Download - Makalah PBL Blok 22 Dwi Kartika A4
Faktor dan Gejala Klinis pada Gangguan Somatisasi
Dwi Kartika
A4
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk,Jakarta Barat. Telp. 021-56942061
AbstrakGangguan somatisasi adalah sekelompok gangguan kronis yang biasanya muncul pada usia remaja sebelum usia 30 tahun, dan ditandai oleh perilaku sakit dengan berbagai macam gejala fisik yang menganggu (contohnya gastrointestinal), dan berusaha mencari bantuan medis tetapi tidak dapat dijelaskan dengan adekuat melalui pemeriksaan fisik dan labolatorium.Kata kunci: Gangguan Somatisasi, Adekuat, Medis
AbstractSomatization disorder is a group of chronic disorders that usually appears during adolescence before the age of 30 years, and is characterized by pain behavior with a variety of physical symptoms that interfere (eg gastrointestinal), and seek medical assistance but can not be explained adequately by physical examination and laboratory.Keyword: Somatization Disorders, Adequate, Medical
Pendahuluan
Banyak pasien dirujuk ke rumah sakit untuk pemeriksaan gejala fisik ternyata
tidak memiliki gangguan fisik yang dapat dijelaskan gejalanya. Dalam skenario 7
dituliskan bahwa Seorang perempuan usia 51 tahun datang ke dokter dengan
keluhan-keluhan fisik, rasa tidak enak di perut, kembung, terasa naik ke atas
sehingga pasien merasa sesak, keluhan lain rasa sakit di dada kiri yang kadang
menyebar ke bagian kanan. Keluhan lain ada rasa pegal di leher dan kesemutan di
tungkai atas sampai ke dua belah kaki. Keluhan ini sudah berlangsung sejak kurang
lebih 1 tahun yang lalu dan sudah mendapat pengobatan dari beberapa dokter.
Ditambahkan bahwa siklus menstruasi pasien normal.
Dari skenario di atas didapat pasien mengeluh tentang sakit pada tubuhnya
sendiri yang sangat banyak dan terkadang tidak masuk akal. Para dokter pun
berusaha mencari tahu penyakit pasien tersebut dengan menggali informasi sakit
1
fisik yang dideritanya, dan juga mencoba perbagai pemeriksaan penunjang baik yang
sederhana hingga yang canggih untuk mengetahui penyebab sakit pasien itu. Tapi
alhasil semua itu tak ada gunanya. Dalam hal ini terlihat bahwa masih banyak dokter
yang lebih terfokus pada faktor fisik. Hal tersebut membuat penanganan pasien
terkadang tidak menyentuh sisi kejiwaannya. Sisi kejiwaan dianggap sebagai bagian
yang tidak ada hubungannya dalam proses terapi pasien dengan gangguan medis.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai penyakit yang berhubungan
dengan kejiwaan, terutama penyakit yang ada di kasus yang mengeluh banyak sakit
fisik yang tidak masuk akal, sering disebut psikosomatik. Dalam hal ini,
psikosomatik sangat banyak jenisnya salah satunya gangguan somatisasi.
Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis adalah pemeriksaan pertama yang bertujuan untuk mendapatkan
informasi dari pasien. Anamnesis sangat penting, harus dilakukan dengan cermat
agar informasi yang didapatkan cukup untuk menegakkan diagnosis dan diagnosis
banding nya. Serta terapi apa yang diperlukan untuk pasien. Untuk kasus kejiwaan
sendiri, anamnesis ini dinamakan wawancara psikiatrik yang merupakan wadah
utama pemeriksaan psikiatrik. Agar wawancara dapat menghasilkan data yang dapat
diandalkan hendaknya senantiasa diusahakan untuk menciptakan dan memelihara
hubungan yang optimal anatara dokter dan pasien. Pemeriksa membuka percakapan
dengan perkenalan yang dilanjutkan dengan pengambilan anamnesis yang terdiri atas
keluhan utama, hal mengenai penyakit saat ini, riwayat lampau, riwayat keluarga.
Anamnesis diambil dari pasien sendiri dan dapat dilakukan allo-anamnesis kepada
keluarga, teman dan orang-orang sekitar yang berhubungan langsung dengan pasien.
1. Data pribadi
Berupa nama, alamat, umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan,
pekerjaan, bahasa, suku bangsa dan agama. Catat pula tempat dan situasi saat
dilakukan wawancara terhadap pasien sumber informasi dan apakah gangguan yang
dialami pasien adalah gangguan yang pertama kali dialami pasien. Tanyakan atau
perlu diketahui apakah pasien datang sendiri dibawa oleh anggota keluarga atau
dikonsultasikan oleh sejawat.
