Diundangkan di Mataram
pada tanggal
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI NTB,
H. MUHAMMAD NUR
LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2014 NOMOR NOREG PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT : (7/12)
29
PENJELASAN ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
NOMOR TAHUN 2014
TENTANG
PENANGGULANGAN BENCANA
I. UMUM
Bencana merupakan suatu fenomena yang berdampak merusak dan
muncul dengan atau tanpa prediksi yang selalu menyertai kehidupan manusia.
Dampak yang merusak ini dapat berupa korban jiwa dan/atau kerugian harta
benda sehingga mangacaukan tatanan alam dan sosial. Potensi penyebab
bencana dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) jenis bencana, yaitu bencana
alam, bencana non alam, dan bencana sosial. Bencana alam antara lain
berupa gempa bumi karena alam, letusan gunung berapi, angin topan, tanah
longsor, kekeringan, kebakaran hutan/lahan karena faktor alam, hama
penyakit tanaman, epidemi, wabah, kejadian luar biasa, dan kejadian
antariksa/benda-benda angkasa. Bencana nonalam antara lain kebakaran
hutan/lahan yang disebabkan oleh manusia, kecelakan transportasi, kegagalan
konstruksi/teknologi, dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran
lingkungan dan kegiatan keantariksaan. Bencana sosial antara lain berupa
kerusuhan sosial dan konflik sosial dalam masyarakat yang sering terjadi.
Sedangkan menurut waktu terjadinya, bencana dikelompokkan menjadi;
1). Bencana periodik (bencana yang terjadi secara berkala dan dapat diprediksi,
seperti banjir, kekeringan, tanah longsor dan gunung meletus) dan 2). Bencana
sporadis (bencana yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi,
seperti gempa bumi).
Beberapa ancaman bencana berikut tersebar di beberapa wilayah di
Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu gempa bumi, gunung merapi, tanah
longsor, banjir, erosi, abrasi-sedimentasi,kekeringan,kebakaran hutan,wabah
flu burung, kegagalan teknologi dan sanitari. Mencermati hal-hal tersebut
diatas dan dalam rangka memberikan landasan hokum yang kuat bagi
penyelenggaraan penanggulangan bencana di Provinsi Nusa Tenggara Barat,
perlu disusun Peraturan daerah tentang penanggulangan bencana yang pada
prinsipnya mengatur tahapan bencana meliputi pra bencana, saat tanggap
30
darurat, dan pasca bencana. Materi muatan peraturan daerah ini berisikan
ketentuan-ketentuan pokok sebagai berikut :
1. Penyelenggaraan Penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab dan
wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah, yang dilaksanakan secara
terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.
2. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam tahap tanggap darurat
dilaksanakan sepenuhnya oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana
dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Badan penanggulangan
bencana tersebut terdiri dari unsur pengarah dan unsur pelaksana. Badan
Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah mempunyai tugas dan fungsi antara lain pengkoordinasian
penyelenggaraan penanggulangan bencana secara terencana dan terpadu
sesuai dengan kewenangannya.
3. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan
memperhatikan hak masyarakat yang antara lain mendapatkan bantuan
pemenuhan kebutuhan dasar, mendapatkan perlindungan sosial,
mendapatkan pendidikan dan keterampilan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
4. Kegiatan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan memberikan
kesempatan secara luas kepada lembaga usaha dan lembaga internasional.
5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan pada tahap
prabencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana, karena masing-
masing tahapan mempunyai karakteristik penanganan yang berbeda.
6. Pada saat tanggap darurat, kegiatan penanggulangan bencana selain
didukung dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara danAnggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, juga disediakan dana siap pakai dengan
pertanggungjawaban melalui mekanisme khusus.
7. Pengawasan terhadap seluruh kegiatan penanggulangan bencana dilakukan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat pada setiap tahapan
bencana, agar tidak terjadi penyimpangan dalam penggunaan dana
penanggulangan bencana.
Dengan materi muatan sebagaimana disebutkan diatas, peraturan daerah ini
diharapkan dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana sehingga penyelenggaraan
penanggulangan bencana di Provinsi Nusa Tenggara Barat dapat dilaksanakan
secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu.
