strategi kebijakan perikanan tangkap indonesia … · perikanan di wilayah laut lepas yang dikelola...
TRANSCRIPT
STRATEGI KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP
INDONESIA DALAM KERJASAMA PERIKANAN
REGIONAL PADA WEST AND CENTRAL PACIFIC
FISHERIES COMMISSION (WCPFC)
ADY CANDRA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Strategi Kebijakan
Perikanan Tangkap Indonesia Dalam Kerjasama Perikanan Regional pada West
and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2013
Ady Candra
NRP C 4602070104
RINGKASAN
ADY CANDRA. Strategi Kebijakan Perikanan Tangkap Indonesia dalam
Kerjasama Perikanan Regional pada West and Central Pacific Fisheries
Commission (WCPFC). Dibimbing Oleh Budy Wiryawan, Mulyono S.Baskoro
dan Arif Satria
Kerjasama pengelolaan sediaan ikan beruaya jauh di Samudera Pasifik
Bagian Barat dan Tengah dilaksanakan melalui organisasi kerjasama perikanan
regional yakni WCPFC. Status Indonesia adalah Cooperating Non-Member
dengan hak terbatas dalam menentukan tindakan pengelolaan dan konservasi di
wilayah Konvensi namun memiliki kewajiban yang hampir sama dengan negara
Member. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Menganalisis ketentuan pengelolaan
perikanan di wilayah laut lepas yang dikelola oleh WCPFC, (2) Menganalisis
dampak ekonomi terhadap ketentuan WCPFC bagi nelayan Indonesia, dan (3)
Menganalisis perumusan kebijakan Indonesia dalam memperkuat peran serta
dalam pengelolaan perikanan di wilayah WCPFC.
Penelitian mengunakan data primer berupa ketentuan yang mengatur
pengelolaan perikanan pada WCPFC dan regulasi nasional yang terkait dengan
usaha penangkapan ikan dan kerjasama regional. Pengumpulan data sekunder
dilakukan di PPS Bitung sepanjang tahun 2012 dengan menggunakan rancangan
penelitian survei. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan metode sensus
terhadap nelayan purse seine yang melakukan penangkapan ikan di wilayah
WCPFC dan melakukan pendaratan ikan di PPS Bitung. Data dianalisis secara
kualitatif dan kuantitatif, serta analisis content. Analisis regresi dilakukan
terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan purse seine.
Untuk menganalisis strategi kebijakan perikanan tangkap di WCPFC digunakan
metode AWOT.
Dalam persiapan partisipasi Indonesia pada WCPFC terdapat dua
ketentuan yang mengikat yakni Konvensi WCPF dan Conservation and
Management Measures (CMM). Berdasarkan kesiapan regulasi nasional terdapat
tiga hal yang harus diperhatikan pemerintah Indonesia yakni (1) Status Wilayah,
(2) Pengawasan dan Penegakan Hukum, dan (3) Penyusunan Peraturan
Perundang-Undangan. Analisa WTA menghasilkan nilai rataan kesediaan
menerima pembayaran per orang sebesar Rp 4.774.000 per tahun (Rp 397.433 per
bulan). Sementara itu, rataan pendapatan tetap setiap nelayan purse seine sebesar
Rp 20.520.000 per tahun (Rp 1.710.000 per bulan). Dengan demikian, apabila
larangan penangkapan juvenile (baby tuna) diberlakukan, maka pendapatan
nelayan purse seine per bulannya menjadi Rp 1.312.166,67, karena kehilangan
sebesar Rp 397.433 per bulan. Strategi yang harus dilakukan, yaitu: (1)
Penelitian perikanan secara rutin, (2) Pengembangan fasilitas dan pelayanan
pelabuhan perikanan, (3) Penguatan peran asosiasi perikanan tuna, (4) Penguatan
sistem penegakan hukum (5) Penguatan kerjasama regional dengan WCPFC, (6)
Pengembangan sistem informasi dan data, (7) Peningkatan MCS, (8) Penetapan
dokumen RPP, (9) Penguatan armada tangkap, dan (10) Sinergisasi aturan
pemasangan rumpon.
Kata kunci : Kerjasama Regional Laut Lepas,Samudera Pasifik,WCPFC
SUMMARY
ADY CANDRA. Policy Strategy of Indonesia Capture Fisheries in Regional
Fisheries Cooperation in Western and Central Pacific Fisheries Commission
(WCPFC). Supervised by Budy Wiryawan, Mulyono S.Baskoro and Arif Satria
Management cooperation of highly migratory stock in western and central
Pacific Ocean implemented through regional fisheries cooperation organization
namely (WCPFC). The status of Indonesia is Cooperating Non-Member with
limited rights to determine managament and conservation measures in convention
area but obligations semiliar with Member. The purpose of this study are ; (1)
Analyze the fisheries management provisions in high seas are managed by
WCPFC, (2) Analyze the economic impact of WCPFC provisions for Indonesia
fisherman, and (3) Analyze Indonesia policy formulation to strengthen
participation of fisheries management in WCPFC.
The study uses primary data of provisions governing the WCPFC and
national regulations related fisheries and regional cooperation. The collection of
secondary data in Bitung Fishing Port in 2012, using a survey research design.
Sampling was conducted using census method for the purse seine fisherman who
fishing in WCPFC area and landing fish in Bitung Fishing Port. Data were
analyzed qualitatively and quantitatively with content analysis. Regression
analysis conducted on the factors that influence purse seine fisherman income To
analyze fisheries policy strategies used methods AWOT.
To prepare Indonesia's participation in the WCPFC are two provisions that
bind the WCPF Convention and Conservation and Management Measures
(CMM). Based on the readiness of national regulations, Indonesia Government
should consider : (1) Status area, (2) Monitoring and Enforcement, and (3)
Preparation of Regulation Legislation. Result of WTA Analysis is average value
per person willingness to accept payment of Rp 4.774.000 per year (RP 397.433
per month). Meanwhile, the average fixed income every purse seine fishermen of
Rp 20.520.000 per year (Rp 1.710.000 per month). Therefore, if prohibition of
baby tuna fishing is implemented, the purse seine fishing revenue per month
Rp.1.313.166,67 for the loss of Rp 397,433 per month. Strategy should be done
are (1) Routine fisheries research (2) Development of a fishing port facilities and
services (3) Strengthening the role of the tuna fishery associations (4)
Strengthening the law enforcement system (5) Strengthening regional cooperation
with the WCPFC (6) Development system information and data (7) Improved
MCS (8) Determination document of Fisheries Management Planning (h)
Strengthening fishing fleet and (9) regulation synergy of FAD installation.
Keywords: High Seas, Pacific Ocean ,Regional Cooperation, WCPFC
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP
INDONESIA DALAM KERJASAMA PERIKANAN
REGIONAL PADA WEST AND CENTRAL PACIFIC
FISHERIES COMMISSION (WCPFC)
ADY CANDRA
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Manyor Sistem Pemodelan Perikanan Tangkap
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Eko Sri Wiyono, SPi, Msi
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof Dr Ir Jhon Haluan, MSc
2. Dr Agus Suherman, SPi, MSi
Judul Disertasi : Strategi Kebijakan Perikanan Tangkap Indonesia
dalam Kerjasama Perikanan Regional pada West
and Central Pacific Fisheries Commision
(WCPFC)
Nama : Ady Candra
N I M : C 4602070104
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Budy Wiryawan, MSc
K e t u a
Prof Dr Ir Mulyono S Baskoro, MSc Dr Arif Satria, SP, MSi A n g g o t a A n g g o t a
Diketahui
Ketua Program Studi
Sistem Pemodelan Perikanan Tangkap
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Mulyono S. Baskoro, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 15 Februari 2012 Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cerenti pada tanggal 17 April 1976 sebagai anak ke
tujuh dari pasangan Ali Amran dan Nursyam. Status penulis bekeluarga dengan
istri bernama Leny Rosylin dan telah dikarunia tiga orang anak yakni Nasywa
Fatimah (8 tahun), Muhammad Abisalli Abrizam (6 tahun) dan Aisha Khanza
Jahiyyah (2 tahun).
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, lulus pada tahun 2000. Pada tahun
2011, penulis diterima di Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada
Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan
untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Sistem Pemodelan
Perikanan Tangkap Program Pascasarjana IPB pada tahun 2008.
Penulis bekerja di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian
Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2004 dan saat ini dipercayakan menjadi
Kepala Seksi Evaluasi Pengembangan Usaha Pengkapan Ikan pada Direktorat
Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan
PRAKATA
Penulis bersyukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan Rahmat dan
Hidayah-Nya, sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian yang
berjudul “Strategi Kebijakan Perikanan Tangkap Indonesia Dalam Kerjasama
Perikanan Regional pada West and Central Pacific Fisheries Commission
(WCPFC) ” ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam
penyelesaian Program Doktor Manyor Sistem Pemodelan Perikanan Tangkap
Penyelenggaraan Kelas Khusus.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Budy Wiryawan, M.Sc
selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr.Ir.Mulyono S Baskoro dan
Dr. Arif Satria SP, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala
bimbingan, masukan dan saran selama penyusunan Disertasi ini. Disamping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Dr.Ir.Ali Supardan MSc yang telah
memberi kesempatan untuk melanjutkan studi program doktor, dan Ir. A.
Bambang Sutejo MS beserta staft Direktorat Pengembangan Usaha Penangkapan
Ikan Ditjen Perikanan Tangkap KKP yang telah banyak membantu selama penulis
menyelesaikan studi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri dan
ketiga putra-putri penulis (Nasywa, Abisalli, dan Aisha) atas segala doa,
pengorbanan dan kasih sayanganya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2013
Ady Candra
xix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................... xxii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................... xxv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xxvii
1 PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ..................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 6
1.5 Kerangka Penelitian ..................................................................................... 6
2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 11
2.1 Shared Stocks (Sedian yang Diusahakan Bersama) .................................... 11
2.2 Highly Migratory Stocks (Sedian Beruaya Jauh)......................................... 13
2.3 Straddling Stocks (Sedian Beruaya Terbatas).............................................. 14
2.4 High Seas Stock Fish (Sedian Ikan Laut Lepas) ......................................... 14
2.5 Transboundary Stocks (Sedian di Perbatasan Antar Negara) ...................... 15
2.6 Norma-Norma Pengelolaan Perikanan Global ............................................ 15
2.7 Regional Fisheries Bodies (RBF) ............................................................... 19
2.8 Regional Fisheries Management Organization (RFMO) ............................ 23
2.9 Shared Allocation (Alokasi Jatah) ............................................................... 25
2.10 Kebijakan Publik ....................................................................................... 26
2.11 Penelitian Terdahulu tentang RFMO dan WCPFC ................................... 28
3 METODE PENELITIAN .................................................................................. 39
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................... 39
3.2 Jenis dan Sumber Data ................................................................................ 39
3.3 Metode Pengambilan Sampel ...................................................................... 40
xx
3.4 Metode Analisa Data ................................................................................... 41
3.4.1 Analisa Peraturan Perundang-Undangan ........................................ 41
3.4.2 Willingness to Accept (WTA) ......................................................... 44
3.4.3 Analisa AWOT ................................................................................ 44
3.4.3.1 Analisis SWOT ......................................................................... 44
3.4.3.2 Analytical Hierarchy Process ................................................... 49
4 GAMBARAN UMUM WCPFC ....................................................................... 53
4.1 Sejarah Pembentukan WCPFC.................................................................... 53
4.1.1 Pra Pembentukan WCPFC .............................................................. 53
4.1.2 Negosiasi Pembentukan WCPFC .................................................... 54
4.2 Tujuan dan Fungsi WCPFC ........................................................................ 57
4.3 Wilayah Kewenangan WCPFC ................................................................... 57
4.4 Ketentuan Pelaksanaan Konvensi ............................................................... 59
4.5 Spesies Utama ............................................................................................. 59
4.6 Spesies Tangkapan Sampingan ................................................................... 63
4.7 Pendanaan dan Anggaran ............................................................................ 68
4.8 Fungsi Komisi WCPF ................................................................................. 70
4.9 Badan-Badan dibawah Komisi .................................................................... 71
4.10 Keanggotaan WCPFC ............................................................................... 73
4.11 Pembatasan Tangkapan ............................................................................. 74
5 PENGATURAN WCPFC DAN IMPLIKASI BAGI INDONESIA ................. 75
5.1 Prinsip Umum Konvensi : Relevansi dan Implikasi Terhadap Peraturan
Perundang-Undangan .................................................................................. 75
5.1.1 Wilayah Penerapan .......................................................................... 76
5.1.2 Dasar Pelaksanaan (Azas) ............................................................... 79
5.1.3 Penerapan Kehati-Hatian ................................................................. 83
5.1.4 Pelaksanaan Azas-Azas di Wilayah Berdasarkan Yurisdiksi
Nasional dan Pengelolaan di Laut Lepas ........................................ 85
5.1.5 Kewajiban para Anggota Komisi .................................................... 86
5.1.6 Kewajiban Negara Bendera ............................................................. 87
5.1.7 Kesesuaian Tindakan Konservasi dan Pengelolaan ....................... 88
5.1.8 Penaatan dan Penegakan ................................................................. 89
xxi
5.1.9 Itikad Baik dan Penyalagunaan Hak ................................................ 89
5.2 Conservation and Management Measures (CMM) : Implikasi Bagi
Indonesia...................................................................................................... 90
5.2.1 Penggunaan Transmitter (VMS) ..................................................... 92
5.2.2 Penegakan Hukum ........................................................................... 95
5.2.3 Kapal Penangkapan Ikan ................................................................. 97
5.2.4 Alat Penangkap Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan ................ 102
5.2.5 Pengelolaan Tangkapan Utama ....................................................... 110
5.2.6 Pengelolaan Tangkapan Sampingan ................................................ 117
5.2.7 Program Observer dan Inspeksi Kapal ............................................ 122
5.2.8 Data Buoys ...................................................................................... 124
5.2.9 Transhipment ................................................................................... 125
5.3 Implikasi Hukum WCPFC .......................................................................... 131
5.4 Analisa Ekonomi ......................................................................................... 144
5.5 Analisa AWOT ............................................................................................ 149
5.5.1 Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal ....................................... 149
5.5.2 Matriks IFE dan EFE ....................................................................... 165
5.6 Strategi Kebijakan ....................................................................................... 170
6 SIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 179
6.1 Kesimpulan ................................................................................................. 179
6.2 Saran ............................................................................................................ 181
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 183
LAMPIRAN ............................................................................................................ 189
xxiii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perbandingan Penamaan Tuna Beruaya Jauh Antara FAO dan
UNCLOS 1982 .................................................................................................. 14
2. Kesamaaan Prinsip antara Convention on Bilogical Diversity (CBD) dengan
Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) ....................................... 19
3. Kelompok-Kelompok Regional Fisheries Bodies ............................................. 20
4. Kajian literatur RFMO dan WCPFC 10 Tahun Terakhir .................................. 32
5. Pengaturan Yang Terkait Dengan Pengelolaan Perikanan Regional ................ 42
6. Faktor Internal dan Eksternal ............................................................................ 46
7. Faktor Strategi Internal (IFAS) ......................................................................... 47
8. Faktor Strategi Eksternal (EFAS) ...................................................................... 47
9. Tabel SWOT ...................................................................................................... 48
10. Spesies Tangkapan Utama ................................................................................. 60
11. Spesies Tangkapan Sampingan ......................................................................... 63
12. Estimasi Kontribusi Keuangan Member dan Cooperating Non-Member
tahun 2012 (dalam US $) ................................................................................... 69
13. Catch Limit untuk Bigeye Tahun 2012 ............................................................. 74
14. Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di WPP RI ................................................. 84
15. Conservation and Management Measures (CMM) ........................................... 90
16. Data Logbook pada Pelabuhan Perikanan UPT Pusat Tahun 2012 ................... 102
17. Kapal Indonesia yang dilaporkan Melakukan Transhipment di Wilayah
Konvensi WCPFC ............................................................................................. 127
18. Kesiapan Regulasi Nasional dan Rencana Aksi terhadap Ketentuan WCPFC . 135
19. Rataan variable pendapat responden ................................................................. 146
20. Nilai Koefisien pada Peubah Kesediaan Masyarakat untuk Menerima
Pembayaran atas Larangan Penangkapan Baby Tuna di PPS Bungus 2012 ..... 148
21. Nilai WTA dan Pendapatan Nelayan Purse Seine di PPS Bitung 2012 ............ 149
22. Fasilitas Pokok PPS Bitung .............................................................................. 151
23. Fasilitas Fungsional PPS Bitung ....................................................................... 152
24. Fasilitas Penunjang PPS Bitung ...................................................................... 153
25. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Kekuatan ............................................ 155
26. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Kelemahan .......................................... 159
27. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Peluang ............................................... 162
28. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Ancaman ............................................ 165
29. Matriks IFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna ................................ 166
30. Matriks EFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna ............................... 168
31. Matrik SWOT untuk Perumusan Strategi Diplomasi Indonesia ....................... 171
xxv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak Tahun 1974 ......................... 1
2. Kerangka Penelitian........................................................................................... 9
3. Jenis- Jenis Sedian Ikan Secara Parsial ............................................................. 12
4. Peta Wilayah Kewenangan RFMO ................................................................... 24
5. Bentuk Penyusunan Kebijakan Publik .............................................................. 28
6. Matriks internal-eksternal (IE) .......................................................................... 49
7. Struktur Hirarki dengan Metode Analisis AWOT ............................................. 52
8. Peta Wilayah Kewenangan WCPFC ................................................................. 58
9. Peta Tumpang Tindih Wilayah Kewenangan antara WCPFC dengan IATTC . 77
10. Peta Wilayah Kewenangan WCPFC di Perairan LCS dan Teritorial
Indonesia............................................................................................................ 78
11. Posisi Kapal Penangkapan Ikan Indonesia Berdasarkan
Data VMS tahun 2012 ....................................................................................... 95
12. Kapal Bendera Indonesia yang Didaftarkan pada Komisi WCPFC .................. 99
13. Data Pendaratan Hasil Tangkapan Purse Seine Periode Juli – November 2012 105
14. Kapal Purse Seine (A) Rumpon (B) dan (Ponton) Kota Bitung ....................... 106
15. Peta Rumpon Izin Pusat Tahun 2001-2009 ....................................................... 107
16. Tangkapan dari Kapal Indonesia pada Wilayah Konvensi WCPFC tahun
2002-2011 .......................................................................................................... 110
17. Peta Daerah Penangkapan Kapal Indonesia Berdasarkan Jenis Ikan ................ 111
18. Tangkapan Bigeye Indonesia dan WCPFC tahun 2002-2011 ........................... 113
19. Tangkapan Yellowfin Indonesia dan WCPFC tahun 2002-2010 ....................... 114
20. Tangkapan Skipjack Indonesia dan WCPFC tahun 2002-2010 ......................... 115
21. Tangkapan Swordfish Indonesia dan WCPFC tahun 2002-2010 ...................... 116
22. Tangkapan Striped Marlin Indonesia dan WCPFC tahun 2002-2010............... 117
23. Jumlah Tangkapan Hiu di WPP 716 dan 717 .................................................... 119
24. Tangkapan Juvenile (baby tuna) yellowfin yang didaratkan di PPS Bitung ..... 145
25. Hasil Analisa Perbandingan Kekuatan .............................................................. 154
26. Alur dan Mekanisme Log Book Penangkapan Ikan .......................................... 157
27. Hasil Analisa Perbandingan Kelemahan ........................................................... 159
28. Hasil Analisa Perbandingan Peluang................................................................. 161
29. Pumb Boat Filipina yang Tertangkap PSDKP Bitung ...................................... 163
30. Hasil Analisa Perbandingan Ancaman .............................................................. 164
31. Matriks IE .......................................................................................................... 170
xxvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Tabulasi Data Responden Nelayan Purse Seine .............................................. 189
2. Hasil Analisa Regresi ...................................................................................... 190
3. Kuesioner WTA Nelayan Purse Seine ............................................................ 192
4. Konvensi WCPFC dan Implikasinya Bagi Indonesia ..................................... 197
5. CMM dan Implikasinya bagi Indonesia .......................................................... 204
6. Analisa Perbandingan Konvensi dan Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia.......................................................................................................... 210
7. Analisa Perbandingan Konvensi dan Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia.......................................................................................................... 226
8. Matrik Kelompok Konvensi dan CMM .......................................................... 259
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Status produksi perikanan tangkap dunia mengalami gejala tangkap lebih
(overfishing). Laporan FAO (2012) mengungkapkan bahwa telah terjadi
peningkatan penangkapan ikan yang berlebihan sepanjang tahun 1970-2009
(Gambar 1) . Persentase overexploited terus meningkat dari 10 persen pada tahun
1974 menjadi 26 persen pada tahun 1989. Setelah Tahun 1990, angka
overexploited terus meningkat meski lebih lambat. Sementara itu, fully exploited
mengalami perubahan sangat kecil dari waktu ke waktu. Hal ini digambarkan
dengan persentase yang stabil sekitar 50 persen sepanjang tahun 1974-1985,
kemudian turun menjadi 43 persen pada tahun 1989 sebelum secara bertahap
meningkat menjadi 57,4 persen pada Tahun 2009. Pada tahun yang sama, angka
non-fully exploited mencapai 12,7 persen.
Sumber FAO, 2012
Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974
Berdasarkan data tersebut, sediaan ikan dunia telah mengalami
penurunan seiring dengan bertambahnya penduduk dunia yang membutuhkan
protein ikan. FAO (2010) mengungkapkan bahwa penduduk dunia mencapai
tujuh milyar dengan sediaan konsumsi ikan per kapita mencapai 18,8 kg.
2
Penyebab meningkatnya kebutuhan ikan dunia, yaitu (Wahyuni, 2007) : (1)
meningkatnya jumlah penduduk serta meningkatnya pendapatan masyarakat
dunia, (2) meningkatnya kualitas hidup yang diikuti dengan bergesernya
komposisi makanan ke makanan sehat yang dicirikan dengan rendahnya
kandungan kolesterol (pola red meat ke white meat), (3) masyarakat dunia
semakin sibuk (people on the run) sehingga memerlukan makanan sehat dan siap
saji, (4) dampak globalisasi menyebabkan aktivitas perikanan melampaui batas-
batas negara, sehingga dituntut pula penyediaan makanan yang dapat diterima
secara internasional, karena ikan merupakan alternatif komoditas makanan yang
memenuhi syarat tersebut, dan (5) ketakutan akan tertularnya penyakit kuku dan
mulut, sapi gila, anthraks, flu burung akibat konsumsi daging-daging ternak dan
unggas (hewani) semakin menguatkan asumsi bahwa alternatif terbaik yang dapat
dilakukan adalah mengkonsumsi ikan.
Meningkatkan kebutuhan akan protein ikan tersebut, menuntut produksi
ikan sehingga tekanan terhadap sumberdaya ikan juga meningkat. Worm et.al
(2006) mengungkapkan bahwa pada tahun 2048 akan terjadi kehancuran
perikanan global. Pendapat tersebut dibantah oleh Branch (2008) karena dianggap
mengabaikan berbagai faktor, diantaranya adalah regulasi internasional dan
nasional dalam mewujudkan perikanan dunia yang berkelanjutan. Terlepas dari
perdebatan kedua pakar tersebut di atas, perikanan tangkap dihadapkan pada
ancaman kelangkaan ikan global. Hal ini diperkuat oleh laporan FAO (2012),
bahwa produksi perikanan laut dunia berfluktuasi antara 77 dan 86 juta ton
dengan catatan tertinggi 86,8 juta ton pada tahun 2000 dan menurun menjadi 78,9
juta ton pada tahun 2011.
Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Branch di atas, bahwa untuk
mewujudkan perikanan berkelanjutan adalah penyusunan regulasi internasional
dan nasional. Terkait dengan penurunan sediaan ikan, hingga saat ini telah
dikeluarkan beberapa hukum internasional dalam rangka mewujudkan perikanan
bertanggung jawab dan berkelanjutan. Beberapa hukum internasional yang telah
dikeluarkan antara lain; (1) United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS 1982), (2) Agreement to Promote Compliance with International
Conservation and Management Measures by Fishing Vessel on the High Seas
3
(FAO-Compliance Agreement 1993), (3) The United Nations Agreement for the
Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19 December 1982 Relating
to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly
Migratory Fish Stocks (UN Fish Stock Agreement 1995), dan (4) FAO-Code of
Conduct for Responsible Fisheries (CCRF).
Salah satu ketentuan yang diatur dari keempat hukum internasional
tersebut adalah kegiatan penangkapan ikan di laut lepas. Hal ini dikarenakan, laut
lepas yang memiliki rezim kebebasan menangkap ikan (freedom on fishing) yang
diartikan sebagai wilayah tak bertuan. Berdasarkan perkembangan permasalahan
yang terjadi di laut lepas tersebut, maka setiap negara baik yang wilayahnya
berdekatan dengan laut lepas maupun negara yang jaraknya jauh dengan laut lepas
namun armada tangkapnya melakukan penangkapan ikan di laut lepas dianjurkan
untuk membentuk organisasi-organisasi sub-regional dan regional atau yang
sering disebut dengan organisasi pengelolaan perikanan regional atau regional
fisheries management organization (RFMO). Perkembangan RFMO didasarkan
sifat ikan yang selalu bergerak (beruaya) dan melintasi batas wilayah antar negara
(transboundary). Akibatnya, kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan di suatu
negara dapat menyebabkan kerusakan ikan di negara lain. Hal inilah yang
mendorong kepentingan bersama dalam membentuk RFMO di suatu kawasan
(Satria, et.al, 2009).
Beberapa organisasi-organisasi sub-regional dan regional perikanan yang
terbentuk di wilayah laut lepas yang berdampingan dengan perairan Indonesia,
diantaranya adalah: Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Western and
Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), dan Commission for the
Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Dengan demikian, Indonesia
harus mengikuti ketentuan hukum internasional yang berlaku dalam hal
penangkapan ikan di laut lepas, seperti kelayakan kapal-kapal penangkap ikan dan
ketaatan kapal-kapal tersebut pada ketentuan pengelolaan dan konservasi yang ada
(Satria, et.al, 2009).
Kepatuhan suatu negara dalam melakukan penangkapan ikan di laut lepas
secara bertanggung jawab dan berkelanjutan adalah hal yang mutlak dilakukan.
IPOA to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated
4
Fishing (IPOA on IUU Fishing) memasukan pengertian kegiatan perikanan yang
tidak sah (illegal fishing) di laut lepas. IPOA IUU Fishing menyebutkan kegiatan
illegal fishing di laut lepas apabila dilakukan oleh kapal-kapal yang mengibarkan
bendera negara anggota suatu organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi
bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konservasi dan pengelolaan
yang ditetapkan oleh organisasi regional tersebut dan mengikat negara tersebut,
ataupun ketentuan hukum internasional yang terkait lainnya. Dengan demikian,
diperlukan peran aktif suatu negara pada suatu RFMO, dimana armada
tangkapnya melakukan penangkapan ika di wilayah laut lepas yang menjadi
kewenangan pengaturan RFMO tersebut.
Peningkatan kerjasama perlu dilakukan melalui peran serta aktif
pemerintah Indonesia di RFMO dan meningkatkan kerjasama Indonesia dengan
negara-negara lain di sekitar kawasan perairan Indonesia dan Zone Ekonomi
Eksklusif Indonesia, khususnya di kawasan Samudera Pasifik yang Indonesia
belum menjadi anggota WCPFC. Hal ini perlu dilakukan guna memfasilitasi
kepentingan pembangunan pengelolaan sumber daya ikan di Indonesia, termasuk
meningkatkan posisi Indonesia dalam negoisasi-negoisasi dalam rangka
kesepakatan pengelolaan sumber daya ikan. Penguatan posisi Indonesia
diharapkan dapat menguntungkan perikanan nasional, antara lain adanya
kompensasi dan keuntungan-keuntungan pengelolaan perikanan tuna bagi
Indonesia, mengingat adanya fakta yang menyebutkan bahwa sumber daya
tersebut memijah di perairan Indonesia.
Peran aktif Indonesia dalam pengelolaan perikanan di wilayah WCPFC,
merupakan bentuk diplomasi Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan
perikanan nasional. Analisa strategi dibutuhkan guna memperkuat posisi
Indonesia terhadap negara lain, memperoleh kedudukan yang penting di antara
negara anggota dan sejajar di antara negara-negara maju dalam kerjasama
pengelolaan perikanan regional. Sementara itu, dalam diplomasi di WCPFC,
Indonesia harus memerhatikan kewajiban-kewajiban yang melekat sebagaimana
diatur dalam Konvensi Pembentukan WCPFC, Conservation and Management
Measures (CMM) serta resolusi yang berkembang. Hal ini dikarenakan, sebagai
subjek hukum internasional, WCPFC memiliki kemampuan untuk mengeluarkan
5
hukum yang akan dijadikan sumber hukum (Starke, 2001). Dengan demikian,
Konvensi WCPFC dan aturan pelaksanaannya (CMM dan Resolusi) harus dikaji
karena akan menimbulkan implikasi bagi Indonesia, baik sebagai CNM
(Contracting Non Member) maupun anggota (member).
1.2 Permusan Masalah
Asas kebebasan penangkapan ikan di laut lepas mengancam
keberlanjutan highly migratory species dan straddling fish stock. Faktor-faktor
utama yang berpengaruh tersebut, yaitu overfishing dan dampak aktivitas
manusia. Oleh karena itu, dikeluarkan berbagai instrumen internasional, baik yang
mengikat (hard law) maupun yang bersifat sukarela (soft law). Instrumen
internasional tersebut memberikan amanat kepada setiap negara, baik negara
pantai (coastal state) maupun negara penangkap ikan jarak jauh (distant water
fisheries nation) untuk bekerjasama dalam pengelolaan perikanan regional atau
internasional.
Salah satu organisasi pengelolaan perikanan regional yang harus
diperhatikan adalah WCPFC. Dalam hal ini Indonesia belum menjadi anggota
penuh WCPFC. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan di laut lepas umumnya
dan keterlibatan Indonesia di WCPFC khususnya harus dicarikan solusinya.
Berdasarkan hal tersebut, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana ketentuan pengelolaan perikanan di wilayah laut lepas yang
dikelola oleh WCPFC?
2. Bagaimana dampak ekonomi aturan WCPFC bagi nelayan Indonesia?
3. Langkah kebijakan apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk
memperkuat peran serta dalam pengelolaan perikanan di wilayah WCPFC?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis ketentuan pengelolaan perikanan di wilayah laut lepas yang
dikelola oleh WCPFC.
6
2. Menganalisis dampak ekonomi terhadap ketentuan WCPFC bagi nelayan
Indonesia.
3. Menganalisis perumusan kebijakan Indonesia dalam memperkuat peran serta
dalam pengelolaan perikanan di wilayah WCPFC.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
kebijakan pemerintah dalam pengelolaan perikanan regional di Samudera
Pasifik, khususnya di wilayah yang dikelola oleh WCPFC.
2. Bagi pengelolaan perikanan tangkap, penelitian ini diharapkan memberikan
gambaran pengelolaan perikanan di laut lepas yang dikelola oleh organisasi
pengelolaan perikanan regional.
3. Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan menjadi rujukan terutama mengenai
kajian kebijakan geopolitik nasional.
1.5 Kerangka Pemikiran
Sebagaimana dipaparkan di atas, bahwa perikanan global dihadapkan
pada permasalahan ancaman kelangkaan ikan. Laut lepas yang selama ini berlaku
rezim hukum kebebasan di laut lepas (freedom on the high seas), termasuk
didalamnya adalah kebebasan perikanan (freedom on fishing), adalah salah satu
penyebab ancaman perikanan global. Hal ini dikarenakan kegiatan perikanan di
laut lepas diibaratkan tidak bertuan. Oleh karena itu, masyarakat dunia melalui
FAO menggagas pembentukan organisasi pengelolaan perikanan regional
(regional fisheries management organization/RFMO).
Landasan hukum pengelolaan perikanan di laut lepas, termasuk amanat
pembentukan RFMO diantaranya adalah UNCLOS 1982, FAO Compliance
Agreement 1993, UNIA 1995, CCRF 1995 dan IPOA on IUU Fishing 2001.
Kebijakan nasional Indonesia mengenai pengelolaan perikanan, termasuk
pengelolaan perikanan di laut lepas telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah melalui Undang-
Undang No. 45 Tahun 2009. Menurut Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor
7
31 Tahun 2004, disebutkan bahwa pengelolaan perikanan di luar wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia diselenggarakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima
secara umum. Pada bagian penjelasan ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan
“pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia” adalah pengelolaan perikanan di laut lepas. Kebijakan ini
dimaksudkan agar pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan
berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan (Pasal 6 ayat 1).
Selanjutnya, dalam rangka memperkuat posisi Indonesia dalam kerjasama
pengelolaan perikanan pada forum regional dan internasional, pemerintah
Indonesia berusaha untuk ikut serta secara aktif dalam keanggotaan
badan/lembaga/organisasi regional dan internasional dimaksud (Pasal 10).
Berdasarkan uraian diatas, Indonesia mempunyai landasan hukum yang
kuat untuk berperan serta dalam mewujudkan perikanan bertanggung jawab
(responsible fisheries) dan berkelanjutan (sustainable fisheries), khususnya di
wilayah laut lepas yang biasanya dikelola oleh organisasi pengelolaan perikanan
regional. Hal ini mencerminkan bahwa Indonesia telah siap dalam mewujudkan
pengelolaan perikanan global.
Salah satu RFMO yang wilayah pengelolaannya berhadapan dengan
perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) adalah WCPFC.
