makalah pbl blok 22 dwi kartika a4

25
Faktor dan Gejala Klinis pada Gangguan Somatisasi Dwi Kartika [email protected] 102012035 A4 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk,Jakarta Barat. Telp. 021-56942061 Abstrak Gangguan somatisasi adalah sekelompok gangguan kronis yang biasanya muncul pada usia remaja sebelum usia 30 tahun, dan ditandai oleh perilaku sakit dengan berbagai macam gejala fisik yang menganggu (contohnya gastrointestinal), dan berusaha mencari bantuan medis tetapi tidak dapat dijelaskan dengan adekuat melalui pemeriksaan fisik dan labolatorium. Kata kunci: Gangguan Somatisasi, Adekuat, Medis Abstract Somatization disorder is a group of chronic disorders that usually appears during adolescence before the age of 30 years, and is characterized by pain behavior with a variety of physical symptoms that interfere (eg gastrointestinal), and seek medical assistance but can not be explained adequately by physical examination and laboratory. Keyword: Somatization Disorders, Adequate, Medical Pendahuluan Banyak pasien dirujuk ke rumah sakit untuk pemeriksaan gejala fisik ternyata tidak memiliki gangguan fisik yang dapat dijelaskan gejalanya. Dalam skenario 7 dituliskan bahwa Seorang perempuan usia 51 1

Upload: evamega

Post on 28-Jan-2016

53 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

test

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah PBL Blok 22 Dwi Kartika A4

Faktor dan Gejala Klinis pada Gangguan Somatisasi

Dwi Kartika

[email protected]

A4

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk,Jakarta Barat. Telp. 021-56942061

AbstrakGangguan somatisasi adalah sekelompok gangguan kronis yang biasanya muncul pada usia remaja sebelum usia 30 tahun, dan ditandai oleh perilaku sakit dengan berbagai macam gejala fisik yang menganggu (contohnya gastrointestinal), dan berusaha mencari bantuan medis tetapi tidak dapat dijelaskan dengan adekuat melalui pemeriksaan fisik dan labolatorium.Kata kunci: Gangguan Somatisasi, Adekuat, Medis

AbstractSomatization disorder is a group of chronic disorders that usually appears during adolescence before the age of 30 years, and is characterized by pain behavior with a variety of physical symptoms that interfere (eg gastrointestinal), and seek medical assistance but can not be explained adequately by physical examination and laboratory.Keyword: Somatization Disorders, Adequate, Medical

Pendahuluan

Banyak pasien dirujuk ke rumah sakit untuk pemeriksaan gejala fisik ternyata

tidak memiliki gangguan fisik yang dapat dijelaskan gejalanya. Dalam skenario 7

dituliskan bahwa Seorang perempuan usia 51 tahun datang ke dokter dengan

keluhan-keluhan fisik, rasa tidak enak di perut, kembung, terasa naik ke atas

sehingga pasien merasa sesak, keluhan lain rasa sakit di dada kiri yang kadang

menyebar ke bagian kanan. Keluhan lain ada rasa pegal di leher dan kesemutan di

tungkai atas sampai ke dua belah kaki. Keluhan ini sudah berlangsung sejak kurang

lebih 1 tahun yang lalu dan sudah mendapat pengobatan dari beberapa dokter.

Ditambahkan bahwa siklus menstruasi pasien normal.

Dari skenario di atas didapat pasien mengeluh tentang sakit pada tubuhnya

sendiri yang sangat banyak dan terkadang tidak masuk akal. Para dokter pun

berusaha mencari tahu penyakit pasien tersebut dengan menggali informasi sakit

1

Page 2: Makalah PBL Blok 22 Dwi Kartika A4

fisik yang dideritanya, dan juga mencoba perbagai pemeriksaan penunjang baik yang

sederhana hingga yang canggih untuk mengetahui penyebab sakit pasien itu. Tapi

alhasil semua itu tak ada gunanya. Dalam hal ini terlihat bahwa masih banyak dokter

yang lebih terfokus pada faktor fisik. Hal tersebut membuat penanganan pasien

terkadang tidak menyentuh sisi kejiwaannya. Sisi kejiwaan dianggap sebagai bagian

yang tidak ada hubungannya dalam proses terapi pasien dengan gangguan medis.

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai penyakit yang berhubungan

dengan kejiwaan, terutama penyakit yang ada di kasus yang mengeluh banyak sakit

fisik yang tidak masuk akal, sering disebut psikosomatik. Dalam hal ini,

psikosomatik sangat banyak jenisnya salah satunya gangguan somatisasi.

