pengantar opioid

15
Pendahuluan Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium. Opium yang berasa dari getah papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, dan papaverin. Analgesik opioid terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. Istilah analgesik narkotik dahulu seringkali digunakan untuk kelompok obat ini, akan tetapi karena golongan obat ini dapat menimbulkan analgesia tanpa menyebabkan tidur atau menurunnya kesadaran maka istilah analgesik narkotik menjadi kurang tepat. Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, derivat semisintetik alkaloid opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai morfin. Obat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid. Peptida opioid endogen. Alkaloid opioid menimbulkan analgesia melalui kerjanya di daerah otak yang mengandung peptida yang memiliki sifat farmakologik menyerupai opioid. Istilah umum yang dewasa ini digunakan untuk senyawa endogen tersebut adalah peptida opioid endogen, menggantikan istilah endorfin yang digunakan sebelumnya. Telah diidentifikasi 3 jenis peptida opioid: enkefalin, endorfin, dan dinorfin. Peptida opioid yang didistribusi paling luas dan memiliki aktivitas analgesik, adalah pentapeptida metionin-enkefalin (met-enkefalin) dan leusin- enkefalin (leu-enkefalin). Salah satu atau kedua pentapeptida

Upload: edward-suryadi

Post on 28-Dec-2015

45 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

opiat

TRANSCRIPT

Page 1: Pengantar Opioid

Pendahuluan

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium. Opium

yang berasa dari getah papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya

morfin, kodein, tebain, dan papaverin. Analgesik opioid terutama digunakan untuk meredakan

atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik

yang lain. Istilah analgesik narkotik dahulu seringkali digunakan untuk kelompok obat ini, akan

tetapi karena golongan obat ini dapat menimbulkan analgesia tanpa menyebabkan tidur atau

menurunnya kesadaran maka istilah analgesik narkotik menjadi kurang tepat.

Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, derivat semisintetik alkaloid

opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai morfin. Obat yang

mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid.

Peptida opioid endogen. Alkaloid opioid menimbulkan analgesia melalui kerjanya di daerah otak

yang mengandung peptida yang memiliki sifat farmakologik menyerupai opioid. Istilah umum

yang dewasa ini digunakan untuk senyawa endogen tersebut adalah peptida opioid endogen,

menggantikan istilah endorfin yang digunakan sebelumnya. Telah diidentifikasi 3 jenis peptida

opioid: enkefalin, endorfin, dan dinorfin. Peptida opioid yang didistribusi paling luas dan

memiliki aktivitas analgesik, adalah pentapeptida metionin-enkefalin (met-enkefalin) dan leusin-

enkefalin (leu-enkefalin). Salah satu atau kedua pentapeptida tersebut terdapat di dalam ke 3

protein prekursor utama: preproenkefalin (proenkefalin A), prepro-opiomelanokortin, dan

preprodinorfin (proenkefalin B). Prekursor opioid endogen terdapat pada daerah di otak yang

berperan dalam modulasi nyeri, dan juga ditemukan di medulla adrenal dan pleksus saraf di usus.

Molekul prekursor opioid endogen dapat dilepaskan selama stress seperti adanya nyeri atau

antisipasi nyeri.

Penelitian akhir-akhir ini juga menunjukkan bahwa beberapa opioid fenantren (morfin,

kodein) dapat juga ditemukan sebagai senyawa endogen pada kadar yang sangat rendah

(pikomolar) pada jaringan mamalia, akan tetapi perannya belum diketahui secara pasti.

Reseptor Opioid. Ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu (), delta (), dan kappa ().

Ketiga jenis reseptor termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan dengan protein G, dan

memiliki subtipe: mu1, mu2, delta2, kappa1, kappa2, dan kappa3. Karena suatu opioid dapat

Page 2: Pengantar Opioid

berfungsi dengan potensi yang berbeda sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau antagonis pada

lebih dari satu jenis reseptor atau subtipe reseptor maka senyawa yang tergolong opioid dapat

memiliki efek farmakologik yang beragam.