Dalam rangka menyusun strategi kebijakan Indonesia di WCPFC, maka
diperlukan analisa peraturan terhadap konvensi pembentukan WCPFC. Analisa
peraturan digunakan dalam rangka menganalisis hak dan kewajiban yang akan
menjadi peluang (keuntungan) dan tantangan (kerugian) bila kita meratifikasi
Konvensi WCPFC.
Hasil analisa peraturan menjadi pegangan dalam penguatan strategi
kebijakan geopolitik Indonesia di WCPFC. Hal ini dikarenakan, dipastikan
adanya larangan terhadap kegiatan yang menyebabkan perikanan tidak
berkelanjutan, salah satunya adalah penangkapan juvenile tuna (baby tuna).
Padahal, nelayan Indonesia tidak membedakan baby tuna dengan tuna besar.
Akibatnya adalah, kebijakan tersebut akan merugikan perekonomian nelayan,
8
khususnya nelayan skala kecil. Terkait dengan potensi kehilangan hasil tangkapan
akibat larangan penangkapan baby tuna, maka akan digunakan lost productivity
method. Analisa ini akan mengungkapkan seberapa besar nelayan Indonesia akan
mengalami kehilangan potensi ekonomi akibat kebijakan larangan penangkapan
baby tuna.
Analisa berikutnya adalah integrasi analisa SWOT dengan AHP yang
dikenal dengan istilah AWOT. Analisa ini diharapkan mampu menghasilkan
strategi kebijakan Indonesia dalam keterlibatan pengelolaan perikanan di laut
lepas, khususnya di wilayah yang menjadi kewenangan pengelolaan WCPFC.
Dengan demikian, tujuan dan target penelitian ini adalah penguatan Indonesia di
WCPFC, pengelolaan perikanan global, dan kesejahteraan masyarakat nelayan
Indonesia. Secara lebih jelasnya, kerangka penelitian ini disajikan pada Gambar 2.
9
Gambar 2 Kerangka Penelitian
Keterangan:
Ancaman Kelangkaan
Perikanan Global
Pengelolaan Perikanan
Laut Lepas
WCPFC
Status Produksi
Perikanan
Konvensi WCPFC,
CMM dan Resolusi
Landasan Hukum:
UNCLOS
FAO Compliance
UNFSA
CCRF
IPOA on IUU Fishing
Landasan Hukum
(Nasional):
Undang-Undang
Peraturan Pemerintah
Peraturan Presiden
Peraturan Menteri
Implikasi Ketentuan
WCPFC Aturan penangkapan
baby tuna
Strategi Kebijakan Indonesia
Tujuan dan Target:
Penguatan Indonesia di WCPFC
Pengelolaan Perikanan Global
Kesejahteraan masyarakat nelayan Indonesia
Analisis
Peraturan
Perundangan
Analisis WTA
Analisis Kebijakan AWOT
Batas Penelitian
Feed Back
Keterkaitan dan Hubungan
10
11
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Shared Stock (Sediaan yang Diusahakan Bersama)
Sediaan merupakan jumlah organisme yang merupakan bagian dari suatu
populasi disuatu tempat, dan suatu sediaan mungkin saja merupakan suatu bagian
dari suatu populasi atau lebih dari satu populasi (Widodo, 2006). Selanjutnya
Marguire (2006), menyatakan bahwa pengertian sediaan dalam perikanan
merupakan parameter-parameter pertumbuhan serta kematian dalam area geografi
tertentu dan tidak terkait dengan sediaan lain dari spesies yang sama pada area
tertentu. Pelaksanaannya konsep sedian tersebut beragam, tergantung kepada
pengetahuan dan informasi yang tersedia.
Widodo (2006) menjelaskan lebih lanjut tentang pengertian tentang
sediaan dalam pengelolaan perikanan, pada dasarnya sediaan didefinisikan
sedemikian rupa sehingga model-model produksi perikanan (yield) akan dapat
diterapkan dan diaplikasikan. Setiap contoh, statistik dari individu-individu dari
suatu sediaan harus memiliki karakteristik-karakteristik produksi yang serupa
terhadap setiap sampel dari sediaan. Karakteristik pokok yang dikaitkan dengan
berbagai model yield adalah: (1) jumlah yang dilahirkan dalam satu tahun tertentu,
(2) laju pertumbuhan, (3) laju kematian alami, dan (4) laju kematian penangkapan.
Bila kawasan geografis dari suatu spesies berbeda-beda dalam karakteristik-
karakteristik tersebut, maka untuk keperluan manajemen, kawasan tersebut harus
dianggap lebih dari satu sediaan.
Sebagian besar dari berbagai sediaan ikan di dunia tidak berada
sepenuhnya dibawah yurisdiksi suatu negara, dan tidak jarang sediaan ikan
tersebut dieksploitasi oleh sejumlah negara tertentu. Akibatnya, implementasi
suatu tindakan pengelolaan tidak hanya melibatkan suatu negara tertentu tetapi
memerlukan persetujuan dari negara-negara lain yang bersangkutan (Widodo,
2006). Istilah baku yang digunakan untuk menjelaskan sediaan tersebut adalah
shared stock (sediaan yang diusahakan bersama).
Menurut Munro (2004) pengertian istilah shared stock meliputi: (1)
sumberdaya ikan yang melintasi batas ZEE dari satu atau lebih negara pantai
(transboundary stock), (2) spesies beruaya jauh (tertera dalam Lampiran 1
12
UNCLOS 1982), terutama spesies tuna, (3) semua sediaan ikan lainnya yang
diterdapat diantara perairan ZEE negara pantai dan laut lepas tertentu (straddling
stock), dan (4) sediaan ikan yang hanya terdapat di laut lepas (high seas fish
stocks).
Keterangan : 1. Highly migratory; 2. Straddling (extensive distribution); 3. High seas.
Bottom panel: 4. Pelagic straddling (mostly within EEZ); 5. Demersal straddling (mostly
within EEZ); 6. Straddling (transboundary); 7. Straddling (mostly in high seas); 8. Straddling
(evenly distributed)
Gambar 3 Jenis- Jenis Sediaan Ikan Secara Parsial (Maguire, 2006)
13
2.2. Highly Migratory Stock (Sedian Ikan Beruaya Jauh)
Highly migratory stocks, terdiri dari spesies-spesies ikan yang terdapat
pada Lampiran 1 UNCLOS 1982 yang merupakan defenisi sah (legal) tentang
sedian ikan beruaya jauh. Berdasarkan definisi ilmiah sediaan ikan beruaya jauh
didefinisikan sebagai jenis-jenis ikan yang beruaya jauh dan melintasi laut lepas
dan ZEE, bahkan batas-batas administrasi suatu negara (Maguire, 2006).
Dalam Lampiran 1 UNCLOS 1982, termasuk dalam sedian ikan beruaya
jauh terdiri dari ; tuna dan tuna-like species, oceanic sharks, pomfrets, sauries dan
dolphinfish. Jenis tuna terdiri dari ; (1) Albacore tuna (Thunnus alalunga), (2)
Bluefin tuna (thunnus thynnus), (3) Bigeye tuna (Thunnus obesus), (4) Skipjack
tuna (Katsuwo pelamis), (5) Yellowfin tuna (Thunnus albacores), (6) Blackfin
tuna (Thunnus atlanticus), (7) Litle tuna (Euthynnus alleteratus dan E.affinis) , (8)
Southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii), (9) Frigate mackerels (Auxis thazard
dan A.rochei). Sedangkan kelompok tuna lainnya, terdiri dari ; (1) Marlin terdiri
dari 8 spesies (Teprapturus angustirostris, T. belone, T. pfluegeri, T.albidus,
T.audax, T. georgei, Makaira indica, M.nigricans), (2) Sailfish, terdiri dari 2
spesies (Istiophorus platyphorus dan I. albicans), dan (3) Swordfish (Xiphias
gladicus).
Seiring dengan perkembangan identifikasi spesies, spesies yang masuk
dalam kelompok sediaan ikan beruaya jauh dalam Lampiran 1 UNCLOS 1982
seharusnya diperbaharui. Berdasarkan identifikasi FAO terakhir, spesies Blackfin
tuna, Little tuna, dan Frigate tuna tidak termasuk spesies beruaya jauh karena
merupakan spesies-spesies neritic yang hidup di perairan dekat pantai dengan
kedalaman kurang dari 200 m.
Selanjutnya, penamaan spesies pada Lampiran 1 UNCLOS tidak seseuai
dengan penamaan spesies yang ditetapkan FAO. Menurut Serdy (2003), penyebab
perbedaan penamaan antara Lampiran 1 UNCLOS dan FAO, adalah: (1)
penamaan kelompok tuna yang tertera dalam Lampiran 1 UNCLOS 1982
mengacu kepada Statistik Perikanan dan Buku Tahunan FAO yang diterbitkan
pada tahun 1975, dan tidak diperbaharui ketika UNCLOS 1982 ditetapkan pada
tahun 1982, (2) terdapat kesalahan terjemahan nama tuna ke bahasa utama FAO
lainnya, yakni penamaan dalam bahasa Spanyol dan Perancis. Penamaan FAO ini
14
mengacu kepada Lampiran B Kesepakatan Pendirian IOTC. Perbedaan pemberian
nama juga terdapat pada kelompok spesies beruaya jauh selain tuna, bahkan
kesalahan juga terdapat pada pengelompokan famili dan jumlah spesies dalam
satu famili (Serdy, 2003).
Tabel 1 Perbandingan Penamaan Tuna Beruaya Jauh antara FAO dan UNLOS
Inggris Perancis Spanyol
UNCLOS FAO UNCLOS FAO UNCLOS FAO
Albacore tuna Albacore Thon blane
germon
Germon Atun blanco Atun blanco
Bluefin tuna Northern bluefin
tuna
Thon rouge Thon rouge Atun rojo Atun
Bigeye tuna Bigeye tuna Thon obese a
gros ceil
Thon obese Patudo Patudo
Skipjack tuna Skipjack tuna Bonite a ventre
raye
Listo Listodo Listodo
Yellowfin tuna Yellowfin tuna Thon a negeore
jaune
Albacore Rabil Rabil
Blackfin tuna Blackfin tuna Thon noir Thon a
nageoires
Atun de aleta
negra
Atun aleta
negra
Little tuna Kagawa (E.
affinis); Little
tunny (E.
alletteratus)
Thoine Thoine
orientale (E.
affinis);
Thonine (E.
alletteratus)
Bonito del
Pacifico
Bacoreta
oriental (E.
affinis);
Bacoreta (E.
alletteratus)
Southern bluefin
tuna
Southern bluefin
tuna
Thon a
nageoire bleue
Thon rouge du
sud
Atun de aleta
azul del sur
Atun del sur
Frigate mackerel Frigate tuna
(A.thazard);
Bullet (A.rochei)
Auxide Auxide
(A.thazard);
Bonite
(A.rochei)
Melva Melva
(A.thazard);
Melvera
(A.rochei)
Sumber : Serdy A (2003)
2.3 Straddling Stocks (Sediaan Beruaya Terbatas)
Pada pasal 63 UNCLOS, straddling stock didefinisikan sebagai sediaan
ikan yang sama atau sejenis yang terdapat dalam ZEE dua negara pantai atau
lebih. Menurut (Maguire, 2006), konsep sediaan beruaya terbatas dapat meliputi
satu kesatuan dari sebagian besar sediaan ikan didalam perairan ZEE suatu negara
hingga diluar perairan ZEE atau laut lepas. Tidak ada batasan jumlah biomass,
suatu jenis ikan dikategorikan sebagai sediaan beruaya terbatas, sebagai contoh
northern cod 95 persen biomass berada di perairan pantai (Maguire, 2006).
2.4 High Seas Stocks Fish (Sediaan Ikan Laut Lepas)
Sediaan ikan laut lepas tidak didefinisikan secara khusus dalam UNCLOS
1982, namun secara umum konsep high seas stocks fish terdapat dalam UN Fish
15
Stock Agreement 1995. FAO (1994) menggunakan istilah purely high seas stocks
untuk jenis ikan yang tidak ditemukan dalam perairan ZEE, atau jenis ini hanya
ditemukan di laut lepas (Maguire, 2006).
2.5 Transboundary Stocks (Sediaan di Perbatasan Antar Negara)
Menurut Caddy (1997), sediaan di perbatasan antar negara merupakan
sekolompok organisme yang dieksploitasi secara komersil, tersebar atau beruaya
melintasi b atas maritim dua negara atau lebih, atau batas maritim dari sebuah
negara dan laut lepas tertentu, dimana hanya dapat dikelola secara efektif melalui
kerjasama antar negara.
2.6 Norma – Norma Pengelolaan Perikanan Global
Prinsip kebebasan di laut lepas (freedom of the high seas), khususnya
kebebasan menangkap ikan (freedom of fishing) sebagai salah satu pilar dalam
Hukum Laut Internasional, tampaknya mulai melemah dan secara perlahan-lahan
akan berakhir. Faktor pendorong semakin melemahnya prinsip kebebasan
menangkap ikan di laut lepas adalah karena timbulnya kekhawatiran akan
semakin menurunnya potensi sumberdaya ikan, antara lain karena semakin
intensifnya teknologi penangkapan ikan yang dapat membahayakan
kelestariannya. Apabila yang dikhawatirkan itu ternyata terbukti, maka pada
gilirannya dapat diperkirakan akan mengancam keberlanjutan usaha penangkapan
ikan.
Berbagai upaya kompromi telah dilakukan melalui Konvensi
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut. Salah satu alternatifnya adalah
melalui pemberian hak eksklusif (souvereign rights) kepada negara-negara pantai
untuk melakukan konservasi dan pengelolaan sumber-sumber perikanan di Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE). Upaya tersebut akan menjadi kurang efektif apabila
armada perikanan dari berbagai negara mengarahkan operasinya ke kawasan-
kawasan laut yang berbatasan dengan ZEE. Kawasan ini berada di luar jangkauan
yurisdiksi negara pantai, terutama apabila sasarannya adalah jenis-jenis ikan yang
beruaya jauh dari ZEE ke laut lepas dan sebaliknya.
16
Food and Agriculture Organization (FAO), bersama-sama dengan The
Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea, Office of Legal Affairs of the
United Nations telah mengembangkan norma-norma perikanan untuk dapat
diberlakukan secara global. Norma-norma perikanan global ini direncanakan
untuk diterapkan melalui pemberdayaan organisasi-organisasi perikanan regional,
baik yang telah ada maupun yang akan dibentuk di kawasan-kawasan tertentu
sesuai dengan kebutuhan.
Pengembangan norma-norma pengelolaan perikanan internasional pada
dasarnya merupakan rancangan rinci dari ketentuan-ketentuan yang tercantum di
dalam UNCLOS 1982, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan jenis-jenis
ikan yang beruaya terbatas (Pasal 63) dan jenis-jenis ikan yang beruaya jauh
(Pasal 64). Pengaturan internasional yang berkaitan dengan kegiatan perikanan
terdiri dari:
1) United Nations on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 (Konvensi Hukum
Laut 1982)
Pada hukum laut sebelumnya, Convention on Fishing and Conservation of
the Living Resources of the High Seas merupakan bagian yang terpisah dari
Konvensi Jenewa 1958. Dalam UNCLOS 1982 kedua hal tersebut telah diatur
secara komprehensif yaitu tepatnya terdapat dalam Pasal 116-120 Konvensi.
Disamping itu, UNCLOS 1982 juga mengatur persoalan perikanan pada rejim-
rejim maritim lainnya terutama pada rejim ZEE yang terdapat dalam Bab V Pasal
55-75 UNCLOS 1982.
2) Agreement for the Implementation of the Provision of the United Nations
Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the
Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly
Migratory Fish Stocks (United Nations Implementing Agreement/UNIA) 1995.
Persetujuan ini merupakan hasil dari konferensi yang membahas masalah
konservasi dan pengelolaan jenis-jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis-jenis
ikan yang beruaya jauh. Persetujuan ini dicapai melalui enam kali persidangan
yang berlangsung sejak April 1993 sampai Agustus 1995 bertempat di Markas
17
Besar PBB di New York. Selain dihadiri oleh 137 perwakilan negara termasuk
Indonesia, konferensi ini dihadiri pula oleh perwakilan organisasi-organisasi
perikanan regional.
Konferensi tersebut di atas merupakan tindak lanjut dari Resolusi Majelis
Umum PBB No. 47/192 tanggal 22 Desember 1992 yang menindaklanjuti mandat
Agenda 21 sebagai salah satu hasil KTT Rio de Janeiro (1992) tentang
Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
3) Agreement to Promote Compliance with International Conservation and
Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas, 1993.
Persetujuan ini berlaku untuk semua kapal perikanan dengan maksud
untuk meningkatkan penaatan kapal-kapal perikanan terhadap ketentuan-
ketentuan konservasi sumber-sumber perikanan di laut lepas. Pemberlakuan
Persetujuan ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Tata Laksana
Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries)
yang dicanangkan urgensinya pada Deklarasi Cancun, 1992 dan Deklarasi Rio de
Janeiro, 1992, dan khususnya di dalam Agenda 21.
4) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code of Conduct for
Responsible Fisheries/CCRF).
CCRF merupakan penjabaran secara terperinci untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam UNIA 1995. Sedangkan Agreement to
Promote Compliance with International Conservation and Management Measures
by Fishing Vessels on the High Seas (1993) merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Tata Laksana ini. Walaupun demikian substansi pengaturannya
hanya sebagian kecil saja yang berkaitan dengan permasalahan perikanan di laut
lepas, karena sebagian besar pengaturannya berkaitan dengan masalah
pengelolaan sumber-sumber perikanan di perairan nasional dan ZEE, baik budi
daya maupun perikanan tangkap, yang harus dilakukan secara bertanggung jawab.
Tata Laksana ini memuat prinsip-prinsip dan standar perilaku internasional
dengan tujuan untuk menjamin agar upaya-upaya konservasi dan pengelolaan
sumber-sumber perikanan dapat berhasil secara efektif, termasuk perlindungan
18
habitat dan ekosistem serta keragaman jenis dan populasinya. Oleh karena itu,
setiap negara, organisasi internasional, dan individu dihimbau untuk secara
sukarela melaksanakan ketentuan-ketentuan yang dirancang untuk memiliki
kekuatan berlaku secara universal, meliputi antara lain: prinsip-prinsip umum,
pengelolaan sumber-sumber perikanan, dan operasi penangkapan ikan.
5) UN Conference on Environment and Development (UNCED) : Agenda 21
Agenda 21 merupakan merupakan respon dalam mempersiapkan secara
global tantangan pembangunan pada abad ke – 21, dimana bertujuan untuk terus
meningkatkan kualitas hidup manusia dan pembangunan yang berkelanjutan.
Terdapat beberapa bagian yang terkait dengan pengelolaan perikanan
berkelanjutan, yakni :
a) Bagian I .Dimensi Sosial dan Ekonomi (Bab 2 dan Bab 8).
Walaupun tidak berhubungan langsung dengan perikanan, namun terdapat
beberapa isu yang berhubungan dengan pembangunan berkelanjutan,
termasuk salah satunya adalah perikanan.
b) Bagian II. Pengelolaan dan Konservasi Sumberdaya.
Terdapat beberapa bab yang berhubungan dengan perikanan, yakni (1)
Bab 9; Perlindungan atmosphere, berhubungan dengan buangan gas
(polusi) dari aktivitas penangkapan ikan dan penggunaan mesin pendingin
yang dapat menipsikan ozon; (2) Bab 15; Konservasi dan
keanekaragaman hayati; (3) Bab 17; Perlindungan laut, termasuk laut
tertutup, semi tertutup dan wilayah pesisir yang meliputi : pengelolaan
terpadu dan berkalanjutan wilayah pesisir dan ZEE, perlindungan
lingkungan laut, pemanfaatan berkelanjutan dan perlindungan
sumberdaya hayati di laut lepas, pemanfaatan berkelanjutan dan
konservasi sumberdaya hayati laut di wilayah hukum nasional, penguatan
kerjasama dan koordinasi pada tingkat regional dan internasional, dan
pembangunan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan.
19
6) Convention on Bilogical Diversity (CBD)
CBD diratifikasi pada tahun 1995 merupakan tindak lanjut implementasi
UNCED. CBD bertujuan untuk mengkonservasi keanekaragaman biologi,
pemanfaatan berkelanjutan berdasarkan prinsip keadilan dan pemanfaatan
bersama secara tepat untuk sumber genetic, hak dalam memanfaatkan
sumberdaya, dan penggunaan teknologi yang tepat. Pada saat yang bersamaan,
sebagian negara-negara anggota FAO juga mengadopsi instrumen aturan
internasional yakni CCRF. Terdapat beberapa persamaan prinsip antara CDB
dengan CCRF sebagaimana disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kesamaan Prinsip antara Convention on Bilogical (CBD) dengan
Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)
Convention on Bilogical (CBD) Code of Conduct for Responsible Fisheries
(CCRF)
9.2.4. Membuat sistem informasi 7d. Pengelolaan dan penyusunan data
9.2.5. Memonitoring lingkungan
perairan
7b. Memonitor komponen-kompnen
keanakaragaman bilogi
9.3.1 Menlindungi kenakerhama
genetic dan ekisistem
8d. melindungi ekosistem.14.a kajian damapak
lingkungan
7.5 Pendekatan kehati-hatian Prolog : Pendekatan kehati-hatian
Sumber : www.fao.org/fi
CBD secara rinci diatur lebih lanjut pada Jakarta Mandate yang meliputi
rencana-rencana aksi pengelolaan ekosistem laut dan pesisir serta eksosistem
perairan umum daratan berupa upaya konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan
keanekaragaman hayati dan habitatnya, pengelolaan pengenalan spesies asing,
keterpaduan pengelolaan wilayah, pendekatan kehati-hatian, pendekatan
eksosistem.
2.7 Regional Fishery Bodies
Mandat Regional Fishery Bodies (RBF) atau Badan – Badan Perikanan
Regional beragam. Beberapa RBF mempunyai mandat untuk memberikan nasehat
(advisory mandate), mekanisme keputusan ataupun koordinasi yang tidak
mengikat dari anggota. Sedangkan beberapa RBF memiliki mandat pengelolaan
atau dikenal dengan Regional Fisheries Management Organization (RFMO).
20
Negara yang menjadi anggota RFMO terikat dengan langkah-langkah pengelolaan
dan konservasi yang ditetapkan dalam suatu RFMO.
Fungsi RBF juga beragam, termasuk pengumpulan, analisis dan
disemininasi informasi dan data, mengkoordinasikan pengelolaan perikanan
melalui skema dan mekanisme bersama, menyediakan forum kebijakan dan
teknik, dan pengambilan keputusan terkait dengan konservasi, pengelolaan,
pengembangan dan tanggungjawab terhadap sumberdaya. RFMO memainkan
peran unik dalam fasilitasi kerjasama internasional untuk konservasi dan
pengelolaan sediaan ikan. RFMO merupakan organisasi kerjasama perikanan
antar pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk menetapkan langkah-
langkah konservasi dan pengelolaan perikanan (FAO, 2001).
RBF merupakan wadah penting untuk meningkatkan pemanfaatkan
berkelanjutan dimana kerjasama internasional dibutuhkan dalam pengelolaan dan
konservasi. Secara signifikan, United Nations Conference on Environment and
Development (UNCED) 1992 merupakan perangkat hukum menempatkan RBF
dalam fasilitasi kerjasama internasional. Peran dan prioritas RBF beragam
menurut mandat dan faktor-faktor lainnya, termasuk kemauan politik dari para
anggotanya.
FAO menilai RBF memiliki peran penting untuk meningkatkan perikanan
berkelanjutan jangka panjang melalui kerjasama internasional dalam konservasi
dan pengelolaan. Peran FAO adalah : (a) memberikan dukungan administrasi dan
teknik kepada RBF; (b) meningkatkan kerjasama dan konsutasi diantara RBF; (c)
memfasilitasi pertemuan RBF; dan (d) mendorong RBF untuk
mengimplementasikan hal-hal yang diatur dalam UNCED, termasuk keterpaduan
program-program FAO dengan RBF.
Tabel 3. Kelompok – Kelompok Regional Fisheries Bodies
No Jenis Status Posisi Anggota Tahun Berdiri
RFMO
1. Commission for the
Conservation of Antarctic
Marine Living Resources
(CCAMLR)
Diluar FAO Global dan lintas
samudera
34 anggota 1982
2. Indian Ocean Tuna
Commission (IOTC)
Dibawah FAO
Berdasarkan Pasal
Samudera Hindia 12 Anggota
(termasuk
1996
21
No Jenis Status Posisi Anggota Tahun Berdiri
VI Indonesia)
3. North-East Atlantic
Fisheries Commission
(NEAFC)
Diluar FAO Samudera
Atlantik
7 anggota 1982
4. South Pacific Regional
Fisheries Management
Organisation (SPRFMO)
Diluar FAO Samudera Pasifik 20 Negara 2006
5. Convention on the
Conservation and
Management of the Pollock
Resources (CCBSP)
Diluar FAO Samudera Pasifik 5 anggota 1996
6. International Pacific
Halibut Commission
(IPHC)
Non Samudera Pasisifk 2 anggota 1923
7. North Pacific Anadromous
Fish Commission (NPAFC)
Samudera Pasifik 5 Negara 1993
8. Western and Centra Pasific
Fisheries Commission
(WCPFC)
Diluar FAO Samudera Pasifik 36 negara
(Indonesia :
Cooperating
Non-
Member)
2004
9. Commission for the
Conservation of Southern
Bluefin Tuna (CCSBT)
Diluar FAO Global dan lintas
samudera
9 anggota 1994
10. International Whaling
Commission (IWC)
Diluar FAO Global dan lintas
samudera
66 anggota 1946
11. Pacific Salmon
Commission (PSC)
Diluar FAO Samudera Pasifik 2 anggota 1985
12. General Fisheries
Commission for the
Mediterranean (GFCM)
Dibawah FAO
Berdasarkan Pasal
VI
Mediterania dan
Laut Hitam
23 anggota 1952
13. Lake Victoria Fisheries
Organization (LVFO)
Ditetapkan diluar
FAO, tetapi
terdapat fungsi-
funsgi FAO
Perairan Umum
Daratan
3 Negara 1994
14. Regional Commission for
Fisheries (RECOFI)
Dibawah FAO
Berdasarkan Pasal
VI
Samudera Hindia 8 Negara 1999
15. Inter-American Tropical
Tuna Commission (IATTC)
Diluar FAO Samudera Pasifik 13 anggota 1950
16. Northwest Atlantic
Fisheries Organization
(NAFO)
Diluar FAO Samudera
Atlantik
15 anggota 1979
17. South East Atlantic
Fisheries Organization
(SEAFO)
Ditetapkan diluar
FAO, tetapi
terdapat fungsi-
funsgi FAO
Samudera
Atlantik
4 anggota 2003
18. International Commission
for the Conservation of
Atlantic Tunas (ICCAT)
Ditetapkan diluar
FAO, tetapi
terdapat fungsi-
funsgi FAO
Samudera
Atlantik
3 negara 1966
19. North Atlantic Salmon
Conservation Organization
Diluar FAO Samudera 30 anggota 1983
22
No Jenis Status Posisi Anggota Tahun Berdiri
(NASCO) Atlantik
20. South Indian Ocean
Fisheries Agreement
(SIOFA)
Ditetapkan diluar
FAO, tetapi
terdapat fungsi-
funsgi FAO
Samudera Hindia 6 anggota 2006
Advisory Mandate Bodies
1. Asia-Pacific Fishery
Commission (APFIC)
Dibawah FAO
Berdasarkan Pasal
VI
Samudera Pasifik
dan Perairan
Umum Daratan
21 Anggota
(termasuk
Indonesia)
1948
2. Commission for Inland
Fisheries of Latin America
(COPESCAL)
Dibawah FAO
Berdasarkan Pasal
XIV
Perairan Umum
Daratan
21 anggota 1976
3. Forum Fisheries Agency
(FFA)
Diluar FAO Samudera Pasifik Anggota 1997
4. Southeast Asian Fisheries
Development Center
(SEAFDEC)
Diluar FAO Samudera Pasifik 11 anggota
(termasuk
Indonesia)
1967
5. The Bay of Bengal
Programme - Inter
Governmental
Organisation (BOBP-IGO)
Diluar FAO Samudera Hindia 4 anggota 2003
6. Joint Technical
Commission for the
Argentina/Uruguay
Maritime Front (CTMFM)
Diluar FAO Samudera
Atlantik
2 anggota 1973
7. International Council for
the Exploration of the Sea
(ICES)
Diluar FAO Samudera
Atlantik
19 anggota 1964
8. Pacific Community (SPC) Diluar FAO Samudera Pasifik 33 anggota 1947
9. Regional Fisheries
Advisory Commission for
South-West Atlantic
(CARPAS)
Diluar FAO Samudera
Atlantik
3 anggota 1974
10. Comité régional des pêches
du Golfe de Guinée
(COREP)
Diluar FAO Samudera
Atlantik
4 anggota 1984
11. Mekong River Commission
(MRC)
Diluar FAO Perairan Umum
Daratan
4 anggota 1995
12. Sub-Regional Commission
on Fisheries (SRFC)
Diluar FAO Samudera
Atlantik
7 anggota 1985
13. Fishery Committee for the
Eastern Central Atlantic
(CECAF)
Dibawah FAO
Berdasarkan Pasal
XIV
Samudera
Atlantik
3 anggota 1967
14. South Pacific Permanent
Commission (CPPS)
Diluar FAO Samudera Pasifik 4 anggota 1952
15. North Atlantic Marine
Mammal Commission
(NAMMCO)
Diluar FAO Samudera
Atlantik
4 anggota 1992
16. South West Indian Ocean
Fisheries Commission
Diluar FAO Samudera Hindia 9 anggota 2004
23
No Jenis Status Posisi Anggota Tahun Berdiri
(SWIOFC)
17. Committee for Inland
Fisheries of Africa
(CIFAA)
Dibawah FAO
Berdasarkan Pasal
XIV
Perairan Umum
Daratan
37 anggota 1971
18. European Inland Fisheries
Advisory Commission
(EIFAC)
Diluar FAO Perairan Umum
Daratan
34 anggota 1957
19. Latin American
Organization for the
Development of Fisheries
(OLDEPESCA)
Diluar FAO Global dan lintas
samudera
14 anggota 1982
20. Western Central Atlantic
Fishery Commission
(WECAFC)
Dibawah FAO
Berdasarkan Pasal
XIV
Samudera
Atlantik
35 anggota 1973
21. Ministerial Conference on
Fisheries Cooperation
among African States
Bordering the Atlantic
Ocean (COMHAFAT)
Ditetapkan diluar
FAO, tetapi
terdapat fungsi-
funsgi FAO
Samudera
Atlantik
22 anggota 2007
22. Fishery Committee of the
West Central Gulf Of
Guinea (FCWC)
Diluar FAO Samudera
Atlantik
6 anggota 2006
23. North Pacific Marine
Science Organization
(PICES)
Diluar FAO Samudera Pasifik 6 anggota 1992
Sumber : (1) www.fao.org/fi , (2) WCPFC, 2007 (3) FAO, 1999 dan (4) Lodge M, 2007
2.8 Regional Fisheries Management Organization (RFMO)
Pembentukan suatu RFMO, merupakan implementasi pengelolaan
sumberdaya ikan dilaut lepas yang telah diamanatkan dalam UNCLOS 1982. Pada
pasal 116-118 UNCLOS 1982 disebutkan bahwa semua negara mempunyai
kewajiban untuk mengambil tindakan atau kerjasama dengan negara lain dalam
mengambil tindakan untuk upaya konservasi sumberdaya hayati di laut lepas dan
berkerjasama untuk menetapkan organisasi perikanan sub regional atau regional.
Selanjutnya dipertegas pada Pasal 8 UN Fish Stock Agreement 1995, bahwa
negara-negara pantai dan negara-negara yang melakukan penangkapan ikan di laut
lepas harus berkerjasama dalam mengelola sumberdaya ikan di laut lepas melalui
organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional.
Pembentukan RFMO mulai meningkat sejak tahun 1960-an, saat ini telah
dibentuk 18 RFMO, hampir seluruh perairan laut lepas telah menjadi
kewenangannya. Saat ini keberadaan RFMO memegang peran penting dalam
sistem pengelolaan perikanan global, tanpa adanya kerjasama tersebut optimasi
24
pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan akan sulit untuk dicapai (Lodge
and House, 2007).
RFMO memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam mengatur
konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan yang bersifat shared fish stocks
(transboundary, highly migratory, straddling stock, and discrete high seas
stocks) pada perairan tertentu yang disepakati bersama yang dapat meliputi laut
lepas maupun perairan ZEE suatu negara. Disamping itu RFMO juga mempunyai
kewajiban dalam konservasi dan kelestarian semua spesies yang tergolong pada
perikanan seperti: seabirds, turtles, dolphins, sharks dan non-target fish; dan
sumberdaya laut lainnya.
Sumber : Bird Life International, 2008
Gambar 4. Peta Wilayah Kewenangan RFMO
25
2.9 Shared Allocation (Alokasi Jatah)
Menurut McDorman (2005) memerhatikan otoritas setiap RFMO, terdapat
dua aspek penting yang merupakan fokus keputusan RFMO. Kedua aspek penting
tersebut adalah :
a. Penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) , serta alokasi kuota
bagi setiap anggota RFMO.
b. Penetapan dan pemberlakukan langkah dan tindakan yang berkaitan dengan
penggunaan alat tangkap, metode penangkapan, musim penangkapan, musim
tidak menangkap, moratorium, serta pembatasan ukuran ikan yang
ditangkap.
