penegakan hukum di wilayah laut indonesia

43
1 PENEGAKAN HUKUM DI WILAYAH LAUT INDONESIA (Farida Puspitasari, SH, M.Hum) 1. Pendahuluan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauaan (archipelagic state) terbesar di dunia yang memiliki 17.508 pulau (dua pulau telah menjadi bagian negara Timor Leste, yaitu pulau Atauro dan pulau Yako serta pulau Sipadan dan pulau Ligitan yang oleh International Court of Justice pada tahun 2002 diputuskan menjadi milik Malaysia), dengan luas lautnya mencapai 5,8 juta km² dan garis pantai sepanjang ± 81.000 km. 1 Wilayah NKRI terletak pada posisi silang dunia di antara dua benua dan dua samudera. Posisi geografis yang demikian ini menyebabkan laut di antara pulau-pulau menjadi laut yang sangat penting artinya bagi lalu lintas pelayaran internasional, selain itu di dalam laut yang luas tersebut terkandung potensi sumber daya laut yang melimpah dan memiliki nilai strategis bagi kesinambungan pembangunan nasional bahkan kemudian memancing pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkannya secara illegal. Hal ini tidak saja menganggu stabilitas keamanan di laut, namun juga merupakan potensi konflik dengan negara- negara lain. Seluruh bangsa Indonesia memiliki kepentingan yang sama terhadap laut, yaitu terwujudnya kondisi laut yang aman dan terkendali dalam rangka menjamin integritas wilayah guna menjamin kepentingan nasional. Guna mewujudkan kondisi keamanan di laut, diperlukan adanya upaya penegakan kedaulatan dan penegakan hukum. Masalah penegakan hukum di laut menjadi satu isu nasional yang penting, mengingat kerugian yang dialami negara sangat besar akibat berbagai pelanggaran hukum yang terjadi di laut. Pelanggaran hukum tersebut 1 Pokok-pokok Pikiran TNI Angkatan Laut Tentang Keamanan Di Laut, 2002, Jakarta: Mabes AL, hlm.1

Upload: farpuskeren

Post on 14-Jun-2015

11.033 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

Law Enforcement in the Sea of Indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

1

PENEGAKAN HUKUM DI WILAYAH LAUT INDONESIA

(Farida Puspitasari, SH, M.Hum)

1. Pendahuluan

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara

kepulauaan (archipelagic state) terbesar di dunia yang memiliki 17.508

pulau (dua pulau telah menjadi bagian negara Timor Leste, yaitu pulau

Atauro dan pulau Yako serta pulau Sipadan dan pulau Ligitan yang oleh

International Court of Justice pada tahun 2002 diputuskan menjadi milik

Malaysia), dengan luas lautnya mencapai 5,8 juta km² dan garis pantai

sepanjang ± 81.000 km.1 Wilayah NKRI terletak pada posisi silang dunia

di antara dua benua dan dua samudera. Posisi geografis yang demikian

ini menyebabkan laut di antara pulau-pulau menjadi laut yang sangat

penting artinya bagi lalu lintas pelayaran internasional, selain itu di dalam

laut yang luas tersebut terkandung potensi sumber daya laut yang

melimpah dan memiliki nilai strategis bagi kesinambungan pembangunan

nasional bahkan kemudian memancing pihak-pihak tertentu untuk

memanfaatkannya secara illegal. Hal ini tidak saja menganggu stabilitas

keamanan di laut, namun juga merupakan potensi konflik dengan negara-

negara lain.

Seluruh bangsa Indonesia memiliki kepentingan yang sama

terhadap laut, yaitu terwujudnya kondisi laut yang aman dan terkendali

dalam rangka menjamin integritas wilayah guna menjamin kepentingan

nasional. Guna mewujudkan kondisi keamanan di laut, diperlukan adanya

upaya penegakan kedaulatan dan penegakan hukum. Masalah

penegakan hukum di laut menjadi satu isu nasional yang penting,

mengingat kerugian yang dialami negara sangat besar akibat berbagai

pelanggaran hukum yang terjadi di laut. Pelanggaran hukum tersebut

1 Pokok-pokok Pikiran TNI Angkatan Laut Tentang Keamanan Di Laut, 2002, Jakarta: Mabes AL,

hlm.1

Page 2: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

2

meliputi perompakan (armed robbery), pembajakan (piracy),

penyelundupan manusia (imigran gelap), penyelundupan barang (seperti

kayu, gula, beras, BBM, senjata api, narkotika, psikotropika), illegal

fishing, pencemaran laut, eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam

secara illegal, serta pelanggaran lain di wilayah laut Indonesia

Secara faktual, penegakan keamanan di laut memiliki dua dimensi

yaitu penegakan kedaulatan dan penegakan hukum, sehingga diperlukan

suatu perspektif baru bahwa kedua dimensi tersebut saling terkait satu

dengan lainnya. Jika dipandang sebagai suatu sistem, maka keamanan

laut merupakan rangkaian mulai dari persepsi atau pemahaman segenap

komponen bangsa, struktur organisasi serta prosedur dan mekanisme

penyelenggaraan keamanan di laut yang melibatkan berbagai instansi

yang memiliki kewenangan dalam penegakan kedaulatan dan penegakan

hukum di laut.2 Sistem keamanan laut harus dibangun dengan prinsip

mensinergikan kekuatan yang dimiliki oleh berbagai instansi

penyelenggara penegakan keamanan di laut tersebut. Sinergi kedua

aspek tersebut diwujudkan dengan kesatuan yang tercermin dalam

struktur organisasi, mekanisme dan prosedur aparat penyelenggara

keamanan di laut. Penegakan kedaulatan di laut mempunyai dua dimensi

pemahaman, yaitu kedaulatan (sovereignity) dan hak berdaulat (sovereign

right) di laut suatu negara yang telah diatur secara universal dalam

UNCLOS 1982.3

Pengelolaan sumber kekayaan laut memerlukan suatu

kebijaksanaan pemerintah yang bersifat makro dan terpadu, dan ditopang

oleh perangkat hukum yang kuat. Hukum berfungsi sebagai perlindungan

kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, maka

hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum selain dapat berlangsung

secara normal dan damai, juga dapat dilaksanakan manakala terjadi

pelanggaran hukum, dalam hal inilah hukum yang telah dilanggar itu harus

2 Ibid, hlm.2

3 Ibid, hlm.16

Page 3: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

3

ditegakkan. Melalui penegakan hukum tersebut, hukum kemudian menjadi

kenyataan.4

Obyek ilmu hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan hukum

yang tidak berdiri sendiri. Arti pentingnya suatu peraturan hukum adalah

karena hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum

lain. Jadi, hukum merupakan suatu sistem. F. Sugeng Istanto5 sependapat

dengan Black yang merumuskan bahwa sistem adalah an orderly

combination or arrangement of particular part of elements into a whole.

6Hukum merupakan susunan yang teratur dari elemen-elemen yang

membentuk satu kesatuan. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap

kompleks elemen-elemen yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum,

dan pengertian hukum. Penegakan hukum juga harus merupakan suatu

sistem.

Penegakan hukum di laut, khususnya hukum laut internasional

hanya akan efektif apabila diterapkan secara universal dan apabila

terdapat kekuatan yang menegakkan hukum tersebut. Sebagai akibat

sulitnya menyusun hukum laut dan kurang terpadunya kekuatan yang

diperlukan untuk menegakkannya, maka timbul peluang tindakan-tindakan

seperti pembajakan, perompakan, penyelundupan segala macam barang,

pencemaran laut, pencurian ikan dan lain-lain. Fakta-fakta hukum yang

mendasar tersebut menimbulkan konsekuensi akan munculnya faktor-

faktor baru. Faktor pertama, karena hukum laut itu pada hakikatnya lemah,

maka ukuran serta hubungan relatif antar kekuatan-kekuatan di laut itu

secara berkelanjutan memainkan peranan yang penting. Cara terbaik

untuk mengatasi kelemahan hukum laut tersebut adalah memelihara

tingkat kehadiran di laut dan menciptakan penggunaan laut secara rutin

sebagai preseden hukum yang valid. Faktor baru kedua adalah, bahwa

batas antara keadaan damai, keadaan krisis, dan keadaan perang di laut

4 Sudikno Mertokusumo, 1996, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, hlm.140

5 F. Sugeng Istanto, 2004, Bahan Kuliah Politik Hukum, Yogyakarta: Sekolah Pasca Sarjana

UGM, hlm.20 6 HC.Black, 1990, Black’s Law Dictionary: Sixht Edition, St.Paul Minn, West Publisihing co.

Page 4: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

4

tidak begitu tegas, dan lebih merupakan kontinum (rangkaian) dari apa

yang terjadi di darat.7 Kecenderungan negara-negara pantai untuk

menyusun hukum laut nasional yang memadai untuk menjamin keamanan

dan kesejahteraan rakyatnya dapat menimbulkan peluang dan resiko

konflik dengan negara lain apabila tidak dilaksanakan menurut konvensi

hukum laut internasional dengan semangat persahabatan dan saling

menghargai.

Menyadari pentingnya keamanan laut, perlu kiranya menyamakan

persepsi karena tanpa disadari dapat menggiring kita dalam suatu polemik

berkepanjangan yang berdampak negatif, yang justru akan menghambat

upaya membangun persatuan dan kesatuan bangsa. Keamanan laut bisa

diwujudkan dengan penegakan kedaulatan dan penegakan hukum di laut,

tapi selain dua aspek tersebut, keamanan laut juga mengandung

pengertian bahwa laut bisa dikendalikan dan aman digunakan oleh

pengguna dan bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktivitas

pemanfaatan laut, yaitu:8

1. Laut bebas dari ancaman kekerasan, yaitu ancaman dengan

kekuatan bersenjata yang teroganisir dan memiliki kemampuan

untuk menganggu serta membahayakan personel atau negara.

Ancaman tersebut dapat berupa, pembajakan, perompakan,

sabotase maupun aksi teror bersenjata;

2. Laut bebas dari ancaman navigasi, yang ancaman yang ditimbulkan

oleh kondisi geografi dan hidrografi serta kurang memadainya

sarana bantu navigasi sehingga membahayakan keselamatan

pelayaran;

3. Laut bebas dari ancaman terhadap sumber daya laut berupa

pencemaran dan perusakan ekosistem laut serta konflik

pengelolaan sumber daya laut;

7 Soewarso, Kumpulan Karangan Tentang Evolusi Pemikiran Masalah Keangkatan Lautan,

Jakarta: Penerbit SESKOAL, hlm.378. 8 Pokok-pokok Pikiran TNI Angkatan Laut Tentang Keamanan Di Laut, op.cit, hlm.15.