ObatReseptor

(mu) (delta) (kappa)

Peptida opioid

Enkefalin Agonis Agonis

-endorfin Agonis Agonis

Dinorfin Agonis lemah

Agonis

Kodein Agonis lemah Agonis lemah

Morfin Agonis Agonis lemah Agonis lemah

Metadon Agonis

Meperidin Agonis

Fentanil Agonis

Agonis-antagonis

Buprenorfin Agonis parsial

PentazosinAntagonis / agonis parsial

Agonis

Nalbufin Antagonis Agonis

Antagonis

Nalokson Antagonis Antagonis Antagonis

Tabel 1. Kerja opioid pada reseptor opioid

Reseptor memperantarai efek analgetik mirip morfin, euphoria, depresi napas, dan

miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor diduga memperantarai analgesia seperti

Page 3: Pengantar Opioid

yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis dan depresi napas yang tidak sekuat agonis .

Selain itu di susunan saraf pusat juga didapatkan reseptor yang selektif terhadap enkefalin dan

reseptor (epsilon) yang sangat selektif terhadap beta-endorfin tetapi tidak mempunyai afinitas

terhadap enkefalin. Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa reseptor memegang

peranan dalam menimbulkan depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid. Dari penelitian pada

tikus didapatkan bahwa reseptor dihubungkan dengan berkurangnya frekuensi napas,

sedangkan reseptor dihubungkan dengan berkurangnya tidal volume. Reseptor ada 2 jenis

yaiut reseptor 1, yang hanya didapatkan di SSP dan dihubungkan dengan analgesia supraspinal,

penglepasan prolaktin, hipotermia, dan katalepsi sedangkan reseptor 2 dihubungkan dengan

penurunan tidal volume dan bradikardia. Analgesik yang berperan pada tingkat spinal

berinteraksi dengan reseptor dan .

Klasifikasi Obat Golongan Opioid.

Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid dapat dibagi menjadi: agonis

penuh (kuat), agonis parsial (agonis lemah-sedang), campuran agonis dan antagonis, dan

antagonis. Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis, sedangkan agonis parsial

dapat menimbulkan efek agonis, atau sebagian antagonis dengan menggeser agonis kuat dari

ikatannya pada reseptor opioid dan mengurangi efeknya. Opioid yang merupakan campuran

agonis dan antagonis adalah opioid yang memiliki efek agonis pada suatu subtipe reseptor opioid

dan sebagai suatu parsial agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya.

Berdasarkan rumus bangunnya obat golongan opioid dibagi menjadi derivat fenantren,

fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan, dan benzomorfan.

Page 4: Pengantar Opioid

Struktur Dasar Agonis Kuat Agonis lemah - sedang

Campuran agonis-

antagonis

Antagonis

Fenantren Morfin Kodein Nalbufin Nalorfin

Hidromorfon Oksikodon Buprenorfin Nalokson

Oksimorfon Hidrokodon Naltrekson

Fenilheptilamin Metadon Propoksifen

Fenilpepiridin Meperidin Difenoksilat

Fentanil

Morfinan Levorfanol Butorfanol

Benzomorfan Pentazosin

Tabel 2. Klasifikasi Obat Golongan Opioid

Farmakodinamik

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium. Opium

yang berasal dari Papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis alakaloid dianataranya

morfin, kodein, tabain, papaverin. Analgesik opioid terutama digunakan untuk meredakan atau

menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga memperhatikan berbagai efek farmakodinamik yang

lain. Istilah analgesik narkotik dahulu sering digunakan untuk kelompok obat ini, akan tetapi

karena golongan obat ini dapat menimbulkan analgesia tanpa menyebabkan tidur atau

menurunnya kesadaran maka istilah analgesik narkotik menjadi kurang tepat.

Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, derivat semisintetik alkaloid

opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai morfin. Obat yang

mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid.

