paper hukum pembuktian (hansel)
TRANSCRIPT
HUKUM PEMBUKTIAN DALAM HUKUM PIDANA DI
INDONESIA
Oleh : Hansel NG
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah hukum adalah masalah pembuktian di pengadilan.1 Pembuktian
menjadi substansi yang begitu penting dalam proses pengadilan, karena dalam
pembuktianlah seseorang dapat dilihat secara kebenaran materiil maupun formil
apakah seseorang itu benar-benar bersalah atau tidak. Di dalam pembutkian juga
sangat dibutuhkan kebijaksanaan dari Majelis Hakim untuk menjadi dasar putusan
bersalah atau tidaknya seorang terdakwa. Seringkali permasalahan hukum yang
dihadapi berkaitan dengan pembuktian, seperti kurangnya alat bukti, keyakinan
hakim, atau mungkin kesalahan-kesalahan dalam melihat alat bukti yang dihadirkan.
Keyakinan hakim juga menjadi salah unsur terpenting di dalam pembuktian.
Di dalam kosa kata bahasa Inggris, ada dua kata yang sama-sama
diterjamahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai ‘bukti’, yaitu evidence dan proof.
Evidence, berarti informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu
keyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar. Sementara proof
berarti suatu kata yang memiliki berbagai arti. Namun, dalam hukum proof mengacu
kepada hasil suatu proses evaluasi dan menarik kesimpulan terhadap evidence atau
dapat juga digunakan lebih luas untuk mengacu kepada proses itu sendiri.2
Menurut Dr. Munir Fuady hukum pembuktian adalah suatu proses, baik
dalam acara perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan
menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus,
untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau
pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh
1 Munir Fuady. Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata). Jakarta: PT Citra Aditya Bakti. 2012. hlm. 12 Eddy Hiariej. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga. 2012. hlm. 2
1
salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan
itu.3
Sesuai dengan satu kesatuan dari pertanggungjawaban pidana dan kesalahan
dari sebuah perbuatan pidana (strafbaarfeit) menurut Prof. Moeljatno4, semua hal ini
dapat terlihat dari dalam pembuktian suatu perkara di pengadilan.Apakah seseorang
benar-benar terpenuhi unsur melawan hukumnya serta kesalahan (feit) dalam
perbuatannya sehingga dapat dikatakan sebagai strafbaarfeit.
Tentu di dalam hukum pembuktian ada serangkaian prosedur atau tata cara
untuk melakukannya untuk usaha penuntut umum dalam membuktikan sebuah
perkara bahwa terdakwa benar-benar bersalah. Sebaliknya, penasehat hukum
terdakwa akan berusaha untuk membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah dengan
membuktikan tidak terpenuhinya unsur-unsur yang didakwakan.
Tata cara itu meliputi; apa saja alat yang dapat dikatakan sebagai alat bukti
sehingga dapat memperkuat pembuktian serta bagaimana cara menentukan sah atau
tidaknya alat bukti tersebut yang diakhiri dengan keyakinan hakim untuk memutus.
Mengingat hukum pidana adalah hukum yang dapat mencerminkan
bagaimana kondisi masyarakat di dalam suatu negara, sesuai pendapat Profesor
Satjipto Rahardjo. Maka penting hukum pidana dapat berlangsung secara tepat
sehingga bermanfaat bagi masyarakatnya.
Melihat hukum pidana yang begitu penting maka perlu dilihat dalam tata
beracaranya, yang mana salah satu unsur terpenting dalam membuktikan seseorang
bersalah atau tidaknya adalah dalam pembuktian. Hal ini terlihat demikian
pentingnya hukum pembuktian.
Sumber data yang kami gunakan adalah referensi buku, jurnal dan artikel,
laporan resmi dan media internet. Dengan sumber data yang saya gunakan ini, saya
mencoba untuk membahas lebih dalam bagaimana hukum pembuktian dalam pidana
yang berlaku di Indonesia.
