paper hukum laut

30
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sumber daya alam di laut dijamin kelestariannya antara lain dengan tetapmempertahankan lingkungan laut pada kondisi yang menghubungkan bagi hakikat laut.Juga sistem pengelolaan dalam mengupayakan sumber daya yang ada.Tumbuhnya kesadaran yang diciptakan dalam mengkoordinasikan laut ataupun dalam memenuhi kebutuhan dari laut merupakan langkah terwujudnya pelestarian,sekalipun sumber kekayaan yang terkandung didalamnya tak terbatas. 1 Betapa melonjaknya loncatan pola penggunaan dan pemanfaatan laut itu,jika dibandingkan dengan cara-cara tradisional zaman dulu .Hal tersebut mengakibatkan tekanan terhadap lingkungan laut juga melonjak menjadi semakin berat dan meningkat,hingga besar kemungkinannya akan melampaui daya dukung laut. Jika hal tersebut sampai terjadi, pasti lingkungan laut akan mengalami kerusakan dan kemerosotan mutunya ,dengan segala akibatnya yang serba negative terhdap prikehidupan manusia sendiri. 2 Pada saat ini banyak faktor yang menjadi penyebab pencemaran yang berbahaya di lingkungan laut.Pada tahun 1Joko Subagyo,Hukum Laut Indonesia,Rineka Cipta,Jakarta ,2009,hlm 31. 2Mundjat Danusaputro,Hukum Lingkungan Global Buku IV,Bina Cipta ,Bandung,1981,hlm 104. 1

Upload: sahrul-fauzul

Post on 23-Oct-2015

241 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Hukum laut Internasional

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sumber daya alam di laut dijamin kelestariannya antara lain dengan

tetapmempertahankan lingkungan laut pada kondisi yang menghubungkan bagi

hakikat laut.Juga sistem pengelolaan dalam mengupayakan sumber daya yang

ada.Tumbuhnya kesadaran yang diciptakan dalam mengkoordinasikan laut ataupun

dalam memenuhi kebutuhan dari laut merupakan langkah terwujudnya

pelestarian,sekalipun sumber kekayaan yang terkandung didalamnya tak terbatas.1

Betapa melonjaknya loncatan pola penggunaan dan pemanfaatan laut itu,jika

dibandingkan dengan cara-cara tradisional zaman dulu .Hal tersebut mengakibatkan

tekanan terhadap lingkungan laut juga melonjak menjadi semakin berat dan

meningkat,hingga besar kemungkinannya akan melampaui daya dukung laut. Jika hal

tersebut sampai terjadi, pasti lingkungan laut akan mengalami kerusakan dan

kemerosotan mutunya ,dengan segala akibatnya yang serba negative terhdap

prikehidupan manusia sendiri.2

Pada saat ini banyak faktor yang menjadi penyebab pencemaran yang

berbahaya di lingkungan laut.Pada tahun 2009 misalnya terjadi pencemaran Laut

Timur Indonesia oleh perusahaan Montana Australia.3

Zat pencemar dalam hal ini minyak yang masuk pada ekosistem laut tidak

hanya dapat secara langsung merusak lingkungan laut, namun lebih jauh dapat pula

berbahaya bagi suplay makanan dan habitat lingkungan laut yang merupakan sumber

kekayaan alam bagi suatu Negara khususnya bagi kawasan Asia Tengggara terutama

Indonesia yang penduduknya banyak bergantung pada hasil perikanan.

Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana telah diuraikan secara

tingkas diatas, maka penulis akan mencoba mengkaji lebih jauh lagi, sehingga penulis

menuangkannya dalam bentuk paperyang diberi judul “PENGATURAN

PENCEMARAN LINGKUNGAN LAUT DI INDONESIA DALAM PRESPEKTIF

HUKUM LAUT INTERNASIONAL”. Dari judul ini penulis akan menganalisis

1Joko Subagyo,Hukum Laut Indonesia,Rineka Cipta,Jakarta ,2009,hlm 31.2Mundjat Danusaputro,Hukum Lingkungan Global Buku IV,Bina Cipta ,Bandung,1981,hlm

104.3http://Pencemaran Lingkungan Laut Lintas Batas dan Prosedur Penyelesaian

Perselisihan di dalam UNCLOS 1982 Ferry Junigwan Murdiansyah's Blog.html, diakses tanggal 5 Desember 2013.

1

secara yuridis yang akan diarahkan untuk menjawab pertanyaan mengenai

sejauhmana  penanggulangan pencemaran lingkungan laut diperairan asia tenggara

dalam prespektif Hukum Laut internasional. Adapun tujuan dari makalah ini adalah

memberikan gambaran terhadap perkembangan hukum laut internasional dalam

pengaturan pencemaran lingkungan laut yang terjadi di perairan Indonesia.

2. Rumusan Masalah

Bagaimana pengaturan mengenai pencemaran laut dalam hukum nasional

Indonesia dan perspektifnya dalam hukum internasional?

3. Tujuan

Untuk mengetahui pengaturan mengenai pencemaran laut dalam hukum nasional

Indonesia dan perspektifnya dalam hukum internasional.

BAB II

2

PEMBAHASAN

2.1 Pengaturan Internasional

A. United Nation Covention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS)

Konvensi Hukum Laut 1982 adalah merupakan puncak karya dari PBB tentang

hukum laut, yang disetujui di montego Bay, Jamaica tanggal 10 Desember

1982.4 Konvensi Hukum Laut 1982 secara lengkap mengatur perlindungan dan

pelestarian lingkungan laut (protection and preservation of the marine environment)

yang terdapat dalam Pasal 192-237.