Alkaloid opioid menimbulkan analgesia melalui kerjanya di daerah otak yang

mengandung peptida yang memiliki sifat farmakologik menyerupai opioid. Istilah umum yang

dewasa ini digunakan untuk senyawa endogen tersebut adalah peptida opioid endogen,

menggantikan istilah endorfin yang digunakan sebelumnya. Telah diidentifikasi 3 jenis peptida

opioid yaitu enkefalin, endorphin dan dinorfin. Peptida opioid yang didistribusi paling luas dan

Page 5: Pengantar Opioid

memiliki aktivitas analgesik, adalah pentapeptida metionin- enkefalin ( met- enkefalin ) atau

leusin- enkefalin ( leu- enkefalin ). Salah satu atau kedua pentapeptida tersebut terdapat di dalam

ke 3 protein prekursor utama yaitu prepro- opiomelanokortin, preproenkefalin ( proenkefalin A ),

dan preprodinorfin ( proenkefalin B ). Prekursor opioid endogen terdapat pada daerah di otak

yang berperan dalam modulasi nyeri, dan juga ditemukan di medulla adrenal dan pleksus saraf di

usus. Molekul prekursor opioid endogen dapat dilepaskan selama stres seperti adanya nyeri atau

usaha antisipasi nyeri.

Penelitian akhir- akhir ini juga menunjukkan bahwa beberapa opioid fenantren ( morfin,

kodein ) dapat juga ditemukan sebagai senyawa endogen pada kadar yang sangat rendah

( pikomolar ) pada jaringan mamalia, akan tetapi peranannya belum diketahui secara pasti.

Ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu ( µ ), delta ( δ ), kappa ( ќ ). Ketiga jenis

reseptor ini termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan dengan protein G, dan memiliki

subtipe : mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1, kappa2, dan kappa3. Reseptor opioid sebenarnya

tersebar luas di seluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah

yaitu di sistem limbik, thalamus, hipotalamus, korpus striatum, sistem aktivasi reticular dan di

korda spinalis yaitu substansia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul

opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan

reseptor morfin dan menghasilkan efek. Karena suatu opioid dapat berfungsi dengan potensi

yang berbeda sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau antagonis pada lebih dari satu jenis

reseptor atau subtipe reseptor maka senyawa yang tergolong opiod dapat memiliki efek

farmakologik yang beragam.

Reseptor µ memperantarai efek analgetik mirip morfin, euphoria, depresi nafas, miosis,

berkurangnya motilitas saluran cerna, Reseptor ќ diduga memperantarai analgesia seperti yang

ditimbulkan pentasozin, sedasi serta miosis dan depresi nafas tidak sekuat agonis µ. Selain itu

di susunan saraf pusat juga didapatkan reseptor δ yang selektif terhadap enkefalin dan reseptor

epsilon yang sangat selektif terhadap beta- endorfin tetapi tidak mempunyai afinitas terhadap

enkefalin. Terdapat bukti- bukti yang menunjukkan bahwa reseptor δ memegang peranan dalam

menimbulkan depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid. Dari penelitian pada tikus didapatkan

bahwa reseptor δ dihubungkan dengan berkurangnya frekuensi nafas, sedangkan reseptor µ

dihubungkan dengan berkurangnya tidal volume. Reseptor µ ada 2 jenis yaitu reseptor µ1 yang

hanya didapatkan di susunan saraf pusat dan dihubungkan dengan analgesia supraspinal,

Page 6: Pengantar Opioid

penglepasan prolaktin hipotermia dan katalepsia sedangkan reseptor µ2 dihubungkan dengan

penurunan tidal volume dan bradikardia. Analgesik yang berperan pada tingkat spinal

berinteraksi dengan reseptor δ dan reseptor ќ.

Pada sistem supraspinal, tempat kerja opioid ialah di reseptor substansia grisea, yaitu di

periaquaduktus dan periventrikular, sedangkan pada sistem spinal tempat kerjanya di substansia

gelatinosa korda spinalis. Morfin (agonis) terutama bekerja di reseptor µ dan sisanya di reseptor

κ, maka analgesik opioid menghilangkan nyeri dengan cara bekerja pada mekanisme terjadinya

nyeri pada tahap modulasi sehingga menyebabkan tidak terbentuknya persepsi nyeri.1)

Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opiod dibagi menjadi :

1. Agonis penuh ( kuat )

2. Agonis parsial ( agonis lemah sampai sedang )

3. Campuran agonis dan antagonis

4. Antagonis.

Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis, sedangkan agonis parsial dapat

menimbulkan efek agonis, atau sebagai antagonis dengan menggeser agonis kuat dari ikatannya

pada reseptor opioid dan mengurangi efeknya. Opioid yang merupakan campuran agonis dan

antagonis adalah opioid yang memiliki efek agonis pada satu subtipe reseptor opioid dan sebagai

suatu parsial agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya. Berdasarkan rumus

bangunnya obat golongan opiod dibagi menjadi derivat fenantren, fenilheptamin, fenilpiperidin,

morfinan, dan benzomorfan.