2
2. Keluhan utama
Tanyakan keluhan yang membuat pasien datang berobat. “gangguan
kesehatan apa yang saudara alami?”. Pada umumnya pertanyaan ini dapat memacu
pasien untuk bercakap bebas yang menghasilkan keterangan yang jauh lebih
bermakna. Keluhan utama dapat bersifat kabur seperti: “perasaan tegang, ragu,
firasat yang aneh” Seringkali pasien menggunakan sejumlah gejala somatik, sakit
kepala, sakit pinggang, mual, muntah, sesak nafas.
3. Riwayat penyakit sekarang
Gambaran tentang awal dan perkembangan penyakitnya, riwayat keluhannya
sekarang secara kronologis dan menyeluruh. Perlu pula dinilai faktor lingkungan
hidup menjelang awal gejala/perubahan perilaku, latar belakang kepribadian.
Dapatkan data mengenai dampak gangguan terhadap kehidupan pasien sekarang,
sifat disfungsinya. Eksplorasi pula kemungkinan adanya gejala psikofisiologis,
kaitan timbal balik antara gejala atau faktor psikologis dan gejala fisik, serta
kecemasan dan sifatnya.1
4. Riwayat penyakit Dahulu
Tanyakan kejadian yang pernah dialami pasien dari lingkungan luar maupun
dalam dirinya dan reaksi-reaksi terhadapnya. Tanyakan penyakit yang diderita
sebelumnya
5. Riwayat Keluarga
Tanyakan apakah keluarga pasien ada yang mengalami keluhan yang sama.
Bagaimana hubungan pasien dengan anggota keluarga.
Pemeriksaan Fisik
Dari anamnesis dapat diperoleh hal-hal tertentu yang perlu diperiksa secara
khusus atau lebih mendalam pada pemeriksaan fisik, status mentalis, laboratorium,
radiologik, evaluasi psikologik, dan lainnya. Pemeriksaan fisik yang pertama harus
dilakukan adalah melihat keadaan umum pasien sejak pertama datang sampai selesai
anamesis. Setelah keadaan umum terlihat, lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital
yaitu memeriksa: suhu, tekanan nadi, tekanan darah dan pernafasan pasien.
Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan lanjut antara lain: inspeksi, palpasi, dan
auskultasi (jika dibutuhkan).2
o Penampilan umum. Kesan keseluruhan pasien bagaimana, apakah pasien
terlihat rapi atau lusuh; apakah sikapnya tegang, santai, kaku, tak peduli;
3
apakah ia banyak bicara atau sedikit; nada suara lembut atau keras, terbata-
bata atau lancar. Pasien psikotik dapat berpenampilan berantakan dan aneh
dengan posisi janggal (terutama katatonik) dan menyeringai. Beberapa pasien
paranoid dapat tampak bermusuhan dan curiga, pasien depresi bisa hampir
tidak bicara dan memperlihatkan retardasi psikomotor. Kegelisahan dapat
menunjukkan adanya ansietas, menarik diri, maniak, dll.2
o Kesadaran. Nilai kesadaran pasien, yakni compos mentis, kesadaran
menurun, sopor, somnolen, koma (ketidaksadaran berat, pasien sama sekali
tidak memberikan respon terhadap stimuli), koma vigil (keadaan koma tetapi
mata tetap terbuka), kesadaran berkabut (kesadaran menurun yang disertai
dengan gangguan persepsi dan sikap), delirium (kesadaran menurun disertai
bingung, gelisah, takut, & halusinasi, penderita menjadi tidak dapat diam).
Dan ada juga yang dinamakan Twilight state (dreamy state) yakni kesadaran
menurun disertai dengan halusinasi, biasanya terjadi pada epilepsi.2
Pemeriksaan penunjang juga tetap dilakukan untuk menyingkirkan penyebab
organik3, seperti melakukan pemeriksaan darah rutin, urinalisasi dan EEG. Selain
itu, melakukan penunjang yang berkaitan dengan keluhan pasien, seperti didapat
pasien mengeluh nyeri dada kiri yang menjalar ke kanan, kita pasti mencurigai
pasien mengalami penyakit jantung, jadi kita perlu melakukan EKG, echocardiografi
dan alat canggih lainnya. Perlu diingat, pasien dengan gangguan somatisasi memiliki
resiko yang sama untuk mengalami gangguan fisik yang baru seperti orang lain.