Pasal 192 berbunyi : yang menegaskan bahwa setiap Negara mempunyai

kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Pasal 193

menggariskan prinsip penting dalam pemanfaatan sumber daya di lingkungan laut,

yaitu prinsip yang berbunyi : bahwa setiap Negara mempunyai hak berdaulat untuk

mengeksploitasi sumber daya alamnya sesuai dengan kebijakan lingkungan mereka

dan sesuai dengan kewajibannya untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut.

Konvensi Hukum Laut 1982 meminta setiap Negara untuk melakukan upaya-

upaya guna mencegah (prevent), mengurangi (reduce), dan mengendalikan (control)

pencemaran lingkungan laut dari setiap sumber pencemaran, seperti pencemaran dari

pembuangan limbah berbahaya dan beracun yang berasal dari sumber daratan (land-

based sources), dumping, dari kapal, dari instalasi eksplorasi dan eksploitasi. Dalam

berbagai upaya pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan

tersebut setiap Negara harus melakukan kerja sama baik kerja sama regional maupun

global sebagaimana yang diatur oleh Pasal 197-201 Konvensi Hukum Laut 1982.

Negara peserta Konvensi Hukum Laut 1982 mempunyai kewajiban untuk menaati

semua ketentuan Konvensi tersebut berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian

lingkungan laut, yaitu antara lain sebagai berikut :

1) Kewajiban membuat peraturan perundang-undangan tentang perlindungan dan

pelestarian lingkungan laut yang mengatur secara komprehensif termasuk

penanggulangan pencemaran lingkungan laut dari berbagai sumber

pencemaran, seperti pencemaran dari darat, kapal, dumping, dan lainnya.

Dalam peraturan perundang-undangan tersebut termasuk penegakan

hukumnya, yaitu proses pengadilannya

4Chairul Anwar, Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982, Djambatan, Jakarta, 1989, hlm 7

3

2) Kewajiban melakukan upaya-upaya mencegah, mengurangi, dan

mengendalikan pencemaran lingkungan laut,

3) Kewajiban melakukan kerja sama regional dan global, kalau kerja sama

regional berarti kerja sama ditingkat negara-negara anggota ASEAN, dan kerja

sama global berarti dengan negara lain yang melibatkan negara-negara di luar

ASEAN karena sekarang persoalan pencemaran lingkungan laut adalah

persoalan global, sehingga penanganannya harus global juga.

4) Negara harus mempunyai peraturan dan peralatan sebagai bagian

dari contingency plan

5) Peraturan perundang-undangan tersebut disertai dengan proses mekanisme

pertanggungjawaban dan kewajiban ganti ruginya bagi pihak yang dirugikan

akibat terjadinya pencemaran laut.

Dalam melaksanakan kewajiban untuk melindungi dan melestarikan

lingkungan laut tersebut, setiap Negara diharuskan melakukan kerja sama baik kerja

sama regional maupun global. Keharusan untuk melakukan kerja sama regional dan

global (global and regional co-operation) diatur oleh Pasal 197-201 Konvensi Hukum

Laut 1982. Pasal 197 Konvensi berbunyi : “Negara-negara harus bekerja sama secara

global dan regional secara langsung atau melalui organisasi internasional dalam

merumuskan dan menjelaskan ketentuan dan standard internasional serta prosedur dan

praktik yang disarankan sesuai dengan Konvensi bagi perlindingan dan pelestarian

lingkungan laut dengan memperhatikan keadaan regional tersebut”.

Kerja sama regional dan global tersebut dapat berupa kerja sama dalam

pemberitahuan adanya pencemaran laut, penanggulangan bersama bahaya atas

terjadinya pencemaran laut, pembentukan penanggulangan darurat (contingency plans

against pollution), kajian, riset, pertukaran informasi dan data serta membuat kriteria

ilmiah (scientific criteria) untuk mengatur prosedur dan praktik bagi pencegahan,

pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan laut sebagaimana ditegaskan

oleh Pasal 198-201 Konvensi Hukum Laut 1982. Di samping itu, Pasal 207-212

Konvensi Hukum Laut 1982 mewajibkan setiap Negara untuk membuat peraturan

perundang-undangan yang mengatur pencegahan dan pengendalian pencemaran laut

dari berbagai sumber pencemaran, seperti sumber pencemaran dari darat (land-based

sources), pencemaran dari kegiatan dasar laut dalam jurisdiksi nasionalnya (pollution

from sea-bed activities to national jurisdiction), pencemaran dari kegiatan di

Kawasan (pollution from activities in the Area), pencemaran dari dumping (pollution

4

by dumping), pencemaran dari kapal (pollution from vessels), dan pencemaran dari

udara (pollution from or through the atmosphere).

Tanggung Jawab Dan Kewajiban Ganti Rugi

Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur persoalan tanggung jawab dan

kewajiban ganti rugi berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan

laut.Pasal 235 Konvensi menegaskan bahwa setiap Negara bertanggung jawab untuk

melaksanakan kewajiban internasional mengenai perlindungan dan pelestarian

lingkungan laut, sehingga semua Negara harus memikul kewajiban ganti rugi sesuai

dengan hukum internasional.

