penatalaksanaan krisis hiperglikemik
TRANSCRIPT
PENATALAKSANAAN KRISIS HIPERGLIKEMIK PADA DIABETES MELITUS
Alwi Shahab Subbagian Endokrinologi Metabolisme
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unsri /RSMH Palembang
Pendahuluan :
Krisis Hiperglikemik yang meliputi Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Keadaan Hiperosmolar
Hiperglikemik (KHH) merupakan komplikasi akut yang serius pada penderita diabetes melitus. Kedaruratan ini
masih merupakan penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas penderita diabetes melitus, walaupun telah
dicapai kemajuan dalam pemahaman tentang patogenesis , diagnosis dan penatalaksanaannya. Angka kejadian
Ketoasidosis Diabetik diperkirakan berkisar antara 4,6 sampai 8 episode per 1000 pasien diabetes pertahun.
Angka kejadian Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik masih sulit diperkirakan karena belum ada studi populasi
tentang keadaan ini, namun diperkirakan kurang dari 1% dari semua penderita diabetes yang dirawat di Rumah
Sakit. Pengobatan penderita Ketoasidosis Diabetik dan Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik akan
meningkatkan biaya perawatan penderita. Angka kematian penderita KAD kurang dari 5% pada pusat2
perawatan yang berpengalaman, sedangkan angka kematian penderita KHH masih tinggi yaitu sekitar 15%.
Prognosis keduanya semakin buruk dengan semakin bertambahnya usia dan dengan adanya penurunan kesadaran
dan hipotensi.
Definisi
Ketoasidosis Diabetik merupakan kedaruratan pada penderita diabetes melitus yang ditandai dengan
adanya hiperglikemi, ketonemia dan asidemia. Istilah Koma Hiperosmolar Non Ketotik diganti dengan istilah
Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik karena beberapa alasan, antara lain :
1. Penurunan kesadaran kadang-kadang tidak sampai menjadikoma
2. Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik dapat pula disertai dengan ketosis ringan yang dapat dideteksi
dengan metode nitroprusside.
Beratnya keadaan hiperglikemi pada Ketoasidosis Diabetik bervariasi dan tidak menentukan beratnya
ketoasidosis. Perubahan status mental / kesadaran lebih banyak ditentukan oleh osmolalitas serum.
Patogenesis :
Kelainan yang mendasari kedua keadaan ini adalah adanya penurunan kerja insulin yang disertai dengan
peningkatan sekresi counterregulatory hormones seperti glukagon, katekolamin, kortisol dan Growth Hormone.
Perubahan keseimbangan hormonal ini akan menyebabkan peningkatan produksi glukosa hepar dan penurunan
ambilan glukosa oleh jaringan perifer, yang akan memperberat hiperglikemi serta perubahan2 osmolalitas cairan
ekstraseluler. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan counter-regulatory hormones pada KAD juga akan
merangsang pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak kedalam sirkulasi darah serta peningkatan oksidasi
asam lemak hati menjadi ketone bodies (benda2 keton) yaitu hydroxybutyrate dan asam asetoasetat yang akan
menyebabkan ketonemia dan asidosis metabolik.
Sebaliknya pada KHH, kadar insulin tidak mencukupi untuk memfasilitasi pemakaian glukosa oleh
jaringan2 perifer namun masih cukup untuk mencegah lipolisis dan terjadinya ketogenesis (pembentukan benda2
keton) sehingga jarang terjadi asidosis metabolik. Baik KAD maupun KHH disertai dengan glikosuria yang akan
menyebabkan diuresis osmotik yang berakibat kehilangan cairan dan elektrolit.
Faktor pencetus :
Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling utama pada KAD dan KHH. Disamping itu pemberian
insulin dengan dosis yang tidak adekuat, juga merupakan faktor pencetus untuk terjadinya KAD pada penderita
DM tipe 1. Faktor pencetus lain adalah CVD,penyalahgunaan alkohol, trauma, emboli paru dan infark miokard.