Farmakokinetik

Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi melalui kulit luka.

Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini absorpsi morfin kecil

sekali. Morfin dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh lebih

rendah daripada efek analgetik yang timbul yang timbul setelah pemberian parenteral dengan

dosis yang sama. Mula kerja semua alkaloid opioid setelah suntikan IV sama cepat, sedangkan

setelah suntikan subkutan, absorpsi berbagai alkaloid opioid berbeda- beda. Setelah pemberian

dosis tunggal, sebagian opioid mengalami konyugasi dengan asam glukoronat di hepar, sebagian

dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10 % tidak diketahui nasibnya. Morfin dapat melintasi

Page 7: Pengantar Opioid

sawar uri dan mempengaruhi janin. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil

morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonyugasi ditemukan dalam

empedu. Sebagian yang sangat kecil dikeluarkan bersama cairan lambung.

Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2. CO2 ini dikeluarkan oleh paru-

paru. Sebagian kodein mengalami N-demetilasi. Urin mengandung bentuk bebas dan bentuk

konyugasi dari kodein, narkodein, dan morfin.

Indikasi

Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri

hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non- opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar

dosis yang diperlukan. Untunglah pada nyeri hebat depresi napas oleh morfin jarang terjadi,

sebab nyeri merupakan antidotum fisiologis bagi efek depresi napas morfin.

Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai :

1. Infark miokard

2. Neoplasma

3. Kolik renal atau kolik empedu

4. Oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal, atau koroner

5. Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotoraks spontan

6. Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pascabedah.

Sebagai medikasi preanestetik, morfin sebaiknya hanya diberikan pada pasien yang

sedang menderita nyeri. Bila tidak ada nyeri dan obat preanestetik hanya dimaksudkan untuk

menimbulkan ketenangan atau tidur, lebih baik digunakan pentobarbital atau diazepam.

Penghambatan refleks batuk dapat dipertanggungjawabkan pada batuk yang tidak

produktif dan tidak iritatif. Batuk demikian mengganggu tidur dan menyebabkan pasien tidak

dapat beristirahat dan mungki sekali disertai nyeri. Akan tetapi dewasa ini penggunaan analgesik

opioid untuk mengatasi batuk telah banyak ditinggalkan karena telah banyak obat- obat sintetik ,

Morfin yang diberikan secara intravena dapat dengan jelas mengurangi atau

menghilangkan seasak napas akibat edema pulmonal yang menyertai gagal jantung kiri.

Mekanismenya tidak jelas, mungkin dapat mengurangi persepsi pendeknya pernapasan dan

menguarangi kecemasan pasien, serta mengurangi beban hulu dan beban hilir jantung.

Page 8: Pengantar Opioid

Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare berdasarkan efek langsung terhadap

otot polos usus. Pada pengobatan diare yang disebabkan oleh intoksikasi makanan atau

intoksikasi akut obat, pemberian morfin harus didahului pemberain garam katartik untuk

mengeluarkan penyebab. Dosis alkaloid morfin yang menyebabkan sembelit dan menghambat

refleks batuk kira- kira sama. Akan tetapi dewasa ini telah tersedia senyawa – senyawa sintetik

yang bekerja lebih selektif pada saluran cerna misalnya difenoksilat dan loperamid.

Efek samping toleransi adiksi dan abuse

Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama pada wanita berdasarkan

idiosinkrasi. Bentuk idiosinkrasi lain ialah timbulnya eksitasi dengan tremor, dan jarang- jarang

delirium; lebih jarang lagi konvulsi dan insomnia. Berdasarkan reaksi alergik yang dapat timbul

gejala seperti urtikaria, eksantem, dermatitis kontak, pruritus dan bersin.

