paper hukum pembuktian (hansel)

28
HUKUM PEMBUKTIAN DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA Oleh : Hansel NG BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah hukum adalah masalah pembuktian di pengadilan. 1 Pembuktian menjadi substansi yang begitu penting dalam proses pengadilan, karena dalam pembuktianlah seseorang dapat dilihat secara kebenaran materiil maupun formil apakah seseorang itu benar-benar bersalah atau tidak. Di dalam pembutkian juga sangat dibutuhkan kebijaksanaan dari Majelis Hakim untuk menjadi dasar putusan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa. Seringkali permasalahan hukum yang dihadapi berkaitan dengan pembuktian, seperti kurangnya alat bukti, keyakinan hakim, atau mungkin kesalahan-kesalahan dalam melihat alat bukti yang dihadirkan. Keyakinan hakim juga menjadi salah unsur terpenting di dalam pembuktian. Di dalam kosa kata bahasa Inggris, ada dua kata yang sama-sama diterjamahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai ‘bukti’, yaitu evidence dan proof. Evidence, berarti informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu keyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar. Sementara proof berarti suatu kata yang 1 Munir Fuady. Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata). Jakarta: PT Citra Aditya Bakti. 2012. hlm. 1 1

Upload: hansel-ng

Post on 22-Feb-2017

148 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Paper Hukum Pembuktian (Hansel)

HUKUM PEMBUKTIAN DALAM HUKUM PIDANA DI

INDONESIA

Oleh : Hansel NG

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah hukum adalah masalah pembuktian di pengadilan.1 Pembuktian

menjadi substansi yang begitu penting dalam proses pengadilan, karena dalam

pembuktianlah seseorang dapat dilihat secara kebenaran materiil maupun formil

apakah seseorang itu benar-benar bersalah atau tidak. Di dalam pembutkian juga

sangat dibutuhkan kebijaksanaan dari Majelis Hakim untuk menjadi dasar putusan

bersalah atau tidaknya seorang terdakwa. Seringkali permasalahan hukum yang

dihadapi berkaitan dengan pembuktian, seperti kurangnya alat bukti, keyakinan

hakim, atau mungkin kesalahan-kesalahan dalam melihat alat bukti yang dihadirkan.

Keyakinan hakim juga menjadi salah unsur terpenting di dalam pembuktian.

Di dalam kosa kata bahasa Inggris, ada dua kata yang sama-sama

diterjamahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai ‘bukti’, yaitu evidence dan proof.

Evidence, berarti informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu

keyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar. Sementara proof

berarti suatu kata yang memiliki berbagai arti. Namun, dalam hukum proof mengacu

kepada hasil suatu proses evaluasi dan menarik kesimpulan terhadap evidence atau

dapat juga digunakan lebih luas untuk mengacu kepada proses itu sendiri.2

Menurut Dr. Munir Fuady hukum pembuktian adalah suatu proses, baik

dalam acara perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan

menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus,

untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau

pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh

1 Munir Fuady. Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata). Jakarta: PT Citra Aditya Bakti. 2012. hlm. 12 Eddy Hiariej. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga. 2012. hlm. 2

1

Page 2: Paper Hukum Pembuktian (Hansel)

salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan

itu.3

Sesuai dengan satu kesatuan dari pertanggungjawaban pidana dan kesalahan

dari sebuah perbuatan pidana (strafbaarfeit) menurut Prof. Moeljatno4, semua hal ini

dapat terlihat dari dalam pembuktian suatu perkara di pengadilan.Apakah seseorang

benar-benar terpenuhi unsur melawan hukumnya serta kesalahan (feit) dalam

perbuatannya sehingga dapat dikatakan sebagai strafbaarfeit.

Tentu di dalam hukum pembuktian ada serangkaian prosedur atau tata cara

untuk melakukannya untuk usaha penuntut umum dalam membuktikan sebuah

perkara bahwa terdakwa benar-benar bersalah. Sebaliknya, penasehat hukum

terdakwa akan berusaha untuk membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah dengan

membuktikan tidak terpenuhinya unsur-unsur yang didakwakan.

Tata cara itu meliputi; apa saja alat yang dapat dikatakan sebagai alat bukti

sehingga dapat memperkuat pembuktian serta bagaimana cara menentukan sah atau

tidaknya alat bukti tersebut yang diakhiri dengan keyakinan hakim untuk memutus.