Berbagai jenis obat dapat pula mengganggu metabolisme karbohidrat, antara lain : kortikosteroid, pentamidine,
obat-obat simpatomimetik, penghambat dan adrenergik serta diuretik , sehingga dapat pula mencetuskan
KAD dan KHH terutama pada penderita usia lanjut.Disamping itu pada penderita DM tipe 1 onset baru biasanya
terdiagnosis pertama kali karena KAD. KHH juga dapat terjadi pada penderita DM tipe 2 usia lanjut yang tidak
menyadari kondisi hiperglikeminya dan kurang mendapat asupan cairan yang cukup pada saat diperlukan. Pada
penderita DM tipe 1 yang disertai problem psikologik sehingga terjadi gangguan selera makan dapat pula
menjadi faktor pemicu KAD yang berulang.
Diagnosis :
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik :
Proses terjadinya KHH biasanya mulai terjadi dalam beberapa hari sementara timbulnya episode KAD
terjadi secara mendadak. Walaupun gejala2 dari DM yang tidak terkontrol baik dapat terjadi dalam beberapa
hari, perubahan metabolik yang khas dari KADbiasanya terjadi dalam waktu yang singkat (kurang dari 24 jam).
Baik pada KAD maupun KHH , dapat ditemui gambaran klinis yang klasik meliputi :
- poliuri, polidipsi dan polifagi
- penurunan BB dalam waktu singkat
- mual muntah
- nyeri perut
- dehidrasi
- badan lemas
- penglihatan kabur
- gangguan kesadaran mulai dari apatis sampai koma.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan :
- Turgor yang kurang, bibir dan kulit kering
- Pernafasan Kussmaull ( pada KAD )
- Takhikardi
- Hipotensi
- Syok hipovolemik
- Gangguan kesadaran dari apatis sampai koma
Lebih dari 25% penderita KAD mengalami muntah yang dapat berwarna hitam kecoklatan yang pada endoskopi
terlihat adanya gastiris erosive karena stress ulcer.
Perubahan status mental dapat bervariasi mulai dari sadar penuh pada kasus ringan sampai letargi atau koma
pada kasus yang berat.Walaupun infeksi merupakan faktor pemicu utama terjadinya KAD atau KHH, pada
pengukuran suhu tubuh dapat menunjukkan suhu tubuh yang normal (normotermik) atau bahkan hipotermik,
terutama karena adanya vasodilatasi perifer. Hipotensi merupakan petanda prognosis yang jelek pada kedua
komplikasi ini.
Pemeriksaan laboratorium :
Pemeriksaan laboratorium pertama yang harus dilakukan pada pasien2 yang dicurigai KAD atau KHH meliputi :
- Pemeriksaan kadar glukosa darah plasma, ureum, kreatinin dan keton serum, elektrolit, osmolalitas,
urinalisis, keton urin, analisa gas darah, darah rutin lengkap dan Elektrokardiografi
- Biakan urin, darah dan usap tenggorok dilakukan untuk pertimbangan pemberian antibiotika yang sesuai
dengan mikroorganisme penyebab infeksi.
- Pemeriksaan HbA1c (A1c) bermanfaat untuk menentukan apakah episode akut dari krisis hiperglikemi ini
terjadi akibat kulminasi dari proses perjalanan penyakit DM yang tidak terdiagnosis sebelumnya atau
tidak terkontrol baik atau murni merupakan episode akut dari DM yang selama ini terkontrol baik.