Pembahasan

Anamnesis

Anamnesis adalah pemeriksaan pertama yang bertujuan untuk mendapatkan

informasi dari pasien. Anamnesis sangat penting, harus dilakukan dengan cermat

agar informasi yang didapatkan cukup untuk menegakkan diagnosis dan diagnosis

banding nya. Serta terapi apa yang diperlukan untuk pasien. Untuk kasus kejiwaan

sendiri, anamnesis ini dinamakan wawancara psikiatrik yang merupakan wadah

utama pemeriksaan psikiatrik. Agar wawancara dapat menghasilkan data yang dapat

diandalkan hendaknya senantiasa diusahakan untuk menciptakan dan memelihara

hubungan yang optimal anatara dokter dan pasien. Pemeriksa membuka percakapan

dengan perkenalan yang dilanjutkan dengan pengambilan anamnesis yang terdiri atas

keluhan utama, hal mengenai penyakit saat ini, riwayat lampau, riwayat keluarga.

Anamnesis diambil dari pasien sendiri dan dapat dilakukan allo-anamnesis kepada

keluarga, teman dan orang-orang sekitar yang berhubungan langsung dengan pasien.

1. Data pribadi

Berupa nama, alamat, umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan,

pekerjaan, bahasa, suku bangsa dan agama. Catat pula tempat dan situasi saat

dilakukan wawancara terhadap pasien sumber informasi dan apakah gangguan yang

dialami pasien adalah gangguan yang pertama kali dialami pasien. Tanyakan atau

perlu diketahui apakah pasien datang sendiri dibawa oleh anggota keluarga atau

dikonsultasikan oleh sejawat.

2

Page 3: Makalah PBL Blok 22 Dwi Kartika A4

2. Keluhan utama

Tanyakan keluhan yang membuat pasien datang berobat. “gangguan

kesehatan apa yang saudara alami?”. Pada umumnya pertanyaan ini dapat memacu

pasien untuk bercakap bebas yang menghasilkan keterangan yang jauh lebih

bermakna. Keluhan utama dapat bersifat kabur seperti: “perasaan tegang, ragu,

firasat yang aneh” Seringkali pasien menggunakan sejumlah gejala somatik, sakit

kepala, sakit pinggang, mual, muntah, sesak nafas.

3. Riwayat penyakit sekarang

Gambaran tentang awal dan perkembangan penyakitnya, riwayat keluhannya

sekarang secara kronologis dan menyeluruh. Perlu pula dinilai faktor lingkungan

hidup menjelang awal gejala/perubahan perilaku, latar belakang kepribadian.

Dapatkan data mengenai dampak gangguan terhadap kehidupan pasien sekarang,

sifat disfungsinya. Eksplorasi pula kemungkinan adanya gejala psikofisiologis,

kaitan timbal balik antara gejala atau faktor psikologis dan gejala fisik, serta

kecemasan dan sifatnya.1

4. Riwayat penyakit Dahulu

Tanyakan kejadian yang pernah dialami pasien dari lingkungan luar maupun

dalam dirinya dan reaksi-reaksi terhadapnya. Tanyakan penyakit yang diderita

sebelumnya

5. Riwayat Keluarga

Tanyakan apakah keluarga pasien ada yang mengalami keluhan yang sama.

Bagaimana hubungan pasien dengan anggota keluarga.

Pemeriksaan Fisik

Dari anamnesis dapat diperoleh hal-hal tertentu yang perlu diperiksa secara

khusus atau lebih mendalam pada pemeriksaan fisik, status mentalis, laboratorium,

radiologik, evaluasi psikologik, dan lainnya. Pemeriksaan fisik yang pertama harus

dilakukan adalah melihat keadaan umum pasien sejak pertama datang sampai selesai

anamesis. Setelah keadaan umum terlihat, lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital

yaitu memeriksa: suhu, tekanan nadi, tekanan darah dan pernafasan pasien.

Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan lanjut antara lain: inspeksi, palpasi, dan

auskultasi (jika dibutuhkan).2

o Penampilan umum. Kesan keseluruhan pasien bagaimana, apakah pasien

terlihat rapi atau lusuh; apakah sikapnya tegang, santai, kaku, tak peduli;

3

Page 4: Makalah PBL Blok 22 Dwi Kartika A4

apakah ia banyak bicara atau sedikit; nada suara lembut atau keras, terbata-

bata atau lancar. Pasien psikotik dapat berpenampilan berantakan dan aneh

dengan posisi janggal (terutama katatonik) dan menyeringai. Beberapa pasien

paranoid dapat tampak bermusuhan dan curiga, pasien depresi bisa hampir

tidak bicara dan memperlihatkan retardasi psikomotor. Kegelisahan dapat

menunjukkan adanya ansietas, menarik diri, maniak, dll.2

o Kesadaran. Nilai kesadaran pasien, yakni compos mentis, kesadaran

menurun, sopor, somnolen, koma (ketidaksadaran berat, pasien sama sekali

tidak memberikan respon terhadap stimuli), koma vigil (keadaan koma tetapi

mata tetap terbuka), kesadaran berkabut (kesadaran menurun yang disertai

dengan gangguan persepsi dan sikap), delirium (kesadaran menurun disertai

bingung, gelisah, takut, & halusinasi, penderita menjadi tidak dapat diam).