3 Munir Fuady, Loc. Cit., hlm.1-24 Prof. Moeljatno. Asas-asas hukum pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2015. hlm. 62
2
1.2 Rumusan Pembahasan
Berdasarkan topik tentang “Hukum Pembuktian dalam Hukum Pidana di
Indonesia”, beberapa hal yang perlu diungkap dalam penelitian ini sebagai berikut:
1) Apa teori hukum pembuktian yang dianut di dalam Hukum Acara
Pidana Indonesia?
2) Apa konsep yang fundamental dari suatu pembuktian?
1.3 Tujuan Pembahasan
Berkenaan dengan permasalahan pada 1.2 di atas, maka tujuan dari peneltian
ini adalah:
1) ingin menjelaskan mengenai teori hukum pembuktian yang dipakai
dalam Hukum Acara Pidana Indonesia;
2) ingin menjelaskan tentang konsep fundamental pada pembuktian;
1.4 Kerangka Teori dan Konseptual
Hukum pembuktian adalah suatu proses, baik dalam acara perdata, acara
pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti
yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah
suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan
di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses
pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu. (Fuady, 2012:1)
Evidence must be relevant in order for a court to receive it. This means that
is must relate to some fact which is proper objeck of the proof in the proceedings.
The evidence must be relate the fact to be proved in the sense that it tends to make
the existence (or non-existence) of the fact more probable, or less probable, that it
would be without evidence. (Dennis, 2007:5)
Suatu bukti haruslah dapat diterima atau admisisible. Jika bukti sudah
diterima biasanya sudah dengan sendirinya relevan. (Best, 1994:1)
Exclusionary rule sebagai prinsip hukum yang mensyaratkan tidak diakuinya
bukti yang diperoleh secara melawan hukum. (Gerstenfeld, 2008:348)
3
Setiap bukti yang relevan dan dapat diterima harus dapat dievaluasi oleh
hakim. (Hiariej, 2012:12)
Alat bukti yang sah ialah (Pasal 184 ayat (1) KUHAP): (Hamzah, 2014:306)
1. Keterangan Saksi
2. Keterangan Ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan Terdakwa
Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia denganr
sendiri, lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu. (Hamzah, 2014:233)
Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. (Hamzah, 2014:233)
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya,baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana
itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(Hiariej, 2012:109)
Cross Examination (Fuady, 2012:110) adalah suatu proses pemeriksaan saksi
di pengadilan, baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana, atau proses
mengajukan pertanyaan kepada terdakwa, yang dengan menggunakan cara tertentu
advokat atau jaksa bertanya sehingga karenanya diharapkan dapat dikorek suatu
keterangan yang benar dari seorang saksi, dimana pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan kepada saksi tersebut umumnya merupakan pertanyaan yang mengontrol
dan menekan (leading question) yang dilakukan dan dirumuskan sedemikian rupa
sehingga tidak ada kesempatan bagi saksi untuk berbohong atau merekayasa jawaban
secara tidak benar.
Direct examination (Fuady, 2012:110) adalah eksaminasi langsung atau
pertanyaan yang diajukan kepada saksi dari pihak sendiri atau diajukan oleh advokat
kepada teradakwa yang merupakan kliennya sendiri (direct examination).
4
Unus testis nullus testis adalah satu saksi bukan saksi. (Fuady, 2012:128)
R. Soesilo menyatakan bahwa kesaksian yang hanya berdasarkan cerita orang
lain atau hanya merupakan kesimpulan saja dari saksi yang mendengar, melihat dan
mengalami sendiri (testimonium de auditu) saja tak cukup. (Hallaludin, 9)
1.5 Sumber Data
Sumber data yang kami gunakan adalah referensi buku, jurnal dan artikel,
laporan resmi dan media internet. Dengan sumber data yang kami gunakan ini, kami
mencoba untuk membahas mengenai hukum pembuktian dalam hukum pidana di
Indonesia disertai hal-hal yang berkaitan dengan hal-hal tersebut.