31
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” termanifestasi dalam
bentuk jaminan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi
manusia, harkat dan martabat setiap masyarakat secara proporsional.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”asas keadilan” adalah dalam penanggulangan
bencana harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
Masyarakat tanpa terkecuali.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum
danpemerintahan” adalah dalam penanggulangan bencana tidak boleh
berisi hal-hal yang membedakan latar belakang, antara lain, agama,
suku, ras,golongan, gender, atau status sosial.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keselarasan dan
keserasian” adalah dalam penanggulangan bencana mencerminkan
keseimbangan kehidupan sosial dan lingkungan, keselarasan tata
kehidupan dan lingkungan dan keserasian lingkungan dan kehidupan
sosial Masyarakat.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah
dalam penanggulangan bencana harus dapat menimbulkan ketertiban
dalam Masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah penanggulangan
bencana pada dasarnya menjadi tugas dan tanggung jawab bersama
Pemerintah Daerah dan Masyarakat yang dilakukan secara gotong
royong.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas kelestarian lingkungan hidup” adalah
dalam penanggulangan bencana mencerminkan kelestarian
32
lingkunganuntuk generasi sekarang dan untuk generasi yang akan
datang demikepentingan Daerah.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas ilmu pengetahuan dan teknologi” adalah
penanggulangan bencana harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi secara optimal sehingga mempermudah dan mempercepat
proses penanggulangan bencana, baik pada tahap pencegahan, pada
saat terjadi bencana, maupun pada tahap pasca bencana.
ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan tepat” adalah
penyelenggaraan penanggulangan bencana harus dilaksanakan
secaracepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan
Huruf b
Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah apabila terjadi
bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan
diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “prinsip koordinasi” adalah kegiatan
penyelenggaraan penanggulangan bencana didasarkan pada waktu,
tenaga, biaya digunakan sesuai kebutuhan. Yang dimaksud dengan
“prinsip keterpaduan” adalah penyelenggaraan penanggulangan
bencana dilakukan tepat sasaran dan bermanfaat bagi masyarakat.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “prinsip berdaya guna” adalah dalam mengatasi
kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu,
tenaga, dan biaya yang berlebihan. Yang dimaksud dengan “prinsip
berhasil guna” adalah kegiatan penyelenggaraan penanggulangan
bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi kesulitan
masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang
berlebihan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “prinsip transparansi” adalah penyelenggaraan
penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas”
adalah penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan secara
terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.
Huruf f
33
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Yang dimaksud dengan “prinsip nondiskriminasi” adalah negara dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana tidak memberikan
perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan
aliran politik apapun.
Huruf i
Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah pelarangan kegiatan
menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat
bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat
bencana.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Ancaman lintas Kabupaten/Kota,contohnya letusan gunung rinjani yang
secara administrative berada pada wilayah Kabupaten Lombok
Utara,Lombok Tengah dan Lombok Timur.
Dampak bencana secara potensial lintas kabupaten/kota, contohnya
gempa bumi dan tsunami
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
34
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
35
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup Jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
36
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Contohnya, dalam hal penyusunan system peringatan dini banjir dimana
sumber ancaman berada di suatu kabupaten.kota sementara masyarakat
potensial terdampak berada di wilayah kabupaten/kota lain.
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
37
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR….
1
GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT
PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT
NOMOR 8 TAHUN 2014
TENTANG
PENGURANGAN RISIKO BENCANA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT,
Menimbang : a. bahwa wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki
kondisi geologis, geografis, hidrologis, demografis,
sosiografis yang menjadikannya rawan bencana, baik
bencana alam, bencana non-alam, maupun bencana sosial
yang berpotensi menimbulkan korban jiwa, kerugian harta
benda, dan kerugian dalam bentuk lain yang tidak ternilai;
b. bahwa untuk mengurangi korban dan kerugian akibat
bencana perlu upaya pengurangan risiko bencana dalam
mewujudkan ketangguhan masyarakat terhadap potensi
dan ancaman bencana dengan mempertimbangkan nilai-
nilai kearifan lokal;
2
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Gubernur tentang Pengurangan Risiko Bencana;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang
pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I: Bali, Nusa
Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
1649);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4548);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82,Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4373);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (Lembaran
3
Negara Republik Indonesia Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4828);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang
Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 23,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4829);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran
Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non
Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 44,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4830);
8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun
2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 199);
9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewaspadaan Dini Masyarakat;
10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006
tentang Mitigasi Bencana;
11. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 9 Tahun 2008 tentang Prosedur Tetap Tim Reaksi
Cepat Badan Nsional Penanggulangan Bencana;
12. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Sistem Komando Tanggap
Darurat Bencana;
13. Peraturan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nomor
14 Tahun 2010 tentang Pedoman Pembentukan Pos
Komando Tanggap Darurat Bencana;
4
14. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 3
Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga
Lain Sebagai Bagian Dari Perangkat Daerah Provinsi Nusa
Tenggara Barat yang di ubah menjadi Peraturan Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 10 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi NTB
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Lembaga Lain Sebagai Bagian
dari Perangkat Daerah Provinsi NTB (Lembaran Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2009 Nomor 16);
15. Peraturan Gubernur Nomor 14 Tahun 2009 tentang
Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat Dan Rincian Tugas, Fungsi
Dan Tata Kerja Pelaksanaan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Berita
Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2009 Nomor
49.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PENGURANGAN RISIKO
BENCANA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Gubernur ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat.
