pbl blok 22 kasus 5 bppv

26
Vertigo Perifer: Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) Karina Patricia (102010157/C-2) Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6 - Jakarta Barat 11470 Email: [email protected] Pendahuluan Rasa pening atau pusing (dizziness), merupakan gejala yang sering dijumpai dan seringkali mengganggu. Pasien menggunakan istilah ini untuk menyebutkan sejumlah perasaan (termasuk misalnya kepala terasa ringan berputar, kelemahan, perasaan mabuk, dan lain-lain) dan istilah yang tidak sesuai seperti kekacauan mental, penglihatan yang kabur, nyeri kepala, rasa kesemutan, dan lainnya. Sementara vertigo, diartikan sebagai suatu perasaan (ilusi) berputar pada diri penderita atau sekeliling penderita. Meskipun vertigo dapat dibedakan dengan dizziness adanya perasaan berputar pada vertigo, kadang-kadang secara klinis keduanya sulit dibedakan dan dianggap sebagai suatu kesatuan. Vertigo dibedakan atas fisiologis dan patologis. Vertigo patologis dibagi menjadi lesi sentral dan perifer, di mana

Upload: karina-patricia-liem

Post on 25-Oct-2015

90 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pbl Blok 22 Kasus 5 Bppv

Vertigo Perifer: Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)

Karina Patricia (102010157/C-2)

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No. 6 - Jakarta Barat 11470

Email: [email protected]

Pendahuluan

Rasa pening atau pusing (dizziness), merupakan gejala yang sering dijumpai dan seringkali

mengganggu. Pasien menggunakan istilah ini untuk menyebutkan sejumlah perasaan

(termasuk misalnya kepala terasa ringan berputar, kelemahan, perasaan mabuk, dan lain-lain)

dan istilah yang tidak sesuai seperti kekacauan mental, penglihatan yang kabur, nyeri kepala,

rasa kesemutan, dan lainnya.

Sementara vertigo, diartikan sebagai suatu perasaan (ilusi) berputar pada diri penderita

atau sekeliling penderita. Meskipun vertigo dapat dibedakan dengan dizziness adanya

perasaan berputar pada vertigo, kadang-kadang secara klinis keduanya sulit dibedakan dan

dianggap sebagai suatu kesatuan.

Vertigo dibedakan atas fisiologis dan patologis. Vertigo patologis dibagi menjadi lesi

sentral dan perifer, di mana lesi sentral diduga akibat tumor, maupun lesi vaskuler, dan

lainnya. Sementara lesi perifer mungkin berkaitan dengan tuli dan tinitus (gejala gangguan

fungsi saraf kranial ke VIII).1 Kemudian akan dibahas lebih lanjut mengenai jenis yang

perifer, yakni vertigo paroksismal posisional jinak atau yang disebut BPPV (Benign

Paroxysmal Positional Vertigo).

Page 2: Pbl Blok 22 Kasus 5 Bppv

Anamnesis

Kelainan di sistem saraf bisa menimbulkan berbagai macam gejala, di antaranya adalah nyeri

kepala, kejang, pingsan, atau gerakan aneh, pening atau vertigo, masalah penglihatan,

penurunan penciuman/pengecapan, kesulitan berbicara, masalah menelan, kesulitan berjalan,

ekstremitas lemah, gangguan sensoris, nyeri, gerakan involunter atau tremor, masalah

pengendalian sfingter (buang air kecil/besar), bahkan gangguan fungsi mental luhur, seperti

bingung atau perubahan kepribadian.

Riwayat penyakit dahulu. Adakah riwayat gangguan neurologis sebelumnya?

Adakah riwayat penyakit sistemik, khususnya kelainan kardiovaskular, karena salah satu

penyebab defisit neurologis yang paling umum,

Obat-obatan. Pertimbangkan terapi gangguan neurologis dan pengobatan yang

mungkin merupakan penyebab timbulnya gejala.

Riwayat keluarga. Adanya riwayat gangguan neurologis dalam keluarga? (Terdapat

banyak kelainan neurologis penting yang diturunkan, misalnya korea Huntington.)

Riwayat sosial. Gali ketidakmampuan apa saja yang dimiliki pasien, lalu mengapa

pasien tidak dapat melakukan apa yang ia ingin lakukan, apakah pasien menggunakan alat

bantu untuk bergerak, dan bantuan apa saja yang didapat oleh pasien.

Penyelidikan fungsional. Pertimbangkan gejala peningkatan tekanan intrakranial

(nyeri kepala yang diperberat saat mengejan, batuk, bangun di pagi hari, dan gangguan

penglihatan). Adakah gejala neurologis sebelumnya seperti gangguan penglihatan atau mati

rasa. 2

Pemeriksaan

Fisik

Khusus vertigo, ada beberapa pemeriksaan fisik yang harus dilakukan.