Semua pasien harus diperiksa dan dilakukan pemeriksaan penunjang jika mereka
memiliki suatu penyakit baru.3
Pemeriksaan psikiatrik lengkap berbeda dari pemeriksaan medik umum,
dalam hal perhatian khusus yang diarahkan pada manifestasi fungsi mental,
emosional dan perilaku. Pemeriksaan dilakukan untuk menyusun laporan tentang
keadaan psikologik dan psikopatologik pasien.kerangka umum pemeriksaan lengkap
terdiri atas:
1. Pemeriksaan tidak langsung (indirect examination)
- Anamnesis-keluhan tentang gangguan sekarang dan laporan pasien
mengenai perkembangan tentang keluhannya itu, serta riwayat situasi
hidup pasien.
- Keterangan mnegenai pasien yang diperoleh dari pihak keluarga atau
orang yang mengenalnya.
4
2. Pemeriksaan langsung (direct examination)
- Pemeriksaan fisik terutama status internus dan neurologic
- Pemeriksaan khusus psikik: penampilan umum, bidang emosi, bidang
pikiran/ideasi, bidang motorik/perilaku.
3. Pemeriksaan tambahan, yang dilakukan apabila ada tambahan khusus untuk
melaksanakan pemeriksaan itu seperti uji psikologik, elektroensefalografi,
foto sinar tembus, CT scan, pemeriksaan zat kimia tubuh seperti hormon, dll.
Inti prosedur pemeriksaan psikiatrik adalah pemeriksaan khusus psikik
(penampilan umum, bidang emosi-afek, pikiran ideasi, motorik perilaku) selanjutnya
evaluasi data yang diperoleh harus dibuat dalam konteks keseluruhan data yang
dihasilkan dari pemeriksaan lengkap.
Data khusus psikiatrik yang dihasilkan dari suatu pemeriksaan psikiatrik
adalah data perihal fungsi kejiwaan, yang diperoleh melalui observasi penampilan
dan perilaku pasien, pengamatan interaksi antara dokter dan pasien, pengamatan
interaksi antara pasien dan lingkungannya, dan pemahaman humanistiksang dokter
mengenai pasien. “alat pemeriksaan” psikiatrik adalah kepribadian dokter sendiri.
Pemeriksaan ini diarahkan dan data diungkapkan dalam pembicaraan antara dokter
dan pasien, yang disebut wawancara psikiatrik.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang juga tetap dilakukan untuk menyingkirkan penyebab
organik3, seperti melakukan pemeriksaan darah rutin, urinalisasi dan EEG. Selain
itu, melakukan penunjang yang berkaitan dengan keluhan pasien, seperti didapat
pasien mengeluh nyeri dada kiri yang menjalar ke kanan, kita pasti mencurigai
pasien mengalami penyakit jantung, jadi kita perlu melakukan EKG, echocardiografi
dan alat canggih lainnya. Perlu diingat, pasien dengan gangguan somatisasi memiliki
resiko yang sama untuk mengalami gangguan fisik yang baru seperti orang lain.
Semua pasien harus diperiksa dan dilakukan pemeriksaan penunjang jika mereka
memiliki suatu penyakit baru.3
Diagnosis Kerja
Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang
ditandai oleh banyaknya keluhan fisik/gejala somatik yang mengenai banyak sistem
5
organ yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan
laboratorium.
Gangguan somatisasi dibedakan dari gangguan somatoform lainnya karena
banyaknya keluhan dan melibatkan sistem organ yang multiple (sebagai contoh,
gastrointestinal dan neurologis). Gangguan ini bersifat kronis dengan gejala
ditemukan selama beberapa tahun dan dimulai sebelum usia 30 tahun dan disertai
dengan penderitaan psikologis yang bermakna, gangguan fungsi sosial dan
pekerjaan, dan perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan
Keluhan yang paling sering biasanya berhubungan dengan sistem organ
gastrointestinal (perasaan sakit, kembung, bertahak, mual dan muntah) dan keluhan
pada kulit seperti rasa gatal, terbakar, kesemutan, baal dan pedih. Pasien juga sering
mengeluhkan rasa sakit di berbagai organ atau sistem tubuh, misalnya nyeri kepala,
punggung, persendian, tulang belakang, dada atau nyeri saat berhubungan badan.
Kadang juga terdapat keluhan disfungsi seksual dan gangguan haid.