1.6 Metode dan Teknik Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe deskriptif komparatif dan content analysis,
yang akan menggambarkan serta menganalisa hukum pembuktian dalam hukum
pidana di Indonesia. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data–data
sekunder yang diperoleh dari literatur, buku, jurnal, laporan resmi dan informasi dari
jaringan internet yang terkait dengan pembahasan masalah. Teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah studi kepustakaan (library research) dengan mencari
dan mengumpulkan data–data sekunder yang bersumber dari buku–buku, surat kabar,
data online dan referensi lainnya yang tingkat validitasnya terhadap permasalahan
yang diambil dapat dipertanggung-jawabkan. Teknik analisa data dalam penelitian
ini menggunakan data kualitatif dengan menggunakan metode content analysis, yaitu
dengan menjelaskan dan menganalisis dari sumber-sumber yang ada, dengan catatan
data-data tersebut saling berhubungan satu sama lain dengan permasalahan yang
diteliti.
5
BAB II. TEORI DAN PEMBAHASAN
2.1. Teori Hukum Pembuktian Pidana di Indonesia
Hukum pembuktian merupakan hukum yang penting karena pembuktian
merupakan unsur terpenting dalam hukum acara sehingga dapat membuktikan
seseorang bersalah atau bebas maupun lepas.
Menurut Dr. Munir Fuady hukum pembuktian adalah suatu proses, baik
dalam acara perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan
menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus,
untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau
pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh
salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan
itu.5
Di dalam hukum pembuktian pidana Indonesia berlaku teori yang dikenal
sebagai negative wettelijk stelsel bewisjtheory. Ini tertuang di dalam pasal 183
KUHAP yang berarti dalam pembuktian sekurang-kurangnya dua alat bukti ditambah
dengan keyakinan hakim6. Letak keyakinan hakim harus sesudah dari alat bukti,
bukan keyakinan hakim yang terlebih dahulu. Mengapa? Karena jika keyakinan
hakim timbul sebelum adanya alat bukti maka hakim akan berusaha mencari-cari
alasan untuk dapat memutus suatu perkara tersebut. Apabila demikian, maka Hakim
sudah memiliki keyakinan akan suatu keputusannya terlebih dahulu bahkan sebelum
melihat adanya pembuktian terhadap perkara, maka hal ini akan jelas menimbulkan
sifat subyektifitas dari hakim.
Di dalam pembuktian, dikenal ada dua bukti yaitu alat bukti dan barang bukti.
Barang bukti adalah barang yang dapat dihadirkan atau dapat dijadikan pelengkap
namun sifatnya belumlah jelas tanpa adanya keterangan dari saksi, ahli maupun
terdakwa, sehingga barang bukti dapat diartikan adalah barang yang belum dapat
terlihat kejelasan atau masih membutuhkan penjelasan dari pihak-pihak terkait untuk
terlihat kejelasannya dalam perkara. Sedangkan, alat bukti adalah alat yang
5 Fuady Munir, Op.Cit., hlm.1-2 6 Prof. Andi Hamzah. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2014. hlm. 306
6
digunakan untuk dapat membuktikan sehingga sifatnya sudah jelas.
Sering terjadi permasalahan dalam menentukan yang mana barang bukti dan
alat bukti dalam suatu perkara biasanya berkenaan dengan alat bukti surat. Dalam hal
demikian, yang menentukan barang itu alat bukti surat atau barang bukti adalah
kewenangan hakim, dalam praktik biasanya apa yang dikatakan alat bukti oleh
penuntut umum belum tentu demikian juga yang dilihat hakim.
Alat bukti yang sah tertuang di dalam ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP,
antara lain:
1. Keterangan Saksi;
2. Keterangan Ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan Terdakwa.7
Ad. 1. Keterangan Saksi
Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri,
lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.8
Ian Dennis mengartikan saksi atau keterangan saksi (testimony) sebagai
berikut:
“Testimony is the evidence of a witness, normally given on oath. The term is
often used to refer only to oral testimony in court, but in many types of civil
proceedings a witness may give written testimony in the form of an affidavit.