1. Pemeriksaan fisik umum termasuk perhatian yang lebih besar pada sistem

kardiovaskuler (perhatikan adanya aritmia).

2 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

Page 3: Pbl Blok 22 Kasus 5 Bppv

2. Periksa liang telinga dan pendengaran (mendengar detik arloji, suara pembicaraan, dan

gesekan jari).

3. Lakukan pemeriksaan neurologis lengkap dengan perhatian khusus pada sara kranialis,

fungsi serebelum, dan adanya nistagmus (horisontal, vertikal, atau rotasional).

4. Periksa kemungkinan adanya vertigo dan nistagmus posisional dengan perasat Nylan-

Barany/manuver Dix-Hallpike (penderita dari posisi duduk ke telentang sambil dengan

cepat kepala menoleh ke satu sisi). Perhatikan adanya nistagmus, waktu untuk

timbulnya nistagmus, waktu untuk timbulnya nistagmus, dan adanya vertigo maupun

reaksi kelelahan.

5. Tes kalorik (minimal tes kalorik air es). Penderita dalam posisi tidur telentang dengan

posisi kepala terangkat 30˚. Irigasi tiap telinga dengan 0,2 ml air es (gunakan jarum

tuberkulin, periksa tiap telinga saat akan melakukan irigasi). Komponen cepat

nistagmus akan ke arah telinga yang tidak diirigasi dan harus berhenti dalam 1 menit

(pemeriksaan sesungguhya terdiri dari irigasi air es dan air hangat). Simetris atau

tidaknya reaksi antar kedua telinga merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. 2

Pemeriksaan neurologis lengkap

Tujuan utama pemeriksaan sistem saraf adalah mengungkapkan dan menjelaskan defisit

fungsi, dan untuk menjelaskan kemungkinan lokasi anatomis dari lesi. Apakah masalah

disebabkan oleh lesi pada otak, sumsum tulang belakang, saraf perifer, atau otot? Bagaimana

tingkat kesadaran pasien? Tentukan dengan skor koma Glasgow.

Perhatikan cara berjalan pasien. Minta pasien untuk berjalan, mencoba berjalan dari

tumit-ke jari kaki, periksa tanda Romberg. Apakah pasien kidal atau tidak. Pandanglah pasien,

adakah kelainan postur yang jelas, pengecilan otot atau tremor.

Periksa ekstremitas atas. Lakukan inspeksi untuk mencari pengecilan otot yang

jelas, tremor, fasikulasi, deformaitas, dan perubahan pada kulit. Periksa simpangan

piramidalis dengan kedua lengan terentang, posisi supinasi, dan mata tertutup.

Periksa tonus di pergelangan tangan dan siku. Periksa kekuatan, bandingkan kedua

lengan. Periksa abduksi bahu, fleksi, dan ekstensi siku, ekstensi pergelangan tangan,

3 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

Page 4: Pbl Blok 22 Kasus 5 Bppv

genggaman, abduksi dan aduksi jari tangan, dan abduksi ibu jari tangan. Gunakan skala MRC

(0-5):

0 – lumpuh sempurna

1 – masih terlihat kontraksi

2 – gerak aktif tanpa gravitasi

3 – Bergerak melawan gravitasi.

4 – Bergerak melawan tahanan.

5 – Kekuatan normal.

Periksa koordinasi dengan tes telunjuk-hidung, gerak cepat jari-jari, gerak cepat

bergantian (jika ada kesulitan = disdiadokoninesis pada gangguan cerebelum), tes cubit, dan

‘bermain piano’.

Periksa refleks dengan ketukan pada biseps, triseps, dan supinator (dengan penguatan

jika perlu, misalnya dengan menggeretakkan gigi). Periksa sensasi; tes raba halus, tusuk

jarum, rasa getar, rasa posisi sendi, dan reaksi panas/dingin. Cari kelainan yang mungkin

berhubungan dengan gangguan dermatom atau saraf perifer. Periksa juga sensasi pada toraks

dan abdomen dan periksa refleks abdomen.

Periksa ekstremitas bawah. Lakukan inspeksi untuk mencari pengecilan otot yang

jelas, fasikulasi, deformitas, dan perubahan pada kulit. Periksa tonus pada lutut dan dengan tes

“menggulingkan tungkai” dan tes mengangkat tungkai lurus-lurus (straight leg raises, SLR),

cari adanya kemungkinan penekanan nervus iskiadikus. Periksa kekuatan, bandingkan kedua

sisi. Periksa fleksi, ekstensi, abduksi, dan aduksi panggul, ekstensi dan fleksi lutut, plantar

fleksi, dorsofleksi, inversi, eversi, dan dorsofleksi ibu jari kaki.