Setiap Negara harus mempunyai peraturan perundang-undangan tentang

kompensasi yang segera dan memadai atas kerugian (damage) yang disebabkan oleh

pencemaran lingkungan laut yang dilakukan orang (natural person) atau badan

hukum (juridical person) yang berada dalam jurisdiksinya. Oleh karena itu, setiap

Negara harus bekerja sama dalam mengimplementasikan hukum internasional yang

mengatur tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi untuk kompensasi atas kerugian

akibat pencemaran lingkungan laut, dan juga prosedur pembayarannya seperti apakah

dengan adanya asuransi wajib atau dana kompensasi.

Tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi dari Negara atau disebut tanggung

jawab Negara (state sovereignty) merupakan prinsip fundamental dalam hukum

internasional, sehingga kalau terjadi pelanggaran kewajiban internasional akan timbul

tanggung jawab Negara. Pelanggaran kewajiban internasional tersebut seperti tidak

melaksanakan ketentuan-ketenuan yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982

yang sudah mengikat negaranya.Belum ada perjanjian yang secara khusus mengatur

tanggung jawab Negara dalam hukum internasional. Selama ini persoalan tanggung

jawab Negara mengacu pada Draft Articles on Responsibility of States for

InternationalWrongful Acts yang dibuat oleh Komisi Hukum Internasional. 

International Law Commission (ILC) yang menyatakan: setiap tindakan negara

yang salah secara internasional membebani kewajiban Negara yang bersangkutan.5

5Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Rafika Aditama, Bandung, 2006, hlm 195-196

5

B. International Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969

(Civil Liability Convention).

Konvensi Internasional Mengenai Pertanggungjawaban Perdata Terhadap

Pencemaran Minyak di Laut (International Convention on Civil Liability for Oil

Pollution Damage). CLC 1969 merupakan konvensi yang mengatur tentang ganti rugi

pencemaran laut oleh minyak karena kecelakaan kapal tanker.Konvensi ini berlaku

untuk pencemaran lingkungan laut di laut territorial Negara peserta.Dalam hal

pertanggungjawaban ganti rugi pencemaran lingkungan laut maka prinsip yang

dipakai adalah prinsip tanggung jawab mutlak.

Lingkup Berlakunya

konvensi ini berlaku hanya pada kerusakan pencemaran minyak mentah

(persistent oil) yang tertumpah dan muatan kapal tangki. Konvensi tersebut mencakup

kerusakan pencemaran lokasi termasuk perairan negara anggota konvensi Negara

Bendera Kapal dan Kebangsaan pemilik kapal tangki tidak tercakup dalam tingkup

aplikasi dan CLC Convention.Notasi “kerusakan pencemaran” (Pollution

Damage), termasuk usaha melakukan Pencegahan atau mengurangi kerusakan akibat

pencemaran didaerah teritorial negara anggota konvens, (Preventive measures).

Konvensi ini diberlakukan hanya pada kerusakan yang disebabkan oleh

tumpahan muatan minyak dari kapal tangki dan tidak termasuk tumpahan minyak

yang bukan muatan atau usaha pencegahan murni yang dilakukan dimana tidak ada

sama sekali Minyak yang tumpah dari kapal tangki. Konvensi ini juga hanya berlaku

pada kapal yang mengangkut minyak sebagai muatan yakni kapal tangki pengangkut

minyak. Tumpahan (Spills) dari kapal tangki dalam pelayaran “Ballast

Condition” dan spills dari bunker oil atau kapal selain kapal tangki tidak termasuk

dalam konvensi ini, Kerusakan yang disebabkan oleh “Non-presistent Oil” seperti

gasoline, kerosene, light diesel oil, dan lain sebagainya, juga tidak termasuk dalam

CLC Convention.

Tanggung Jawab Mutlak

Pemilik kapal tangki mempunyai kewajiban ganti rugi terhadap kerusakan

pencemaran yang disebabkan oleh tumpahan minyak dan kapalnya akibat kecelakaan.

Pemilik dapat terbebas dan kewajiban tersebut hanya dengan alasan :

1. Kerusakan sebagai akibat perang atau bencana alam.

2. Kerusakan sebagai akibat dan sabotase pihak lain, atau

6

3. Kerusakan yang disebabkan oleh karena pihak berwenang tidak memelihara alat

bantunavigasi dengan baik.

Alasan pengecualian tersebut diatas sangat terbatas, dan pemilik boleh

dikatakan berkewajiban memberikan ganti rugi akibat kerusakan pencemaran pada

hampir semua kecelakaan yang terjadi.

Batas Kewajiban Ganti Rugi (Limitation of Liability)

Pada kondisi tertentu, pemilik kapal memberikan kompensasi ganti rugi dengan batas

133 SDR (Special Drawing Rights) perton dari tonage kapal atau 14 juta SDR, atau

sekitar US$ 19,3 juta diambil yang lebih kecil. Apabila pihak yang mengklaim

(Claimant) dapat membuktikan bahwa kecelakaan terjadi karena kesalahan pribadi

(actual fault of privity) dari pemilik, maka batas ganti rugi (limit his liability) untuk

pemilik kapal tidak diberikan.

Permintaan Ganti Rugi (Channeling of Liability)

KIaim terhadap kerusakan pencemaran di bawah CLC Convention hanya

dapat ditujukkan pada pemilik kapal terdaftar. Hal ini tldak menghalangi korban

mengklaim kompensasi ganti rugi diluar konvensi ini dari orang lain selain pemlik

kapal. Namun demikian, konvensi melarang melakukan klaim kepada perwakilan atau

agen pemilik kapal.Pemilik kapal harus mengatasi masalah klaim dari pihak ketiga

berdasarkan hukum nasional yang berlaku.

C. Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and

Other Matter 1972 (London Dumping Convention).

London Dumping Convention merupakan Konvensi Internasional untuk

mencegah terjadinya Pembuangan (dumping), yang dimaksud adalah pembuangan

limbah yang berbahaya baik itu dari kapal laut, pesawat udara ataupun pabrik

industri. Para Negara konvensi berkewajiban untuk memperhatikan tindakan dumping

tersebut.Dumping dapat menyebabkan pencemaran laut yang mengakibatkan ancaman

kesehatan bagi manusia, merusak ekosistem dan mengganggu kenyamanan lintasan di

laut.

Beberapa jenis limbah berbahaya yang mengandung zat terlarang diatur dalam

London Dumping Convention adalah air raksa, plastik, bahan sintetik, sisa residu

minyak, bahan campuran radio aktif dan lain-lain. Pengecualian dari tindakan

7

dumping ini adalah apabila ada “foce majeur”, yaitu dimana pada suatu keadaan

terdapat hal yang membahayakan kehidupan manusia atau keadaan yang dapat

mengakibatkan keselamatan bagi kapal-kapal.

D. The International Covention on Oil Pollution Preparedness Response And

Cooperation 1990 (OPRC).

OPRC adalah sebuah konvensi kerjasama internasional menanggulangi

pencemaran laut dikarenakan tumpahan minyak dan bahan beracun yang berbahaya.

Dari pengertian yang ada, maka dapat kita simpulkan bahwa Konvensi ini dengan

cepat memberikan bantuan ataupun pertolongan bagi korban pencemaran laut

tersebut, pertolongan tersebut dengan cara penyediaan peralatan bantuan agar upaya

pemulihan dan evakuasi korban dapat ditanggulangi dengan segera.

Pencemaran laut oleh tumpahan minyak bukan merupakan hal yang baru bagi Negara-

negara Asia Tenggara khususnya di Indonesia, sejak tahun 2003 sampai dengan tahun

2009 pencemaran laut dikarenakan tumpahan minyak berulang kali terjadi di

Kepulauan Seribu, korbannya adalah para masyarakat pesisir dan nelayan, dampak

pencemaran laut oleh minyak sangatlah luas, laut yang tercemar oleh minyak akan

menyebabkan gangguan pada fungsi ekosistem di pesisir laut, kehidupan aquatic

pantai seperti terumbu karang, hutan mangrove dan ikan akan terganggu. Pada sisi

ekonomi, hasil tangkapan seperti udang dan ikan tentu akan beraroma minyak yang

berdampak pada nilai jual yang rendah dan mutu ataupun kualitas menurun. Dengan

adanya gelombang, arus dan pergerakan massa air pasang surut, residu minyak akan

tersebar dengan cepat. Bila tidak ditangani dengan segera, pencemaran limbah minyak

ini akan membawa dampak kesehatan bagi masyarakat yang mengkonsumsi ikan yang

tercemar.

E. International Convention for the Prevention of Pollution from Ships

1973 (Marine Pollution).

Marpol 73/78 adalah konvensi internasional untuk pencegahan pencemaran

dari kapal,1973 sebagaimana diubah oleh protocol 1978. Marpol 73/78 dirancang

dengan tujuan untuk meminimalkan pencemaran laut , dan melestarikan lingkungan

laut melalui penghapusan pencemaran lengkap oleh minyak dan zat berbahaya lainya

dan meminimalkan pembuangan zat-zat tersebut tanpa disengaja.

MARPOL 73/78 garis besarnya mengatur :

8

1. Mewajibkan negara untuk menyediakan fasilitas penerimaan untuk pembuangan

limbah berminyak dan bahan kimia. Ini mencakup semua aspek teknis pencemaran

dari kapal, kecuali pembuangan limbah ke laut oleh dumping, dan berlaku untuk

kapal-kapal dari semua jenis, meskipun tidak berlaku untuk pencemaran yang

timbul dari eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral laut.

2. Semua kapal berbendera di bawah Negara-negara yang menandatangani marpol

tunduk pada persyaratan , tanpa memperhatikan tempat mereka berlayar dan

Negara anggota bertanggung jawab atas kapal yang terdaftar dibawah kebangsaan

Negara masing-masing.

3. Setiap Negara penandatangan bertanggung jawab untuk memberlakukan undang-

undang domestic untuk melaksanakan konvensi dan berjanji untuk mematuhi

konvensi, lampiran dan hukum terkait bangsa-bangsa lain;

4. Mengatur desain dan peralatan kapal;

5. Menetapkan sistem sertifikat dan inspeksi

International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 yang

kemudian disempurnakan dengan Protocol pada tahun 1978 dan konvensi ini dikenal

dengan nama MARPOL 1973/1978. MARPOL 1973/1978 memuat 6 (enam) Annexes

yang berisi regulasi-regulasi mengenai pencegahan polusi dari kapal terhadap :

a. Annex I : Prevention of pollution by oil ( 2 october 1983 )Total hydrocarbons (oily

waters, crude, bilge water, used oils, dll) yang diizinkan untuk dibuang ke laut oleh

sebuah kapal adalah tidak boleh melebihi 1/15000 dari total muatan kapal. Sebagai

tambahan, pembuangan limbah tidak boleh melebihi 60 liter setiap mil perjalanan

kapal dan dihitung setelah kapal berjarak lebih 50 mil dari tepi pantai terdekat.