Page 5: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

5

4. Laut bebas dari ancaman pelanggaran hukum, yaitu tidak

dipatuhinya hukum nasional maupun hukum internasional seperti

illegal fishing, illegal logging, illegal migrant, penyelundupan dan

lain-lain.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas timbul masalah yang kompleks

dilaut, karena bertemunya dua kepentingan yang saling mengikat, yaitu

kepentingan nasional dan internasional sehingga menyebabkan tegaknya

keamanan di laut tidak dilaksanakan oleh satu institusi secara mandiri.

Penegakan hukum di laut di Indonesia saat ini masih bersifat sektoral, ada

beberapa instansi yang di beri wewenang oleh undang-undang untuk

penegakan hukum di laut, yaitu Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut

(TNI AL), Kepolisian Negara Republik Indonesia, Ditjen Imigrasi, Ditjen

Bea Cukai, Ditjen Perhubungan Laut, Ditjen Perikanan, Ditjen Kehutanan.

Stabilitas keamanan di laut diperlukan dalam upaya untuk

menghadapi segala bentuk gangguan dan ancaman di laut dengan

mengerahkan kekuatan berbagai instansi yang berwenang melaksanakan

penegakan kedaulatan dan hukum di laut. Penegakan hukum di laut tidak

hanya ditangani satu instansi saja, karena undang-undang memberikan

mandat kepada beberapa instansi pemerintah yang diberi wewenang

untuk melaksanakan penegakan hukum tersebut. Aparat penegak hukum

di laut terkotak-kotak dalam sistem yang tidak terintegrasi dengan baik

karena bersifat sektoral. Sifat sektoral menimbulkan beberapa

permasalahan hukum, diantaranya tumpang tindih wewenang yang

menimbulkan konflik antar penegak hukum. Sampai saat ini belum ada

usaha pemerintah atau lembaga yang berwenang membuat undang-

undang, untuk mengatasi tumpang tindih wewenang dalam penegakan

hukum di laut. Seharusnya penegakan hukum di laut di lakukan secara

terpadu oleh berbagai instansi dan tunduk pada undang-undang tersendiri.

Salah satu upaya keterpaduan dalam rangka penegakan hukum di

laut sebenarnya sudah dilaksanakan melalui operasi bersama antar

berbagai instansi dalam rangka penegakan hukum di laut melalui Surat

Page 6: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

6

Keputusan Bersama (SKB) antara Menhankam/Pangab, Menhub,

Menkeu, Menkeh, dan Jaksa Agung No. Kep/B/45/XII/1972, SK-

901/M/1972, Kep/779/MK/III/12/1972, J.S.B/72/1 dan

Kep/085/J.A/12/1972, tanggal 19 Desember 1972 tentang Pembentukan

Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) dan Komando

Pelaksanaan Operasi (Kolaksops) Bersama Keamana Laut (Kamla).

Operasi bersama dalam rangka penegakan hukum di laut yang diatur

melalui SKB ini, belumlah kuat untuk menggunakan kewenangan atau

tidak menggunakan kewenangan dalam rangka penegakan hukum di laut

secara terpadu, sehingga SKB tidak dapat di jadikan ukuran untuk menilai

tindakan aparat penegak hukum di laut untuk bertindak sewenang-wenang

atau bertindak menyalahgunakan kewenangannya.

Penelitian dalam karya tulis ini diharapkan dapat mengkaji secara

analitis mengenai penegakan hukum di wilayah laut Indonesia. Penelitian

karya tulis ini menggunakan metode penelitian normatif atau kepustakaan.

Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti

bahan-bahan kepustakaan seperti buku, makalah, peraturan perundang-

undangan, perjanjian internasional, majalah, dan surat kabar yang

berkaitan dengan obyek yang diteliti. Sistematika karya tulis ini adalah

sebagai berikut:

1. Pendahuluan

2. Penegakan Hukum

a. Pengertian Penegakan Hukum

b. Faktor-faktor Dalam Penegakan Hukum

c. Mekanisme Penegakan Hukum

3. Wilayah Laut Indonesia

a. Wilayah Laut Di Bawah Kedaulatan Republik Indonesia

b. Wilayah Laut Dibawah Yurisdiksi Republik Indonesia

4. Implementasi Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

5. Kesimpulan

Page 7: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

7

2. Penegakan Hukum

a. Pengertian Penegakan Hukum

Hukum menurut David Berker dan Collin Padfield seperti yang

dikutip Sidik Sunaryo adalah: as a rule of human conduct imposed upon

and enforced among the members of a given state.9 Pendapat David

Berker dan Collin Padfiel di atas memberikan pemahaman bahwa hukum

merupakan kumpulan aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis sebagai

pedoman tingkah laku manusia yang mempunyai daya paksa oleh badan

yang diberi otoritas sehingga memiliki daya eksekusi. Otoritas yang dimiliki

memberikan legitimasi kepada badan tesebut untuk melakukan

penegakan hukum.

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk

tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai

pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan–hubungan hukum

dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari subyeknya,

penegakan hukum dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula

diartikan sebagai upaya penegakan hukum yang melibatkan semua

subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang

menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak

melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum

yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.

Penegakan hukum dalam arti sempit, dari segi subyeknya dapat diartikan

sebagai upaya aparatur penegak hukum untuk menjamin dan memastikan

tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu

diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.10

Pengertian penegakan hukum dapat ditinjau dari sudut obyeknya,

yaitu dari segi hukumnya, dalam hal ini pengertiannya juga mencakup

makna yang luas dan sempit. Penegakan hukum dalam arti luas

9 Sidik Sunaryo,2005, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang: UMM Press, hlm.3.

10 Jimmly Asshiddiqie, 2006, Penegekan Hukum, diakses dari www.solusihukum.com pada

tanggal 12 Agustus 2006

Page 8: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

8

mencakup nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalam aturan formal

maupun nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Penegakan hukum

dalam arti sempit hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal

dan tertulis saja. Pembedaan antara aturan formal hukum yang tertulis

dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya juga muncul dalam

bahasa inggris, yaitu dengan dikembangkannya istilah “the rule of law”

atau dalam istilah “ the rule of law and not of a man” versus istilah “ the

rule by law” yang berarti “the rule of man by law” . Istilah “ the rule of law”

mengandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam arti

formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di

dalamnya. Istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk

menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum

modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya

adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh

orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan

belaka.11

Uraian di atas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penegakan

hukum merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik

dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas,

sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para

subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegak hukum

yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk

menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

b. Faktor-faktor Dalam Penegakan Hukum

1.) Faktor Aparat Penegak Hukum

Faktor ini meliputi bagian-bagian yang bergerak dalam mekanisme

penegakan hukum. Bagian-bagian itu adalah aparatur penegak hukum

yang diharapkan mampu memberikan kepastian, keadilan, dan

11

Ibid

Page 9: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

9

kemanfaatan hukum secara proporsional. Aparatur penegak hukum

mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat

(orangnya) penegak hukum. Aparatur penegak hukum dalam arti sempit,

dimulai dari polisi, jaksa, hakim, penasehat hukum dan petugas-petugas

sipir lembaga pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur yang terkait

mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau

perannya, yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan,

penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan

pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi)

terpidana. 12

Ada 3 (tiga) elemen penting yang mempengaruhi mekanisme

bekerjanya aparatur penegak hukum, yaitu: (i) institusi penegak hukum

beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan

mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan

aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii)

perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya

maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik

hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum

secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara

simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan secara internal

dapat diwujudkan secara nyata.13

Secara sosiologis, setiap aparat penegak hukum tersebut

mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial)

merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan. Kedudukan

tersebut merupakan wadah, yang isinya hak dan kewajiban tertentu. Hak

dan kewajiban tadi merupakan peranan atau role, oleh karena itu maka

seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya mempunyai

peranan. Suatu hak merupakan wewenang untuk berbuat dan tidak

12

Ibid 13

Ibid

Page 10: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

10

berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan

tertentu dapat dijabarkan dalam unsur-unsur sebagai berikut:14

- Peranan yang ideal (ideal role);

- Peranan yang seharusnya (expected role);

- Peranan yang dianggap oleh diri sendiri

(perceived role);

- Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual

role)

Peranan yang ideal dan peranan yang seharusnya berasal dari pihak-

pihak lain yang telah dirumuskan dalam beberapa undang-undang dan

peraturan hukum lainnya., sedangkan peranan yang dianggap oleh diri

sendiri dan peranan yang sebenarnya dilakukan berasal dari diri pribadi

yang kemudian menimbulkan diskresi. Diskresi menyangkut pengambilan

keputusan yang tidak terikat oleh hukum, karena penilaian pribadi lah

yang memegang peranan.

2.) Faktor Hukum

Faktor ini meliputi ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukum,

baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Untuk mengetahui suatu

ketentuan merupakan ketentuan hukum yang berlaku atau bukan harus

dilihat dari ajaran atau teori sumber hukum. Sumber hukum merupakan

suatu teori atau ajaran tentang ukuran yang digunakan untuk menentukan

apakah suatu ketentuan merupakan ketentuan hukum atau bukan.

Adapun ukuran yang digunakan adalah:15

• Ukuran isi atau materi ketentuan hukum;

• Ukuran proses pembentukan atau pembuatan ketentuan

hukum.

Dengan menggunakan dua ukuran ini, maka sumber hukum menurut

pengertian diatas dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a.) Sumber hukum materiil 14

Soerjono Soekanto, 2002, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, hlm.14. 15

F.Sugeng Istanto, Op.Cit, hlm.17-18.