Periksa koordinasi dengan tes tumit- jari kaki. Periksa refleks. Periksa respons lutut,

pergelangan kaki dan telapak kaki, dan periksa adanya klonus pergelangan kaki. Periksa

sensasi; tes raba halus, tusuk jarum, rasa getar, rasa posis sendi, dan reaksi panas dingin. Cari

kelainan yang mungkin berhubungan dengan gangguan dermatom atau saraf perifer.

Periksa saraf kranial.

I – Olfaktorius4 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

Page 5: Pbl Blok 22 Kasus 5 Bppv

Periksa sensasi penghidu di kedua lubang hidung.

II – Optikus

Periksa ketajaman penglihatan, lapang pandang, dan cari bintik buta. Perika pupil dan

perikda reaksi cahaya langsung dan tak langsung (konsensuail serta akomodasi). Bila

perlu, periksa dengan oftalmoskop.

III, IV, VI – Okulomotorius, troklearis, dan abdusens

Cari adanya ptosis (sebelah atau kedua kelopak mata menutup). Periksa gerak bila

mata dan cari nistagmus. Tanyakan ada penglihatan ganda atau tidak.

V – Trigeminus

Periksa sensasi wajah terhadap raba halus dan tusuk jarum. Periksa kekuatan otot

pengunyah dan temporalis (geretakkan gigi, buka mulut, dan lawan gerakan dokter

menutup mulut pasien). Lakukan juga tes refleks kornea, dan tes ketuk rahang.

VII – Fasialis

Periksa otot-otot ekspresi wajah (angkat alis, tutup mata kuat-kuat, dan tunjukkan

gigi).

VIII – Vestibulokoklearis

Tes pendengaran. Lakukan tes Rinne (letakkan garpu tala yang bergetar dengan

frekuensi 512 Hz pada prosesus mastoideus dan bandingkan kerasnya suara dengan

suara pada jarak beberapa sentimerter dari meatus auditorius eksternus. Pada telinga

normal, konduksi udara [air conduction, AC] lebih baik daripada konduksi tulang

[bone conduction, BC]. Jika BC > AC berarti terdapat tuli konduktif. Gangguan

pendengaran dengan AC > BC menunjukkan tuli sensorineural).

Lakukan tes Weber (letakkan garpu tala yang bergetar dengan frekuensi 512

HZ di bagian tengah kening dan tanyakan pada pasien ke sisi mana penjalaran suara.

Pada telinga normal, suara terdengar di tengah; pada tuli konduktif ke arah telinga

yang sakit; dan tuli sensorineural ke arah telinga yang sehat).

Tes keseimbangan (berdiri dengan mata tertutup, berjalan sepanjang garis

lurus).

IX, C X – Glosofaringeus dan vagus

Periksa gerak palatum, refleks muntah, dan batuk.

XI – Aksesorius

Periksa kekuatan otot sternokleidomastoidesus dan mengangkat bahu.

XII – Hipoglossus

5 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

Page 6: Pbl Blok 22 Kasus 5 Bppv

Periksa lidah untuk mencari pengecilan otot, fasikulasi, dan uji kekuatan. Periksa lidah

saat istirahat, julurkan keluar, kemudian gerakkan dari sisi ke sisi.

Tes fungsi mental luhur (Mini Mental Test Examination). Nilailah kemampuan bicara,

periksa ingatan, dan kemampuan pemahaman.

Defisit lokalis. Pertimbangkan kemungkinan defisit lokalis pada tempat berikut:

Fungsi serebelum. Periksa cara berjalan, koordinasi telunjuk hidung,

disdiadokokinesis.

Fungsi ekstrapiramidal. Periksa cara berjalan, tonus, cari adanya tremor, bradikinesia,

dan gerak distonik.

Lobus temporal. Periksa ingatan dan pemahaman bahasa.

Lobus parietal. Periksa pengenalan benda, tugas-tugas, seperti berpakaian,

menggunakan sikat gigi, menulis, membaca dan aritmatika.

Lobus oksipital. Periksa ketajaman penglihatan dan lapang pandang (catatan: pada

kebutaan oksipital, makan refleks cahaya pada pupil akan utuh).

Lobus frontal. Periksa fungsi mental luhur, sensasi penghidu, afek, refleks primitif

(menggenggam, mencucu, refleks palmo-menyal). Adakah disinhibisi dan atau

perubahan kepribadian?

Adakah tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial adalah penurunan tingkat

kesadaran, tanda lokal palsu (misalnya kelumpuhan N. III dan VI), edema papil, hipertensi,

bradikardi. 1

Penunjang

Pemeriksaan MRI dengan kontras merupakan pilihan, karena lebih sensitif dibandingkan CT

scan. Dapat juga dilakukan pemeriksaan laboratorium (yakni darah lengkap, profil lipid, asam

urat, dan hemostasis), foto rontgen servikal, neurofisiologi sesuai indikasi (misalnya

elektroensefalografi/EEG, elektronistagmografi/ENG,

elektromiografi/EMG,BAEP/Brainstem Auditory Evoked Potential, dan audiometri). 1,3

Diagnosis

6 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

Page 7: Pbl Blok 22 Kasus 5 Bppv

Working Diagnosis

Vertigo posisional paroksismal jinak (BPPV) biasanya menyebabkan serangan transien

(berlangsung beberapa detik) yang rekurens dan berhubungan dengan perubahan posisi

kepala, misalnya berbaring dengan bantal pada malam hari, ekstensi leher, dan sejenisnya.

