pbl 22. skizofrenia
DESCRIPTION
pbl skizofernTRANSCRIPT
PROBLEM BASED LEARNINGLAPORAN TUGAS MANDIRI
Nama : Ni Made Helen Virginia Jacob
No.Pokok : 102008200
Kelompok : D3
Tutor : dr. Melda
Blok : 22Neurology & Behaviour Science
Telah di periksa dan disetujui oleh :
Pada Tutorial 2
Tanggal. 28 Januari 2011
( dr. Melda )
Tutor
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
2011
Kata Pengantar
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas anugerah
dan karunia-Nya kami dapat dibimbing untuk menyelesaikan makalah Program Based Learning
ini dengan baik.
Adapun tugas makalah ini berhubungan dengan tugas Program Based Learning
Neurology & Behaviour Science yang telah dipercayakan oleh dr.Melda selaku tutor dalam
menyelesaikan makalah ini. Pada makalah ini, kami mengangkat pembahasan mengenai masalah
Gangguan Jiwa. Tujuan makalah adalah ingin mendeskripsikan kepada para pembaca mengenai
Bagaimana cara mendiagnosa penyakit Jiwa Tak lupa juga saya mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah saya ini.
Saya menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu saya memohon maaf apabila terdapat kata-kata yang salah dan kurang berkenan bagai para
pembaca. Penulis pun siap menerima segala kritik dan saran yang membangun supaya di
kemudian hari tidak akan terjadi kesalahan yang sama dan untuk memaksimalkan keterampilan
saya dalam pembuatan makalah selanjutnya.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca, khusunya mahasiswa-
mahasiswi Universitas Kristen Krida Wacana.
Jaka
rta, 28 Januari 2011
Penulis
i
DAFTAR ISIKata Pengantar ........................................................................................................................i
Daftar isi……………………………………………………………………….…………….ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ……………………………………………………….………….......1
1.2. Tujuan ………………………………………………………………….……............1
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Anamnesis ……………………………………………………………..………….....2
2.2. Pemeriksaan ................................................................................................................4
2.3. Diagnosa......................................................................................................................5
2.4. Etiologi ……………………………………………………… ………………......... 14
2.5. Epidemiologi ………………………………………………… …………………… 20
2.6. Patofisiologi …………………………………………………… …………………. 20
2.7. Gejala Klinis ................................................................................ ..............................22
2.8. Penatalaksanaan ………………………………………………… ……………….. 24
2.9. Preventif …………………………………………………………… …………....... 29
2.10. Prognosis …………………………………………………………… …………...... 30
BAB III PENUTUP ………………………………………………….... …………… 31
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...…… …………... 32
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gangguan Jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan
utama di negara-negara maju, modern dan industri. Keempat masalah kesehatan utama
tersebut adalah penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa dan kecelakaan. Meskipun
gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian
secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidak mampuan serta
invaliditas baik secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan,
karena mereka tidak produktif lagi dan tidak efisien.1
Secara umum gangguan jiwa dibagi dalam dua golongan besar, yaitu Psikotik dan Non-
Psikotik. Gangguan Psikotik ditandai dengan dua gejala utama, yaitu tidak adanya
pemahaman diri dan ketidakmampuan menilai realitas. Sedangkan Non-Psikotik kedua
gejala utama tersebut masih baik. Golongan Psikotik itu sendiri dibagi dalam dua
subgolongan, yaitu Psikotik Fungsional dan Psikotik Organik. Yang dimaksud dengan
Psikotik Fungsional adalah gangguan jiwa yang disebabkan karena terganggunya fungsi
sistem transmisi sinyal penghantar saraf (neurotransmitter) sel-sel saraf dalam susunan
saraf pusat., tidak terdapat kelainan struktural pada sel-sel saraf pusat tersebut.
Sedangkan Psikotik Organik adalah gangguan jiwa yang disebabkan karena
adanyakelainan pada struktur susunan saraf pusat otak yang disebabkan misalnya terdapat
tumor di otak, kelainan pembuluh darah di otak, infeksi di otak, keracunan, NAZA, dan
lain sebagainya. Salah satu jenis gangguan jiwa Psikotik Fungsional yang terbanyak
adalah Skizofrenia.1,2
1.2. Tujuan
o Mempelajari tentang gejala-gejala penyakit yang berhubungan dengan
gangguan psikotik terutama mengenai penyakit Skizofrenia.
o Mempelajari bagaimana cara mendiagnosa penyakit Skizofrenia pada
pasien dengan gangguan waham yang terus menerus.
BAB II
PEMBAHASAN
Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tidak selalu bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya.Pada umumnya ditandai dengan penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropiate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.2
2.1. Anamnesis
Anamnesis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara. Anamnesis dapat
dilakukan langsung kepada pasien, yang disebut autoanamnesis, atau dilakukan terhadap
orang tua, wali, orang yang dekat dengan pasien, atau sumber lain, disebut sebagai
aloanamnesis. Termasuk didalam aloanamnesis adalah semua keterangan dokter yang
merujuk, catatan rekam medik, dan semua keterangan yang diperoleh selain dari
pasiennya sendiri. Oleh karena pasien dengan gejala gangguan jiwa terkadang dapat
memberikan pernyataan yang kurang meyakinkan, maka dalam bidang kesehatan
psikiatri aloanamnesis menduduki tempat yang tidak kalah penting dari pada
autanamnesis.2,3
Dalam keadaan tertentu anamnesis merupakan cara yang tercepat dan satu-satunya kunci
menuju diagnosis, baik dari kasus-kasus dengan latarbelakang faktor biomedis,
psikososial, maupun keduanya. 3
Identitas pasien (nama, umur,jenis kelamin,,alamat dsb)
Riwayat penyakit
Keluhan yang ditemukan
o “apa permasalahan yang anda alami belakangan ini?”
o “berapa lama anda mulai merasakan gejala-gejala ini?”
o “apakah ada factor yang memperburuk atau mencetuskan?”
