pbl blok 22 bell's palsy

25
Bell’s Palsy Lora Anggraeni Patoding 10.2009.154 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara no. 6 – Jakarta Barat 11470 No. Telp. 021-56942061. Email: [email protected] Pendahuluan Suatu kelainan yangterjadi di sepanjangperjalanan nervus facialis menyebabkan gangguan terhadap otot yg dipersarafi, baik yang bersifat parese ataupun paralisis tergantung tingkat dan beratnya lesi. Wajah merupakan kawasan motorik nervus facialis yang sangat penting dan memberikan kekhasan tersendiri bagi yang melihatnya. Pada umumnya masyarakat awam menganggap bahwa mulut mencong atau merot akibat adanya kutukan dan juga yang menganggap terkena angin jahat, padahal sebenarnya secara ilmiah terjadi kerusakan pada N. Facialis yang disebut Bells Palsy. Bell’s palsy merupakan salah satu gangguan yang paling sering mempengaruhi 1

Upload: lora-angraeni-patoding

Post on 21-Oct-2015

104 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Bell's Palsy

TRANSCRIPT

Page 1: Pbl Blok 22 Bell's Palsy

Bell’s Palsy

Lora Anggraeni Patoding

10.2009.154

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara no. 6 – Jakarta Barat 11470

No. Telp. 021-56942061.

Email: [email protected]

Pendahuluan

Suatu kelainan yangterjadi di sepanjangperjalanan nervus facialis menyebabkan gang

guan terhadap otot yg dipersarafi, baik yang bersifat parese ataupun paralisis tergantung

tingkat dan beratnya lesi. Wajah merupakan kawasan motorik nervus facialis yang sangat

penting dan memberikan kekhasan tersendiri bagi yang melihatnya. Pada umumnya

masyarakat awam menganggap bahwa mulut mencong atau merot akibat adanya kutukan dan

juga yang menganggap terkena angin jahat, padahal sebenarnya secara ilmiah terjadi

kerusakan pada N. Facialis yang disebut Bells Palsy. Bell’s palsy merupakan salah satu

gangguan yang paling sering mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini terjadi pada

nervus VII (n.fasialis) perifer, yang mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah, bersifat

akut, dimana penyebabnya tidak diketahui dengan pasti (idiopatik). Pada sebagian besar

penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh, namun pada beberapa diantara

mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini berupa

kontraktur, dan spasme spontan.  Sindroma paralisis fasial idiopatik ini pertama kali

dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell.

1

Page 2: Pbl Blok 22 Bell's Palsy

I. Anamnesis

Anamnesis yang perlu ditanyakan adalah:

- Identitas pasien.

- Keluhan utama : pada skenario, pasien datang ke puskesmas dengan keluhan mata

sebelah kiri tidak dapat ditutup dan mulutnya mencong ke kanan.

- Keluhan tambahan :

- Riwayat penyakit sekarang :

o Waktu dan lamanya keluhan berlangsung.

o Rasa nyeri.

o Gangguan atau kehilangan pengecapan.

o Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari

diruangan terbuka atau di luar ruangan.

o Sifat dan beratnya serangan (masih dapat ditahan atau tidak).

o Lokasi dan penyebarannya (dapat menyebutkan tempat sakit atau menyebar).

o Hubungan dengan waktu (kapan saja terjadinya).

o Hubungannya dengan aktivitas (keluhan dirasakan setelah melakukan aktivitas

apa saja). 1-3

o Keluhan-keluhan yang menyertai serangan

o Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali.

o Faktor resiko dan pencetus serangan, termasuk faktor-faktor yang

memperberat atau meringankan serangan. 1

o Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang menderita keluhan yang

sama.

o Perkembangan penyakit, kemungkinan telah terjadi komplikasi atau gejala sisa

o Upaya yang telah dilakukan dan bagaimana hasilnya, jenis-jenis obat yang

telah diminum oleh pasien; juga tindakan medik lain yang berhubungan

dengan penyakit yang saat ini diderita. 1

o Riwayat penyakit dahulu : bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-

kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan

penyakit sekarang. Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita

seperti infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.