2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan Perangkat Daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
3. Gubernur adalah Gubernur Nusa Tenggara Barat.
4. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota se Nusa Tenggara Barat.
5
5. Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota se Nusa Tenggara
Barat.
6. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi yang
selanjutnya disebut BPBD Provinsi Nusa Tenggara Barat.
7. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten/Kota yang
selanjutnya disebut BPBD Kabupaten/Kota.
8. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.
9. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara
lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
kekeringan, angin topan dan tanah longsor.
10. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain
berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah
penyakit.
11. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang di akibatkan oleh manusia yang
meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas
masyarakat dan teror.
12. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian
upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang
berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana,
tanggap darurat dan rehabilitasi.
13. Lembaga kemasyarakatan adalah lembaga yang mempunyai
akta notaris/akta pendirian/anggaran dasar disertai anggaran
rumah tangga, yang memuat antara lain; asas, sifat, dan tujuan
lembaga, lingkup kegiatan, susunan organisasi, sumber-sumber
6
keuangan serta mempunyai kepanitiaan, yang meliputi susunan
panitia, alamat kepanitiaan dan program kegiatan.
14. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera, pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan
pengungsi, penyelamatan serta pemulihan prasarana dan
sarana.
15. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulan akibat
bencana pada suatu wilayah pada kurun waktu tertentu yang
dapat berupa kematian, luka, skit, jiwa terancam, hilangnya rasa
aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta dan
gangguan kegiatan masyarakat.
16. Pengurangan Risiko Bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengurangi risiko bencana.
17. Bantuan darurat bencana adalah upaya memberikan bantuan
untuk memenuhi kebutuhan dasar pada saat keadaan darurat.
18. Status keadaan darurat adalah suatu keadaan yang ditetapkan
oleh pemerintah untuk jangka waktu tertentu atas dasar
rekomendasi badan yang diberi tugas untuk menanggulangi
bencana.
19. Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa
atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu
yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk becana.
20. Sistem Komando Tanggap Darurat adalah suatu sistem dalam
penanganan bencana pada status keadaan darurat, yang dalam
sistem tersebut BPBD memiliki kemudahan akses berupa fungsi
komando untuk memerintahkan sektor/lembaga terkait dalam
satu komando guna pengerahan sumber daya manusia,
peralatan, logistik dan penyelamatan.
7
21. Komandan tanggap darurat adalah seorang pejabat yang
ditunjuk untuk melaksanakan fungsi komando tanggap darurat
bencana.
22. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang,
dan/atau badan hukum.
23. Korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang
menderita atau meninggal dunia akibat bencana.
24. Kelompok rentan adalah kelompok masyarakat yang
membutuhkan bantuan karena keadaan yang disandangnya
diantaranya masyarakat lanjut usia, penyandang cacat, anak-
anak, serta ibu hamil dan menyusui.
25. Tim Reaksi Cepat adalah suatu tim yang dibentuk oleh Kepala
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), yang terdiri
dari instansi/lembaga teknis/non teknis terkait yang bertugas
melaksanakan kegiatan kaji cepat bencana dan dampak bencana
pada saat tanggap darurat meliputi penilaian kebutuhan (need
asessment), penilaian kerusakan dan kerugian (damage and
losses asessment) serta memberikan dukungan pendampingan
dalam penanganan darurat bencana.
26. Badan usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk
Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi
atau Swasta yang didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang menjalankan jenis usaha tetap dan
terus menerus yang bekerja dan berkedudukan dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
27. Lembaga Internasional adalah organisasi yang berada dalam
lingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau
yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa
atau organisasi internasional lainnya.
28. Lembaga asing non pemerintah adalah suatu lembaga
internasional yang terorganisasi secara fungsional bebas dari dan
tidak mewakili pemerintahan suatu negara atau organisasi
8
internasional yang di bentuk secara terpisah dari suatu Negara
dimana organisasi itu didirikan.