Register Kapal harus memuat daftar jenis sampah yang dibawa/dihasilkan dan

jumlah limbah minyak yang ada. Register Kapal harus dilaporkan ke pejabat

pelabuhan.

b. Annex II : Control of pollution by noxious liquid substances ( 6 april 1987 )

Aturan ini memuat sekitar 250 jenis barang yang tidak boleh dibuang ke laut,

hanya dapat disimpan dan selanjutnya diolah ketika sampai di

pelabuhan.Pelarangan pembuangan limbah dalam jarak 12 mil laut dari tepi pantai

terdekat.

c. Annex III : Prevention of pollution by harmful substances in packaged form ( 1 july

1992 )Aturan tambahan ini tidak dilaksanakan oleh semua negara yaitu aturan

9

standar pengemasan, pelabelan, metode penyimpanan dan dokumentasi atas limbah

berbahaya yang dihasilkan kapal ketika sedang berlayar

d. Annex IV : Prevention of pollution by sewage from ships ( 27 september

2003 )Aturan ini khusus untuk faecal waters dan aturan kontaminasi yang dapat

diterima pada tingkatan (batasan) tertentu.Cairan pembunuh kuman (disinfektan)

dapat dibuang ke laut dengan jarak lebih dari 4 mil laut dari pantai terdekat. Air

buangan yang tidak diolah dapat dibuang ke laut dengan jarak lebih 12 mil laut dari

pantai terdekat dengan syarat kapal berlayar dengan kecepatan 4 knot.

e. Annex V : Prevention of pollution by garbage from ships( 31 december

1988).Aturan yang mengatur tentang melarang pembuangan sampah plastik ke

laut.

f. Annex IV : Prevention of air pollution by ships

Aturan ini tidak dapat efektif dilaksanakan karena tidak cukupnya negara yang

meratifiskasi (menandatangani persetujuan.)

MARPOL 1973/1978 memuat peraturan untuk mencegah seminimum

mungkin minyak yang mencemari laut. Tetapi, kemudian pada tahun 1984 dilakukan

beberapa modifikasi yang menitik-beratkan pencegahan hanya pada kagiatan operasi

kapal tangki pada Annex I dan yang terutama adalah keharusan kapal untuk

dilengkapai dengan Oily Water Separating Equipment dan Oil Discharge Monitoring

Systems.

2.2 Pengaturan Nasional

Beberapa peristiwa pencemaran yang terjadi di laut yang bersifat lintas batas

nasional telah berkontribusi dalam perkembangan hukum lingkungan nasional

Indonesia.Salah satunya adalah ketika kapal tangki Showa Maru dengan bobot mati

150.288 ton terobek lunasnya di Selat Malaka dan Selat Singapura pada tahun 1975.

Dengan terjadinya peristiwa tersebut, Indonesia menyadari bahwa selalu ada potensi

pencemaran di lingkungan alami dan kemudian meratifikasi beberapa konvensi

internasional, antara lain Konvensi Internasional Brusel 1969 tentang Tanggung

Jawab Perdata terhadap Kerugian Akibat Pencemaran Minyak di Laut, dan Konvensi

Internasional tentang Pembentukan Dana Internasional 1971 dari Kompensasi

10

terhadap Kerugian Akibat Pencemaran Minyak, masing-masing melalui Kepres No.18

dan 19 Tahun 1978, dan Konvensi MARPOL 1973 dengan Kepres No.5 Tahun 1985.6

Dengan demikian peristiwa kandasnya kapal tangki Showa Maru mendorong

terbentuknya RUU Lingkungan Hidup Indonesia yang kemudian dikenal dengan UU

No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup.Dan UU ini

telah diganti dengan UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UUPPLH).7

Indonesia pun telah meratifikasi konvensi Hukum Laut tahun 1982 melalui

Undang-undang No. 17 tahun 1985, maka secara yuridis ketentuan ini telah diadopsi

dan dapat berlaku serta diterapkan oleh pemerintah Indonesia dalam melakukan

pengaturan hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah kelautan, khususnya

penerapan dalam pencemaran laut yang bersifat transnasional.

Disamping tindakan pemerintah indonesia meratifikasi konvensi-konvensi

internasional tentang pencemaran laut diatas juga mengadakan kesepakatan dengan

Negara-negara tetangga dalam ASEAN Treaty 1985  dan persetujuan Tiga Negara di

selat malaka dan selat singapura dikenal sebagai Tripartie Agreement Tentang

pencegahan  dan penanggulangan pencemaran laut di selat malaka antara Indonesia,

malaysi dan singapura sejak tahun 1971 dan terakhir pada tahun 1977 dengan

diterimannya kesepakatan ketiga Negara tentang Traffic Separation Scheme (TSS) di

selat malaka oleh IMCO berdasarkan Resolusi IMCO No A. 3759X 14 november

1975.8

Selain itu pemerintah Indonesia juga telah membentuk 2 instrumen nasional yang

terkait dengan Perlindungan dan PemeliharaanLingkungan Laut, yaitu:

1) Perpres No. 109 tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan

Minyak di Laut (PKDTML) yang mengamanatkan tindakan secara cepat, tepat dan

terkoordinasi untuk mencegah dan mengatasi penyebaran tumpahan minyak di laut

serta menanggulangi dampak lingkungan akibat tumpahan minyak tersebut untuk

meminimalisi kerugian masyarakat dan kerusakan lingkungan laut. Tanggung

jawab atas penyelenggaraan penanggulangan tumpahan minyak di laut tersebut

6 Daud Silalahi, Hukum lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni,Bandung ,2001,hlm 185.

7Dikdik Mohamad Sodik,Hukum Laut Internasional, Refika Aditama,Bandung,hlm 231.