Penentuan alokasi kuota sering sekali menjadi perdebatan sengit diantara
negara anggota dalam setiap pertemuan tahunan RFMO, karena setiap negara
lebih mengutamakan kepentingan ekonomi yang diperoleh dari kuota tersebut,
dibandingkan dengan tindakan konservasi dan pengelolaan berkelanjutan yang
menjadi azas dalam suatu RFMO. Walaupun dalam UN Fish Stock Agreement
1995 telah diuraikan dasar pertimbangan pemberian kuota berlandaskan pada
“prinsip keadilan dan tidak diskriminatif” terhadap negara anggota dan negara
pihak, namun faktanya tidak demikian.
Fauzi (2006) menyatakan kuota merupakan instrumen kebijakan yang
sering digunakan dalam pengendalian perikanan. Instrumen ini dianggap mampu
menghilangkan ekternalitas negatif yang sering terjadi pada perikanan. Satria,
et.al (2009) secara ringkas menjelaskan tentang kuota tentang kuota, yakni :
1. Global Quota, jumlah tangkapan ditetapkan berdasarkan jumlah ikan yang
boleh ditangkap (JTB) dalam suatu perairan tanpa menyebutkan berapa
jumlah yang diperbolehkan untuk setiap pelaku. Akibatnya, masih terjadi
persaingan untuk menangkap ikan (race to fish) yang sangat tinggi dan
ekses kapasitas penangkapan tidak bisa dihindari sehingga menyebabkan
musim tangkap yang makin pendek juga malah terjadi over fishing.
2. Individual Quota (IQ), memberikan kuota kepada indivudu hingga para
pelaku tidak perlu bersaing secara ketat untuk menangkap ikan sebanyak-
banyaknya. Kelemahan sistem ini memungkinkan para pemegang kuota
tidak mampu memanfaatkan kuota tersebut secara maksimal. Akibatnya ,
26
ada sejumlah potensi ikan yang ditangkap dan secara ekonomis merugikan
baik pemegang kuota sendiri maupun ekonomi keseluruhan.
3. Individual Transfer Quota (ITQ), merupakan perkembangan dari IQ
dimana kuota dapat dialihtangankan (transferable). ITQ dapat
diperdagangkan, disewa, dijual atau diberikan kepada pihak lain.
Perdagangan kuota tersebut berlangsung berdasarkan prinsip-prinsip
mekanisme pasar dengan memerhatikan variabel sediaan ikan. Perubahan
sediaan ikan tersebut sangat memengaruhi harga kuota ataupun harga ikan.
dalam kondisi sediaan ikan meningkat maka jumlah kuota akan meningkat
sehingga nilai kuota dengan sendirinya akan turun. Sebaliknya , ketika
sediaan ikan menurun makan jumlah kuota akan mengecil dan ini
mengakibatkan nilai atau harga kuota akan meningkat.
Selain itu, kuota akan mendorong terjadinya efesiensi kapital dan tenaga
kerja yang digunakan karena kuota memberikan hak kepemilikan spasial (partial
property rights) kepada nelayan. Namun demikian, penerapan kuota tidak akan
menjamin terjadinya peningkatan input pada perikanan. Fenomena capital stuffing
(penumpukan modal) yang terjadi pada beberapa perikanan di dunia yang
menerapkan kuota, membuktikan dugaan tersebut.
Selain memungkinkan terjadinya capital stuffing, Copes (1986) dalam
Fauzi (2006) secara terperinci menguraikan beberapa masalah potensial yang
memungkinkan timbul penerapan kuota. Masalah tersebut antara lain menyangkut
penentuan kuota, enforcement, highgrading. Kuota bisa saja ditentukan secara
lelang, atau dijual dengan harga tertentu, sehingga untuk menentukan cara yang
tepat akan menimbulkan biaya adminitrasi. Selain itu, high grading bisa timbul
karena pemiliki kuota akan mengisi kuotanya dengan ikan-ikan yang bernilai
ekonomis tinggi, sehingga bisa menimbulkan tangkapan sampingan yang pada
gilirannya akan menyulitkan pendugaan sediaan ikan.
2.10 Kebijakan Publik
Berbagai pakar mendefinisikan kebijakan publik dengan beragam. Hal ini
mencerminkan, bahwa kebijakan publik sulit untuk didefinisikan atau dirumuskan
27
(Wahab, 2012). Jenkins (1978) sebagaimana diacu dalam Wahab (2012)
mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu serangkaian yang paling berkaitan
yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor, berkenaan dengan
tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi.
Keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas
kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut. Sementara menurut Hogwood
dan Gun (1984), kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan
melalui kewenangan pemerintah yang legitimasi untuk mendorong, menghambat,
melarang atau mengatur tindakan pribadi (individu atau lembaga swasta).
Berdasarkan pengertian kebijakan publik di atas, bahwa semua pembuat
kebijakan publik senantiasa melibatkan pemerintah dengan cara tertentu. Hal ini
sebagaimana dikuatkan oleh Gerston (2002), bahwa semua pembuat kebijakan
public melibatkan pemerintah dalam berbagai cara.
Kebijakan publik memiliki dua ciri pokok, yaitu: (1) dibuat atau diproses
oleh lembaga pemerintahan atau berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh
pemerintah; dan (2) bersifat memaksa atau berpengaruh terhadap tindakan pribadi
masyarakat luas (Dun, 1998). Implikasi kebijakan publik sebagaimana dipaparkan
di atas, yaitu: (1) kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang sengaja
dilakukan dan mengarah pada tujuan tertentu daripada sekedar sebagai bentuk
perilaku atau tindakan menyimpang yang serba acak, asal-asalalan, dan serba
kebetulan; (2) kebijakan pada hakikatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang
saling berkait dan berpola, mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh
pejabat-pejabat pemerintah dan bukan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri;
(3) kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu; dan (4)
kebijakan publik mungkin berbentuk positif atau negative (Wahab, 2012).
Sementara itu, analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang
menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga memberi
landasan bagi pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan (Dunn 1998).
Analisis kebijakan dilakukan untuk menentukan alternatif kebijakan terbaik guna
mengatasi permasalahan atau untuk mencapai sejumlah tujuan yang diinginkan.
Hogwood dan Gunn (1984) membagi dua proses perumusan suatu
kebijakan, yaitu studi kebijakan dan analisis kebijakan. Studi kebijakan
28
dipergunakan untuk menggambarkan proses pengetahuan tentang suatu kebijakan
atau proses kebijakan itu sendiri. Di dalam studi kebijakan terdapat beberapa
aktivitas yaitu studi isi kebijakan dan studi evaluasi kebijakan (Gambar 5).
Sementara analisis kebijakan tidak hanya membatasi diri pada pengujian-
pengujian teori deskriptif umum maupun teori-teori ekonomi, karena masalah-
masalah kebijakan cukup kompleks. Oleh karena itu, teori-teori semacam ini
sering gagal untuk memberikan informasi yang memungkinkan para pengambil
keputusan mengendalikan dan memanipulasi proses kebijakan. Analisis kebijakan
juga menghasilkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan yang dapat
dimanfaatkan untuk memecahkan masalah. Selain itu, analisis kebijakan juga
menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik.
Dengan demikian, analisis kebijakan meliputi evaluasi maupun anjuran kebijakan.
Sumber: Hogwood dan Gunn 1984
Gambar 5 Bentuk Penyusunan Kebijakan Publik
2.11 Penelitian Terdahulu tentang RFMO dan WCPFC
Penelitian terdahulu terkait dengan RFMO dan WCPFC difokuskan pada
penelitian biologi, operasional penangkapan dan efektivitas pelaksanaan ketentuan
yang diatur dalam Konvensi dan langkah-langkah pengelolaan. Oleh karena itu,
dalam rangka mendapatkan informasi secara luas tentang kegiatan penangkapan
ikan di laut lepas, maka dilakukan penelusuran terhadap RFMO. Adapun beberapa
hasil penelusuran tersebut, yaitu:
29
1) Kebebasan di Laut Lepas
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa laut lepas memiliki asas-asas
kebebasan sebagaimana dituangkan dalam UNCLOS 1982. Namun demikian,
dalam perkembangannya, kebebasan tersebut tidak berlaku untuk kegiatan
penangkapan ikan. Hal ini sebagaimana dikuatkan oleh Hannesson (2011), yang
menyebutkan bahwa kebebasan di laut adalah konsep lama, karena yang masih
berlaku hanya kebebasan berlayar dan transportasi barang. Kebebasan di laut
lepas sebagaimana diatur oleh UNCLOS 1982 telah mengalami perubahan pasca
pemberlakuan UNIA 1995, sehingga penangkapan ikan di laut lepas yang tidak
mengindahkan aturan RFMO dapat dikenakan aturan sanksi illegal fishing.
2) Performance RFMO dan Efektivitas Pelaksanaan Konvensi WCPFC
Keberlanjutan sumberdaya ikan dalam suatu wilayah laut lepas tidak dapat
dilepaskan dari lembaga pengelola (RFMO). Bjørndal (2009) menyebutkan
kriteria performan NEAFC, yaitu: (1) Conservation and management of fisheries
resources; (2) Monitoring, control and enforcement; (3) Decision making and
dispute settlement procedures; (4) Co-operation; dan (5) NEAFC in a regional
and international context. Khusus untuk WCPFC, Hanich (2011) menyatakan
bahwa WCPFC telah gagal melaksanaan Konvensi dan langkah-langkah
pengelolaan yang telah ditetapkan untuk mencegah terjadinya overfishing bigeye
tuna.
3) Kajian tentang Hasil Tangkapan Sampingan
Permasalahan hasil tangkapan sampingan menjadi perhatian bersama
masyarakat internasional. Hal ini dikarenakan, penangkapan jenis ikan yang
beruaya jauh (highly migratory species) menyisakan permasalahan, yaitu
tertangkap hiu, burung laut, penyu dan mamalia laut (Levesque, 2008).
Kelemahan ICCAT adalah ketidakmampuan melakukan harmonisasi laporan
nasional, pelaksanaan dan koordinasi upaya serta, kepatuhan serta penegakan
hukum. Selain itu, adanya kesenjangan indikator performance ICCAT dalam hal
efektivitas tindakan sesuai dengan yang tercantum dalam Konvensi pembentukan
ICCAT (Levesque, 2008).
30
Herndon, et.al. (2010) menambahkan bahwa penurunan jumlah hiu selama
ini dikarenakan tidak adanya data informasi demografi secara lengkap.Dalam
rangka mengkaji hasil tangkapan sampingan, Waugh, et.al (2008) menyebutkan
pentingnya ecological resource assessment (ERA) melalui empat tahapan, yakni:
(a) establishing the context and problem formulation; (b) undertaking formal risk
assessment; (c) identification of risk and implementation of management
measures to address risks; dan (d) monitoring and review.
4) Akses Publik Terhadap Dokumen RFMO
Berdasarkan prinsip-prinsip transparansi yang terdapat dalam Konvensi
RFMO, maka para pemangku kepentingan perikanan memilki hak untuk
mendapatkan informasi dokumen ilmiah yang dimiliki RFMO. Hal ini
sebagaimana yang disebutkan oleh Polacheck (2012), bahwa publik memiliki
akses terhadap dokumen ilmiah yang digunakan RFMO dalam menetapkan setiap
keputusan. Ketersediaan data ilmiah merupakan salah satu syarat transparansi
RFMO sebagaimana diamanatkan oleh UNIA 1995, yang bertujuan untuk
pengambilan keputusan dan untuk promosi aktif publikasi dan diseminasi hasil
penelitian.
5) Program Observer di Laut Lepas
Dalam rangka pelaksanan pemantauan dan pengawasan di laut lepas, maka
setiap kapal ikan wajib menempatkan observer diatas kapalnya. Laporan Dickson
(2012) mengungkapkan bahwa program observer perikanan (Fisheries Observer
Program) yang dilaksanakan oleh BFAR yang bekerjasama dengan industri
perikanan mampu menciptakan kepatuhan pelaku usaha dalam pelaksanaan
tindakan konservasi dan pengelolaan laut lepas secara berkelanjutan.
6) Kajian Keanggotaan Indonesia pada WCPFC
Ariadno (2012) mengkaji WCPFC dalam perspektif hukum. Disebutkan
bahwa peraturan perundang-undangan Indonesia sudah sesuai dengan Konvensi,
meskipun perlu tambahan. Selain itu, penegakan hukum terhadap kapal perikanan
Indonesia belum efektif. Oleh karena itu, dalam rangka pemenuhan kewajiban
31
sesuai aturan WCPFC, maka perlu dilakukan pendampingan teknis untuk
mencapai kapasitas dan kemampuan pemerintah Indonesia.
Tab
el 4
. K
ajia
n l
iter
atur
RF
MO
dan
WC
PF
C 1
0 T
ahun T
erak
hir
Tah
un
P
enu
lis/
Pen
elit
i Ju
du
l Ju
rnal
Kes
imp
ula
n
2008
Juan
C. L
eves
que
Inte
rnati
onal
fish
erie
s agre
emen
t:
Rev
iew
of
the
Inte
rnati
on
al
Co
mm
issi
on f
or
the
Conse
rvati
on o
f
Atl
an
tic
Tunas
Case
stu
dy—
Shark
managem
ent
Mari
ne
Poli
cy 3
2
(2008)
528–533
I
CC
AT
ber
has
il m
engel
ola
beb
erap
a je
nis
spes
ies
ber
uaya
juah
(H
MS
), t
api
gag
al
dal
am m
engel
ola
hiu
, buru
ng l
aut,
pen
yu
dan
mam
alia
lau
t.
K
elem
ahan
IC
CA
T a
dal
ah
ket
idak
mam
puan
mel
aku
kan
har
monis
asi
lapora
n n
asio
nal
, k
etid
akm
ampuan
pel
aksa
naa
n d
an k
oord
inas
i upay
a se
rta,
kep
atuhan
ser
ta p
eneg
akan
hukum
A
dan
ya
kes
enja
ngan
indik
ator
per
form
an
ce I
CC
AT
dal
am h
al e
fekti
vit
as
tindak
an s
esuai
den
gan
yan
g t
erca
ntu
m
dal
am K
onven
si p
emben
tukan
IC
CA
T
2008
S.M
. W
augha,
G.B
.
Bak
er, R
. G
ales
, J.
P.
Cro
xal
l
CC
AM
LR
pro
cess
of
risk
ass
essm
ent
to m
inim
ise
the
effe
cts
of
longli
ne
fish
ing m
ort
ali
ty o
n s
eabir
ds
Mari
ne
Poli
cy 3
2
(2008)
442–454
e
mpat
tah
ap d
alam
eco
logic
al
reso
urc
e
asse
ssm
ent
(ER
A),
yai
tu:
(a)
esta
bli
shin
g
the
conte
xt a
nd p
roble
m f
orm
ula
tion;
(b)
under
taki
ng f
orm
al
risk
ass
essm
ent;
(c)
iden
tifica
tion o
f ri
sk a
nd i
mple
men
tati
on
of
managem
ent
mea
sure
s to
addre
ss r
isks
;
and (
d)
monit
ori
ng
and r
evie
w;
A
dopsi
pen
dek
atan
bis
a dil
akukan
untu
k
men
angan
i per
mas
alah
an b
uru
ng l
aut
dan
tangk
apan
sam
pai
ngan
lai
nn
ya.
32
T
ah
un
P
enu
lis/
Pen
elit
i Ju
du
l Ju
rnal
Kes
imp
ula
n
2009
Tro
nd B
jørn
dal
O
verv
iew
, ro
les,
and p
erfo
rmance
of
the
Nort
h E
ast
Atl
anti
c fish
erie
s
com
mis
sion (
NE
AF
C)
Mari
ne
Poli
cy 3
3
(2009)
685–697
K
rite
rian
per
form
ace
NE
AF
C,
yai
tu:
(1)
Conse
rvati
on a
nd m
anagem
ent
of
fish
erie
s
reso
urc
es;
(2)
Monit
ori
ng
, co
ntr
ol
and
enfo
rcem
ent;
(3
) D
ecis
ion m
aki
ng a
nd
dis
pu
te s
ettl
emen
t pro
ced
ure
s; (
4)
Co
-
oper
ati
on;
and (
5)
NE
AF
C i
n a
reg
ional
and i
nte
rnati
onal
conte
xt.
2010
Andre
w H
erndon,
Vin
cent
F. G
allu
cci,
Dougla
s D
eMas
ter,
Wil
liam
Burk
e
Th
e ca
se f
or
an i
nte
rnati
onal
com
mis
sion f
or
the
conse
rvati
on a
nd
managem
ent
of
shark
s (I
CC
MS)
Mari
ne
Poli
cy 3
4
(2010)
1239
–124
8
B
adan
inte
rnas
ional
tel
ah e
fekti
f
mew
uju
dkan
pen
gel
ola
an h
iu s
ecar
a
ber
kel
anju
tan
P
enuru
nan
jum
lah h
iu s
elam
a in
i
dik
aren
akan
tid
ak a
dan
ya d
ata
info
rmas
i
dem
ogra
fi s
ecar
a le
ngkap
.
K
etia
daa
n d
ata
sela
ma
ini
dif
asil
itas
i ole
h
bad
an i
nte
rnas
ion
al
2011
Rognval
dur
Han
nes
son
Rig
hts
base
d fi
shin
g o
n t
he
hig
h
sea
s: I
s it
poss
ible
?
Mari
ne
Poli
cy 3
5
(2011)
667–674
K
ebeb
asan
di
laut
adal
ah k
onse
p l
ama,
kar
ena
yan
g m
asih
ber
laku h
anya
keb
ebas
an b
erla
yar
dan
tra
nsp
ort
asi
bar
ang
K
ebeb
asan
di
laut
lepas
seb
agai
man
a
dia
tur
ole
h U
NC
LO
S 1
982 t
elah
men
gal
ami
per
ubah
an p
asca
pem
ber
lakuan
UN
IA 1
99
5.
P
enan
gk
apan
ikan
di
laut
lepas
ber
tenta
ngan
den
gan
atu
ran R
FM
O
33
Tah
un
P
enu
lis/
Pen
elit
i Ju
du
l Ju
rnal
Kes
imp
ula
n
P
ener
apan
rez
im b
erbas
is h
ak d
i la
ut
lepas
sangat
kec
il p
eluan
gn
ya.
Hal
ini
dik
aren
akan
, dis
yar
atk
an a
dan
ya
pem
bat
asan
jum
lah n
egar
a yan
g t
erli
bat
2011
Quen
tin H
anic
h
Inte
rest
and
Infl
uen
ce -
A S
napsh
ot
of
the
Wes
tern
and C
entr
al
Paci
fic
Tro
pic
al
Tuna F
isher
ies
Res
earc
h O
nli
ne
-
Aust
rali
an N
ati
onal
Cen
tre
for
Oce
an
Res
ourc
es a
nd
Sec
uri
ty
(AN
CO
RS
)
Univ
ersi
ty o
f
Woll
ongong
W
CP
FC
dia
nggap
gag
al m
ence
gah
terj
adin
ya
ove
rfis
hin
g d
an m
engura
ngi
pen
angkap
an b
aby
tuna
.
K
eber
has
ilan
pel
aksa
naa
n u
pay
a
konse
rvas
i dan
pen
gel
ola
an p
ada
WC
PF
C
sangat
dip
engar
uhi
kep
enti
ngan
set
iap
neg
ara.
P
erlu
pen
guat
an p
eran
po
liti
k W
CP
FC
untu
k p
enyei
mb
angan
kep
enti
ngan
neg
ara
anggota
ses
uai
den
gan
pri
nsi
p-p
rinsi
p
hukum
inte
rnas
ional
yan
g t
erk
ait
den
gan
konse
rvas
i dan
pem
ban
gunan
ber
kel
anju
tan.
2012
Mar
tin A
rand
a,
Hil
ario
Mu
rua,
dan
Pau
l de
Bru
yn
Ma
nagin
g fi
shin
g c
apaci
ty i
n t
una
reg
ional
fish
erie
s m
anagem
ent
org
anis
ati
ons
(RF
MO
s):
Dev
elopm
ent
and s
tate
of
the
art
Mari
ne
Poli
cy. 36
(2012)
985–992
J
urn
al i
ni
men
gkaj
i pra
kti
k-p
rakti
k
pen
gel
ola
an k
apas
itas
per
ikan
an d
i 4
RF
MO
, yai
tu:
Inte
r A
mer
ican
Tro
pic
alT
una C
om
mis
sion (
IAT
TC
),
Inte
rnati
onal
Com
mis
sion f
or
the
Conse
rvati
on o
f A
tlanti
c T
una
(IC
CA
T),
India
n O
cean T
una C
om
mis
sion
(IO
TC
)
dan
W
este
rn a
nd C
entr
al
Paci
fic
34
T
ah
un
P
enu
lis/
Pen
elit
i Ju
du
l Ju
rnal
Kes
imp
ula
n
Com
mis
sion
(W
CP
FC
).
P
erbed
aan p
enger
tian
fis
hin
g c
apaci
ty
dal
am k
onven
si p
emben
tukan
kee
mpat
RF
MO
F
ishin
g c
apaci
ty l
ebih
kom
ple
ks
dar
i
pem
bat
asan
jum
lah k
apal
, kar
ena
adan
ya
fakto
r ef
isie
nsi
tek
nis
dan
kap
asit
as
tangk
apan
R
egio
nal
Ves
sel
Reg
iste
rs (
RV
Rs)
sekar
ang d
igun
akan
untu
k m
embat
asi
tipe
dan
pan
jan
g k
apal
, khusu
snya
kap
al p
urs
e
sein
e.
R
FM
O d
ihad
apkan
pad
a ta
nta
ngan
aspir
asi
neg
ara
ber
kem
ban
gan
dal
am
mem
ban
gun i
ndust
ri p
erik
anan
tunan
ya.
P
engel
ola
an b
erb
asis
hak
dal
am d
unia
per
ikan
an t
una,
mas
ih m
enja
di
per
deb
atan
inte
rnas
ional
2012
Tom
Pola
chec
k
Poli
tics
and i
ndep
enden
t sc
ienti
fic
advi
ce i
n R
FM
O p
roce
sses
: A
case
study
of
cross
ing b
oundari
es
Mari
ne
Poli
cy. 36
(2012)
132–141.
A
kse
s publi
k t
erhad
ap d
okum
en i
lmia
h
yan
g d
igun
akan
RF
MO
dal
am
men
etap
kan
set
iap k
eputu
san.
K
eter
sedia
an d
ata
ilm
iah m
erupak
an s
alah
satu
syar
at t
ransp
aran
si R
FM
O
sebag
aim
ana
dia
man
atkan
ole
h U
NIA
1995,
yan
g b
ertu
juan
untu
k p
engam
bil
an
kep
utu
san
dan
untu
k p
rom
osi
akti
f
35
Tah
un
P
enu
lis/
Pen
elit
i Ju
du
l Ju
rnal
Kes
imp
ula
n
publi
kas
i dan
dis
emin
asi
has
il p
enel
itia
n
2012
Dic
kso
n, A
. C
. D
FT
,
M. D
emoos,
W. S
. de
la C
ruz,
I.
Tan
angonan
, J.
O.
Dic
kso
n, D
FT
and R
.
V. R
amis
cal
Analy
sis
of
Purs
e Sei
ne/
Rin
g N
et
Fis
hin
g O
per
ati
ons
in P
hil
ippin
e
EE
Z
Pap
er p
rep
ared
for
the
Sci
enti
fic
Com
mit
tee
Eig
hth
Reg
ula
r S
essi
on,
7-1
5 A
ugust
20
12
Busa
n, R
epubli
c of
Kore
a
P
engura
ngan
ked
alam
an j
arin
g t
idak
han
ya
men
uru
nk
an t
angk
apan
big
eye
tuna
,
teta
pi
juga
yell
ow
fin t
una
dan
ski
pja
ck.
P
rogra
m o
bse
rver
per
ikan
an (
Fis
her
ies
Obse
rver
Pro
gra
m)
mel
apork
an b
ahw
a
ker
jasa
ma
yan
g b
aik a
nta
ra B
FA
R d
an
indust
ri p
erik
anan
untu
k m
engk
aji
dan
mel
aksa
nak
an a
tura
n d
an k
epat
uhan
ses
uai
per
janji
an t
erk
ait
den
gan
tin
dak
an
pen
gel
ola
an d
an k
onse
rvas
i
2012
Mel
da
Kam
il
Ari
adno
Rev
iew
of
Poli
cy a
nd L
egal
Arr
angem
ents
of
WC
PF
C
Rel
ate
d M
att
ers
and C
hec
klis
t of
Co
mpli
ance
Sh
ort
fall
s
Indon
esia
pap
er
poli
cy f
or
WC
PF
C,
Novem
ber
2012
P
erat
ura
n p
erundan
g-u
nd
angan
Indones
ia
sudah
ses
uai
den
gan
Kon
ven
si, m
eskip
un
per
lu t
ambah
an
P
eneg
akan
hukum
ter
had
ap k
apal
per
ikan
an I
ndones
ia b
elu
m e
fekti
f
D
alam
ran
gk
a pem
enuh
an k
ewaj
iban
sesu
ai a
tura
n W
CP
FC
, m
aka
per
lu
dil
akukan
pen
dam
pin
gan
tek
nis
untu
k
men
capai
kap
asit
as d
an k
emam
puan
pem
erin
tah I
ndon
esia
.
A
tura
n W
CP
FC
akan
men
gik
at s
ecar
a
efek
tif,
ap
abil
a In
dones
ia m
elak
ukan
rati
fikas
i.
36
37
2.12 Novelty (Kebaruan)
Penelitian terdahulu sebagaimana disajikan pada Tabel 4 mengkaji RFMO
dalam aspek kelembagaan. Sementara kajian khusus WCPFC baru dilaksanakan
alam konteks analisa peraturan perundang-undangan menggunakan yuridis
comparative. Dengan demikian, dampak lanjutan berupa besaran dampak yang
ditimbulkan dari Konvensi WCPFC belum dikaji secara lebih mendalam.
Penelitian ini menawarkan kebaruan dalam beberapa aspek, yaitu:
1) Formulasi strategi, yang perlu dilakukan secara sinergis dan komprehensif.
Seperangkat strategi ini diharapkan dapat diimplementasikan oleh pemerintah
Indonesia, yang dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan dan
Kementerian Luar Negeri. Dengan demikian, kebaharuan kedua dalam
penelitian ini adalah rumusan strategi utuh dan menyeluruh dalam
menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi diplomasi Indonesia di wilayah
WCPFC.
2) Kajian implikasi. Ratifikasi adalah salah satu pengikatan diri suatu negara
terhadap suatu hukum internasional sesuai asas pacta sunt servanda. Oleh
karena itu, penelitian ini diharapkan menjadi panduan Indonesia dalam
bersikap untuk menjadi anggota atau CNM. Dengan demikian, kebaharuan
ketiga dalam penelitian ini adalah analisis implikasi persiapan ratifikasi
Indonesia terhadap Konvensi WCPFC, khususnya analisa terhadap larangan
penangkapan baby tuna (yellowfin dan big eye).
38
39
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, Kota
Bitung, Provinsi Sulawesi Utara. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive
sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian. Pertimbangannya adalah Bitung
salah satu basis nelayan yang melakukan penangkapan ikan di ZEEI Laut
Sulawesi dan Samudera Pasifik yang dikelola oleh WCPFC. Penelitian
dilaksanakan pada sepanjang tahun 2012 meliputi tahap persiapan, pengambilan
data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan disertasi serta konsultasi.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan penelitian
survei, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan
menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data utama. Menurut Durianto,
et. al. (2001), penelitian survei adalah metode penelitian deskriptif yaitu metode
penelitian untuk membuat gambaran suatu kejadian. Metode survei dilakukan bila
data yang dicari sebenarnya sudah ada di lapangan atau obyek penelitiannya telah
jelas. Data yang digunakan, yaitu:
1) Data Primer.
Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan mengenai
karakteristik nelayan purse seine yang melakukan penangkapan baby tuna di
Bitung. Data primer yang digunakan berupa pemberian kuesioner kepada subyek
penelitian dengan wawancara secara intensif dan mendalam (in-depth interview).
2) Data Sekunder.
Data sekunder diperoleh publikasi Komisi WCPFC dan instansi terkait,
seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bitung, Pelabuhan Perikanan
Samudera (PPS) Bitung, Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan Bitung, dan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Data sekunder
yang digunakan berupa Laporan Tahunan dan Basis Data Komisi WCPFC,
Laporan Tahunan Kementerian Kelautan dan Perikanan dan data penunjang
lainnya, laporan tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bitung, Laporan
40
Tahunan Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung dan Laporanan Tahunan Satuan
Kerja Pengawas Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.
Data atau informasi yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dengan
menggunakan metode triangulasi, yaitu penggunaan berbagai metode yang saling
melengkapi (Mulyana, 2001). Menurut Sitorus (1998) triangulasi dapat diartikan
sebagai "kombinasi sumber data" yang memadukan sedikitnya tiga metode,
seperti pengamatan, wawancara dan analisis dokumen. Pengamatan dilakukan
secara langsung di lapangan, sedangkan wawancara yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah wawancara mendalam (Mulyana, 2001). Wawancara
mendalam atau wawancara tak berstruktur adalah metode yang selaras dengan
perspektif interaksionisme simbolik, karena hal tersebut memungkinkan pihak
yang diwawancara untuk mendefinisikan dirinya sendiri dan lingkungannya,
untuk menggunakan istilah-istilah mereka sendiri mengenai fenomena yang
diteliti, tidak sekedar menjawab pertanyaan. Sementara analisis dokumen
dilakukan dengan cara mendalami berbagai informasi penting seperti literatur dan
teori organisasi pengelolaan perikanan regional yang berkaitan dengan dasar
hukum serta dampak yang ditimbulkan dari suatu ratifikasi. Kelebihan metode
triangulasi ini adalah saling menutupi kelemahan antara satu metode dengan
metode lainnya, sehingga hasil yang diharapkan dari realitas sosial masyarakat
menjadi lebih valid.
3.3 Metode Pengambilan Sampel
Populasi penelitian ini adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap
purse seine yang mendaratkan ikan di PPS Bitung. Pemilihan responden nelayan
purse seine didasarkan pada penangkapan baby tuna dilakukan menggunakan alat
tangkap purse seine. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan metode sensus
terhadap nelayan purse seine yang melakukan penangkapan ikan di wilayah
WCPFC dan melakukan pendaratan ikan di PPS Bitung. Berdasarkan data yang
diperoleh dari PPS Bitung, armada tangkap purse seine yang melakukan
penangkapan ikan di WCPFC dan mendaratkan ikan di PPS Bitung sebanyak 15
unit. Teknik sensus digunakan karena jumlah populasi yang menjadi responden
dapat dijangkau untuk dilakukan wawancara.
41
3.4 Metode Analisis Data
Ada tiga analisis pokok yang akan dilakukan dalam penelitian ini, yaitu
analisis hukum, analisis AWOT dan analisis willingness to accept (WTA).
Masing-masing metode analisis dijabarkan sebagai berikut.
3.4.1 Analisis Peraturan Perundang-Undangan
Analisis peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah analisis
yuridis normatif dan analisis yuridis komparatif. Pendekatan analisis yuridis
normatif dilakukan untuk mengetahui atau mengenal pengaturan hukum
internasional dan hukum nasional dalam mengatur pengelolaan perikanan yang
beruaya terbatas dan beruaya jauh di laut lepas, seperti UNCLOS 1982, FAO
Compliance Agreement 1993, UNFSA 1995, dan sumber hukum lain seperti Code
of Conduct for Responsible Fisheries 1995 dan IPOA on IUU Fishing 2001, serta
peraturan perundang-undangan nasional yang berhubungan dengan pengelolaan
perikanan, seperti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia, Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut), Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996
tentang Perairan Indonesia, dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan sebagaimana telah diubah melalui Undang-undang Nomor 45 Tahun
2009 serta beberapa peraturan pelaksananya seperti peraturan pemerintah dan
keputusan/peraturan menteri. Pengaturan yang terkait dengan pengelolaan
perikanan regional dapat dilihat pada Tabel 5.
Sementara pendekatan analisis yuridis komparatif digunakan untuk
melakukan perbandingan antara ketentuan-ketentuan hukum internasional dan
peraturan perundang-undangan nasional untuk melihat persamaan dan perbedaan
dalam pengaturan pengelolaan perikanan yang beruaya terbatas dan beruaya jauh
di laut lepas.
42
Tabel 5 Pengaturan yang Terkait dengan Pengelolaan Perikanan Regional
No Peraturan Keterangan
Hukum dan Ketentuan Internasional
1. 1 United Nations
Convention on the Law
of the Sea 1982
Membahas masalah pengelolaan perikanan di ZEE dan Laut
Lepas
2. Agreement to Promote
Compliance with
International
Conservation and
Management Measures
by Fishing Vessels on the
High Seas, 1993.
Persetujuan ini berlaku untuk semua kapal perikanan dengan
maksud untuk meningkatkan penaatan kapal-kapal perikanan
terhadap ketentuan-ketentuan konservasi sumber-sumber
perikanan di laut lepas.
3. United Nations
Implementing
Agreement/UNIA) 1995
Membahas masalah konservasi dan pengelolaan jenis-jenis
ikan yang beruaya terbatas dan jenis-jenis ikan yang beruaya
jauh.
4. Tata Laksana Perikanan
Yang Bertanggung
Jawab (Code of Conduct
for Responsible
Fisheries) 1995
Merupakan penjabaran secara terperinci untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam UNIA 1995.