Diagnosis Banding
Klinis harus selalu menyingkirkan keadaan medis nonpsikiatri yang dapat
menjelaskan gejala pasien. Sejumlah gangguan medis sering menunjukkan kelainan
yang sementara dan nonspesifik pada kelompok usia yang sama. Awitan berbagai
gejala somatik pada pasien yang berusi lebih dari 40 tahun harus dianggap
disebabkan oleh keadaan medis nonpsikiatri sampai pemeriksaan medis yang
mendalam telah dilengkapi.4
Banyak gangguan jiwa dipertimbangkan dalam diagnosis banding yang
dipersulit pengamatan bahwa sedikitnya 50 persen pasien dengan gangguan
somatisasi juga memiliki gangguan jiwa lain bersamaan. Pasien dengan gangguan
depresi berat, gangguan anxietas menyeluruh atau psikosis semuanya dapat memiliki
keluhan awal yang berpusat pada gejala somatik.4
1. Hipokondriasis
Hipokondriasis adalah keterpakuan (PREOKUPASI) pada ketakutan
menderita, atau keyakinan bahwa seseorang memiliki penyakit medis yang
serius, meski tidak ada dasar medis untuk keluhan yang dapat ditemukan.
Berbeda dengan gangguan somatisasi dimana pasien biasanya meminta
pengobatan terhadap penyakitnya yang seringkali menyebabkan terjadinya
penyalahgunaan obat, maka pada gangguan hipokondrik pasien malah takut
6
untuk makan obat karena dikira dapat menambah keparahan dari sakitnya.1,4 Ciri
utama dari hipokondriasis adalah fokus atau ketakutan bahwa simtom fisik yang
dialami seseorang merupakan akibat dari suatu penyakit serius yang
mendasarinya, seperti kanker atau masalah jantung. Rasa takut tetap ada
meskipun telah diyakinkan secara medis bahwa ketakutan itu tidak berdasar.
Gangguan ini paling sering muncul antara usia 20 dan 30 tahun, meski dapat
terjadi di usia berapa pun.1,4
Orang dengan hipokondriasis tidak secara sadar berpura-pura akan
simptom fisiknya. Mereka umumnya mengalami ketidaknyamanan fisik,
seringkali melibatkan sistem pencernaan atau campuran antara rasa sakit dan
nyeri. Berbeda dengan gangguan konversi yang biasanya ditemukan sikap
ketidakpedulian terhadap simtom yang muncul, orang dengan hipokondriasis
sangat peduli, bahkan benar-benar terlalu peduli pada simtom dan hal-hal yang
mungkin mewakili apa yang ia takutkan. Pada gangguan ini, orang menjadi
sangat sensitif terhadap perubahan ringan dalam sensasi fisik, seperti sedikit
perubahan dalam detak jantung dan sedikit sakit serta nyeri. Padahal kecemasan
akan simtom fisik dapat menimbulkan sensasi fisik itu sendiri, misalnya keringat
berlebihan dan pusing, bahkan pingsan. Mereka memiliki lebih lanjut
kekhawatiran akan kesehatan, lebih banyak simtom psikiatrik, dan
memersepsikan kesehatan yang lebih buruk daripada orang lain. Sebagian besar
juga memiliki gangguan psikologis lain, terutama depresi mayor dan gangguan
kecemasan.4
2. Gangguan depresi
Gangguan depresi merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia
yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dengan gejala penyerta
termasuk perubahan pola tidur, nafsu makan, psikomotor, konsentrasi,
anhedonia, kelelahan, rasa putus asa, tak berdaya dan gagasan bunuh diri. Dasar
umum untuk gangguan depresi berat tidak diketahui, tetapi diduga faktor-faktor
dibawah ini berperan:
Faktor Biologis. Data yang dilaporkan paling konsisten dengan hipotesis
bahwa gangguan depresi berat adalah berhubungan dengan disregulasi pada
amin biogenik (norepineprin dan serotonin). Penurunan serotonin dapat
mencetuskan depresi dan pada beberapa pasien yang bunuh diri memiliki
konsentrasi metabolik serotonin di dalam cairan serebrospinal yang rendah serta
7
konsentrasi tempat ambilan serotonin yang rendah di trombosit. Faktor
neurokimiawi lain seperti adenylate cyclase, phospotidylinositol dan regulasi
kalsium mungkin juga memiliki relevansi penyebab. Kelainan pada
neuroendokrin utama yang menarik perhatian dalam adalah sumbu adrenal,
tiroid dan hormon pertumbuhan. Neuroendokrin yang lain yakni penurunan
sekresi nokturnal melantonin, penurunan pelepasan prolaktin karena pemberian
tryptopan, penurunan kadar dasar folikel stimulating hormon (FSH), luteinizing