29. Pengenalan Risiko Bencana adalah kegiatan yang dilakukan
untuk memberikan pemahaman dan kesadaran terhadap risiko
yang ditimbulkan apabila terjadi bencana.
30. Pemantauan Risiko Bencana adalah kegiatan yang dilakukan
untuk mengawasi segala kegiatan yang dapat menimbulkan
bencana.
Pasal 2
Ruang lingkup pengaturan dalam Peratuan Gubernur ini meliputi :
a. pengenalan dan pemantauan risiko bencana;
b. perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;
c. pengembangan budaya sadar bencana;
d. peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan
bencana.
BAB II
PENGENALAN DAN PEMANTAUAN RISIKO BENCANA
Bagian Kesatu
Pengenalan Risiko Bencana
Pasal 3
(1) Kegiatan pengenalan dan pemantauan risiko bencana
dimaksudkan untuk mendapatkan data ancaman, kerentanan,
dan kemampuan masyarakat untuk menghadapi bencana.
(2) Kegiatan pengenalan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) kemudian digunakan untuk melaksanakan analisis risiko
bencana.
Pasal 4
(1) Untuk mendapakan data ancaman, kerentanan, dan kemampuan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada pasal 3 ayat (1)
dilakukan melalui kegiatan:
9
a. survey/penelitian; dan
b. seminar dan lokakarya.
(2) Dalam hal melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) melibatkan unsur; pemerintah daerah, perguruan tinggi,
lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha.
Bagian kedua
Pemantauan Risiko Bencana
Pasal 5
Pemantauan risiko bencana meliputi :
a. penyusunan peta;
b. pengembangan sistim indikator risiko bencana dan kerentanan
skala lokal; dan
c. peringatan dini risiko bencana.
Pasal 6
Penyusunan peta sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf a
meliputi:
a. penyempurnaan dan pemutahiran peta risiko bencana;
b. penyusunan indeks risiko bencana Kabupaten/Kota;
c. purvey potensi Cekungan Air Tanah (CAT);
d. indentifikasi daerah rawan bencana longsor;
e. rapid risk assesment bencana dibeberapa wilayah yang menjadi
daerah rawan bencana (berdasarkan lokasi,jenis bencana, dan
risiko yang diakibatkan);
f. identifikasi program pembangunan sekitar kawasan hutan yang
rawan bencana;
g. pemetaan proyeksi pola dan proyeksi perubahan iklim bencana;
dan
h. pemetaan dan proyeksi deforestasi/reforestasi dan land use
change.
10
Pasal 7
Pengembangan system indicator risiko dan kerentanan skala local
bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b meliputi:
a. Penyusunan sistim indikator risiko bencana dan kerentanannya
untuk menjadi standar didaerah provinsi dan Kabupaten/Kota.
b. Pengembangan sistim peringatan dini.
c. Pendataan informasi statistik mengenai kejadian bencana,
dampak, dan kerugian.
d. Penyediaan alat komunikasi tanggap darurat.
e. Mengembangkan model-model desain dan konstruksi rumah dan
bangunan lainnya yang tahan bencana sesuai dengan kondisi
wilayah.
Pasal 8
Peringatan dini risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf c meliputi:
a. pengembangan sistem informasi elektronik berbasis website;
b. monitoring dan evaluasi secara berkala sebagai bagian dari
proses penyempurnaan system peningkatan dini;
c. review secara periodik dan memelihara sistem informasi sebagai
bagia dari sistem pringatan dini;
d. mengidentifikasi daerah-daerah prioritas yang perlu dibangun
jaringan inforamasi dini dimasing-masing kabupaten/kota;
e. penambahan jaringan pengamatan pendeteksi gempa/
seismometer di kabupaten/kota;
f. pembangunan pusat informasi penanganan bencana disetiap
kabupaten/kota;
g. penyempurnaan peta iklim secara berkala;
h. penyusunan studi risiko bencana dan sistem peringatan dini; dan
i. pendataan dan pengamatan visual dan aktifitas gunung api.
11
BAB III
PERENCANAAN PARTISIPATIF PENANGGULANGAN BENCANA
Pasal 9
(1) Perencanaan partisipatif penanggulangan bencana dilakukan melalui
kegiatan:
a. penyusunan rencana penanggulangan bencana;
b. konsultasi publik dan uji publik.
(2) Perencanaan partisipatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilaksanakan dengan mempertimbangkan kearifan local masing-
masing daerah.