Mengingat hukum pidana adalah hukum yang dapat mencerminkan

bagaimana kondisi masyarakat di dalam suatu negara, sesuai pendapat Profesor

Satjipto Rahardjo. Maka penting hukum pidana dapat berlangsung secara tepat

sehingga bermanfaat bagi masyarakatnya.

Melihat hukum pidana yang begitu penting maka perlu dilihat dalam tata

beracaranya, yang mana salah satu unsur terpenting dalam membuktikan seseorang

bersalah atau tidaknya adalah dalam pembuktian. Hal ini terlihat demikian

pentingnya hukum pembuktian.

Sumber data yang kami gunakan adalah referensi buku, jurnal dan artikel,

laporan resmi dan media internet. Dengan sumber data yang saya gunakan ini, saya

mencoba untuk membahas lebih dalam bagaimana hukum pembuktian dalam pidana

yang berlaku di Indonesia.

3 Munir Fuady, Loc. Cit., hlm.1-24 Prof. Moeljatno. Asas-asas hukum pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2015. hlm. 62

2

Page 3: Paper Hukum Pembuktian (Hansel)

1.2 Rumusan Pembahasan

Berdasarkan topik tentang “Hukum Pembuktian dalam Hukum Pidana di

Indonesia”, beberapa hal yang perlu diungkap dalam penelitian ini sebagai berikut:

1) Apa teori hukum pembuktian yang dianut di dalam Hukum Acara

Pidana Indonesia?

2) Apa konsep yang fundamental dari suatu pembuktian?

1.3 Tujuan Pembahasan

Berkenaan dengan permasalahan pada 1.2 di atas, maka tujuan dari peneltian

ini adalah:

1) ingin menjelaskan mengenai teori hukum pembuktian yang dipakai

dalam Hukum Acara Pidana Indonesia;

2) ingin menjelaskan tentang konsep fundamental pada pembuktian;

1.4 Kerangka Teori dan Konseptual

Hukum pembuktian adalah suatu proses, baik dalam acara perdata, acara

pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti

yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah

suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan

di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses

pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu. (Fuady, 2012:1)

Evidence must be relevant in order for a court to receive it. This means that

is must relate to some fact which is proper objeck of the proof in the proceedings.

The evidence must be relate the fact to be proved in the sense that it tends to make

the existence (or non-existence) of the fact more probable, or less probable, that it

would be without evidence. (Dennis, 2007:5)

Suatu bukti haruslah dapat diterima atau admisisible. Jika bukti sudah

diterima biasanya sudah dengan sendirinya relevan. (Best, 1994:1)

Exclusionary rule sebagai prinsip hukum yang mensyaratkan tidak diakuinya

bukti yang diperoleh secara melawan hukum. (Gerstenfeld, 2008:348)

3

Page 4: Paper Hukum Pembuktian (Hansel)

Setiap bukti yang relevan dan dapat diterima harus dapat dievaluasi oleh

hakim. (Hiariej, 2012:12)

Alat bukti yang sah ialah (Pasal 184 ayat (1) KUHAP): (Hamzah, 2014:306)

1. Keterangan Saksi

2. Keterangan Ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan Terdakwa

Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang

berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia denganr

sendiri, lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

pengetahuannya itu. (Hamzah, 2014:233)

Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang

memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu

perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. (Hamzah, 2014:233)

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena

persesuaiannya,baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana

itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

(Hiariej, 2012:109)

Cross Examination (Fuady, 2012:110) adalah suatu proses pemeriksaan saksi

di pengadilan, baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana, atau proses

mengajukan pertanyaan kepada terdakwa, yang dengan menggunakan cara tertentu

advokat atau jaksa bertanya sehingga karenanya diharapkan dapat dikorek suatu

keterangan yang benar dari seorang saksi, dimana pertanyaan-pertanyaan yang

diajukan kepada saksi tersebut umumnya merupakan pertanyaan yang mengontrol

dan menekan (leading question) yang dilakukan dan dirumuskan sedemikian rupa

sehingga tidak ada kesempatan bagi saksi untuk berbohong atau merekayasa jawaban

secara tidak benar.

Direct examination (Fuady, 2012:110) adalah eksaminasi langsung atau

pertanyaan yang diajukan kepada saksi dari pihak sendiri atau diajukan oleh advokat

kepada teradakwa yang merupakan kliennya sendiri (direct examination).