hormon (LH) dan penurunan kadar testoteron pada laki-laki.7
Faktor Genetika. Data genetik menyatakan bahwa sanak saudara derajat
pertama dari penderita gangguan depresi berat kemungkinan 1,5 sampai 2,5 kali
lebih besar daripada sanak saudara derajat pertama subyek kontrol untuk
penderita gangguan. Penelitian terhadap anak kembar menunjukkan angka
kesesuaian pada kembar monozigotik adalah kira-kira 50 %, sedangkan pada
kembar dizigotik mencapai 10 sampai 25 %.7
Faktor psikososial. Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan, suatu
pengamatan klinis yang telah lama direplikasi bahwa peristiwa kehidupan yang
menyebabkan stress lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood
daripada episode selanjutnya, hubungan tersebut telah dilaporkan untuk pasien
dengan gangguan depresi berat. Data yang paling mendukung menyatakan
bahwa peristiwa kehidupan paling berhubungan dengan perkembangan depresi
selanjutnya adalah kehilangan orang tua sebelum usia 11 tahun. Stressor
lingkungan yang paling berhubungan dengan onset satu episode depresi adalah
kehilangan pasangan. Beberapa artikel teoritik dan dari banyak laporan,
mempermasalahkan hubungan fungsi keluarga dan onset dalam perjalanan
gangguan depresi berat. Selain itu, derajat psikopatologi didalam keluarga
mungkin mempengaruhi kecepatan pemulihan, kembalinya gejala dan
penyesuaian pasca pemulihan.7
3. Gangguan cemas panik
Gangguan cemas panik merupakan kondisi gangguan ditandai dengan
kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan dan tidak rasional bahkan
terkadang tidak realistic terhadap berbagai peristiwa sehari-hari. Kecemasan
yang dirasakan sulit untuk dikendalikan dan berhubungan dengan gejala-gejala
somatic seperti tegang otot, iritabilitas, kesulitan tidur, kegelisahan, sehingga
menimbulkan penderitaan yang bermakna dalam fungsi sosial dan pekerjaan.
8
Gambaran klinis kecemasan sifat berlebihan dan mempengaruhi aspek
kehidupan pasien. Ketegangan motorik bermanifestasi sebagai gemetaran,
kelehan, sakit kepala. Hiperaktivitas otonom timbul pernapasan pendek,
berkeringat, palpitasi, disertai gejala gangguan pencernaan. Pasien datang
kedokter umum dengan keluhan somatic atau karena gelisah spesifik seperti
diare kronik. Kriteria diagnostic cemas menurut DSM IV-TR: Kecemasan atau
kekhawatiran timbul berlebihan hamper setiap hari dan terjadi sekurangnya 6
bulan penderita sulit mengendalikan kekhawatirannya. Kecemasan dan
khawatirnya disertai 3 atau lebih dari 6 gejala berikut: kegelisahan; merasa
mudah lelah; sulit berkonsentrasi dan pikiran jadi kosong; iritabilitas;
ketegangan otot; gangguan tidur.8
Etologi
Ada beberapa stesor yang berperan terhapad terjadinya gangguan pada pasien
somatosasi antara lain psikososial, biologis dan genetik. Pembahasan pertama akan
dimuali dengan:
Faktor psikososial. Formulasi psikososial melibatkan interpretasi gejala sebagai
komunikasi sosial, akibatnya adalah menghindari kewajiban (contohnya harus pergi
ketempat kerja yang tidak disukai), mengekspresikan emosi (contohnya marah
kepada pasangan), atau menyimbolkan perasaan atau keyakinan (contohnya nyeri
diusus). Interpretasi gejala psikoanalitik yang kaku bertumpu pada hipotesis bahwa
gejala-gejala tersebut menggantikan implus berdasarkan insting yang ditekan.
Perseptif perilaku pada gangguan somatisasi menekankan bahwa pengajaran orang
tua (contoh dari orang tua dan adat istiadat) dapat mengajari anak-anak untuk lebih
melakukan somatisasi daripada orang lain. Daripada itu pasien dengan gangguan
somatisasi datang dari keluarga yang tidak stabil dan mengalami penyiksaan fisik.2
Faktor biologis dan genetik. Sejumlah studi mengemukakan bahwa pasien
memiliki perhatian yang khas dan hendaya kognitif yang menghasilkan persepsi dan
penilaian input somatosensoris yang salah. Hendaya ini mencangkup perhatian yang
teralihkan, ketidakmampuan habituasi stimulus berulang, pengelompokkan
konstruksi kognitif dengan dasar impresionistik, hubungan parsial dan sirkumparsial,
serta kurangnya selektivitas, seperti yang ditunjukkan sejumlah studi potensial.