Dan ada juga yang dinamakan Twilight state (dreamy state) yakni kesadaran

menurun disertai dengan halusinasi, biasanya terjadi pada epilepsi.2

Pemeriksaan penunjang juga tetap dilakukan untuk menyingkirkan penyebab

organik3, seperti melakukan pemeriksaan darah rutin, urinalisasi dan EEG. Selain

itu, melakukan penunjang yang berkaitan dengan keluhan pasien, seperti didapat

pasien mengeluh nyeri dada kiri yang menjalar ke kanan, kita pasti mencurigai

pasien mengalami penyakit jantung, jadi kita perlu melakukan EKG, echocardiografi

dan alat canggih lainnya. Perlu diingat, pasien dengan gangguan somatisasi memiliki

resiko yang sama untuk mengalami gangguan fisik yang baru seperti orang lain.

Semua pasien harus diperiksa dan dilakukan pemeriksaan penunjang jika mereka

memiliki suatu penyakit baru.3

Pemeriksaan psikiatrik lengkap berbeda dari pemeriksaan medik umum,

dalam hal perhatian khusus yang diarahkan pada manifestasi fungsi mental,

emosional dan perilaku. Pemeriksaan dilakukan untuk menyusun laporan tentang

keadaan psikologik dan psikopatologik pasien.kerangka umum pemeriksaan lengkap

terdiri atas:

1. Pemeriksaan tidak langsung (indirect examination)

- Anamnesis-keluhan tentang gangguan sekarang dan laporan pasien

mengenai perkembangan tentang keluhannya itu, serta riwayat situasi

hidup pasien.

- Keterangan mnegenai pasien yang diperoleh dari pihak keluarga atau

orang yang mengenalnya.

4

Page 5: Makalah PBL Blok 22 Dwi Kartika A4

2. Pemeriksaan langsung (direct examination)

- Pemeriksaan fisik terutama status internus dan neurologic

- Pemeriksaan khusus psikik: penampilan umum, bidang emosi, bidang

pikiran/ideasi, bidang motorik/perilaku.

3. Pemeriksaan tambahan, yang dilakukan apabila ada tambahan khusus untuk

melaksanakan pemeriksaan itu seperti uji psikologik, elektroensefalografi,

foto sinar tembus, CT scan, pemeriksaan zat kimia tubuh seperti hormon, dll.

Inti prosedur pemeriksaan psikiatrik adalah pemeriksaan khusus psikik

(penampilan umum, bidang emosi-afek, pikiran ideasi, motorik perilaku) selanjutnya

evaluasi data yang diperoleh harus dibuat dalam konteks keseluruhan data yang

dihasilkan dari pemeriksaan lengkap.

Data khusus psikiatrik yang dihasilkan dari suatu pemeriksaan psikiatrik

adalah data perihal fungsi kejiwaan, yang diperoleh melalui observasi penampilan

dan perilaku pasien, pengamatan interaksi antara dokter dan pasien, pengamatan

interaksi antara pasien dan lingkungannya, dan pemahaman humanistiksang dokter

mengenai pasien. “alat pemeriksaan” psikiatrik adalah kepribadian dokter sendiri.

Pemeriksaan ini diarahkan dan data diungkapkan dalam pembicaraan antara dokter

dan pasien, yang disebut wawancara psikiatrik.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang juga tetap dilakukan untuk menyingkirkan penyebab

organik3, seperti melakukan pemeriksaan darah rutin, urinalisasi dan EEG. Selain

itu, melakukan penunjang yang berkaitan dengan keluhan pasien, seperti didapat

pasien mengeluh nyeri dada kiri yang menjalar ke kanan, kita pasti mencurigai

pasien mengalami penyakit jantung, jadi kita perlu melakukan EKG, echocardiografi

dan alat canggih lainnya. Perlu diingat, pasien dengan gangguan somatisasi memiliki

resiko yang sama untuk mengalami gangguan fisik yang baru seperti orang lain.

Semua pasien harus diperiksa dan dilakukan pemeriksaan penunjang jika mereka

memiliki suatu penyakit baru.3

Diagnosis Kerja

Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang

ditandai oleh banyaknya keluhan fisik/gejala somatik yang mengenai banyak sistem

5

Page 6: Makalah PBL Blok 22 Dwi Kartika A4

organ yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan

laboratorium.