4

Page 5: Paper Hukum Pembuktian (Hansel)

Unus testis nullus testis adalah satu saksi bukan saksi. (Fuady, 2012:128)

R. Soesilo menyatakan bahwa kesaksian yang hanya berdasarkan cerita orang

lain atau hanya merupakan kesimpulan saja dari saksi yang mendengar, melihat dan

mengalami sendiri (testimonium de auditu) saja tak cukup. (Hallaludin, 9)

1.5 Sumber Data

Sumber data yang kami gunakan adalah referensi buku, jurnal dan artikel,

laporan resmi dan media internet. Dengan sumber data yang kami gunakan ini, kami

mencoba untuk membahas mengenai hukum pembuktian dalam hukum pidana di

Indonesia disertai hal-hal yang berkaitan dengan hal-hal tersebut.

1.6 Metode dan Teknik Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe deskriptif komparatif dan content analysis,

yang akan menggambarkan serta menganalisa hukum pembuktian dalam hukum

pidana di Indonesia. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data–data

sekunder yang diperoleh dari literatur, buku, jurnal, laporan resmi dan informasi dari

jaringan internet yang terkait dengan pembahasan masalah. Teknik pengumpulan

data yang digunakan adalah studi kepustakaan (library research) dengan mencari

dan mengumpulkan data–data sekunder yang bersumber dari buku–buku, surat kabar,

data online dan referensi lainnya yang tingkat validitasnya terhadap permasalahan

yang diambil dapat dipertanggung-jawabkan. Teknik analisa data dalam penelitian

ini menggunakan data kualitatif dengan menggunakan metode content analysis, yaitu

dengan menjelaskan dan menganalisis dari sumber-sumber yang ada, dengan catatan

data-data tersebut saling berhubungan satu sama lain dengan permasalahan yang

diteliti.

5

Page 6: Paper Hukum Pembuktian (Hansel)

BAB II. TEORI DAN PEMBAHASAN

2.1. Teori Hukum Pembuktian Pidana di Indonesia

Hukum pembuktian merupakan hukum yang penting karena pembuktian

merupakan unsur terpenting dalam hukum acara sehingga dapat membuktikan

seseorang bersalah atau bebas maupun lepas.

Menurut Dr. Munir Fuady hukum pembuktian adalah suatu proses, baik

dalam acara perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan

menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus,

untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau

pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh

salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan

itu.5

Di dalam hukum pembuktian pidana Indonesia berlaku teori yang dikenal

sebagai negative wettelijk stelsel bewisjtheory. Ini tertuang di dalam pasal 183

KUHAP yang berarti dalam pembuktian sekurang-kurangnya dua alat bukti ditambah

dengan keyakinan hakim6. Letak keyakinan hakim harus sesudah dari alat bukti,

bukan keyakinan hakim yang terlebih dahulu. Mengapa? Karena jika keyakinan

hakim timbul sebelum adanya alat bukti maka hakim akan berusaha mencari-cari

alasan untuk dapat memutus suatu perkara tersebut. Apabila demikian, maka Hakim

sudah memiliki keyakinan akan suatu keputusannya terlebih dahulu bahkan sebelum

melihat adanya pembuktian terhadap perkara, maka hal ini akan jelas menimbulkan

sifat subyektifitas dari hakim.

Di dalam pembuktian, dikenal ada dua bukti yaitu alat bukti dan barang bukti.

Barang bukti adalah barang yang dapat dihadirkan atau dapat dijadikan pelengkap

namun sifatnya belumlah jelas tanpa adanya keterangan dari saksi, ahli maupun

terdakwa, sehingga barang bukti dapat diartikan adalah barang yang belum dapat

terlihat kejelasan atau masih membutuhkan penjelasan dari pihak-pihak terkait untuk

terlihat kejelasannya dalam perkara. Sedangkan, alat bukti adalah alat yang

5 Fuady Munir, Op.Cit., hlm.1-2 6 Prof. Andi Hamzah. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2014. hlm. 306

6

Page 7: Paper Hukum Pembuktian (Hansel)

digunakan untuk dapat membuktikan sehingga sifatnya sudah jelas.

Sering terjadi permasalahan dalam menentukan yang mana barang bukti dan

alat bukti dalam suatu perkara biasanya berkenaan dengan alat bukti surat. Dalam hal

demikian, yang menentukan barang itu alat bukti surat atau barang bukti adalah

kewenangan hakim, dalam praktik biasanya apa yang dikatakan alat bukti oleh

penuntut umum belum tentu demikian juga yang dilihat hakim.