BAB IV
PENGEMBANGAN BUDAYA SADAR BENCANA
Pasal 10
(1) Pengembangan budaya sadar bencana dilaksanakan di bawah
kordinasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
(2) Pengembangan budaya sadar bencana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk:
a. sosialisasi;
b. pelatihan, simulasi/gladi; dan
c. penelitian, lokakarya dan seminar;
Pasal 11
(1) Sosialisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a
dilakukan kepada; unsur aparat pemerintah daerah, dunia usaha,
dan masyarakat.
(2) Pelatihan, simulasi/gladi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(2) huruf b dilakukan dengan melibatkan kalangan Aparat
Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Tentara Nasional Indonesia,
Kepolisian Republik Indonesia, Pelajar, Karang Taruna, Pramuka,
dan Masyarakat.
12
(3) Penelitian, lokakarya, dan seminar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (2) huruf c dilakukan untuk mengkaji potensi rawan
bencana.
(5) BPBD dalam melaksanakan kegiatan pengembangan sadar bencana
dapat bekerja sama dengan mitra BPBD.
BAB V
PENINGKATAN KOMITMEN TERHADAP PELAKU
PENANGGULANGAN BENCANA
Pasal 12
(1) Untuk melaksanakan kegiatan kegiatan pengurangan risiko bencana
dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui BPBD Provinsi dan BPBD
Kab/Kota.
(2) Kegiatan pengurangan risiko bencana dapat dilakukan oleh : dunia
usaha, lembaga swadaya masyarakat, dunia pendidikan, dan
kelompok masyarakat yang peduli terhadap upaya pengurangan
risiko bencana.
Pasal 13
(1) Untuk pengurangan risiko bencana, Pemerintah Daerah melakukan
kegiatan melalui eningkatan kapasitas pelaku.
(2) Peningkatan kapasitas pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan melalui kegiatan:
a. sosialisasi peraturan tentang kebencanaan;
b. pelatihan-pelatihan pengurangan risiko bencana;
c. simulasi/gladi pengurangan risiko bencana;
d. penyiapan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk
pengurangan risiko bencana;
e. penyusunan rencana kontinjensi (renkon);
f. rencana aksi pengurangan risiko bencana; dan
g. penguatan kelembagaan.
13
(3) Pelaksanaan kegiatan pengingkatan kapasitas pelaku sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat bekerjasama dengan pihak lain.
BAB VI
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN
Pasa 14
(1) Pemerintah Daerah melalui BPBD melakukan pengawasan
pelaksanaan pengurangan risiko bencana.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
bentuk:
a. pengawasan terhadap kegiatan lembaga-lembaga/organisasi
nasional maupun internasional terkait dengan pengurangan risiko
bencana; dan
b. pengawasan terhadap kegiatan usaha baik yang dilakukan oleh
perorangan atau badan usaha yang dapat menimbulkan risiko
bencana.
(3) Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada Gubernur.
Pasal 15
(1) BPBD melakukan pembinaan yang berkaitan dengan pelaksanaan
kegiatan pengurangan risiko bencana.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
kegiatan :
a. bimbingan kepada lembaga/organisasi, dan masyarakat yang
melakukan kegiatan pengurangan risiko bencana; dan
b. pelatihan-pelatihan untuk pengurangan risiko bencana
14
BAB VII
PENUTUP
Pasal 16
Peraturan Gubernur ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Gubernur ini dengan penempatannya di Berita Daerah Nusa
Tenggara Barat.
