perbedaan hukum laut internasional dan nasional
TRANSCRIPT
PERBEDAAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL DAN
HUKUM LAUT NASIONAL
A. Pendahuluan
Hukum internasional yang lebih banyak mengalami perubahan secara
revolusioner selama empat dekade terakhir, dan khususnya selama satu setengah
dekade terakhir, selain dari pada hukum laut dan jalur-jalur maritim (maritime
highways). Penandatanganan akhir pada tanggal 10 Desember 1982, di Montego Bay
- Jamaica, oleh sejumlah besar negara (tidak kurang dari seratus delapan belas
negara) yang terwakili dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Ketiga tentang
Hukum Laut 1973 sampai 1982 (UNCLOS) guna menyusun suatu ketentuan hukum
internasional yang komprehensif berkaitan dengan hukum laut dibawah judul
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut, mungkin merupakan
perkembangan paling penting dalam keseluruhan sejarah ketentuan hukum
internasional berkenaan dengan lautan bebas. Dalam kaitan ini, yang perlu
dikemukakan hanyalah bahwa sebagian terbesar dari Konvensi, yang memuat
ketentuan-ketentuan hukum yang cukup penting didalamnya, meskipun hukum yang
lama banyak yang berubah karenanya, saat ini tampaknya menuntut konsensus
umum dari masyarakat internasional.
Dalam hal ini harus disadari bahwa siapapun tidak dapat melompat, dengan
tanpa banyak melakukan pembahasan, kepada suatu analisis atas Konvensi 1982 ini
seakan-akan konvensi itu sendiri sudah cukup menjelaskan tentang rezim hukum
internasional mengenai laut, dasar laut dan wilayah-wilayah maritim dewasa ini.
Mengutip pendapat seorang ahli sejarah terkenal, Dr. A. L. Rowse, “landasan dari
semua perkembangan ilmu sosial adalah sejarah; dari sanalah ilmu-ilmu sosial itu
menemukan, baik dalam kadar yang lebih besar maupun lebih kecil, pokok
permasalahan dan bahan-bahan, verifikasi dan kontradiksi”. Selain dari sejarah yang
harus dipahami, pengertian dari hukum laut baik itu hukum laut nasional maupun
hukum laut internasional juga harus dipahami terlebih dahulu.
B. Hukum Laut Nasional
1. Pengertian Hukum Laut Nasional
Sebelum melihat pengetian hukum laut nasional terlebih dahulu kita melihat
pengertian laut. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi
1
permukaan bumi, tetapi definisi ini hanya bersifat fisik semata. Sedangkan laut
menurut definisi hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas
di seluruh permukaan bumi.
Menurut Dr. Wirjono Prodjodikoro SH, menyatakan bahwa pemakaian istilah
“Hukum Laut”tanpa penjelasan akan menimbulkan keragu-raguan, bahkan mungkin
ada kesalahpahaman. Terutama sekali, oleh karena dalam perpustakaan ilmu
pengetahuan hukum di Negeri Belanda dengan tidak sedikit pengaruhnya di
Indonesia istilah “Zee-recht” biasanya terpakai dalam arti yang lebih sempit daripada
yang dimaksudkan oleh Dr. Wirjono Prodjodikoro SH, dengan istilah “Hukum
Laut”.
Ada misalnya dua buku, yang satu dari Mr. W. L. P. A. Molengraaff, yang
lain dari Mr. H. F. A. Vollmar, yang secara monografi meninjau hal yang mereka
namakan “Zee-recht”. Dan lagi ada buku kecil dari Mr. F. G. Scheltema tentang “Het
Nieuwe Zeerecht”. Ternyata yang ditinjau oleh tiga penulis tadi ialah peraturan-
peraturan hukum yang ada hubungannya dengan pelajaran kapal di laut dan
teristimewa mengenai pengangkutan orang atau barang dengan kapal laut.
Juga sekiranya dapat dikatakan, bahwa hal yang mereka tinjau itu, hanyalah
pada pokoknya peraturan-peraturan hukum yang berada di dalam lingkungan
“privaatrecht” (Hukum Perdata), tidak meliputi peraturan hukum yang berada dalam
lingkungan “public recht” (hukum public).
Lain dari pada penulis-penulis tersebut, Dr. Wirjono Prodjodikoro SH,
bermaksud meninjau peraturan-peraturan hukum yang tidak terbatas pada
lingkungan “privaatrecht”, melainkan meliputi juga hal-hal yang oleh penulis-
penulis tersebut diserahkan peninjauannya kepada penulis-penulis tentang hukum
internasional publik, seperti misalnya Mr. J. P. A. Francois dan L. Oppenheim-H.