Alat bukti yang sah tertuang di dalam ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP,

antara lain:

1. Keterangan Saksi;

2. Keterangan Ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan Terdakwa.7

Ad. 1. Keterangan Saksi

Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang

berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri,

lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.8

Ian Dennis mengartikan saksi atau keterangan saksi (testimony) sebagai

berikut:

“Testimony is the evidence of a witness, normally given on oath. The term is

often used to refer only to oral testimony in court, but in many types of civil

proceedings a witness may give written testimony in the form of an affidavit.

This is a formal written statement made on oath, for the purpose of being

used as evidence in the proceedings.”9

Dengan kata lain hal yang dikemukakan Dennis keterangan saksi ialah

keterangan yang diberikan dibawah sumpah di depan pengadilan. Namun, dalam

perkara perdata saksi dapat memberikan keterangan secara tertulis atau yang dikenal

7 Prof. Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 3068 Ibid., hlm. 2339 Ian Dennis, The Law Evidence. 3rd Edition. London: Sweet and Maxwell. 2007 hlm. 490

7

Page 8: Paper Hukum Pembuktian (Hansel)

sebagai affidavit.10

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”),

persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu keterangan saksi dapat sebagai alat bukti,

adalah sebagai berikut11:

1. Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis) sehingga minimal saksi

adalah dua orang. Tujuannya agar dapat dipastikan satu sama lain.

Ketarangan satu saksi baru dapat dijadikan alat bukti jika dikuatkan alat bukti

lain atau dikuatkan oleh saksi lain untuk peristiwa yang lain, tetapi saling

berkaitan oleh suatu peristiwa.

2. Saksi mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri (Pasal 1

angka 27 KUHAP). Oleh karena itu, saksi testimonium de auditu (Pasal 185

ayat (5) KUHAP) tidak dapat dijadikan alat bukti setidak-tidaknya tidak

dijadikan alat bukti secara langsung. Jadi saksi de auditu tidak dapat menjadi

alat bukti secara penuh dan langsung.

3. Pendapat atau rekaan semata-mata dari saksi (testimonium de auditu) bukan

alat bukti.

4. Saksi harus disumpah (Pasal 160 ayat 3 KUHAP). Keterangan saksi yang

tidak disumpah bukanlah merupakan alat bukti penuh, melainkan merupakan

alat bukti tambahan yang memperkuat alat bukti lain. Apabila saksi

berbohong saksi dapat dikenakan sumpah palsu yang merupakan tindakan

pidana dari pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(“KUHP”).

5. Saksi tidak boleh memiliki hubungan sedarah, semenda sampai tingkat ketiga

dengan majelis hakim, penuntut umum, panitera, dan juga terdakwa. Namun,

jika memang saksi tidak memenuhi kriteria ini dapat dihadirkan tanpa

disumpah. Keterangan saksi yang demikian hanya bersifat sebagai tambahan

untuk alat bukti petunjuk dan menambah keyakinan hakim.

Berikut merupakan hal-hal yang tidak diperkenankan sebagai saksi, antara lain:

10 Eddy Hiariej, Op. Cit. hlm. 5611 Munir Fuady, Op.Cit. hlm. 128

8

Page 9: Paper Hukum Pembuktian (Hansel)

1. Orang yang belum dewasa;

2. Orang yang tidak waras pikirannya (dalam pengampuan) atau terbelakang

mental;

3. Orang yang sedang mabuk akibat minuman keras, narkotika, dan sebagainya;

4. Orang yang berpengarai sangat jelek, seperti sering mencuri, membunuh,

suka menipu, dan sebagainya.12

Keempat kriteria diatas sesuai dengan pasal 185 ayat (6) huruf d bahwa:

“Dalam menilai kebenaran dari keterangan saksi, hakim harus dengan

sungguh-sungguh memperhatikan cara hidup dan kesusilaan saksi serta

segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya

keterangan itu dipercaya.”13

Jenis- jenis saksi:

A. Saksi Korban

Apabila melihat dari konteks saksi korban berdasarkan pengertian dari kata-

kata maka jelas saksi korban adalah saksi yang merupakan korban dari suatu tindak

pidana yang dilakukan oleh pelaku. Berbeda dengan hukum acara perdata dimana

korban menjadi penggugat terhadap seseorang yang dianggap melakukan

pelanggaran. Di sini korban diwakili oleh pengacara negara atau yang disebut jaksa

penuntut umum di persidangan.