Riwayat Psikiatrik sebelumnya
o “apakah anda pernah mengalami stress sebelumnya?”
o Apakah anda pernah mendapatkan pengobatab untuk keadaan stress ini
di masa lalu?”
Riwayat Keluarga
o “apakah anda mempunyai hubungan baik dengan ibu dan/ atau ayah dan /
atau saudara kandung anda?”
o Apakah keluarga anda akrab dan mendukung?”
o “apakah ada masalah stres yang cenderung dialami dalam keluarga anda?”
Riwayat Pribadi
o “dapatkah anda menceritakan kepada saya hal-hal pokok dari kehidupan
anda dalam satu menit atau lebih lama jika memungkinkan?”
Masa kanak-kanak
o ‘apakah ada masalah ketika anda masih kecil?”
o “apakah anda mengalami masa kanak-kanak yang riang/gembira?”
Masa sekolah/remaja
o “Apakah anda mengalami kegembiraan/kebahagiaan pada waktu anda
sekolah?”
o “apakah ada masalah pada usia masa remaja anda?”
Pekerjaan
o “apa yang anda walkukan pada sebagian waktu anda?”
o Jiika tidak bekerja: “pekerjaan apa yang anda harapkan?”
o “pelatihan/keahlian apa yang anda miliki?”
Riwayat Sexual
o “apakah anda mengalami masalah dengan kehidupan seks anda?”
Riwayat perkawinan
o “apakah anda masih sendiri, sudah menikah, berpisah atau cerai?”
Trauma Kepala
o “apakah anda pernah mengalami trauma kepala yang serius?”
Masalah dengan Kehidupan
o “stress apa yang anda alami di rumah/ tempat kerja?”
o “apakah anda memiliki kekhawatiran mengenai uang?”
Masalah dengan alkohol atau obat-obatan
Perlu diperhatikan dalam melakukan anamnesis dan pemeriksaan psikiatrik yaitu:
Pasien dengan kepribadian “abnormal” tidak mungkin atau kecil kemungkinan
mengalami penyakit “organik”
Diagnosis psikiatrik sebaiknya tidak dibuat hanya berdasarkan gejala semata.
Gangguan psikiatrik dapat timbul bersamaan dengan gejala fisik (somatisasi)
dan / atau disertai tanda-tanda yang memberi kesan adanya kelainan(penyakit)
fisik.
2.2. Pemeriksaan
Pemeriksaan Tanda Vital
Nadi
Tekanan darah
Pernafasan
Suhu
Keadaan Umum
Pemeriksaan Fisik
Bila pasien dianggap perlu menjalani rawat inap psikiatrik, tanggung jawab perawatan
medis dialihkan ke tim psikiatrik, dan perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium
yang sesuai. Namun, pada semua pasien psikotik perlu dipertimbangkan kemungkinan
kausa fisik, dan dilakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium sesuai indikasi.
Pemeriksaan fisik umum, dilakukan sebagaimana biasa pada praktek klinis. Pemeriksaan
neurologis : Dilihat adanya tekanan tinggi intra kranial,gangguan neurologis fokal
misalnya gangguan berjalan, gangguan motorik,senso rik, otonom,
koordeinasi, gangguan penglihatan, gerakanabnormal/apraksia dan adanya refleks
patologis dan primitif
Inspeksi
Inspeksi dapat dibagi menjadi inspeksi umum dan inspeksi khusus. Pada inspeksi
umum pemeriksa melihat perubahan yang terjadi secara umum, sehingga dapat
diperoleh kesan keadaan umum pasien. Pada inspeksi lokal, dilihat perubahan-
perubahan lokal sampai yang sekecil-kecilnya. Untuk bahan pembanding perlu dilihat
pada keadaan sisi lainnya.
Palpasi
Yaitu pemeriksaan dengan meraba, menggunakan telapak tangan dan memanfaatkan
alat peraba yang terdapat pada telapak dan jari tangan. Dengan palpasi dapat
ditentukan bentuk, besar, tepi, permukaan serta konsistensi organ. Ukuran organ dapat
dinyatakan dalam satuan sentimeter.
Perkusi
Tujuan perkusi ialah untuk mengetahui perbedaan suara ketuk, sehingga dapat
ditentukan batas-batas suatu organ misalnya paru, jantung hati, atau mengetahui batas-
batas massa yang abnoemal di rongga abdomen.
Auskultasi
Pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop. Dengan cara auskultasi dapat didengar
suara pernafasan, bunyi dan bising jantung, peristaltic usus, dan aliran darah dalam
pembuluh darah.