Lautterpacht, yaitu antara lain mengenai “teritoriale zee” (perairan territorial di laut)
atau hal mencari ikan di laut lebih-lebih Dr. Wirjono Prodjodikoro SH, tidak
membatasi peninjauan pada hukum privaat, oleh karena hukum adat di Indonesia
pada aslinya tidak menyadari adanya perincian hukum secara pembedaan antara
“privaatrecht” dan “publicrecht”. Demikianlah agar jelas semula, bahwa istilah
“hukum laut” dalam arti luas yaitu meliputi segala peraturan hukum yang ada
hubungannya dengan laut, sedang pembatasan peninjauan terletak pada hal yaitu
hanya hukum laut bagi Indonesia, artinya sekedar berlaku untuk Republik Indonesia
dan para warganya.
2
2. Sejarah Hukum Laut Nasional
Keputusan Mahkamah Internasional tahun 1951
Cara penentuan laut territorial di sekeliling kepulauan Indonesia menurut
cara yang kita perbincangkan sekarang mau tidak mau akan mengambil sebagai
suatu garis dasar (base-line) suatu garis lurus yang menghubungkan titik ujung
terluar dari pada kepulauan Indonesia. Cara penarikan “straight base-lines from point
to point” ini mendapat pengakuan dalam hukum intenasional denga keputusan
Mahkamah Internasional dalam Anglo-Norwegian Fisheries Case pada tanggal 18
Desember 1951. Cara penentuan base-line yang ditetapkan dalam Royal Norwegian
Degree dari tanggal 12 Juli ini dibenarkan oleh Mahkamah yang menyatakan “that
the base-lines fixed by the said degree were not contrary to international law”.
Sangat menarik adalah sebab yang mendorong Mahkamah Internasional
untuk mengambil keputusan itu katanya disebabkan oleh “geographical realities” dan
juga dipengaruhi oleh “economics interest” peculiar to a region, the reality and
importance of which are clearly evidenced by long usage”. Walaupun keadaan
geografis Indonesia berlainan yakni garis-garis yang menghubungkan titik ujung
akan jauh lebih panjang dari pada garis terpanjang yang diketengahkan dalam
pertikaian antara Inggris dan Norwegia itu (44 mil), namun keadaan Indonesia
sebagai suatu pulau cukup unik untuk dapat membenarkan cara penentuan garis
pangkal (base-line) yang serupa. Yang penting dalam Anglo Norwegian Fisheries
Case ini adalah bahwa suatu cara penarikan garis pangkal yang lain dari pada cara
yang klasik (yaitu menurut garis air rendah) telah mendapat pengakuan dari
Mahkamah Internasional.
Jadi yang kita lakukan adalah peninjauan kembali dari pada base-line (garis
pangkal) yang disesuaikan dengan keadaan Indonesia sebagai suatu kepulauan
(archipelago).
Dengan demikian kita memperbaiki Undang-undang yang dahulu hanya
mengutamakan kesamaan hukum antara Indonesia sebagai “oversees gebiedsdeel”
dengan Negeri Belanda dalam lingkungan “Het Koninkrijk der Nederlanden”, dari
pada kepentingan integritet territorial dari pada Indonesia sebagai suatu negara
kepulauan dan kepentingan rakyat (dilihat dari sudut ekonomi yaitu lautan sebagai
sumber kekayaan alam). Untuk menjamin kelancaran Negeri yang sangat penting
untuk menyangkal tuduhan-tuduhan negara-negara lain bahwa kita menghalang-
halangi pelayaran bebas, perlu adanya jaminan bahwa : “…..lalu lintas yang damai di
3
lautan pedalaman bagi kapal asing dijamin selama tidak membahayakan kedaulatan
dan keselamatan negara Indonesia”.
3. Perundang-undangan Hukum Laut Nasional
Perpu No. 4 Tahun 1960
Indonesia berkedaulatan penuh atas Perairan Indonesia, baik
kekayaan lautnya, maupun tanah di bawahnya. Perairan Indonesia terdiri
dari dua bagian. Pertama adalah perairan pedalaman, yaitu perairan yang
berada di dalam garis dasar. Kedua adalah laut wilayah (laut teritorial)
Indonesia selebar dua belas (12) mil laut di luar garis dasar dan diukur tegak
lurus terhadapnya. Garis dasar adalah garis-garis lurus yang
menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah dari pulau-pulau
atau bagian pulau-pulau terluar wilayah Indonesia dengan ketentuan bahwa
jika ada selat yang lebarnya melebihi 24 mil laut dan Negara Indonesia tidak
merupakan satu-satunya negara tepi, maka garis batas wilayah Indonesia
ditarik pada tengah selat.