- Riwayat kesehatan keluarga. 1

2

Page 3: Pbl Blok 22 Bell's Palsy

- Riwayat penyakit menahun keluarga. 1

II. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan tanda-tanda vital

1. Pemeriksaan neurologi

Kelumpuhan nervus fasilalis melibatkan semua otot wajah sesisi dandapat dibuktikan

dengan pemeriksaan - pemeriksaan berikut, yaitu:

a. Pemeriksaan motorik nervus fasialis.

Mengerutkan dahi : lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang

sehat saja.

Mengangkat alis : alis pada sisi yang sakit tidak dapat diangkat.

Memejamkan mata dengan kuat : pada sisi yang sakit kelompak mata

tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata

ke atas dapat dilihat. Hal tersebut dikenal Fenomena Bell. Selain itu

dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang sakit lebih lambat

dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat, hal ini dikenal

sebagai Lagoftalmus.

Mengembungkan pipi : pada sisi yang tidak sehat pipi tidak dapat

dikembungkan.

Pasien disuruh utnuk memperlihatkan gigi geliginya ataudisuruh

meringis menyeringai : sudut mulut sisi yang lumpuh tidak dapat

diangkat sehingga mulut tampaknya mencong ke arah sehat. Dan juga

sulcus nasolabialis pada sisi wajah yang sakit mendatar.

b. Pemeriksaan sensorik pada nervus fasialis.

Sensasi pengecapan diperiksa sebagai berikut : rasa manis diperiksa

pada bagian ujung lidah dengan bahan berupa garam, dan rasa asam diperiksa

pada bagian tengah lidah dengan bahan asam sitrat. Pengecapan 2/3 depan

lidah : pengecapan pada sisi yang tidak sehat kurang tajam.

c. Pemeriksaan Refleks.

Pemeriksaan reflek yang dilakukan pada penderita Bell’s Palsy adalah

pemeriksaan reflek kornea baik langsung maupun tidak langsung dimana pada

paresis nervus VII didapatkan hasil berupa pada sisi yang sakit kedipan mata

yang terjadi lebih lambat atau tidak ada sama sekali.

3

Page 4: Pbl Blok 22 Bell's Palsy

Selain itu juga dapat diperiksa refleks nasopalpebra pada orang

sehat pengetukan ujung jari pada daerah diantara kedua alis langsung dijawab

dengan pemejaman kelopak mata pada sisi, sedangkan pada paresis facialis

jenis perifer terdapat kelemahan kontraksi m. orbikularisoculi (pemejaman

mata pada sisi sakit).2,3

III. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bell’s palsy.

Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c dapat dipertimbangkan untuk mengetahui

apakah pasien tersebt menderita diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa

dilakukan namun ini biasanya tidak dapat mentukan dari mana virus tersebut berasal.3

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan Radiologis yang dapat dilakukan untuk Bell‘s Palsy antara lain adalah

MRI (Magnetic Resonance Imaging) dimana pada pasien dengan Bell Palsy dapat timbul

gambaran kelainan pada nervus fasialis. Selain itu pemeriksaan MRI juga berguna

apabila penderita mengalami kelumpuhan wajah yang berulang, agar dapat dipastikan apakah

kelainan itu hanya merupakan gangguan pada nervus fasialis ataupun terdapat tumor

(misalnya Schwannoma, hemangoma, meningioma).3

IV. Diagnosis Kerja

Bell’s palsy

Bell’s palsy adalah penyakit idiopatik dan merupakan penyakit saraf tepi yang bersifat

akut dan mengenai nervus fasialis (N.VII) yang menginervasi seluruh otot wajah yang

menyebabkan kelemahan atau paralisis satu sisi wajah. Paralisis ini meyebabkan asimetri

wajah serta mengganggu fungsi normal.