Diagnosis BPPV ditegakkan melalui anamnesis lengkap, serta tes provokasi spesifik, yakni

manuver Hallpike, karena pada pemeriksaan fisik konvensional biasanya tidak ditemukan

apapun; dan pemeriksaan penunjang bila perlu. Jika positif, akan tampak nistagmus dengan

rotasi ke sisi lesi dan gejala menjadi bertambah. Hal ini disebakan oleh adanya debris dalam

kanalis semisirkularis. 4

Sentral Perifer

Rasa mual berlebihan + +++

Muntah + +

Diperburuk oleh pergerakan kepala tidak spesifik ++ -

Dicetuskan oleh pergerakan kepala spesifik (mis: posisi Dix-

Hallpike, perputaran kepala dalam posisi telentang)

+ +++

Timbulnya nistagmus paroksismal ke atas dan rotatoar dengan

manuver Dix-Hallpike

- +++

Timbulnya nistagmus paroksismal ke bawah dengan manuver Dix-

Hallpike

++ +

Nistagmus dengan perubahan posis horizontal paroksismal

(geotropik/agetropik) yang dibangkitkan oleh perputaran posisi

horizontal kepala

+ ++

Nistagmus persisten ke bawah pada semua posisi +++ -

Hilangnya nistagmus dengan pengulangan posisi - +++

Membaik setelah perawatan dengan manuver posisional - +++

Tabel 1. Perbedaan antara Vertigo Sentral dan Perifer. Sumber: Buku Panduan Praktis

Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf.

Differential Diagnosis

Vertigo Sentral. Pusing pada keadaan ini jauh lebih sedikit rotasional dan tidak intermiten,

Mual dan muntah biasanya tidak ditemukan. Seringkali disebabkan oleh tumor fossa

posterior, yang paling sering adalah neuroma akustika (periksa gejala serebelar dan batang

otak lain, periksa adanya peningkatan TIK pada penderita yang merasa pusing dengan 7 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

Page 8: Pbl Blok 22 Kasus 5 Bppv

pemeriksaan fundus okuli). Selain itu, penyakit aterosklerosis (insufisiensi vertebrobasilaris)

dapat menyebabkan vertigo akibat adanya iskemia. Serangannya singkat, biasanya

berhubungan dengan perubahan mendadak dari posisi kepala. Stroke batang otak juga

biasanya menyebabkan timbulnya gejala fisik lain.

Untuk memastikan bahwa insufisiensi vertebrobasilaris sebagai penyebab, perhatikan

gejala-gejala gangguan fungsi batang otak lainnya (diplopia, disartria, rasa baal, gangguan

menelan), atau gejala lainnya (gangguan fungsi saraf kranialis, motorik, dan sensorik). Pusing

pasca trauma juga sering terjadi sesudah cedera kepala, mekanismenya tidak diketahui secara

pasti.

Selain itu, beberapa hal penting lainnya adalah: 1, 4, 5

“Dizziness” atau vertigo itu sendiri dapat merupakan gejala pertama insufisiensi

vertebrobasilaris, tetapi sebagian besar penderita disertai gejala dan tanda gangguan

fungsi batang otak dalam waktu 1 bulan setelah gejala vertigo.

Sindrome medula oblongata lateral (sindroma Wallenberg) dapat diawali dengan

vertigo.

Infark atau perdarahan serebelum dapat diawali dengan serangan akut “dizziness”,

muntah, ketidakmampuan untuk berdiri atau berjalan, dan nyeri kepala hebat.

Bila “dizziness” hanya disertai disfugsi N. VIII saja, kemungkinan tidak disebabkan

oleh kelainan vaskuler.

Vertigo jarang terjadi pada kelainan arteri karotis.

Migren bisa menyebabkan vertigo transien.

Penyakit batang otak, termasuk multiple sklerosis dapat juga menyebabkan vertigo.

Meniere’s Disease. Mempunyai trias gejala utama, yaitu vertigo, tinitus, dan tuli.