Sejumlah studi pencitraan otak melaporkan adanya penurunan metabolisme lobus
frontal dan hemisfer nondominan.
9
Data genetik menunjukan bahwa gangguan somatisasi dapat memiliki
komponen genetik. Gangguan somatisasi cenderung menurun didalam keluarga dan
terjadi pada 10 hingga 20 persen kerabat perempuan derajat pertama pasien dengan
gangguan somatisasi. Di dalam kelurga ini, kerabat laki-laki derajat pertama rentan
terhadap penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial. Satu studi
melaporkan bahwa angka kejadian bersama 29 persen pada kembar monozigot dan
10 persen pada kembar dizigot, menunjukan adanya efek genetik.
Sitokin adalah molekul pembawa pesan yang digunakan sistem imun untuk
berkomunikasi didalam dirinya dan dengan sistem saraf termasuk otak. Salah satu
contoh dari sitokin adalah interleukin, faktor nekrosis tumor dan interferon.
Beberapa percobaan pendahuluan menunjukkan bahwa sitokin dapat berperan
menyebabkan sejumlah gejala nonspesifik penyakit, terutama infeksi seperti
hipersomnia, anoreksia, lelah dan depresi. Walaupun belum ada data yang
menyokong hipotesis, pengaturan abnormal sistem sitokin dapat mengakibatkan
sejumlah gejala yang ditemukan pada gangguan somatoform.
DSM-IV telah memperbaiki reliabilitas diagnosis (kemungkinan orang yang
berbeda akan membuat diagnosis yang sama pada pasien yang sama), tetapi hanya
mempunyai dampak yang sederhana terhadap validitas (kepastian diagnosis
mengidentifikasi kondisi tertentu yang bermakna). Hal ini boleh jadi karena DSM-IV
telah memecah kondisi yang sah. Ingat juga bahwa DSM-IV tidak membuat dugaan
akan akan menyebabkan gangguan (DSM-IV hanya mendeskripsikan dan
mengelompokkan), dan dalam kebanyakkan kasus etiologinya tidak diketahui.4
Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup gangguan somatisasi dalam populasi umum
diperkirakan 0,1 sampai 0,2 persen walaupun beberapa kelompok riset yakin bahwa
angka sebenarnya dapat lebih mendekati0,5 persen. Perempuan dengan gangguan
somatisasi jumlahnya melebihi laki-laki 5 hingga 20 kali tapi angka ini masih dalam
perkiraan (rasio perempuan berbanding dengan laki-laki 5:1). Gangguan ini
berbanding terbalik dengan posisi sosial dan terjadi paling sering pada pasien yang
memiliki sedikit edukasi dan tingkat pendapatan yang rendah. Gangguan somatisasi
didefinisikan dimulai pada sebelum usia 30 tahun dan paling sering dimulai pada
usia remaja.
10
Manifestasi / Gambaran Klinis
Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatik dan
riwayat medik yang panjang dan rumit. Gejala-gejala umum yang sering dikeluhkan
adalah mual, muntah (bukan karena kehamilan), sulit menelan, sakit pada lengan dan
tungkai, nafas pendek (bukan pada olahraga), amnesia, komplikasi kehamilan dan
menstruasi adalah gejala yang lazim ditemui. Seringkali pasien beranggapan dirinya
menderita sakit sepanjang hidupnya. Gejala pseudoneurologik sering dianggap
gangguan neurologic namun tidak patognomonik. Misalnya gangguan koordinasi
atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan lokal, sulit menelan atau merasa ada
gumpalan ditenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi raba atau
sakit, penglihatan kabur, buta, tuli, bangkitan atau kehilangan kesadaran bukan
karena pingsan.1,4
Selama perjalanan penyakit, penderita gangguan somatisasi mengeluhkan
sekurang-kurangnya empat gejala nyeri yaitu dua gejala gastrointestinal, satu gejala
seksual dan satu gejala neurologis yang tidak dapat dijelaskan melalui pemeriksaan
fisik dan laboratorium.1,4
Penderitaan psikologik dan masalah interpersonal menonjol, dengan cemas
dan depresi merupakan gejala psikiatri yang paling sering muncul. Ancaman sering
bunuh diri sering dilakukan, namun bunuh diri aktual sangat jarang. Biasanya pasien
mengungkapkan keluhannya secara dramatik, dengan muatan emosi dan berlebihan.