5. International Plan of
Action on IUU Fishing
2001
Merupakan penjabaran secara terperinci untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam CCRF 1995,
khususnya terkait pemberantasan IUU Fishing.
Konvensi dan WCPFC
6. Konvensi WCPFC Mengatur keanggotaan , meliputi hak dan kewajiban negara
anggota, Negara bendera kapal, dan Contracting Non-Member
7. C Conservation and
Management Measures
Mengatur pelaksanaan lebih lanjut ketentuan yang tertuang
dalam Konvensi WCPFC
8. Resolusi Aturan teknis yang ditetapkan oleh WCPFC
Undang-Undang Peraturan Nasional
9. UU No. 31 Tahun 2004
tentang Perikanan
sebagaimana diubah
dengan UU No. 45
Tahun 2009
mengamanatkan Pemerintah ikut serta secara aktif dalam
keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan
internasional dalam rangka kerja sama pengelolaan
perikanan regional dan internasional
10. UU No. 17 tahun 2008
tentang Pelayaran
Mengatur kapal dan persyaratan pelayaran
11. UU No. 21 Tahun 2009 Mengesahkan Agreement for the Implementation of the
Provisions of the United Nations Convention on the Law of
the Sea of 10 December 1982 Relating to the Conservation
and Management of Straddling Fish Stocks and Highly
Migratory Fish Stocks
12. PP No. 51 Tahun 2002
tentang Perkapalan
Mengatur Negara bendera kapal dan persyaratan pelayaran
kapal
13. PP No. 30 Tahun 2008
tentang
Penyelenggaraan
Penelitian Dan
Pengembangan
Perikanan
Mengatur kegiatan penelitian perikanan di wilayah hukum
Indonesia
14. PP No. 61 Tahun 2009
tentang Kepelabuhan
Mengatur kegiatan di pelabuhan dalam rangka pelaksanaan
fungsi pemerintahan dan pengusahaan
43
No Peraturan Keterangan
15. Permen KP No.
Per.05/Men/2007
tentang Penyelenggaraan
Sistem Pemantauan
Kapal Perikanan
Mengamanatkan kewajiban penggunaan transmitter atau
Vessel Monitoring System (VMS)
16. Permen KP No.
Per.01/Men/2009
tentang Wilayah
Pengelolan Perikanan
Republik Indonesia
Mengatur pembagian wilayah pengelolaan perikanan RI
menjadi 11 bagian
17. Permen KP No.
Per.18/Men/2010
tentang Logbook
Penangkapan Ikan
Mengatur kewajiban pelaksanaan logbook penangkapan ikan
dalam, setiap kegiatan pemanfaatan perikanan
18. Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan
No Per.02/Men/2011
tentang Jalur
Penangkapan Ikan dan
Penempatan Alat
Penangkapan Ikan dan
Alat Bantu Penangkapan
Ikan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan
Negara Republik
Indonesia sebagaimana
diubah dengan Permen
KP No. Per.05/Men/2012
Mengatur penggunaan alat tangkap dan alat bantu
penangkapan ikan berdasarkan ukuran GT dan wilayah
pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia
19. Kepmen KP No.
Kep.45/Men/2011
tentang Estimasi Potensi
Sumber Daya Ikan di
Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara
Republik Indonesia
Menetapkan estimasi potensi perikanan dan status perikanan
Indonesia
20. Permen KP No.
Per.08/Men/2012 tentang
Kepelabuhanan
Perikanan
Mengatur kegiatan pelabuhan perikanan, khususnya dalam
pelaksanaan fungsi pemerintahan dalam menekan praktik-
praktik IUU Fishing
21. Permen KP No.
Per.12/Men/2012 tentang
Usaha Perikanan
Tangkap di Laut Lepas
Mengatur kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh
kapal perikanan berbendera Indonesia di laut lepas
22. Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan
No. Per.30/Men2012
tentang Usaha Perikanan
Tangkap di Wilayah
Pengelolaan Perikanan
Negara Republik
Indonesia
Mengatur kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh
kapal perikanan berbendera Indonesia di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia
44
3.4.2 Willingness to Accept (WTA)
Setelah survey dilaksanakan, tahap berikut adalahnya menghitung nilai
rataan dari WTA untuk setiap responden. Perhitungan ini didasarkan pada nilai
mean rataan. Nilai rataan dapat diperoleh dari hasil perhitungan yang mengacu
pada FAO (2000) yang diacu oleh Adrianto (2006), yaitu:
∑
Analisis berikutnya adalah pendugaan kurva penawaran akan dilakukan
menggunakan persamaan berikut ini:
WTA : f (Umur, Pendidikan, Pendapatan, Lingkungan, Pengetahuan,
Kepentingan, Persetujuan, Pemanfaatan, Aturan, Perdagangan,
Dampak) Keterangan:
WTA : Nilai WTA Responden
Umur : Umur responden (tahun)
Pendidikan : Tingkat pendidikan (sekolah)
Pendapatan : Tingkat pendapatan (Rp/Bulan)
Lingkungan : Pengetahuan terhadap kondisi perikanan dan ekosistemnya
Pengetahuan : Tingkat pengetahuan terhadap hokum
Kepentingan : Tingkat kepentingan terhadap sumberdaya ikan
Persetujuan : Persepsi persetujuan terhadap ratifikasi Konvensi WCPFC
Pemanfaatan : Tingkat pemanfaatan terhadap baby tuna di wilayah WCPFC
Aturan : Tingkat pengetahuan terhadap aturan pemanfaatan Konvensi WCPFC
Perdagangan : Tingkat pengetahuan responden terhadap aturan perdagangan
Dampak : Persepsi responden terhadap perkembangan aturan yang mengakibatkan
larangan perdagangan
3.4.3 Analisis AWOT
Analisis kebijakan yang digunakan dalam penelitian adalah AHP dan
SWOT, kedua analisis tersebut akan diuraikan dibawah ini.
3.4.3.1 Analisis SWOT
Analisa SWOT adalah suatu metode perencanaan strategis yang digunakan
untuk mengevaluasi faktor-faktor yang menjadi kekuatan (Strengths), Kelemahan
(Weaknesses), Peluang (Opportunities), dan Ancaman (Threats) yang mungkin
terjadi dalam mencapai suatu tujuan dari kegiatan proyek/kegiatan usaha atau
institusi/lembaga dalam skala yang lebih luas. Untuk keperluan tersebut
diperlukan kajian dari aspek lingkungan baik yang berasal dari lingkungan
internal maupun eskternal yang memengaruhi pola strategi institusi/lembaga
dalam mencapai tujuan.
45
Analisis SWOT merupakan bagian dari proses perencanaan. Hal utama
yang ditekankan adalah bahwa dalam proses perencanaan tersebut, suatu institusi
membutuhkan penilaian mengenai kondisi saat ini dan gambaran ke depan yang
memengaruhi proses pencapaian tujuan institusi. Dengan analisa SWOT akan
didapatkan karakteristik dari kekuatan utama, kekuatan tambahan, faktor netral,
kelemahan utama dan kelemahan tambahan berdasarkan analisa lingkungan
internal dan eksternal yang dilakukan. Dari analisa tersebut potensi dari suatu
institusi untuk bisa maju dan berkembang dipengaruhi oleh : bagaimana institusi
memanfaatkan pengaruh dari luar sebagai kekuatan tambahan serta pengaruh
lokal dari dalam yang bisa lebih dimaksimalkan.
Terdapat beberapa metodologi dalam penyusunan SWOT. Johnson dan
Scholes menjelaskan bahwa dalam penyusunan SWOT terdapat empat langkah
utama yang harus dilakukan, yaitu
1) Mengidentifikasi existing strategy yang telah ada dalam institusi sebelumnya.
Strategi ini bisa jadi bukan merupakan strategi yang disusun berdasarkan
kebutuhan institusi menghadapi gejala perubahan lingkungan eskternal yang
ada melainkan merupakan strategi turunan yang telah ada sejak lama dipegang
institusi.
2) Mengidentifikasi perubahan-perubahan lingkungan yang dihadapi institusi dan
masih mungkin terjadi di masa mendatang.
3) Membuat cross tabulation antara strategi yang ada saat ini dengan perubahan
lingkungan yang ada.
4) Menentukan katagorisasi kekuatan dan kelemahan berdasarkan penilaian
apakah strategi yang saat ini ada masih sesuai dengan perubahan lingkungan
di masa mendatang : Jika masih sesuai strategi tersebut menjadi
kekuatan/peluang, dan sudah tidak sesuai merupakan kelemahan.
Penentuan kebijakan alternatif dianalisis menggunakan SWOT. Tahap
pertama dalam analisis ini adalah pembuatan tabel internal (kekuatan dan
kelemahan) dan eksternal (ancaman dan peluang) yang memengaruhi
pengembangan perikanan tangkap. Faktor-faktor yang akan diisi pada tabel
46
internal dan eksternal didasarkan pada kondisi sebenarnya yang diupayakan
sekuantitatif mungkin (Tabel 6).
Tabel 6 Faktor Internal dan Eksternal
Faktor internal Faktor Eksternal
Kekuatan
............
............
Ancaman
............
............
Kelemahan
............
............
Peluang
.............
.............
Sumber : Rangkuti (2005)
Tahap kedua yaitu pembuatan matriks Faktor Strategi Internal (IFAS) dan
eksternal (EFAS). Pembuatan matriks dilakukan sebagai berikut ( Rangkuti 2005):
1) Pada kolom satu diisi dengan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan
kelemahan (matriks internal) serta peluang dan ancaman (matriks eksternal);
2) Beri bobot pada masing-masing faktor pada kolom dua, dimulai dari 0,0 ( t
tidak penting) hingga 1,0 (sangat penting) bobot ditentukan berdasarkan
penilaian antara faktor horizontal dan vertikal beri nilai satu apabila faktor
vertikal lebih besar pengaruhnya dari faktor horizontal, beri nilai dua apabila
faktor horizontal dan vertikal memberikan pengaruh yang seimbang dan beri
nilai tiga bila faktor horizontal memberikan pengaruh lebih besar dari faktor
vertikal;
3) Pada kolom tiga diisi rating dari masing-masing faktor, dimulai dari empat
(pengaruhnya sangat besar) sampai satu (pengaruhnya sangat kecil). Untuk
ancaman dan kelemahan adalah sebaliknya. Apabila ancaman dan kelemahan
sangat besar, maka diberi nilai satu sedangkan apabila ancaman dan
kelemahannya sangat kecil maka nilainya empat ;
4) Pada kolom empat diisi perkalian antara bobot dengan rating;
5) Jumlahkan total skor yang didapatkan dari kolom empat.
47
Nilai total tersebut menunjukkan bagaimana reaksi suatu organisasi atau
instansi terhadap faktor internal dan eksternal. Perhitungan nilai dimulai dari satu
hingga empat. Kriteria nilai adalah sebagai berikut:
1) Penentuan kebijakan yang akan diambil sangat sulit dilakukan karena faktor
internal dan eksternal sangat tidak mendukung;
2) Penentuan kebijakan sulit dilakukakan karena masih banyak faktor yang
belum mendukung dalam penentuan kebijakan;
3) Penentuan kebijakan lebih mudah dilakukan karena banyaknya faktor
pendukung dalam penentuan kebijakan meskipun masih ada beberapa faktor
yang kurang mendukung;
4) Penentuan kebijakan sangat baik untuk dilakukan karena faktor internal dan
eksternal sangat mendukung dalam pengambilan keputusan untuk
menentukan kebijakan yang akan diambil.
Tabel 7 Faktor Strategi Internal (IFAS)
Faktor Internal Bobot Rating Bobot x Rating
1. Kekuatan (hal 30,point 2
IFAS)
(hal 31, point
3 IFAS)
(perkalian antara
bobot dengan rating)
.............
.............
2. Kelemahan
.............
.............
Sumber: Rangkuti (2005)
Tabel 8 Faktor Strategi Eksternal (EFAS)
Faktor Eksternal Bobot Rating Bobot x Rating
1. Peluang (misal: 0,1) (misal: 4) (misal: 0,1x4 =
0,4)
.............
.............
2. Ancaman
.............
.............
Sumber : Rangkuti (2005)
48
Faktor-faktor yang dimasukkan dalam matriks IFE dan EFE, jumlah nilai
terbobot dapat berkisar antara 1,0 yang terendah hingga 4,0 yang tertinggi dan 2,5
sebagai rata-rata. Total nilai terbobot yang jauh di bawah 2,5 merupakan ciri
organisasi yang lemah secara internal. Sedangkan jumlah yang jauh di atas 2,5
menunjukkan posisi organisasi kuat secara internal. Tahap ketiga adalah analisis
data yang dilakukan dengan pembuatan tabel strategi SWOT.
Tabel 9 Tabel SWOT
IFAS
EFAS
Strengths (S)
..................
.................
Weaknesses (W)
..................
...................
Oportunities (O)
...............
..............
Strategi SO
(Strategi yang
menggunakan kekuatan
untuk memanfaatkan
peluang)
Strategi WO
(Srategi yang
meminimalkan
kelemahan untuk
memanfaatkan peluang)
Threats (T)
.................
.................
Strategi ST
(Strategi yang
menggunakan kekuatan
untuk mengatasi
ancaman)
Strategi WT
(Strategi yang
meminimalkan
kelemahan untuk
menghindari ancaman)
Sumber: Rangkuti (2005)
Strategi-strategi yang dihasilkan merupakan suatu langkah yang dapat
dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan
terbaik yang dapat dilaksanakan. Matriks internal-eksternal (IE) didasarkan pada
dua dimensi kunci, yaitu total nilai IFE dan EFE yang diberi bobot. Sumbu X
adalah total nilai IFE yang diberi bobot dan sumbu Y adalah total nilai EFE yang
diberi bobot. Matriks IE dapat dibagi menjadi tiga bagian utama yang mempunyai
dampak strategi yang berbeda, yaitu :
1) Divisi yang masuk dalam sel I, II dan IV merupakan kondisi tumbuh dan
membangun. Strategi yang digunakan adalah strategi intensif (penetrasi pasar,
pengembangan pasar, dan pengembangan produk) atau strategi integratif
(integrasi kedepan, integrasi kebelakang dan integrasi horizontal).
49
Sumber : David (2003)
Gambar 6 Matriks internal-eksternal (IE)
2) Divisi yang masuk dalam sel III, V dan VII merupakan strategi pertahankan
dan pelihara. Strategi yang banyak digunakan adalah penetrasi pasar dan
pengembangan produk.
3) Divisi yang masuk dalam sel VI, VIII dan IX merupakan kondisi yang tidak
menguntungkan. Strategi yang digunakan adalah strategi defensif (divestasi
dan likuidasi).
3.4.3.2 Analytical Hierarchy Process (AHP)
Dalam rangka menyusun strategi kebijakan Indonesia di WCPFC,
berdasarkan faktor internal dan eksternal yang mempunyai nilai pengaruh penting,
serta mempertimbangkan preferensi dari aktor yang terlibat, perlu dilakukan
analisis AWOT yang merupakan integrasi antara analisis SWOT dan Analytical
Hierarchy Process (AHP) atau Proses Hirarki Analitik (PHA).
AHP merupakan teknik pengambilan keputusan yang pertama kali
dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang professor di Whartson School of
Business pada tahun 1970–an. AHP pada dasarnya didesain untuk menangkap
secara rasional persepsi orang yang berhubungan erat dengan permasalahan
tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu kala preferensi
I
IV
VII
II
V
VIII
III
VI
IX
Kuat
3.0-4.0
Rata-rata
2.0-2.99 Lemah
1.0-1.99
Tinggi
3.0-4.0
Sedang
2.0-2.99
Rendah
1.0-1.99
Tota
l nil
ai E
FE
yan
g d
iber
i bobot
Total nilai IFE yang diberi bobot
50
diantara berbagai alternatif. AHP banyak digunakan pada keputusan untuk
banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas dari
strategi-strategi yang dimiliki pemain dalam situasi konflik.
AHP merupakan proses pengambilan keputusan dengan pendekatan
sistem. Pada penyelesaian persoalan dengan AHP terdapat beberapa prinsip dasar
yang harus dipahami antara lain:
a. Dekomposisi, setelah permasalahan atau persoalan didefinisikan, maka perlu
dilakukan dekomposisi yaitu memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-
unsurnya. Untuk mendapatkan hasil yang hasil yang akurat, maka dilakukan
pemecahan terhadap unsur-unsur tersebut sampai tidak dapat dipecah lagi,
sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan tersebut.
b. Comparative Judgement, yaitu membuat penilaian tentang kepentingan relatif
diantara dua elemen pada suatu tingkatan tertentu dalam kaitannya dengan
tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari PHA karena akan
berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen yang disajikan dalam bentuk
matriks pairwise comparison.
c. Synthesis of Priorrity, yaitu melakukan sintesis prioritas atau mencari nilai
eigenvektor-nya dari setiap matrik pairwise comparison untuk mendapatkan
prioritas lokal. Matrik pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, oleh
karena itu untuk mendapatkan prioritas global harus dilakukan sintesis
diantara prioritas lokal.
d. Logical Consistency, konsistensi memiliki dua makna, yaitu (1) obyek-obyak
yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan
relevansinya. (2) tingkat hubungan antara obyek-obyek didasarkan pada
kriteria tertentu.
Berdasarkan pada prinsip-prinsip di atas, beberapa keuntungan
menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah sebagai berikut: (Saaty, 1993)
a. AHP memberi model tunggal yang mudah dimengerti dan luwes untuk
beragam persoalan yang tidak terstruktur.
b. AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem
dalam memecahkan persoalan komplek.
51
c. AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu
sistem dan tidak memaksakan penilaian linier.
d. AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah
elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan
mengelompokkan unsur serupa dalam setiap tingkat.
e. AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk
mendapatkan prioritas.
f. AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang
digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.
g. AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap
alternatif.
h. AHP mempertimbangkan prioritas raltif dari berbagai faktor sistem dan
memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan
mereka.
i. AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis hasil yang representatif
dari penilaian yang berbeda-beda.
j. AHP memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu
persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui
pengulangan.
Tahapan analisis dalam penentuan prioritas strataegi kebijakan dengan
metode AWOT sebagai berikut :
a. Penyusunan model strategi kebijakan di WCPFC secara terintegrasi.
Penyusunan model strategi kebijakan geopolitik ditujukan untuk
menyederhanakan kompleksitas permasalahan pengelolaan perikanan di laut
lepas yang dihadapi sehingga dapat dianalisis secara sistematis. Model ini
disusun dengan cara membuat struktur hierarki permasalahan yang terdiri
dari lima tingkatan seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Dalam hal ini, model
strategi kebijakan geopolitik disusun berdasarkan hasil analisis SWOT dan
pertimbangan dari pakar yang kompeten.
b. Penentuan tingkat kepentingan relatif antar elemen model. Tingkat
kepentingan relatif dari elemen-elemen model kebijakan ditentukan melalui
52
perbandingan berpasangan (painwise comparison). Pada masing-masing
tingkatan hierarki, responden (pakar terpilih) diminta untuk membandingkan
tingkat kepentingan relatif antara satu elemen terhadap elemen lainnya.
c. Penentuan prioritas dari alternatif-alternatif program. Untuk menentukan
prioritas dari alternatif-alternatif program, bobot kepentingan dari masing-
masing elemen model pada setiap tingkatan hierarki digabungkan dengan
cara penjumlahan terboboti (weighted summation). Dalam penelitian ini,
proses tersebut dilakukan dengan bantuan perangkat lunak ExpertChoice.
Hasil akhir yang diperoleh adalah bobot kepentingan yang menunjukkan
prioritas dari alternatif-alternatif program yang dianalisis.
Gambar 7 Struktur Hirarki dengan Metode Analisis AWOT
53
4 GAMBARAN UMUM WCPFC
4.1 Sejarah Pembentukan WCPC
4.1.1 Pra Pembentukan WCPC
Sebelum WCPFC terbentuk, kerjasama perikanan tuna antara negara-
negara kepulauan di Samudera Pasifik berdasarkan pendekatan kolektif dengan
membentuk beberapa kelembagaan, salah satu diantaranya adalah Forum
Fisheries Agency (FFA) yang berpusat di Honiara Kepulauan Salomon. FFA
berdiri pada tahun 1979, dibentuk oleh negara-negara merdeka di Kepulauan
Pasifik, Australia dan Selandia Baru. Pembentukan FFA didasarkan pada
tantangan dan perkembangan hak pengelolaan perikanan di Zona Ekonomi
Ekslusif, sedangkan negara-negara kepulauan di Samudera Pasifik tidak memiliki
kapasitas yang memadai. Namun pada saat bersamaan terjadinya perluasan
operasional penangkapan ikan kelompok distant water fishing nations (DWFNs)
ke Samudera Pasifik.
Pembentukan FFA bertujuan untuk membantu dan melindungi
kepentingan negara-negara kepulauan di Samudera Pasifik dalam pengelolaan
perikanan berkelanjutan dan memaksimalkan keuntungan ekonomi dan sosial dari
perikanan tuna di Samudera Pasifik. Namun demikian, FFA tidak memiliki
mandat dan pengambilan kebijakan untuk pengelolaan perikanan. Untuk itu, FFA
berkerjasama dengan Secretariat of the Pacific Community (SPC) untuk
berinisiasi memfasilitasi kerjasama regional dalam mendukung pengelolaan dan
pengembangan perikanan tuna.
SPC dibentuk pada tahun 1974 oleh beberapa negara kolonial seperti
Australia, Selandia Baru, Perancis, Inggris dan Amerika Serikat. Keanggotaan
SPC meliputi seluruh negara-negara koloni (Amerika samoa, French Polynesia,
Guam, New Cledonia, Northern Mariana Island, Pitcairn Island, Tokelau, Wallis
dan Futuna), negara merdeka di Sanudera Pasifik (Cook Island, Federasi
Micronesia, Fiji, Kiribati, Kepulauan Marshall, Nauru, Niue, Palau, Papua New
Guinea, samoa, Kepulauan Salomon, Tonga, Tuvalu, dan Vanuatu), Australia,
Selandia Baru, Perancis dan Amerika. SPC berkantor pusat di Nouema, yang
54
memiliki misi membantu masyarakat Kepulauan Pacific untuk menyusun dan
mengambil keputusan untuk masa bersama yang lebih baik.
Sadar akan posisi negosiasi yang lemah dengan DWFNs, pada tahun 1982
FFA bersepakat untuk memperkuat posisinya melalui Nauru Agreement yang
bertujuan untuk mengkoordinasikan pengelolaan perikanan di Samudera Pasifik.
Nauru Agreement menjadi dasar pengelolaan perikanan regional di Samudera
Pasifik. Negara-negara pihak Nauru Agreement (Parties to the Nauru
Aggrement/PNA) pada tahun 1983 mengadopsi kesepakatan Nauru Agreement
untuk membatasi keberadaan kapal-kapal asing, yang 80 persen diantaranya
adalah kapal ikan yang menggunakan purse seine (Havice, 2010).
Pada tahun 1992, PNA menetapkan perjanjian Palau Agreement yang
bertujuan untuk mengatur pengelolaan perikanan purse seine, yang jumlahnya
terus meningkat dan mengacam keberlanjutan penangkapan tuna di Samudera
Pasifik. Palau Agreement bertujuan untuk melindungi sediaan tuna dari dampak
overfishing dan meningkatan manfaat ekonomi dari perikanan tuna diantara PNA.
Namun demikian, upaya tersebut tidak optimal karena tidak melibatkan Indonesia
dan Philipina yang dianggap belum mengelola perikanan tuna secara baik. Untuk
itu, pada tahun 1990-an, anggota FFA memperluas kerjasama dengan melibatkan
Indonesia, Philipinna dan DWFNs.
Selanjutnya pada tahun 1995, PNA melaksanakan FSM Arrangement for
Regional Fisheries Access (FSM Arrangement). Namun kebijakan tersebut justru
menyebabkan terjadi peningkatan kapasitas dan upaya tangkapan (Havice, 2010).
Pada tahun 1997, negara-negara di kepulauan Pasifik (termasuk Australia dan
Selandia Baru) dan DWFNs di Samudera Pasifik sebalah Barat dan Tengah
(termasuk China, Prancis, Korea, Jepang, Filipina, Taiwan dan Amerika Serikat)
mulai melakukan negosiasi untuk menetapkan Western and Central Pacific
Fisheries Commission untuk mengelola spesies ikan yang migrasi jauh (Havice,
2010).
4.1.2 Negosiasi Pembentukan WCPFC
Pada First-Multilateral High Level Conference Conservation and
Management of Highly Migratory Fish Stocks (MHLC) di New York, terjadi
55
peningkatan kerjasama dalam pengumpulan data penangkapan ikan antara negara-
negara di Kepulauan Pasifik dengan DWFNs. Hal ini menunjukkan kemajuan
yang signifikan, karena sebelumnya adanya keengganan negara yang tergabung
dalam FFA untuk bekerjasama dengan DWFNs terkait dengan konservasi dan
pengelolaan tuna di Samudera Pasifik.
Konflik antara negara-negara pantai di Kepulauan Pasifik dengan DWFNs
disebabkan perbedaan pandangan dalam pengelolaan sediaan ikan beruaya jauh
terutama yang terdapat di wilayah ZEE negara-negara pantai di Kepulauan
Pasifik. Pada MHLC ke-2 yang dilaksanakan di Majuro Kepulauan Marshal pada
Juni 1997 disepakati sebuah pendekatan koleteral untuk konservasi dan
pengelolaan perikanan regional. Disamping itu juga ditetapkan sebuah mekanisme
konservasi dan pengelolaan sediaan ikan beruaya jauh di Samudera Pasifik,
kesepakatan tersebut dikenal dengan Majuro Declaration yang telah mengadopsi
UNCLOS 1982, Agenda 21 dan UNFSA. Dalam Majuro Declaration disepakati
pertukaran data berdasarkan UNFSA, kerjasama pemantauan, pengendalian dan
pengawasan penangkapan ikan. Disamping itu juga permasalahan lingkungan dan
upaya mencegah dampak penangkapan ikan terhadap lingkungan dan
keanekaragaman hayati laut. Negara peserta juga berkomitmen untuk memberikan
bantuan keuangan, pengetahuan, dan teknik kepada negara-negara berkembang di
Kepualuan Pasifik.
Dalam Majuro Declaration juga mengidentifikasi sejumlah permasalahan
yang menjadi pembahsan MHLC selanjutnya pada tahun 1998 dan 1999.
Beberapa permasalahan tersebut adalah; (1) cakupan wilayah, (2) keanggotaan,
(3) mekanisme pengampilan keputusan, (4) prosedur dalam penyelesaian
sangketa, (5) keterkaitan dengan organisasi perikanan global dan regional, (6)
keuangan dan penataan administrasi, (7) jenis sediaan yang dikelola, (8)
penentuan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan, (9) termasuk pelaksanaan
pendekatan kehati-hatian, (10) mekanisme untuk pengumpulan data dan
pertukaran data, (11) penelitian, dan (12) prosedur pemantauan, pengendalian,
pengawasan serta penegakan hukum.
Selanjutnya pada Juni 1997 hingga September 2000 terdapat lima
pertemuan negosiasi antara negara-negara pantai dengan DWFNs untuk
56
negosiasi konvensi perikanan di Samudera Pasifik. Dalam Konferensi ini diajukan
sebuah draft Konvensi berdasarkan pembahasan technical meeting, ketentuan-
ketentuan perikanan regional dan CCRF. Akhirnya pada MHLC ke-4 di Honolulu
Amerika Serikat tahun 1999 menghasilkan konvensi RFMO tuna pertama yang
telah mengadopsi utuh UNFSA yang mengabungkan prinsip-prinsip perikanan
modern dengan standar kepemerintahan perikanan yang telah dikembangkan sejak
tahun 1990-an. Beberapa hal yang belum terselesaikan adalah batasan yang
tumpang tindih dengan Inter-America Tropical Tuna Commission (IATTC),
kesepahaman pengelolaan perikanan di ZEE dan laut lepas, dan alokasi
penangkapan ikan bagi negara anggota. Pertemuan MHLC ini disepakati 19
negara, ditolak Jepang dan Korea, sedangkan RRC, Perancis dan Tonga abstain.
Namun dalam perkembangannya Jepang, Korea, RRC, Perancis dan Tonga
mendukung komisi yang dibentuk.
Dalam upaya untuk menjaga kelestarian ikan beruaya jauh di area
konvensi maka telah diadakan tujuh kali pertemuan (preparatory conference)
untuk melakukan persiapan pembentukan WCPFC, pertemuan tersebut adalah :
1) PrepCon I : Selandia Baru, 23 – 28 April 2001
2) PrepCon II : Papua New Guinea, 25 Februari – 1 Maret 2002
3) Prepcon III : Philipina, 18 – 22 November 2002
4) PrepCon IV : Fiji Island, 5 – 9 Mei 2003
5) PrepCon V : Rarotonga, Cook Island, 29 September- 3 Oktober 2003
6) PreCon VI : Bali, Indonesia, 19 – 23 April 2004
7) PreCon VII : Pohnpei Micronesia, 6 – 11 Desember 2004
Pada Preparatory Conference ke-7 di Pohnpei Micronesia, West and
Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) secara resmi dibentuk,
merupakan sebuah organisasi yang bertujuan untuk mengatur pengelolaan
sumberdaya perikanan laut lepas di kawasan Samudera Pasifik Barat dan Tengah.
Jenis ikan beruaya jauh didefinisikan untuk semua jenis ikan yang terdaftar pada
lampiran UNCLOS 1 1982 yang terdapat di area konvensi dan beberapa spesies
lainya yang ditentukan oleh komisi.
57
WCPFC beranggotakan negara-negara di kawasan Pasifik dan sekitarnya
serta negara-negara lain yang memiliki perhatian terhadap pengelolaan
sumberdaya perikanan di kawasan Pasifik.
4.2 Tujuan dan Fungsi WCPFC
Tujuan WCPFC adalah untuk menjamin melalui pengelolaan yang
efektif, konservasi jangka panjang dan pemanfaatan berkelanjutan ikan beruaya
jauh di Pasifik Barat dan Tengah berdasarkan kesepakan UNCLOS 1982 dan
UNFSA 1995. Untuk itu WCPFC memiliki fungsi-fungsi dan tanggung jawab
sebagai berikut :
1) Menetapkan konservasi dan langkah-langkah pengelolaan dan mengeluarkan
rekomendasi, seperti jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) dan
tingkat upaya penangkapan untuk ikan spesifik, untuk menjamin kelestarian
sumberdaya ikan jangka panjang.
2) Menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau tingkat upaya
penangkapan antara negara anggota, dan mengembangakan kriteria untuk
beberapa keputusan (berdasarkan pada prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam
konvensi)
3) Menetapkan standar-standar minimum internasional dari aktivitas
penangkapan ikan yang betanggungjawab.
4) Menetapkan mekanisme-mekanisme pemantauan, pengendalian,
pengawasan dan pelaksanaan, termasuk di dalamnya vessel monitoring
system (VMS).
5) Meningkatkan kerjasama dan koordinasi antara anggota untuk menjamin
upaya konservasi dan pengelolaan untuk ikan beruaya jauh di bawah wilayah
hukum nasional dan laut lepas adalah sejalan.
6) Menetapkan standar pengumpulan, verifikasi, penyusunan dan distribusi
data.
4.3 Wilayah Kewenangan WCPFC
Wilayah Konvensi berdasarkan pasal 4 Konvensi WCPFC terdiri dari dari
seluruh perairan Samudera Pasifik yang dihubungkan ke Selatan dan ke Timur.
58
Dari pantai Selatan Australia ke arah selatan sepanjang 141° Bujur Timur sampai
perpotongannya dengan 55° Lintang Selatan, kemudian ke arah Timur sejajar
dengan 55° Lintang Selatan sampai perpotongannya dengan 150° Bujur Timur;
kemudian sepanjang 150° Bujur Timur sampai perpotongannya dengan 60° sejajar
Lintang Selatan, kemudian ke arah Timur 60° sejajar dengan Lintang Selatan
sampai perpotongannya dengan 130° Bujur Barat; kemudian ke Utara sejajar 130°
Bujur Barat sampai perpotongannya dengan 4° sejajar Lintang Selatan; kemudian
ke barat 4° sejajar Lintang selatan sampai perpotongannya dengan 150° Bujur
Barat; kemudian sepanjang Utara 150° Bujur Barat.
Konvensi ini berlaku bagi seluruh sediaan ikan yang beruaya jauh di
dalam wilayah konvensi kecuali ikan-ikan sauri. Langkah-langkah konservasi dan
pengelolaan berdasarkan konvensi wajib di berlakukan untuk seluruh sediaan,
atau terhadap wilayah-wilayah tertentu di dalam wilayah konvensi, sebagaimana
ditetapkan oleh Komisi.
Sumber : diolah dari Konvensi WCPFC dan www.naturalearth.com
Gambar 8 Peta Wilayah Kewenangan WCPFC
59
4.4 Kententuan Pelaksanaan Konvensi
Pada 2nd
Regular Session Of The Commission For The Conservation And
Management Of Highly Migratory Fish Stocks In The Western And Central
Pacific Ocean pada tanggal 12 -16 Desember 2005 telah ditetapkan
Nomenclature for Commission Decisions yang terdiri dari :
1) Administrative Matters (urusan administratif) yang mengatur urusan keuangan
dan anggaran, staft, urusan administratif dan progran kerja tahunan komisi
yang disepakati pada setiap pertemuan tahunan.