Ditetapkan di Mataram
Pada tanggal 20 Maret 2014
GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT
H.M. ZAINUL MAJDI
Diundangkan Di Mataram
Pada Tanggal 21 Maret 2014
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI NTB
H. MUHAMMAD NUR
BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2014 NOMOR 8
1
BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
NOMOR 8 TAHUN 2014
PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT
NOMOR 8 TAHUN 2014
TENTANG
PENGURANGAN RISIKO BENCANA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT,
Menimbang : a. bahwa wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki
kondisi geologis, geografis, hidrologis, demografis,
sosiografis yang menjadikannya rawan bencana, baik
bencana alam, bencana non-alam, maupun bencana sosial
yang berpotensi menimbulkan korban jiwa, kerugian harta
benda, dan kerugian dalam bentuk lain yang tidak ternilai;
b. bahwa untuk mengurangi korban dan kerugian akibat
bencana perlu upaya pengurangan risiko bencana dalam
mewujudkan ketangguhan masyarakat terhadap potensi
dan ancaman bencana dengan mempertimbangkan nilai-
nilai kearifan lokal;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Gubernur tentang Pengurangan Risiko Bencana;
2
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang
pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I: Bali, Nusa
Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
1649);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4548);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82,Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4373);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4828);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang
Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana (Lembaran
3
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 23,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4829);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran
Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non
Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 44,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4830);
8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun
2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 199);
9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewaspadaan Dini Masyarakat;
10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006
tentang Mitigasi Bencana;
11. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 9 Tahun 2008 tentang Prosedur Tetap Tim Reaksi
Cepat Badan Nsional Penanggulangan Bencana;
12. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Sistem Komando Tanggap
Darurat Bencana;
13. Peraturan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nomor
14 Tahun 2010 tentang Pedoman Pembentukan Pos
Komando Tanggap Darurat Bencana;
14. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 3
Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga
Lain Sebagai Bagian Dari Perangkat Daerah Provinsi Nusa
Tenggara Barat yang di ubah menjadi Peraturan Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 10 Tahun 2011
4
tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi NTB
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Lembaga Lain Sebagai Bagian
dari Perangkat Daerah Provinsi NTB (Lembaran Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2009 Nomor 16);
15. Peraturan Gubernur Nomor 14 Tahun 2009 tentang
Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat Dan Rincian Tugas, Fungsi
Dan Tata Kerja Pelaksanaan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Berita
Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2009 Nomor
49.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PENGURANGAN RISIKO
BENCANA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Gubernur ini yang dimaksud dengan :
31. Daerah adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat.
32. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan Perangkat Daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
33. Gubernur adalah Gubernur Nusa Tenggara Barat.
34. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota se Nusa Tenggara Barat.
35. Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota se Nusa Tenggara
Barat.
36. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi yang
selanjutnya disebut BPBD Provinsi Nusa Tenggara Barat.
5
37. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten/Kota yang
selanjutnya disebut BPBD Kabupaten/Kota.
38. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.
39. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara
lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
kekeringan, angin topan dan tanah longsor.
40. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain
berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah
penyakit.
41. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang di akibatkan oleh manusia yang
meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas
masyarakat dan teror.
42. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian
upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang
berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana,
tanggap darurat dan rehabilitasi.
43. Lembaga kemasyarakatan adalah lembaga yang mempunyai
akta notaris/akta pendirian/anggaran dasar disertai anggaran
rumah tangga, yang memuat antara lain; asas, sifat, dan tujuan
lembaga, lingkup kegiatan, susunan organisasi, sumber-sumber
keuangan serta mempunyai kepanitiaan, yang meliputi susunan
panitia, alamat kepanitiaan dan program kegiatan.
44. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera, pada saat kejadian bencana untuk
6
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan
pengungsi, penyelamatan serta pemulihan prasarana dan
sarana.
45. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulan akibat
bencana pada suatu wilayah pada kurun waktu tertentu yang
dapat berupa kematian, luka, skit, jiwa terancam, hilangnya rasa
aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta dan
gangguan kegiatan masyarakat.
46. Pengurangan Risiko Bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengurangi risiko bencana.
47. Bantuan darurat bencana adalah upaya memberikan bantuan
untuk memenuhi kebutuhan dasar pada saat keadaan darurat.
48. Status keadaan darurat adalah suatu keadaan yang ditetapkan
oleh pemerintah untuk jangka waktu tertentu atas dasar
rekomendasi badan yang diberi tugas untuk menanggulangi
bencana.
49. Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa
atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu
yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk becana.
50. Sistem Komando Tanggap Darurat adalah suatu sistem dalam
penanganan bencana pada status keadaan darurat, yang dalam
sistem tersebut BPBD memiliki kemudahan akses berupa fungsi
komando untuk memerintahkan sektor/lembaga terkait dalam
satu komando guna pengerahan sumber daya manusia,
peralatan, logistik dan penyelamatan.
51. Komandan tanggap darurat adalah seorang pejabat yang
ditunjuk untuk melaksanakan fungsi komando tanggap darurat
bencana.
52. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang,
dan/atau badan hukum.
7
53. Korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang
menderita atau meninggal dunia akibat bencana.
54. Kelompok rentan adalah kelompok masyarakat yang
membutuhkan bantuan karena keadaan yang disandangnya
diantaranya masyarakat lanjut usia, penyandang cacat, anak-
anak, serta ibu hamil dan menyusui.
55. Tim Reaksi Cepat adalah suatu tim yang dibentuk oleh Kepala
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), yang terdiri
dari instansi/lembaga teknis/non teknis terkait yang bertugas
melaksanakan kegiatan kaji cepat bencana dan dampak bencana
pada saat tanggap darurat meliputi penilaian kebutuhan (need
asessment), penilaian kerusakan dan kerugian (damage and
losses asessment) serta memberikan dukungan pendampingan
dalam penanganan darurat bencana.