Kebanyakan pada pasien dengan krisis hiperglikemik ditemukan adanya lekositosis. Kadar natrium serum
biasanya mengalami penurunan karena perubahan aliran air dan elektrolit dari ruang intravaskuler menuju
ekstraseluler akibat adanya hiperglikemi. Kadar kalium serum dapat mengalami peningkatan karena perpindahan
kalium ekstraseluler akibat defisiensi insulin, hipertonisitas dan asidemia. Penderita yang pada saat pertama kali
datang dengan kadar kalium yang normal rendah atau rendah, sebenarnya sudah menunjukkan defisiensi kalium
yang berat sehingga memerlukan pengawasan yang ketat terhadap kemungkinan gangguan fungsi jantung
sehingga perlu diberikan suplemen kalium yang cukup untuk mencegah terjadinya aritmia jantung. Terjadinya
stupor atau koma pada penderita DM tanpa adanya kelainan osmolalitas perlu segera dipertimbangkan adanya
penyebab lain dari perubahan status mental ini. Osmolalitas efektif dapat dihitung dengan rumus :
2 [Na+(mEq/l)] + glucose(mg/dl)/18
Tabel 1 : Kriteria diagnosis Ketoasidosis dan Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik
Ketoasidosis Diabetik Keadaan Hiperosmolar
Hiperglikemik
Glukosa Plasma (mg/dl) > 250 > 250 > 250 > 600
pH arteri 7,25-7,30 7,00-<7,24 <> > 7,30
Bikarbonat Serum
(mEq/l)
15-18 10-<15 <> > 15
Keton urin Positif Positif Positif Sedikit/negatif
Keton Serum Positif Positif Positif Sedikit/negatif
Osmolalitas serum efektif
(mOsm/kg)
Bervariasi Bervariasi Bervariasi > 320
Anion gap > 10 > 12 >12 <12
Sensorium Sadar Apatis Stupor/Coma Stupor/Coma
Diagnosis banding :
Tidak semua pasien dengan ketoasidosis disebabkan karena DM. Ketosis akibat kelaparan dan alcoholic
ketoacidosis dapat dibedakan dengan KAD dari anamnesis riwayat menderita DM dan pemeriksaan kadar
glukosa plasma yang tidak terlalu tinggi (jarang melebihi 250 mg/dl) bahkan sampai hipoglikemi. Pada ketosis
akibat starvasi (kelaparan yang berat), kadar bikarbonat serum biasanya tidak lebih rendah dari 18 mEq/l.
Penatalaksanaan :
Prinsip pengobatan KAD dan KHH meliputi :
- Koreksi terhadap :
o Dehidrasi
o Hiperglikemi
o Gangguan keseimbangan elektrolit
- Pengenalan dan pengobatan terhadap faktor pencetus
- Follow up yang ketat
Terapi cairan :
Pasien dewasa :
Terapi cairan initial/ awal dimaksudkan untuk memperbaiki volume cairan intra dan ekstravaskuler serta
memperbaiki perfusi ginjal. Bila tidak ada kelainan / gangguan fungsi jantung, diberikan cairan isotonis NaCl 0,9
% dengan kecepatan 15 sampai 20 ml/kgBB/jam. Pada 1 jam pertama tetesan cairan dipercepat (1-1,5 liter). Pada
jam berikutnya, terapi cairan tergantung derajat dehidrasi, kadar elektrolit serum dan diuresis (jumlah urin).
Secara umum, infus 0,45% NaCl dengan dosis 4-14 ml/kgBB/jam dapat diberikan bila kadar Na serum normal
atau meningkat. Bila kadar Na rendah, diberikan 0,9% NaCl dengan kecepatan yang sama. Setelah fungsi ginjal
membaik, terlihat dengan adanya diuresis, segera diberikan infus Kalium sebanyak 20-30 mEq/l sampai kondisi
pasien stabil dan dapat menerima suplemen Kalium oral.
Pasien pediatrik (<>
Terapi initial/awal ditujukan untuk memperbaiki volume cairan intra dan ekstravaskuler serta perfusi ginjal.
Kebutuhan cairan harus diperhitungkan untuk mencegah timbulnya edema serebri akibat pemberian cairan yang
terlalu cepat dan berlebihan. Cairan yang diberikan pada 1 jam pertama berupa cairan isotonik (0,9% NaCl)
dengan kecepatan 10-20 ml/kgBB/jam. Pada pasien yang mengalami dehidrasi berat, pemberian cairan perlu
diulang, namun tidak boleh melebihi 50 ml/kgBB dalam 4 jam. Terapi cairan lanjutan diperhitungkan untuk
mengganti kekurangan cairan selama 48 jam. Umumnya pemberian cairan 1,5 kali selama 24 jam berupa cairan
0,45% - 9% NaCl dapat menurunkan osmolalitas tidak melebihi 3 mOsm/kgBB/jam. Setelah fungsi ginjal
membaik dengan adanya diuresis, diberikan infus kalium 20-40 mEq/l (2/3 KCl atau K asetat dan 1/3 K fosfat).
Setelah kadar glukosa serum mencapai 250 mg/dl, cairan sebaiknya diganti dengan 5% glukosa dan 0,45% -
0,75% NaCl. Status mental sebaiknya dimonitor secara ketat untuk mencegah agar tidak terjadi kelebihan cairan
iatrogenik yang dapat menyebabkan edema serebri.