Pemeriksaan Penunjang : EEG, CT, MRI untuk kelainan neuropsikiatrik
2.3. Diagnosa
Working Diagnosa : Skizofrenia tipe Paranoid
Diferential Diagnosa
Skizofrenia Hebefrenik
Skizofrenia Katatonik
Skizofrenia tak terinci (Undifferentiated)
Depresi Pasca-Skizofrenia
Skizofrenia Residual
Skizofrenia Simpleks
Berikut merupakan pedoman diagnosis Penyakit Jiwa Skizofrenia dengan penyakit jiwa
lainnya menurut PPDGJ III:4
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas dan biasanya dua gejala atau
lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas :
a) - “Thought echo” : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang
atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran
ulangan, walaupun isinya sama, namun kulitasnya berbeda; atau
- “Thought insertion or withdrawal”: isi pikiran yang asingdari luar
masuk kedalam pikirannya (insertion)atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar (withdrawal); dan
- “Thought broadcasting”: isi pikirannya tersiar keluar sehingga
orang lain atau umum mengetahuinya;
(b) - “delusion of control” : waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dati luar; atau
- “delusion of influence”: waham tentang dirinya dipengaruhi oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar; atau
- “delusion of passivity”: waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar;
(tentang ‘dirinya”: secara jelas merujuk ke pergerakan
tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan atau penginderaan
khusus);
- “delusional perception”: pengalaman inderawi yang tak wajar,
yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik
atau mukjizat;
(c) Halusinasi auditorik :
Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien, atau
Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai
suara yang berbicara), atau
Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan
makhluk asing dari dunia lain).
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :4
(e) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang mauupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai ole hide-ide berlebihan
(over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
(f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisispan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme;
(g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisis
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme,
dan stupor;
(h) Gejala-gejala “negative” seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang,
dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan menurunnya
kinerja social; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal).
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadai (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap
larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
KLASIFIKASI
Gejala klinis skizofrenia secara umum dan menyeluruh telah diuraikan di muka, dalam
PPDGJ III skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok yang mempunyai
spesifikasi masing-masing, yang kriterianya di dominasi dengan hal-hal sebagai berikut :4
1. Skizofrenia Paranoid
Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia
Sebagai tambahan :
- Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
a. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi
pluit, mendengung, atau bunyi tawa.
b. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau
lain-lain perasaan tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol.
c. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan
(delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau
“Passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang
beraneka ragam, adalah yang paling khas.
- Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata / menonjol.
Pasien skizofrenik paranoid biasanya berumur lebih tua daripada pasien
skizofrenik terdisorganisasi atau katatonik jika mereka mengalami episode pertama
penyakitnya. Pasien yang sehat sampai akhir usia 20 atau 30 tahunan biasanya mencapai
kehidupan social yang dapat membantu mereka melewati penyakitnya. Juga, kekuatan
ego paranoid cenderung lebih besar dari pasien katatonik dan terdisorganisasi. Pasien
skizofrenik paranoid menunjukkan regresi yang lambat dari kemampuanmentalnya,
respon emosional, dan perilakunya dibandingkan tipe lain pasien skizofrenik.
Pasien skizofrenik paranoid tipikal adalah tegang, pencuriga, berhati-hati, dan tak
ramah. Mereka juga dapat bersifat bermusuhan atau agresif. Pasien skizofrenik paranoid
kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka secara adekuat didalam situasi social.
Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis mereka dan tetap
intak.
2. Skizofrenia Hebefrenik
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau
dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang menyendiri
(solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis.
Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan pengamatan
kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang
khas berikut ini memang benar bertahan :
o Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan
perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan;
o Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering
disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied),
senyum sendirir (self-absorbed smiling), atau oleh sikap, tinggi hati (lofty
manner), tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara
bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondrial, dan ungkapan kata yang
diulang-ulang (reiterated phrases);
o Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu
(rambling) serta inkoheren.
Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya
menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol
(fleeting and fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan kehendak
(drive) dan yang bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan,
sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan
(aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose). Adanya suatu preokupasi yang
dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak
lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien.
Menurut DSM-IV skizofrenia disebut sebagai skizofrenia tipe terdisorganisasi.
3. Skizofrenia Katatonik
Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya :
a) stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan
dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara):
b) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang
tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
c) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);
d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap
semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan kearah
yang berlawanan);
e) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya
menggerakkan dirinya);
f) Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak
dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
g) Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara
otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-
kalimat.
Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan
katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti
yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain.
Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk
diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit
otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi
pada gangguan afektif.
Selama stupor atau kegembiraan katatonik, pasien skizofrenik memerlukan
pengawasan yang ketat untuk menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau orang
lain. Perawatan medis mungkin ddiperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan,
hiperpireksia, atau cedera yang disebabkan oleh dirinya sendiri.
4. Skizofrenia tak terinci (Undifferentiated)
Seringkali. Pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan
kedalam salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak
terinci. Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III yaitu:
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau
katatonik.
Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia.
5. Depresi Pasca-Skizofrenia
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
a) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis
umum skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya); dan
c) Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling sedikit
kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu paling
sedikit 2 minggu.
Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi
episode depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan menonjol,
diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai.
6. Skizofrenia Residual
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi
semua :
a) Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan
psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan
ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,
komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak
mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial
yang buruk;
b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau
yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;
c) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas
dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat
berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negative” dari skizofrenia;
d) Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain,
depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas
negative tersebut.
Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus
menerus adanya gangguan skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala
aktif atau gejala yang cukup untuk memenuhi tipe lain skizofrenia. Penumpulan
emosional, penarikan social, perilaku eksentrik, pikiran yang tidak logis, dan
pengenduran asosiasi ringan adalah sering ditemukan pada tipe residual. Jika
waham atau halusinasi ditemukan maka hal tersebut tidak menonjol dan tidak
disertai afek yang kuat.
7. Skizofrenia Simpleks
Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung
pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari :
gejala “negative” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan
disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna,
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu,
tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia
lainnya.
Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama
pada jenis simpleks adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan
proses berpikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali
terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-lahan sekali. Pada permulaan mungkin
penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari
pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan akhirnya
menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin akan
menjadi pengemis, pelacur, atau penjahat.