Pembengkakan pada ruang endolimfe, kemungkinan merupakan faktor yang mendasari

kelainan ini. Tinitus dan rasa penuh pada telinga timbul melalui vertigo, hal ini biasanya tidak

dirasakan mengganggu oleh penderita, diikuti mual, muntah, berkeringan, serta penurunan

pendengaran. Penderita sering mengetahui adanya rasa penuh pada telinga yang mengalami

kelainan. Nistagmus hanya timbul saat serangan dengan arah yang bervariasi. Prenyakit

Meniere, terjadi pada penderita usia 30-60 tahun, bersifat paroksismal, dan disertai tinitus

serta hilangnya pendengaran setelah berulang kali serangan. Serangan terjadi dalam hitungan

menit, berlangsung selama beberapa jam dan kemudian berangsur-angsur mereda. Pengobatan

8 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

Page 9: Pbl Blok 22 Kasus 5 Bppv

penyakit Meniere pada saat serangan adalah istirahat baring, sedativa, cairan, anti histamin,

dan anti muntah. Upaya pencegahan dilakukan dengan pemberian diuretika dan penggunaan

natrium. Terapi operatif (“shunt” endolimfatika) dianjurkan untuk beberapa kasus kronis. 1, 4-7

Acute vestibular neuritis. Biasanya disebut dengan neuronitis vestibularis. Ditandai

dengan serangan mendadak vertigo dan mual tanpa gejala atau tanda gangguan pendengaran.

Timbul pada dewasa muda dan kelompok usia pertengahan dan biasanya unilateral. Vertigo

biasanya hilang secara spontan sesudah beberapa hari sampai beberapa minggu dan sering

berhubungan dengan infeksi viral yang terbaru. Tes kalorik menunjukkan adanya hipofungsi

sisi yang sakit, yang dapat membedakannya dengan labirinitis. Pengobatan yang diberikan

bersifat simtomatis. 1, 4-6

Epidemiologi

BPPV merupakan jenis vertigo vestibuler perifer yang paling umum ditemukan, 75 % dari

persentase kasus vertigo perifer. Prevalensi angka kejadian BPPV di Amerika serikat adalah

64 dari 100.000 orang dengan kecenderungan terjadi pada wanita (64 %). BPPV diperkirakan

sering terjadi pada usia rata-rata 51 – 57,2 tahun dan jarang pada usia di bawah 35 tahun tanpa

riwayat trauma kepala. BPPV kanal posterior merupakan tipe terbanyak dari seluruh BPPV. 3

Etiologi

Kebanyakan vertigo jenis perifer berhubungan dengan manifestasi patologis di telinga,

biasanya akibat adanya debris (otokonia) pada kanalis semisirkularis posterior akibat dari

degenerasi organ sensorik keseimbangan utrikulus yang disebabkan oleh idiopatik (49 %),

trauma (18 %), ototoksisitas (2 %), dan lainnya. Beberapa faktor predisposisi lain yang

mencetuskan terjadinya vertigo adalah kurangnya pergerakan aktif, sehingga saat mengalami

perubahan posisi mendadak akan timbul sensasi vertigo; alkoholisme akut; atau pascaoperasi

mayor. 3, 8

9 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

Page 10: Pbl Blok 22 Kasus 5 Bppv

Patofisiologi

Gangguan sistem aferen. Vertigo timbul jika terdapat ketidakcocokan informasi aferen yang

disampaikan ke pusat kesadaran. Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah

susunan vestibuler atau keseimbangan, yang terus menerus menyampaikan impulsnya ke

pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah sistem optik dan proprioseptik, jaras-

jaras yang menghubungkan nuklei vestibularis dengan nuklei N. III, IV, dan VI, susunan

vestibuloretikularis dan vestibulospinalis.

Adapun tiga gerakan yang dikendalikan dalam pemeliharaan keseimbangan tersebut

adalah:

1. Gerakan volunter dari reflektorik kepala, leher, badan dan keempat anggota gerak.

2. Gerakan volunter dan reflektorik kedua bola mata.

3. Gerakan involunter visceral.

Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor

vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan kontribusi yang paling

besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil

kontribusinya adalah proprioseptik. Dalam kondisi fisologis/normal, informasi yang tiba di

pusat Integrasi alat keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan

proprioseptik kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron

dan wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-otot

mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi

kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Dalam mekanisme pelaksanaan gerakan-

gerakan tersebut, korteks serebri merencanakan dan mengatur bangunan-bangunan di batang

otak dan medulla spinalis. Dalam pengendalian viseromotorik, korteks serebri memberikan

pesannya kepada inti vestibularis yang meneruskan ke inti glossofaringeus dan vagus.

Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak

normal/tidak fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses

pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejela vertigo dan gejala otonom; di

samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehinggan muncul gerakan

abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia (kecenderungan untuk jatuh

penyimpangan gerakan volunteer ke arah lesi) saat berdiri/berjalan dan gejala lainnya.