Page 11: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

11

Sumber hukum materiil adalah prinsip yang menetukan isi

ketentuan hukum yang berlaku. Suatu ketentuan yang isinya sesuai

dengan isi prinsip yang berlaku atau diterima dalam kehidupan

masyarakat yang bersangkutan adalalah ketentuan hukum. Sebaliknya,

jika suatu ketentuan hukum tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang

berlaku atau diterima umum di dalam masyarakat maka ketentuan yang

bersangkutan bukan merupakan ketentuan hukum.

b.) Sumber hukum formil

Sumber hukum formil adalah suatu proses yang menjadikan suatu

ketentuan menjadi ketentuan hukum positif. Suatu ketentuan merupakan

ketentuan hukum jika proses pembentukan atau pembuatannya sesuai

dengan proses yang berlaku dalam masyarakat. Proses pembentukan

hukum yang berlaku dalam dalam suatu masyarakat pada umumnya ada

dua macam, yaitu:

• Perundang-undangan (wetgeving atau legislation) merupakan

proses pembentukan hukum yang harus memenuhi dua syarat,

yaitu dilakukan oleh organ negara yang berwenang dan melalui

prosedur yang telah ditentukan.

• Kebiasaan (custom) merupakan proses pembentukan hukum yang

tidak memenuhi salah satu atau dua syarat di atas. Proses

pembentukan hukum berupa kebiasaan ini juga harus memenuhi

dua syarat, yaitu sebagai berikut:

- Syarat materiil, yaitu adanya suatu pengulangan

perbuatan yang sama yang dilakukan secara

berulang-ulang atau terus menerus sehingga

menimbulkan suatu kebiasaan.

- Syarat psikologis, yaitu adanya opinion juris sive

necessitates yaitu adanya kesadaran dari masyarakat

bahwa pengulangan itu merupakan akibat dari suatu

keharusan sehingga masyarakat menerima kebiasaan

itu sebagai kaidah yang mengikat.

Page 12: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

12

Sumber hukum formil dalam bentuk peraturan perundang-undangan di

negara Republik Indonesia diatur dalam Tap MPR Nomor III/ MPR/ 2000

tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yaitu:

1. UUD 1945

2. Ketetapan MPR

3. Undang-undang

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)

5. Peraturan Pemerintah

6. Keputusan Presiden

7. Peraturan Daerah.

3.) Faktor fasilitas pendukung

Fasiltas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan sebagai

sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah sarana

fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Fasilitas pendukung

mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi

yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan

sebagainya. Jika faktor fasilitas pendukung tidak dipenuhi maka mustahil

penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Kepastian dan kecepatan

penyelesaian perkara tergantung pada fasilitas pendukung yang ada

dalam bidang-bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan.

4.) Faktor masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk

mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Masyarakat mempunyai

pendapat-penadapat tertentu mengenai hukum. Ada beberapa pengertian

atau arti yang diberikan pada hukum, yaitu sebagai berikut:16

• Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan;

• Hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang

kenyataan;

16

Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm.35

Page 13: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

13

• Hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni pedoman

perilaku baik yang diharapkan;

• Hukum diartikan sebagai tata hukum;

• Hukum diartikan sebagai petugas atau pejabat;

• Hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa;

• Hukum diartikan sebagai proses pemerintahan;

• Hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik;

• Hukum diartikan sebagai jaminan nilai;

Berbagai pengertian tersebut diatas timbul karena masyarakat

hidup dalam konteks yang berbeda sehingga yang seharusnya

dikedepankan adalah keserasiannya supaya ada titik tolak yang sama.

Masyarakat juga mempunyai kecenderungan yang besar untuk

mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas

(dalam hal ini adalah penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu

akibatnya adalah bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan

dengan pola perilaku penegak hukum tersebut yang menurut pendapatnya

merupakan pencerminan dari hukum sebagai struktur dan proses.

Keadaan tersebut juga dapat memberikan pengaruh baik, yakni bahwa

penegak hukum akan merasa bahwa perilakunya senantiasa mendapat

perhatian dari masyarakat.

Masalah lain yang timbul sebagai akibat anggapan masyarakat

tersebut diatas adalah mengenai segi penerapan perundang-undangan.

Jika penegak hukum menyadari dirinya dianggap hukum oleh masyarakat,

maka kemungkinan penafsiran mengenai pengertian perundang-

undangan bisa terlalu luas atau bahkan sempit. Selain itu mungkin timbul

kebiasaan untuk kurang menelaah bahwa perundang-undangan

kadangkala tertinggal dengan perkembangan di dalam masyarakat.

Anggapan-anggapan masyarakat tersebut harus mengalami perubahan

dalam kadar tertentu. Perubahan tersebut dapat dilakukan melalui

penerangan atau penyuluhan hukum yang berkesinambungan dan

senantiasa dievaluasi hasil-hasilnya, untuk kemudian dikembangkan lagi.

Page 14: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

14

Kegiatan-kegiatan tersebut nantinya akan dapat menempatkan hukum

pada kedudukan dan peranan yang semestinya.17

c. Mekanisme Penegakan Hukum

Berbicara mengenai masalah penegakan hukum sebenarnya tidak

dapat dilepaskan dari pemikiran-pemikiran tentang efektivitas hukum yang

mampu menjamin bahwa hukum ditegakkan secara proporsional.

Penegakan hukum yang mengandung prinsip proporsional adalah

penegakan hukum yang mampu menegakkan tidak saja aturan normatif

(aspek kepastian hukum), tapi juga aspek filosofinya (aspek dan nilai

keadilan). Untuk menuju terwujudnya penegakan hukum secara

proporsional dimaksud, sangat diperlukan adanya media dan perangkat

yang disebut sistem peradilan.18 Terkait dengan fokus kajian ini adalah

sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana di dalamnya selalu

melibatkan dan mencakup sub-sistem dengan ruang lingkup masing-

masing tahap proses peradilan pidana seperti yang diungkapkan oleh

Martiman Prodjohamidjojo, yaitu sebagai berikut:19

• Tahap penyidikan dilakukan oleh Kepolisian Republik

Indonesia;

• Tahap penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut

Umum;

• Tahap pemeriksaan di sidang pengadilan yang dipimpin oleh

Hakim;

• Tahap pelaksanaan putusan pengadilan yang dilaksanakan

oleh Jaksa dan Lembaga Pemasyarakatan dengan

pengawasan Ketua Pengadilan.

Sistem peradilan memuat sub-sistem yang di dalamnya mengatur

mekanisme dan prosedur penegakan hukum yang kemudian dikenal

17

Ibid, hlm.42-43 18

Sidik Sunaryo, Op.Cit,hlm.217. 19

M.Karyadi& R.Soesilo, 1997, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Bogor:Politea,

hlm.23

Page 15: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

15

dengan hukum acara pidana. Menurut Wiryono Prodjodikoro seperti yang

dikutip oleh Andi Hamzah menyatakan bahwa hukum acara pidana

berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, oleh karena itu

merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara

bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu Kepolisian,

Kejaksaan, dan Pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara

dengan mengadakan hukum pidana.20

Simon merumuskan bahwa hukum acara pidana disebut juga

hukum pidana formal untuk membedakannya dengan hukum pidana

material. Hukum pidana material berisi petunjuk dan uraian tentang delik,

peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidananya suatu perbuatan,

petunjuk tentang orang yang dapat dipidana, dan aturan tentang

pemidanaan: mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat

dijatuhkan. Hukum pidana formal, mengatur bagaimana negara melalui

alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan

pidana.21

Serangkaian sub-sistem sebagaimana tersebut di atas, untuk

negara Indonesia mengacu pada kodifikasi hukum pidana formil, yakni

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diberlakukan

dengan UU RI No.8 Tahun 1981. KUHAP menjadi dasar pijakan

penegakan hukum pidana materiil. Ketentuan mengenai proses beracara

untuk kasus-kasus pidana di Indonesia harus mengacu pada ketentuan

KUHAP. Berdasarkan KUHAP penegakan hukum mencakup proses tahap

penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang

pengadilan. Berikut ini adalah penjelasan mekanisme penegakan hukum

yang meliputi proses tahap seperti tersebut di atas.

1. Penyelidikan

Pasal 1 butir 5 KUHAP memberi definisi penyelidikan sebagai

berikut:

20

Andi Hamzah,2001, Hukum Acara Pidana Indonesia , Jakarta: Sinar Grafika, hlm.7. 21

Ibid,hlm.4.

Page 16: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

16

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur undang-undang ini.

Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”.

Sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan terlebih dahulu

penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan

mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat

dilakukan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang

tak terpisahkan dari fungsi penyidikan. Penyelidikan dapat juga disamakan

dengan pengertian tindakan pengusutan sebagai usaha mencari dan

menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa

yang di duga merupakan tindak pidana.22

Pihak yang berwenang melakukan penyelidikan diatur dalam Pasal

1 butir 4 KUHAP, yaitu sebagai berikut:

Penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

Pasal di atas menegaskan bahwa yang berwenang melaksanakan fungsi

penyelidikan adalah hanya pejabat polisi Negara Republik Indonesia, tidak

dibenarkan adanya campur tangan dari instansi atau pejabat lain. Fungsi

dan wewenang penyelidik meliputi ketentuan yang diatur dalam Pasal 5

KUHAP, yang dapat dipisahkan dan ditinjau dari beberapa segi, yaitu: 23

a. Fungsi dan wewenang berdasar hukum, meliputi:

- Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang

tentang adanya tindak pidana;

- Mencari keterangan dan barang bukti;

- Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan

menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

22

M.Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan

Penuntutan, Jakarta:Sinar Grafika, hlm.101 23

Ibid, hlm.103-108

Page 17: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

17

- Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab.

b. Kewenangan berdasarkan Perintah Penyidik, meliputi:

- Penangkapan, larangan meninggalkan tempat,

penggeledahan dan penyitaan;

- Pemeriksaan dan penyitaan surat;

- Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

- Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.

c. Kewajiban penyelidik membuat dan menyampaikan

laporan.