56. Badan usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk
Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi
atau Swasta yang didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang menjalankan jenis usaha tetap dan
terus menerus yang bekerja dan berkedudukan dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
57. Lembaga Internasional adalah organisasi yang berada dalam
lingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau
yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa
atau organisasi internasional lainnya.
58. Lembaga asing non pemerintah adalah suatu lembaga
internasional yang terorganisasi secara fungsional bebas dari dan
tidak mewakili pemerintahan suatu negara atau organisasi
internasional yang di bentuk secara terpisah dari suatu Negara
dimana organisasi itu didirikan.
59. Pengenalan Risiko Bencana adalah kegiatan yang dilakukan
untuk memberikan pemahaman dan kesadaran terhadap risiko
yang ditimbulkan apabila terjadi bencana.
8
60. Pemantauan Risiko Bencana adalah kegiatan yang dilakukan
untuk mengawasi segala kegiatan yang dapat menimbulkan
bencana.
Pasal 2
Ruang lingkup pengaturan dalam Peratuan Gubernur ini meliputi :
e. pengenalan dan pemantauan risiko bencana;
f. perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;
g. pengembangan budaya sadar bencana;
h. peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan
bencana.
BAB II
PENGENALAN DAN PEMANTAUAN RISIKO BENCANA
Bagian Kesatu
Pengenalan Risiko Bencana
Pasal 3
(1) Kegiatan pengenalan dan pemantauan risiko bencana
dimaksudkan untuk mendapatkan data ancaman, kerentanan,
dan kemampuan masyarakat untuk menghadapi bencana.
(2) Kegiatan pengenalan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) kemudian digunakan untuk melaksanakan analisis risiko
bencana.
Pasal 4
(1) Untuk mendapakan data ancaman, kerentanan, dan kemampuan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada pasal 3 ayat (1)
dilakukan melalui kegiatan:
a. survey/penelitian; dan
b. seminar dan lokakarya.
(2) Dalam hal melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) melibatkan unsur; pemerintah daerah, perguruan tinggi,
lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha.
9
Bagian kedua
Pemantauan Risiko Bencana
Pasal 5
Pemantauan risiko bencana meliputi :
d. penyusunan peta;
e. pengembangan sistim indikator risiko bencana dan kerentanan
skala lokal; dan
f. peringatan dini risiko bencana.
Pasal 6
Penyusunan peta sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf a
meliputi:
i. penyempurnaan dan pemutahiran peta risiko bencana;
j. penyusunan indeks risiko bencana Kabupaten/Kota;
k. purvey potensi Cekungan Air Tanah (CAT);
l. indentifikasi daerah rawan bencana longsor;
m. rapid risk assesment bencana dibeberapa wilayah yang menjadi
daerah rawan bencana (berdasarkan lokasi,jenis bencana, dan
risiko yang diakibatkan);
n. identifikasi program pembangunan sekitar kawasan hutan yang
rawan bencana;
o. pemetaan proyeksi pola dan proyeksi perubahan iklim bencana;
dan
p. pemetaan dan proyeksi deforestasi/reforestasi dan land use
change.
Pasal 7
Pengembangan system indicator risiko dan kerentanan skala local
bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b meliputi:
f. Penyusunan sistim indikator risiko bencana dan kerentanannya
untuk menjadi standar didaerah provinsi dan Kabupaten/Kota.
g. Pengembangan sistim peringatan dini.
h. Pendataan informasi statistik mengenai kejadian bencana,
dampak, dan kerugian.
10
i. Penyediaan alat komunikasi tanggap darurat.
j. Mengembangkan model-model desain dan konstruksi rumah dan
bangunan lainnya yang tahan bencana sesuai dengan kondisi
wilayah.
Pasal 8
Peringatan dini risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf c meliputi:
i. pengembangan sistem informasi elektronik berbasis website;
j. monitoring dan evaluasi secara berkala sebagai bagian dari
proses penyempurnaan system peningkatan dini;
k. review secara periodik dan memelihara sistem informasi sebagai
bagia dari sistem pringatan dini;
l. mengidentifikasi daerah-daerah prioritas yang perlu dibangun
jaringan inforamasi dini dimasing-masing kabupaten/kota;
m. penambahan jaringan pengamatan pendeteksi gempa/
seismometer di kabupaten/kota;
n. pembangunan pusat informasi penanganan bencana disetiap
kabupaten/kota;
o. penyempurnaan peta iklim secara berkala;
p. penyusunan studi risiko bencana dan sistem peringatan dini; dan
i. pendataan dan pengamatan visual dan aktifitas gunung api.