2) Conservation and Management Measures (CMM) adalah ketentuan yang
mengikat (legally binding) yang merupakan implementasi Pasal 10 Konvensi
terkait dengan fungsi komisi yang mengatur konservasi dan pengelolaan untuk
spesies target, spesies non-target, spesies yang bergantung atau beraosiasi
dengan sedian target, serta MCS (monitoring, control, and surveillance ).
CMM merupakan.
3) Non-Binding Statement/Recomendation (Resolution) adalah ketentuan tidak
mengikat (non-legally biding) yang menggambarkan pernyataan dan
rekomendasi yang ditujukan kepada Member, CNM (Cooperating Non-
Member), dan Participating Territories. Meskipun Resolution tidak mengikat
tetapi pada pelaksanaanya cenderung mengikat.
4.5 Spesies Utama
Berdasarkan Pasal 4 Konvensi spesies yang diatur adalah seluruh sediaan
ikan yang beruaya jauh di dalam wilayah Konvensi kecuali ikan-ikan sauri. Jenis
ikan beruaya jauh mengacu kepada Lampiran 1 UNCLOS 1982 dan spesies ikan
lain yang ditetapkan oleh Komisi. Jenis ikan yang masuk pada lampiran 1
ULNCLOS 1982 adalah (1) Albacore tuna (Thunnus alalunga), (2) Bluefin tuna
(thunnus thynnus), (3) Bigeye tuna (Thunnus obesus), (4) Skipjack tuna (Katsuwo
pelamis), (5) Yellowfin tuna (Thunnus albacores), (6) Blackfin tuna (Thunnus
atlanticus), (7) Litle tuna (Euthynnus alleteratus dan E.affinis) , (8) Southern
bluefin tuna (Thunnus maccoyii), (9) Frigate mackerels (Auxis thazard dan
A.rochei). Sedangkan kelompok tuna lainnya, terdiri dari ; (1) marlin terdiri dari 8
spesies (Teprapturus angustirostris, T. belone, T. pfluegeri, T.albidus, T.audax, T.
60
georgei, Makaira indica, M.nigricans), (2) Sailfish, terdiri dari 2 spesies
(Istiophorus platyphorus dan I. albicans), dan (3) Swordfish (Xiphias gladicus).
Berdasarkan pelaporan statistik WCPFC dari jumlah tersebut diatas hanya
terdapat delapan spesies yang menjadi spesies target utama di wilayah Konvensi
WCPFC. Jenis spesies tersebut dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Spesies Tangkapan Utama
Nama Gambar Ciri-Ciri Habitat
1. Albacore tuna
Nama Latin :
Thunus
Alalunga
(Bonnaterre,
1788)
Nama Lokal :
Albakora
(Jakarta)
Sirip dada sangat panjang, biasanya
sampai pada finlet punggung kedua,
ikan yang lebih kecil dari 50 cm
akan mempunyai sirip dada yang
secara proporsional lebih kecil dari
ikan-ikan tuna yang lain. Sirip
punggung pertama kuning gelap,
sirip punggung kedua dan sirip
dubur berwarna kuning muda.
Finlet dubur gelap, tepi belakang
dari sirip ekor putih. Panjang
maksimum 120 cm, umumnya
100 cm. Alat Tangkap : Longline
Perairan tropis
, termasuk
Mediteranian, jenis
yang bersifat epi- dan
mesopelagis.
Biasanya berada di
bawah lapisan
termoklin dan
melimpah pada
temperatur 17º – 21º
C. Makanan utama
adalah ikan, cumi,
dan crustacea.
2. Bigeye tuna
Nama Latin :
Thunnus obesus
Nama Lokal :
Tuna Bigeye,
Bakurasi
(Gorontalo),
Tuna mata
biasa (Jakarta),
Pari (Mandar),
Tongkol
watang
(Labuhan/Jaba)
, Pari
(Sangihetalaud)
Dapat mencapai ukuran yang besar,
sirip dada panjangnya sedang untuk
ukuran besar, dan sangat panjang
(sepanjang sirip dada albakora)
pada ikan-ikan yang lebih kecil.
Bagian sisi badan bawah dan perut
keputih-putihan, ada band lateral
berwarna biru sepanjang sisi-sisi
badan pada ikan yang masih hidup.
Sirip punggung kedua dan sirip
ekor kuning, pinggir-pinggirnya
berwarna hitam. Panjang
maksimum 200 cm, umumnya 180
cm. Alat Tangkap : Longline
seluruh dunia pada
perairan tropis dan
subtropis, tidak ada
di Mediteranian,
bersifat epipelagis
dan mesopelagis pada
perairan oseanis.
Terdapat pada lapisan
air dari permukaan
sampai kira-kira 250
meter, utamanya pada
lapisan termoklin.
3. Skipjack tuna
Nama Latin :
Katsuwo
pelamis
Nama Lokal :
Cakalang,
Kausa (Bugis),
Buju
(Gorontalo),
Cakalang,
Tongkol Krai
(Jakarta),
Buanbee,
Clorengan
(Madura), Japal
(Mandar),
Cakalang
(Makassar),
Cahalang
dolangan,
Kausa, Hetung
Tubuh seperti torpedo, memanjang
dan penampang membulat. Warna
punggung biru gelap keungu-
unguan, bagian bawah dan perut
keperakan. Pada sisi bawah tubuh
terdapat 4-6 garis melintang
berwarna biru gelap. Sirip
punggung mempunyai 14-16 tulang
keras. Panjang maksimum 105 cm.
Panjang badan
(FL) sekitar 105 cm, umumnya 80
cm. Alat Tangkap : Huhate,
Longline dan Purse seine
Pelagis
dan oceanik.
Cenderung
berkelompok di
lapisan permukaan
air. Makanan utama
adalah ikan,
cephalopoda, dan
crustacea.
61
Nama Gambar Ciri-Ciri Habitat
(Sangihetalaud)
4. Yellowfin tuna
Nama Latin :
Thunnus
albacores
Nama Lokal :
Madidihang,
Sisik (Aceh),
Madidihang
(Ambon),
Dandiku
(Banda),
Gattareng,
baulang
(Bugis),
Bakuran
(Buol), Aakan
(Bajo),
Balangkutisi
(Dondo),
Kurkuni
(Gorontalo),
Belakang
kuning
(Kupang),
Kunyitan
(Lombok),
Bakulang,
gattarangan
(Makassar),
Braso
(Mandar),
Madidikang
(Menado),
Jabrig
(Pelabuhan
Ratu),
Maririhang
(Sangihetalaud)
Warna punggung biru gelap metalik
berubah dari kuning ke keperakan
pada perut, perut disilang oleh
sekitar 20 garis patah-patah yang
hampir tegak lurus, sirip punggung
dan ekor berwarna kuning
terang.Bila besar mempunyai sirip-
sirip dorsal kedua dan sirip ekor
sangat panjang, finlet dengan suatu
batas hitam sempit, panjang sirip
dada sedang, biasanya mencapai
belakang awal sirip punggung
kedua, sirip punggung kedua dan
dubur pada ikan dewasa
memanjang.
Panjang maksimum 195 cm,
umumnya 150 cm. Alat Tangkap :
Huhate, tonda, longline
, payang, gillnet,purse seine
Bersifat epipelagis,
oseanic, di atas
termoklin ikanikan
yang masih muda
berada pada lapisan
permukaan,
bergerombol,
dan makin besar
makin dalam.
5. Black Marlin
Nama Latin :
Makaira indica
Nama Lokal :
Setuhuk Hitam
Indo-Pasifik
Sirip dada kuat dan tidak dapat
dilipat sepanjang badan
(melengkung seperti setengah
sabit). Sirip punggung pertama
ujungnya agak membulat.
Tingginya sekitar setengah lebar
badan. Pada ikan yang beratnya
kurang dari 50 kg, Sirip dorsalnya
relatif tinggi. Sirip perut sangat
pendek kurang dari 15 % panjang
dari rahang bawah sampai cagak.
Garis sisi tunggal dan sisik relatif
dalam tetapi dapat dilihat dengan
jelas. Bentuk badan oval dalam
potongan melintang Panjang
maskimal dapat mencapai 4,5
m.Alat Tangkap : Longline
Pada peraiaran
tropikal dan
subtropikal terutama
dekat pantai dan
dekat kepulauan.
Makanan utama dari
beberapa jenis ikan,
udang-udangan, dan
crustacea
62
Nama Gambar Ciri-Ciri Habitat
6. Blue marlin
Nama
Nama Latin :
Makaira
nigricans
Nama Lokal :
Setuhuk Biru,
Krokot (Jawa),
Krot-krot
(Jakarta),
Towoito
(Madura),
Ronga (Sulsel),
Garut (Kalbar).
Tubuh tidak terlalu tipis, badan
tertutup rapat dengan sisik,
bertulang tebal, memanjang,
masing-masing dengan satu atau
dua dengan tiga duri badan bagian
punggung berwarna hitam kebiruan
dan putih keperakan pada bagian
ventral, Sirip punggung pertama
kehitam-hitaman atau biru gelap,
sirip-sirip yang lain coklat kehitam-
hitaman, kadang-kadang berwarna
biru gelap. Panjang maksimum
sekitar 4,5 m dan berat 700 Kg.Alat
Tangkap : Longline
Samudera Pasifik dan
Samudera Hindia dan
sering berada pada
perairan ekuator,
bersifat epipelagis
dan oseanis.
7. Striped marlin
Nama Latin:
Tetrapturus
audax
Nama Lokal :
Setuhuk Lorang
Tinggi sirip sama dengan tinggi
badan. Tepi lebih teratur, ujung
bulat relatif lunak. Sirip punggung
kedua disebelah balakang sirip anal.
Panjang sirip perut 15-27 %
panjang rahang bawah. Garis sisi
sering terlihat seperti garis tunggal
terutama pada berat kurang dari 80
kg. Sisik tidak terlihat. tidak mudah
terbuka oleh penipisan permukaan
kulit. Paruh ramping, dentikel
sangat kecil, berbentuk elip dalam
potongan melintang. Warna palang-
palang vertikal dalam kondisi
hidup. Seluruh badan tidak menjadi
gelap setelah mati. Perut biasanya
berwarna krem. Panjang maksimal
5 m dan berat 700 kg.Alat Tangkap
: Longline
Ditemukan di
peraiaran tropik dan
sub-tropik di
Samudera Pasifik dan
Hindia.
.
8. Swordfish
Nama Latin :
Xiphias gladius
Nama Lokal : Ikan
Pedang
Tanpa sisik pada ikan dewasa,
terdapat bekas-bekas sisik
pada ikan muda terutama dibagian
dada yang jelas terasa bila diraba.
Sirip punggung pertama berjari-jari
3 (keras), 9 (lemah), 26 (keras);
sirip punggung kedua berjari-jari 4
(lemah). Sirip ekor pertama berjari-
jari 11 (keras), 7 (lemah), 9 - 10
(keras); sirip dubur kedua berjari-
jari 4 (lemah). Rahang atas tumbuh
panjang sekali, gepeng, seakan-
akan menyerupai pedang panjang.
Rahang bawah pendek. Bagian atas
biru kehitaman, putih kekuningan
bagian bawah. Sirip-siripnya
berwarna biru tua atau sawo
matang kegelapan. Dapat mencapai
panjang 4 m. Alat Tangkap :
Pancing Tonda, Longline
Termasuk ikan buas.
Hidup diperairan
lepas pantai, oseanis
Sumber : Diolah dari (1) Ikan-Ikan Laut Pelagis dan Demersal di Indonesia (Ditjen Perikanan Tangkap,
2006), (2) FAO Spesies Identification Guide For Fisheries Purpose : The Living Marine Resources of
the Western and Central Pacific (FAO, 2001), http://www.dpi.nsw.gov.au dan
http://www.sustainablesushi.net
63
4.6 Spesies Tangkapan Sampingan
Spesies tangkapan sampingan di tetapkan melalui CMM untuk dua jenis
yakni penyu dan hiu. Jenis penyu yang diatur ditetapkan melalui CMM 2008-03
tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penyu (Conservation And
Management of Sea Turtles) yang mengatur spesies Green turtle, Loggerhead,
Leatherback, Hawksbill dan Olive ridley. Sedangkan untuk Hiu ditetapkan
melalui CMM 2010-07 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Hiu
(Conservation and Management Measure for Sharks) yang mengatur delapan
spesies hiu yakni Blue shark , Silky shark , Oceanic whitetip shark, Longfin Mako,
Shortfin Mako, Bigeye Thresher , Pelagic Thresher dan Thresher Shark.
Karakateristik dari masing-masing spesies tangkapan sampaingan diuraikan pada
Tabel 11.
Tabel 11 Spesies Tangkapan Sampingan
Spesies Gambar Ciri-Ciri Habitat
I.Penyu
1. Green Sea Turtle.
Nama Latin :
Chelonia mydas
Nama Lokal :
Penyu Hijau
Memiliki warna kuning
kehijauan atau coklat hitam
gelap. Cangkangnya bulat
telur bila dilihat dari atas
dan kepalanya relatif kecil
dan tumpul. Ukuran
panjang antara 80 hingga
150 cm dan beratnya dapat
mencapai 132 kg. Usia
untuk kematang seksualnya
tidak pasti: perkiraan saat
ini sekitar 45 hingga 50
tahun. Penyu hijau betina
beruaya dalam wilayah
yang luas, antara kawasan
mencari makan dan
bertelur, tetapi cenderung
untuk mengikuti garis
pantai dibandingkan
menyeberangi lautan
terbuka
Penyu hijau
sangat jarang
ditemui di
perairan
beriklim
sedang,
tetapi sangat
banyak
tersebar di
wilayah
tropis dekat
dengan
pesisir benua
dan sekitar
kepulauan
2. Loggerhead .
Nama Latin :
Caretta carett
Nama Lokal :
Penyu Tempayan
Warna karapasnya coklat
kemerahan, kepalanya yang
besar dan paruh yang
bertumpuk (overlap) salah
satu ciri mengenali penyu
tempayan. Disamping itu
terdapat lima buah sisik di
kepala bagian depan
(prefrontal), umumnya
terdapat empat pasang sisik
Kadang-
kadang
ditemukan di
perairan
Indonesia
namun tidak
ditemukan
bertelur di
peraiaran
Indonesia.
64
Spesies Gambar Ciri-Ciri Habitat
coastal. Lima buah sisik
vertebral. Plastron berwarna
coklat muda sampai kuning.
Sebagian besar bertelur di
daerah sub-tropis. Penyu
Tempayan termasuk jenis
carnivora yang umumnya
memakan kerang-kerangan
yang hidup di dasar laut
seperti kerang remis, mimi
dan invertebrata lain. Penyu
tempayan memiliki rahang
yang sangat kuat untuk
menghancurkan kulit
kerang
3. Leatherback
Nama latin :
Dermochelys
coriacea
Nama Lokal :
Penyu Belimbing
Memiliki kulit cangkang
berwarna gelap dengan
bintik-bintik putih yang
tidak sekeras penyu lain.
Sirip depannya panjang.
Ukurannya dapat mencapai
hingga 180 cm dan berat
500 kg. Merupakan penyu
laut terbesar dan salah satu
reptil terbesar yang masih
hidup. Penyu belimbing
betina dapat bertelur empat
sampai lima kali per musim,
setiap kali sebanyak 60
sampai 129 telur. Penyu
belimbing bertelur setiap
dua atau tiga tahun dengan
masa inkubasi sekitar 60
hari
Perairan
tropis hingga
ke lautan
kawasan sub
kutub dan
biasa bertelur
di pantai-
pantai di
kawasan
tropis.
Menghabis-
kan sebagian
besar
hidupnya di
lautan
terbuka
hanya
muncul ke
daratan pada
saat bertelur
4. Hawksbill
Nama Latin :
Eretmochelys
imbricata
Nama Lokal :
Penyu Sisik
Paruhnya tajam dan
meruncing dengan rahang
yang agak besar mirip paruh
burung elang. Demikian
pula karena sisiknya yang
tumpang tindih . Warna
karapasnya bervariasi
kuning, hitam dan coklat
bersih, plastron berwarna
kekuning-kuningan.
Terdapat dua pasang sisik
prefrontal. Sisiknya banyak
digunakan sebagai bahan
baku dalam industri
kerajinan tangan terutama
di Jepang untuk membuat
pin, sisir, bingkai kacamata
dll. Sebagian besar bertelur
di pulau-pulau
terpencil..Paruh penyu sisik
agak runcing sehingga
memungkinkan mampu
menjangkau makanan yang
berada di celah-celah
karang seperti sponge dan
anemon. Mereka juga
Penyu Sisik
selalu
memilih
kawasan
pantai yang
gelap, sunyi
dan berpasir
untuk
bertelur
65
Spesies Gambar Ciri-Ciri Habitat
memakan udang dan cumi-
cumi. Penyu Sisik termasuk
dalam phylum chordata,
bertulang belakang
(subphylum Verterbrata),
5. Olive ridley
Nama latin
:Lepidochelys
olivacea
Nama Lokal :
Penyu lekang
Penyu ini bisa memiliki
panjang tempurung /
karapas 51 – 75 cm
berbentuk kubah, dengan 5
– 9 pasang sisik lateral atau
lebih (biasanya 6 – 7
pasang), berwarna abu –
abu zaitun. Di bagian
plastron terdapat lubang
dengan perut berwarna
kuning. beratnya dapat
mencapai antara 33 – 45 kg.
telur berjumlah 105 – 170
butir, bergaris tengah 3,2 –
4,8 cm, dan menetas dalam
45 – 65 hari. tukik maupun
penyu dewasa pemakan
segala (omnivora). ciri –
ciri khusus dari penyu ini
adalah mempunyai 2 pasang
sisik prefrontal di
Perairan
pantai dan
hidup
berkaloni.
Banyak
ditemukan di
Samudera
Hindia dan
sebelah barat
Samudera
pasifik.
II. Hiu
6. Blue shark
Nama Latin :
Prionace glauca)
Nama Lokal :
Cucut lalaek
(Pelabuhan Ratu),
Cucut Selendang
(Cilacap) Cucut
Karet (Tg.Luar)
Tubuh sangat ramping,
mulut panjang dan bulat
menyempit, labial atas alur
sangat singkat, gigi
bergerigi, seperti segitiga
dan melengkung di rahang
atas, rahang bawah sempit;
atas medial sangat besar,
Warna: dalam hidup, biru
tua di atas, biru terang pada
sisi, putih di bawah,
memudar ke kehitaman
ungu setelah kematian;
ujung sirip dada dan sirip
anal gelap.
Ukuran: panjang maksimum
sekitar 3,8 m.
Hidup di laut
lepas dan
terbuka di
dekat
permukaan,
tapi kadang-
kadang di
peraiaran
pesisir
perairan.
7. Silky shark
Nama Latin :
Carcharhinus
falciformis)
Nama Lokal :
Cucut Lajam
(Pelabuhan Ratu)
Hiu besar, tubuh
memanjang dan ramping.
Mukut sempit
bulat, agak panjang, gigi di
rahang bawah tegak, ujung-
ujungnya hanya sedikit
bergerigi. Sirip punggung
pertama cukup tinggi, bulat,
sirip punggung kedua
sangat rendah, sirip dada
panjang.Warna: abu-abu
gelap, coklat keabu-abuan
atau kebiruan hitam (dalam
kondisi hidup), perut abu-
abu atau putih.
perairan
samudera
dekat dan di
luar lereng
benua, tetapi
juga
ditemukan
di perairan
pesisir.
Hidup
biasanya
dekat
permukaan,
tetapi
kadang-
66
Spesies Gambar Ciri-Ciri Habitat
Ukuran: panjang maksimum
total 3,5 m, umumnya 2,5
m,
kadang pada
kedalaman
hingga 500
m
8. Oceanic whitetip
shark
Nama Latin
:Carcharhinus
longimanus)
Nama Lokal :
Cucut Koboi
(Palabuhan Ratu)
Besar ramping, mulut cukup
panjang dan
membentuk parabola,
subequal sedikit lebih
pendek dari lebar mulut;
gigi segitiga dan
tegak di depan mulut, kedua
sirip punggung cukup
tinggi, sirip dada panjang
dan sedikit berbentuk sabit,
dengan sempit. Warna:
permukaan punggung abu-
abu gelap atau abu-abu-
coklat, bagian perut putih;
semua sirip memiliki tips
putih mencolok dan margin
posterior.
Ukuran: panjang total
maksimum sekitar 3 m.
Hidup dekat
perairan
pantai dan
laguna
9. Longfin Mako
Nama Latin :
Isurus paucus
Nama Lokal :
Cucut Baster
(Pelabuhan Ratu),
Cucut Monas
(Kedongan,
Tg.Luar)
Tubuh cukup ramping dan
mulut panjang runcing.
Kepala dengan 5 insang
celah didepan sirip dada;
memiliki dua sirip
punggung, sirip dada
seukuran kepala berbentuk
sabit, dan sirip ekor
membentuk bulan sabit.
Warna: belakang dan
samping biru (dalam
kondisi hidup), memudar
untuk kehitaman setelah
mati, perut putih, bawah
moncong dan mulut
sebagian seluruhnya gelap;
bawah dari sirip dada
dengan gelap bercak pada
individu yang lebih besar,
sirip perut gelap dengan
ujung posterior putih di
atas, putih atau Ukuran:
panjang maksimum
setidaknya 4,17 m.
Mendekati
pantai saat
memijah
10. Shortfin Mako
Nama Latin :
Isurus
oxyrinchus
Nama Lokal :
Cucut Anjing
tubuh cukup ramping dan
panjang. Kepala dengan 5
celah insang yang panjang,
semua di depan dada-sirip,
mulut bulat melebar dan
panjang, Dua sirip
punggung ukuran berbeda,
yang relatif besar pertama,
Warna: ekor abu-abu-biru,
biru samar, perut putih.
Ukuran: panjang maksimum
sekitar 4,17 m,.
Laut lepas
dan pesisir,
biasanya di
permukaan
air, dekat
perairan
pantai, tetapi
dilaut lebih
dalam (150
m).
67
Spesies Gambar Ciri-Ciri Habitat
11. Bigeye
Thresher
Nama latin :
Alopias
supercilious
Nama Lokal :
Cucut Lutung
(Pelabuhan
Ratu), Cucut
Padi (Cilacap)
Kepala dengan 5 celah
insang, 2 bagian terakhir di
atas sirip dada, tidak ada
hidung, profil dahi jelas,
tidak ada kelopak mata,
mata sangat besar, mulut
agak panjang membentuk
setengah lingkaran, berada
di bawah mata, memiliki
dua sirip dorsal, Warna:
abu-abu keunguan pada
tubuh atas, krem bawah,
sirip punggung pertama
kadang-kadang kehitaman.
Ukuran: panjang maksimum
sekitar 4,6 m, umumnya
antara 3 dan 4 m.
Ditemukan
di perairan
pantai
dangkal dan
terkadang
pada landas
kontinen.
12. Pelagic
Thresher
Nama Latin :
Alopias
pelagicus
Nama Lokal :
Cucut monyet
(Pelabuhanratu)
, cucut tikus
(Tg.Luar)
Kepala dengan 5 celah
insang, 2 bagian terakhir di
atas sirip dada, mulut agak
panjang dan kerucut, dahi
hampir lurus, melengkung
antara mata, kepala kecil,
tidak ada kelopak, mata
agak membesar pada saat
dewasa, mulut agak
panjang dan setengah
lingkaran, berada bawah
mata Dua sirip punggung,
yang pertama cukup besar
dan terletak antara dada
dan panggul sirip. Warna:
kebiruan atau abu-abu di
atas, putih di bawah, dengan
kemilau keperakan
di wilayah insang, warna
putih dari perut tidak
berkembang selama dada-
sirip basis. Ukuran: panjang
maksimum setidaknya 3,3
m (betina dewasa).
epipelagic,
terkadang
tertangkap
dekat pantai,
mulai dari
permukaan
hingga
kedalaman
setidaknya
150 m
13. Thresher Shark
Nama Latin :
Alopias
vulpinus
Nama Lokal: -
Kepala dengan 5 celah
insang, 2 bagian terakhir di
atas sirip dada, tidak
memiliki lekukan di dahi,
tidak memiliki tulang saring
insang, mulut pendek dan
kerucut, luas cembung di
tampilan lateral, tidak ada
kelopak mata; mata
cukup besar. Dua sirip
punggung pertama cukup
besar di depan sirip
panggul. sirip dada sangat
panjang dan melengkung
lancip, dengan sempit bulat
(saat kecil) ekor yang
sangat panjang. Warna:
coklat, abu-abu, biru-abu-
abu, atau kehitaman di
punggung dan bawah
Hidup
berkelompo.
Informasi
yang tedata
masih
sedikit.
68
Spesies Gambar Ciri-Ciri Habitat
moncong, putih di bawah,
punggung sirip kehitaman,
Ukuran: panjang maksimum
sekitar 5,5 m, umumnya
antara 4,3 dan 4,9 m
Sumber : diolah dari (1) www.wwf.or.id , (2) FAO Spesies Catalogue Vol 11: Sea Turtle of the Wold Data
(3) FAO Spesies Identification Guide For Fisheries Purpose : The Living Marine Resources of the Western
and Central Pacific (FAO, 2001), (4) Biologi dan Pemanfaatan Ikan Cucut di Indonesia (DJPT, 2006).
4.7 Pendanaan dan Anggaran
Sumber keuangan WCPFC berasal dari kontribusi anggota berdasarkan
pada Pasal 18 dari Konvensi, yakni :
a. 10 persen dibagi sama rata antara seluruh negara anggota.
b. 20 persen dari kemampuan nasional, dihitung rata-rata dalam 3 tahun.
c. 70 persen dari total produksi ikan yang ditentukan dalam konvensi (terutama
yellowfin tuna, bigeye tuna dan skipjack) didalam area ZEE hingga laut lepas
(dihitung rata-rata dalam 3 tahun).
Pada Eight Regular Session Finance And Administration Committee pada
tanggal 25 -30 Maret 2012 di Guam Amerika Serikat ditetapkan jumlah anggaran
Program Kerja Komisi tahun 2012 sejumlah US $ 6.038.995. Jumlah tersebut
berasal dari kontribusi 25 negara Member sebesar US $ 5.495.000 atau (91
persen dari total usulan anggaran) dan kontribusi 11 negara Cooperating Non
Member sebesar US $ 543.795 (9 persen dari total usulan anggaran). Estimasi
Kontribusi Keuangan Member dan Cooperating Non Member tahun 2012 dapat
dilihat Tabel 12
Pada pertemuan ini ditetapkan kontribusi Indonesia sebesar US $ 125.518
atau 2,07 % dari total usulan anggaran komisi, namun kontribusi tersebut belum
dibayar dengan alasan belum menjadi Member. Posisi ini sejalan dengan Pasal 8
ayat 1 Perpres Nomor 64 tahun 1999 tentang Keanggotaan Indonesia dan
Kontribusi Pemerintahan Republik Indonesia pada Organisasi-Organisai
Internasional, bahwa Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen
Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara yang mewakili Indonesia pada organisasi
internasional harus mengupayakan agar jumlah kontribusi Pemerintah ditekan
seminimal mungkin
69
Tabel 12 Estimasi Kontribusi Keuangan Member dan Cooperating Non
Member tahun 2012 (dalam US $)
Negara
Biaya Dasar (10 %
Anggaran)
Kemampuan Nasional
(20 % Anggaran)
Total Produksi Ikan
(70 % Anggaran)
Jumlah Kontribusi
Persentase
Member
1. Australia 22.276 73.812 11.286 107.373 1,78
2. Canada 22.276 78.546 100.821 1,67
3. China 22.276 61.028 212.874 296.177 4,90
4. Cook Islands 22.276 16.342 2.893 4.151 0,07
5. European
Union 22.276
247.482 73.867 343.624 5,69
6. Federated
States of
Micronesia
22.276 3.573 4.145 67.298 1,11
7. Fiji 22.276 5.688 18.343 46.306 0,77
8. France 22.276 84.103 8.057 114.435 1,89
9. Japan 22.276 117.571 959.902 1.099.748 18,21
10. Kiribati 22.276 2.903 33.387 58.565 0,97
11. Korea 22.276 41.883 67.081 734.968 12,17
12. Marshall
Islands 22.276
4.585 94.064 120.924 2,00
13. Nauru 22.276 5.064 3 27.343 0,45
14. New Zealand 22.276 42.628 69.566 134.469 2,23
15. Niue 22.276 19.745 169 42.189 0,70
16. Palau 22.276 11.827 34.102 0,56
17. Papua New
Guinea
22.276 1.808 236.741 260.825 4,32
18. Philippines 22.276 4.895 186.636 213.807 3,54
19. Samoa 22.276 421 2.936 29.422 0,49
20. Solomon
Islands 22.276
154 16.544 4.036 0,07
21. Chinese Taipei 22.276 30.495 565.362 618.132 10,24
22. Tonga 22.276 4.527 338 27.141 0,45
23. Tuvalu 22.276 4.177 10.949 37.402 0,62
24. United States
of America 22.276
24.155 582.864 846.689 14,02
25. Vanuatu 22.276 3.798 99.179 125.253 2,07
Sub Total 556.900 891.210 3.257.186 5.495.200
Cooperting Non-Member 1. Belize 23.750 6.234 780 30.764 0,51
2. DPR of Korea 23.750 23.750 0,39
3. Ecuador 23.750 7.150 45.154 76.054 1,25
4. El Salvador 23.750 5.780 31.452 60.982 1,00
5. Indonesia 23.750 10.365 91.403 125.518 2,07
6. Mexico 23.750 27.584 51.334 0,48
7. Panama 23.750 10.882 34.632 0,57
8. Saint Kitts and
Nevis
23.750 15.775 39.525 0,65
9. Senegal 23.750 1.903 25.653 0,42
10. Thailand 23.750 9.655 33.405 0,55
11. Vietnam 23.750 2.805 15.623 42.178 0,69
Sub Total 261.250 98.133 184.412 543.795
TOTAL 818.150 989.343 3.441.598 6.038.995
Sumber : * : Usulan Anggaran Komisi Tahun 2012 ditetapkan pada 8th Regular Session Tahun 2012
(WCPFC8-2011-FAC5/12 (Rev 5))
70
4.8 Fungsi Komisi WCPFC
Berdasarkan Pasal 10 Konvensi WCPFC, komisi WCPFC berkewajiban
untuk :
a. Menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau tingkat upaya
penangkapan ikan di dalam Wilayah Konvensi untuk sediaan ikan yang
beruaya jauh sebagaimana diputuskan dan dilaksanakan oleh Komisi seperti
langkah-langkah konservasi dan pengelolaan lain dan rekomendasi yang
diperlukan untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang sediaan tersebut.
b. Meningkatkan kerja sama dan koordinasi antarpara anggota Komisi untuk
memastikan bahwa langkah-langkah konservasi dan pengelolaan untuk
sediaan ikan yang beruaya jauh di wilayah-wilayah berdasarkan yurisdiksi
nasionalsesuai dengan sediaan yang sama di laut lepas.
c. Menetapkan, apabila diperlukan, langkah-langkah dan rekomendasi
konservasi dan pengelolaan untuk spesies non-target dan spesies yang
bergantung atau berasosiasi dengan sediaan target, dengan tujuan untuk
mempertahankan atau memulihkan populasi spesies tersebut pada tingkat
reproduksi yang terancam secara sungguh-sungguh.
d. Menetapkan standar untuk pengumpulan, verifikasi dan untuk pertukaran
dan pelaporan secara tepat waktu data tentang perikanan untuk sediaan ikan
yang beruaya jauh di Wilayah Konvensi sesuai dengan Lampiran I
Persetujuan, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Konvensi ini.
e. Menyusun dan menyebarluaskan data statistik yang akurat dan lengkap
untuk memastikan bahwa informasi ilmiah terbaik yang tersedia, sekaligus
menjaga kerahasiaan, sebagaimana mestinya;
f. Memperoleh dan mengevaluasi saran ilmiah, meninjau-ulang status sediaan,
meningkatkan pelaksanaan penelitian ilmiah yang terkait serta
menyebarluaskan hasil-hasilnya;
g. Mengembangkan, apabila diperlukan, kriteria untuk alokasi jumlah
tangkapan yang diperbolehkan atau tingkat upaya penangkapan ikan untuk
sediaan ikan yang beruaya jauh pada wilayah konvensi;
71
h. Menetapkan standar minimum internasional yang secara umum
direkomendasikan untuk pelaksanaan operasi penangkapan ikan yang
bertanggungjawab;
i. Menetapkan mekanisme kerja sama yang layak untuk pemantauan,
pengendalian, pengawasan dan penegakan secara efektif, termasuk suatu sis-
tem pemantauan kapal;
j. Memperoleh dan mengevaluasi data ekonomi dan data perikanan terkait
lainnya dan informasi yang berkaitan dengan pekerjaan Komisi;
k. Menyetujui tentang cara dalam hal kepentingan penangkapan ikan anggota
baru Komisi dapat ditampung;
l. Menetapkan hukum acara dan peraturan keuangan dan peraturan
administrasi internal lain yang mungkin diperlukan untuk melaksanakan
fungsinya;
m. Mempertimbangkan dan menyetujui anggaran Komisi yang diusulkan.
n. Mengedepankan penyelesaian sengketa secara damai; dan
o. Membahas setiap persoalan atau masalah dalam lingkup kewenangan Komisi
dan menetapkan langkah-langkah atau rekomendasi yang diperlukan untuk
mencapai tujuan Konvensi ini.