UU No. 1 Tahun 1973
Landas Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya
di luar perairan wilayah (teritorial) Republik Indonesia (sebagaimana Perpu
no. 4 tahun 1960) sampai kedalaman 200 meter atau lebih (jika
memungkinkan). Negara memiliki kuasa penuh dan hak eksklusif atas
kekayaan alam di Landas Kontinen Indonesia.
Barang siapa melakukan eksplorasi, eksploitasi, dan penyelidikan
ilmiah sumber-sumber kekayaan lain di Landas Kontinen Indonesia,
diwajibkan mengambil langkah-langkah untuk:
a. Mencegah terjadinya pencemaran air laut di Landas Kontinen
Indonesia dan udara di atasnya
b. Mencegah meluasnya pencemaran dalam hal terjadi
pencemaran (maksudnya adalah apabila terjadi pencemaran)
Dalam melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di
landas kontinen harus diindahkan dan dilindungi kepentingan-kepentingan:
a. Pertahanan dan keamanan nasional
b. Perhubungan
4
c. Telekomunikasi dan transmisi listrik di bawah laut Perikanan
d. Penyelidikan oseanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya
e. Cagar alam
Pelanggaran terhadap UU no. 1 Tahun 1973 ini (saja) diancam
hukuman paling lama enam (6) tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya
Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Tap MPR VI Tahun 1978
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
(MPR RI) tentang pengukuhan penyatuan wilayah Timor Timur ke dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Juli 1978.
UU No. 5 Tahun !983
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan
dengan laut wilayah (teritorial) Indonesia sebagaimana ditetapkan
berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang
meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas
terluar dua ratus (200) mil laut diukur dari garis pangkal (garis dasar) laut
wilayah (teritorial) Indonesia. Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif negara-negara yang
pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka
batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut
ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan negara yang
bersangkutan. Selama persetujuan yang telah tersebut di atas belum ada dan
tidak terapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka
batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut adalah
garis sama jarak antara garis-garis pangkal Indonesia dan garis-garis
pangkal negara tersebut.
Pada Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Republik Indonesia
mempunyai hak berdaulat untuk eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan
konservasi sumber daya alam hayati dan non-hayati dari dasar laut serta
tanah di bawahnya. Selain itu, Republik Indonesia juga mempunyai
yurisdiksi yang berhubungan dengan:
5
a. Pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan , instalasi-
instalasi, dan bangunan-bangunan lainnya
b. Penelitian ilmiah mengenai kelautan
c. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut
d. Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, kebebasan pelayaran dan
penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan
pipa bawah laut diakui sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut
internasional yang berlaku.
UU No. 17 Tahun 1985
Mengesahkan United Nations Convention the Law of the Sea
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) yang telah
ditandatangani oleh Negara Republik Indonesia bersama seratus belas
penandatangan lain di Montego Bay, Jamaica pada 10 Desember 1982.
UU No. 6 Tahun 1996
Negara Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan. Segala
perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang
termasuk daratan Negara Republik Indonesia merupakan bagian dari
perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik
Indonesia. Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia
yang selebar 12 mil laut dari garis pangkal, perairan kepulauan yaitu
perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan, dan
perairan pedalaman yaitu semua perairan yang terletak pada sisi darat dari
garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia. Panjang garis pangkal lurus
kepulauan tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut , kecuali 3% dari
jumlah keseluruhan garis-garis pangkal yang mengelilingi kepulauan
Indonesia dapat melebihi kepanjangan tersebut hingga 125 (seratus dua
puluh lima) mil laut.
PP No. 61 Tahun 1998
PP ini berisi tentang garis-garis pangkal kepulauan di Laut Natuna
ditarik dari garis-garis air rendah pulau-pulau terluar secara rinci. Dengan
berlakunya PP ini, maka perairan Indonesia di sekitar Laut Natuna yang
6
semula merupakan laut lepas (mengacu pada Perpu No. 4 Tahun 1960) serta
bagian selatannya yang merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif
(sesuai UU No. 5 Tahun 1983), diklaim sebagai Perairan Kepulauan
Indonesia (sebelah dalam dari garis pangkal) dan Laut Teritorial Indonesia.