Bell’s palsy  merupakan salah satu gangguan neurologi yang paling sering dijumpai.

Wanita muda usia 10-19 tahun lebih sering terkena dibandingkan dengan laki-laki.

Sedangkan wanita hamil memilki resiko 3,3 kali lebih tinggidibandingkan dengan wanita

yang tidak hamil.

Penyebab pasti Bell’s palsy masih belum diketahui. Tetapi penyakit ini dianggap

memiliki hubungan dengan virus, bakteri, dan autoimun.

4

Page 5: Pbl Blok 22 Bell's Palsy

Bell’s palsy meliputi inflamasi saraf atau blokade sinyal muscular dari HSV 1 lewat

karier yang belum diketahui, ketidak seimbangan imunitas (stress, HIV/AIDS, trauma)

atau apapun yang secara langsung maupun tidak langsung menekan sistem imun (seperti

infeksi baktreri pada Lyme disease dan otitis media, atau truma, tumor, dan kelainan

kongenital), serta apapun yang dapat menyebabkan inflamasi dan edem nervus fasialis

(N.VII) dapat memicu terjadinya bell’s palsy.4

V. Diagnosis Banding

Kerusakan Nervus VII tipe sentral

Lesi ini melibatkan serabut corticobulbaris yang direc dan indirect. Dua tipe yang

dikenali: Voluntary dan Mimetic. Voluntary paralysis bermanifestsi pada sisi kontralateral

yang melibatkan hanya melibatkan musculus setengah bagian bawah musculus facial

terutama perioral, sedangkan musculus yang bertanggungjawab mengerutkan dahi,

memejamkan mata tidak terpengaruh. Penjelasannya adalah sebagai berikut, type

kelumpuhan UMN yang kontra lateral ini didasari bahwa Nucleus yang bertanggungjawab

terhadap musculus fasialis bagian atas mendapatkan serabut ipsilateral dan kontralateral

sedangkan nucleus yang bertanggungjawab terhadap musculus bagian bawah facial hanya

mendapatkan serabut dari kontralateral cortico bulbaris. Lesi yang melibatkan corticobulbaris

dan corticospinalis di capsula interna akan berakibat lesi central N Facialis type

voluntary(kontralateral lesi) dan hemiparese pada sisi kontalateral tubuh dengan tanpa

gangguan sensasi maupun fungsi autonom(salivary dan lacrimasi) serta refleks cornea.

Mimetic atau emosional inervation dari musculus inferior fascial bersifat involuntary dan

perjalanannya tidak diketahui. Lesi mimetic bisa tanpa disertai ganguan voluntary atau

bersama sama. Lesi pada lobus frontalis dan gangliabasalis atau thalamus sering

bermanifestasi ganguan ini.

VI. Etiologi

Penyebab pasti Bell’s palsy masih belum diketahui. Tetapi penyakit ini dianggap

memiliki hubungan dengan virus, bakteri, dan autoimun. Bell’s palsy

meliputi inflamasi saraf atau blokade sinyal muscular dari HSV 1 lewat karier yang

belum diketahui, ketidakseimbangan imunitas (stress,HIV/AIDS, trauma) atau apapun yang s

ecara langsung maupun tidak langsung menekan sistem imun (seperti infeksi bakteri pada

Lymedisease dan otitis media, atau trauma,tumor, dan kelainan kongenital), serta apapun yag 

5

Page 6: Pbl Blok 22 Bell's Palsy

dapa tmenyebabkan inflamasi dan edema nervus fasialis (N.VII)dapat memicu terjadinya

bell’s palsy.