4.9 Badan-Badan dibawah Komisi
Berdasarkan Pasal 11 Konvensi WCPFC, Komisi menetapkan badan di
bawah WCPFC yang terdiri dari perwakilan dari Member, Cooperating Non-
Member dan Particapating Territories. Setiap tahun komisi melaksanaan
pertemuan tahunan yang dipimpin oleh ketua dan wakil yang dipilih dari anggota.
Badan- badan WCPFC terdiri dari :
1) Scientific Committe (SC).
Pertemuan tahunan Scientific Committe dilaksanakan setiap bulan Agustus
yang menyediakan informasi ilmiah terbaik terkait dengan tindakan pengelolaan
dan konservasi. Scientific Committe terdiri dari ahli perikanan dan pertemuan
tahunan biasanya dihadiri oleh peneliti dan perwakilan teknis lainnya. Dalam
pelaksanaan Scientific Committe berkoodinasi dengan Technical and Compliance
Committee (TCC). Fungsi Scientific Committe adalah sebagai berikut :
72
a. Merekomendasikan kepada Komisi rencana penelitian, termasuk masalah-
masalah dan hal-hal khusus yang harus ditangani oleh para ahli atau oleh
organisasi-organisasi lain, mengidentifikasi kebutuhan data dan
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang memenuhi kebutuhan tersebut;
b. Me-review dan menganalisis rekomendasi ilmiah dari ahli ilmiah sebelum
diserahkan ke Komisi serta menyediakan informasi kepada Komisi.
c. Mendorong dan meningkatkan kerjasama penelitian ilmiah, dengan
memerhatikan ketentuan-ketentuan pasal 246 UNCLOS 1982, guna
meningkatkan informasi tentang sediaan ikan yang beruaya jauh, spesies non-
target dan spesies-spesies yang berasal dari ekosistem yang sama atau yang
terkait dengan atau ketergantungan pada sediaan tersebut di Wilayah
Konvensi;
d. Meninjau ulang hasil penelitian dan analisis sediaan target atau non-target atau
spesies yang berhubungan atau bergantung di Wilayah Konvensi;
e. Melaporkan kepada Komisi mengenai temuan-temuannya atau kesimpulan-
kesimpulannya tentang status sediaan target atau non-target atau spesies yang
berhubungan atau bergantung di Wilayah Konvensi;
f. Berkonsultasi dengan Technical and Compliance Committee,
merekomendasikan kepada Komisi terhadap prioritas dan tujuan dari regional
observer programme (program pengamat regional) dan menilai hasil dari
program tersebut;
g. membuat laporan dan rekomendasi kepada Komisi sebagaimana diarahkan,
atau atas inisiatif sendiri, mengenai hal-hal yang berkenaan dengan konservasi
dan pengelolaan serta penelitian tentang sediaan target atau non-target atau
spesies yang berhubungan atau bergantung di Wilayah Konvensi; dan
h. Melaksanakan fungsi lain dan tugas sebagaimana diminta oleh atau ditugaskan
kepadanya oleh Komisi
2) Technical and Compliance Committee (TCC)
Technical and Compliance Committee merupakan Komite pelaksana
Komisi yang melaksanakan pertemuan setiap bulan Oktober setiap tahunnya.
Tugas utama Technical and Compliance Committee adalah me-review kepatuhan
masing-masing anggota terhadap keputusan Komisi dan pelaksanaan tindakan
73
konservasi dan pengelolaan yang telah ditetapkan. Selanjutnya hasil Technical
and Compliance Committee dilaporkan kepada Komisi.
Berdasarkan Pasal 14 Konvensi maka fungsi Technical and Compliance
Committee adalah sebagai berikut :
a. memberikan Komisi informasi, saran teknis dan rekomendasi yang berkaitan
dengan pelaksanaan dari, dan kepatuhan dengan, langkah-langkah konservasi
dan pengelolaan;
b. memantau dan meninjau ulang kepatuhan dengan langkah-langkah konservasi
dan pengelolaan yang telah diterima oleh Komisi dan membuat rekomendasi
kepada Komisi yang mungkin diperlukan; dan
c. meninjau ulang pelaksanaan langkah-langkah kerjasama untuk pemantauan,
pengendalian, pengawasan dan penegakan aturan yang telah di terima oleh
Komisi dan membuat rekomendasi yang demikian itu kepada Komisi yang
mungkin diperlukan;
3) Northen Commitee (NC).
Pembentukan Northen Commitee adalah amanat Pasal 11 ayat 7 Konvensi
WCPFC. Setiap tahun pada bulan September Northen Commitee melaksanakan
pertemuan yang bertujuan untuk membuat rekomendasi terhadap tindakan
konservasi dan pengelolaan pada wilayah Konvensi pada 200 LU.
4) Finance and Administration Committee
Komite admisnitrasi dan keuangan melakukan pertemuan bersamaam
dengan pertemuan Komisi yang membahas anggaran. Anggota Komite
Administrasi dan Keuangan berasal dari perwakilan semua anggota Komisi yang
bertugas untuk memberikan rekomendasi kepada Komisi untuk diadopsi.
4.10 Keanggotaan WCPFC
Keanggotaan WCPFC terbuka bagi setap negara di Samudera Pasifik dan
negara atau organisasi ekonomi regional yang merupakan anggota PBB atau
badan-badan PBB yang berhubungan dengan penangkapan ikan beruaya jauh.
Sampai dengan tahun 2012, 25 negara telah menjadi member yakni Australia,
China, Canada, Cook Islands, European Union, Federated States of Micronesia,
Fiji, France, Japan, Kiribati, Republic of Korea, Republic of Marshall Islands,
74
Nauru, New Zealand, Niue, Palau, Papua New Guinea, Philippines, Samoa,
Solomon Islands, Chinese Taipei, Tonga, Tuvalu, United States of America,
Vanuatu. Negara berstatus participating territories 7 negara yakni American
Samoa, Commonwealth of the Northern Mariana Islands, French Polynesia,
Guam, New Caledonia, Tokelau, Wallis and Futuna. Sedangkan cooperating non-
member 11 negara yakni Belize, Democratic Peoples Republic of Korea,
Ecuador, El Salvador, Indonesia, Mexico, Senegal, St Kitts and Nevis, Panama,
Thailand, Vietnam.
4.11 Pembatasan Tangkapan
Pembatasan hasil dan upaya tangkapan merupakan amanat Pasal 6 ayat 1
tentang pendekatan kehati-hatian yang selanjutnya diatur melalui CMM : 2008-01
tentang Conservation and Management Measure for Big-eye and Yellow-fin Tuna
in the WCPFC. Dalam pelaksanaan Konvensi dan CMM tersebut jenis spesies
yang telah ditetapkan catch limit adalah bigeye tuna tahun 2012 (Tabel 13).
Tabel 13 Catch Limit untuk Bigeye Tuna tahun 2012
No Negara Catch Limit (ton)
1 Australia 2.000
2 Belize 803
3 China 10.673
4 European Union 2.000
5 Indonesia 5.889
6 Japan 1.967
7 New Zealand 2.000
8 Philippines 2.000
9 Republic Of Korea 15.014
10 Chinese Taipei 11.288
11 USA 3.763
Sumber : 9th
Regular Session of WCPFC Commission
75
5 PENGATURAN WCPFC DAN IMPLIKASI BAGI INDONESIA
Ketentuan pelakasanaan Konvensi ditetapkan pada Pada 2nd
Regular
Session Of The Commission For The Conservation And Management of Highly
Migratory Fish Stocks in The Western And Central Pacific Ocean pada tanggal 12
-16 yang terdiri dari : (1) ketentuan mengikat (legally binding) yakni
Conservation and Management Measures (CMM), (2) ketentuan tidak mengikat
(non legally binding) yakni Resolution, dan (3) urusan administratif
(Administrative Matters). Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat dua ketentuan
yang mengikat yakni Konvensi WCPFC dan Conservation and Management
Measures (CMM).
5.1 Prinsip Umum Konvensi : Relevansi dan Implikasi terhadap Peraturan
Perundang-Undangan
Pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Konvensi WCPFC
dilaksanakan melalui Convention on the Conservation and Management of
Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean
(Konvensi WCPFC) sebagai dasar pembentukan WCPFC yang diadopsi pada
tanggal 5 September 2000.
Konvensi WCPFC terdiri dari dari 12 Bab dengan 47 Pasal. Namun
demikian, tidak semua pasal yang dituangkan dalam Konvensi WCPFC
menimbulkan implikasi bagi Indonesia, sehingga tidak perlu dibahas (Ariadno,
2012) (Lihat Lampiran 4).
Pada Konvensi terdapat sembilan hal yang harus menjadi perhatian
pemerintah Indonesia, baik statusnya sekarang sebagai Contracting Non-Member
maupun dimasa depan akan menjadi member (negara anggota), yaitu: (1) Wilayah
penerapan, (2) Azas-azas dan langkah-langkah untuk konservasi dan pengelolaan,
(3) Penerapan pendekatan kehati-hatian, (4) Pelaksanaan azas-azas di wilayah-
wilayah berdasarkan yurisdiksi nasional, (5) Kesesuaian langkah-langkah
konservasi dan pengelolaan, (6) Kewajiban Para Anggota Komisi, (7) Kewajiban-
Kewajiban Negara Bendera, (8) Penaatan dan Penegakan, dan (9) Itikad Baik dan
Penyalahgunaan Hak.
76
5.1.1 Wilayah Penerapan
Batas wilayah Konvensi WCPC pada bagian timur tumpang tindih dengan
wilayah kewenangan Inter American Tropical Tuna Commision (IATTC)
sehingga menjadi konflik kewenangan pengelolaan. Sehubungan dengan hal ini
WCPFC telah membuat perjanjian kerjasama dengan IATTC pada tahun 2009
yang meliputi pertukaran data dan informasi, kerjasama penelitian terutama pada
sediaan spesies yang diatur kedua RFMO, dan kerjasama tindakan konservasi dan
pengelolaan. Menindaklanjuti kesepakatan bersama tersebut pada tanggal 27
November 2012 IATTC dan WCPFC telah menyepakati rekomendasi tentang
wilayah yang menjadi tumpang tindih dan mengatur kewajiban negara bendera
yang menangkap ikan diwilayah sangketa. Berdasarkan dua kesepakatan tersebut
dapat dikatakan bahwa telah ada upaya Komisi WCPFC untuk menyelesaikan
batas koordinat yang menjadi sangketa pada bagian timur Konvensi WCPFC.
Sedangkan pada bagian barat wilayah Konvensi yakni Laut Cina Selatan
dan Perairan Asia Tenggara tidak ada batas tegas koordinat pengelolaan dan
upaya komisi untuk menyelesaikannya melalui suatu ketentuan. Meskipun hal ini
telah dibahas sejak Pertemuan MHLC ke-3 sampai dengan MHLC ke-6, namun
tidak ada ketentuan terkait dengan batas wilayah Konvensi pada perairan tersebut.
Meskipun pada Chair Statement penutupan MHLC ke-6 pada tanggal 11- 19
April 2000 di Honolulu disampaikan bahwa Perairan Asia Tenggara dan Laut
Cina Selatan bukan merupakan bagian Samudera Pasifik, namun pernyataan
bukanlah ketentuan yang mengikat.
Disamping itu, Indonesia berkeberatan wilayah sebagian besar perairan
Indonesia masuk menjadi wilayah Konvensi WCPFC kecuali ZEEI Samudera
Hindia dan Laut Timor. Sikap ini juga didukung oleh Philipinna, Kepulauan
Salomon dan Papua New Guinea yang juga berkeberatan wilayah perairan
teritorialnya masuk menjadi wilayah Konvensi.
77
Sumber : diolah dari Konvensi WCPFC dan www.naturalearth.com
Gambar 9 Peta Wilayah Tumpang Tinding Wilayah Kewenangan antara WCPFC
dengan IATTC
Masuknya sebagian besar perairan teritorial Indonesia menimbulkan
permasalahan bagi Indonesia, karena status hukum perairan kepulauan adalah
kedaulatan (sovereingty). Keberatan Indonesia disampaikan pada Fith Regular
Session pada tanggal 8 -12 Desember 2008 di Busan Korea yang meminta Komisi
WCPFC tidak memasukkan perairan Laut Cina Selatan dan perairan Asia
Tenggara, termasuk perairan teritorial Indonesia menjadi bagian wilayah
Konvensi WCPFC karena bukan menjadi bagian dari Samudera Hindia (Gambar
10).
Pernyataan Indonesia dipertegas kembali pada Ninth Regular Session pada
tanggal 2-6 Desember 2012 di Manila Philipina yang berpendapat bahwa
berdasarkan UNCLOS 1982 dan UN Fish Stock Agreement serta Pasal 4
Konvensi jelas disebutkan bahwa pelaksanaan kerjasama perikanan regional
hanya pada laut lepas dan ZEE tidak termasuk perairan teritorial dan perairan
kepulauan.
78
Sumber : diolah dari Konvensi WCPFC dan www.naturalearth.com
Gambar 10 Peta Wilayah Konvensi WCPFC di Perairan LCS dan Teritorial
Indonesia
Oleh karena itu, dalam pengesahan Konvensi WCPFC, maka Indonesia
harus mengesampingkan Pasal 3 ayat (1). Hal ini sebagaimana yang dipaparkan
Ariadno (2012), bahwa Indonesia perlu hati-hati dalam ratifikasi Konvensi
WCPFC.
Sehubungan dengan hal tersebut, Indonesia harus mengklarifikasi
pelaksanaan Konvensi WCPFC yang memasukkan hanya pada ZEE Indonesia
pada perairan Laut Sulawesi dan Sebelah Utara Halmahera (WPP-RI 716) dan
perairan Teluk Cenderawasih dan Samudera Pasifik (WPP-RI 717).
Pada tingkatan nasional, Indonesia memiliki wilayah pengelolaan
perikanan (WPP) dalam mewujudkan efektivitas pengelolaan perikanan. Menurut
Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 sebagaimana di ubah dengan UU No. 45
Tahun 2009, Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Republik Indonesia untuk
penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi: (a) perairan Indonesia;
(b) ZEEI; dan (c) sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang
79
dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah
Republik Indonesia. Sementara itu, Pasal 5 ayat (2) menambahkan bahwa
pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima
secara umum. Dengan demikian, wilayah pengelolaan perikanan Indonesia adalah
mulai dari perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic
waters), laut teritorial (territorial sea), dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI).
Dengan demikian, Indonesia sudah memiliki aturan dalam pengelolaan
perikanan berbasis wilayah. Oleh karena itu, dalam persiapan ratifikasi Konvensi
WCPFC, Indonesia harus mengecualikan ketentuan penerapan wilayah WCPFC
yang memasukan beberapa wilayah perairan kepulauan Indonesia.
5.1.2 Dasar Pelaksanaan (Azas)
Kerjasama internasional terkait pengelolaan sediaan ikan yang beruaya
jauh di wilayah konvensi merupakan amanat UNCLOS 1982. Oleh karena itu,
negara-negara anggota WCPFC berkewajiban untuk melaksanakan UNCLOS
1982, UNFSA 1995 dan Konvensi WCPFC. Hal-hal yang diatur terkait dengan
dasar pelaksanaan (azaz) dijelaskan pada Pasal 5 Konvensi, yakni:
a. Mengambil langkah-langkah untuk memastikan keberlanjutan jangka
panjang sediaan ikan yang beruaya jauh di wilayah konvensi dan
mempromosikan tujuan pemanfaatan sediaan secara optimal.
b. Memastikan bahwa langkah-langkah yang didasarkan pada bukti ilmiah
terbaik yang tersedia dan di rancang untuk mempertahankan atau
memulihkan sediaan pada tingkat yang mampu memproduksi hasil
maksimal yang berkelanjutan, seperti yang disyaratkan oleh faktor-faktor
lingkungan dan ekonomi yang relevan, termasuk persyaratan-persyaratan
khusus bagi negara-negara berkembang di wilayah konvensi, khususnnya
negara-negara pulau kecil yang sedang berkembang (SIDS/Small Island
Developing State) dan mempertimbangkan pola-pola penangkapan ikan,
saling ketergantungan antar sediaan dan standar minimal internasional yang
80
pada umumnya di rekomendasikan, baik sub-regional, regional ataupun
global.
c. Menerapkan pendekatan kehati-hatian sesuai dengan Konvensi ini dan
semua standar internasional terkait yang di setujui dan praktek-praktek dan
prosedur yang direkomendasikan .
d. Mengkaji dampak dari penangkapan ikan, kegiatan lain manusia, dan faktor-
faktor lingkungan terhadap sediaan target, spesies non-target, dan spesies
yang berasal dari ekosistem yang sama atau yang bergantung kepada atau
berhubungan dengan sediaan target;
e. Mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan limbah, buangan,
tangkapan oleh alat yang hilang, atau yang ditinggalkan, pencemaran yang
berasal dari kapal-kapal perikanan, spesies non-target, baik ikan ataupun
non-ikan (selanjutnya disebut spesies non-target) dan dampaknya terhadap
spesies yang berhubungan atau bergantung, khususnya spesies yang
terancam punah dan mempromosikan pengembangan dan penggunaan
secara selektif alat dan teknik penangkapan ikan yang ramah lingkungan
dan berbiaya efektif;
f. Melindungi keanekaragaman hayati di lingkungan laut;
g. Mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau meniadakan
penangkapan ikan yang berlebihan dan kapasitas penangkapan ikan yang
berlebihan dan untuk memastikan bahwa tingkat upaya penangkapan ikan
tidak melebihi tingkat upaya yang setara dengan pemanfaatan sumberdaya
perikanan yang berkelanjutan;
h. Mempertimbangkan kepentingan nelayan artisanal dan subsisten;
i. Mengumpulkan dan membagi data secara tepat waktu, lengkap dan akurat
mengenai kegiatan penangkapan ikan, antara lain, posisi kapal, tangkapan
spesies target dan non-target dan upaya penangkapan ikan, serta informasi
dari program penelitian nasional dan internasional; dan
j. Melaksanakan dan menegakkan langkah-langkah konservasi dan
pengelolaan melalui pemantauan, pengendalian dan pengawasan secara
efektif.
81
Dengan demikian terdapat sembilan azas tindakan konservasi dan
pengelolaan pada WCPFC yakni :
a. Optimalisasi pemanfaatan spesies ikan yang beruaya jauh (highly migratory
speies);
b. Penggunaan data ilmiah terbaik yang tersedia (the best scientific evidence
avalaible);
c. Penerapan pendekatan kehati-hatian;
d. Kajian dampak terhadap sediaan target, spesies non-target, dan spesies yang
berasal dari ekosistem yang sama atau yang bergantung kepada atau
berhubungan dengan sediaan target;
e. Menimalisasi limbah, buangan, tangkapan oleh alat yang hilang, atau yang
ditinggalkan, pencemaran yang berasal dari kapal-kapal perikanan, spesies
non-target, baik ikan ataupun non-ikan;
f. Melindungi keanekaragaman hayati di lingkungan laut;
g. Mempertimbangkan kepentingan nelayan artisanal dan subsisten;
h. Memberikan informasi kegiatan penangkapan ikan;
i. Pelaksanaan pemantauan, pengendalian dan pengawasan (Monitoring
Controlling Surveilne/MCS) secara efektif.
Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan,
kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang
berkelanjutan (Pasal 2 UU No. 31 Tahun 2004). Sementara prinsip-prinsip umum
yang di muat dalam UU No. 21 Tahun 2009, yaitu:
a. Mengambil tindakan untuk menjamin kelestarian jangka panjang sediaan ikan
yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dan memajukan
tujuan penggunaan optimal sediaan ikan tersebut;
b. Menjamin bahwa tindakan tersebut di dasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang
ada dan dirancang untuk memelihara atau memulihkan sediaan ikan pada
tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari;
c. Menerapkan pendekatan kehati-hatian;
d. Mengukur dampak dari penangkapan ikan, kegiatan manusia lainnya, dan
faktor-faktor lingkungan terhadap sediaan target dan spesies yang termasuk
82
dalam ekosistem yang sama atau menyatu/berhubungan dengan atau
bergantung pada sediaan target tersebut;
e. Mengambil tindakan konservasi dan pengelolaan untuk spesies dalam
ekosistem yang sama atau menyatu/berhubungan dengan atau bergantung
pada sediaan target tersebut;
f. Meminimalkan pencemaran, sampah barang-barang buangan tangkapan yang
tidak berguna, alat tangkap yang ditinggalkan tangkapan spesies non target,
baik ikan maupun bukan spesies ikan, dan dampak terhadap spesies, melalui
tindakan pengembangan dan penggunaan alat tangkap yang selektif serta
teknik yang ramah lingkungan dan murah;
g. Melindungi keanekaragaman hayati pada lingkungan laut;
h. Mengambil tindakan untuk mencegah dan/atau mengurang kegiatan
penangkapan ikan yang berlebihan dan penangkapan ikan yang melebihi
kapasitas dan untuk menjamin bahwa tingkat usaha penangkapan ikan tidak
melebihi tingkat yang sepadan dengan penggunaan lestari sumber daya ikan;
i. Memerhatikan kepentingan nelayan pantai dan subsistensi;
j. Mengumpulkan dan memberikan pada saat yang tepat, data yang lengkap dan
akurat mengenai kegiatan perikanan, antara lain, posisi kapal, tangkapan
spesies target dan nontarget dan usaha penangkapan ikan, serta informasi dari
program riset nasional dan internasional;
k. Memajukan dan melaksanakan riset ilmiah dan mengembangkan teknologi
yang tepat dalam mendukung konservasi dan pengelolaan ikan;
l. Melaksanakan dan menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan melalui
pemantauan, pengawasan, dan pengendalian
Berdasarkan ketentuan asas-asas di atas, peraturan perundang-undangan
Indonesia sudah memiliki asas-asas pengelolaan perikanan dalam mewujudkan
perikanan berkelanjutan dan bertanggung jawab.
83
5.1.3 Penerapan Pendekatan Kehati-hatian
Menurut Pasal 6 ayat (1) Konvensi WCPFC, setiap anggota Komisi wajib
menerapkan pendekatan kehati-hatian. Beberapa pendekatan kehati-hatian yang
perlu diperlu diperhatikan, yaitu:
a. Menetapkan titik-titik acuan spesifik sediaan dan tindakan yang akan diambil
apabila dilampauinya acuan spesifik sediaan tersebut berdasarkan informasi
ilmiah terbaik yang tersedia,
b. Memerhatikan dampak kegiatan penangkapan ikan terhadap spesies non-target
dan spesies yang berhubungan atau saling bergantung,
c. Mengembangkan program pengumpulan data dan penelitian untuk mengkaji
dampak penangkapan ikan terhadap spesies non-target dan spesies yang
berhubungan atau yang bergantung dan lingkungannya.
Pendekatan kehati-hatian adalah upaya untuk menghindari terjadinya
kehancuran perikanan, baik dalam konteks nasional suatu negara pantai maupun
di perairan internasional (laut lepas). Pengelolaan perikanan dalam wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat
yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan
(Pasal 6 ayat 1 UU No. 31 Tahun 2004). Artinya, pendekatan kehati-hatian dalam
pengelolaan perikanan Indonesia dilaksanakan secara optimal, berkelanjutan dan
kelestarian. Hal ini diperkuat dengan kewajiban Indonesia dalam UU No. 21
Tahun 2009, bahwa negara wajib menerapkan pendekatan kehati-hatian
(precautionary approach) ketika menetapkan tindakan konservasi dan
pengelolaan sediaan ikan.
Pendekatan kehati-hatian dicerminkan dengan adanya data awal tentang
potensi perikanan suatu negara. Indonesia menetapkan potensi sumberdaya
ikannya melalui Kepmen KP No. 45/Men/2011. Data estimasi potensi
sumberdaya ikan tersebut disajikan pada Tabel 14.
84
Tabel 14 Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di WPP RI
(dalam 1.000 ton per tahun)
WPP
Kelompok Sumberdaya Ikan
Ikan
Pelagis
Besar
Ikan
Pelagis
Kecil
Ikan
Demersal
Udang
Penaeid
Ikan
Karang
Konsumsi
Lobster Cumi-
cumi
Total
Potensi
(1.000
ton/tahun)
571 27,7 147,3 82,4 11,4 5,0 0,4 1,9 276,0
572 164,8 315,9 68,9 4,8 8,4 0,6 1,7 565,2
573 201,4 210,6 66,2 5,9 4,5 1,0 2,1 491,7
711 66,1 621,5 334,8 11,9 21,6 0,4 2,7 1.059,0
712 55,0 380,0 375,2 11,4 9,5 0,5 5,0 836,6
713 193,6 605,4 87,2 4,8 34,1 0,7 3,9 929,7
714 104,1 132,0 9,3 - 32,1 0,4 0,1 278,0
715 106,5 379,4 88,8 0,9 12,5 0,3 7,1 595,6
716 70,1 230,9 24,7 1,1 6,5 0,2 0,2 333,6
717 105,2 153,9 30,2 1,4 8,0 0,2 0,3 299,1
718 50,9 468,7 284,7 44,7 3,1 0,1 3,4 855,5
Total 1.145,4 3.645,7 1.452,5 98,3 145,3 4,8 28,3 6.520,1
Sumber: Kepmen KP No. Kep.45/Men/2011
Tabel 14 yang berisi estimasi potensi perikanan yang dijadikan sebagai
acuan dalam penentuan kebijakan pengelolaan perikanan. Dengan demikian,
Indonesia sudah memiliki aturan dalam melaksanakan pendekatan kehati-hatian.
Sementara aturan Indonesia terkait dengan spesies non-target yang dibahas pada
bagian hasil tangkapan sampingan, dan aturan Indonesia terkait dengan
pengumpulan data dibahas pada bagian MCS, khususnya mengenai logbook
penangkapan ikan.
Estimasi potensi perikanan tersebut di atas tidak lepas dari berbagai
permasalahan karena masih mengacu kepada konsep maximum sustainable yield
(MSY) atau tangkapan lestari yang dikembangkan sejak tahun 1950-an oleh
Schaefer. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa konsep MSY terbukti tidak
efektif sebagai alat pengelolaan perikanan, terutama Indonesia dengan
karakteristik perikanan tangkap multi-alat dan multi-spesies. Kajian sediaan ikan
harus terus dibenahi karana kekuarangan data statistik perikanan yang akurat
sebagai dasar perhitungan MSY akan menghasilkan kebijakan pengelolaan
sumberdaya ikan yang tidak tepat sasaran.
85
5.1.4 Pelaksanaan Azas-Azas di Wilayah-Wilayah Berdasarkan Yurisdiksi
Nasional dan Pengelolaan di Laut Lepas
Asas-asas pengelolan dan konservasi di laut lepas sebagaimana dituangkan
dalam Pasal 5 dan pendekatan kehati-hatian yang di tuangkan dalam Pasal 6,
wajib diterapkan oleh negara-negara pantai di dalam wilayah yurisdiksinya (Pasal
7 ayat 1). Sementara bagi negara berkembang, khususnya SIDS diberikan
pertimbangan oleh Komisi untuk menerapkan Pasal 5 dan Pasal 6 di dalam
wilayah-wilayah berdasarkan yurisdiksi nasional. Tujuan dari pasal ini adalah
dalam rangka mewujudkan perikanan yang bersifat lintas batas.
Sebagai negara yang telah meratifikasi UNCLOS 1982, maka Indonesia
berkewajiban melaksanakan pengelolaan secara penuh di wilayah yurisdiksinya.
Artinya, Indonesia harus mampu mewujudkan perikanan berkelanjutan di laut
terirotial (12 mil) dan ZEE Indonesia (200 mil). Hal ini ditekankan dalam UU No.
21 Tahun 2009. Pengelolaan di wilayah yurisdiksi juga di muat dalam Pasal 2 UU
No. 31 Tahun 2004 sebagaimana telah dimuat diatas. Aturan khusus mengenai
pengelolaan perikanan tangkap di wilayah yurisdiksi diatur dalam Permen KP No.
Per.30/Men/2012. Peraturan Menteri ini mengatur semua kegiatan penangkapan
ikan yang lokasinya berada di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia.
Kewajiban mematuhi aturan di laut lepas adalah perhatian Indonesia sejak
UU No. 31 Tahun 2004 di sahkan. Pada Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa
pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima
secara umum. Pada bagian penjelasan di sebutkan bahwa yang dimaksud dengan
“pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia” adalah pengelolaan perikanan di laut lepas. Hal ini menjadi dasar
kepatuhan Indonesia dalam mewujudkan globalisasi perikanan. Aturan khusus
mengenai pengelolaan perikanan tangkap di laut lepas diatur dalam Permen KP
No. Per.12/Men/2012. Peraturan Menteri ini mengatur semua kegiatan
penangkapan ikan yang lokasinya berada di luar wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia atau di laut lepas.
86
5.1.5 Kewajiban para Anggota Komisi
Kewajiban para anggota Komisi tertuang pada Pasal 23 Konvensi, yakni :
a. Memberikan laporan tahunan kepada Komisi mengenai data statistik, biologis,
dan data lain dan informasi sesuai dengan Lampiran I.
b. Memberikan informasi aktivitas penangkapan ikannya di Wilayah Konvensi,
termasuk wilayah penangkapan ikan dan kapal perikanan untuk memfasilitasi
penghimpunan statistik tangkapan dan upaya yang dapat dipercaya.
c. Memberikan informasi tahapan yang diambil untuk melaksanakan langkah-
langkah konservasi dan pengelolaan yang telah diterima oleh Komisi.
d. Memberitahu Komisi langkah-langkah yang telah mereka terima untuk
konservasi dan pengelolaan HMS di wilayah di dalam lingkup Wilayah
Konvensi di bawah yurisdiksi nasionalnya.
e. Memberitahu Komisi langkah-langkah yang telah diterimanya untuk mengatur
aktivitas kapal perikanan berbendera negaranya yang menangkap ikan di
Wilayah Konvensi.
Berdasarkan ketentuan di atas, terdapat tiga hal yang harus diperhatikan
Indonesia jika merativikasi Konvensi dan menjadi anggota yakni :
a. Sistem informasi dan pelaporan kegiatan penangkapan ikan. Data terbaik yang
dimiliki Indonsia dibangun dari informasi pendaratan ikan (pelabuhan
perikanan). Hal ini sebagaimana diatur dalam Permen KP No. 18 Tahun 2010,
bahwa setiap kapal penangkap ikan wajib menyerahkan logbook penangkapan
ikan. Logbook Penangkapan Ikan adalah bukan salah satu dokumen kapal,
namun menjadi syarat dalam pengajuan Surat Persetujuan Berlayar (SPB)
yang dikeluarkan Syahbandar. Oleh karena itu, setiap kapal perikanan yang
memiliki SIPI wajib mengisi logbook Penangkapan Ikan. Pengisian logbook
Penangkapan Ikan dilakukan pada setiap operasi penangkapan ikan (satu kali
trip), yang merupakan tanggung jawab nakhoda. Logbook Penangkapan Ikan
berisi informasi mengenai: data kapal perikanan, data alat penangkapan ikan,
data operasi penangkapan ikan, dan data ikan hasil tangkapan. Logbook
Penangkapan Ikan wajib dilakukan sesuai dengan data yang sebenarnya
(objective) dan tepat waktu (up to date).
87
b. Aturan pengelolaan ikan beruaya jauh. Hingga saat ini, Indonesia belum
memiliki aturan khusus mengenai pengelolaan ikan beruaya jauh.
c. Aturan kapal kapal penangkap ikan. Aturan Indonesia mengenai kapal
perikanan dibahas secara rinci pada bagian kapal penangkap ikan. Dengan
demikian, hal penting yang harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia
adalah aturan pengelolaan jenis ikan beruaya juah.
5.1.6 Kewajiban Negara Bendera
Kewajiban negara bendera yang melakukan penangkapan ikan di wilayah
WCPFC sebagaimana dituangkan dalam Pasal 24, yaitu:
a. Mematuhi ketentuan-ketentuan Konvensi ini dan langkah-langkah konservasi
dan pengelolaan yang diterima sesuai dengan Konvensi.
b. Tidak melakukan penangkapan ikan secara tidak sah (illegal fishing) di
wilayah yurisdiksi negara pihak penandatangan Konvensi.
c. Kegiatan penangkapan ikan beruaya jauh di luar wilayah yurisdiknya harus
mendapatkan izin dari lembaga suatu negara anggota.
d. Mensyaratkan kapal perikanan yang menangkap ikan beruaya jauh di laut
lepas wilayah WCPFC menggunakan near real-time satelite position-fixing
transmitters ketika berada di wilayah tersebut.
e. Mensyaratkan kapal perikanannya yang menangkap ikan di Wilayah Konvensi
di dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional dari anggota lain agar
mengoperasikan near real-time satelite position fixing transmitters sesuai
dengan standar, spesifikasi dan prosedur yang di tetapkan oleh negara pantai.
f. Wajib bekerjasama untuk memastikan kesesuaian antara sistem pemantauan
kapal nasional dan sistem pemantauan kapal di laut lepas.
Berdasarkan ketentuan diatas, setidaknya terdapat dua hal yang harus
menjadi perhatian pemerintah Indonesia, yaitu:
a. Kegiatan penangkapan ikan di luar wilayah yurisdiksi yang menjadi
kewenangan negara anggota. Pemerintah Indonesia sudah mengatur kegiatan
penangkapan ikan di luar wilayah pengelolaan perikanan Indonesia melalui
Permen KP No. Per. 12/Men/2012. Peraturan Menteri ini mengatur secara
khusus semua kegiatan penangkapan ikan di laut lepas.
88
b. Sistem pemantauan kapal. Ketentuan ini diatur dalam Permen KP No.