2. Penyidikan

Pasal 1 butir 2 KUHAP memberikan definisi penyidikan sebagai

berikut:

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Tindakan penyidikan titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan

mencari serta mengumpulkan bukti supaya tindak pidana yang ditemukan

dapat menjadi terang serta agar dapat menemukan dan menentukan

pelakunya. Pihak yang berwenang melakukan penyidikan diatur dalam

Pasal 1 butir 1 KUHAP, yaitu sebagai berikut:

Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenangn khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Pasal di atas sudah menjelaskan pihak-pihak yang disebut penyidik,

kemudian dipertegas dan diperinci lagi dalam Pasal 6 KUHAP yang

menjelaskan siapa yang berwenang sebagai penyidik ditinjau dari segi

Page 18: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

18

instansi maupun kepangkatan. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 6

KUHAP tersebut, yang berhak diangkat sebagai pejabat penyidik adalah:24

1.) Pejabat Penyidik Polri

Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a menjelaskan bahwa salah satu

instansi yang berwenang melakukan tindakan penyidikan adalah pejabat

polisi Negara Republik Indonesia. Berdasarkan diferensiasi fungsional,

KUHAP telah meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan kepada

instansi kepolisian, dan agar seorang pejabat polisi dapat diberi jabatan

sebagai penyidik, maka harus memenuhi syarat kepangkatan

sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) KUHAP. Penjelasan

Pasal 6 ayat (2) KUHAP tersebut menguraikan kedudukan dan

kepangkatan penyidik yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, yang

diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan Penuntut Umum dan

Hakim Peradilan Umum.

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP Pejabat Penyidik

Polri karena kewajibannya mempunyai wewenang sebagai berikut:

- Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang

adanya tindak pidana;

- Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;

- Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal diir tersangka;

- Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan

penyitaan;

- Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

- Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

- Memanggil orang untuk di dengar dan diperiksa sebagai

tersangka atau saksi;

- Mendatangkan orang yang ahli yang diperlukan dalam

hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

24

Ibid,hlm.109-113.

Page 19: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

19

- Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab.

2.) Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) diberi wewenang khusus

oleh undang-undang, yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b.

Wewenang yang dimiliki oleh PPNS bersumber pada ketentuan undang-

undang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian

wewenang penyidikan dalam salah satu pasal-pasalnya. Jadi, selain

pejabat penyidik Polri, undang-undang pidana khusus tertentu juga

memberikan wewenang kepada PPNS yang bersangkutan untuk

melakukan penyidikan. Satu hal penting yang perlu diingat bahwa

berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP, wewenang penyidikan

yang dimiliki oleh PPNS hanya terbatas sepanjang menyangkut tindak

pidana yang diatur dalam undang-undang pidana khusus yang menjadi

dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada

di bawah koordinasi dan pengawasan pejabat penyidik Polri.

3. Penuntutan

Pasal 1 butir 7 KUHAP memberikan definisi penuntutan sebagai

berikut:

Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan kepada siapapun yang

didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan

melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.25

Penuntutan dilakukan oleh penuntut umum, Pasal 13 KUHAP menjelaskan

bahwa “Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-

undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan

25

Andi Hamzah, Op.Cit,hlm.157-158

Page 20: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

20

hakim”. Selain penjelasan arti penuntut umum yang terdapat dalam Pasal

13 KUHAP tersebut di atas, penjelesan definisi penuntut umum terlebih

dahulu telah diuraikan dalam Pasal 1 butir 6 KUHAP, yaitu sebagai

berikut:

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-

undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta

melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap.

b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh

undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan

melaksanakan penetapan hakim.

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 KUHAP, penuntut umum mempunyai

wewenang meliputi:

- Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari

penyidik atau penyidik pembantu;

- Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada

penyidikan dengan memberikan petunjuk dalam rangka

penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

- Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan

penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah

status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh

penyidik;

- Membuat surat dakwaan;

- Melimpahkan perkara ke pengadilan;

- Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang

ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai

surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada

saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

- Melakukan penuntutan;

Page 21: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

21

- Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan

tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan

undnag-undang ini;

- Melaksanakan penetapan hakim.

4. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Pelaksanaan sidang pengadilan dipimpin oleh hakim. Pasal 1 butir

8 KUHAP memberikan definisi tentang hakim, yaitu:

Hakim adalah pejabat pengadilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.

Pengertian mengadili juga dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 9 KUHAP, yaitu

sebagai berikut:

Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Menurut sistem yang dianut di Indonesia seperti yang telah dikemukan di

atas, sidang di pengadilan di pimpin oleh hakim. Hakim harus aktif

bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili

oleh penasehat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula

kepada penuntut umum. Semua itu dilakukan untuk mencari kebenaran

materiil, karena hakim bertanggung jawab atas segala yang

diputuskannya.26

3. Wilayah Laut Indonesia

Pengaturan tentang kedaulatan dan yurisdiksi negara di laut secara

komprehensif diatur dalam UNCLOS 1982 yang mengakui hak negara-

negara untuk melakukan klaim atas pelbagai macam zona laut dengan

status hukum yang berbeda-beda. Selama ini pengertian wilayah secara

yuridis terbatas pada masalah kedaulatan, sedangkan dalam pengaturan

berdasarkan hukum laut internasional dikenal adanya yurisdiksi negara di

bagian-bagian laut yang bukan wilayah negara, maka pembahasan pada

26

Ibid,hlm.97

Page 22: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

22

sub bagian ini tidak dapat dilepaskan dari masalah tersebut diatas.

Kepentingan nasional Indonesia di laut tidak hanya terbatas pada zona-

zona laut yang merupakan wilayah negara, tetapi juga meliputi bagian-

bagian laut di luar wilayah negara dimana Indonesia memiliki kedaulatan

dan yurisdiksi untuk pemanfaatannya.

a. Wilayah Laut Di Bawah Kedaulatan Republik Indonesia

Wilayah laut Indonesia yang berada di bawah kedaulatan RI meliputi:

1. Perairan Pedalaman

Aturan hukum internasional mengatur mengenai pengertian

perairan pedalaman dalam Convention on the Territorial Sea and

Contiguous Zone 1958 yang menyatakan bahwa perairan pedalaman

mencakup “perairan di sisi darat laut wilayah (teritorial)”.27 Sedangkan

dalam UNCLOS 1982, pengertian perairan pedalaman dinyatakan dalam

Pasal 8 ayat (1) “ Kecuali sebagaimana diatur dalam Bagian IV, perairan

pada sisi darat garis pangkal laut teritorial merupakan bagian perairan

pedalaman wilayah negara tersebut”.28

Aturan hukum nasional dalam Pasal 1 ayat (3) UU No.4 Tahun

1960 tentang Perairan Indonesia menyatakan bahwa perairan pedalaman

Indonesia adalah “Semua perairan yang terletak pada sisi dalam

sebagaimana yang dimaksud pada ayat 2”.29 Pasal 3 ayat (4) UU No. 6

Tahun 1966 tentang Perairan Indonesia dinyatakan bahwa “Perairan

Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat

dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk didalamnya

semua bagian dari perairan yang terletak sisi darat garis penutup

sebagaimana dimaksud pasal 7”.30 Berikut ini adalah ketentuan Pasal 7

tersebut:31

27

Artikel 5 ayat (1) Convention on the Territorial Sea and Contiguous Zone 1958 28

Artikel 8 ayat (1) UNCLOS 1982 29

Pasal 1 ayat (3) UU No.4 Tahun 1960 30

Pasal 3 ayat (4) UU.6 Tahun 1996 31

Pasal 7 UU.No.6 Tahun 1996

Page 23: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

23

(1) Di perairan kepulauan, untuk penetapan batas perairan

pedalaman, Pemerintah Indonesia dapat menarik garis-garis

penutup pada mulut sungai, kuala, teluk, anak laut dan pelabuhan.

(2) Perairan pedalaman terdiri atas:

a. Laut pedalaman;

b. Perairan darat.

(3) Laut pedalaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a

adalah bagian laut yang terletak pada sisi darat garis penutup,

pada sisi laut garis terendah.

(4) Perairan darat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b

adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat garis rendah

kecuali pada mulut sungai.

Daerah dasar laut yang berada dibawah perairan pedalaman,

walaupun secara geografis merupakan bagian landas kontinen, namun

secara yuridis bagian tersebut tidak termasuk landas kontinen, tetapi

masuk rezim laut wilayah.32 Perairan pedalaman dianggap dianggap

sebagai bagian yang merupakan satu kesatuan dengan negara pantai.

Negara pantai mempunyai kedaulatan penuh dalam lingkup perairan

pedalaman termasuk kekayaan-kekayaan alam yang terkandung baik di

permukaan dasar laut maupun dalam tanah dibawahnya. Kedaulatan

penuh yang dimiliki oleh negara pantai atas perairan pedalaman dan

ketiadaan hak umum untuk melintas secara damai di perairan itu

menyebabkan tidak adanya hak bagi kapal asing untuk memasuki

perairan pedalaman tanpa ijin, apalagi ikut mengambil kekayaan hayati

maupun kekayaan mineral yang terdapat di perairan pedalaman

2. Perairan Kepulauan

Perairan kepulauan (ArchpelagicWaters) sebenarnya berasal dari

konsep negara kepulauan (Archpelagic States) yang dihasilkan oleh pakar

hukum laut internasional baik yang berasal dari negara-negara kepulauan

maupun bukan negara-negara kepulauan. Berdasarkan hasil pemikiran

32

Hasjim Djalal, 1979, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Jakarta: BPHN, hlm.39.

Page 24: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

24

pakar-pakar hukum laut internasional tersebut, pada sidang-sidang United

Nations Sea-Bed Committee, empat negara kepulauan yaitu Indonesia,

Filiphina, Fiji, Mauritius berhasil menyusun dan memperkenalkan

Rancangan Pasal-Pasal tentang negara kepulauan yang kemudian

dimasukkan dalam naskah perundingan konferensi. Perundingan

konferensi tersebut menghasilkan naskah Rancangan keempat negara

kepulauan yang ternyata mendapat dukungan yang positif dari negara

peserta. Namun, karena dalam penerapan garis pangkal kepulauan

diketahui akan mengakibatkan terjadinya perubahan laut yang

sebelumnya merupakan laut lepas menjadi perairan teritorial33 maka

sebagian besar negara-negara peserta konferensi mengusulkan agar

tetap diakuinya prinsip kebebasan pelayaran, penerbangan, perlunya

penetapan tentang penetapan garis pangkal, perlunya rumusan definsi

negara kepulauan secara obyektif dan status hukum perairan kepulauan

tersebut.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, perairan kepulauan adalah

perairan yang terletak di sisi dalam garis-garis pangkal kepulauan. Garis

pangkal kepulauan yang dimaksud adalah garis pangkal lurus kepulauan

yang menghubungkan titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar

negara kepulauan tersebut.34 Sedangkan menurut UNCLOS 1982,

perairan kepulauan adalah perairan yang ditutup oleh garis pangkal

kepulauan yang ditarik sesuai dengan ketentuan Pasal 47 tanpa

memperhatikan kedalaman atau jarak pantai.35 Rezim perairan kepulauan

menggunakan prinsip kedaulatan. Meskipun demikian, pelaksanaannya

dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum internasional. Pembatasan

tersebut meliputi:

• Jaminan hak lintas damai bagi pelayaran kapal asing;36

33

Rebecca M.M Wallace, 1986, Hukum Internasional: Penerjemah Bambang Armunadi,

Semarang: Penerbit Ikip Semarang Press, hlm.148. 34

Mochtar Kusumaatmadja & Etty R.Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Bandung:

PT.Alumni, hlm.179. 35

Artikel 49 ayat (1) UNCLOS 1982 36

Artikel 17 UNCLOS 1982

Page 25: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

25

• Jaminan lintas alur laut kepualauan;

• Jaminan lintas transit; 37

• Jaminan dan penghormatan terhadap hak perikanan tradisional dan

kabel laut yang ada.38

3. Laut Teritorial

Beberapa literatur hukum laut menyebutkan istilah laut teritorial

dalam berbagai istilah. Browlie menggunakan istilah the maritime belt,

marginal sea, dan territorial water. Brierly menggunakan istilah territorial

sea atau internal water. Laut teritorial harus dibedakan dengan perairan

pedalaman (internal water atau national water).39 Tetapi secara umum

istilah yang digunakan adalah laut teritorial (territorial sea).