10 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

Page 11: Pbl Blok 22 Kasus 5 Bppv

Gangguan pemrosesan sentral. Informasi yang diterima diproses/diinterpretasikan

secara salah. Hal ini menyebabkan kesan sensorik yang saling berkonflik dan menimbulkan

vertigo. Gangguan pemrosesan dapat disebabkan oleh perubahan difus seperti abnormalitas

metabolik atau sirkulasi, infeksi, trauma, dan intoksikasi. 9

Ada 2 teori yang menjelaskan lebih lanjut mengenai patofisiologi BPPV, yakni teori

cupulolithiasis dan teori canalithiasis.

Teori cupulolithiasis. Pada tahun 1962 Horald Scuknecht mengemukakan teori ini.

Dia menemukan partikel-partikel basofilik yang berisi kalsium karbonat dari fragmen

otokonia (otolith) yang terlepas dari macula utrikulus yang sudah berdegenerasi, menempel

pada permukaan kupula. Dia menerangkan bahwa kanalis semisirkularis posterior menjadi

sensitif akan gravitasi akibat partikel yang melekat pada kupula. Hal ini analog dengan

keadaan benda berat diletakkan di puncak tiang, bobot ekstra menyebabkan tiang sulit tetap

untuk stabil, malah cenderung miring. Pada saat miring partikel tadi mencegah tiang ke posisi

netral. Ini digambarkan oleh nistagmus dan rasa pusing ketika kepala penderita dijatuhkan ke

belakang posisi tergantung (seperti pada tes Dix-Hallpike). KSS posterior berubah posisi dari

inferior ke superior, kupula bergerak secara utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus

dan keluhan pusing (vertigo). Perpindahan partikel ototlith tersebut membutuhkan waktu, hal

ini yang menyebabkan adanya masa laten sbelum timbulnya pusing dan nistagmus.

Teori canalithiasis. Tahun 1980 Epley mengemukakan teori tersebut, partikel otolith

bergerak bebas di dalam KSS. Ketika kepala dalam posisi tegak, endapan partikel ini berada

pada posisi yang sesuai dengan gaya gravitasi yang paling bawah. Ketika kepala direbahkan

ke belakang, partikel ini berotasi ke atas sampai ± 90˚ di sepanjang lengkung KSS. Hal ini

menyebabkan cairan endolimfe mengalir menjauhi ampula dan menyebabkan kupula

membelok (deflected), hal ini menimbulkan nistagmus dan pusing. Pembalikan rotasi waktu

kepala ditegakkan kembali, terjadi pembalikan pembelokan kupula, muncul pusing dan

nistagmus yang bergerak ke arah berlawananan. Model gerakan partikel begini seolah-olah

seperti kerikil yang berada dalam ban, ketika ban bergulir, kerikil terangkat sebentar lalu jatuh

kembali karena gaya gravitasi. Jatuhnya kerikil tersebut memicu organ saraf dan

menimbulkan pusing. Dibanding dengan teori cupulolithiasis teori ini lebih dapat

menerangkan keterlambatan “delay” (latency) nystagmus transient, karena partikel butuh

waktu untuk mulai bergerak. Ketika mengulangi manuver kepala, otolith menjadi tersebar dan

11 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

Page 12: Pbl Blok 22 Kasus 5 Bppv

semakin kurang efektif dalam menimbulkan vertigo serta nistagmus. Hal inilah yang dapat

menerangkan konsep kelelahan “fatigability” dari gejala pusing. 10

Gejala Klinis

Serangan vertigo berlangsung singkat (kurang dari 1 menit), namun bila ditanyakan pada

pasien, biasanya dianggap lebih lama hingga beberapa menit. Bila serangan vertigo datang

bertubi-tubi, pasien akan merasakan kepala ringan, merasa tidak stabil dan rasa mengambang

yang menetap selama beberapa hari.

Perjalanan penyakit BPPV bermacam-macam, pada sebagian besar kasus, gangguan

hilang secara spontan dalam waktu beberapa minggu, namun dapat kambuh setelah beberapa

waktu kemudian. Nistagmus yang dilihat pada waktu terjadinya BPPV bersifat torsional

(rotatoar). Kadang tidak terdeteksi adanya gangguan pendengaran. Selain itu terdapat

pandangan gelap, jantung berdebar, hilang keseimbangan, tidak mampu konsentrasi, otot

terasa sakit, mual dan muntah, sensitif pada cahaya terang, serta memori menurun. 1

Komplikasi

Jarang menimbulkan komplikasi yang berarti, kebanyakan hanya ditemukan rekurensi pada

beberapa kasus setelah pengobatan pertama. 9

Penatalaksanaan

Bila diagnosis telah ditegakkan, maka kepada pasien harus disampaikan mengenai

penyakitnya beserta prognosis yang umumnya baik karena banyak pasien yang merasa cemas

dan khawatir.