This is a formal written statement made on oath, for the purpose of being
used as evidence in the proceedings.”9
Dengan kata lain hal yang dikemukakan Dennis keterangan saksi ialah
keterangan yang diberikan dibawah sumpah di depan pengadilan. Namun, dalam
perkara perdata saksi dapat memberikan keterangan secara tertulis atau yang dikenal
7 Prof. Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 3068 Ibid., hlm. 2339 Ian Dennis, The Law Evidence. 3rd Edition. London: Sweet and Maxwell. 2007 hlm. 490
7
sebagai affidavit.10
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”),
persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu keterangan saksi dapat sebagai alat bukti,
adalah sebagai berikut11:
1. Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis) sehingga minimal saksi
adalah dua orang. Tujuannya agar dapat dipastikan satu sama lain.
Ketarangan satu saksi baru dapat dijadikan alat bukti jika dikuatkan alat bukti
lain atau dikuatkan oleh saksi lain untuk peristiwa yang lain, tetapi saling
berkaitan oleh suatu peristiwa.
2. Saksi mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri (Pasal 1
angka 27 KUHAP). Oleh karena itu, saksi testimonium de auditu (Pasal 185
ayat (5) KUHAP) tidak dapat dijadikan alat bukti setidak-tidaknya tidak
dijadikan alat bukti secara langsung. Jadi saksi de auditu tidak dapat menjadi
alat bukti secara penuh dan langsung.
3. Pendapat atau rekaan semata-mata dari saksi (testimonium de auditu) bukan
alat bukti.
4. Saksi harus disumpah (Pasal 160 ayat 3 KUHAP). Keterangan saksi yang
tidak disumpah bukanlah merupakan alat bukti penuh, melainkan merupakan
alat bukti tambahan yang memperkuat alat bukti lain. Apabila saksi
berbohong saksi dapat dikenakan sumpah palsu yang merupakan tindakan
pidana dari pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(“KUHP”).
5. Saksi tidak boleh memiliki hubungan sedarah, semenda sampai tingkat ketiga
dengan majelis hakim, penuntut umum, panitera, dan juga terdakwa. Namun,
jika memang saksi tidak memenuhi kriteria ini dapat dihadirkan tanpa
disumpah. Keterangan saksi yang demikian hanya bersifat sebagai tambahan
untuk alat bukti petunjuk dan menambah keyakinan hakim.
Berikut merupakan hal-hal yang tidak diperkenankan sebagai saksi, antara lain:
10 Eddy Hiariej, Op. Cit. hlm. 5611 Munir Fuady, Op.Cit. hlm. 128
8
1. Orang yang belum dewasa;
2. Orang yang tidak waras pikirannya (dalam pengampuan) atau terbelakang
mental;
3. Orang yang sedang mabuk akibat minuman keras, narkotika, dan sebagainya;
4. Orang yang berpengarai sangat jelek, seperti sering mencuri, membunuh,
suka menipu, dan sebagainya.12
Keempat kriteria diatas sesuai dengan pasal 185 ayat (6) huruf d bahwa:
“Dalam menilai kebenaran dari keterangan saksi, hakim harus dengan
sungguh-sungguh memperhatikan cara hidup dan kesusilaan saksi serta
segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya
keterangan itu dipercaya.”13
Jenis- jenis saksi:
A. Saksi Korban
Apabila melihat dari konteks saksi korban berdasarkan pengertian dari kata-
kata maka jelas saksi korban adalah saksi yang merupakan korban dari suatu tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku. Berbeda dengan hukum acara perdata dimana
korban menjadi penggugat terhadap seseorang yang dianggap melakukan
pelanggaran. Di sini korban diwakili oleh pengacara negara atau yang disebut jaksa
penuntut umum di persidangan.
Saksi korban merupakan saksi yang menjadi korban itu sendiri atas perbuatan
yang telah dilakukan pelaku yang diduga sebagai tindak pidana. Sehingga
penghadirannya sebagai saksi untuk memberikan keterangan untuk memenuhi alat
bukti. Namun, penyebutan atau pemanggilan terhadapnya dikenal sebagai saksi
korban.
B. Saksi Mahkota
12 Munir Fuady, Op.Cit hlm. 128-12913 Prof. Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 307
9
Sekarang ini, sering dikenal istilah whistle blower atau saksi mahkota.