Terapi Insulin :
Regular Insulin (RI) melalui infus intravena berkesinambungan merupakan terapi pilihan. Pada pasien dewasa,
bila tidak ada hipokalemi (K+ <>
Pada pasien pediatric, diberikan infus RI berkesinambungan dgn dosis 0,1 UI/kg/jam.
Dosis rendah ini biasanya dapat menurunkan kadar glukosa plasma sebesar 50-75 mg/dl per jam, sama seperti
pada pemberian regimen insulin dgn dosis yang lebih tinggi. Bila kadar glukosa plasma tidak turun sebesar 50
mg/dl dari kadar awal, periksa keadaan hidrasi pasien. Infus insulin dapat ditingkatkan 2 kali lipat setiap jam
sampai kadar glukosa plasma turun antara 50 sampai 75 mg/dl per jam. Bila kadar glukosa plasma mencapai 250
mg/dl pada KAD atau 300 mg/dl pada KHH, dosis insulin diturunkan menjadi 0,05-0,1 UI/kgBB/jam (3-6
UI/jam) dan pemberian Dextrose (5-10%). Selanjutnya kecepatan insulin atau konsentrasi Dextrose disesuaikan
untuk mempertahankan kadar glukosa plasma normal sampai asidosis pada KAD atau gangguan mental dan
keadaan hiperosmolar pada KHH dapat diatasi. Ketonemia memerlukan perawatan yang lebih lama daripada
hiperglikemi.
Pengukuran langsung terhadap hydroxy butirate dalam darah merupakan cara yang lebih baik untuk memantau
KAD. Metoda nitroprusside hanya dapat mengukur asam asetoasetat dan aseton. Beta-OHB, yang merupakan
asam kuat dan paling sering ditemukan pada KAD, tidak dapat diukur dengan metoda nitroprusside. Selama
pengobatan, -OHB dirubah menjadi asam asetoasetat yang dapat memberi kesan keliru bahwa ketosis
memburuk. Selama pengobatan KAD atau KHH, darah sebaiknya diperiksa setiap 2 – 4 jam untuk menentukan
kadar elektrolit serum, glukosa, ureum, kreatinin, osmolalitas dan pH darah vena.
Umumnya, tidak perlu dilakukan pemeriksaan ulang analisa gas darah arteri. Keasaman (pH) darah vena
(biasanya 0,03 U lebih rendah dari pH arteri) dan anion gap dapat pula digunakan untuk memantau adanya
asidosis pada KAD.
Pada KAD ringan, RI dapat diberikan baik secara subkutan maupun intramuskuler setiap jam sama efektifnya
dengan pemberian intravena pada KAD yang berat.
Pasien dgn KAD ringan sebaiknya diberikan dosis initial / awal RI sebesar 0,4 – 0,6 UI per kgBB, dimana
separuh dosis diberikan secara bolus intravena dan separuhnya secara s.c. atau i.m. Selanjutnya pada jam2
berikutnya dapat diberikan 0,1/kgBB/jam RI secara subkutan atau intramuskuler.
Kriteria terjadinya perbaikan pada KAD meliputi :
- Penurunan kadar glukosa plasma <>
- Bicarbonat serum 18 mEq/l
- pH darah vena > 7,3
Setelah KAD dapat diatasi, pemberian RI subkutan dan terapi cairan sebaiknya diteruskan sesuai kebutuhan.
Pada pasien dewasa, dosis insulin dapat dinaikkan sebesar 5 UI untuk setiap kenaikan kadar glukosa darah diatas
150 mg/dl sampai 20 UI bila kadar glukosa darah 300 mg/dl. Bila pasien sudah bisa makan, mulai diberlakukan
jadwal dosis multiple menggunakan kombinasi insulin kerja cepat dan kerja sedang / kerja panjang sesuai
kebutuhan untuk mengontrol kadar glukosa plasma.
Kalium :
Terapi insulin, koreksi terhadap asidosis dan penambahan cairan dapat menurunkan kadar kalium serum.