PP No. 38 Tahun 2002
Pemerintah menarik garis pangkal kepulauan untuk menetapkan lebar
laut teritorial tang dilakukan dengan menggunakan:
Garis pangkal lurus kepulauan
Yaitu garis lurus yang menggunakan titik-titik terluar pada garis air rendah
pada titik terluar pulau terluar, dan karang kering terluar yang lainnya yang
berdampingan. Panjangnya tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali 3% dari
jumlah keseluruhan garis pangkal lurus kepulauan dapat melebihi kepanjangan
tersebut hingga 125 mil laut.
Garis pangkal biasa
Yaitu garis air rendah sepanjang pantai yang ditetapkan berdasarkan datum
hidrografis yang berlaku.
Garis pangkal lurus
Yaitu garis yang lurus ditarik antara titik-titik terluar pada garis air rendah
yang menonjol dan berseberangan di muka lekukan pantai tersebut. Pada pantai di
mana karena terdapat delta atau kondisi alamiah lainnya, garis pantai sangat tidak
stabil, garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis pangkal lurus.
Garis penutup teluk
Yaitu garis lurus yang ditarik antara titik-titik terluar pada garis air rendah
yang paling menonjol dan berseberangan pada mulut-mulut teluk tersebut. Garis
penutup teluk hanya bisa ditarik apabila luas teluk tersebut adalah seluas atau lebih
luas daripada luas setengah lingkaran yang garis tengahnya adalah garis penutup
yang ditarik pada mulut teluk tersebut. Apabila pada teluk terdapat pulau-pulau yang
membentuk lebih dari satu mulut teluk, maka jumlah panjang garis penutup dari
berbagai mulut teluk tersebut maksimum adalah 24 mil laut.
Garis penutup muara sungai, terusan, dan kuala
Garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis lurus sebagai
penutup pada muara sungai, atau terusan tersebut.
7
Garis penutup pada pelabuhan
Pada daerah pelabuhan, garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial
adalah garis-garis lurus sebagai penutup daerah pelabuhan, yang meliputi bangunan
permanen terluar yang merupakan bagian integral sistem pelabuhan sebagai bagian
dari pantai.
C. HUKUM LAUT INTERNASIONAL
1. Pengertian
Hukum Laut Internasional adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur hak
dan kewenangan suatu negara atas kawasan laut yang berada dibawah yurisdiksi
nasionalnya (national jurisdiction).
2. Sejarah Hukum Laut Internasional
Lahirnya konsepsi hukum laut internasional tersebut tidak dapat dilepaskan dari
sejarah pertumbuhan hukum laut internasional yang mengenal pertarungan antara
dua konsepsi, yaitu : a. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah
milik bersama masyarakat dunia, dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki
oleh masing-masing negara; b. Res Nulius, yang menyatakan bahwa laut tidak yang
memiliki, dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.
Pertumbuhan dan perkembangan kedua doktrin tersebut diawali dengan sejarah
panjang mengenai penguasaan laut oleh Imperium Roma.
Kenyataan bahwa Imperium Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan
karenanya menguasai seluruh lautan tengah secara mutlak. Dengan demikian
menimbulkan suatu keadaan di mana lautan tengah menjadi lautan yang bebas dari
gangguan bajak-bajak laut, sehingga semua orang dapat mempergunakan lautan
tengah dengan aman dan sejahtera yang dijamin oleh pihak Imperium Roma.
Pemikiran umum bangsa Romawi trhadap laut didasarkan atas doktrin res communis
omnium ( hak bersama seluruh umat manusia), yang memandang penggunaan laut
bebas atau terbuka bagi setiap orang. Asas res communis omnium di samping untuk
kepentingan pelayaran, menjadi dasar pula untuk kebebasan menangkap ikan.
Bertitik tolak dari perkembangan doktrin res communius omnium tersebut
diatas, tamapk bahwa embrio kebebasan laut lepas sebagai prinsip kebebasan di laut
lepas telah diletakkan jauh sejak lahirnya masyarakat bangsa-bangsa. Tidak dapat
8
dipungkiri lagi bahwa doktrin ini dalam sejarah hukum laut internasional pada masa-
masa berikutnya.