Gangguan somatisasi dibedakan dari gangguan somatoform lainnya karena

banyaknya keluhan dan melibatkan sistem organ yang multiple (sebagai contoh,

gastrointestinal dan neurologis). Gangguan ini bersifat kronis dengan gejala

ditemukan selama beberapa tahun dan dimulai sebelum usia 30 tahun dan disertai

dengan penderitaan psikologis yang bermakna, gangguan fungsi sosial dan

pekerjaan, dan perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan

Keluhan yang paling sering biasanya berhubungan dengan sistem organ

gastrointestinal (perasaan sakit, kembung, bertahak, mual dan muntah) dan keluhan

pada kulit seperti rasa gatal, terbakar, kesemutan, baal dan pedih. Pasien juga sering

mengeluhkan rasa sakit di berbagai organ atau sistem tubuh, misalnya nyeri kepala,

punggung, persendian, tulang belakang, dada atau nyeri saat berhubungan badan.

Kadang juga terdapat keluhan disfungsi seksual dan gangguan haid.

Diagnosis Banding

Klinis harus selalu menyingkirkan keadaan medis nonpsikiatri yang dapat

menjelaskan gejala pasien. Sejumlah gangguan medis sering menunjukkan kelainan

yang sementara dan nonspesifik pada kelompok usia yang sama. Awitan berbagai

gejala somatik pada pasien yang berusi lebih dari 40 tahun harus dianggap

disebabkan oleh keadaan medis nonpsikiatri sampai pemeriksaan medis yang

mendalam telah dilengkapi.4

Banyak gangguan jiwa dipertimbangkan dalam diagnosis banding yang

dipersulit pengamatan bahwa sedikitnya 50 persen pasien dengan gangguan

somatisasi juga memiliki gangguan jiwa lain bersamaan. Pasien dengan gangguan

depresi berat, gangguan anxietas menyeluruh atau psikosis semuanya dapat memiliki

keluhan awal yang berpusat pada gejala somatik.4

1. Hipokondriasis

Hipokondriasis adalah keterpakuan (PREOKUPASI) pada ketakutan

menderita, atau keyakinan bahwa seseorang memiliki penyakit medis yang

serius, meski tidak ada dasar medis untuk keluhan yang dapat ditemukan.

Berbeda dengan gangguan somatisasi dimana pasien biasanya meminta

pengobatan terhadap penyakitnya yang seringkali menyebabkan terjadinya

penyalahgunaan obat, maka pada gangguan hipokondrik pasien malah takut

6

Page 7: Makalah PBL Blok 22 Dwi Kartika A4

untuk makan obat karena dikira dapat menambah keparahan dari sakitnya.1,4 Ciri

utama dari hipokondriasis adalah fokus atau ketakutan bahwa simtom fisik yang

dialami seseorang merupakan akibat dari suatu penyakit serius yang

mendasarinya, seperti kanker atau masalah jantung. Rasa takut tetap ada

meskipun telah diyakinkan secara medis bahwa ketakutan itu tidak berdasar.

Gangguan ini paling sering muncul antara usia 20 dan 30 tahun, meski dapat

terjadi di usia berapa pun.1,4

Orang dengan hipokondriasis tidak secara sadar berpura-pura akan

simptom fisiknya. Mereka umumnya mengalami ketidaknyamanan fisik,

seringkali melibatkan sistem pencernaan atau campuran antara rasa sakit dan

nyeri. Berbeda dengan gangguan konversi yang biasanya ditemukan sikap

ketidakpedulian terhadap simtom yang muncul, orang dengan hipokondriasis

sangat peduli, bahkan benar-benar terlalu peduli pada simtom dan hal-hal yang

mungkin mewakili apa yang ia takutkan. Pada gangguan ini, orang menjadi

sangat sensitif terhadap perubahan ringan dalam sensasi fisik, seperti sedikit

perubahan dalam detak jantung dan sedikit sakit serta nyeri. Padahal kecemasan

akan simtom fisik dapat menimbulkan sensasi fisik itu sendiri, misalnya keringat

berlebihan dan pusing, bahkan pingsan. Mereka memiliki lebih lanjut

kekhawatiran akan kesehatan, lebih banyak simtom psikiatrik, dan

memersepsikan kesehatan yang lebih buruk daripada orang lain. Sebagian besar

juga memiliki gangguan psikologis lain, terutama depresi mayor dan gangguan

kecemasan.4

2. Gangguan depresi

Gangguan depresi merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia

yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dengan gejala penyerta

termasuk perubahan pola tidur, nafsu makan, psikomotor, konsentrasi,

anhedonia, kelelahan, rasa putus asa, tak berdaya dan gagasan bunuh diri. Dasar

umum untuk gangguan depresi berat tidak diketahui, tetapi diduga faktor-faktor

dibawah ini berperan:

Faktor Biologis. Data yang dilaporkan paling konsisten dengan hipotesis

bahwa gangguan depresi berat adalah berhubungan dengan disregulasi pada

amin biogenik (norepineprin dan serotonin). Penurunan serotonin dapat

mencetuskan depresi dan pada beberapa pasien yang bunuh diri memiliki

konsentrasi metabolik serotonin di dalam cairan serebrospinal yang rendah serta

7

Page 8: Makalah PBL Blok 22 Dwi Kartika A4

konsentrasi tempat ambilan serotonin yang rendah di trombosit. Faktor

neurokimiawi lain seperti adenylate cyclase, phospotidylinositol dan regulasi

kalsium mungkin juga memiliki relevansi penyebab. Kelainan pada

neuroendokrin utama yang menarik perhatian dalam adalah sumbu adrenal,

tiroid dan hormon pertumbuhan. Neuroendokrin yang lain yakni penurunan

sekresi nokturnal melantonin, penurunan pelepasan prolaktin karena pemberian

tryptopan, penurunan kadar dasar folikel stimulating hormon (FSH), luteinizing

hormon (LH) dan penurunan kadar testoteron pada laki-laki.7

Faktor Genetika. Data genetik menyatakan bahwa sanak saudara derajat

pertama dari penderita gangguan depresi berat kemungkinan 1,5 sampai 2,5 kali

lebih besar daripada sanak saudara derajat pertama subyek kontrol untuk

penderita gangguan. Penelitian terhadap anak kembar menunjukkan angka

kesesuaian pada kembar monozigotik adalah kira-kira 50 %, sedangkan pada

kembar dizigotik mencapai 10 sampai 25 %.7

Faktor psikososial. Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan, suatu

pengamatan klinis yang telah lama direplikasi bahwa peristiwa kehidupan yang

menyebabkan stress lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood

daripada episode selanjutnya, hubungan tersebut telah dilaporkan untuk pasien

dengan gangguan depresi berat. Data yang paling mendukung menyatakan

bahwa peristiwa kehidupan paling berhubungan dengan perkembangan depresi

selanjutnya adalah kehilangan orang tua sebelum usia 11 tahun. Stressor

lingkungan yang paling berhubungan dengan onset satu episode depresi adalah

kehilangan pasangan. Beberapa artikel teoritik dan dari banyak laporan,

mempermasalahkan hubungan fungsi keluarga dan onset dalam perjalanan

gangguan depresi berat. Selain itu, derajat psikopatologi didalam keluarga

mungkin mempengaruhi kecepatan pemulihan, kembalinya gejala dan

penyesuaian pasca pemulihan.7

3. Gangguan cemas panik

Gangguan cemas panik merupakan kondisi gangguan ditandai dengan

kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan dan tidak rasional bahkan

terkadang tidak realistic terhadap berbagai peristiwa sehari-hari. Kecemasan

yang dirasakan sulit untuk dikendalikan dan berhubungan dengan gejala-gejala

somatic seperti tegang otot, iritabilitas, kesulitan tidur, kegelisahan, sehingga

menimbulkan penderitaan yang bermakna dalam fungsi sosial dan pekerjaan.

8

Page 9: Makalah PBL Blok 22 Dwi Kartika A4

Gambaran klinis kecemasan sifat berlebihan dan mempengaruhi aspek

kehidupan pasien. Ketegangan motorik bermanifestasi sebagai gemetaran,

kelehan, sakit kepala. Hiperaktivitas otonom timbul pernapasan pendek,

berkeringat, palpitasi, disertai gejala gangguan pencernaan. Pasien datang

kedokter umum dengan keluhan somatic atau karena gelisah spesifik seperti

diare kronik. Kriteria diagnostic cemas menurut DSM IV-TR: Kecemasan atau

kekhawatiran timbul berlebihan hamper setiap hari dan terjadi sekurangnya 6

bulan penderita sulit mengendalikan kekhawatirannya. Kecemasan dan

khawatirnya disertai 3 atau lebih dari 6 gejala berikut: kegelisahan; merasa

mudah lelah; sulit berkonsentrasi dan pikiran jadi kosong; iritabilitas;

ketegangan otot; gangguan tidur.8

Etologi

Ada beberapa stesor yang berperan terhapad terjadinya gangguan pada pasien

somatosasi antara lain psikososial, biologis dan genetik. Pembahasan pertama akan

dimuali dengan:

Faktor psikososial. Formulasi psikososial melibatkan interpretasi gejala sebagai

komunikasi sosial, akibatnya adalah menghindari kewajiban (contohnya harus pergi

ketempat kerja yang tidak disukai), mengekspresikan emosi (contohnya marah

kepada pasangan), atau menyimbolkan perasaan atau keyakinan (contohnya nyeri

diusus). Interpretasi gejala psikoanalitik yang kaku bertumpu pada hipotesis bahwa

gejala-gejala tersebut menggantikan implus berdasarkan insting yang ditekan.