Untuk mencegah hipokalemi, penambahan kalium hendaklah dimulai bila kadar kalium serum turun dibawah 5,5
mEq/l dengan syarat bila sudah terjadi diuresis. Umumnya pemberian Kalium sebanyak 20-30 mEq (2/3 KCl dan
1/3 KPO4) dalam setiap liter cairan infus sudah cukup untuk mempertahankan kadar Kalium serum dalam batas
normal (4 – 5 mEq/l). Bila terjadi hipokalemi berat (< style=""> hendaklah dimulai bersamaan dengan terapi
cairan dan terapi insulin ditunda dulu sampai kadar kalium mencapai > 3,3 mEq/l, untuk mencegah
terjadinya aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot pernafasan.
Bikarbonat :
Pemberian bikarbonat pada KAD masih kontroversi. Pada pH >7.0, pemberian insulin dapat mencegah
lipolisis dan menanggulangi ketoasidosis tanpa perlu tambahan pemberian bikarbonat. Suatu studi prospektif
tidak menunjukkan perbaikan atau perubahan morbiditas atau mortalitas penderita KAD dengan pH darah antara
6.9 – 7.1, yang diberi terapi bikarbonat. Dan tidak ada studi yang menunjukkan manfaat pemberian bikarbonat
pada penderita KAD dengan pH darah < style=""> Namun pada penderita dengan asidosis yang beratdimana
pH darah < style=""> menimbulkan gangguan vaskuler, maka dianjurkan pemberian 100 mmol natrium
bikarbonat yang dicampur dalam 400 ml aquadest dan diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Pada
penderita dengan pH darah antara 6,9 – 7,0 diberikan 50 mmol natrium bikarbonat yang diencerkan dalam
200 ml aquadest, diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Pada pH darah > 7.0, tidak diperlukan pemberian
bikarbonat. Perlu diingat bahwa terapi insulin dan bikarbonat dapat menurunkan kadar kalium serum. Oleh
karena itu, suplementasi kalium dalam cairan infushendaklah dipertahankan dan dimonitor secara ketat.
Selanjutnya, pH darah vena hendaklah diperiksa setiap setiap 2 jam sampai pH mencapai 7.0. Bila perlu
pemberian bikarbonat dapat diulang. Pada penderita pediatrik, bila pH darah masih < style=""> 155 mEq/l.
Fosfat :
Kadar fosfat serum dapat menurun pada saat terapi insulin. Namun beberapa studi prospektif tidak
menunjukkan adanya manfaatpemberian fosfat pada penderita KAD. Namun untuk mencegah terjadinya
kelemahan otot jantung dan otot rangka serta depresi pernafasan akibat hipofosfatemia, perlu diberikan suplemen
fosfat terutama pada penderita yang disertai dengan gangguan fungsi jantung, anemia atau depresi pernafasan
dan pada penderita dengan kadar fosfat serum < style="">
Dibawah ini dicantumkan contoh algoritma penatalaksanaan KAD dan KHH pada orang dewasa menurut
rekomendasi American Diabetes Association.
Komplikasi :
Komplikasi yang paling sering dari KAD dan KHH adalah :
- Hipoglikemi karena dosis insulin yang berlebihan
- Hipokalemi akibat pemberian insulin dan pengobatan asidosis dengan bikarbonat
- Hiperglikemi akibat penghentian terapi insulin intravena setelah penyembuhan tanpa dilanjutkan dengan
insulin subkutan
Pasien yang sudah mengalami pemulihan dari KAD dapat mengalami hiperkhloremi karena penggunaan cairan
dan penggantian elektrolit yang berlebihan. Kelainan biokimia ini bersifat ringan dan tidak bermakna secara
klinis kecuali pada kasus2 gagal ginjal akut atau oliguria berat. Edema serebri merupakan komplikasi KAD yang
bersifat fatal, yang secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran disertai lethargy dan sakit kepala. Defisit
neurologik dapat terjadi secara cepat, disertai kejang, inkontinensia urin, perubahan refleks pupil , bradikardia
dan gagal nafas. Progresivitas gejala defisit neurologik ini terjadi akibat adanya herniasi batang otak. Apabila
sudah terjadi perubahan2 perilaku, maka angka kematiannya akan semakin tinggi (dapat mencapai 70%), dan
hanya 7-14% kasus yang dapat mengalami penyembuhan tanpa gejala sisa permanen. Mekanisme terjadinya
edema serebri sampai sekarang belum diketahui dengan pasti, namun diduga disebabkan karena perubahan
tekanan osmotik akibat perpindahan cairan yang cepat kedalam sistem syaraf pusat karena penurunan osmolalitas
plasma yang terlalu cepat selama pengobatan KAD atau KHH.