Di sisi lain, dalam melaksanakan kekuasaannya di laut, banyak tanda-tanda
yang menunjukkan bahwa dalam pandangan orang Romawi laut itu dapat dimiliki, di
mana dalam zaman itu hak penduduk pantai untuk menangkap ikan di perairan dekat
pantainya telah diakui. Pemilikan suatu kerajaan dan negara atas laut yang
berdekatan dengan pantainya didasrkan atas konsepsi res nelius
Menurut konsepsi res nelius , laut bisa dimiliki apabila yang berhasrat
memilikinya bisa menguasai dan mendudukinya. Pendudukan ini dalam hukum
perdata romawi dikenal sebagai konsepsi okupasi (occupation). Keadaan yang
dilakukiskan di atas berakhir dengan runtuhnya Imperium Romawi dan munculnya
pelbagai kerajaan dan negara di sekitar lautan Tengah yang masing-masing merdeka
dan berdiri sendiri yang satu lepas dari yang lain. Walaupun penguasaan mutlak
Lautan Tengah oleh Imperium Romawi sendiri telah berakhir, akan tetapi pemilikan
lautan oleh negara-negara dan kerajaan tetap menggunakan asas-asas hukum
Romawi.
Berdasarkan uraian diatas, jelas kiranya bahwa bagi siapa pun yang mengikuti
perkembangan teori perkembangan hukum internasional, asas- asas hukum Romawi
yang disebutkan diatas memang mengilhami lahirnya pemikiran hukum laut
internasional yang berkembang dikemudian hari.
Daptlah dikatakan bahwa kedua konsepsi hukum laut Romawi itu merupakan hukum
laut internasional tradisional yang menjadi embrio bagi dua pembagian laut yang
klasik, laut teritorial dan laut lepas.
Dalam konteks kedaulatan negara atas laut, pertumbuhan dan perkembangan
hukum laut internasional setelah runtuhnya Imperium Romawi diawali degan
munculnya tuntutan sejumlah negara atau kerajaan atas sebagian laut yang
berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan yang bermacam-macam. Misalnya,
Venetia mengklaim sebagian besar dari laut Adriatik, suatu tuntutan yang diakui oleh
Paus Alexander III pada tahun 1177. Berdasarkan kekuasaanya atas laut Adriatik ini,
Venetia memungut bea terhadap setiap kapal yang berlayar di sana. Genoa juga
mengklaim kekuasaan atas Laut Liguria dan sekitarnya serta melakukan tindakan-
tindakan untuk melaksanakannya. Hal yang sama dilakukan oleh Pisa yang
mengklaim dan melakukan tindakan-tindakan atas Laut Thyrrhenia. Kekuasaan yang
dilaksanakan oleh negara-negara atau kerajaan-kerajaan tersebut dengan laut yang
9
berbatasan dengan pantainya dilakukan dengan tujuan yang di zaman sekarang
barangkali dapat disebut kepentingan: (karantina); (2) bea cukai; (3) pertahanan dan
netralitas
Dalam pertumbuhan hukum laut internasional berikutnya, sejarah
perkembangan hukum laut internasional telah mencatat sutu peristiwa penting, yaitu
pengakuan Paus Alexander VI pada tahun 1493 atas tuntutan Spanyol dan Portugal,
yang membagi samudera di dunia untuk kedua negara itu dengan batasnya garis
meridian 100 leagues (kira-kira 400 mil laut) sebelah barat Azores. Sebelah barat
dari meridian tersebut (yang mencakup Samudera Atlantik barat, Teluk Mexico dan
Samudera Pasifik) menjadi milik Spanyol, sedangkan sebelah timurnya (yang
mencakup Samudra Atlantik sebelah selatan Marokko dan Samudera India) menjadi
milik Potugal . Pembagian Paus Alexander VI tersebut diatas kemudian diperkuat
oleh Perjanjian Todesillas antara Spanyol dan Portugal pada tahun 1494, tetapi
dengan memindahkan garis perbatasannya menjadi 370 leagues sebelah barat pulau-
pulau Cape Verde di pantai barat Afrika. Sedangkan negara-negara lain, seperti
Denmark telah pula menuntut Laut Baltik dan Laut Utara antar Norwegia dan
Iceland, dan Inggris telah menuntut pula laut di sekitar kepulauan Inggris (Mare
Anglicanum) sebagai milik masing-masing.
Pembagian dua laut dan Samedera di dunia untuk Spanyol dan Portugal dengan
menuntup laut-laut tertentu bagi pelayaran internasional, merupakan awal dari era
penjajahan kedua kerajaan tersebut di Amerika Selatan.