Bell’s palsy dapat disebabkan oleh beberapa hal lainnya seperti iklim atau faktor

meteorologi seperti suhu, kelembaban, dan tekanan barometrik. Beberapa studi menyebutkan

bahwa pasien sebelumnya merasakan wajahnya dingin atau terkena dingin sebelum onset

bell’s palsy muncul. Suhu dingin di salahs atu bagian wajah dapat menyebabkan iritasi nervus

fasialis(N.VII). Data eksperimental yang paling mendukung dalam patofisiologi penyakit ini

adalah “hipotesis suhu rendah”. Selain itu reaktivasi HSV yang merupakan salah satu teori

terjadinya bell’s palsy juga berhubungan dengan perbedaan iklim antar negara dan polusi dari

atmosfer. Selain itu stress, kehamilan, diabetes juga dapat memicu munculnya bell’s palsy.5,6

VII. Epidemiologi

Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut.

Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah

ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy

setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden

Bell’s palsy rata-rata 1530 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko

29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan

perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19

tahunlebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama.Penyakit ini

dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada

kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinankemungkinan timbulnya

Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.5

Struktur anatomi

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :

a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator  palpebrae

(N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga

tengah.

b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus saliva torius

superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,rongga

hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.

6

Page 7: Pbl Blok 22 Bell's Palsy

c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga

bagian depan lidah.

d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba dari

sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus. 

Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik

wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang mengantarkan

rasa pengecapan dari 2/3 bagian anteriort lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis

auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan pertama-tama melintasi nervus lingual,

yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke kordatimpani dimana ia membawa

sensasi pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleustraktus solitarius. Serabut-serabut

sekretomotor menginervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan

kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.

 Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan

serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventro lateral

nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal.

Karena posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI dan

VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk

ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke

depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu)

terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu.

Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum untuk

memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial

major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang

dihubungkan oleh korda timpani. Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui foramen

stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang

melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikusventer posterior.

VIII. Patofisiologi

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi

akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s

palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu

teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang meyebabkan

7

Page 8: Pbl Blok 22 Bell's Palsy

peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat

melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui

kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit

pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut,

adanya  inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi.

Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan

supranuklear, nuklear dan infra nuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah

korteks motorik primer atau di jaraskortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang

berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Paparan udara

dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga

sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy.  Karena itu nervus

fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan

kelumpuhan fasialis LMN.

Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum

timpani, diforamen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons

yang terletak didaerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis.

Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis

atau gerakan melirik ke arah lesi. Selainitu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul

bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3

bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy

adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf

kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit.

Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervusfasialis bisa ikut terlibat sehingga

menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah

seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada

usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak

bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena

lagoftalmos, maka air mata tidak bias disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejala-

gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang

terjepit diforamen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan

serabut yang mensyarafi muskulus stapedius. 6

8

Page 9: Pbl Blok 22 Bell's Palsy

IX. Manifestasi Klinik

Biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya kelumpuhan pada

salah satu sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin atau saat sikat

gigi/berkumur atau diberitahukan oleh orang lain/keluarga bahwa salah satu sudutnya lebih

rendah. Bell’s palsy hampir selalu unilateral. Gambaran klinis dapat berupa hilangnya

semua gerakan volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan

menhgilang sehingga lipatan nasilabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum

atau berkumur air menetes darisudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga

fisura papebra melebar serta kerut dahi menghilang.

Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya maka kelopak mata pada sisi ya

ng lumpuh akan tetap terbuka dimana kelumpuhan N.VII yang memper syarafi m.orbikularis

okuli dapat menyebabkan lagoftalmus yaitu palpebra tidak dapat menutup dengan sempurna.

Kelainan ini akan mengakibatkan trauma konjungtiva dan kornea karena mata tetap terbuka

sehingga konjungtiva dan kornea menjadi kering dan terjadi infeksi. Infeksi ini dapat dalam

bentuk konjungtivitis atau suatu keratitis. Serta bola mata pasien berputar ke atas. Keadaan

ini dikenal dengan tanda dari Bell (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata). Karena

kedipan mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga

menimbulkan epifora. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh

tidak mengembung. Disamping itu makanan cenderung terkumpul diantara pipi dan gusi

sisi yang lumpuh. Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, tidak didapati gangguan lain

yang mengiringnya, bila paresisnya benar-benar bersifat Bell’s palsy.