Aturan hukum internasional yang mengatur pengertian tentang laut

teritorial, dinyatakan dalam Konvensi Den Haag 1930 bahwa “Wilayah

negara meliputi suatu jalur laut yang dalam konvensi ini dinamakan laut

territorial dan kedaulatan negara pantai meliputi ruang udara diatas

teritorial, demikian pula dasar laut dari laut teritorial dan tanah

dibawahnya”.40 Konvensi ini belum menetapkan lebar laut teritorial yang

menjadi hak negara pantai. Sedangkan Konvensi Jenewa 1958 mengenai

Laut Teritorial dan Jalur Tambahan merumuskan bahwa laut teritorial

merupakan suatu jalur yang terletak sepanjang pantai suatu negara yang

berada di bawah kedaulatan negara”.41 Konvensi ini juga belum

bersepakat mengenai lebar laut teritorial, tapi negara-negara peserta

mengemukakan berbagai klaim mengenai lebar laut teritorial, yakni mulai

dari 3 mil – 6 mil, bahkan sampai muncul pendapat bahwa negara-negara

dapat menentukan batas laut teritorialnya sendiri. UNCLOS 1982

mengatur bahwa “Kedaulatan suatu negara pantai, selain wilayah daratan

dan perairan pedalamannya, dan dalam hal suatu negara kepulauan,

37

Artikel 38 UNCLOS 1982 38

Artikel 51 UNCLOS 1982 39

Chairul Anwar, 1982, Hukum Internasional: Horizon Baru Hukum Laut Internasional,

Jakarta:Djambatan, hlm.15. 40

Artikel 1 dan 2 Konvensi Den Haag 1930 41

Artikel Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan

Page 26: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

26

perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan

dengannya yang dinamakan laut teritorial.”42 Konvensi ini berhasil

menetapkan batas laut teritorial yaitu 12 mil laut diukur dari garis pangkal

pantai.

Aturan hukum nasional yang mengatur mengenai laut teritorial

adalah UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang

menetapkan bahwa lebar laut teritorial Indonesia adalah 12 mil laut yang

diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.43 Mengenai status hukum

Laut Teritorial berlaku prinsip kedaulatan negara, yang dalam

pelaksanaannya dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum internasional.

b. Wilayah Laut Di Bawah Yurisdiksi Republik Indonesia

Wilayah laut Indonesia yang berada di bawah yurisdiksi Republik

Indonesia meliputi:

1. Zona Tambahan

Starke berpendapat bahwa zona tambahan adalah suatu jalur

perairan yang berdekatan dengan batas jalur maritim, tidak termasuk

kedaulatan negara pantai, tetapi dalam zona itu negara pantai dapat

melaksanakan hak-hak pengawasan tertentu untuk tujuan kesehatan atau

peraturan-peraturan lainnya.44

Aturan hukum internasional yang mengatur tentang zona tambahan

adalah UNCLOS 1982 yaitu “Dalam suatu zona yang berbatasan dengan

laut teritorialnya, yang dinamakan zona tambahan, Negara pantai dapat

melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk mencegah

pelanggaran peraturan perundang-undangannya, bea cukai, fiskal,

imigrasi dan saniter di wilayah laut teritorialnya, serta menghukum

pelanggar peratuan perundang-undangan tersebut diatas yang dilakukan

42

Artikel 2 ayat (1) UNCLOS 1982 43

Pasal 3 ayat (2) UU. No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia 44

J.G.Starke, 2001, Pengantar Hukum Internasional I, Edisi Kesepuluh, Jakarta: Sinar Grafika,

hlm.328.

Page 27: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

27

di dalam wilayah atau laut tertorialnya.”45 Sedangkan lebar zona

tambahan ditetapkan maksimal 24 mil laut dari garis pangkal laut

teritorial.46 Karena lebar zona tambahan diukur 24 mil laut dari garis

pangkal laut teritorial diukur, maka harus dikurangi 12 mi laut yang

merupakan bagian laut teritorial itu. Sehingga, sebenarnya lebar zona

tambahan adalah hanya 12 mil laut.

Mengenai aturan hukum nasional, sampai sekarang Indonesia

belum membuat Undang-undang yang secara khusus mengatur tentang

zona tambahan. Untuk itu, peraturan perundangan yang dapat dijadikan

sebagai pedoman dalam mengklaim atau menetapkan zona tambahan

adalah UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum

Laut 1982, UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, UU No.10 Tahun

1995 tentang Kepabeanan, UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU

No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU No.22 Tahun 1997 tentang

Narkotika dan lainnya.

Dalam rezim zona tambahan tidak berlaku kedaulatan negara

sebagaimana di laut teritorial, melainkan hanya berlaku yurisdiksi negara.

Di luar yurisdiksi tersebut, maka zona tambahan tetap merupakan laut

lepas kecuali jika negara pantai menetapkan Zona Ekonomi Eksklusif.

2. Zona Ekonomi Eksklusif

Zona ekonomi eksklusif diartikan sebagai suatu daerah di luar laut

teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil laut diukur dari garis

pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, yang tunduk

pada rezim hukum khusus berdasarkan hak dan yurisdiksi negara pantai

serta hak dan kebebasan negara lain. Berdasarkan pengertian tersebut,

maka unsur-unsur zona ekonomi eksklusif meliputi:

1. Zona ekonomi eksklusif adalah bagian laut yang terletak di luar laut

teritorial;

45

Artikel 33 ayat (1) UNCLOS 1982 46

Artikel 33 ayat (2) UNCLOS 1982

Page 28: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

28

2. Keberadaannya di luar laut teritorial tidak diselingi oleh bagian laut

lain tetapi langsung berdampingan dengan laut teritorial itu sendiri;

3. Zona ekonomi eksklusif diatur oleh rezim hukum khusus karena

UNCLOS 1982 menetapkan hak dan yurisdiksi Negara pantai dan

sekarang juga diakui hak serta kebebasan negara lain.

Lebar zona ekonomi eksklusif ditetapkan 200 mil laut diukur dari

garis pangkal tempat mengukur lebar laut teritorial. Garis pangkal yang

dimaksud adalah suatu garis awal yang menghubungkan titik-titik terluar

yang diukur pada kedudukan garis air rendah (low water line), dimana

batas-batas kea rah laut baik laut teritorial, jalur tambahan, zona eknomi

eksklusif maupun landas kontinen.

Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara dua negara yang

saling berhadapan atau berdampingan harus ditetapkan berdasarkan

perjanjian internasional. Namun, apabila tidak tercapai kesepakatan di

antara kedua negara tersebut, maka perselisihan mengenai zona ekonomi

eksklusif harus diselesaikan melalui jalur penyelesaian secara damai.

Sebaliknya apabila telah tercapai kesepakatan mengenai zona ekonomi

eksklusif, maka kedua negara yang telah menetapkan batas itu memiliki

kewajiban sebagai berikut:

(1) Penarikan garis batas luar zona ekonomi eksklusif dan garis

penetapan batas harus dicantumkan pada peta atau daftar

koordinat geografis batas zona eknomi eksklusif tersebut;

(2) Harus mengumumkan peta atau daftar koordinat geografis batas

zona ekonomi eksklusif;

(3) Harus mendepositkan satu copy atau salinan dari setiap peta atau

daftar koordinat itu pada Sekretaris Jenderal PBB.

Letak zona ekonomi eksklusif berada di luar laut teritorial,

sedangkan ruang lingkupnya mencakup permukaan air (floor), kolom air

(colloum), dasar laut (seabed) dan tanah dibawahnya (subsoil). Oleh

karena letaknya di luar laut teritorial maka status zona ekonomi eksklusif

tidak tunduk pada kedaulatan negara melainkan tunduk pada dua rezim

Page 29: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

29

hukum yaitu sumber daya alam yang terkandung di dalamnya tunduk pada

hak berdaulat negara pantai dan status perairan laut serta tanah di

bawahnya tunduk pada rezim hukum laut bebas.

Hak negara pantai di zona ekonomi eksklusif berupa hak berdaulat

dan yurisdiksi. Hak berdaulat itu meliputi:

(1) Melakukan eksplorasi yaitu kegiatan inventarisasi sumber daya

alam di zona ekonomi eksklusif;

(2) Melakukan eksploitasi yaitu kegiatan untuk mengelola atau

memanfaatkan sumber daya alam di zona ekonomi eksklusif;

(3) Melakukan konservasi yaitu kegiatan yang bersifat perlindungan

demi tersedianya cadangan sumber daya alam hayati di zona

ekonomi eksklusif.