Per.12/Men/2012 dan Permen KP No. 30/Men/2012. Kewajiban penggunaan
transmitter atau VMS dibahas secara khusus pada bagian Penggunaan
Transmitter.
Dengan demikian, ketentuan kewajiban negara bendera kapal telah diatur
oleh Indonesia melalui beberapa peraturan menteri.
5.1.7 Kesesuaian Tindakan Konservasi dan Pengelolaan
Sumberdaya ikan beruaya jauh bersifat lintas batas, sehingga diperlukan
adanya sinergi antar negara dalam pengelolaan perikanan di laut lepas dengan
wilayah yurisdiksi suatu Negara (Pasal 8 ayat 1). Beberapa penetapan langkah-
langkah konservasi dan pengelolaan untuk ikan beruaya jauh adalah (Pasal 8 ayat
2):
a. Kesatuan biologis dan karakteristik biologis lainnya dari sediaan dan
hubungan antara sebaran sediaan, perikanan dan keadaan geografi tertentu
wilayah bersangkutan, termasuk sampai sejauh mana sediaan berada dan
ditangkap di wilayah-wilayah berdasarkan yurisdiksi nasional.
b. Mempertimbangkan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan sesuai
dengan Pasal 61 UNCLOS 1982 terkait dengan sediaan yang sama oleh
negara-negara pantai di dalam wilayah-wilayah berdasarkan yurisdiksi
nasional.
c. Tindakan penetapan sediaan yang sama untuk laut lepas yang merupakan
bagian dari Wilayah Konvensi oleh negara-negara pantai dan negara–negara
penangkap ikan di laut lepas sesuai dengan UNCLOS 1982 dan Konvensi
WCPFC.
d. Mempertimbangkan langkah-langkah yang sebelumnya telah di sepakati dan
di terapkan sesuai dengan UNCLOS 1982 dan Konvensi WCPFC dalam hal
sediaan yang sama oleh RFMO.
e. Mempertimbangkan ketergantungan masing-masing negara-negara pantai
dan negara-negara penangkap ikan di laut lepas atas sediaan terkait.
89
5.1.8 Penaatan dan Penegakan
Menurut Pasal 25, setiap anggota Komisi mempunyai kewajiban dalam hal
menjalankan efektivitas tindakan pengelolaan dan konservasi ikan beruaya jauh di
wilayah WCPFC. Beberapa kewajiban penaatan dan penegakan, tersebut yaitu:
a. Menegakkan ketentuan Konvensi WCPFC dan setiap langkah-langkah
konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh Komisi.
b. Wajib menyelidiki secara menyeluruh setiap dugaan pelanggaran oleh kapal
perikanan yang mengibarkan benderanya atas ketentuan Konvensi WCPFC
atau langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang diterima oleh
Komisi.
c. Menyerahkan kasus tersebut kepada pihak berwenang dengan tujuan untuk
mengajukan gugatan secepatnya sesuai dengan hukumnya dan bilamana
layak, menahan kapal yang bersangkutan.
d. Memastikan kapal yang bersangkutan tidak lagi melakukan kegiatan
penangkapan ikan dan tidak terlibat dalam kegiatan tersebut di dalam
Wilayah Konvensi, sampai saat seluruh sanksi yang dikenakan oleh negara
bendera sehubungan dengan pelanggaran tersebut telah dipenuhi.
Berdasarkan ketentuan di atas, pemerintah Indonesia sudah mengatur
tindakan penegakan hukum. Adapun tindakan hukum dilakukan di tengah laut
melalui inspeksi kapal yang dibahas secara khusus pada bagian Program Observer
dan Inspeksi Kapal, sementara tindakan di darat melalui pelabuhan perikanan.
Pemerintah Indonesia mengatur pelabuhan perikanan pada Permen KP No. Per.
08/Men/2012. Menurut Pasal 3 ayat (2), pelabuhan perikanan mempunyai fungsi
pemerintahan dan pengusahaan. Fungsi pemerintahan pada pelabuhan perikanan,
yaitu meliputi: fungsi untuk melaksanakan pengaturan, pembinaan, pengendalian,
pengawasan, serta keamanan dan keselamatan operasional kapal perikanan di
pelabuhan perikanan.
5.1.9 Itikad Baik dan Penyalahgunaan Hak
Menurut Pasal 33, kewajiban-kewajiban berdasarkan Konvensi harus
dipenuhi dengan itikad baik dan hak-hak yang di akui di dalam Konvensi dan
harus dilaksanakan dengan cara yang bukan merupakan penyalahgunaan hak.
90
Implementasi Itikad Baik dan Penyalahgunan Hak sesuai dengan pembahasan
Pelaksanaan Azas-Azas di Wilayah-Wilayah Berdasarkan Yurisdiksi Nasional
dan Pengelolaan di Laut Lepas. Kewajiban mematuhi aturan di laut lepas bagi
Indonesia tertuang pada Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2004 yang
menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar
internasional yang diterima secara umum. Pada bagian penjelasan disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan “pengelolaan perikanan di luar wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia” adalah pengelolaan perikanan di
laut lepas. Hal ini menjadi dasar kepatuhan Indonesia dalam mewujudkan
globalisasi perikanan. Aturan khusus mengenai pengelolaan perikanan tangkap di
laut lepas diatur dalam Permen KP No. Per.12/Men/2012. Peraturan Menteri ini
mengatur semua kegiatan penangkapan ikan yang lokasinya berada di luar
wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia atau di laut lepas.
5.2 Conservation and Management Measures (CMM): Implikasi Bagi
Indonesia
Conservation and Management Measures (CMM) adalah implementasi
Pasal 10 Konvensi terkait dengan fungsi komisi yang mengatur konservasi dan
pengelolaan untuk spesies target, spesies non-target, spesies yang bergantung atau
beraosiasi dengan sedian target, serta MCS (monitoring, control, and
surveillance). Sampai dengan tahun 2012 terdapat 31 CMM yang telah ditetapkan
(Tabel 15).
Tabel 15 Conservation and Management Measures (CMM)
No CMM Perihal
1. CMM 2004-03 Spesifikasi Untuk Penandaan dan Identifikasi Kapal Penangkapan
Ikan (Specifications For The Marking And Identification Of
Fishing Vessels).
2. CMM 2004-04 Resolusi Tindakan Pengelolaan dan Konservasi (Resolution on
Conservation and Management Measures)
3. CMM 2005-03 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Albacore Pasifik Utara
(Conservation and Management Measure for North Pacific
Albacore)
4. CMM 2006-04 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Marlin di Pasifik Selatan
Barat (Conservation and Management Measure for Striped
Marlin in the Southwest Pacific)
91
No CMM Perihal
5. CMM 2006-07 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Program Observer
Regional (Conservation and Management Measure for the
Regional Observer Programme)
6. CMM 2006-08 Komisi WCPFC untuk Prosedur Pemeriksaan dan Menaiki Kapal
(WCPFC Commission Boarding and Inspection Procedures )
7. CMM 2007-01 CMM 2007-01 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi
Program Observer Regional (Conservation and Management
Measure for the Regional Observer Programme)
8. CMM 2007-04 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Mengurangi Dampak
Penangkapan Ikan Beruaya Jauh Terhadap Burung Laut
(Conservation And Management Measure to Mitigate the
Impact of Fishing for Highly Migratory Fish Stock on Seabirds).
9. CMM 2008-01 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Tuna Bigeye dan Tuna
Yellowfin di WCPFC (Conservation and Management Measure
for Big-eye and Yellow-fin Tuna in the WCPFC)
10. CMM 2008-03 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penyu (Conservation And
Management of Sea Turtles)
11. CMM 2008-04 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi terhadap Jaring Insang
Hanyut Skala Besar pada Laut Lepas Area Konvensi
(Conservation and Management Measure to Prohibit the Use of
Large-Scale Driftnets on the High Seas in the Convention Area)
12. CMM 2009-01 Pendaatan Kapal dan Izin Penangkapan Ikan (Record of Fishing
Vessels And Authorization to Fish)
13. CMM 2009-02 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penutupan Rumpon dan
Retensi Penangkapan (Conservation and Management Measure
on the Aplication of High Seas Fad Closures And Catch
Retention)
14. CMM 2009-03 Tindakan Pengelolan dan Konservasi Swordfish (Conservation
and Management for Swordfish)
15. CMM 2009-05 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Larangan Penangkapan
Ikan dengan Data Buoys (Conservation and Management
Measure Prohibiting Fishing on Data Buoys)
16. CMM 2009-06 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Peraturan Transhiptmen
(Conservation and Management Measure on Regulation of
Transshipment)
17. CMM 2009-09 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Kapal-Kapal Tanpa
Kebangsaan (Conservation and Management Measure for Vessels
Without Nationality).
18. CMM 2009-10 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Pemantauan Pendaratan
Kapal Purse Seine di Pelabuhan untuk Menjamin Data Tangkapan
yang Baik berdasarkan Spesies (Conservation and Management
Measure to Monitor Landings of Purse Seine Vessels at Ports so
as to Ensure Reliable Catch Data by Species).
19. CMM 2009-11 Cooperating Non-Member.
20. CMM 2010-01 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi North Pacific Striped
Marlin (Conservation and Management Measure for North
Pacific Striped Marlin)
21. CMM 2010-02 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Untuk Area Pengelolaan
Khusus Sebelah Timur (Conservation and Management Measure
for the Eastern High-Seas Pocket Special Management Area)
22. CMM 2010-04 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Pengelolaan Pacific
Bluefin Tuna (Conservation and Management Measure for
92
No CMM Perihal
Pacific Bluefin Tuna)
23. CMM 2010-05 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi South Pacific Albacore
(Conservation and Management Measure for South Pacific
Albacore)
24. CMM 2010-06 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Untuk Menetapkan Kapal
yang Diduga Melakukan Kegiatan IUU Fishing di WCPO
(Conservation and Management Measure to Establish a List of
Vessels Presumed to Have Carried out Illegal, Unreported and
Unregulated Fishing Activities in the WCPO)
25. CMM 2010-07 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Hiu (Conservation and
Management Measure for Sharks)
26. CMM 2011-01 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Untuk Perpanjangan
Sementara CMM 2008-01 (Conservation and Management
Measure for Temporary Extension of CMM 2008-01)
27. CMM 2011-02 Komisi Vessel Monitoring System (VMS)
28. CMM 2011-03 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi untuk Perlindungan
Cetacean dari Operasi Penangkapan Purse Seine (Conservation
and Management Measure for Protection of Cetaceans from
Purse Seine Fishing Operations).
29. CMM 2011-04 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi untuk Oceanic Whitetip
Shark (Conservation and Management Measure for Oceanic
Whitetip Shark)
30. CMM 2011-05 Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Skema Penyewaan
(Conservation and Management Measure on Charter Notification
Scheme)
31. CMM 2011-06 Tindakan Konservasi dan Pengelolaan untuk Skema Kapatuhan
dan Pemantauan (Conservation and Management Measure for
Compliance Monitoring Scheme) Sumber : Dikompilasi dari CMM WCPFC tahun 2004 -2011
Sejumlah 31 CMM tersebut dapat dikelompokkan menjadi sembilan hal
yang perlu menjadi perhatian Indonesia yakni (1) Penggunaan Transmitter
(VMS), (2) Terkait dengan Penegakan Hukum, (3) Kapal Penangkapan Ikan , (4)
Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan, (5) Pengelolaan
Tangkapan Utama, (6) Pengelolaan Tangkapan Sampingan, (7) Program Observer
dan Inspeksi Kapal, (8) Data Buosy dan (9) Transhipment.
5.2.1 Penggunaan Transmitter (VMS)
Penggunaan VMS ditetapkan melalui CMM 2011-02 tentang Komisi
Vessel Monitoring System (VMS) yang merupakan pelaksanaan Pasal 10
Konvensi WCPFC. VMS harus diaktifkan sejak tanggal 1 Januari 2008 didaerah
sekitar selatan konvensi 20 ° LU, dan timur 175 ° BT didaerah area utara konvensi
20 ° LU. Khusus untuk area utara 20 ° LU dan barat dari 175 ° BT, sistem akan
93
diaktifkan pada suatu tanggal yang akan ditentukan oleh Komisi. Setiap kapal
penangkapan ikan yang menangkap ikan beruaya jauh di sesuai koordinat yang
ditetapkan komisi harus mengatifkan Automatic Location Communicators
(ALCs). VMS berlaku untuk semua kapal penangkapan ikan yang menangkap
ikan diarea Konvensi, untuk kapal panjang lebih dari 24 meter tanggal aktivasi
mulai 1 Januari 2008, dan semua kapal panjang 24 meter atau kurang tanggal
aktivasi mulai 1 Januari 2009.
Pemerintah Indonesia sudah mewajibkan penggunaan VMS yang tertuang
pada Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No. 31 Tahun 2004, bahwa setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengenai: sistem pemantauan
kapal perikanan.
Kewajiban pemasangan transmitter tersebut untuk kapal perikanan
Indonesia berukuran 60 GT ke atas dan seluruh kapal perikanan asing (Pasal 11
ayat 1 Permen KP No. Per.05/Men/2007). Selanjutnya Pasal 11 ayat (4)
menambahkan, bahwa transmitter yang dipasang pada kapal perikanan wajib di
daftarkan pada Direktorat Jenderal, dengan menyebutkan dan/atau
mencantumkan nomor ID, nomor seri, jenis, tipe, merek, spesifikasi, dan
provider, yang dilengkapi dengan dokumen pembelian transmitter, dan
pembayaran air time dan bukti aktivasi dari provider. Transmitter harus dapat
mengirim data posisi kapal sekurang-kurangnya setiap jam sekali, kecuali dalam
keadaan docking dan/atau kapal perikanan sedang tidak beroperasi (Pasal 11 ayat
5). Dengan demikian, kapal perikanan Indonesia berukuran 60 GT ke atas dan
seluruh kapal asing wajib menghidupkan transmitter (online).
Sementara itu, kewajiban transmitter online di atas tidak berlaku bagi
kapal perikanan Indonesia ukuran 30 GT – 60 GT. Hal ini di atur dalam Pasal 12
ayat (1), bahwa kapal perikanan Indonesia berukuran di atas 30 GT sampai
dengan 60 GT wajib dilengkapi transmitter off line yang disediakan oleh negara.
Aturan transmitter juga ditetapkan dalam Permen KP No. Per.
12/Men/2012. Adapun aturannya yaitu: (a) surat keterangan pemasangan
transmitter (online) pada saat pengajuan SIPI (Pasal 8 ayat 3) dan pengajuan
SIKPI (Pasal 10 ayat 3); (b) surat keterangan aktivisi transmitter (online) untuk
94
perpanjangan SIPI (Pasal 22 ayat 2) dan SIKPI (Pasal 27 ayat 2); (c) transmitter
(on line) aktif serta dapat terpantau untuk kapal penangkap ikan yang melakukan
transhipment di laut lepas (Pasal 30 ayat 2) dan transhipment di pelabuhan
negara lain (Pasal 30 ayat 3); (d) transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau
untuk kapal pengangkut ikan yang melakukan transhipment di laut lepas (Pasal
30 ayat 4) dan transhipment di pelabuhan negara lain (Pasal 30 ayat 5). Begitu
juga dengan aturan penangkapan di WPP-NRI, yaitu: (a) surat keterangan
pemasangan transmitter VMS pada saat pengajuan SIPI (Pasal 19 ayat 1); (b)
surat keterangan pemasangan transmitter VMS pada saat pengajuan SIPI bagi
kapal perikanan yang dimiliki oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau
perguruan tinggi untuk melakukan pelatihan atau penelitian/eksplorasi
perikanan (Pasal 22); dan (c) surat keterangan pemasangan transmitter VMS
pada saat pengajuan SIKPI (Pasal 24 ayat 1).
Salah satu manfaat data VMS adalah untuk mengetahui posisi dan
pergerakan kapal penangkapan ikan. Berdasarkan data VMS tahun 2012,
sebagian besar kapal yang menangkap ikan di laut lepas berada pada Samudera
Hindia yang menjadi wilayah kewenangan IOTC dan CCSBT. Sedangkan untuk
wilayah Konvensi WCPFC, kapal penangkapan ikan Indonesia lebih banyak
terkonsentrasi pada perairan teritorial dan ZEE Indonesia. Posisi kapal Indonesia
yang terpantau pada Fisheries Monitoring Center (FMC) Kementerian Kelautan
dan Perikanan dapat dilihat pada Gambar 12.
Penggunaan VMS belum seluruhnya dipatuhi oleh kapal penangkapan
ikan Indonesia. Berdasarkan hasil penelusuran Ditjen PSDKP tahun 2012
terhadap lacak (tracking) VMS dari 93 kapal penangkapan ikan Indonesia yang
beroperasi di laut lepas hanya 64 kapal (68,8 persen) yang berhasil dilacak,
sedangkan tidak bisa dilacak 29 kapal yang terdiri dari kapal dibawah 60 GT
sejumlah 13 kapal, tidak terdaftar 9 kapal dan alasan GPS error 4 kapal.
Beberapa pelanggaran pelaku usaha penangkapan ikan yang mengakibatkan
transmitter tidak terdeksi di Fisheries Monitoring Center (FMC) Ditjen P2SDKP
adalah ; (1) tidak memasang transmitter pada kapal yang telah ditentukan, (2)
memasang transmitter tetapi tidak dapat dipantau pada FMC, (3) tidak
mengaktifkan transmitter, (4) tidak mendaftarkan transmitter yang telah
95
terpasang pada kapal perikanan, (5) tidak melaporkan perubahan kepemilikan,
keagenan, nama, spesifikasi dan perubahan id transmitter.
Sumber : Sumber Ditjen PSDKP KKP, 2013
Gambar 11 Posisi Kapal Penangkapan Ikan Indonesia Berdasarkan Data VMS
tahun 2012
5.2.2 Penegakan Hukum
Penegakan hukum pada WCPFC terdapat lima ketentuan CMM. Pertama,
CMM 2009-01 tentang Pendaatan Kapal dan Izin Penangkapan Ikan (Record of
Fishing Vessels And Authorization to Fish) yang bertujuan menetapkan izin
penangkapan ikan di area Konvensi dan mewajibkan negara anggota untuk
memiliki kemanpuan untuk mengedalikan secara efektif termasuk penegakan
hukum dan peraturan jika terjadi pelanggaran.
Kedua CMM 2009-09 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi
untuk Kapal-Kapal Tanpa Kebangsaan (Conservation and Management Measure
for Vessels Without Nationality) yang merupakan implementasi pasal 10 konvensi,
di mana kapal yang tidak memiliki kebangsaan adalah kapal yang tidak
mengibarkan bendera suatu negara atau mengibarkan dua atau lebih bendera
negara sesuai dengan padal 92 UNCLOS 1982. Penegakan hukum dalam konteks
ini terkait dengan kebangsaan kapal yang diatur dalam PP No. 51 Tahun 2002.
Aturan tersebut dituangkan dalam bagian kedua Bab V tentang pendaftaran dan
96
kebangsaan kapal Indonesia. Menurut Pasal 41 ayat (1), kapal yang telah didaftar
di Indonesia dapat diberikan surat tanda kebangsaan kapal Indonesia sebagai bukti
kebangsaan. Surat tanda kebangsaan tersebut di berikan dalam bentuk (Pasal 41
ayat 2):
a. Surat laut untuk kapal -kapal yang berlayar di perairan laut dengan tonase
kotor 175 (GT. 175) atau lebih.
b. Pas tahunan untuk kapal -kapal yang berlayar di perairan laut dengan
tonase kotor 7 (GT. 7) dan sampai dengan tonase kotor kurang dari 175 (<
GT.175).
c. Pas kecil untuk kapal -kapal yang berlayar di perairan laut dengan tonase
kotor kurang dari 7 (< GT. 7).
d. Pas perairan daratan untuk kapal-kapal yang berlayar di perairan daratan.
Surat tanda kebangsaan kapal diberikan sebagai dasar bagi kapal untuk
dapat mengibarkan bendera Indonesia sebagai bendera kebangsaan (Pasal 42 ayat
1), yang harus selalu berada di atas kapal bila sedang berlayar (Pasal 42 ayat 2).
Selain itu, UU No. 21 Tahun 2009 menambahkan kewajiban pemberantasan
penangkapan ikan secara melanggar hukum di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia oleh kapal perikanan asing dan membuka kesempatan bagi
kapal Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di Laut Lepas.
Sebelum tahun 2008, Indonesia pernah menerapkan sistem perjanjian
bilateral dengan tiga negara yakni China, Thailand dan Philipina untuk
memanfaatkan sumberdaya ikan di ZEE Indonesia. Perjanjian bilateral dengan
ketiga negara tersebut sudah berakhir dan tidak diperpanjang lagi. Namun kerja
sama dengan Thailand dilanjutkan dalam bentuk usaha patungan, sewa atau
impor kapal oleh PMA atau perusahaan swasta nasional yang menggunakan eks
kapal lisensi (eks. kapal ikan berbendera Thailand) sesuai dengan ketentuan yang
tertuang dalam Permen KP No. 17/2006 tentang Usaha Penangkapan Ikan.
Permen KP No 17/2006 telah direvisi beberapa kali, terakhir menjadi Permen KP
No. Per.30/Men/2012.
Sistem skim lisensi yang pernah dilaksanakan memang menguntungkan
bagi peningkatan devisa dari pungutan perikanan terhadap kapal asing. Namun
juga banyak merugikan karena menyebabkan armada nasional tidak berkembang,
97
dominasi tenaga kerja asing dan pengurasan sumber daya ikan terutama di
perairan tempat beroperasinya kapal ikan asing. Diharapkan dengan sistem usaha
patungan armada nasional dapat berkembang karena kapal ikan asing akan
berubah kepemilikan atau alih bendera sehingga memperbesar jumlah armada
perikanan nasional. Disamping itu, armada perikanan nasional diharapkan
bertambah dari kapal ikan yang akan dibangun di Indonesia.
Sejak tahun 2008 pemerintah untuk tidak melanjutkan sistem skim lisensi
kapal asing ditujukan untuk meningkatkan kemampuan armada perikanan
nasional. Melalui sistem usaha patungan, diharapkan ada penyertaan modal dari
pengusaha perikanan domestik dan kewajiban membangun unit pengolahan ikan
sehingga meningkatkan usaha pengolahan dan pemasaran ikan di dalam negeri.
Namun dalam perkembangan usaha patungan banyak terjadi penyimpangan.
Sampai dengan tahun 2012, Ditjen Perikanan Tangkap telah mencabut
1.166 buah izin. Pencabutan izin dilakukan antara lain karena hal-hal sebagai
berikut : (1) Pemilik izin tidak merealisasikan alokasi SIUP yang dimilikinya
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun; (2) Kapal dilaporkan dan telah terbukti
melakukan IUU Fishing (masuk dalam IUU List RFMO’s); (3) Tidak
melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam SIUP dan SIPI/SIKPI; dan (4)
Permohonan pelaku usaha karena kapal terbukti telah tidak ada (tenggelam atau
rusak/hancur) atau tidak beroperasi lagi.
5.2.3 Kapal Penangkapan Ikan
Beberapa ketentuan WCPFC yang terkait dengan kapal penangkapan
ikan, yaitu Call Sign dan Identification Number (WIN), Pendataan dan pemberian
izin kapal penangkapan ikan serta Laporan Tangkapan.
1) Call Sign dan Identification Number (WIN)
Call Sign dan Identification Number (WIN) ditetapkan melalui CMM
2004-03 tentang Spesifikasi Untuk Penandaan dan Identifikasi Kapal
Penangkapan Ikan (Specifications For The Marking And Identification Of Fishing
Vessels). CMM 2004-03 ini bertujuan untuk menentukan identifikasi kapal
penangkapan ikan yang beroperasi di area Konvensi. Kewajiban negara anggota
untuk mendesak operator/pengusaha penangkapan ikan untuk mengadopsi
98
International Telecommunication Union Radio Call Signs (IRCS) dan kapal
harus memiliki nomor identitas WCPFC (WCPFC Identification Number/WIN).
Menurut Pasal 48 ayat (1) PP No. 51 Tahun 2002, kapal Indonesia yang
dilengkapi dengan perangkat komunikasi radio kapal harus mempunyai tanda
panggilan (call sign) sebagai salah satu identitas kapal. Aturan call sign juga
dituangkan dalam Lampiran III Permen KP No. Per.30/Men/2012, sedangkan
WIN di tuangkan dalam Lampiran II Permen KP No. Per.12/Men/2012.
Berdasarkan 430 kapal penangkapan ikan Indonesia yang terdaftar pada
Komisi WCPFC sampai dengan tahun 2012 terdapat 399 kapal atau 93 persen
yang telah memiliki IRCS/WIN, sedangkan 31 kapal atau tujuh persen belum
memiliki IRCS/WIN sehingga sesuai dengan ketentuan WCPC 31 kapal tersebut
dikategorikan illegal.
2) Pendataan dan Pemberian Izin Kapal Penangkapan Ikan.
Pendataan dan pemberian izin kapal penangkapan ikan ditetapkan pada
CMM 2009-01 tentang Pendataan Kapal dan Izin Penangkapan Ikan (Record of
Fishing Vessels And Authorization to Fish) yang bertujuan menetapkan izin
penangkapan ikan di area Konvensi dan mewajibkan negara anggota untuk
memiliki kemampuan untuk mengendalikan secara efektif termasuk penegakan
hukum dan peraturan jika terjadi pelanggaran. Pendataan kapal sesuai pasal 24
Konvensi WCPFC mensyaratkan bahwa penangkapan ikan di wilayah Konvensi
hanya dilakukan oleh kapal-kapal negara anggota sedangkan penangkapan ikan
diwilayah jurisdiksi negara negara lain harus memiliki izin negara bersangkutan
sesuai dengan peraturan negara tersebut. Jumlah izin harus sesuai dengan potensi
penangkapan diwilayah Konvensi dan tidak memiliki catatan IUU Fishing.
Sampai dengan tahun 2012 terdapat 430 kapal bendera Indonesia yang
telah didaftarkan pada Komisi WCPFC yang terdiri dari kapal gillnet, pole and
line, kapal pendukung, longline, dan purse seine. Dari jumlah tersebut, kapal
bendera Indonesia yang memiliki izin di atas 30 GT (izin pusat) sampai dengan
2012 berjumlah 363 kapal atau 84 persen dari jumlah kapal yang terdaftar pada
WCPFC. Komposisi kapal perjenis alat tangkap pada Gambar 12.
99
Sumber : Diolah dari Data Base WCPFC dan Data Perizinan Ditjen Perikanan Tangkap
Gambar 12 Kapal Bendera Indonesia yang didaftarkan pada Komisi
WCPFC
Pengaturan pemenuhan dan standar umum operasional kapal diatur dalam
PP No. 51 Tahun 2002. Sementara aturan pengadaan kapal ikan di atur dalam
Permen KP No. Per.12/Men/2012. Menurut Pasal 50, setiap orang yang akan
mengadakan kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan untuk
dipergunakan di laut lepas, harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis
dari Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Adapun lampiran untuk pengadaan
kapal baru, yaitu:
a. Fotokopi SIUP, yang mencantumkan wilayah penangkapan dan pengangkutan
ikan di Laut Lepas;
b. Fotokopi gambar rencana umum kapal (general arrangement), termasuk
spesifikasi alat penangkapan ikan;
c. Fotokopi gambar rencana umum kapal, termasuk spesifikasi untuk kapal
pengangkut ikan;
d. Nama perusahaan, lokasi dan negara tempat pembangunan kapal; dan
e. Surat keterangan dari galangan kapal tempat kapal akan dibangun.
69
128
76 82
8 1
23
62
182
160
2 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
Gillnet Pole and line Support Vessel(Purse seine)
Longline Purse sein Kapal tidakspesifik
Handline
Izin Indonesia Terdaftar WCPFC
100
Sementara lampiran untuk pengadaan kapal bukan baru, yaitu:
a. Fotokopi SIUP yang mencantumkan wilayah penangkapan di Laut Lepas;
b. Grosse akta;
c. Fotokopi gambar rencana umum kapal, termasuk spesifikasi alat penangkapan
ikan;
d. Fotokopi gambar rencana umum, untuk kapal pengangkut ikan;
e. Bendera kapal sebelumnya;
f. Fotokopi tanda kebangsaan kapal; dan
g. surat pernyataan bahwa kapal tidak tercantum dalam IUU Vessel List RFMO
Pengadaan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dapat
dilakukan dari dalam negeri dan/atau luar negeri (Pasal 50 ayat 3). Lebih lanjut,
pengadaan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan yang berasal
dari dalam negeri, dapat dilakukan untuk kapal berukuran di atas 30 GT.
Sementara pengadaan kapal penangkap ikan yang berasal dari luar negeri hanya
dapat dilakukan untuk kapal berukuran di atas 100 GT. Sedangkan pengadaan
kapal pengangkut ikan yang berasal dari luar negeri hanya dapat dilakukan untuk
kapal berukuran di atas 500 GT - 1.500 GT.
Aturan pengadaan kapal ikan dapat dilakukan oleh Menteri, Gubernur dan
Bupati/Walikota. Kewenangan Menteri diberikan kepada Direktur Jenderal
Perikanan Tangkap untuk kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan
ukuran diatas 30 GT, Gubernur memberikan kewenangan persetujuan dengan
ukuran diatas 10 GT - 30 GT, dan Bupati/Walikota memberikan kewenangan
persetujuan dengan ukuran sampai dengan 10 GT (Pasal 30). Pengadaan kapal
penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dapat dilakukan dari dalam
negeri dan/atau luar negeri dengan cara membeli, membangun, atau
memodifikasi (Pasal 31 ayat 1).
3) Laporan Tangkapan
Laporan tangkapan salah satunya melalui logbook penangkapan ikan,
dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan yang optimal
dan berkelanjutan serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan, diperlukan data
dan informasi perikanan yang akurat terkait dengan kegiatan penangkapan ikan
dalam logbook penangkapan ikan. Aturan logbook penangkapan ikan ditetapkan
101
dalam Permen KP No. Per.18/Men/2010. Logbook yang ada saat ini melengkapi
sistem pendataan statistik perikanan tangkap dan kebutuhan pengkajian stock.
Informasi yang tercatat dalam logbook berupa :
a. Jumlah kapal penangkap ikan yang beroperasi (active vessel) berdasarkan ;
jenis alat penangkap ikan, ukuran kapal, pelabuhan pendaratan, pelabuhan
keberangkatan (Pelabuhan yang mengeluarkan SPB/ Port Clearance) dan
wilayah pengelolaan perikanan (WPP)
b. Jumlah hasil tangkapan yang terdiri dari ; jenis alat penangkapan ikan, jenis
ikan dan hasil tangkapan sampingan.
c. Produktivitas kapal penangkapan ikan berdasarkan jenis alat penangkapan
ikan/GT/WPP/tahun.
Pengisiaan logbook mulai di laksanakan sejak Januari 2011 pada 22
pelabuhan perikanan unit pelaksana teknis (UPT) Pusat, satu pelabuhan perikanan
swasta (Barelang) dan satu pelabuhan umum (Benoa). Jenis informasi yang
dikumpulkan antara lain adalah jenis alat penangkapan ikan, ukuran kapal,
pelabuhan pendaratan, pelabuhan keberangkatan, jenis ikan, dan hasil tangkapan
sampingan.
Berdasarkan rekapitulasi data logbook tahun 2011 tingkat kesadaran
pelaku usaha penangkapan ikan yang menangkap ikan di wilayah kewenangan
RFMO masih rendah, yakni IOTC 332 kapal atau 44,87 persen dari 740 kapal
yang terdaftar pada IOTC, CCSBT 76 kapal atau 33,48 persen dari 227 kapal
yang terdaftar pada CCSBT, dan WCPFC 41 kapal atau 31,30 persen dari 131
kapal yang terdaftar pada WCPFC. Data logbook pada UPT pusat tahun 2012
adalah disajikan pada Tabel 16.
Pelaksanaan logbook penangkapan ikan di Indonesia dihadapkan pada
beberapa permasalahan dan kendala, yaitu: (a) kurangnya sosialisasi pengisian
logbook oleh para nakhoda. (b) pengisian logbook banyak diisi oleh pengurus
perusahaan di darat, sehingga manipulasi data sangat besar, dan (c) Format
logbook penangkapan ikan dirasakan nakhoda kurang sederhana sehingga
membingungkan nakhoda dalam mengisi buku logbook.
102
Tabel 16. Data Logbook pada Pelabuhan Perikanan UPT Pusat Tahun 2012
No. Pelabuhan Perikanan
Jumlah Yang Malaksanakan
Logbook Wilayah
Kewenangan
RFMO Kapal Trip
1 Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan 1.262 40.867 -
2 Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus 13 15 IOTC
3 Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam
Zachman 1.481 1.519
-
4 Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap 304 363 IOTC/CCSBT
5 Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung 1.394 2.168 IOTC
6 Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari 413 754 WCPFC
7 Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga - - IOTC
8 Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjung
Pandan 24 24
WCPFC
9 Pelabuhan Perikanan Nusantara Sungai Liat 707 1.118 WCPFC
10 Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu - - WCPFC
11 Pelabuhan Perikanan Nusantara
PalabuhanRatu 862 1.786
IOTC/CCSBT
12 Pelabuhan Perikanan Nusantara Kejawanan 135 135 WCPFC
13 Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan 52 52 WCPFC
14 Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong - - WCPFC
15 Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi 332 477 WCPFC
16 Pelabuhan Perikanan Nusantara
Pengambengan 301 803
IOTC/CCSBT
17 Pelabuhan Perikanan Nusantara Pemangkat 307 518 WCPFC
18 Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon 201 226 WCPFC
19 Pelabuhan Perikanan Nusantara Tual 129 142 WCPFC
20 Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate 234 489 WCPFC
21 Pelabuhan Perikanan Pantai Teluk Batang - - WCPFC
22 Pelabuhan Perikanan Pantai Kwandang 62 62 WCPFC
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap Tahun 2012
5.2.4 Alat Penangkap Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan
Ketentuan pengaturan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan
ikan ditetapkan melalui dua CMM yakni CMM 2008-04 tentang Tindakan
Pengelolaan dan Konservasi terhadap Jaring Insang Hanyut Skala Besar pada
Laut Lepas Area Konvensi (Conservation and Management Measure to Prohibit
the Use of Large-Scale Driftnets on the High Seas in the Convention Area), dan
CMM 2009-02 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penutupan Rumpon
103
dan Retensi Penangkapan (Conservation and Management Measure on the
Aplication of High Seas FAD Closures And Catch Retention).