8 M. Daud Silalahi, Op.cit, hlm 186

11

merupakan berada di tangan Tim Nasional PKDTML yang dipimpin oleh Menteri

Perhubungan RI dan beranggotakan 14 Menteri, Panglima TNI, Kapolri, Kepala

Badan dan Kepala Daerah.

2) Kepmenhub No. 355 tahun 2008 tentang Pembentukan Pusat Komando dan

Pengendali Nasional (PUSKODALNAS) PKDTML yang mengamanatkan

koordinasi operasi, dukungan advokasi, pelaksanaan komando, pengendalian

operasi, penyusunan protap Tier-3, dan lain-lain guna merespon kondisi darurat

yang disebabkan oleh tumpahan minyak di laut.

2.3 Prosedur Penyelesaian Perselisihan Sengketa Pencemaran Lingkungan Laut

Di dalam Ketentuan Umum dari Bab XV UNCLOS 1982 tentang Penyelesaian

Perselisihan ditetapkan bahwa pada dasarnya negara peserta UNCLOS 1982 yang

bersengketalah yang akan menyelesaikan perselisihan dengan cara-cara damai

(peaceful means) yang sesuai dengan ketentuan dari Piagam PBB. UNCLOS 1982

juga tidak menghalangi negara peserta UNCLOS 1982 yang bersengketa untuk

mencari metode penyelesaian perselisihan dengan cara damai lainnya (other free

means)9, dan apabila dua asas metode penyelesaian sengketa tersebut tidak berhasil,

maka UNCLOS 1982 mengatur prosedur lain yang bersifat formal dan mengikat,

yaitu melalui10:

a. Mahkamah Internasional Hukum Laut (International Tribunal for the Law of the

Sea) yang berkedudukan di Hamburg, Jerman;

b. Mahkamah Internasional (International Court ofJustice) yang berkedudukan di

Belanda;

c. Arbitrase atau Prosedur Arbitrase Khusus (Arbitration or Special Arbitration

Procedures) yang diatur di dalam Lampiran VII dan VIII UNCLOS 1982; dan

d. Konsiliasi (Conciliation) yang keputusannya tidak mengikat para pihak dan diatur

di dalam Lampiran V UNCLOS 1982.

UNCLOS 1982 juga mengatur bahwa apabila negara peserta UNCLOS 1982

yang bersengketa setuju, maka penyelesaian perselisihan sengketa dapat melalui

persetujuan bilateral, regional atau persetujuan umum yang akan mengatur suatu

prosedur untuk memberikan keputusan yang mengikatbagi masing-masing pihak yang

bersengketa.11 Prosedur di dalam persetujuan bilateral, regional ataupun persetujuan

9Pasal 280 UNCLOS 198210Pasal 281 dan Pasal 287 ayat 1 UNCLOS 198211 Pasal 282 UNCLOS 1982

12

umum tersebut akan ditetapkan sebagai prosedur tetap bagi pihak yang bersengketa

yang akan mengantikan  prosedur yang berlaku di dalam UNCLOS 1982 sebagaimana

telah diuraikan diatas.

2.4 Pencemaran Terhadap Lingkungan Laut di Perairan Asia Tenggara Yang

Melibatkan Indonesia

Dalam dasawarsa terakhir ini gejala pencemaran lingkungan laut (the pollution

of marine environment)12 kian hari menarik perhatian berbagai pihak, baik diwujudkan

dalam bentuk kerjasama Negara-negara yang berada dikawasan tertentu maupun

penelitian yang dilakukan oleh Negara itu sendiri.Sejalan dengan hal tersebut, M.

DaudSilalahi mengatakan pencemaran dapat diartikan sebagai

bentukenvironmental  impairment, adanya gangguan, perubahan, atau perusakan.

Bahkan, adanya benda asing di dalamnya yang menyebabkan unsur lingkungan tidak

dapat berfungsi sebagaimana mestinya (reasonable function)13 sedangkan Dalam

konvensi hukum laut 1982 disebutkan bahwa :

Pencemaran lingkungan laut berarti dimasukkannya oleh manusia secara

langsung atau tidak langsung bahan atau energi ke dalam lingkungan laut termasuk

kuala yang mengakibatkan atau mungkin membawa akibat buruk sedemikian rupa

seperti kerusakan pada kekayaan hati dan kehidupan di laut, bahaya bagi kesehatan

manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk penangkapan ikan dan

penggunaan laut yang sah lainnya, penurunan kualitas kegunaan air laut dan

mengurangi kenyamanan.14

Dari pengertian diatas dapat kita lihat bahwa pencemaran lingkungan laut itu

disebabkan beberapa faktor-faktor yang mengakibatkan menurunya kualitas air laut

itu sendiri, terkait dengan hal  pencemaran minyak dikawan asia tenggara yang

merupakan daerah yang sangat produktif terjadi pencemaran yang sangat merugikan

bagi kawasan asia tenggara yang setiap  tahunnya 3 sampai 4 juta ton minyak

mencemari lingkungan laut, pencemaran tersebut bersifat lintas batas negara sehingga

bukan hanya Negara yang menjadi korban saja yang kena dampaknya tetapi semua

Negara yang pantainya saling berdekatan pasti terkena dampaknya.