Sumber daya alam yang merupakan obyek dari hak berdaulat

tersebut mencakup sumber daya alam yang terdapat pada perairan, dasar

laut, dan tanah di bawah dasar laut, termasuk pemanfaatan tenaga air,

arus dan angin yang ada di zona ekonomi eksklusif. Berkenaan dengan

pengelolaan dasar laut dan tanah di bawahnya, Pasal 56 ayat (3)

UNCLOS 1982 menetapkan tunduk pada ketentuan landas kontinen yang

diatur dalam Bab VI UNCLOS ini. Yurisdiksi negara pantai di zona

ekonomi eksklusif meliputi:

(1) Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan;

(2) Riset ilmiah kelautan;

(3) Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

Selain itu, negara pantai juga memiliki hak untuk melakukan

penegakan hukum terhadap peraturan perundang-undangan sebagai

berikut:

(1) Menaiki, melakukan inspeksi, menahan, dan mengajukan ke

pengadilan kapal-kapal beserta awaknya;

(2) Kapal-kapal dan awaknya yang ditahan akan dibebaskan segera

setelah dilakukan pembayaran uang jaminan;

Page 30: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

30

(3) Negara pantai dalam melakukan penahanan kapal-kapal asing

harus segera memberitahu perwakilan negara bendera kapal atas

tindakan yang diambil dan denda yang dikenakan;

(4) Dalam hal tidak terdapat suatu perjanjian internasional, negara

pantai atas pelanggaran hukum dan perundangan penangkapan

ikan dari zona ekonomi eksklusif tidak diperkenankan melakukan

hukuman penjara.

4. Implementasi Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

Penegakan hukum dilaut secara umum diartikan sebagai suatu

kegiatan negara atau aparatnya berdasarkan kedaulatan negara dan atau

berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum internasional. Penegakan

hukum di laut menjamin agar supaya peraturan hukum yang berlaku di

laut baik aturan hukum nasional maupun internasional ditaati oleh setiap

orang dan atau badan hukum termasuk negara sebagai subyek hukum

sehingga dengan demikian dapat tercipta ketertiban dan kepastian hukum

diwilayah laut. Penegakan hukum di wilayah laut oleh negara atau

aparatnya pada hakekatnya adalah terselenggaranya penegakan

kedaulatan negara itu sendiri, karena kewenangan dan kemampuan

penyelenggaraan hukum pada dasarnya bersumber pada kedaulatan

negara dan merupakan pengejawantahan kedaulatan.

Kepemilikan wilayah laut yang luas dan kaya membawa

konsekuensi akan mengundang pihak asing untuk mencoba mengambil

kekayaan yang terkandung di dalamnya. Untuk menjelaskan tentang

kewenangan penegakan hukum Indonesia di wilayah lautnya menurut

perspektif hukum internasional, maka digunakan prinsip yurisdiksi teritorial

dan prinsip yurisdiksi teritorial yang diperluas. UNCLOS 1982 yang telah

diratifikasi Indonesia dengan UU RI Nomor 17 Tahun 1985 memberikan

kewenangan negara pantai untuk menegakkan hukumnya pada tiap rezim

perairan Indonesia baik di wilayah perairan yang masuk dalam

Page 31: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

31

kedaulatannya maupun dalam wilayah dimana Indonesia mempunyai

yurisdiksi.

Menurut teori, kekuasaan negara pantai di dalam pelabuhan dan

perairan pedalamannya sangat luas, tapi pertimbangan praktis telah

membawa sebagian besar negara-negara dalam menggunakan

kekuasaannya dengan bijak terhadap kapal-kapal asing yang melintas di

pelabuhannya. Jadi, suatu praktek telah di bangun sebagai satu

penghormatan pelaksanaaan yurisdiksi atas peristiwa-peristiwa yang

terjadi di atas kapal asing ketika berlabuh di pelabuhannya.

Untuk mengetahui kewenangan Indonesia sebagai negara pantai

dalam menegakkan hukumnya di wilayah laut di bawah kedaulatannya,

maka penting untuk diketahui mengenai yurisdiksi yang

merepresentasikan hak dan kewenangan negara tersebut atas penerapan

hukum nasionalnya. Penegakan hukum di wilayah laut Indonesia

menggunakan yurisdiski yang berasaskan teritorial. Asas teritorial

menetapkan bahwa yurisdiksi negara berlaku bagi orang, perbuatan, dan

benda yang ada di wilayahnya. Berlakunya yurisdiksi teritorial berdasarkan

kedaulatan negara yang bersangkutan atas wilayahnya.Yuridiksi teritorial

juga diartikan sebagai kekuasaan negara secara geografis yang

menggambarkan bagian permukaan bumi dan ruang angkasa di atasnya

serta tanah di bawahnya yang merupakan kedaulatan atas wilayahnya

baik meliputi orang maupun benda di dalamnya.

Prinsip yurisdiksi teritorial digunakan untuk menentukan

kewenangan negara pantai sebagai existing powers untuk menanggulangi

tindak pidana yang terjadi di wilayah lautnya. Penerapan yurisdiksi

teritorial dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana yang

terjadi di Indonesia memberikan pemahaman bahwa prinsip ini

menganggap hukum pidana Indonesia berlaku dalam wilayah Republik

Indonesia bagi siapapun yang melakukan tindak pidana.

Page 32: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

32

Selain darat, wilayah negara juga meliputi wilayah laut dan udara

yang diatur oleh hukum internasional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2

KUHP yang menyatakan bahwa:47

Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di wilayah negara Indonesia.

Sesuai rumusan pasal di atas, maka terwujud kedaulatan negara

Indonesia di dalam wilayahnya. Prinsip ini kemudian diperluas oleh Pasal

3 KUHP yang menyatakan bahwa:

Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang berada di luar Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kapal Indonesia.

Maka, dengan demikian siapa saja, juga orang-orang asing, dalam kapal-

kapal laut Indonesia meskipun sedang berada atau berlayar dalam

wilayah negara lain takluk pada hukum pidana Indonesia. Ini berarti bahwa

siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam atau di atas suatu

kapal Indonesia meskipun dalam laut wilayah negara lain dapat dituntut

dan dihukum oleh pengadilan negara Indonesia. Hal ini tidak mengurangi

kemungkinan bahwa dalam negara asing tersebut, menurut peraturan

hukum negara asing tersebut, seseorang yang melakukan tindak pidana

tadi juga dapat dipidana oleh pengadilan negara asing itu.

Hak-hak berdaulat dan yurisdiksi khusus yang dimiliki Indonesia

atas wilayah laut di bawah yurisdiksi mengandung arti bahwa Indonesia

berhak mengatur segalanya tanpa mengesampingkan hukum

internasional, terutama hukum laut. Untuk mengetahui yurisdiksi Indonesia

dalam penegakan hukum tindak pidana di laut, Indonesia dapat

menerapkan yurisdiksi dengan asas teritorial yang diperluas, yang tunduk

pada pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh hukum kebiasaan

internasional, perjanjian, dan prinsip-prinsip umum yang diakui oleh

bangsa-bangsa beradab. Asas teritorial yang diperluas menetapkan

47

Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia

Page 33: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

33

bahwa yurisdiksi negara kecuali berlaku bagi orang, perbuatan dan benda

yang ada di wilayahnya, juga berlaku bagi orang, perbuatan dan benda

yang ada atau terjadi di luar wilayahnya. Negara mempunyai yurisdiksi

atas orang, perbuatan, dan benda tersebut, kecuali bila orang, perbuatan,

dan benda itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan negara tadi. Asas

teritorial yang diperluas digunakan Indonesia sebagai negara pantai untuk

menentukan hak berdaulatnya atas wilayah-wilayah laut di luar wilayahnya

sendiri.

Tindakan aparat penegak hukum tindak pidana di laut dalam

mengambil langkah pengamanan maupun hal-hal lainnya yang dianggap

penting harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang

Republik Indonesia No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP. KUHAP mengatur

tentang mekanisme dan prosedur bagi aparat penegak hukum dalam

melaksanakan tugasnya.

Guna mewujudkan stabilitas keamanan di laut diperlukan upaya

untuk menghadapi segala bentuk gangguan dan ancaman di laut dengan

mengerahkan kekuatan dari berbagai instansi yang berwenang

melaksanakan penegakan hukum di laut. Oleh karena itu, prioritas yang

perlu dikedepankan adalah bagaimana kegiatan operasional di laut dapat

dilaksanakan secara efektif dengan semua kekuatan aparat negara

dikerahkan secara sinergis. Bila ditinjau dari pembagian rezim laut

berdasarkan wilayah laut yang berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi

Republik Indonesia, maka di bawah ini dapat dimatrikulasikan peran

aparat penegak hukum, khususnya di bidang penyidikan yaitu sebagai

berikut:48

NO Jenis Tindak Pidana Perairan Pedalaman

Perairan Kepulauan/ Laut

Teritorial

Zona Tambahan

ZEEI > 200 mil

1 Pembajakan (TZMKO Tahun 1939)

TNI AL/ POLRI TNI AL / POLRI TNI AL TNI AL TNI AL

2 Perikanan (UU No.31 PPNS DKP TNI AL / PPNS TNI AL TNI AL -

48

Pokok-pokok Pikiran TNI AL Tentang Keamanan Di Laut, Op.Cit, hlm.19.

Page 34: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

34

Tahun 2004) DKP

3 Cagar Budaya (UU No 5 Tahun 1992)

PPNS DIKNAS/TNI AL

PPNS DIKNAS/TNI AL

TNI AL TNI AL -

4 Konservasi Sumber Daya Alam (UU No.5

Tahun 1990)

POLRI/PPNS KEHUTANAN/PPN

S PERIKANAN

POLRI/PPNS KEHUTANAN/PPNS PERIKANAN/TNI

AL

TNI AL

TNI AL

-

5 Lingkungan Hidup (UU No.23 Tahun 1997)

PPNS LH/POLRI/TNI AL

PPNS LH/POLRI/TNI AL

- - -

6 Kehutanan (UU No.41 Tahun 1999)

POLRI/PPNS KEHUTANAN/TNIA

AL

POLRI/PPNS KEHUTANAN/TNI

AL

- - -

7 Pelayaran (UU No.21 Tahun 1992)

TNI AL/POLRI/PPNS

HUBLA

TNI AL/POLRI/PPNS

HUBLA

- - -

8 Bahan Bakar Minyak POLRI POLRI - - -

9 Kepabeanan (UU No.10 Tahun 1995)

PPNS BEA CUKAI PPNS BEA CUKAI PPNS BEA CUKAI

- -

10 Keimigrasian (UU No.9 Tahun 1992)

POLRI/PPNS IMIGRASI

POLRI/PPNS IMIGRASI

POLRI / PPNS

IMIGRASI

- -

11 Narkotika dan Psikotropika (UU No.

22 Tahun 1997 dan UU No.5 Tahun 1997)

POLRI/PPNS KESEHATAN

POLRI/PPNS KESEHATAN

POLRI / PPNS

KESEHATAN/ BEA CUKAI

- -

12 Senjata Api/Amunisi/Bahan

Peledak ( UU No.12 Drt Tahun 1951)

POLRI POLRI - - -

Kewenangan penyidikan masing-masing aparat penegak hukum di

laut di atur dalam undang-undang yang masing-masing memberi legitimasi

untuk bertindak sesuai bidangnya. Keseluruhan jenis tindak pidana di laut

pada dasarnya dikategorikan sebagai tindak pidana khusus, jadi dalam hal

ini berlaku asas hukum lex specialis derogate legi generali, atau aturan

hukum yang khusus mengesampingkan aturan hukum yang umum.