Medikamentosa

Obat anti vertigo dapat diberikan sebagai terapi simptomatik sewaktu melakukan latihan atau

bila muncum eksaserbasi akut. Obat ini berguna untuk menekan rasa mual atau pusing

berputar. 1, 3

12 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

Page 13: Pbl Blok 22 Kasus 5 Bppv

Aktivitas antihistamin yang dapat menekan vertigo adalah akibat adanya efek

menekan muntah di batang otak, walaupun tujuan utamnya bukan untuk hal tersebut. Anti

histamin yang memiliki sifat antivertigo juga memiliki aktivitas antikolinergik di SSP. Efek

samping yang dapat dijumpai adalah mulut kering dan penglihatan kabur, sedangkan efek

samping yang lebih umum adalah mengantuk.

Golongan Dosis OralAnti

EmetikSedasi

Mukosa

Kering

Gejala

Ekstrapira-

midal

Penyekat Kalsium

Flunarisin 5-10 mg;

1x1

+ + - +

Sinarisin 25 mg; 3x1 + + - +

Antihistamin

Prometasin 25-50 mg;

3x1

+ ++ ++ -

Dimenhidrinat 50 mg; 3x1 + + + +

Antikolinergik

Skopolamin 0,6 mg; 3x1 + + +++ -

Atropin 0,4 mg; 3x1 + - +++ -

Monoaminergik

Amfetamin 5-10 mg;

3x1

+ - + +

Efedrin 25 mgl 3x1 + - + -

Phenotiazine

Proklorperasin 3 mg; 3x1 +++ + + +

Klorpromasin ++ +++ + +++

Benzodiazepin

Diazepam 2-5 mg; 3x1 + +++ - -

Tabel 2. Obat-obat Antivertigo: Golongan, Dosis, Khasiat, dan Efek Samping. Sumber:

Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf.

Non-Medikamentosa

13 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

Page 14: Pbl Blok 22 Kasus 5 Bppv

Latihan vestibular. Latihan ini termasuk fisioterapi rehabilitasi yang bertujuan untuk

meningkatkan kemampuan mengatasi gangguan vestibular, membiasakan atau mengadaptasi

diri terhadap gangguan keseimbangan. Bentuk latihannya adalah dengan melatih gerakan

kepala yang mencertuskan vertigo untuk meningkatkan kemampuan mengatasinya secara

perlahan, melatih gerakan bola mata, latihan fiksasi pandangan, dan meningkatkan

kemampuan keseimbangan.

Contoh latihan:

Berdiri tegak dengan mata dibuka, kemudian mata ditutup.

Olahraga yang menggerakan kepaka (fleksi, rotasi, ekstensi, gerak miring).

Dari sikap duduk disuruh berdiri dengan mata terbuka, kemudian tertutup.

Jalan di kamar dengan mata terbuka kemudian mata tertutup.

Berjalan tandem.

Melirikkan mata ke arah horizontal dan vertikal.

Melatih gerakan mata untuk memfiksasi objek yang bergerak maupun diam.

Bentuk latihan lain adalah di tempat tidur, dengan memiringkan badan ke kanan dan kiri

secara bergantian. Latihan ini dilakukan hingga vertigo hilang perlahan-lahan.

Manuver Epley. Baru-baru telah dikembangkan untuk menghancurkan atau

melepaskan debris otokonial, yang merupakan penyebab dari BPPV. Prosedur ini lebih efektif

dari prosedur di ruangan, karena diulang setiap malam selama seminggu. Metode ini (untuk

sisi kiri), seseorang menetap pada posisi supine selama 30 detik dan pada posisi duduk tegak

selama 1 menit. Dengan demikian siklus ini membutuhkan waktu 2,5 menit. Pada dasarnya 3

siklus hanya mengutamakan untuk beranjak tidur, sangat baik dilakukan pada malam hari

daripada pagi atau siang hari, karena jika seseorang merasa pusing setelah latihan ini, dapat

teratasi sendiri dengan tidur. Lebih baik dibantu dan diawasi oleh seorang dokter. 8, 9

Latihan Brandt Daroff. Merupakan suatu metode latihan untuk mengobati BPPV,

biasanya digunakan jika penanganan di praktek dokter gagal. Latihan ini 95 % lebih berhasil.

Dilakukan dalam 3 set perhari selama 2 minggu. Pada tiap-tiap set, sekali melakukan manuver

dibuat dalam 5 kali. Satu pengulangan manuver dilakukan pada masing-masing sisi berbeda

(membutuhkan waktu 2 menit). Jadwal latihan Brandt Daroff yang disarankan:

Pagi 5 kali pengulangan 10 menit.

14 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

Page 15: Pbl Blok 22 Kasus 5 Bppv

Sore 5 kali pengulangan 10 menit.

Malam 5 kali pengulangan 10 menit.