2.4. Etiologi
1. Model Diatesis-stres
Merupakan integrasi faktor biologis, faktor psikososial, faktor lingkungan. Model ini
mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatessis)
yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress,
memungkinkan perkembangan skizofrenia.2
Komponen lingkungan mungkin biologikal (seperti infeksi) atau psikologis (missal
kematian orang terdekat). Sedangkan dasar biologikal dari diatesis selanjutnya dapat
terbentuk oleh pengaruh epigenetik seperti penyalahgunaan obat, stress psikososial ,
dan trauma.
Kerentanan yang dimaksud disini haruslah jelas, sehingga dapat menerangkan
mengapa orang tersebut dapat menjadi skizofren. Semakin besar kerentanan
seseorang maka stressor kecilpun dapat menyebabkan menjadi skizofren. Semakin
kecil kerentanan maka butuh stressor yang besar untuk membuatnya menjadi
penderita skizofren. Sehingga secara teoritis seseorang tanpa diathese tidak akan
berkembang menjadi skizofren, walau sebesar apapun stressornya.
2. Faktor Neurobiologi
Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien skizofrenia ditemukan adanya kerusakan
pada bagian otak tertentu. Namun sampai kini belum diketahui bagaimana hubungan
antara kerusakan pada bagian otak tertentu ddengan munculnya simptom skizofrenia.
Terdapat beberapa area tertentu dalam otak yang berperan dalam membuat seseorang
menjadi patologis, yaitu sitem limbik, korteks frontal, cerebellum dan ganglia basalis.
Keempat area tersebut saling berhubungan, sehingga disfungsi pada satu area
mungkin melibatkan proses patologis primer pada area yang lain. Dua hal yang
menjadi sasaran penelitian adalah waktu dimana kerusakan neuropatologis muncul
pada otak, dan interaksi antara kerusakan tersebut dengan stressor lingkungan dan
sosial.
Hipotesa Dopamin
Menurut hipotesa ini, skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas
neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari
meningkatnya pelepasan dopamine, terlalu banyaknya reseptor dopamine, turunnya
nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamine, atau kombinasi dari faktor-
faktor tersebut. Munculnya hipotesa ini berdasarkan observasi bahwa :
a. Ada korelasi antara efektivitas dan potensi suatu obat antipsikotik dengan
kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamine D2.
b. Obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik- seperti amphetamine-dapat
menimbulkan gejala psikotik pada siapapun.
3. Faktor Genetika
Penelitian tentang genetik telah membuktikan faktor genetik/keturunan merupakan
salah satu penyumbang bagi jatuhnya seseorang menjadi skizofren. Resiko seseorang
menderita skizofren akan menjadi lebih tinggi jika terdapat anggota keluarga lainnya
yang juga menderita skizofren, apalagi jika hubungan keluarga dekat. Penelitian
terhadap anak kembar menunjukkan keberadaan pengaruh genetik melebihi pengaruh
lingkungan pada munculnya skizofrenia, dan kembar satu telur memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mengalami skizofrenia.
Tab.Prevalensi skizofrenia pada populasi tertentu dalam Saddock&Saddock (2003)
4. Faktor Psikososial
4.1 Teori Tentang Individu Pasien
a. Teori Psikoanalitik
Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari fiksasi
perkembangan, yang muncul lebih awal daripada gangguan neurosis. Jika
neurosis merupakan konflik antara id dan ego, maka psikosis merupakan
konflik antara ego dan dunia luar. Menurut Freud, kerusakan ego (ego defect)
memberikan kontribusi terhadap munculnya simptom skizofrenia. Disintegrasi
ego yang terjadi pada pasien skizofrenia merepresentasikan waktu dimana ego
belum atau masih baru terbentuk.
Konflik intrapsikis yang berasal dari fiksasi pada masa awal serta
kerusakan ego-yang mungkin merupakan hasil dari relasi obyek yang buruk-
turut memperparah symptom skizofrenia. Hal utama dari teori Freud tentang
skizofrenia adalah dekateksis obyek dan regresi sebagai respon terhadap
frustasi dan konflik dengan orang lain.
Populasi Prevalensi
Populasi umum 1%
Saudara kandung pasien skizofren 8%
Anak dengan salah satu orangtua skizofren 12%
Kembar dua telur dari pasien skizofren 12%
Anak dengan kedua orangtua skizofren 40%
Kembar satu telur dari pasien skizofren 47 %
Harry Stack Sullivan mengatakan bahwa gangguan skizofrenia
disebabkan oleh kesulitan interpersonal yangyang etrjadi sebelumnya,
terutama yang berhubungan dengan apa yang disebutnya pengasuhan ibu yang
salah, yaitu cemas berlebihan.
Secara umum, dalam pandangan psikoanalitik tentang skizofrenia,
kerusakan ego mempengaruhi interprestasi terhadap realitas dan kontrol
terhadap dorongan dari dalam, seperti seks dan agresi. Gangguan tersebut
terjadi akibat distorsi dalam hubungan timbal balik ibu dan anak.
Berbagai simptom dalam skizofrenia memiliki makna simbolis bagi
masing-masing pasien. Misalnya fantasi tentang hari kiamat mungkin
mengindikasikan persepsi individu bahwa dunia dalamnya telah hancur.
Halusinasi mungkin merupakan substitusi dari ketidakmampuan pasien untuk
menghadapi realitas yang obyektif dan mungkin juga merepresentasikan
ketakutan atau harapan terdalam yang dimilikinya.
b. Teori Psikodinamik
Berbeda dengan model yang kompleks dari Freud, pandangan
psikodinamik setelahnya lebih mementingkan hipersensitivitas terhadap
berbagai stimulus. Hambatan dalam membatasi stimulus menyebabkan
kesulitan dalam setiap fase perkembangan selama masa kanak-kanak dan
mengakibatkan stress dalam hubungan interpersonal.