Walaupun sebetulnya KUHAP kita tidak mengenal adanya hal demikian, namun hal
itu sering digunakan di dalam praktik pengadilan. Apa yang dimaksud dengan saksi
mahkota atau whistle blower? Whistle blower atau saksi mahkota adalah saksi yang
juga merupakan tersangka atau terdakwa yang karena perbuatannya disertai bukti
permulaan yang cukup dalam perkara yang sama karena adanya penyertaan
(deelneming).
Biasanya saksi mahkota ini digunakan sebagai saksi yang memberikan
keterangan pada persidangan yang mana terdakwa merupakan pelaku penyertaan
terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh saksi mahkota ini juga. Biasanya ini
menjadi upaya penuntut umum dalam hal melakukan splitsing (pemisahan berkas
perkara) untuk memperkuat bukti yang ada.
Namun, ada pertentangan terhadap hal ini. Hal ini pada umumnya
menunjukkan bahwa penuntut umum kekurangan alat bukti sehingga menggunakan
upaya ini untuk mencukupi alat buktinya. Ini juga dapat bertentangan dengan asas
non-self incrimination (yang berarti memiliki hak ingkar) yang dimiliki seorang
terdakwa, karena saksi ini juga merupakan terdakwa dalam berkas terpisah.
Putusan Mahkamah Agung No. 1986K/Pid/198914 juga memperkuat untuk
adanya penghadiran saksi mahkota. Pada putusan tersebut, saksi mahkota boleh
dihadirkan asalkan kedudukannya tetap menjadi seorang saksi bukan terdakwa maka
pertanyaan yang diajukan kepadanya tidak boleh menjerat dirinya sendiri.
C. Saksi Memberatkan
Saksi yang memberatkan adalah saksi yang dihadirkan oleh penuntut umum.
Penghadiran saksi ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa terdakwa benar-benar
bersalah. Sehingga saksi ini berfungsi untuk memberatkan posisi terdakwa di dalam
persidangan. Saksi ini menunjukkan biasanya dihadirkan penuntut umum untuk
14 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50ec06251d12a/keabsahan-penggunaan-tersangka-sebagai-saksi-di-persidangan
10
menunjukkan kesalahan-kesalahan terdakwa.
D. Saksi Meringankan
Saksi yang meringankan (ade charge) adalah saksi yang dihadirkan oleh
pihak terdakwa atau penasihat hukumnya. Saksi ini bertujuan memberikan fakta-
fakta yang meringankan posisi terdakwa.
E. Saksi Yang Tidak Disumpah
Saksi yang tidak disumpah ini sesuai dengan pasal 171 KUHAP bahwa ada
dua syarat saksi untuk dapat diperiksa di pengadilan tanpa disumpah, yaitu:
1. Saksi yang belum mencapai umur lima belas tahun dan belum pernah
kawin;
2. Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa yang kadang-kadang ingatannya
baik kembali.15
Apabila keterangan dari saksi yang tidak disumpah ini meskipun bersesuaian
antara saksi yang tidak disumpah belum dapat dikatakan sebagai alat bukti. Dapat
dikatakan sebagai alat bukti ketika keterangan yang diberikan bersesuaian dengan
saksi yang disumpah (Pasal 185 ayat (7)).16
F. Saksi Yang Berhubungan Darah atau Semenda Sampai Tingkat Ketiga
dengan Terdakwa
Hakim di dalam pengadilan akan menanyakan setiap saksi apakah memiliki
hubungan darah, semenda sampai tingkat ketiga dengan terdakwa. Apabila memang
memilikinya maka saksi itu tidak dapat dikatakan sebagai alat bukti. Namun, saksi
ini tetap boleh memberikan keterangan hanya saja keterangan yang diberikan untuk
membantu memberikan petunjuk serta memberi keyakinan hakim.