Perkembangan selanjutnya memperlihatkan bahwa ternyata pembagian dua laut
dan samudera, serta klaim keempat kerajaan di Eropa Barat mengenai konsepsi laut
tertutup (mare clausum) mendapat tantangan dari belanda yang memperjuangkan
asas kebebasan berlayar (freedom of navigation) yang didasarkan atas pendirian
bahwa lautan itu bebas untuk dilayari oleh siapapun. Belanda yang diwakili oleh
Hugo Grotius (selanjutnya disebut Grotius), yaitu bapak Hukum Laut Internasional
yang memperjuangkan asas kebebasan lautdengan cara yang paling gigih walaupun
bangsa Inggris dengan Ratu Elisabeth- nya lebih dikenal sebagai perintis asas
kebebasan laut ini. Perjuangan armada-armada Belanda dan Inggris melawan
armada-armada Spanyol dan Portugal di lautan akhirnya manjadi asas kebebasab
pelayaran ini menjadi suatu kenyataan. Perkembangan penting dalam hukum laut
internasional yang perlu dicatat adalah pertarungan antara penganut doktrin laut
bebas (mare liberium) dan laut tertutup (mare clausum)
10
Doktrin laut bebas (lepas) yang diwakili oleh Grotius, didasarkan pada teori
mengenai lautan bahwa pemilikan, termasuk atas laut hanya bisa terjadi melalui
pessession ini hanya bisa terjadi melalui okupasi, dan okupasi hanya bisa terjadi atas
barang-barang yang dapat dipegah teguh. Untuk dapat dipegang teguh maka barang-
barang tersebut harus ada batasnya.Laut adalah sesuatu yang mempunyai batas,
sehingga laut tidak dapat di okupasi sebab ia cair dan tidak terbatas. Barang cair
hanya bisa dimiliki dengan memasukkanya ke dalam sesuatu yang lebih padat.
Dengan demikian, maka tuntutan atas laut yang didasarkan pada penemuan,
penguasaan tidaklah dapat diterima karena semua itu bukanlah alasan utuk
memperoleh pemilikan atas laut. Meskipun demikian Grotius mengakui bahwa anak-
anak laut dan sungai-sungai, sekalipun cair, dapat dimiliki karena ada batas -batas
nya di mana tepinya dapat dianggap sebagai sesuatu yang lebih padat.
Prinsip kebebasan laut yang dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya Mare
Liberium, di bidang pelayaran telah digunakan oleh Belanda untuk menerobos
masuk ke Samudra India dalam usahanya memperluas perdagangan ke Nusantara.
Peristiwa ini membuka jalan bagi Belanda untuk menguasai dan menjajah Indonesia
selama tiga ratus lima puluh tahun. Oleh karena itu, sama hal nya dengan
penguasaan negara atas laut yang dilakukan oleh Spanyol dan Portugal, Belanda juga
mempunyai agenda dan tujuan politik untuk menguasai negara-negara lainya,
khususnya Indonesia.
2. Garis Pangkal
Garis pangkal merupakan titik” air terendah yang penetapanya disesuaikan
dengan cara penarikan garis” pangkal tersebut.
1. Garis pangkal biasa yaitu garis air terendah sepanjang pantai pada waktu
air sedang surut, yang mengikuti liku/morfologi pantai pada mulut sungai
teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil dan pelabuhan garis air
terendah tersebut dapatditarik sebagai suatu garis lurus. syaratnya:
mulut sungai
teluk yang lebar tidak lebih mulutnya dari 24 mil
pelabuhan
2. Garis pangkal lurus yaitu garis air terendah yang menghunungkan titik”
pangkal berupa titik terluar dari pantai gugusan pulau didepannya
syaaratnya dari negara:
11
garis pantai yang menikung jauh kedalam
ada daratan /gugusan pula yang ada didekatnya
ada delta
kondisi alam lainnya yang menyebabkan garis pantai tidak tetap
adanya kepentingan ekonomi khusus bagi negara tersebut
Garis pangkal lurus :
tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari umum suatu pantai
tidak boleh ditarik dari evaluasi surut.
3. Garis pangkal lurus kepulauan yaitu garis” air terendah yang
menghubungkan titik” terluar pada pulau /karang kering yang terluar dari
wilayah negara tersebut. syaratnya:
harus meliputi pulau utama suatu Negara
perbandingan luas /wilayah air/daratan harus berkisar 1 banding 1
sampai 1 banding 4
3. Perairan Pedalaman
Dalam pasal 8 ayat (1) United Nations Conventions on the Law of the Sea
(UNCLOS 1982) disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan Pedalaman adalah
perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial. Pasal tersebut selengkapnya
berbunyi, “perairan pada sisi darat garis pangkal laut territorial merupakan bagian
perairan pedalaman negara tersebut”. Sedangkan dalam pasal 3 (4) UU No. 6 Tahun
1996 Tentang Perairan Indonesia disebutkan bahwa, “Perairan Pedalaman Indonesia
adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-
pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian dari perairan yang terletak
pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud dalam pasal 7.