Bila khorda timpani juga ikut terkena, maka terjadi gangguan pengecapan dari

2/3 depan lidah yang merupakan kawasan sensorik khusus N.intermedius. dan bila saraf yang

menuju ke m.stapedius juga terlibat, maka akan terjadi hiperakusis. Keadaan ini dapat

diperiksa dengan pemeriksaan audiometri. Pada kasus yang lebih berat akan terjadi gangguan

produksi air mata berupa pengurangan atau hilangnya produksi air mata. Ini menunjukkan

terkenanya ganglion genikulatum dan dapat diperiksa dengan pemeriksaan tes Schimer.5,6

Komplikasi ke bagian mata antara lain :

Lagoftalmus

Ektropion paralitik dari kelopak mata bagian bawah

Alis Jatuh

Retraksi kelopak mata atas

9

Page 10: Pbl Blok 22 Bell's Palsy

Erosi Kornea

Crocodile-tears tearing

Komplikasi ke bagian telinga antara lain:

Hampir separuh pasien yang mengalami Bell Palsy mengeluhkan nyeri pada bagian

belakang telinga. Nyeri biasanya terjadi bersamaan dengan timbulnya gejala Bell Palsy,

namun pada 25% kasus nyeri telinga terjadi lebih dulu 2-3 hari sebelum timbulnya Bell

Palsy. Beberapa pasien juga mengeluhkan terjadinya hyperacusis pada telinga

ipsilateral dari Palsy yang terjadi, yang merupakan akibat sekunder dari kelemahan otot

stapedius.

Gangguan Pengecapan:

Sepertiga pasien Bell Palsy melaporkan gangguan pengecapan, dimana 80%dari penderita Bell Palsy

mengalami penurunan kemampuan merasa.

Spasme Fasial

Spasme fasial adalah komplikasi yang jarang dari Bell Palsy, terjadi akibat kontraksi

tonic pada salah satu sisi wajah. Spasme ini biasanya terjadi pada saat

stress dan timbul akibat kompreksi dari akar Nervus VII akibat gangguan pembuluh darah,

tumor, ataupun proses demielinisasi akar saraf. Spasme ini lebih sering menyerang pada usia

50 atau 60an. Selain itu juga dapat timbul Synkinesis yaitu suatu kontraksi abnormal dari otot wajah

saat tersenyum atau menutup mata,contoh yang dapat terjadi adalah mulut pasien tertarik ketika tersenyum

atau ketika mengedipkan mata.

Keluhan dan gejala bergantung kepada lokasi lesi sebagai berikut :

I. Lesi pada nervus fasialis disekitar foramen stylomastoideus baik yang masih berada disebelah

dalam dan sebelah luar foramen tersebut. Mulut turun dan mencong ke sisi yang sehat

sehingga sudut mulut yang lumpuh tampaknya lebih tinggi kedudukannya daripada

posisi yang sehat, maka penderitanya tidak dapat bersiul, mengedip dan menutupkan

matanya. Lakrimalis yang berlebihan akan terjadi jika mata tidak terlindungi / tidak

bisa menutup mata sehingga pada mata akan lebih mudah mendapat iritasi berupa

angin, debudan sebagainya, selain itu pula lakrimalis yang berlebihan ini terjadi

karena proses regenerasi dan mengalirnya axon dari kelenjar liur ke kelenjar air mata

pada waktu makan.

10

Page 11: Pbl Blok 22 Bell's Palsy

II. Lesi pada canalis fasialis mengenai nervus chorda tympani.

Seluruh gejala di atas terdapat, ditambah dengan hilangnya sensasi pengecapan dua

pertiga depan lidah berkurangnya salivasi yang terkena.