Ad.2. Keterangan Ahli
Keterangan ahli atau expert testimony menurut Arthur Best adalah kesaksian
15 Prof. Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 30116 Ibid. hlm. 307
11
yang didasarkan pengalaman pada umumnya dan pengetahuan yang didasarkan pada
keahliannya terhadap fakta-fakta suatu kasus. Kesaksian ahli dibutuhkan ketika
penyelesaian sengketa menyangkut informasi atau analisis terhadap suatu
pengetahuan untuk meyakinkan juri atau hakim di persidangan.17
Namun, di dalam KUHAP Indonesia Pasal 1 angka 28 sendiri juga
memberikan penjelasan definisi dari keterangan ahli, yaitu keterangan yang
diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan
untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.18
KUHAP Indonesia tidak mengatur tentang bagaimana seseorang dapat
dikatakan sebagai ahli serta apa persyaratannya. Pada praktiknya, biasanya
keweangan itu diserahkan kepada Hakim untuk melihat apakah ahli memang benar-
benar seorang ahli.
Hodgkinson dan James menyatakan bahwa kompetensi seorang ahli harus
berkaitan denga kasus yang disidangkan. Mereka mengatakan:
“However, the expert witness must be competent in the appropriate expert
discipline. This essentially consist in two qualifications, familiarity with the
specialist field relevant to the matters in issue upon which the evidence is to
be given and the requisite level of expertise, wether it be gained through
learning experience”.19
Ahli dihadirkan oleh Penuntut Umum atau Penasihat Hukum Terdakwa untuk
memberikan keterangan di depan pengadilan.
Penghadiran ahli sebelum memberikan keterangannya juga wajib disumpah
sama halnya dengan saksi yang disumpah untuk memberikan keterangan. Tetapi,
pada ahli ada perbedaan letak sumpah apabila saksi menggunakan kata-kata
“mendengar, melihat, mengalami sendiri” maka ahli menggunakan “memberikan
keterangan sesuai dengan keilmuan dan keahlian yang saya miliki”.
Apabila ahli memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan keahlian atau
keilmuannya maka ahli pun dapat dikenakan sumpah palsu sama dengan saksi sesuai 17 Arthur Best, Evidence: Examples and Explanations. Boston-New-York-Toronto-London: Little, Brown and Company. 1994. hlm. 15718 Prof. Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 23319 Tristram Hodgkinson & Mark James, Expert Evidence: Law and Practice. London: Sweet and Maxwell. 2001. hlm. 164
12
pasal 242 ayat (1) KUHP.
Ad. 3. Surat
Alat bukti yang dikatakan sebagai alat bukti surat atau dokumen termasuk
juga di dalamnya dokumen elektronik. Di dalam perkara pidana, surat dan alat bukti
tertulis lainnya hanya menjadi bukti jika berhubungan dengan tindak pidana yang
dilakukan. Meskipun demikian, kebenaran isi surat dan alat bukti tertulis lainnya,
termasuk dokumen elektronik, haruslah juga dibuktikan.20
Pendapat Ian Dennis mengenai dokumen sebagai alat bukti surat.
“Document must generally be proved by a witness who can verify the nature
and authenticity of the document. In this sense all formal of judicial evidence
are form of testimony, but documents need separate consideration because of
the particular rules that regulate how a witness may prove, first, the contents
of a document, and, secondly, the due execution of the document.”.21
Kemudian, untuk dapat dikatakan sebagai alat bukti surat selain relevan harus
berkesesuaian dengan hukum atau yang berarti tidak boleh mendapatkannya dengan
cara melawan hukum atau yang dikenal sebagai exclusionary rules.
Selain itu, pembuktian dokumen sebagai bukti surat terletak pada
keasliannya, baru kemudian isi dokumen tersebut.22
Ad. 4. Petunjuk
Petunjuk adalah alat bukti yang tidak dapat berdiri sendiri, karena kehadiran
alat bukti ini timbul dari pemikiran hakim terhadap segala keterkaitan antara
pembuktian-pembuktian yang dilakukan. Dengan kata lain, alat bukti petunjuk
adalah hasil dari pemikiran hakim atas dasar alat bukti lain.