Saksi korban merupakan saksi yang menjadi korban itu sendiri atas perbuatan

yang telah dilakukan pelaku yang diduga sebagai tindak pidana. Sehingga

penghadirannya sebagai saksi untuk memberikan keterangan untuk memenuhi alat

bukti. Namun, penyebutan atau pemanggilan terhadapnya dikenal sebagai saksi

korban.

B. Saksi Mahkota

12 Munir Fuady, Op.Cit hlm. 128-12913 Prof. Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 307

9

Page 10: Paper Hukum Pembuktian (Hansel)

Sekarang ini, sering dikenal istilah whistle blower atau saksi mahkota.

Walaupun sebetulnya KUHAP kita tidak mengenal adanya hal demikian, namun hal

itu sering digunakan di dalam praktik pengadilan. Apa yang dimaksud dengan saksi

mahkota atau whistle blower? Whistle blower atau saksi mahkota adalah saksi yang

juga merupakan tersangka atau terdakwa yang karena perbuatannya disertai bukti

permulaan yang cukup dalam perkara yang sama karena adanya penyertaan

(deelneming).

Biasanya saksi mahkota ini digunakan sebagai saksi yang memberikan

keterangan pada persidangan yang mana terdakwa merupakan pelaku penyertaan

terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh saksi mahkota ini juga. Biasanya ini

menjadi upaya penuntut umum dalam hal melakukan splitsing (pemisahan berkas

perkara) untuk memperkuat bukti yang ada.

Namun, ada pertentangan terhadap hal ini. Hal ini pada umumnya

menunjukkan bahwa penuntut umum kekurangan alat bukti sehingga menggunakan

upaya ini untuk mencukupi alat buktinya. Ini juga dapat bertentangan dengan asas

non-self incrimination (yang berarti memiliki hak ingkar) yang dimiliki seorang

terdakwa, karena saksi ini juga merupakan terdakwa dalam berkas terpisah.

Putusan Mahkamah Agung No. 1986K/Pid/198914 juga memperkuat untuk

adanya penghadiran saksi mahkota. Pada putusan tersebut, saksi mahkota boleh

dihadirkan asalkan kedudukannya tetap menjadi seorang saksi bukan terdakwa maka

pertanyaan yang diajukan kepadanya tidak boleh menjerat dirinya sendiri.

C. Saksi Memberatkan

Saksi yang memberatkan adalah saksi yang dihadirkan oleh penuntut umum.

Penghadiran saksi ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa terdakwa benar-benar

bersalah. Sehingga saksi ini berfungsi untuk memberatkan posisi terdakwa di dalam

persidangan. Saksi ini menunjukkan biasanya dihadirkan penuntut umum untuk

14 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50ec06251d12a/keabsahan-penggunaan-tersangka-sebagai-saksi-di-persidangan

10

Page 11: Paper Hukum Pembuktian (Hansel)

menunjukkan kesalahan-kesalahan terdakwa.

D. Saksi Meringankan

Saksi yang meringankan (ade charge) adalah saksi yang dihadirkan oleh

pihak terdakwa atau penasihat hukumnya. Saksi ini bertujuan memberikan fakta-

fakta yang meringankan posisi terdakwa.

E. Saksi Yang Tidak Disumpah

Saksi yang tidak disumpah ini sesuai dengan pasal 171 KUHAP bahwa ada

dua syarat saksi untuk dapat diperiksa di pengadilan tanpa disumpah, yaitu:

1. Saksi yang belum mencapai umur lima belas tahun dan belum pernah

kawin;

2. Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa yang kadang-kadang ingatannya

baik kembali.15

Apabila keterangan dari saksi yang tidak disumpah ini meskipun bersesuaian

antara saksi yang tidak disumpah belum dapat dikatakan sebagai alat bukti. Dapat

dikatakan sebagai alat bukti ketika keterangan yang diberikan bersesuaian dengan

saksi yang disumpah (Pasal 185 ayat (7)).16

F. Saksi Yang Berhubungan Darah atau Semenda Sampai Tingkat Ketiga

dengan Terdakwa

Hakim di dalam pengadilan akan menanyakan setiap saksi apakah memiliki

hubungan darah, semenda sampai tingkat ketiga dengan terdakwa. Apabila memang

memilikinya maka saksi itu tidak dapat dikatakan sebagai alat bukti. Namun, saksi

ini tetap boleh memberikan keterangan hanya saja keterangan yang diberikan untuk

membantu memberikan petunjuk serta memberi keyakinan hakim.