Bayi dan anak kecil tidak lebih peka terhadap alkaloid opium, asal saja dosis

diperhitungkan berdasarkan berat badan. Tetapi orang usia lanjut dan pasien penyakit berat

agaknya lebih peka terhadap efek morfin. Morfin dan opioid lain juga harus digunakan dengan

hati- hati bila daya cadangan napas ( respiratory reserve ) telah berkurang, misalnya pada

emfisem, kifoskoliosis, korpulmonale kronik dan obesitas yang ekstrim. Meskipun pasien

dengan keadaan seperti ini tampaknya dapat bernapas normal, sebenarnya mereka telah

menggunakan mekanisme kompensasi, misalnya berupa frekuensi napas yang lebih tinggi. Pada

pasien tersebut kadar CO2 plasma tinggi secara kronik dan kepekaan pusat pernapasan terhadap

CO2 telah berkurang. Pemberian lebih lanjut dalam bentuk depresi oleh morfin dapat

membahayakan.

Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasanya terjadi akibat percobaan bunuh diri atau

pada takar lajak. Pasien akan tidur, sopor atau koma jika intoksikasi berat. Frekuensi napas

lambat, 2-4 kali/ menit, dan pernapasan mungkin berupa Cheyne Stokes. Pasien sianotik, kulit

merah tidak merata dan agak kebiruan. Tekanan darah yang mula- mula baik akan menurun

samapi terjadi syok bila napas memburuk, dan ini dapat diperbaiki dengan memberikan oksigen.

Pupil sangat kecil ( pin point pupil ), kemudian midraisis jika telah terjadi anoksia. Pembentukan

urin sangat berkurang karena terjadi penglepasan ADH dan turunnya tekanan darah. Suhu badan

rendah, kulit terasa dingin, tonus otot rangka rendah, mandibula dalam keadaan relaksasi dan

Page 9: Pengantar Opioid

lidah dapat menyumbat jalan napas. Pada bayi mungkin dapat timbul konvulsi. Kematian

biasanya disebabkan oleh depresi napas.

Terjadinya toleransi dan ketergantungan fisik setelah penggunaan berulang – ulang

merupakan gambaran spesifik obat- obat opioid. Kemungkinan untuk terjadinya ketergantungan

fisik tersebut merupakan salah satu alasan utama untuk membatasi penggunaannya.

Pada dasarnya adiksi morfin menyangkut fenomena berikut :

1. Habituasi, yaitu perubahan psikik emosional sehingga pasien ketagihan akan morfin;

2. Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan morfin karena faal dan biokimia tubuh tidak

berfungsi lagi tanpa morfin;

3. Adanya toleransi

Toleransi ini timbul terhadap efek eksitasi, miosis dan efek pada usus. Toleransi silang

dapat timbul antara morfin, dihidromorfinon, metopon, kodein dan heroin. Toleransi timbul

setelah 2- 3 minggu. Kemungkinan timbulnya toleransi lebih besar bila digunakan dosis besar

secara teratur.

Jika pecandu menghentikan penggunaan morfin secara tiba- tiba timbullah gejala putus

obat atau gejala abstinensi. Menjelang saat dibutuhkan morfin, pecandu tersebut akan merasa

sakit, gelisah dan iritabel; kemudian tertidur nyenyak. Sewaktu bangun ia akan mengeluh

seperti akan mati dan lebih gelisah lagi. Pada fase ini timbul gejala tremor, iritabilitas,

lakrimasi, berkeringat, menguap, bersin, mual, midriasis, demam dan napas cepat. Gejala ini

makin hebat disertai timbulnya muntah, kolik dan diare. Frekuensi denyut jantung dan tekanan

darah meningkat. Pasien merasa panas dingin disertai dengan hiperhidrosis. Akibatnya timbul

dehidrasi, ketosis, asidosis dan berat badan pasien menurun. Kadang- kadang timbul kolaps

kardiovaskular yang bisa berakhir dengan kematian.

Addiction liability atau daya untuk menimbulkan adiksi berbeda- beda untuk masing -

masing obat. Bahaya terbesar didapat pada heroin sebab heroin menimbulkan euforia yang kuat

yang tidak disertai mual dan konstipasi. Kodein paling jarang menimbulkan adiksi karena

kodein sedikit sekali menimbulkan euforia. Untuk menimbulkan adiksi terhadap kodein

diperlukan dosis besar. Dengan dosis besar ini gejala tidak menyenangkan sudah timbul

sebelum timbul adiksi.