Segala relevansi atau keterkaitan antara bukti yang satu dengan yang lain
akan menjadi suatu kesatuan dari missing pieces atau bagian yang hilang yang telah
20 Eddy Hiariej. Op. Cit. hlm. 6921 Ian Dennis, Op. Cit., hlm. 49222 Eddy Hiariej, Op. Cit., hlm 72
13
menyatu menjadi petunjuk bagi hakim.
Kekuatan petunjuk adalah tergantung bagaimana penuntut umum dapat
mekorelasikan antara bukti-bukti yang ada supaya dapat menunjukkan petunjuk
bahwa terdakwa yang bersalah atas suatu perbuatannya yang dilakukannya.
Ad. 5. Keterangan Terdakwa
Selain keterangan-keterangan yang diberikan oleh saksi maupun ahli,
terdakwa pun memiliki hak yang sama untuk dapat memberikan keterangan untuk
dapat membela dirinya sendiri di depan pengadilan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terdakwa memiliki hak untuk
ingkar atau yang disebut non-self incrimination sesuai dengan pasal 175 KUHAP.
Bahwa terdakwa memiliki hak untuk tidak menjawab maupun berbohong dalam
memberikan keterangannya. Untuk kebohongan itu terdakwa tidak dapat dikenakan
sanksi pidana apapun, karena ini memang merupakan salah satu bentuk perlindungan
hak yang dimiliki oleh terdakwa.
Secara psikologis, manusia cenderung akan menutup-nutupi kesalahannya
dengan berbagai kebohongan. Demikian pula hal yang diterapkan dalam hukum
acara pidana tepatnya maka terdakwa pun diberikan hak untuk mengingkar.
2.2. Konsep Fundamental Terkait Pembuktian
Ada empat hal terkait pada konsep pembuktian itu sendiri:
1. Suatu bukti haruslah relevan dengan sengketa atau perkara yang sedang
diproses.23 Ini berarti bahwa suatu bukti baru dikatakan relevan ketika bukti telah
bememiliki kaitan dengan fakta-fakta yang telah ada serta menunjukkan
kebenaran pada suatu peristiwa.
Ian Dennis menyatakan:
“Evidence must be relevant in order for a court to receive it. This means that
is must relate to some fact which is proper object of the proof in the
proceedings. The evidence must be relate the fact to be proved in the sense
23 Eddy Hiariej, Op. Cit. hlm. 10
14
that it tends to make the existence (or non-existence) of the fact more
probable, or less probable, that it would be without evidence…”.24
2. Suatu bukti haruslah dapat diterima atau admissible. Biasanya suatu bukti yang
diterima maka dengan sendirinya relevan.25 Namun, suatu bukti yang relevan
belum tentu dapat diterima. Misalnya, testimonium de auditu dalam hal ini
mungkin saja keterangan yang diberikan dari seorang yang auditu itu relevan
pada fakta-faktanya sehingga memenuhi poin pertama dari konsep pembuktian,
tetapi hal ini tidak dapat diterima. Primafacie dari bukti yang admissible adalah
bukti yang relevan.
Dalam Encyclopedia of Crime and Justice, admissible evidence didefinisikan
sebagai lisan, tulisan, fotografi atau bukti materiil lainnya yang dipertimbangkan
oleh hakim untuk dapat diterima berdasarkan hukum pembuktian.26 Berarti, dapat
atau tidak diterimanya suatu bukti adalah tergantung daripada pertimbangan
hakim.