Perseptif perilaku pada gangguan somatisasi menekankan bahwa pengajaran orang

tua (contoh dari orang tua dan adat istiadat) dapat mengajari anak-anak untuk lebih

melakukan somatisasi daripada orang lain. Daripada itu pasien dengan gangguan

somatisasi datang dari keluarga yang tidak stabil dan mengalami penyiksaan fisik.2

Faktor biologis dan genetik. Sejumlah studi mengemukakan bahwa pasien

memiliki perhatian yang khas dan hendaya kognitif yang menghasilkan persepsi dan

penilaian input somatosensoris yang salah. Hendaya ini mencangkup perhatian yang

teralihkan, ketidakmampuan habituasi stimulus berulang, pengelompokkan

konstruksi kognitif dengan dasar impresionistik, hubungan parsial dan sirkumparsial,

serta kurangnya selektivitas, seperti yang ditunjukkan sejumlah studi potensial.

Sejumlah studi pencitraan otak melaporkan adanya penurunan metabolisme lobus

frontal dan hemisfer nondominan.

9

Page 10: Makalah PBL Blok 22 Dwi Kartika A4

Data genetik menunjukan bahwa gangguan somatisasi dapat memiliki

komponen genetik. Gangguan somatisasi cenderung menurun didalam keluarga dan

terjadi pada 10 hingga 20 persen kerabat perempuan derajat pertama pasien dengan

gangguan somatisasi. Di dalam kelurga ini, kerabat laki-laki derajat pertama rentan

terhadap penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial. Satu studi

melaporkan bahwa angka kejadian bersama 29 persen pada kembar monozigot dan

10 persen pada kembar dizigot, menunjukan adanya efek genetik.

Sitokin adalah molekul pembawa pesan yang digunakan sistem imun untuk

berkomunikasi didalam dirinya dan dengan sistem saraf termasuk otak. Salah satu

contoh dari sitokin adalah interleukin, faktor nekrosis tumor dan interferon.

Beberapa percobaan pendahuluan menunjukkan bahwa sitokin dapat berperan

menyebabkan sejumlah gejala nonspesifik penyakit, terutama infeksi seperti

hipersomnia, anoreksia, lelah dan depresi. Walaupun belum ada data yang

menyokong hipotesis, pengaturan abnormal sistem sitokin dapat mengakibatkan

sejumlah gejala yang ditemukan pada gangguan somatoform.

DSM-IV telah memperbaiki reliabilitas diagnosis (kemungkinan orang yang

berbeda akan membuat diagnosis yang sama pada pasien yang sama), tetapi hanya

mempunyai dampak yang sederhana terhadap validitas (kepastian diagnosis

mengidentifikasi kondisi tertentu yang bermakna). Hal ini boleh jadi karena DSM-IV

telah memecah kondisi yang sah. Ingat juga bahwa DSM-IV tidak membuat dugaan

akan akan menyebabkan gangguan (DSM-IV hanya mendeskripsikan dan

mengelompokkan), dan dalam kebanyakkan kasus etiologinya tidak diketahui.4

Epidemiologi

Prevalensi seumur hidup gangguan somatisasi dalam populasi umum

diperkirakan 0,1 sampai 0,2 persen walaupun beberapa kelompok riset yakin bahwa

angka sebenarnya dapat lebih mendekati0,5 persen. Perempuan dengan gangguan

somatisasi jumlahnya melebihi laki-laki 5 hingga 20 kali tapi angka ini masih dalam

perkiraan (rasio perempuan berbanding dengan laki-laki 5:1). Gangguan ini

berbanding terbalik dengan posisi sosial dan terjadi paling sering pada pasien yang

memiliki sedikit edukasi dan tingkat pendapatan yang rendah. Gangguan somatisasi

didefinisikan dimulai pada sebelum usia 30 tahun dan paling sering dimulai pada

usia remaja.

10

Page 11: Makalah PBL Blok 22 Dwi Kartika A4

Manifestasi / Gambaran Klinis

Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatik dan

riwayat medik yang panjang dan rumit. Gejala-gejala umum yang sering dikeluhkan

adalah mual, muntah (bukan karena kehamilan), sulit menelan, sakit pada lengan dan

tungkai, nafas pendek (bukan pada olahraga), amnesia, komplikasi kehamilan dan

menstruasi adalah gejala yang lazim ditemui. Seringkali pasien beranggapan dirinya

menderita sakit sepanjang hidupnya. Gejala pseudoneurologik sering dianggap

gangguan neurologic namun tidak patognomonik. Misalnya gangguan koordinasi

atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan lokal, sulit menelan atau merasa ada

gumpalan ditenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi raba atau

sakit, penglihatan kabur, buta, tuli, bangkitan atau kehilangan kesadaran bukan

karena pingsan.1,4

Selama perjalanan penyakit,  penderita gangguan somatisasi mengeluhkan

sekurang-kurangnya empat gejala nyeri yaitu dua gejala gastrointestinal, satu gejala

seksual dan satu gejala neurologis yang tidak dapat dijelaskan melalui pemeriksaan

fisik dan laboratorium.1,4

Penderitaan psikologik dan masalah interpersonal menonjol, dengan cemas

dan depresi merupakan gejala psikiatri yang paling sering muncul. Ancaman sering

bunuh diri sering dilakukan, namun bunuh diri aktual sangat jarang. Biasanya pasien

mengungkapkan keluhannya secara dramatik, dengan muatan emosi dan berlebihan.