Pasien-pasien ini biasanya tampak mandiri, terpusat pada dirinya, haus penghargaan
dan pujian, dan manipulatif.1,4
Diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM IV TR memberi syarat awitan
gejala sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, keluhan pasien harus
memenuhi minimal 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1
gejala pseudoneurologik, serta tak satupun dapat dijelaskan melalui pemeriksaan
fisik dan laboratorik. Berikut kriteria diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM
IV TR. 4
a) Riwayat banyak keluhan fisik, yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang
terjadi selama periode lebih dari beberapa tahun dan menyebabkan
pencarian pengobatan atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan dan
fungsi enting lainnya.4
11
b) Kombinasi dari gejala-gejala yang tidak terjelaskan, yang terjadi
kapanpun selama perjalanan dari gangguan, yang semuanya harus
dipenuhi. Gejala-gejala yang dimaksud antara lain 1,4,5:
i. 4 gejala nyeri (melibatkan minimal 4 lokasi atau fungsi yang
berbeda meliputi kepala dan leher, abdomen, punggung, sendi,
ekstremitas, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan
seksual, dan saat berkemih)
ii. 2 gejala gastrointestinal selain nyeri (meliputi mual, kembung,
muntah, diare, dan intoleransi makanan)
iii.Satu gejala seksual (kehilangan keinginan seksual, disfungsi
seksual, mens ireguler, perdarahan mens yang berlebihan, muntah-
muntah selama hamil)
iv.Satu gejala pseudoneurologik yang bukan nyeri (meliputi
gangguan keseimbangan, kelemahan, kesulitan menelan, afonia,
retensi urin, halusinasi,kehilagan sensasi sakit dan raba,
pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang, disosiasi, dan
kehilangan kesadaran)
c) Salah satu dari: 1. Setelah penelusuran yang sesuai, tiap gejala pada
kriteria B tak dapat sepenuhnya dijelaskan sebagai akibat kondisi medik
umum atau merupakan efek langsung dari zat, karena medikasi) 2.
Apabila terdapat kondisi medik umum yang terkait, keluhan fisik atau
hendaya sosial atau pekerjaan yang diakibatkannya melebihi daripada
yang diharapkan berdasarkan riwayat, penemuan fisik dan laboratorium
d) Gejala-gejalanya tidak dibuat secara sengaja atau berpura-pura.
Diagnosis gangguan somatisasi menurut PPDGJ III. F45.0 pedoman
diagnostik. Diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut5:
a) Adanya keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat
dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik yang sudah belangsung sedikitnya
2 tahun.
b) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa
tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya.
Terdapat disabilitas dalam fungsinya dimasyarakat dan keluarga yang
berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya yang tampak dari perilakunya.
12
Penatalaksanaan
Pasien dengan gangguan somatisasi paling baik diobati jika mereka memiliki
seorang dokter tunggal sebagai perawat kesehatan umumnya. Klinisi primer harus
memeriksa pasien selama kunjungan terjadwal yang teratur, biasanya dengan interval
satu bulan. Jika gangguan somatisasi telah didiagnosis, dokter yang mengobati
pasien harus mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi emosional, bukannya
sebagai keluhan medis. Tetapi, pasien dengan gangguan somatisasi dapat juga
memiliki penyakit fisik, karena itu dokter harus mempertimbangkan gejala mana
yang perlu diperiksa dan sampai sejauh mana.1,4
Strategi luas yang baik bagi dokter perawatan primer adalah meningkatkan
kesadaran pasien tentang kemungkinan bahwa faktor psikologis terlibat dalam gejala
penyakit. Psikoterapi dilakukan baik individual dan kelompok. Dalam lingkungan
psikoterapetik, pasien dibantu untuk mengatasi gejalanya, untuk mengekspresikan
emosi yang mendasari dan untuk mengembangkan strategi alternatif untuk
mengekspresikan perasaan mereka. 1,4
Pengobatan psikofarmakologis diindikasikan bila gangguan somatisasi
disertai dengan gangguan penyerta (misalnya: gangguan mood, gangguan depresi
yang nyata, gangguan anxietas. Medikasi harus dimonitor karena pasien dengan
gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat secara berlebihan dan tidak dapat
dipercaya.