Menurut pendekatan psikodinamik, simptom positif diasosiasikan
dengan onset akut sebagai respon terhadap faktor pemicu/pencetus, dan erat
kaitannya dengan adanya konflik. Simptom negatif berkaitan erat dengan
faktor biologis, dan karakteristiknya adalah absennya perilaku/fungsi tertentu.
Sedangkan gangguan dalam hubungan interpersonal mungkin timbul akibat
konflik intrapsikis, namun mungkin juga berhubungan dengan kerusakan ego
yang mendasar.
Tanpa memandang model teoritisnya, semua pendekatan psikodinamik
dibangun berdasarkan pemikiran bahwa symptom-simptom psikotik memiliki
makna dalam skizofrenia. Misalnya waham kebesaran pada pasien mungkin
timbul setelah harga dirinya terluka. Selain itu, menurut pendekatan ini,
hubungan dengan manusia dianggap merupakan hal yang menakutkan bagi
pengidap skizofrenia.
c. Teori Belajar
Menurut teori ini, orang menjadi skizofrenia karena pada masa kanak-
kanak ia belajar pada model yang buruk. Ia mempelajari reaksi dan cara pikir
yang tidak rasional dengan meniru dari orangtuanya, yang sebenarnya juga
memiliki masalah emosional.
4.2 Teori Tentang Keluarga
Beberapa pasien skizofrenia-sebagaimana orang yang mengalami
nonpsikiatrik-berasal dari keluarga dengan disfungsi, yaitu perilaku keluarga yang
patologis, yang secara signifikan meningkatkan stress emosional yang harus
dihadapi oleh pasien skizofrenia. Antara lain:
Double Bind
Konsep yang dikembangkan oleh Gregory Bateson untuk menjelaskan
keadaan keluarga dimana anak menerima pesan yang bertolak belakang dari
orangtua berkaitn dengan perilaku, sikap maupun perasaannya. Akibatnya anak
menjadi bingung menentukan mana pesan yang benar, sehingga kemudian ia
menarik diri kedalam keadaan psikotik untuk melarikan diri dari rasa konfliknya
itu.
Schims and Skewed Families
Menurut Theodore Lidz, pada pola pertama, dimana terdapat perpecahan
yang jelas antara orangtua, salah satu orang tua akan menjadi sangat dekat dengan
anak yang berbeda jenis kelaminnya. Sedangkan pada pola keluarga skewed,
terjadi hubungan yang tidak seimbang antara anak dengan salah satu orangtua
yang melibatkan perebutan kekuasaan antara kedua orangtua, dan menghasilkan
dominasi dari salah satu orang tua.
Pseudomutual and Pseudohostile Families
Dijelaskan oleh Lyman Wynne, beberapa keluarga men-suppress ekspresi
emosi dengan menggunakan komunikasi verbal yang pseudomutual atau
pseudohostile secara konsisten. Pada keluarga tersebut terdapat pola komunikasi
yang unik, yang mungkin tidak sesuai dan menimbulkan masalah jika anak
berhubungan dengan orang lain di luar rumah.
Ekspresi Emosi
Orang tua atau pengasuh mungkin memperlihatkan sikap kritis, kejam dan
sangat ingin ikut campur urusan pasien skizofrenia. Banyak penelitian
menunjukkan keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (dalam hal apa yang
dikatakan maupun maksud perkataan) meningkatkan tingkat relapse pada pasien
skizofrenia.
4.3 Teori Sosial
Beberapa teori menyebutkan bahwa industrialisasi dan urbanisasi banyak
berpengaruh dalam menyebabkan skizofrenia. Meskipun ada data pendukung,
namun penekanan saat ini adalah dalam mengetahui pengaruhnya terhadap waktu
timbulnya onset dan keparahan penyakit.
2.5. Epidemiologi
Karena Skizofrenia cenderung menjadi penyakit yang menahun (kronis) maka angka
insidensi penyakit ini dianggap lebih rendah dari angka prevalensi dan diperkirakan
mendekati 1 per 10.000 per tahun (DSM-IV, APA 1994). Angka prevalensi adalah jumlah
kasus (penderita) secara keseluruhan dalam kurun waktu tertentu dan di daerah tertentu,
dibagi dengan jumlah penduduk yang diperiksa. Sedangkan angka insidensi adalah
jumlah kasus (penderita baru) dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu angka
prevalensi maupun insidensi dari satu negara berbeda dengan negara yang lain. Penelitian
yang dilakukan di Eropa dan Asia telah menemukan angka prevalensi daro 0,2% sampai
hampir 1%. Sementara itu di Amerika serikat terutama di kalangan penduduk perkotaan
menunjukkan angka yang lebih tinggi hingga 2%. Di Indonesia angka yang tercatat di
Departemen Kesehatan berdasarkan survei di Rumah Sakit (1983) adalah antara 0,05%
sampai 0,15%. Angka penderita Skizofrenia 25 tahun yang lalu (PJPT I) diperkirakan
1/100 penduduk, dan proyeksi 25 tahuin mendatang mencapai 3/1000 penduduk
(Hawari 1993). 1
2.6. Patofisiologi
PROSES PERJALANAN PENYAKIT ;
Gejala mulai timbul biasanya pada masa remaja atau dewasa awal sampai dengan umur
pertengahan dengan melalui beberapa fase antara lain :
1. Fase Prodomal
Berlangsung antara 6 bula sampai 1 tahun
Gangguan dapat berupa Self care, gangguan dalam akademik, gangguan
dalam pekerjaan, gangguan fungsi sosial, gangguan pikiran dan persepsi.