III. Lesi yang lebih tinggi dalam canalis fasialis dan mengenal muskulus stapedius.

Gejala tanda klinik seperti pada (a) dan (b) ditambah adanya hiperakusis.

IV. Lesi yang mengenai ganglion geniculatum.

Gejala tanda klinik seperti pada (a), (b), dan (c) ditambah onsetnya seringkali akut

dengan rasa nyeri di belakang dan didalam telinga. Herpes

Zoster pada tympanium dan concha dapat mendahului keadaan timbul parese nervus 

fasilais. Sindrome Ramsay Hunt merupakan Bell’s yangdisertai herpes Zoster pada

ganglion geniculatum, lesi – lesi herpetik terlihat pada membrana tympani, canalis

auditorium eksterna, dan pada pinna.

V. Lesi di dalam Meatus Auditorius Internus

Gejala - gejala Bell’s Palsy di atas ditambah ketulian akibat terkenanya nervus VIII.

VI. Lesi pada tempat keluarnya Nervus Fasialis dari Pons

Lesi di pons yang terletak disekitar inti nervus abdduces bisa merusak akar nervus

fasialis, inti nervus abducens dan fasikulus longituinalis medialis. Lesi pada daerah

tersebut dapat menyebabkan kelumpuhan muskulus rectuslateralis atau gerakan

melirik kearah lesi.

VII. Gangguan gerakan pada otot wajah yang sering dijumpai ialah gerakan

involunter yang dinamakan tic fasialis atau spasmus klonik fasialis. Sebab dan

mekanisme sebenarnya belum diketahui yang dianggap sebagai sebabnya adalah suatu

rangsangan iritatif di ganglion feniculatum. Namun demikian gerakan - gerakan otot

wajah involunter bisa bangkit juga sebagai suatu pencerminan kegelisahan atau

depresi. Pada gerakan involunter tersebut, sudut muka terangkat dan kelompok mata

memejam secara berlebihan.5,6

X. Penatalaksanaan

Non-medikamentosa

Tindakan fisioterapi seperti terapi panas superfisial,elektroterapi menggunakan arus

listrik.

Perawatan mata

11

Page 12: Pbl Blok 22 Bell's Palsy

Pemberian air mata buatan, lubrikan, dan pelindung mata. Pemakaian kacamata

dengan lensa berwarna atau kacamata hitam kadang diperlukan untuk menjaga mata

tetap lembab saat bekerja.

Latihan dan pemijatan wajah disertai kompres panas

Istirahat

Pembedahan

Jika sudah terjadi ectropion yang parah dapat dilakukan lateral tarsorrhaphy.

Medika mentosa

Untuk menghilangkan penekanan, menurunkan edema akson

dan kerusakan N.VII dapat diberikan prednisone (kortikosteroid) dan antiviral sesegera

mungkin. Window of opportunity untuk memulai pengobatan adalah 7 hari setelah onset.

Prednison dapat diberikan jika muncul tanda-tanda radang. Selain itu dapat pula diberi obat

untuk menghilangkan nyeri seperti gabapentin.

- Kortikosteroid

- Prednison 1 mg/kgBB/hari selama 5 hari kemudian diturunkan bertahap 10 mg/hari

dan berhenti selama10-14 hari.

Tabel 1 : Dosis Prednison

Dosis dewasa1 mg/kg atau 60 mg PO qd selama 7 hari diikuti tapering off dengan total

pemakaian 10 hari.

Dosis anak1 mg/kg PO qd selama 6 hari diikuti tappering off dengan total pemakaian

10 hari.

kontraindikasi

Hipersensitivitas, diabetes

beratyang tak terkontrol, infeksi jamur, ulkus peptikum, TBC,osteoporosis.

- Obat-obat antiviral

Acyclovir 400 mg dapat diberikan 5 kali perhari selama 7 hari, atau 1000mg /hari

selama 5 hari sampai 2400 mg/hari selama 10 hari. Dapat juga menggunakan

Valactclovir 1 gram yang diberikan 3 kali selama 7 hari.