Pasien-pasien ini biasanya tampak mandiri, terpusat pada dirinya, haus penghargaan

dan pujian, dan manipulatif.1,4

Diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM IV TR memberi syarat awitan

gejala sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, keluhan pasien harus

memenuhi minimal 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1

gejala pseudoneurologik, serta tak satupun dapat dijelaskan melalui pemeriksaan

fisik dan laboratorik. Berikut kriteria diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM

IV TR. 4

a) Riwayat banyak keluhan fisik, yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang

terjadi selama periode lebih dari beberapa tahun dan menyebabkan

pencarian pengobatan atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan dan

fungsi enting lainnya.4

11

Page 12: Makalah PBL Blok 22 Dwi Kartika A4

b) Kombinasi dari gejala-gejala yang tidak terjelaskan, yang terjadi

kapanpun selama perjalanan dari gangguan, yang semuanya harus

dipenuhi. Gejala-gejala yang dimaksud antara lain 1,4,5:

i. 4 gejala nyeri (melibatkan minimal 4 lokasi atau fungsi yang

berbeda meliputi kepala dan leher, abdomen, punggung, sendi,

ekstremitas, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan

seksual, dan saat berkemih)

ii. 2 gejala gastrointestinal selain nyeri (meliputi mual, kembung,

muntah, diare, dan intoleransi makanan)

iii.Satu gejala seksual (kehilangan keinginan seksual, disfungsi

seksual, mens ireguler, perdarahan mens yang berlebihan, muntah-

muntah selama hamil)

iv.Satu gejala pseudoneurologik yang bukan nyeri (meliputi

gangguan keseimbangan, kelemahan, kesulitan menelan, afonia,

retensi urin, halusinasi,kehilagan sensasi sakit dan raba,

pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang, disosiasi, dan

kehilangan kesadaran)

c) Salah satu dari: 1. Setelah penelusuran yang sesuai, tiap gejala pada

kriteria B tak dapat sepenuhnya dijelaskan sebagai akibat kondisi medik

umum atau merupakan efek langsung dari zat, karena medikasi) 2.

Apabila terdapat kondisi medik umum yang terkait, keluhan fisik atau

hendaya sosial atau pekerjaan yang diakibatkannya melebihi daripada

yang diharapkan berdasarkan riwayat, penemuan fisik dan laboratorium

d) Gejala-gejalanya tidak dibuat secara sengaja atau berpura-pura.

Diagnosis gangguan somatisasi menurut PPDGJ III. F45.0 pedoman

diagnostik. Diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut5:

a) Adanya keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat

dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik yang sudah belangsung sedikitnya

2 tahun.

b) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa

tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya.

Terdapat disabilitas dalam fungsinya dimasyarakat dan keluarga yang

berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya yang tampak dari perilakunya.

12

Page 13: Makalah PBL Blok 22 Dwi Kartika A4

Penatalaksanaan

Pasien dengan gangguan somatisasi paling baik diobati jika mereka memiliki

seorang dokter tunggal sebagai perawat kesehatan umumnya. Klinisi primer harus

memeriksa pasien selama kunjungan terjadwal yang teratur, biasanya dengan interval

satu bulan. Jika gangguan somatisasi telah didiagnosis, dokter yang mengobati

pasien harus mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi emosional, bukannya

sebagai keluhan medis. Tetapi, pasien dengan gangguan somatisasi dapat juga

memiliki penyakit fisik, karena itu dokter harus mempertimbangkan gejala mana

yang perlu diperiksa dan sampai sejauh mana.1,4

Strategi luas yang baik bagi dokter perawatan primer adalah meningkatkan

kesadaran pasien tentang kemungkinan bahwa faktor psikologis terlibat dalam gejala

penyakit. Psikoterapi dilakukan baik individual dan kelompok. Dalam lingkungan

psikoterapetik, pasien dibantu untuk mengatasi gejalanya, untuk mengekspresikan

emosi yang mendasari dan untuk mengembangkan strategi alternatif untuk

mengekspresikan perasaan mereka. 1,4

Pengobatan psikofarmakologis diindikasikan bila gangguan somatisasi

disertai dengan gangguan penyerta (misalnya: gangguan mood, gangguan depresi

yang nyata, gangguan anxietas. Medikasi harus dimonitor karena pasien dengan

gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat secara berlebihan dan tidak dapat

dipercaya.