Meskipun demikian KUHAP tetap menjadi pedoman dalam mekanisme

beracara setiap tindak pidana.

Tindak pidana di laut yang aparat penyidiknya di laksanakan oleh

Polri, maka setelah melakukan penyidikan, berkas penyidikan langsung

diserahkan kepada Penuntut Umum, hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat (2)

KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik menyerahkan berkas perkara

kepada penuntut umum. Sedangkan tindak pidana di laut yang aparat

Page 35: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

35

penyidiknya dilaksanakan oleh PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil)

kewenangannya secara umum diatur dalam Pasal 6 ayat 1 huruf b

KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat pegawai negeri

sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Pada

dasarnya wewenang yang dimiliki PPNS bersumber pada ketentuan

undang-undang pidana khusus. Jadi, disamping penyidik Polri, undang-

undang pidana khusus tersebut juga memberikan wewenang kepada

PPNS untuk melakukan penyidikan.

Wewenang penyidikan PPNS hanya terbatas pada sepanjang

menyangkut dengan tindak pidana yang sesuai bidangnya masing-

masing. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang

menyatakan bahwa penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 ayat 1 huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan

undang-undang yang menjadi landasan hukumnya masing-masing dan

dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi penyidik Polri.

Jadi, kewenangan PPNS hanya sesuai dengan lingkup yang diberikan

oleh Undang-undang yang menjadi dasar pelaksanaan tugas PNS yang

bersangkutan, di luar itu PNS tersebut tidak berwenang melakukan

penyidikan.

Apabila PPNS telah selesai melakukan penyidikan, maka hasil

penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara

penyerahan hasil penyidikan kepada penuntut umum dilakukan PPNS

melalui penyidik Polri. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 107 ayat (3)

KUHAP yang menyatakan bahwa dalam hal tindak pidana telah selesai

disidik oleh PPNS maka ia segera menyerahkan hasil penyidikannya

kepada penuntut umum melalui penyidik Polri.

Penyidik Polri berwenang untuk memeriksa segala kekurangan

yang dilakukan oleh PPNS sebelum meneruskan hasil penyidikan PPNS

tersebut kepada penuntut umum. Wewenang penyidik Polri dalam

pemeriksaan hasil penyidikan PPNS itu dimaksudkan untuk menghindari

pengembalian berkas perkara oleh penuntut umum berdasarkan

Page 36: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

36

ketentuan Pasal 110 ayat (2) KUHAP, yakni penuntut umum dapat segera

mengembalikan hasil penyidikan kepada penyidik apabila berpendapat

bahwa hasil penyidikan dianggap kurang lengkap.

Jika hasil penyidikan tersebut sudah lengkap dan diterima oleh

penuntut umum, kemudian penuntut umum dengan segala

kewenangannya melimpahkan berkas perkara tersebut ke Pengadilan

Negeri yang berwenang mengadili pelanggaran dan kejahatan terhadap

ketentuan tentang tindak pidana di laut. Pengadilan yang dimaksud adalah

Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat dimana

dilakukan penahanan kapal dan atau pelakunya. Inilah yang disebut

kompetensi relatif. Pasal 84 KUHAP mengatur mengenai kompentensi

relatif ini yang menyatakan bahwa pengadilan negeri berwenang

mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan di

daerah hukumnya.

Legalitas kewenangan Perwira TNI AL untuk melakukan penyidikan

terhadap tindak pidana di laut dari waktu ke waktu mengalami

perkembangan yang cukup signifikan. Bila diurut sesuai perkembangan

zaman, kewenangan tersebut tidak pernah dicabut atau dihapus bahkan

diperkuat dan diatur di dalam berbagai perundang-undangan, dimulai dari

produk hukum jaman pemerintahan Belanda, produk hukum nasional

hingga konvensi hukum laut internasional terkini (UNCLOS 1982).

Kewenangan sebagai penyidik tersebut dicantumkan secara jelas dalam

pasal perundang-undangan dan hingga saat ini masih berlaku sebagai

hukum positif yang dilaksanakan dan diterima dalam praktek proses

peradilan di Indonesia. Berikut ini adalah dasar hukum Perwira TNI AL

sebagai penyidik:

a. Ordonansi (Undang-undang) TZMKO (Territoriale Zee En

Maritime Kringen Ordonantie) Staatsblad 1939 No 442

Undang-undang tentang kelautan jaman Pemerintahan Hindia Belanda ini

masih berlaku walaupun beberapa pasalnya ada yang telah dicabut dan

dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan yang penting mengenai acara

Page 37: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

37

pelaksanaan penegakan hukum di laut menurut ordonansi tersebut antara

lain dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15.

Pasal 13:

1.) Penegakan dan pengawasan atau ditaatinya aturan-aturan ordonansi ini, dibebankan kepada Panglima Angkatan Laut di Surabaya, komandan-komandan kapal perang Republik Indonesia dan pangkalan-pangkalan udara Angkatan Laut, nakhoda-nakhoda kapal-kapal Direktorat Jendral Perhubungan Laut, orang-orang yang ada di bawah perintah panglima-panglima, komandan-komandan, nakhoda-nakhoda ini, yang untuk itu diberi surat perintah dari mereka, perwira-perwira Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang diserahi pimpinan atas kapal-kapal daerah, syahbandar-syahbandar dan pejabat-pejabat yang bertugas sebagai demikian, pandu-pandu, demikian pula juragan-juragan kapal daerah dan selanjutnya orang –orang yang ditunjuk oleh Kepala Staf Angkatan Laut.

2.) Sejauh hal demikian diperlukan untuk menjamin pemasukan bea-bea negara, pejabat-pejabat bea cukai juga diserahi tugas dengan penegakan dan pengawasan dimaksud dalam pasal satu.

Pasal 14: Selain dari orang-orang yang pada umumnya, ditugaskan dengan pengusutan-pengusutan tindak-tindak pidana, maka orang-orang yang disebut dalam pasal terdahulu berwenang untuk mengusut tindak-tindak pidana yang ditetapkan dengan atau berdasarkan pada ordonansi ini, demikian pula pelanggaran-pelanggaran dari ketentuan-ketentuan larangan mengenai pemasukan, pengeluaran dan pengangkutan melalui laut, dan tindak-tindak pidana yang diuraikan dalam pasal 167 dan 168, sejauh pasal-pasal ini mengenai memasuki dengan melawan hukum kapal-kapal stasion pandu, kapal-kapal suar, dan bangunan mercu suar pantai, pasal 196 sampai dengan pasal 199, 324 sampai dengan 326, 438 sampai dengan 443, 447 sampai dengan 451, 473 dan 564 sampai dengan 566 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pasal 15:

1. Orang-orang yang ditugaskan dengan pengusutan tindak-tindak pidana dimaksud dalam pasal terdahulu, dengan memperhatikan yang ditetapkan dalam pasaal 17, berwenang untuk menahan dan memeriksa kapal-kapal dan alat-alat penyeberang yang pelayar-pelayarnya disangka melakukan atau mempersiapkan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan aturan-aturan yang ditetapkan dengan atau berdasarkan ordonansi ini, ataupun pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan dimaksud dalam pasal terdahulu. Sejauh menyangkut juragan-juragan kapal-kapal daerah wewenang ini terbatas pada kapal-kapal nelayan dan

Page 38: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

38

alat-alat penyeberang berukuran kurang dari 100 meter kubik isi kotor.

2. Mereka menuntut, supaya kepada mereka diperhatikan surat-surat kapal untuk meyakinkan diri mengenai kebangsaan kapal, pemilik kapal, tempat dimana kapal didaftarkan dan keterangan-keterangan lainnya yang dapat berguna bagi pemeriksaan.

3. Mereka berwenang untuk menyita benda-benda – di dalamnya termasuk kapal-kapal atau alat-alat penyeberang – dengan mana atau dengan bantuan mana, menurut sangkaan telah dilakukan tindak pidana, demikian pula benda-benda yang menurut sangkaan telah diperoleh dengan jalan tindak pidana.

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983

tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

Pasal 14 ayat (1) UU NO.5 Tahun 1983 Aparatur penegak hukum di bidang penyidikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. c. UNCLOS 1982

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU RI

No.17 Tahun 1985. Berikut ini adalah ketentuan dalam UNCLOS 1982

yang dapat dijadikan dasar hukum bagi tindakan penyidikan yang

dilakukan oleh TNI AL (dalam hal ini Kapal Republik Indonesia) sebagai

pelaksana tugas penegakan kedaulatan dan hukum di laut. Pasal 29

UNCLOS memberikan batasan pengertian kapal perang, yaitu kapal yang

awaknya sebagai aparat penegak kedaulatan dan hukum di laut, batasan

itu adalah sebagai berikut:

Untuk maksud Konvensi ini “Kapal Perang” berarti suatu kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu negara yang memakai tanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando seorang perwira yang diangkat untuk itu oleh pemerintah negaranya dan yang namanya terdapat di dalam daftar dinas militer yang tepat atau daftar serupa, dan yang diawaki oleh awak kapal yang tunduk pada angkatan bersenjata reguler.

Berdasarkan ketentuan pasal diatas, UNCLOS 1982 melalui perundang-

undangan nasional secara yuridis formal memberikan kewenangan

Page 39: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

39

penegakan hukum bagi kapal perang terhadap setiap bentuk kejahatan,

dalam hal ini adalah tindak pidana di laut.