Perairan Pedalaman Indonesia terdiri atas: laut pedalaman, dan perairan darat.
Selanjutnya, laut pedalaman menurut pengertian undang-undang ini adalah
bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dan gari air
rendah. Sedangkan Perairan Darat adalah segala perairan yang terletak pada sisa
darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah segala
perairan yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai.
4. Laut Territorial
12
Laut teritorial atau perairan teritorial (bahasa Inggris: Territorial sea) adalah
wilayah kedaulatan suatu negara pantai selain wilayah daratan dan perairan
pedalamannya; sedangkan bagi suatu negara kepulauan seperti Indonesia, Jepang,
dan Filipina, laut teritorial meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya
perairan kepulauannya dinamakan perairan internal termasuk dalam laut teritorial
pengertian kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut
dan tanah di bawahnya dan, kedaulatan atas laut teritorial dilaksanakan dengan
menurut ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut
(United Nations Convention on the Law of the Sea) lebar sabuk perairan pesisir ini
dapat diperpanjang paling banyak dua belas mil laut (22,224 km) dari garis dasar
(baseline-sea).
5. Kepulauan
Kepulauan adalah rantai atau gugus kumpulan dari pulau-pulau, kepulauan
yang terbentuk tektonik. Kata kepulauan berasal dari Yunani ἄρχι- - arkhi-
("kepala") dan πέλαγος - pelagos ("laut") yang berasal dari rekonstruksi linguistik
bahasa Yunani abad pertengahan ἀρχιπέλαγος tepatnya nama untuk Laut Aegea dan,
kemudian, dalam penggunaan bergeser untuk merujuk pada Kepulauan Aegean atau
merujuk pada jumlah kumpulan yang besar pulau-pulau. Sekarang digunakan secara
umum yang mengacu pada setiap kelompok besar pulau seperti yang tersebar pada
Laut Aegea.
6. Zona Tambahan
Menurut J.G Starke, zona tambahan adalah suatu jalur perairan yang
berdekatan dengan batas jalur maritim atau laut teritorial, tidak termasuk kedaulatan
negara pantai, tetapi dalam zona tersebut negara pantai dapat melaksanakan hak-hak
pengawasan tertentu untuk mencegah pelaggaran peraturan perundang-undangan
saniter, bea cukai, fiskal, pajak dan imigrasi di wilayah laut teritorialnya. Sepanjang
12 mil atau tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal.
Zona tambahan didalam pasal 24 (1) UNCLOS III dinyatakan bahwa suatu zona
dalam laut lepas yang bersambungan dengan laut teritorial negara pantai tersebut
dapat melaksanakan pengawasannya yang dibutuhkan untuk:
13
1. Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang
berkenaan dengan masalah bea cukai (customs), perpajakan (fiskal),
keimigrasian (imigration), dan kesehatan atau saniter.
2. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan-peraturan
perundang-undangannya tersebut di atas.
Didalam ayat 2 ditegaskan tentang lebar maksimum dari zona tambahan tidak
boleh melampaui dari 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal ini berarti bahwa
zona tambahan itu hanya mempunyai arti bagi negara-negara yang mempunyai lebar
laut teritorial kurang dari 12 mil laut (ini menurut konvensi Hukum Laut Jenewa
1958), dan sudah tidak berlaku lagi setelah adanya ketentuan baru dalam Konvensi
Hukum Laut 1982. Menurut pasal 33 ayat 2 Konvensi Hukum Laut 1982, zona
tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, dari garis pangkal dari mana lebar laut
teritorial itu diukur. Berikut ini beberapa hal guna memperjelas tentang letak zona
tambahan itu:
Pertama, Tempat atau garis dari mana lebar jalur tambahan itu harus
diukur, tempat atau garis itu adalah g aris pangkal.
Kedua, Lebar zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, diukur
dari garis pangkal.
Ketiga, Oleh karena zona laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal
adalah merupakan laut teritorial, maka secara praktis lebar zona tambahan
itu adalah 12 mil (24-12) mil laut, itu diukur dari garis atau batas luar laut
territorial, dengan kata lain zona tambahan selalu terletak diluar dan
berbatasan dengan laut teritorial.