2. Fase Aktif
Berlangsung kurang lebih 1 bulan
Gangguan dapat berupa gejala psikotik; Halusinasi, delusi, disorganisasi
proses berfikir, gangguan bicara, gangguan perilaku, disertai kelainan
neurokimiawi
3. Fase Residual
Klien mengalami minimal 2 gejala; gangguan afek dan gangguan peran,
serangan biasanya berulang.
TAHAPAN HALUSINASI DAN DELUSI YANG BIASA MENYERTAI
GANGGUAN JIWA
Menurut Janice Clack,1962 klien yang mengalami gangguan jiwa sebagian besar
disertai Halusinasi dan Delusi yang meliputi beberapa tahapan antara lain :
1. Tahap Comforting :
Timbul kecemasan ringan disertai gejala kesepian, perasaan berdosa, klien
biasanya mengkompensasikan stressornya dengan coping imajinasi
sehingga merasa senang dan terhindar dari ancaman.
2. Tahap Condeming :
Timbul kecemasan moderate , cemas biasanya makin meninggi
selanjutnya klien merasa mendengarkan sesuatu, klien merasa takut
apabila orang lain ikut mendengarkan apa-apa yang ia rasakan sehingga
timbul perilaku menarik diri (With drawl)
3. Tahap Controling :
Timbul kecemasan berat, klien berusaha memerangi suara yang timbul
tetapi suara tersebut terusmenerus mengikuti, sehingga menyebabkan klien
susah berhubungan dengan orang lain. Apabila suara tersebut hilang klien
merasa sangat kesepian/sedih.
4. Tahap Conquering :
Klien merasa panik , suara atau ide yang datang mengancam apabila tidak
diikuti perilaku klien dapat bersipat merusak atau dapat timbul perilaku
suicide.
PSIKOPATOLOGI
Penelitian mutakhir menyebutkan bahwa perubahan-perubahan pada neurotransmiter dan
resptor di sel-sel saraf otak (neuron) dan interaksi zat neurokimia dopamin dan serotonin,
ternyata mempengaruhi alam pikir, perasaan, dan perilaku yang menjelma dalam bentuk
gejala-gejala positif dan negatif skizofrenia.
Selain perubahan-perubahan yang sifatnya neurokimiawi di atas, dalam penelitian dengan
menggunakan CT Scan otak, ternyata ditemukan pula perubahan pada anatomi otak
pasien, terutama pada penderita kronis. Perubahannya ada pada pelebaran lateral
ventrikel, atrofi korteks bagian depan, dan atrofi otak kecil (cerebellum).
2.7. Gejala Klinis
Gambaran gangguan jiwa Skizofrenia beraneka ragam mulaui dari gangguan pada alam
pikir, perasaan dan perilaku yang mencolok sampai pada yang tersamar. 1
Gsnggusn jiwa Skizofrenia biasa mulai muncul dalam masa remaja atau dewasa muda
(sebelum usia 45 tahun). Seseorang dikatakan menderita Skizofrenia apabila perjalanan
penyakitnya sudah berlangsung lewat 6 bulan. Sebelumnya didahului oleh gejala-gejala
awal disebut sebagai fase prodormal yang ditandai dengan mulai munculnya gejala-
gejala yang tidak lazim misalnya pikiran tidak rasional, perasaan yang tidak wajar,
perilaku yang aneh, penarikan diri dan sebagainya. Gejala-gejala prodormal ini
seringkali tersamar dan tidak disadari oleh anggota keluarga lainnya, dan baru 6 bulan
kemudian gangguan jiwa Skizofrenia ini muncul secara klinis nyata, yaitu kekacauan
dalam pola pikir, alam perasaan dan perilaku.
Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang penderitanya tidak mampu menilai realitas
dengan baik dan pemahaman diri yang buruk. Gejala-gejala Skizofrenia dapat dibagi
dalam 2 kelompok yaitu Gejala Positif dan Gejala Negatif.
Gejala Positif Skizofrenia1,2,4,5
a. Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal).
Meskipun telah dibuktikan secara objektif bahwa keyakinan itu tidak rasional,
namun penderita tetap meyakini kebenarannya.
b. Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan (stimulus).
Misalnya penderita mendengar suara-suara/bisikan-bisikan di telinganya padahal
tidak ada sumber dari suara/bisikan itu.
c. Kekacauan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya. Misalnya
bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya.
d. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan
semangat, dan gembira yang berlebihan.
e. Merasa dirinya “Orang Besar”, merasa serba mampu, seba hebat dan sejenisnya.
f. Pikiran penuh dengan kecurigaan dan seakan-akan ada ancaman terhadap dirinya.
g. Menyimpan rasa permusuhan.
Gejala Negatif Skizofrenia
a. Alam perasaan (affect) “tumpul” dan “mendatar”. Gambaran ini dapat terlihat dari
wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi.
b. Menarik diri atau mengasingkan diri, tidak mau bergaul atau kontak dengan orang
lain, suka melamun.
c. Kontak emosinal amat “miskin”, sukar diajak bicara, pendiam.
d. Pasif dan apatis, merarik diri dari pergaulan social
e. Sulit dalam berpikir abstrak.
f. Pola pikir stereotip
g. Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak dan tidak ada inisiatif, tidak ada upaya
dan usaha, tidak ada spontanitas, monoton, serta tidak ingin apa-apa dan serba
malas (kehilolangan nafsu).
Gejala-gejala tersebut seringkali tidak disadari atau kurang diperhatikan oleh pihak
keluarga, karena dianggap tidak mengganggu sebagaimana halnya penderita
menunjukkan gejala-gejala positif yang amat mengganggu lingkungan/keluarga. Oleh
karenanya pihak keluarga seringkali terlambat membawa pasien untuk berobat.