12ST. Munadjat Danusaputro, Hukum Pencemaran Dan Usaha Merintis Pola Pembangunan Hukum Pencemaran Nusantara, Litera, Bandung, 1978, hlm 78

13M. Daud Silalahi,Op.cit, hlm 154

14Pasal 1 angka (4) Konvensi Hukum Laut 1982

13

Sumber pencemaran dilaut beragam sumbernya sebagaimana yang penulis

telah sebutkan pada latar belakang diatas, yaitu operasi kapal tanker, kecelakaan kapal

tanker, scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua), serta

kebocoran minyak dan gas dilepas pantai.

a. Operasi kapal tanker

Produk minyak dunia diperkirakan sebanyak 3 miliar ton/tahun dan

setengahnya dikirimkan melalui laut.Setelah kapal tanker memuat minyak kargo,

kapal pun membawa air ballast (sistem kestabilan kapal menggunakan mekanisme

bongkar – muat air) yang biasanya ditempatkan dalam tangki slop. Sampai

dipelabuhan bongkar, setelah proses bongkar selesai sisa muatan minyak dalam tangki

dan juga air ballast yang kotor disalurkan ke dalam tangki slop. Tangki muatan yang

telah kosong tadi dibersihkan dengan water jet, proses pembersihan tangki ini

ditujukan untuk menjaga agar tangki diganti dengan air ballast baru untuk kebutuhan

pada pelayaran selanjutnya.

Hasil buangan dimana bercampur antara air dan minyak ini pun di alirkan kedalam

tangki slop. Sehingga didalam tangki slop terdapat campuran minyak dan air.

Sebelum kapal berlayar, bagian air dalam tangki slop harus dikosongkan dengan

memompakannya ke tangki penampung limbah di terminal atau dipompakan kelaut

dan diganti dengan air ballast yang baru. Tidak dapat disangkal buangan air yang

dipompakan ke laut masih mengandung minyak dan ini akan berakibat pada

pencemaran laut tempat terjadi bongkar muat kapal.

b. Kecelakaan kapal tanker

Beberapa penyebab kecelakaan tanker adalah kebocoran lambung, kandas,

ledakan, kebakaran dan tabrakan.Beberapa kasus di perairan selat malaka adalah

karna dangkalnya perairan dimana kapal dalam muatan keadaan pernuh. Tercatat

beberapa kasus tumpahnya minyak akibat dari kandasnya kapal misalnya kandasnya

kapal showa Maru diselat malaka dan selat singapura pada tahun 197515, diperkirakan

4.500 kilo liter minyak mentah sudah berceceran kelaut dan telah meliputi laut sejauh

15 M. Daud Silalahi, Op.cit, hlm 35

14

5 km dari tempat kejadian16yang membuka mata Negara-negara asia tenggara betapa

pentingnya perlindung terhadap laut dari pencemaran.

c. Scrapping kapal

Proses scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua) ini

banyak dilakukan oleh di industri kapal di asia tenggara termasuk Indonesia sendiri.

Akibat proses ini banyak kandungan metal dan lainnya termasuk kandungan minyak

yang terbuang kelaut diperkirakan sekitar 1.500 ton/tahun minyak yang terbuang ke

laut akibat proses ini dapat merusakan lingkungan laut yang berada disekitar

industri  kapal dinik.

d. Kebocoran minyak dilepas pantai17

Kasus kebocoran ladang minyak dan gas lepas pantai yang terjadi di Laut

Timor pada tanggal 21 Agustus 2009 oleh operator kilang minyak PTT Exploration

and Production (PTTEP) Australia merupakan suatu contoh pencemaran lingkungan

laut lintas batas yang melibatkan 3 negara, yaitu: Indonesia,Timor Leste dan

Australia. Kebocoran ladang minyak dan gas tersebut mencemari  16.420 kilometer

persegi wilayah Indonesia di Laut Timor dan mempunyai implikasi pada banyak hal

antara lain: pencemaran lingkungan laut dan biota laut, pertumbuhan organisme laut

yang terhambat (stunted growth), kematian terhadap organisme laut dan makhluk

hidup lainnya yang mengkonsumsi organisme laut tersebut, serta implikasi langsung

pada kondisi ekonomi nelayan Indonesia yang mengandalkan penghidupan pada

sektor perikanan di daerah tersebut.

PTTEP merupakan operator kilang minyak Thailand yang berlokasi di

Montara Welhead Platform, Laut Timor atau 200 km dari Pantai Kimberley,

Australia. Dari sudut kepentingan Indonesia, tumpahan minyak dengan volume

500.000 liter per hari18menimbulkan efek pencemaran dahsyat di wilayah perairan

Indonesia, terutama di wilayah Kabupaten Rote Ndao dan Kabupaten Sabu Raijua.