Prinsip pengobatan edema serebri adalah dengan menurunkan tekanan intrakranial, yaitu dengan pemberian
Mannitol, diberikan dalam 5sampai 10 menit setelah ditemukan gejala awal defisit neurologik dengan dosis 1 - 2
g/kg selama 15 menit. Pemberian deksametazon dan diuretik masih kontroversi.
Pencegahan edema serebri meliputi :
- Pemberian cairan dan sodium bertahap pada pasien hiperosmolar
- Hindari pemberian bikarbonat kecuali sangat diperlukan
- Tambahkan infus dextrose bila GD sudah mencapai 250 mg/dL
Pencegahan krisis hiperglikemik :
Kebanyakan kasus KAD dan KHH dapat dicegah melalui akses yang lebih baik terhadap pusat
pelayanan kesehatan serta edukasi yang baik dan komunikasi yang efektif dengan perawat kesehatan.
Penghentian insulin karena alasan keuangan dan kesulitan mendapatkan insulin merupakan faktor pencetus
utama terjadinya KAD pada pasien-pasien DM tipe 1 yang tinggal didaerah terpencil. Oleh karena itu diperlukan
bantuan pemerintah untuk penyediaan insulin di Puskesmas2 yang merawat pasien-pasien DM khususnya DM
tipe 1. Hal yang paling penting adalah bahwa pasien hendaklah dinasihati jangan menghentikan insulin dan
segera memeriksakan diri kedokter apabila mengalami sakit. Keberhasilan penatalaksanaan hari sakit (sick day
management) tergantung dari keterlibatan anggota keluarga. Pasien dan keluarganya harus bisa
melakukan pengukuran kadar glukosa darah, memeriksa keton urin, penyuntikan insulin, mengukur suhu tubuh,
memeriksa denyut nadi dan frekuensi pernafasan, menimbang berat badan dan melakukan komunikasi dengan
dokter yang merawat.
Simpulan :
Krisis hiperglikemik yang meliputi Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Keadaan Hiperosmolar
Hiperglikemik (KHH) merupakan komplikasi akut yang serius pada penderita diabetes melitus. Berbagai
keadaan dapat mencetuskan terjadinya krisis hiperglikemik dimana infeksi merupakan faktor pencetus utama.
Prinsip penatalaksanaan krisis hiperglikemi meliputi koreksi terhadap dehidrasi, hiperglikemidan gangguan
keseimbangan elektrolit, serta pengenalan dan pengobatan terhadap faktor pencetus. Sebaiknya penderita dirawat
di ruang rawat intensif dengan follow up yang ketat terhadap kemungkinan terjadinya komplikasi akibat
penyakitnya maupun efek samping akibat penatalaksanaannya. Hal yang paling penting adalah pencegahan
terhadap kemungkinan terjadinya krisis hiperglikemik dengan edukasi terhadap pasien dan keluarga tentang
pengenalan dini tanda-tanda awal krisis hiperglikemik.
Daftar Pustaka :
1. Kitabchi AE, et.al. Management of Hyperglycemic Crises in Patients With Diabetes, Diab Care.
2001;24(1):131-153.
2. Jean-Louis Chiasson, et. al.Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic
hyperosmolar state.CMAJ.2003; 168 (7):859-866.
3. American Diabetes Association. Hyperglycemic Crises in Diabetes, Diab Care. 2004; 27(Suppl 1):94-102.
4. Kitabchi AE et.al. Thirty Years of Personal Experience in Hyperglycemic Crises: Diabetic Ketoacidosis and
HyperglycemicHyperosmolar State, J Clin Endocrinol Metab. 2008; 93: 1541–1552.
5. Fowler M. Hyperglycemic Crisis in Adults: Pathophysiology,Presentation, Pitfalls, and Prevention. Clin
Diab.2009; 27(1):19-23.