Ad.2. Keterangan Ahli

Keterangan ahli atau expert testimony menurut Arthur Best adalah kesaksian

15 Prof. Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 30116 Ibid. hlm. 307

11

Page 12: Paper Hukum Pembuktian (Hansel)

yang didasarkan pengalaman pada umumnya dan pengetahuan yang didasarkan pada

keahliannya terhadap fakta-fakta suatu kasus. Kesaksian ahli dibutuhkan ketika

penyelesaian sengketa menyangkut informasi atau analisis terhadap suatu

pengetahuan untuk meyakinkan juri atau hakim di persidangan.17

Namun, di dalam KUHAP Indonesia Pasal 1 angka 28 sendiri juga

memberikan penjelasan definisi dari keterangan ahli, yaitu keterangan yang

diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan

untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.18

KUHAP Indonesia tidak mengatur tentang bagaimana seseorang dapat

dikatakan sebagai ahli serta apa persyaratannya. Pada praktiknya, biasanya

keweangan itu diserahkan kepada Hakim untuk melihat apakah ahli memang benar-

benar seorang ahli.

Hodgkinson dan James menyatakan bahwa kompetensi seorang ahli harus

berkaitan denga kasus yang disidangkan. Mereka mengatakan:

“However, the expert witness must be competent in the appropriate expert

discipline. This essentially consist in two qualifications, familiarity with the

specialist field relevant to the matters in issue upon which the evidence is to

be given and the requisite level of expertise, wether it be gained through

learning experience”.19

Ahli dihadirkan oleh Penuntut Umum atau Penasihat Hukum Terdakwa untuk

memberikan keterangan di depan pengadilan.

Penghadiran ahli sebelum memberikan keterangannya juga wajib disumpah

sama halnya dengan saksi yang disumpah untuk memberikan keterangan. Tetapi,

pada ahli ada perbedaan letak sumpah apabila saksi menggunakan kata-kata

“mendengar, melihat, mengalami sendiri” maka ahli menggunakan “memberikan

keterangan sesuai dengan keilmuan dan keahlian yang saya miliki”.

Apabila ahli memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan keahlian atau

keilmuannya maka ahli pun dapat dikenakan sumpah palsu sama dengan saksi sesuai 17 Arthur Best, Evidence: Examples and Explanations. Boston-New-York-Toronto-London: Little, Brown and Company. 1994. hlm. 15718 Prof. Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 23319 Tristram Hodgkinson & Mark James, Expert Evidence: Law and Practice. London: Sweet and Maxwell. 2001. hlm. 164

12

Page 13: Paper Hukum Pembuktian (Hansel)

pasal 242 ayat (1) KUHP.

Ad. 3. Surat

Alat bukti yang dikatakan sebagai alat bukti surat atau dokumen termasuk

juga di dalamnya dokumen elektronik. Di dalam perkara pidana, surat dan alat bukti

tertulis lainnya hanya menjadi bukti jika berhubungan dengan tindak pidana yang

dilakukan. Meskipun demikian, kebenaran isi surat dan alat bukti tertulis lainnya,

termasuk dokumen elektronik, haruslah juga dibuktikan.20

Pendapat Ian Dennis mengenai dokumen sebagai alat bukti surat.

“Document must generally be proved by a witness who can verify the nature

and authenticity of the document. In this sense all formal of judicial evidence

are form of testimony, but documents need separate consideration because of

the particular rules that regulate how a witness may prove, first, the contents

of a document, and, secondly, the due execution of the document.”.21

Kemudian, untuk dapat dikatakan sebagai alat bukti surat selain relevan harus

berkesesuaian dengan hukum atau yang berarti tidak boleh mendapatkannya dengan

cara melawan hukum atau yang dikenal sebagai exclusionary rules.

Selain itu, pembuktian dokumen sebagai bukti surat terletak pada

keasliannya, baru kemudian isi dokumen tersebut.22

Ad. 4. Petunjuk

Petunjuk adalah alat bukti yang tidak dapat berdiri sendiri, karena kehadiran

alat bukti ini timbul dari pemikiran hakim terhadap segala keterkaitan antara

pembuktian-pembuktian yang dilakukan. Dengan kata lain, alat bukti petunjuk

adalah hasil dari pemikiran hakim atas dasar alat bukti lain.