Tindakan yang dilakukan Pemerintah RI adalah dengan mengajukan klaim ganti rugi

kepada PTTEP sekaligus menjaga komunikasi diplomatik dengan Pemerintah

16ST. Munadjat Danusaputro, Op.cit, hlm 3817 http:// Pencemaran Lingkungan Laut Lintas Batas dan Prosedur Penyelesaian

Perselisihan di dalam UNCLOS 1982 Ferry Junigwan Murdiansyah's Blog.html, diakses tanggal 5 Desember 2013.

18

15

Australia dan Thailand. Klaim Pemerintah Indonesia kepada PTTEP berujung pada

ganti rugi dengan nilai sebesar ± Rp. 291 miliar atau setara dengan ± US$ 30 juta .

Dari kasus pencemaran minyak Montara tersebut diatas, terdapat suatu kenyataan  di

dalam rezim hukum sekarang yang hanya mengatur mengenai pencemaran yang

bersumber dari kapal, dan belum ada suatu instrumen atau mekanisme khusus yang

mengatur pencemaran minyak di laut yang bersumber dari anjungan migas lepas

pantai. Terkait dengan hal ini, Pemerintah RI telah menyampaikan Proposal untuk

mengatur bentuk tanggung jawab dan kompensasi dari pencemaran minyak dilaut

yang berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore oil exploration and

exploitation) dalam Marine Environmental Protection Committee (MPC)-nya

International Maritime Organization (IMO).Setelah pembahasan di dalam MPC IMO,

Proposal tersebut mendapat dukungan dan telah dibahas lebih lanjut dalam Legal

Committee IMO pada 15-19 November 2010 lalu di London.

Cakupan dari Proposal Pemerintah RI tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1) Indonesia memandang perlu dibentuknya suatu instrumen yang mengatur

tanggung jawab dan skema kompensasi atas pencemaran minyak di laut yang

berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore oil exploration and

exploitation) untuk menghindari terulangnya kejadian serupa di kemudian hari;

2) Mendesak Legal Committee IMO untuk membentuk suatu skema sumber dana

“on-call” atau dana talangan yang dapat digunakan apabila pencemaran minyak di

laut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore oil exploration and

exploitation) kembali terjadi dikemudian hari;

3) Menegaskan kembali Polluters Pay Principle dimana strict liability atas tanggung

jawab insiden pencemaran minyak di laut yang berasal dari anjungan migas lepas

pantai (offshore oil exploration and exploitation) berada pada pemilik kilang

migas lepas pantai yang menyebabkan pencemaran minyak tersebut; dan

4) Perlunya pemilik anjungan migas lepas pantai untuk menggunakan skema

asuransi atas resiko yang mungkin timbul di dalam eksplorasi dan eksplorasi

migas di wilayah jurisdiksi RI, dan lain-lain.

Kasus Montara jelas merupakan suatu tonggak bagi Pemerintah RI untuk

mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjamin kepentingan nasional

Indonesia. Proposal RI di dalam Legal Committee IMO sangat jelas dan merupakan

kepentingan strategis Indonesia, yaitu untuk mengkoordinasioan pembuatan suatu

rezim hukum laut baru, melalui mekanisme multilateral, yang mengatur pencemaran

16

minyak di laut yang berasal dari anjungan migas lepas pantai (offshore oil exploration

and exploitation) guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya kasus Montara serupa

di wilayah jurisdiksi Indonesia dikemudian hari.

BAB III

SIMPULAN

Perlindungan pencemaran lingkungan laut merupakan suatu permasalahan

yang bersifat lintas batas Negara, sehingga diperlukan kerjasama diantara negara-

negara sebagaimana yang diamanatkan oleh hukum lingkungan internasional yang

terdapat dalam konvensi hukum laut 1982. Di Indonsia sendiri telah terdapat

pengaturan mengenai perlindungan terhadap lingkungan laut antara lain dengan

17

diratifikasinya Konvensi Hukum Laut 1982 melalui Undang-undang No. 17 tahun

1985. Selain itu juga Konvensi Internasional Brusel 1969 tentang Tanggung Jawab

Perdata terhadap Kerugian Akibat Pencemaran Minyak di Laut, dan Konvensi

Internasional tentang Pembentukan Dana Internasional 1971 dari Kompensasi

terhadap Kerugian Akibat Pencemaran Minyak, masing-masing melalui Kepres No.18

dan 19 Tahun 1978, dan Konvensi MARPOL 1973 dengan Kepres No.5 Tahun 1985.

Serta UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup,

dan UU ini telah diganti dengan UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku :

Chairul Anwar, Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut Internasional

Konvensi Hukum Laut 1982, Djambatan, Jakarta, 1989.

Daud Silalahi, Hukum lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan

Indonesia, Alumni, Bandung , 2001.

18

Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional, Refika Aditama, Bandung,

2008.

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer,

Rafika Aditama, Bandung, 2006.

Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta , 2009.

Mundjat Danusaputro, Hukum Lingkungan Global Buku IV, Bina Cipta , Bandung,

1981.

ST. Munadjat Danusaputro, Hukum Pencemaran Dan Usaha Merintis Pola

Pembangunan Hukum Pencemaran Nusantara, Litera, Bandung, 1978.

B. Peraturan perundang-undangan:

Undang-Undang No. 17 tahun 1985

Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

Konvensi Hukum Laut 1982

C. Sumber Lain:

http:// Pencemaran Lingkungan Laut Lintas Batas dan Prosedur Penyelesaian

Perselisihan di dalam UNCLOS 1982 Ferry Junigwan Murdiansyah's Blog.html,

diakses tanggal 5 Desember 2013.

19

20