Dalam pengalaman praktek, gejala Positif Skizofrenia muncul pada episode akut,
sedangkan gejala Negatif muncul lebih menonjol pada stadium kronis (menahun). Tetapi
tidak jarang, baik gejala positif maupun negative saling berbaur, tergantung pada
stadium penyakitnya.
2.8. Penatalaksanaan
Gangguan jiwa Skizofrenia adalah salah satu penyakit yang cenderung berlanjut kronis
dan menahun). Oleh karenanya terapi pada skizofrenia memerlukan waktu relatif lama
berbulan bahkan bertahun, hal ini dimaksudkan untuk menekan sekecil mungkin
kekambuhan. Terapi yang komprehensif dan holistik atau terpadu dewwasa ini sudah
dikembangkan sehingga penderita Skizofrenia tidak lagi mengalami diskriminasi. Terapi
yang dimaksud meliputi terapi dengan obat-obatan anti Skizofrenia (psikofarmaka),
psikotherapi, dan terapi psikososial.1,6
Psikofarmaka
Dari sudut organobiologik sudah diketahui bahwa pada Skizofrenia (dan gangguan
jiwa lainnya) terdapat gangguan pada fungsi transmisi sinyal penghantar saraf
(neutotransmitter) sel-sel susunan saraf pusat (otak) yaitu penglepasan zat dopamin
dan serotonin yang menyebabkan gangguan pada alam pikir, alam perasaan, dan
perilaku. Karena itu obat psikofarmaka yang akan diberikan ditujukan pada
gangguan fungsi neurotransmitter tadi sehingga gejala-gejala klinis dapat
dihilangkan.1
Jenis obat psikofarmaka dapat dibagi dalam dua golongan yaitu golongan generasi
pertama (typical) dan golongan generasi kedua (atypical).
Ketersediaan antipsikotik berdasarkan dosis dan bentuk sediaan.
Nama Generik Nama Dagang Dosis Equivalensi
(Mg)
Rentang dosis yang
sering digunakan
(Mg/hari)
Dosis Maximum
menurut pabrik
(Mg/hari)
Antipsikotik Generasi Pertama
Clorpromazin Thorazine 100 100-800 2000
Fluphenazin Prolixin 2 2-20 40
Haloperidol Haldol 2 2-20 100
Loxapine Loxitane 10 10-80 250
Thioridazine Mellaril 100 100-800 800
Triflupherazine Stelazine 5 5-40 80
Antipsikotik Generasi Kedua
Risperidone
Klozapine
Aripiprazole
Olanzapine
Quetiapine
Ziprazidone
Risperidal
Clozaril
Abilify
Zyprexa
Seroquel
Geodon
-
-
-
-
-
-
2-8
50-500
15-30
10-20
250-500
40-160
16
900
30
20
800
200
Golongan antipsikotik generasi kedua (atypical), merupakan pilihan pertama
dalam mengobati Skizofrenia. Meski masih controversial, saat ini sedang
dikembangkan penelitian untuk mendapatkan bukti-bukti yang mendukung bahwa
antipsikotik generasi kedua mempunyai khasiat dalam mengobati gejala-gejala
negative, kognisi, suasana hati, dan psikopatologi secara umum. Selain itu
antipsikotik generasi kedua lebih mudah diterima oleh pasien disbanding
antipsikotik generasi pertama.
Antipsikotik generasi kedua memiliki sedikit atau bahkan tidak menimbulkan
terjadinya efek ekstrapiramidal. Kelebihan lainnya adalah kecenderungan untuk
menyebabkan takikardiv dyskinesia yang minimal atau tidak sama sekali.
Disamping itu efek terhadap serum prolaktin yang lebih sedikit terjadi jika
dibanding dengan efek samping antipsikotik generasi pertama.
Pemilihan antipsikotik harus berdasarkan pada:
Kebuituhan untuk menghindari efek samping tertentu
Adanya gangguan psikiatri atau kondisi medis lainnya.
Tanggapan terhadap riwayat pasien atau keluarga.
Terdapat 5 pedoman dalam penggunaan antipsikotik pada penderita Skizofrenia,
yaitu:
1. Klinisi harus secara cermat menentukan gejala sasaran yang akan diobati.
2. Antipsikotik yang telah berhasil digunakan pada masa lampau sebaiknya tetap
dipergunakan
3. Penggantian jenis obat abtipsikitik baru dilakukan setelah jenis antipsikotik
sebbelumnya telah dipergunakan 4-6 minggu.
4. Hindari polifarmasi
5. Pasien harus dipertahankan pada dosis efektif yang serendah mungkin yang
diperlukan untuk mencapai pengendalian gejala selama episode psikotik.
Psikoterapi
Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada penderita Skizofrennia, baru dapat diberikan
apabila penderita dengan terapi psikofarmaka diatas sudah mencapai tahapan dimana
kemampuan menilai realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik.