BAB III
PERENCANAAN PARTISIPATIF PENANGGULANGAN BENCANA
Pasal 9
(1) Perencanaan partisipatif penanggulangan bencana dilakukan melalui
kegiatan:
a. penyusunan rencana penanggulangan bencana;
b. konsultasi publik dan uji publik.
(2) Perencanaan partisipatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
11
dilaksanakan dengan mempertimbangkan kearifan local masing-
masing daerah.
BAB IV
PENGEMBANGAN BUDAYA SADAR BENCANA
Pasal 10
(1) Pengembangan budaya sadar bencana dilaksanakan di bawah
kordinasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
(2) Pengembangan budaya sadar bencana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk:
d. sosialisasi;
e. pelatihan, simulasi/gladi; dan
f. penelitian, lokakarya dan seminar;
Pasal 11
(1) Sosialisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a
dilakukan kepada; unsur aparat pemerintah daerah, dunia usaha,
dan masyarakat.
(2) Pelatihan, simulasi/gladi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(2) huruf b dilakukan dengan melibatkan kalangan Aparat
Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Tentara Nasional Indonesia,
Kepolisian Republik Indonesia, Pelajar, Karang Taruna, Pramuka,
dan Masyarakat.
(3) Penelitian, lokakarya, dan seminar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (2) huruf c dilakukan untuk mengkaji potensi rawan
bencana.
(5) BPBD dalam melaksanakan kegiatan pengembangan sadar bencana
dapat bekerja sama dengan mitra BPBD.
BAB V
PENINGKATAN KOMITMEN TERHADAP PELAKU
PENANGGULANGAN BENCANA
12
Pasal 12
(1) Untuk melaksanakan kegiatan kegiatan pengurangan risiko bencana
dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui BPBD Provinsi dan BPBD
Kab/Kota.
(2) Kegiatan pengurangan risiko bencana dapat dilakukan oleh : dunia
usaha, lembaga swadaya masyarakat, dunia pendidikan, dan
kelompok masyarakat yang peduli terhadap upaya pengurangan
risiko bencana.
Pasal 13
(1) Untuk pengurangan risiko bencana, Pemerintah Daerah melakukan
kegiatan melalui eningkatan kapasitas pelaku.
(2) Peningkatan kapasitas pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan melalui kegiatan:
a. sosialisasi peraturan tentang kebencanaan;
b. pelatihan-pelatihan pengurangan risiko bencana;
c. simulasi/gladi pengurangan risiko bencana;
d. penyiapan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk
pengurangan risiko bencana;
e. penyusunan rencana kontinjensi (renkon);
f. rencana aksi pengurangan risiko bencana; dan
g. penguatan kelembagaan.
(3) Pelaksanaan kegiatan pengingkatan kapasitas pelaku sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat bekerjasama dengan pihak lain.
BAB VI
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN
Pasa 14
(1) Pemerintah Daerah melalui BPBD melakukan pengawasan
pelaksanaan pengurangan risiko bencana.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
bentuk:
a. pengawasan terhadap kegiatan lembaga-lembaga/organisasi
nasional maupun internasional terkait dengan pengurangan risiko
13
bencana; dan
b. pengawasan terhadap kegiatan usaha baik yang dilakukan oleh
perorangan atau badan usaha yang dapat menimbulkan risiko
bencana.
(3) Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada Gubernur.
Pasal 15
(3) BPBD melakukan pembinaan yang berkaitan dengan pelaksanaan
kegiatan pengurangan risiko bencana.
(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
kegiatan :
a. bimbingan kepada lembaga/organisasi, dan masyarakat yang
melakukan kegiatan pengurangan risiko bencana; dan
b. pelatihan-pelatihan untuk pengurangan risiko bencana
14
BAB VII
PENUTUP
Pasal 16
Peraturan Gubernur ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Gubernur ini dengan penempatannya di Berita Daerah Nusa
Tenggara Barat.
Ditetapkan di Mataram
Pada tanggal 20 Maret 2014
GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT
ttd
H.M. ZAINUL MAJDI
Diundangkan Di Mataram
Pada Tanggal 21 Maret 2014
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI NTB
ttd
H. MUHAMMAD NUR
BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2014 NOMOR 8
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO HUKUM
H. RUSMAN NIP. 19620820 1985 1 010