Mulai dengan posisi duduk kemudian berubag menjadi posisi baring miring pada satu

sisi, dengan sudut kepala maju sekitar setengah. Tetap pada posisi baring miring selama 30

detik, atau sampai pusing di sisi kepala. Kemudian kembali ke posisi duduk. Tetap pada

keadaan ini selama 30 detik, dan kemudian dilanjutkan ke posisi berlawanan dan ikuti rute

yang sama. Latihan ini harus dilakukan selama 2 minggu, 3 kali sehari, atau selama 3 minggu,

2 kali sehari. Pada sekitar 30 % pasien, BPPV dapat muncul kembali dalam 1 tahun.

Terapi bedah. Dapat dilakukan untuk mereposisi kanalith (canalith reposition). Pada

kasus yang parah, dapat saja dilakukan pemutusan koneksi neural ke kanalis posterior

(singular neurotomi) atau memblok kanal posterior. Selain itu untuk mempertahankan

pendengaran, dapat dilakukan miringotomi dan pemasangan grommet untuk mengurangi

terulangnya vertigo, dan dekompresi sakus endolimfatikus untuk mengurangi tekanan di

dalam labirin membranosa, yang dapat menghilangkan vertigo. 9

Gambar 1. Manuver Epley. Sumber: http://medicastore.com/images/manuver%20epley1.jpg.

Pencegahan

Langkah-langkah berikut dapat meringankan atau mencegah gejala vertigo:

Tidur dengan posisi kepala yang agak tinggi.

Bangun secara perlahan dan duduk terlebih dahulu sebelum berdiri dari tempat tidur.15 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

Page 16: Pbl Blok 22 Kasus 5 Bppv

Hindari posisi membungkuk bila mengangkat barang.

Hindari posisi mendongakkan kepala, misalnya untuk mengambil suatu benda dari

ketinggian.

Gerakkan kepala secara hati-hati, jika kepala kita dalam posisi datar (horizontal) atau

bila leher dalam posisi mendongak. 9

Prognosis

Prognosis pasien dengan vertigo vestibular tipe perifer umumnya baik, dapat terjadi remisi

spontan dalam 6 minggu, meskipun beberapa kasus tidak terjadi. Dengan sekali pengobatan

tingkat rekurensi sekitar 10-25 %. 9

Kesimpulan

BPPV merupakan salah satu jenis vertigo perifer yang penyebabnya idiopatik. Diduga akibat

trauma, faktor degeneratif, ototoksik dan sebagainya sehingga terjadi degenerasi organ

sensorik keseimbangan utrikulus yang menimbulkan debris (otokonia) pada kanalis

semisirkularis posterior. Gejalanya Serangan vertigo berlangsung singkat (kurang dari 1

menit) yang terjadi saat perpindahan posisi kepala, nistagmus yang dilihat pada waktu

terjadinya BPPV bersifat torsional (rotatoar). Kadang tidak terdeteksi adanya gangguan

pendengaran. Selain itu terdapat pandangan gelap, jantung berdebar, hilang keseimbangan,

tidak mampu konsentrasi, otot terasa sakit, mual dan muntah, sensitif pada cahaya terang,

serta memori menurun. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik

khusus yaitu manuver Dix-Hallpike, dan pemeriksaan penunjang bila perlu. Pengobatan

BPPV adalah dengan obat antivertigo atau antiemetik. Dapat juga dengan manuver Epley

(CTR), latihan vestibular, maupun tindakan bedah. Prognosis BPPV baik, dapat terjadi remisi

spontan.

Daftar Pustaka

16 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

Page 17: Pbl Blok 22 Kasus 5 Bppv

1. Weinner, Levitt. Buku saku neurologi. Edisi ke-V. Jakarta: EGC; 2001. h. 106-14.

2. Gleadle Jonathan. At a glance: Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;

2007. h. 36-9.

3. Dewanto, Suwono, Riyanto, Turana. Panduan praktis diagnosis dan tata laksana

penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2009. h. 111-4.

4. Davey Patrick. At a glance: Medicine. Jakarta: Erlangga; 2006. h. 92-3.

5. Eliastam, Sternbach, Bresler. Penuntun kedaruratan medis. Edisi ke-V. Jakarta: EGC;

2001. h. 125-7.

6. Sabiston. Buku ajar bedah. Jakarta: EGC; 2004. h. 292-3.

7. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Prinsip-prinsip ilmu penyakit

dalam Harrison Volume I. Jakarta: EGC; 2008. h. 115-8.

8. Ginsberg. Lecture notes: Neurologi. Jakarta: Erlangga; 2008. h. 38.

9. Eka. Saraf – Vertigo. 7 September 2012. Diunduh dari

http://www.docstoc.com/docs/124085576/Syaraf---Vertigo, 31 Desember 2012.

10. Johnson, Lalwani. Vestibular disorders. New York: Mc Graw Hill Companies; 2004.

p. 761-5.

17 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V