Farmakoterapi
Gangguan paling sering dialami oleh pasien dengan keluhan somatik adalah
gangguan panik dan gangguan cemas menyeluruh. Hampir semua gejala
kecemasan melibatkan sistem saraf otonom sehingga menimbulkan gejala
khas, seperti palpitasi, nafas pendek, mual atau perasaan tidak nyaman di
perut, serta mulut kering. Hal tersebut yang membuat dokter memberikan
obat anti cemas golongan benzodiazepin ketika menemukan kasus keluhan
somatik di tempat praktiknya.6
a) Obat golongan benzodiazepine
Sangat efektif mengatasi cemas. Efeknya yang beragam tergantung jenis
obat. Namun, penggunaan obat tersebut banyak menimbulkan
penyalahgunaan, toleransi, dan ketergantungan. Hal itu disebabkan oleh
penggunaan benzodiazepin dalam jangka waktu panjang, tanpa dosis
yang tepat dan tanpa pengawasan dokter. Beberapa obat golongan
13
benzodiazepin yang sering digunakan dalam pengobatan keluhan cemas
adalah alprazolam, clonazepam, lorazepam, dan diazepam. Alprazolam
dan clonazepam telah lama dipakai sebagai obat untuk gangguan panik
karena efektif dan cepat mengatasi gejala serangan panik. Dosis
alprazolam yang digunakan untuk pengobatan gangguan cemas panik
lebih besar daripada pengobatan gangguan cemas menyeluruh. Rentang
dosisyang biasa digunakan dalam praktik sehari-hari adalah 0,5 mg
sampai 1,5 mg untuk kondisi gangguan panik dengan dosis terbagi.6
b) Obat golongan trisiklik
Efektif untuk mengobati gangguan cemas panik. Imipramin adalah salah
satu obat dari golongan trisiklik yang merupakan pilihan utama. Namun,
obat tersebut sulit ditemukan selain harganya yang agak tinggi. Selain
imipramin, terdapat beberapa obat golongan trisoklik lain Amitriptilin
dapat digunakan dengan dosis antara 12,5-50 mg. Obat tersebut
merupakan antidepresan trisiklik yang sangat murah dan banyak terdapat
di pusat pelayanan primer di Indonesia.6
Prognosis
Perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik. Diagnosisnya
dtegakkan sebelum usia 25 tahun, namun gejala awal sudah dimuali saat remaja.
Masalah menstruasi biasanya merupakan keluhan paling dini yang muncul pada
wanita. Periode keluhan yang ringan berlangsung 9-12 bulan, sedangkan gejala yang
berat pengembangan dari keluhan-keluhan baru berlangsung selama 6-9 bulan.
Sebelum setahun biasanya pasien sudah mencari pertolongan medis. Adanya tekanan
peningkatan tekanan kehidupan mengakibatkan eksaserbasi gejala-gejala somatic.3,4
Prognosa jangka panjang untuk pasien gangguan somatisasi dubia ad malam,
dan biasanya diperlukan terapi sepanjang hidup. Pasien susah sembuh walau sudah
mengikuti pedoman pengobatan. Sering kali pada pasien wanita berakhir pada
percobaan bunuh diri. Bila somatisasi merupakan sebuah “topeng” atau gangguan
psikiatrik lain, prognosanya tergantung padaprognosis masalah primernya.
14
Penutup
Kesimpulan
Gangguan somatisasi (somatization disorder) merupakan salah satu gangguan
somatoform spesifik yang ditandai oleh banyaknya keluhan fisik/gejala somatik yang
mengenai banyak sistem organ yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat
berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium, sehingga dalam terapinya sendiri,
pasien mesti punya dokter utama yang bisa mengekspresikan gejala somatiknya.
Artinya dokter harus menggunakan pendekatan biopsikososial dalam tata laksana
pasien walaupun bukan pasien dengan kondisi gangguan jiwa.
Daftar Pustaka
1. Hadisukanto G. Ganngguan somatoform. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G,
penyunting. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2010. h.265-80.
2. Tomb DA, Nasrun MWS, Tiara MN, editor. Buku saku psikiatri. Edisi 6.
Jakarta: EGC; 2003.h.8;14-8.
3. Hibbert A, Cendika R, Muttaqin H, editor. Rujukan cepat psikiatri. Jakarta:
EGC; 2008.h.100-1.
4. Sadock BJ, Tiara MN, Muttaqin H, editor. Kaplan & Sadock buku ajar psikiatri
klinis. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2010.h.268-80.
5. Maslim, R. Diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas PPDGJ-III. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya; 2003.h.84.
6. Andri. Konsep biopsikososial pada keluhan psikosomatik. J Indon Med Assoc
September 2011; 61(9):377-79.
7. Ismail RI, Siste K. Gangguan depresi. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G,
penyunting. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2010. h.265-
79.209-19.
8. Redayani P. Gangguan cemas. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G, penyunting.
Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2010. h.231-33.
9. Elvira S, Kusumadewi I. Gangguan panik. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G,
penyunting. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2010. h.235-39.
15