Psikoterapi ini banyak macam ragamnya tergantung dari kebutuhan dan latar
belakang penderita sebelum sakit (promorbid), sebagai contoh misalnya:
a. Psikoterapi suportif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat,
dan motivasi agar penderita tidak merasa putus asa dan semangat juangnya
dalam menghadapi hidup ini tidak kendur dan menurun.
b. Psikoterapi Re-edukatif
Dimaksudkan utnuk memberikan pendidikan ulang yang maksudnya untuk
memperbaiki kesalahan pendidikan diwaktu lalu dan juga dengan pendidikan
ini dimaksudkan mengubah pola pendidikan lama dengan yang baru sehingga
penderita lebih adaptif terhadap dunia luar.
c. Psikoterapi Re-konstruktif
Dimaksudkan untuk memperbaiki kembali kepribadian yang telah mengalami
keretakan menjadi kepribadian yang utuh seperti semula sebelum sakit.
d. Psikoterapi Kognitif
Dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi kognitif (daya pikir dan daya
ingat)rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilai moral etika.
e. Psikoterapi Psiko-dinamik
Dimaksudkan untuk menganalisa dan menguraikan proses dinamika kejiwaan
yang dapat dijelaskan seseorang jatuh sakit dan upaya untuk mencari jalan
keluarnya. Dengan psikoterapi ini diharapkan penderita mampu memahami
kelebihan dan kelemahan dirinya dan mampu menggunakan mekanisme
pertahanan diri dengan baik.
f. Psikoterapi perilaku
Dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang terganggu
(maladaptive) menjadi perilaku yang adaptif (mampu menyesuaikan diri).
Kemampuan adaptasi penderita perlu dipulihkan agar penderita mampu
berfungsi kembali secara wajar dalam kehidupan sehari-hari.
g. Psikoterapi keluarga
Dimaksudkan untuk memulihkan hubungan penderita dengan keluarganya.
Dengan psikoterapi ini diharapkan keluarga dapat memahami mengenai
gangguan jiwa Skiofrenia dan dapat membantu mempercepat proses
penyembuhan penderita.
Secara umum tujuan dari psikoterapi tersebut diatas adalah untuk memperkuat
struktur kepribadian, mematangkan kepribadian, memperkuat ego, meningkatkan
citra diri, memulihkan kepercayaan diri, yang kesemuanya itu untuk mencapai
kehidupan yang berarti dan bermanfaat.
Terapi Psikososial
Dengan terapi psikososial, dimaksudkan agar penderita mampu kembali beradaptasi
dengan lingkungan social sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak
tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan
masyarakat. Penderita selama menjalani terapi psikososkial ini hendaknya masih tetap
mengonsumsi obat psikofarmaka sebagaimana juga halnya waktu menjalani
psikoterapi. Kepada penderita diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun,
banyak kegiatan dan kesibukan dan banyak bergaul.
2.10. Preventif
Organobiologik1
Perlu diteliti riwayat dan silsilah keluarga apakah ada salah satu anggota keluarga
yang menderita skizofrenia.
Untuk menghindari adanya factor epigenetic, hendaknya selama kehamilan
seorang ibu perlu mendapat perawatan yang baik agar tidak terjadi gangguan pada
perkembangan otak janin.
Psikoedukatif
Perkembangan jiwa anak tergantung dari bagaimana kedua orang tua
mendidiknya.
Hendaknya didalam keluarga terjalin hubungan yang harmonis antara bapak-ibu-
anak.
Berusaha semaksimal mungkin tuk menghindari stress psikologik yang dapat
mengganggu pikiran.
Psikososial
Usahakan mempunyai lingkungan yang sehat dan bahagia, baik dalam keluarga
maupun lingkungan social bermasyarakat.
2.11. Prognosis1,2
Prognosis kearah Baik
Onset akut dengan faktor pencetus
yang jelas
Riwayat hubungan sosial &
pekerjaan yang baik (pramorbid)
Adanya gejala afektif (depresi)
Subtipe paranoid, subtipe katatonik
Sudah menikah
Banyak simptom positif
Kebingungan
Tension, cemas hostilitas
Prognosis kearah Buruk
Onset perlahan dengan faktor pencetus
tidak jelas
Riwayat hubungan sosial dan
pekerjaan buruk
Menarik diri, tingkah laku yang
artristik
Tipe Habepenik dan tipe tak
tergolongkan
Belum menikah
Riwayat Skizofrenia dalam keluarga
Adanya gejala neurologik
Banyak simptom negatif
Tidak ada gejala afektif atau hostilitas
yang jelas.
BAB III
PENUTUP
Skizofrenia adalah gangguan jiwa serius yang bersifat psikosis sehingga penderita
kehilangan kontak dengan kenyataan dan mempengaruhi berbagai fungsi individu, seperti afeksi
dan kognitif.Penderita Skizofrenia juga dapat digolongkan dalam beberapa jenis berdasarkan
gejala khas yang paling dominan.
Tiap jenis selalu ditandai dengan gejala positif dan negatif yang berbeda porsinya.
Gejala positif adalah penambahan dari fungsi normal, contohnya halusinasi yaitu persepsi panca
indera yang tidak sesuai kenyataan. Sedangkan gejala negatif berarti pengurangan dari fungsi
normal seperti kehilangan minat dan menarik diri dari lingkungan sosial.
Hingga saat ini penyebab utama Skizofrenia masih menjadi perdebatan di kalangan ahli
psikiatri maupun psikologi. Karna itu untuk dapat memahaminya diperlukan multiperspekif yaitu
dari sisi biologis, psikologis, social.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hawari Dadang. Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Edisi Kedua.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta.2006.
2. Kaplan & Sadock: ”Skizofrenia” dalam Sinopsis Psikiatri Jilid 1, edisi 7, Penerbit
Bina Rupa Aksara, Jakarta, 2010
3. Welsby P D. Pemeriksaan Fisik dan Anamnesis Kilinis. Jakarta. EGC. 2009
4. Maslim Rusdy. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Pemerbit FK
UNIKA Atmajaya. Jakarta 2001.
5. W.F. Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Universitas Airlangga,1994.
6. Sukandar Elin Y., Andrajati Retnosari, et all. Skizofrenia: Dalam buku Isi
Farmakoterapi. ISFI Penerbitan. Jakarta.2009.