Farmakoterapi

Gangguan paling sering dialami oleh pasien dengan keluhan somatik adalah

gangguan panik dan gangguan cemas menyeluruh. Hampir semua gejala

kecemasan melibatkan sistem saraf otonom sehingga menimbulkan gejala

khas, seperti palpitasi, nafas pendek, mual atau perasaan tidak nyaman di

perut, serta mulut kering. Hal tersebut yang membuat dokter memberikan

obat anti cemas golongan benzodiazepin ketika menemukan kasus keluhan

somatik di tempat praktiknya.6

a) Obat golongan benzodiazepine

Sangat efektif mengatasi cemas. Efeknya yang beragam tergantung jenis

obat. Namun, penggunaan obat tersebut banyak menimbulkan

penyalahgunaan, toleransi, dan ketergantungan. Hal itu disebabkan oleh

penggunaan benzodiazepin dalam jangka waktu panjang, tanpa dosis

yang tepat dan tanpa pengawasan dokter. Beberapa obat golongan

13

Page 14: Makalah PBL Blok 22 Dwi Kartika A4

benzodiazepin yang sering digunakan dalam pengobatan keluhan cemas

adalah alprazolam, clonazepam, lorazepam, dan diazepam. Alprazolam

dan clonazepam telah lama dipakai sebagai obat untuk gangguan panik

karena efektif dan cepat mengatasi gejala serangan panik. Dosis

alprazolam yang digunakan untuk pengobatan gangguan cemas panik

lebih besar daripada pengobatan gangguan cemas menyeluruh. Rentang

dosisyang biasa digunakan dalam praktik sehari-hari adalah 0,5 mg

sampai 1,5 mg untuk kondisi gangguan panik dengan dosis terbagi.6

b) Obat golongan trisiklik

Efektif untuk mengobati gangguan cemas panik. Imipramin adalah salah

satu obat dari golongan trisiklik yang merupakan pilihan utama. Namun,

obat tersebut sulit ditemukan selain harganya yang agak tinggi. Selain

imipramin, terdapat beberapa obat golongan trisoklik lain Amitriptilin

dapat digunakan dengan dosis antara 12,5-50 mg. Obat tersebut

merupakan antidepresan trisiklik yang sangat murah dan banyak terdapat

di pusat pelayanan primer di Indonesia.6

Prognosis

Perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik. Diagnosisnya

dtegakkan sebelum usia 25 tahun, namun gejala awal sudah dimuali saat remaja.

Masalah menstruasi biasanya merupakan keluhan paling dini yang muncul pada

wanita. Periode keluhan yang ringan berlangsung 9-12 bulan, sedangkan gejala yang

berat pengembangan dari keluhan-keluhan baru berlangsung selama 6-9 bulan.

Sebelum setahun biasanya pasien sudah mencari pertolongan medis. Adanya tekanan

peningkatan tekanan kehidupan mengakibatkan eksaserbasi gejala-gejala somatic.3,4

Prognosa jangka panjang untuk pasien gangguan somatisasi dubia ad malam,

dan biasanya diperlukan terapi sepanjang hidup. Pasien susah sembuh walau sudah

mengikuti pedoman pengobatan. Sering kali pada pasien wanita berakhir pada

percobaan bunuh diri. Bila somatisasi merupakan sebuah “topeng” atau gangguan

psikiatrik lain, prognosanya tergantung padaprognosis masalah primernya.

14

Page 15: Makalah PBL Blok 22 Dwi Kartika A4

Penutup

Kesimpulan

Gangguan somatisasi (somatization disorder) merupakan salah satu gangguan

somatoform spesifik yang ditandai oleh banyaknya keluhan fisik/gejala somatik yang

mengenai banyak sistem organ yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat

berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium, sehingga dalam terapinya sendiri,

pasien mesti punya dokter utama yang bisa mengekspresikan gejala somatiknya.

Artinya dokter harus menggunakan pendekatan biopsikososial dalam tata laksana

pasien walaupun bukan pasien dengan kondisi gangguan jiwa.

Daftar Pustaka

1. Hadisukanto G. Ganngguan somatoform. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G,

penyunting. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2010. h.265-80.

2. Tomb DA, Nasrun MWS, Tiara MN, editor. Buku saku psikiatri. Edisi 6.

Jakarta: EGC; 2003.h.8;14-8.

3. Hibbert A, Cendika R, Muttaqin H, editor. Rujukan cepat psikiatri. Jakarta:

EGC; 2008.h.100-1.

4. Sadock BJ, Tiara MN, Muttaqin H, editor. Kaplan & Sadock buku ajar psikiatri

klinis. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2010.h.268-80.

5. Maslim, R. Diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas PPDGJ-III. Jakarta:

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya; 2003.h.84.

6. Andri. Konsep biopsikososial pada keluhan psikosomatik. J Indon Med Assoc

September 2011; 61(9):377-79.

7. Ismail RI, Siste K. Gangguan depresi. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G,

penyunting. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2010. h.265-

79.209-19.

8. Redayani P. Gangguan cemas. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G, penyunting.

Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2010. h.231-33.

9. Elvira S, Kusumadewi I. Gangguan panik. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G,

penyunting. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2010. h.235-39.

15