Segala relevansi atau keterkaitan antara bukti yang satu dengan yang lain

akan menjadi suatu kesatuan dari missing pieces atau bagian yang hilang yang telah

20 Eddy Hiariej. Op. Cit. hlm. 6921 Ian Dennis, Op. Cit., hlm. 49222 Eddy Hiariej, Op. Cit., hlm 72

13

Page 14: Paper Hukum Pembuktian (Hansel)

menyatu menjadi petunjuk bagi hakim.

Kekuatan petunjuk adalah tergantung bagaimana penuntut umum dapat

mekorelasikan antara bukti-bukti yang ada supaya dapat menunjukkan petunjuk

bahwa terdakwa yang bersalah atas suatu perbuatannya yang dilakukannya.

Ad. 5. Keterangan Terdakwa

Selain keterangan-keterangan yang diberikan oleh saksi maupun ahli,

terdakwa pun memiliki hak yang sama untuk dapat memberikan keterangan untuk

dapat membela dirinya sendiri di depan pengadilan.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terdakwa memiliki hak untuk

ingkar atau yang disebut non-self incrimination sesuai dengan pasal 175 KUHAP.

Bahwa terdakwa memiliki hak untuk tidak menjawab maupun berbohong dalam

memberikan keterangannya. Untuk kebohongan itu terdakwa tidak dapat dikenakan

sanksi pidana apapun, karena ini memang merupakan salah satu bentuk perlindungan

hak yang dimiliki oleh terdakwa.

Secara psikologis, manusia cenderung akan menutup-nutupi kesalahannya

dengan berbagai kebohongan. Demikian pula hal yang diterapkan dalam hukum

acara pidana tepatnya maka terdakwa pun diberikan hak untuk mengingkar.

2.2. Konsep Fundamental Terkait Pembuktian

Ada empat hal terkait pada konsep pembuktian itu sendiri:

1. Suatu bukti haruslah relevan dengan sengketa atau perkara yang sedang

diproses.23 Ini berarti bahwa suatu bukti baru dikatakan relevan ketika bukti telah

bememiliki kaitan dengan fakta-fakta yang telah ada serta menunjukkan

kebenaran pada suatu peristiwa.

Ian Dennis menyatakan:

“Evidence must be relevant in order for a court to receive it. This means that

is must relate to some fact which is proper object of the proof in the

proceedings. The evidence must be relate the fact to be proved in the sense

23 Eddy Hiariej, Op. Cit. hlm. 10

14

Page 15: Paper Hukum Pembuktian (Hansel)

that it tends to make the existence (or non-existence) of the fact more

probable, or less probable, that it would be without evidence…”.24

2. Suatu bukti haruslah dapat diterima atau admissible. Biasanya suatu bukti yang

diterima maka dengan sendirinya relevan.25 Namun, suatu bukti yang relevan

belum tentu dapat diterima. Misalnya, testimonium de auditu dalam hal ini

mungkin saja keterangan yang diberikan dari seorang yang auditu itu relevan

pada fakta-faktanya sehingga memenuhi poin pertama dari konsep pembuktian,

tetapi hal ini tidak dapat diterima. Primafacie dari bukti yang admissible adalah

bukti yang relevan.

Dalam Encyclopedia of Crime and Justice, admissible evidence didefinisikan

sebagai lisan, tulisan, fotografi atau bukti materiil lainnya yang dipertimbangkan

oleh hakim untuk dapat diterima berdasarkan hukum pembuktian.26 Berarti, dapat

atau tidak diterimanya suatu bukti adalah tergantung daripada pertimbangan

hakim.