Berkaitan dengan hasil penyidikan terhadap tindak pidana di laut,

maka Perwira TNI AL langsung menyerahkan kepada penuntut umum,

tidak perlu melalui penyidik Polri seperti halnya PPNS. Ketentuan yang

menjadi dasar hukumnya adalah Pasal 284 KUHAP yang menyatakan

bahwa dalam dua tahun setelah undang-undang ini (KUHAP) ini

diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan

undang-undang ini (KUHAP), dengan pengecualian untuk sementara

mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada

undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan

tidak berlaku lagi. Berdasarkan uraian Pasal 284 KUHAP, maka yang

dimaksud dengan “ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut

pada undang-undang tertentu” adalah ketentuan khusus acara pidana

yang terdapat dalam undang-undang yang mengatur tentang beberapa

tindak pidana di laut.

Hasil penyidikan yang disampaikan kepada penuntut umum jika

kurang lengkap langsung dikembalikan kepada penyidik Perwira TNI AL

untuk dilengkapi disertai dengan petunjuk, tanpa perlu berkoordinasi lagi

seperti penyidik PPNS. Apabila hasil penyidikan dalam berkas perkara

sudah lengkap maka penyidik TNI AL kemudian menyerahkan tersangka

dan barang bukti kepada penuntut umum dilengkapi dengan Berita Acara

Serah Terima. Penuntut umum dengan segala kewenangannya

melimpahkan berkas perkara tersebut ke Pengadilan Negeri yang

berwenang mengadili pelanggaran dan kejahatan terhadap ketentuan

tentang tindak pidana di laut. Pengadilan yang dimaksud adalah

Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat dimana

dilakukan penahanan terhadap kapal dan atau pelakunya.

Aparat penegak hukum yang berwenang menangani tindak pidana

bidang penyidikan di wilayah laut di bawah kedaulatan Indonesia dan di

wilayah laut di bawah yurisdiksi Indonesia berbeda. Prosedur penyerahan

Page 40: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

40

hasil penyidikan tiap aparat penegak hukum kepada penuntut umum juga

berbeda. Hasil penyidikan PPNS sebelum disampaikan ke penuntut umum

harus terlebih dahulu disampaikan kepada penyidik Polri, hal ini untuk

menghindari dikembalikannya berkas perkara oleh penuntut umum. Hasil

penyidikan Perwira TNI AL tidak disampaikan kepada penyidik Polri

seperti halnya PPNS, tapi langsung disampaikan kepada penuntut umum.

Pertanggungjawaban hasil penyidikan masing-masing aparat penyidik

kepada satu instansi tertentu tidak ada, karena PPNS hanya berkoordinasi

dengan penyidik Polri, dan penyidik TNI AL berdiri sendiri sehingga

masing-masing menyerahkan berkas perkara penyidikan kepada penuntut

umum. Pertanggungjawaban merupakan hal yang mutlak dari setiap

pelaksanaan tugas, karena berfungsi untuk mengevaluasi atas hasil yang

telah dicapai apakah sesuai dengan tujuan yang ditentukan bersama atau

tidak.

Persoalan yang timbul dalam masalah penegakan hukum di

wilayah laut Indonesia adalah mengenai lemahnya koordinasi antara

aparat penegak hukum yang terjadi karena semangat superioritas dan

merasa mempunyai kewenangan antar mereka, sehingga sikap dan sifat

karakter introvert dan ekslusivitas dari masing-masing aparat penegak

hukum yang mempunyai kewenangan penyidikan tindak pidana di laut

menjadi kendala struktural dari aparat penegak hukum tersebut. Tumpang

tindihnya peraturan perundangan memberikan kewenangan beragam

pada aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum di laut, dalam hal

ini pada tahap proses penyidikan.

4. Kesimpulan

Proses penegakan hukum akan berjalan efektif jika ada keserasian

antara 4 (empat) faktor yang mencakup faktor hukum, aparat penegak

hukum, fasilitas atau sarana pendukung, dan masyarakat yang diatur

sebagai subyek hukum. Faktor hukum penting untuk mengetahui suatu

ketentuan merupakan ketentuan hukum yang berlaku atau bukan yang

Page 41: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

41

bisa dilihat dari ajaran atau teori sumber hukum. Sumber hukum materiil

adalah prinsip yang menetukan isi ketentuan hukum yang berlaku. Suatu

ketentuan yang isinya sesuai dengan isi prinsip yang berlaku atau diterima

dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan adalalah ketentuan

hukum. Sebaliknya, jika suatu ketentuan hukum tidak sesuai dengan

prinsip-prinsip yang berlaku atau diterima umum di dalam masyarakat

maka ketentuan yang bersangkutan bukan merupakan ketentuan hukum.

Sumber hukum formil adalah suatu proses yang menjadikan suatu

ketentuan menjadi ketentuan hukum positif. Suatu ketentuan merupakan

ketentuan hukum jika proses pembentukan atau pembuatannya sesuai

dengan proses yang berlaku dalam masyarakat. Jika dilihat dari faktor

hukum tersebut, maka peraturan perundang-undangan yang mengatur

mengenai penegakan hukum di laut adalah merupakan ketentuan hukum

yang berlaku. Permasalahan muncul yang kemudian berpengaruh pada

faktor aparat penegak hukum adalah karena masing-masing peraturan

perundang-undangan itu memberikan legitimasi yang sama kepada setiap

aparat penegak hukum di laut tersebut, sehingga terjadi tumpang tindih

kewenangan. Kewenangan merupakan hak yang melahirkan peranan.

Peranan yang ideal dan peranan yang seharusnya berasal dari pihak-

pihak lain yang telah dirumuskan dalam beberapa undang-undang dan

peraturan hukum lainnya., sedangkan peranan yang dianggap oleh diri

sendiri dan peranan yang sebenarnya dilakukan berasal dari diri pribadi

yang kemudian menimbulkan diskresi. Diskresi menyangkut pengambilan

keputusan yang tidak terikat oleh hukum, karena penilaian pribadi lah

yang memegang peranan.

Bervariasinya aparat penegak hukum dalam bidang penyidikan

disamping menyebabkan konflik kepentingan antar aparat penegak hukum

dalam menyikapi kewenangan yang melekat kepadanya, juga

menciptakan celah hukum bagi oknum penyidik untuk mempermainkan

hukum itu sendiri. Penyimpangan yang sering terjadi adalah dengan

kewenangan yang melekat pada tiap aparat penegak hukum itu mereka

Page 42: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

42

melakukan diskresi atas tindakan-tindakan yang seharusnya merujuk pada

batasan-batasan hukum, dalam hal ini adalah peraturan perundang-

undangan. Ego sektoral masing-masing penyidik masih menjadi dominasi

dari penyebab penyimpangan tersebut. Kenyataan inilah yang menjadi

salah satu faktor kriminogen terhadap timbulnya permasalahan hukum

proses beracara pidana yang disamping secara inheren muncul dari

kelemahan mendasar produk peraturan yang membingkai ketentuan

proses beracara pidana tersebut, tetapi juga menjadi sebab dari

penyimpangan-penyimpangan prosedural yang lahir dari kebijakan dan

diskresi yang dikeluarkan oleh aparat penegak hukumnya.

Faktor fasilitas atau sarana pendukung juga mempunyai peran

yang signifikan dalam upaya penegakan hukum di laut. Bagaimana

mungkin suatu negara mampu mempertahankan kedaulatannya jika tidak

didukung oleh infrastruktur yang baik. Idealnya, untuk mengamankan

wilayah laut Indonesia, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, yang

secara keseluruhan seluas 5,8 juta km², dibutuhkan 543 kapal. Dengan

perhitungan adanya pergiliran (employment cycle), yakni 50 persen

beroperasi dan 50 persen perbaikan, maka dibutuhkan sebanyak 1.086

kapal. Saat ini untuk mengawal kawasan seluas itu, armada yang ada

hanya berjumlah 180 kapal. Terdiri dari 114 kapal milik TNI AL, 20 kapal

milik Polri, 37 kapal milik Bea Cukai, dan 9 kapal milik KPLP. Bila dari

unsur yang siap beroperasi sebanyak 50 persen atau sekitar 90 kapal,

maka wilayah patrolinya menjadi sangat terbatas.

Faktor masyarakat juga mempunyai kecenderungan pengaruh yang

besar terhadap upaya penegakan hukum. Masyarakat mengartikan hukum

dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini adalah

aparat penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah

bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku

penegak hukum tersebut yang menurut pendapatnya merupakan

pencerminan dari hukum sebagai struktur dan proses. Masalah lain yang

timbul sebagai akibat anggapan masyarakat tersebut diatas adalah

Page 43: Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia

43

mengenai segi penerapan perundang-undangan. Jika penegak hukum

menyadari dirinya dianggap hukum oleh masyarakat, maka kemungkinan

penafsiran mengenai pengertian perundang-undangan bisa terlalu luas

atau bahkan sempit.

Berdasarkan hasil penelitian, di bagian akhir tulisan ini penulis

dapat menarik kesimpulan bahwa luasnya wilayah laut Indonesia yang

tidak didukung oleh aparat penegak hukum yang loyal terhadap hukum

dan peraturan perundang-undangan serta tidak didukung oleh infrastruktur

yang memadai membawa akibat tidak efektifnya proses penegakan

hukum di wilayah laut Indonesia.

Saran yang ingin disampaikan dalam naskah karya tulis ini adalah

bahwa tumpang tindih peraturan perundang-undangan di wilayah laut

yang memberikan legitimasi kepada masing-masing aparat penegak

hukum di laut segera dituntaskan. Hal itu bisa dilakukan dengan membuat

keputusan presiden yang dapat dijadikan payung hukum nasional dalam

gerakan pemberantasan tindak pidana atau pelanggaran di wilayah laut

Indonesia. Perlunya melengkapi sarana dan prasarana dalam melakukan

pengawasan dan penegakan hukum, baik dari teknologinya maupun

sumber daya manusianya, karena tidak dapat dipungkiri bahwa luasnya

wilayah laut Indonesia memerlukan sarana dan prasarana yang harus

memadai. Selain itu, oknum-oknum petugas dan aparat penegak hukum

yang sering mempermainkan hukum harus dibenahi dan dibersihkan.

Meski peraturan perundang-undangan di benahi serta sarana dan

prasarana dilengkapi, tapi tanpa diikuti pembenahan mental dan

pembersihan oknum-oknum petugas dan aparat penegak hukum, maka

mustahil penegakan hukum di laut Indonesia dapat efektif dilaksanakan.