Keempat, Pada zona tambahan, negara pantai hanya memiliki yurisdiksi
yang terbats seperti yang ditegaskan dalam pasal 33 ayat 1 Konvensi Hukla
1982. Hal ini tentu saja berbeda dengan laut teritorial dimana negara pantai
di laut teritorial memiliki kedaulatan sepenuhnya dan hanya dibatasi oleh
hak lintas damai.
14
KESIMPULAN
1. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan
bumi, tetapi definisi ini hanya bersifat fisik semata. Sedangkan laut
menurut definisi hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan
secara bebas di seluruh permukaan bumi. Bahwa istilah “hukum laut”
dala arti luas yaitu meliputi segala peraturan hukum yang ada
hubungannya dengan laut, sedang pembatasan peninjauan terletak pada
hal yaitu hanya hukum laut bagi Indonesia, artinya sekedar berlaku untuk
Republik Indonesia dan para warganya.
2. Hukum laut internasional adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hak dan kewenangan suatu negara atas kawasan laut yang berada dibawah
yurisdiksi nasionalnya (national jurisdiction).
3. Sejarah Hukum Laut Nasional dapat dilihat dalam Keputusan Mahkamah
Internasional tahun 1951, yakni: Cara penentuan laut territorial di
sekeliling kepulauan Indonesia menurut cara yang kita perbincangkan
sekarang mau tidak mau akan mengambil sebagai suatu garis dasar (base-
line) suatu garis lurus yang menghubungkan titik ujung terluar dari pada
kepulauan Indonesia. Cara penarikan “straight base-lines from point to
point” ini mendapat pengakuan dalam hukum intenasional denga
keputusan Mahkamah Internasional dalam Anglo-Norwegian Fisheries
Case pada tanggal 18 Desember 1951. Cara penentuan base-line yang
ditetapkan dalam Royal Norwegian Degree dari tanggal 12 Juli ini
dibenarkan oleh Mahkamah yang menyatakan “that the base-lines fixed
by the said degree were not contrary to international law”.
4. Sejarah Hukum Laut Internasional Dua perkembangan penting dari
sejarah hukum laut internasional terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia
Kedua yaitu:
Evaluasi dan penerimaan umum atas doktrin landas kontinen
(continental shelf)
Keputusan-keputusan International Court of Justice dalam
perkara Anglo-Norwegian Fisheries Case yang memperkuat
metode dalam hal-hal tertentu penarikan garis dasar pada jarak
tertentu dari garis pantai negara pesisir terkait, dari mana garis
15
dasar lebar jalur maritim di ukur, sebagai pengganti tanda air
surut yang merupakan akhir garis jalur maritim.
Di luar fakta bahwa keempat konvensi 1958 dan konvensi 1965 telah
menetapkan secara kolektif suatu rezim yang mengatur pemanfaatan, dan hak-hak
yang berkaitan dengan laut lepas dan laut territorial, instrument-instrumen ini juga
sesungguhnya telah membuka jalan bagi dan menetapkan landasan fundamental bagi
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut yang komprehensif
yang telah ditandatangani Montego Bay - Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982.
Perkembangan-perkembangan yang timbul sejak tahun 1960 sampai dengan
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 negenai hukum laut adalah :
Lebar laut territorial secara tepat
Masalah lintas damai bagi kapal-kapal perang setiap waktu melintasi selat-
selat yang merupakan jalan raya maritim internasional, dan yang seluruhnya
merupakan perairan laut territorial
Hak lintas, dan terbang lintas dalam hubungannya dengan perairan kepulauan
Masalah perlindungan dan konservasi spesies-spesies khusus untuk
kepentingan-kepentingan ilmiah atau fasilitas kepariwisataan.
B. Saran
Dari kesimpulan diatas dapat disarankan bahwa, agar kita dapat memahami
secara baik materi tentang hukum laut baik itu hukum laut nasional maupun hukum
laurt internasional sebaiknya terlebih dahulu kita mengetahui pengertian dan juga
sejarahnya, agar kita dapat memahami materi selanjutnya dengan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Junaidi Indrawadi, dkk. 2006. Buku Ajar Hukum Internasional. Padang: UNP Press.
Mochtar Kusumaatmadja. 1978. Hukum Laut. Jakarta: Binacipta.
Munadjat Danusaputro. 1981. Wawasan Nusantara dalam Hukum Laut Internasional. Jakarta: Alumni.
Starke, J. G. 1988. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.
Wirjono Prodjodikoro. 1976. Hukum Laut di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung.
16