3. Exclusionary rules atau dalam bebearapa literature dikenal dengan istilah

exclusionary discretion.27 Phyllis B. Gerstenfeld mendefiniskan bahwa

exclusionary rules sebagai prinsip hukum yang mensyaratkan tidak diakuinya

bukti yang diperoleh secara melawan hukum.28 Sehingga ini berarti suatu

perolehan alat bukti harus dengan cara yang tidak melawan hukum. Walaupun

suatu alat bukti relevan dan dapat diterima dari sudut pandang penuntut umum,

bukti tersebut dapat dikesampingkan29 oleh hakim bilamana perolehan bukti

tersebut dilakukan tidak sesuai dengan aturan.30

Bagi negara-negara yang cenderung menggunakan due process model dalam

peradilan pidananya yang mana menjunjung tinggi hak asasi manusia termasuk di

dalamnya hak-hak tersangka, sehingga sering kali seorang tersangka dibebaskan

24 Ian Dennis, Op. Cit. hlm. 525 Arthur Best, Op. Cit. hlm. 126 Joshua Dressler (Ed.), Encyclopedia of Crime & Justice, Second Edition, volume 4: Wiretapping & Eavesdropping. New York: Gale Group Thomson Learning, 2002. hlm. 169727 Eddy Hiariej, Op. Cit. hlm. 1128 Phyllis B. Gerstenfeld, Crime & Punishment In The United States. Pasadena California: Salem Press, Inc. 2008. hlm. 348 29 Ian Dennis, Op. Cit. hlm. 630 Eddy Hiariej, Loc. Cit.

15

Page 16: Paper Hukum Pembuktian (Hansel)

oleh pengadilan dalam pemeriksaan praperadilan lantaran alat bukti yang

diperoleh dengan cara yang tidak sah atau yang disebut dengan istilah unlawful

legal evidence31 sehingga melanggar prinsip exclusionary rules. Ini terjadi pada

teori pembuktian yang menggunakan dasar bewijsvoering yang berarti

penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di

pengadilan.

4. Setiap bukti yang relevan dan dapat diterima harus dievaluasi oleh hakim.32 Ini

sudah masuk ke dalam wewenang hakim dimana hakim menggunakan bukti-

bukti tersebut untuk menjadi dasar pertimbangan dalam mengambil keputusan.

31 Eddy Hiariej, Op. Cit. hlm. 2032 Ibid. hlm. 12

16

Page 17: Paper Hukum Pembuktian (Hansel)

BAB III. SIMPULAN

3.1 Simpulan

Hukum pidana di Indonesia menganut teori hukum pembuktian yang dikenal

dengan istilah negative wettelijk stelsel bewijstheorie. Bewijstheorie berarti menitik

dasarkan pembuktian kepada keyakinan hakim sedangkan negative wettelijk

menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti. Ini tertuang dalam pasal 183

KUHAP sebagai dasar hukum. Keyakinan hakim disini timbul setelah ada sekurang-

kurangnya dua alat bukti baru diikuti oleh keyakinan hakim. Prinsip ini digunakan

untuk menghindarkan terjadinya subyektifitas dari hakim terhadap perkara yang

diperiksa olehnya.

Hukum pembuktian juga memiliki konsep yang fundamental terhadap alat

bukti yang dihadirkan dipersidangan. Pertama, relevansi dari alat bukti tersebut.

Kedua, dapat atau tidak diterimanya suatu alat bukti. Ketiga, cara memperoleh dari

alat bukti itu sendiri. Dan yang terakhir, pengevaluasian oleh hakim terhadap alat

bukti yang dihadirkan sebagai dasar hakim menjatuhkan putusan. Hal ini bermanfaat

agar suatu alat bukti yang dihadirkan di persidangan tidak semata-mata dapat

dikatakan sebagai alat bukti. Tetapi, tetap ada prosedur tertentu untuk dapat

dikualifikasikan sebagai alat bukti.

17

Page 18: Paper Hukum Pembuktian (Hansel)

DAFTAR PUSTAKA

Dennis, Ian. 2007. The Law Evidence. 3rd Edition. London: Sweet and Maxwell.

Dressler, Joshua (Edt). 2002. Encyclopedia of Crime & Justice. 2nd Edition. Volume 2: Delinquent & Criminal Subcultures-Juvenile Justice: Institusions. New York: Gale Group Thomson Learning.

Fuady, Munir. 2012. Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata). Jakarta: Pt Citra Aditya Bakti.

Gerstenfel, Phyllis B. 2008. Crime & Punishment In The United States. Pasadena California: Salem Press, Inc.

Hiariej, Eddy. 2012. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga.

Hodgkinson, Tristram & Mark, James 2007. Expert Evidence: Law and Practice. London: Sweet and Maxwell.

http://jurnal.untan.ac.id/index.php/nestor/article/viewFile/7978/7968

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50ec06251d12a/keabsahan-penggunaan-tersangka-sebagai-saksi-di-persidangan

18