Tabel 2 : Dosis Antiviral

12

Page 13: Pbl Blok 22 Bell's Palsy

Nama obatAsikovir, obat antiviral yang menghambat kerja HSV-1. HSV-2,

dan VZV

Dosis dewasa Dewasa 400 mg PO 5 kali/hari selama 10 hari

Dosis anak<2 tahun : belum dipastikan

>2 tahun : 20 mg/kg PO selama10 hari

kontraindikasi Hipersensitif, penderita gagalginjal

- Vitamin B

Preparat aktif B12 (Metil kobalamin) berperan sebagai kofaktor dalam proses

remielenasi, dengan dosis 3x500μg/hari.7

XI. Komplikasi

Kira-kira 30% pasien Bell’s palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti

fungsi motorik dan sensorik yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf  parasimpatik. Ko

mplikasi yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia atau ageusia, spasme nervus fasialis yang

kronik dan kelemahan saraf parasimpatik yang menyebabkan kelenjar lakrimalis tidak

berfungsi dengan baik sehingga tampak seperti air mata buaya (crocodile tears).8

XII. Prognosis

Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko

yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:

a. Usia di atas 60 tahun.

b. Paralisis komplit.

c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh.

d. Nyeri pada bagian belakang telinga.

e. Berkurangnya air mata.

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam

waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun

atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala

sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15

persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu

4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears

dan kadang spasme hemifasial.

13

Page 14: Pbl Blok 22 Bell's Palsy

Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita

nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya

23%kasus Bell’s palsy yang mengenai kedua sisi wajah.  Bell’s palsy kambuh pada 10-15

% penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsi lateral menderita tumor N. VII atau

tumor kelenjar parotis.7

XIII. Pencegahan

1. Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk mencegah angin

mengenai wajah.

2. Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin menerpa wajah

langsung. Arahkan kipas angin itu ke arah lain. Jika kipas angin terpasang di langit-

langit, jangan tidur tepat di bawahnya. Dan selalu gunakan kecepatan rendah saat

pengoperasian kipas.

3. Kalau sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam hari. Selain

tidak  bagus untuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan syaraf.

4. Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah / masker dan pelindung mata.

Suhu rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang rendah berpotensi tinggi

menyebabkan serangan Bell’s Palsy.

5. Setelah berolah raga berat, jangan mandi atau mencuci wajah dengan air dingin.

6. Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajah terkena angin langsung.

Tutupi wajah dengan kain atau penutup.7

14

Page 15: Pbl Blok 22 Bell's Palsy

Kesimpulan

Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut

dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bell’s palsy Adalah edema

dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis.

Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa

dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan didahi

akan menghilang dan nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik kearah sisi

yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.

Pengobatan pasien dengan Bell’s palsy adalah dengan kombinasi obat- obat

anantiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang berkesinambungan.

Prognosis pasien dengan Bell’s palsy relative baik meskipun pada beberapa pasien, gejala

sisa dan rekurensi dapat terjadi.

15

Page 16: Pbl Blok 22 Bell's Palsy

Daftar Pustaka

1. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis.

Jakarta:EGC;2009.hal.77-89.

2. Burnside JW, McGlynn TJ. Diagnosis fisik. Edisi 17.

Jakarta:EGC;2003.hal. 267-83.

3. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates buku ajar pemeriksaan fisik dan

riwayat kesehatan.edisi 8. Jakarta:EGC;2009. Hal. 166-290.

4. Dewanto, G dkk. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta : penerbit Buku

Kedokteran EGC, 2009.

5. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar,

5thed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163.

6. Price SA, Wilson LM . Patofisiologi: konsep klinis proses-proses

penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2005. Hal.966-71.

7. Lumbantobing. Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia, 2007.

8. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis

diagnosis dan tatalaksana penyakit araf. Jakarta: penerbit buku

kedokteran EGC; 2007. Hal 140.

16