3. Exclusionary rules atau dalam bebearapa literature dikenal dengan istilah
exclusionary discretion.27 Phyllis B. Gerstenfeld mendefiniskan bahwa
exclusionary rules sebagai prinsip hukum yang mensyaratkan tidak diakuinya
bukti yang diperoleh secara melawan hukum.28 Sehingga ini berarti suatu
perolehan alat bukti harus dengan cara yang tidak melawan hukum. Walaupun
suatu alat bukti relevan dan dapat diterima dari sudut pandang penuntut umum,
bukti tersebut dapat dikesampingkan29 oleh hakim bilamana perolehan bukti
tersebut dilakukan tidak sesuai dengan aturan.30
Bagi negara-negara yang cenderung menggunakan due process model dalam
peradilan pidananya yang mana menjunjung tinggi hak asasi manusia termasuk di
dalamnya hak-hak tersangka, sehingga sering kali seorang tersangka dibebaskan
24 Ian Dennis, Op. Cit. hlm. 525 Arthur Best, Op. Cit. hlm. 126 Joshua Dressler (Ed.), Encyclopedia of Crime & Justice, Second Edition, volume 4: Wiretapping & Eavesdropping. New York: Gale Group Thomson Learning, 2002. hlm. 169727 Eddy Hiariej, Op. Cit. hlm. 1128 Phyllis B. Gerstenfeld, Crime & Punishment In The United States. Pasadena California: Salem Press, Inc. 2008. hlm. 348 29 Ian Dennis, Op. Cit. hlm. 630 Eddy Hiariej, Loc. Cit.
15
oleh pengadilan dalam pemeriksaan praperadilan lantaran alat bukti yang
diperoleh dengan cara yang tidak sah atau yang disebut dengan istilah unlawful
legal evidence31 sehingga melanggar prinsip exclusionary rules. Ini terjadi pada
teori pembuktian yang menggunakan dasar bewijsvoering yang berarti
penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di
pengadilan.
4. Setiap bukti yang relevan dan dapat diterima harus dievaluasi oleh hakim.32 Ini
sudah masuk ke dalam wewenang hakim dimana hakim menggunakan bukti-
bukti tersebut untuk menjadi dasar pertimbangan dalam mengambil keputusan.
31 Eddy Hiariej, Op. Cit. hlm. 2032 Ibid. hlm. 12
16
BAB III. SIMPULAN
3.1 Simpulan
Hukum pidana di Indonesia menganut teori hukum pembuktian yang dikenal
dengan istilah negative wettelijk stelsel bewijstheorie. Bewijstheorie berarti menitik
dasarkan pembuktian kepada keyakinan hakim sedangkan negative wettelijk
menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti. Ini tertuang dalam pasal 183
KUHAP sebagai dasar hukum. Keyakinan hakim disini timbul setelah ada sekurang-
kurangnya dua alat bukti baru diikuti oleh keyakinan hakim. Prinsip ini digunakan
untuk menghindarkan terjadinya subyektifitas dari hakim terhadap perkara yang
diperiksa olehnya.
Hukum pembuktian juga memiliki konsep yang fundamental terhadap alat
bukti yang dihadirkan dipersidangan. Pertama, relevansi dari alat bukti tersebut.
Kedua, dapat atau tidak diterimanya suatu alat bukti. Ketiga, cara memperoleh dari
alat bukti itu sendiri. Dan yang terakhir, pengevaluasian oleh hakim terhadap alat
bukti yang dihadirkan sebagai dasar hakim menjatuhkan putusan. Hal ini bermanfaat
agar suatu alat bukti yang dihadirkan di persidangan tidak semata-mata dapat
dikatakan sebagai alat bukti. Tetapi, tetap ada prosedur tertentu untuk dapat
dikualifikasikan sebagai alat bukti.
17
DAFTAR PUSTAKA
Dennis, Ian. 2007. The Law Evidence. 3rd Edition. London: Sweet and Maxwell.
Dressler, Joshua (Edt). 2002. Encyclopedia of Crime & Justice. 2nd Edition. Volume 2: Delinquent & Criminal Subcultures-Juvenile Justice: Institusions. New York: Gale Group Thomson Learning.
Fuady, Munir. 2012. Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata). Jakarta: Pt Citra Aditya Bakti.
Gerstenfel, Phyllis B. 2008. Crime & Punishment In The United States. Pasadena California: Salem Press, Inc.
Hiariej, Eddy. 2012. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga.
Hodgkinson, Tristram & Mark, James 2007. Expert Evidence: Law and Practice. London: Sweet and Maxwell.
http://jurnal.untan.ac.id/index.php/nestor/article/viewFile/7978/7968
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50ec06251d12a/keabsahan-penggunaan-tersangka-sebagai-saksi-di-persidangan
18