1) CMM 2008-04 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi terhadap Jaring
Insang Hanyut Skala Besar pada Laut Lepas Area Konvensi (Conservation
and Management Measure to Prohibit the Use of Large-Scale Driftnets on
the High Seas in the Convention Area)
CMM 2008-04 mengadopsi Resolusi United Nations Nomor 46/215 yang
menyerukan perlunya moratorium global untuk jaring insang hanyut skala besar
karena berdampak buruk terhadap keberlanjutan ekosistem. Ketentuan ini berlaku
bagi negara anggota WCPFC di wilayah Konvensi terkecuali jika negara bendera
menangkap ikan di wilayah yurisdikasi dimana jaring insang hanyut diizinkan.
Jaring insang hanyut diatur melalui Pasal 13 dan Pasal 28 Permen KP No.
Per.02/Men/2011 yang merupakan alat penangkapan ikan bersifat pasif
dioperasikan dengan menggunakan ukuran :
a. mesh size > 1,5 inch, P tali ris < 500 m, menggunakan kapal motor berukuran
< 5 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB, II, dan III di WPP-
NRI 571, WPP-NRI 572, WPP-NRI 573, WPP-NRI 711, WPP-NRI 712,
WPP-NRI 713, WPP-NRI 714, WPP-NRI 715, WPP-NRI 716, WPP-NRI 717
dan WPP-NRI 718.
b. mesh size > 1,5 inch, P tali ris < 1.000 m, menggunakan kapal motor
berukuran > 5 s/d 10 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan IB,
II, dan III di WPP-NRI 571, WPP-NRI 572, WPP-NRI 573, WPP-NRI 711,
WPPNRI 712, WPP-NRI 713, WPP-NRI 714, WPP-NRI 715, WPP-NRI 716,
WPPNRI 717 dan WPP-NRI 718.
c. mesh size > 1,5 inch, P tali ris < 2.500 m, menggunakan kapal motor
berukuran > 10 s/d < 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III
di WPP-NRI 571, WPP-NRI 572, WPP-NRI 573, WPP-NRI 711, WPP-NRI
712, WPP-NRI 713, WPP-NRI 714, WPP-NRI 715, WPP-NRI 716, WPP-
NRI 717 dan WPP-NRI 718.
d. mesh size > 4 inch, P tali ris < 2.500 m, menggunakan kapal motor berukuran
> 30 GT, dan dioperasikan pada jalur penangkapan ikan III di WPP-NRI 571,
104
WPPNRI 572, WPP-NRI 573, WPP-NRI 711, WPP-NRI 712, WPP-NRI 713,
WPP-NRI 714, WPP-NRI 715, WPP-NRI 716, WPP-NRI 717 dan WPP-NRI
718.
Berdasarkan data perizinan Ditjen Perikanan Tangkap sampai dengan
tahun 2012 terdapat satu kapal jaring insang hanyut yang diberi izin penangkapan
ikan di ZEE Indonesia Samudera Pasifik yakni KM Ericaristine dengan ukuran
517 GT. Namun berdasarkan Record of Fishing Vessel (RVF) WCPFC kapal
tersebut telah dihapus pada daftar kapal WCPFC per tanggal 12 November 2009.
2) CMM 2009-02 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penutupan
Rumpon dan Retensi Penangkapan (Conservation and Management Measure
on the Aplication of High Seas Fad Closures And Catch Retention)
CMM 2009-02 melengkapi dan menjadi bagian dari CMM 2008-01
tentang bigeye dan yellowfin di area WCPFC yang bertujuan untuk memastikan
implemetasi konsisten dari penutupan rumpon diarea perairan antara 200 LS
derajat dan 200 LU pada periode 1 Agustus sampai dengan 30 September.
Pengertian rumpon pada CMM 2008-01 adalah benda atau kelompok benda dari
berbagai ukuran, yang telah atau belum di gunakan/di pasang, baik hidup atau
tidak hidup, termasuk tetapi tidak terbatas pada buoys, mengapung, jaring,
anyaman, plastik, bambu, kayu dan hiu paus mengambang didalam atau dekat
permukaan air yang berasosiasinya.
Selama periode penutupan rumpon, semua kapal purse seine tanpa
observer di atas kapal wajib menghentikan kegiatan penangkapan ikan.
Sedangkan kapal penangkapan ikan yang dapat melakukan operasi penangkapan
ikan yang hanya terdapat observer diatas kapal dari Regional Observer Program
untuk memonitor kapal tersebut tidak memasang atau menangkap ikan di rumpon.
Permintaan observer dari Regional Observer Program harus memberitahukan
kepada koordinator program observer selambatnya 21 hari sebelumnya. Namun
jika tidak tersedia observer dari Regional Observer Program maka negara
bendera dapat menempatkan observer nasionalnya pada kapal tersebut.
Selama waktu penutupan rumpon, kapal purse seine hanya diperbolehkan
untuk melakukan operiasonal penangkapan berada satu mil dari rumpon. Operator
105
kapal wajib melarang kapalnya untuk mengumpulkan ikan atau menggiring ikan
dengan menggunakan lampu dalam air menuju lokasi tertentu. Peralatan
pendukung rumpon seperti perlengkapan elektronik dapat diangkat selama periode
penutupan jika langsung disimpan kedalam kapal untuk dibawa ke pelabuhan.
Penutupan rumpon pada periode Agustus – September akan sangat
berpengaruh kepada hasil tangkapan purse seine. Jika mengacu pada data
pendaratan kapal purse seine pada Agustus- September 2012 setidaknya potensi
nelayan purse seine untuk tidak dapat menangkap skipjack 4.588,33 ton, bigeye
16,19 ton dan yellowfin 393,26 ton (Gambar 12). Besarnya potensi kerugian
tersebut dapat diatasi jika pemerintah segera merekrut tenaga observer untuk
ditempatkan pada kapal-kapal purse seine yang menangkap ikan diwilayah
Konvensi.
Sumber : Diolah dari Data Logbook Penangkapan Ikan PPS Bitung Tahun 2012
Gambar 13 Data Pendaratan Hasil Tangkapan Purse Seine Periode Juli –
November 2012
Penggunaan alat bantu penangkapan rumpon telah lama dikenal oleh
nelayan Kota Bitung yang menangkap ikan di Laut Sulawesi dan Samudera
Pasifik. Rumpon pada Permen KP Nomor Per.02/Men/2011 di defenisikan
sebagai alat bantu untuk mengumpulkan ikan dengan menggunakan berbagai
Juli Agustus September Oktober November
Skipjack 2,044.72 2,386.65 2,201.67 2,513.24 2,416.86
Bigeye 6.84 7.15 9.04 2.11
Yellowfin 393.26 544.07 294.02 289.78 512.13
0.00
500.00
1,000.00
1,500.00
2,000.00
2,500.00
3,000.00
Jum
lah
Tan
gkap
an (
ton
)
PERIODE PENUTUP PURSE SEINE
106
bentuk dan jenis pemikat/atraktor dari benda padat yang berfungsi untuk memikat
ikan agar berkumpul.
Penggunaan rumpon di Kota Bitung umumnya menjadi satu paket dengan
kapal purse seine dan kapal lampu. Satu paket armada purse seine biasanya terdiri
dari 3-4 kapal angkut (carrier vessel), satu kapal penangkapan dan 3-4 kapal
lampu. Operasional penangkapan dapat dilakukan 1-2 kali penangkapan setiap
malam dengan satu trip 60-90 hari.
Alat bantu penangkapan ikan rumpon sangat membantu efesiensi usaha
penangkapan ikan di Kota Bitung, karena keberadaan rumpon menjadikan
penangkapan ikan menjadi lebih fokus dan berkurangnya waktu operasional
penangkapan ikan yang biasanya tanpa menggunakan rumpon bisa memakan
waktu pengejaran 4-6 jam perhari. Oleh karena itu, penggunaan alat bantu rumpon
dapat membantu nelayan untuk menekan biaya bahan bakar minyak (BBM).
Jenis rumpon yang berkembang di perairan Sulawesi Utara umumnya
adalah rumpon laut dalam yang ditempatkan pada kedalaman 200 m. Jenis
rumpon ini telah lama di kembangkan oleh nelayan Sulawesi dengan sebutan
Rompong yang dilengkapi rakit dengan kamar perangkap ikan yang berfungsi
sebagai bubu apung (floating traps).
Gambar 14 Kapal Purse Seine (A), Rumpon (B) dan Ponton (C) di Kota Bitung
Berdasarkan rekomendasi Ditjen Perikanan Tangkap, pada tahun 2001-
2009 telah direkomendasi izin rumpon pada perairan ZEE Indonesia di Laut
Sulawesi dan Samudera Pasifik sejumlah 284 titik rumpon. Jumlah tersebut akan
bertambah jika termasuk rumpon izin pemerintah daerah. Peta rekomendasi
rumpon pada peraiaran ZEE Indonesia Laut Sulawsi dan Samudera Pasifik dapat
dilihat pada gambar 14.
A B C
107
Sejak tahun 2010 pemberian izin rumpon dihentikan sementara untuk
seluruh perairan ZEE Indonesia melalui Keputusan Dirjen Perikanan Tangkap
Nomor KEP.08/DJPT/2010. Keputusan ini mengatur pemberhentian sementara
pemberian izin bagi usaha baru alat penangkapan ikan dan alat bantu
penangkapan ikan tertentu. Peraturan ini terkait dengan penutupan purse seine
Pelagis Besar (diatas 200GT) untuk semua daerah penangkapan dan rumpon
semua ZEE Indonesia.
Sumber : Diolah dari data izin rumpon pusat tahun
Gambar 15 Peta Rumpon Izin Pusat Tahun 2001 – 2009
Penggunaan rumpon sebenar telah menjadi permasalahan dalam
pengelolaan perikanan tangkap di Sulawesi Utara karena banyak rumpon yang
tidak memiliki izin dan penempatannya tidak sesuai peraturan dan kepemilikan
rumpon oleh nelayan Philipina yang menggunakan pumpboat.
Pumpboat rata-rata berukuran 5 – 10 GT dengan mesin 60-100 PK yang
menggunakan alat tangkap handline dengan lama operasi 10 hari. Satu unit kapal
pumpboat membawa 5-14 perahu kecil dengan mesin 5-10 PK yang merupakan
sebagai armada semut. Kepemilikan pumpboat sebagian besar dimiliki oleh warga
negara Philipina yang memanfaatkan kesamaan budaya dengan masyarakat
108
Kepulauan Sangihe Talaud. Keberadaan pumpboat telah menjadi ancaman
pemanfaatan sumberdaya tuna dan terindikasi bahwa hal ini didorong oleh
keinginan Philipina untuk menjadikan peraiaran Laut Sulawesi menjadi
traditional fishing right nelayan philipinna.
Disamping hal tersebut, keberadaan pumpboat dianggap illegal karena
banyak yang tidak memiliki izin penangkapan ikan dan memiliki izin ganda dari
beberapa kabupaten. Berdasarkan data yang dikumpulkan pada Pertemuan
Pengelolaan Pumpboat pada tanggal 28 Mei 2010 di Manado terdata 457 unit
pumpboat diperairan Indonesia yang memiliki izin dari Kota Bitung 289 unit,
Kota Ternate 50 unit, Kabupaten Halmahera Utara 50 unit dan Halmahera Tengah
58 unit.
Terkait dengan Ketentuan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu
Penangkapan Ikan yang ditetapkan melalui CMM 2008-04 dan CMM 2009-02
telah diatur Permen KP No. Per.02/Men/2011 tentang jalur penangkapan ikan dan
alat bantu penangkapan ikan. Tujuan Peraturan Menteri ini adalah untuk
mewujudkan pemanfaatan sumberdaya ikan yang bertanggungjawab optimal dan
berkelanjutan serta mengurangi konflik pemanfaatan sumber daya ikan
berdasarkan prinsip pengelolaan sumber daya ikan. Menurut Peraturan Menteri
ini, jalur penangkapan ikan di WPP-NRI terdiri dari:
a. Jalur penangkapan ikan I, terdiri dari: (1) jalur penangkapan ikan IA, meliputi
perairan pantai sampai dengan 2 mil laut yang diukur dari permukaan air laut
pada surut terendah, dan (2) Jalur penangkapan ikan IB, meliputi perairan
pantai di luar 2 mil laut sampai dengan 4 mil laut.
b. Jalur penangkapan ikan II, meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I
sampai dengan 12 mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah.
c. Jalur penangkapan ikan III, meliputi ZEEI dan perairan di luar jalur
penangkapan ikan II.
Peraturan Menteri ini mulai berlaku tanggal 1 Februari 2012 sesuai dengan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.08/MEN/2011 tentang
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.02/Men/2011 tentang
Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu
Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
109
Sementara itu, dalam Permen KP No. Per.05/Men/2012 disebutkan bahwa
pemberlakuan beberapa Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan
mulai berlaku tanggal 1 Februari 2013. Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu
Penangkapan Ikan tersebut, yaitu:
a. Pukat cincin pelagis kecil dengan satu kapal dengan alat bantu penangkapan
ikan (ABPI) berupa rumpon dan lampu sebagaimana diatur dalam Pasal 22
ayat (1);
b. Lampara dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (7);
c. Pukat hela dasar berpapan (otter trawls) sebagaimana diatur dalam Pasal 24
ayat (2);
d. Pukat hela pertengahan udang (shrimp trawls) sebagaimana diatur dalam Pasal
24 ayat (8);
e. Bagan berperahu dengan ABPI berupa lampu sebagaimana diatur dalam Pasal
26 ayat (2);
f. Pukat labuh (long bag set net) sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (4);
g. Muro ami sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (11); dan
h. Rawai dasar (set longlines) sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (7);
Khusus pengaturan rumpon pada Permen KP No. Per.02/Men/2011 belum
diatur lebih rinci dan diamanatkan akan diatur menjadi peraturan menteri sendiri.
Oleh karena itu seharusnya peraturan menteri terkait dengan rumpon segera
ditetapkan sehingga pengelolaan rumpon dapat dilakukan dengan baik. Sebelum
Permen KP No. Per.02/Men/2011 terbit telah terdapat Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan No Kep.30/Men/2004 tentang Pemasangan dan
Pemanfatan Rumpon. Dalam Kepmen ini diatur mekanisme pemberian izin
rumpon dari tingkat pusat hingga daerah dan penempatan rumpon yang
memerhatikan habitat, jalur ruaya, kawasan lindung, Alur Layar Kepulauan
Indonesia (ALKI), jalur navigasi pelayaran dan batas wilayah.
110
5.2.5 Pengelolaan Tangkapan Utama
Berdasarkan pelaporan statistik WCPFC dari jumlah tersebut di atas hanya
terdapat delapan spesies yang menjadi spesies target utama di wilayah Konvensi
WCPFC. Sedangkan yang menjadi target sasaran oleh kapal Indonesia di wilayah
Konvensi WCPFC yakni lima spesies yakni bigeye, yellowfin, skipjack, swordfish,
dan striped marlin. Sedangkan albacore ditangkap diluar wilayah Konvensi yakni
di Samudera Hindia dan Laut Timor, dan dua spesies lainnya yakni black marlin
dan blue marlin tidak tertangkap oleh kapal bendera Indonesia.
Berdasarkan data statistik WCPFC pada tahun 2002-2011, spesies
tangkapan utama Indonesia didominasi oleh (1) skipjack dengan rata-rata
tangkapan pertahun sebesar 224.384 ton atau meningkat setiap tahun sebesar 3,34
persen, (2) yellowfin dengan rata-rata tangkapan pertahun 70.806 ton atau
meningkat setiap tahun sebesar 3,42 persen, dan (3) bigeye dengan rata-rata
tangkapan pertahun 14.071 ton atau meningkat setiap tahun sebesar 4,03 persen.
Sedangkan untuk swordfish dan kelompok marlin sangat sedikit tertangkap karena
umumnya ikut tertangkap pada alat tangkap longline dan purse seine. Data rinci
tangkapan tuna Indonesia per spesies terdapat pada Gambar 16.
Sumber : Diolah Data Base WCPFC
Gambar 16 Tangkapan dari Kapal Bendera Indonesia pada Wilayah Konvensi
pada tahun 2002 – 2011
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Swordfish 253 392 577 583 657 633 627 658 644 644 644
Striped Marlin 88 138 203 205 232 223 221 232 227 227 227
Blue Marlin 545 799 1,135 1,146 1,605 1,431 1,512 1,441 1,383 1,408 1,478
Black Marlin 164 240 341 344 652 480 430 489 413 420 557
Yellowfin 68,779 73,106 72,692 82,157 59,450 51,040 62,842 58,353 80,669 64,155 103,595
Skipjack 173,265 173,336 163,583 191,653 173,203 218,310 243,118 255,917 279,985 273,637 270,100
Bigeye 10,395 10,922 10,959 12,318 12,147 14,717 13,532 18,002 18,052 13,472 16,584
-
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
350,000
400,000
450,000
Ton
111
Berdasarkan daerah penangkapan yang diolah dari data logbook
penangkapan ikan PPS Bitung dan PPN Ternate tahun 2012, tangkapan Indonesia
masih berada di dalam perairan Indonesia. Spesies bigeye umumnya tertangkap di
Laut Maluku diatas Kepuluan Sula. Sedangkan yellowfin tertangkap merata di
Laut Sulawesi terutama antara perairan Kota Bitung dan Kepulauan Sangihe,
disekitar Laut Seram dan Laut Halmahera. Sedangkan untuk skipjack banyak
tertangkap pada Laut Sulawesi dan Laut Maluku. Daerah penangkapan ikan
berdasarkan analisa logbook di sajikan pada Gambar 16.
Sumber : Diolah Data Logbook Penangkapan Ikan
Gambar 16 Peta Daerah Penangkapan Kapal Indonesia Berdasarkan Jenis Ikan
Keragaan spesies yang menjadi tangkapan utama kapal bendera Indonesia
di wilayah Konvensi adalah sebagai berikut :
1) Bigeye (Thunnus obesus)
Pengaturan bigeye dan yellowfin tuna ditetapkan melalui CMM 2008-
01 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Tuna Bigeye dan Tuna
Yellowfin di WCPFC (Conservation and Management Measure for Big-eye and
Yellowfin Tuna in the WCPFC) dan diperpanjang melalui CMM 2011-01 tentang
112
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Untuk Perpanjangan Sementara CMM
2008-01 (Conservation and Management Measure for Temporary Extension of
CMM 2008-01). Pengaturan bertujuan untuk mengurangi tingkat kematian akibat
upaya penangkapan kedua spesies ini terutama kematian juvenile akibat
penggunaan alat tangkap purse seine dengan alat bantu rumpon. Penutupan
berlaku pada periode 1 Agustus – 30 September antara tahun 2009 – 2012 yang
selanjutnya diperpanjang melalui CMM 2011-01. Namun ketentuan ini tidak
berlaku jika kapal tersebut terdapat observer yang dilaporkan ke Komisi.
Berdasarkan data logbook penangkapan ikan PPS Bitung pada periode
Agustus – September 2012 (Gambar 12), jumlah tangkapan bigeye sebesar 16,19
ton dan yellowfin sebesar 838,09 ton. Jika hasil tangkapan tersebut dikalikan
dengan Harga Patokan Ikan (HPI) tahun 2011 sesuai dengan Peraturan Menteri
Perdagangan No: 13/M-DAG/PER/5/2011, untuk bigeye dengan HPI Rp.9000/kg
maka nilai ekonominya sebesar Rp.129.480.000,- dan yellowfin dengan HPI
Rp.18.400/kg maka nilai ekonominya mencapai Rp.15.420.837.600,-. Total nilai
ekonomi dari kedua spesies tersebut pada periode Agustus – September 2012
sebesar Rp.15.550.317.600,-.Nilai ekonomi akibat penutupan rumpon di wilayah
Konvensi untuk kedua spesies tersebut sangat besar bagi nelayan yang
mendaratkan ikan di PPS Bitung. Oleh karena itu, sudah seharusnya Indonesia
mengantisipasi hal tersebut dengan segara mengangkat obsever untuk ditempatkan
pada kapal-kapal Indonesia yang menangkap di wilayah Konvensi terutama pada
saat penutupan penggunaan rumpon. Dampak ekonomi terutama untuk tangkapan
juvenile bigeye dan yellowfin akan dibahas pada sub-bab berikutnya.
Berdasarkan data statistik WCPFC, jumlah tangkapan bigeye di wilayah
Konvensi 149.356 ton atau meningkat 0,71 persen pertahun. Indonesia memiliki
peran penting terhadap tangkapan bigeye di wilayah Konvensi, karena kontribusi
tangkapan kapal-kapal Indonesia setiap tahun mencapai 9,68 % dan laju
peningkatan tangkapan bigeye kapal-kapal Indonesia yang lebih besar yakni 6,17
persen pertahun, angka tersebut jauh kebih tinggi dari laju peningkatan bigeye di
wilayah Konvensi.
Kajian sediaan bigeye yang di lakukan oleh WCPFC Scientific Committe
antara tahun 2005 – 2009 mengindikasikan telah terjadi penuruan sediaan bigeye
113
tuna. Oleh karena itu, setiap negara diminta untuk mengurangi jumlah tangkapan
secara bertahap dari kondisi tahun 2004 yakni 10 persen tahun 2009, 20 persen
tahun 2010 dan 30 persen tahun 2011. Dalam upaya membatasi tangkapan bigeye
tuna WCPFC telah menetapkan catch limit untuk bigeye tuna Indonesia sejak
tahun 2009 sebesar 7.572 ton, tahun 2010 sebesar 6.730 ton, dan tahun 2011 dan
2012 masing-masing sebesar 5.889 ton. Grafik tangkapan bigeye terdapat pada
Gambar 17.
Dibandingkan dengan trend jumlah tangkapan bigeye kapal-kapal
Indonesia menunjukkan arah peningkatkan yang seharusnya sesuai dengan
ketentuan tersebut harus turun dan melampaui batas tangkapan yang telah
ditetapkan setiap tahun. Posisi Indonesia juga semakin sulit, karena berdasarkan
Scientific Committe tahun 2009 menyimpulkan bahwa tangkapan domestik dari
longline Indonesia berkontribusi menyebabkan turun sediaan bigeye tuna di
wilayah Konvensi.
Sumber : Diolah Data Base WCPFC
Gambar 18 Tangkapan Bigeye Indonesia dan WCPFC Tahun 2002- 2010
2) Yellowfin (Thunnus albacares)
Pengaturan yellowfin ditetapkan bersamaan dengan ketentuan pengaturan
bigeye yakni melalui CMM 2008-01 yang kemudian diperpanjang melalui CMM
2011-01. Trend penangkapan yellowfin pada wilayah WCPFC selama tahun 2002-
2011 rata-rata meningkat 70.550 ton pertahun atau meningkat 1,96 persen setiap
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
WCPFC 161,404 131,694 173,576 146,802 159,816 143,006 152,024 153,750 130,014 153,521
Indonesia 10,922 10,959 12,318 12,147 14,717 13,532 18,002 18,052 13,472 16,584
-
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
140,000
160,000
180,000
200,000
Ton
114
tahun. Sama halnya dengan bigeye, kapal-kapal Indonesia memiliki peran penting
dalam laju penangkapan yellowfin. Setiap tahun kontribusi rata-rata Indonesia
sebesar 13,74 persen. Grafik Tangkapan yellowfin terdapat pada Gambar 19.
Berdasarkan laporan Fith Regular Session Scientific Committe pada tahun
2009, Scientific Committe merekomendasikan bahwa yellowfin telah berada pada
tingkat fully exploited. Salah satu penyebabnya adalah besarnya jumlah tangkapan
juvenile yellowfin oleh kapal purse seine yang menggunakan alat bantu rumpon
sehingga terjadinya penurunan populasi.
Sumber : Diolah dari Data Base WCPFC
Gambar 19 Tangkapan Yellowfin Indonesia dan WCPFC Tahun 2002- 2010
3) Skipjack (Katsuwonus pelamis)
Berbeda dengan spesies bigeye dan yellowfin yang telah menjadi ketentuan
sebagai spesies utama dalam pengelolaan pada WCPFC, skipjack belum diatur
secara khusus dalam suatu ketentuan. Namun demikian akibat penutupan rumpon
pada Agustus – September akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan nelayan
karena sebagian besar tangkapan purse seine adalah skipjack. Data logbook
penangkapan ikan PPS Bitung tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah tangkapan
skipjack sebesar 4.588 ton atau jika dikalikan dengan HPI tahun 2011 sebesar
Rp.8.800 per kg maka nilai ekonominya sebesar Rp. 40.377.268.000,-.
Jumlah tangkapan skipjack di wilayah Konvensi WCPFC pada tahun
2002- 2011 mengalami peningkatan rata-rata setiap sebesar 1.522.730 ton atau
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
WCPFC 471,37 512,22 503,76 561,56 486,06 507,81 573,15 506,87 541,82 476,84
Indonesia 73,106 72,692 82,157 59,450 51,040 62,842 58,353 80,669 64,155 103,59
-
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
700,000
Ton
115
setiap tahun meningkat sebesar 2,89 persen .Sedangkan kontribusi Indonesia pada
tangkapan skipjack adalah sebesar 15 persen (Gambar 20).
Sumber : Diolah Data Base WCPFC
Gambar 20 Tangkapan Skipjack Indonesia dan WCPFC Tahun 2002- 2010
4) Swordfish (Xiphias gladius)
Pengaturan Swordfish ditetapkan melalui CMM 2009-03 tentang
Tindakan Pengelolan dan Konservasi Swordfish (Conservation and Management
for Swordfish) yang betujuan melindungi kepentingan SIDS yang perekonomiaan
sangat bergantung pada perikanan swordfish. Berdasarkan kajian Widodo tahun
2010 swordfish dan kelompok marlin oleh kapal-kapal bendera Indonesia di
Samudera Pasifik tidak termasuk tangkapan utama. Oleh karena itu jumlah
tangkapannya relatif kecil dibanding kelompok tuna.
Rata-rata jumlah tangkapan swordfish pada tahun 2002-2011 di wilayah
Konvensi meningkat sebesar 12.972 ton pertahun dengan peningkatan setiap
tahun sebesar 4,95 persen. Kontribusi Indonesia terhadap tangkapan swordfish
rata-rata setiap tahunnya adalah 4,94 persen (Gambar 20).
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
WCPFC 1,220, 1,220, 1,308, 1,378, 1,481, 1,646, 1,645, 1,794, 1,678, 1,550,
Indonesia 173,33 163,58 191,65 173,20 218,31 243,11 255,91 279,98 273,63 270,10
-
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
To
n
116
Sumber : Diolah Data Base WCPFC
Gambar 21 Tangkapan Swordfish Indonesia dan WCPFC Tahun 2002- 2010
5) Kelompok marlin
Jenis marlin yang terdata dalam statistik WCPFC sejumlah tiga jenis yakni
black marlin (Makaira indica), Blue marlin (Makaira nigricans) dan Striped
marlin (Tetrapturus audax). Namun dari ketiga spesies tersebut yang telah diatur
melalui CMM hanya Striped marlin melalui ketentuan CMM 2010-01 tentang
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi North Pacific Striped Marlin
(Conservation and Management Measure for North Pacific Striped Marlin).
CMM ini bertujuan untuk mengurangi laju tangkapan secara bertahap dengan
jumlah tangkapan mulai per 1 Januari 2012 sebesar 80 persen dari jumlah
tangkapan tahun 2000-2003. Disamping itu berdasarkan laporan International
Scientific Committee for Tuna and Tuna-like Species in the North Pacific Ocean
(ISC) menyatkan bahwa sediaan North Pacific Striped Marlin mulai terancam dan
sediaan mulai berkurang dari tahun 2003.
Jumlah tangkapan striped marlin WCPFC pada periode tahun 2002-2011
meningkat sebesar 3.840 ton pertahun atau meningkat sebesar 1,86 persen setiap
tahun. Kontribusi Indonesia terhadap tangkapan striped marlin setiap tahun
mencapai 6,58 persen (Gambar 22).
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
WCPFC 11,090 13,826 12,676 12,226 13,025 14,003 13,414 12,544 11,396 12,021
Indonesia 392 577 583 657 633 627 658 644 644 644
-
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
16,000
To
n
117
Sumber : Diolah Data Base WCPFC
Gambar 22 Tangkapan striped marlin Indonesia dan WCPFC Tahun 2002- 2010
Kepedulian pengelolaan perikanan Indonesia di laut lepas dituangkan
dalam UU No. 31 Tahun 2004. Menurut Pasal 10 ayat (1), untuk kepentingan
kerja sama internasional, Pemerintah: (a) dapat memublikasikan secara berkala
hal-hal yang berkenaan dengan langkah konservasi dan pengelolaan sumber daya
ikan; (b) bekerja sama dengan negara tetangga atau dengan negara lain dalam
rangka konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan di laut lepas, laut lepas yang
bersifat tertutup, atau semi tertutup dan wilayah kantong; (c) memberitahukan
serta menyampaikan bukti-bukti terkait kepada negara bendera asal kapal yang
dicurigai melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan dalam
konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan.
5.2.6 Pengelolaan Tangkapan Sampingan
Dalam ketentuan WCPFC terdapat tiga kelompok spesies yang dimasukan
dalam kelompok tangkapan sampingan (bycatch) yakni hiu, penyu dan burung
laut. Tangkapan sampingan ketiga jenis tersebut diatur melalui CMM 2004-04
Resolusi Tindakan Pengelolaan dan Konservasi (Resolution on Conservation and
Management Measures) merupakan tindaklanjut dari Pasal 5 Konvensi WCPFC
yang mengatur perlunya tindakan mitigasi akibat tangkapan tangkapan sampingan
untuk spesies hiu, penyu dan burung laut.
Tangkapan sampingan diartikan sebagai ikan hasil tangkapan non target
pada suatu perikanan tertentu (Pauly, 1984; Alverson et al 1994). Pada alat
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
WCPFC 4,380 4,660 4,660 4,220 4,124 3,405 4,107 3,233 2,791 3,358
Indonesia 138 203 205 232 223 221 232 227 227 227
-
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
To
n
118
tangkap longline, jenis-jenis hiu , sering tertangkap sebagai tangkapan sampingan.
Khusus Indonesia yang berada pada perairan tropis tangkapan sampingan lebih
banyak pada hiu dan penyu sedangkan burung laut lebih banyak terjadi pada
perairan sub-tropis.
1) Hiu
Konservasi dan pengelolaan hiu ditetapkan melalui CMM 2010-07
tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Hiu (Conservation and
Management Measure for Sharks). Salah satu pertimbangan penetapan CMM
2010-07 dikarenakan beberapa jenis hiu telah masuk dalam Appendix II CITES
yakni basking shark and great white shark.
Dalam rangka implementasi IPOA Conservation and Management of
Sharks perlu negara anggota FAO segera mengadopsi dalam National Plan of
Action (NPOA) untuk meminimalkan tangkap yang tidak termanfaatkan dan
mendorong pelepasan jika tertangkap.
Ketentuan pengaturan hiu ditetapkan melalui CMM 2011-04 tentang
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi untuk Oceanic Whitetip Shark
(Conservation and Management Measure for Oceanic Whitetip Shark).
Berdasarkan kajian Komite Ilmiah WCPFC mengindikasikan telah terjadi
penurunan sediaan Oceanic Whitetip Shark (Carcharhinus Longimanus) akibat
penangkapan longline dan puirse seine di wilayah WCPFC. Member, Cooperating
Non Member dan Participating Territories pada ketentuan ini melarang kapal
bendera negarannya untuk melakukan transhipment, penyimpanan atau
mendaratkan Oceanic Whitetip Shark secara utuh atau sebagian. CMM ini berlaku
mulai 1 Januari 2013.
Hasil penelitian hiu di Indonesia menyimpulkan bahwa di perairan
Indonesia sekurang-kurangnya terdapat sekitar 137 jenis hiu dan pari : 76 spesies
hiu dan 61 spesies pari. Dari 76 spesies hiu yang dimanfaatkan di Indonesia tidak
termasuk spesies Carcharodon megalodon (white shark) yang sampai saat ini
belum pernah tertangkap sebagai komoditas perikanan cucut. Di perairan
Samudera Pasifik jenis hiu yang banyak tertangkap oleh longline adalah pari
manta (manta birostris) yang merupakan salah satu spesies ikan tebesar di dunia.
119
Tankapan hiu merupakan kegiatan sampingan dari kegiatan perikanan
longline, gillnet, fish net dan trammel net. Aktivitas perikanan ini ditemukan
hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia. Hasil tangkapan cucut
dimanfaatkan oleh nelayan sebagai hasil tambahan perikanan dalam berbagai
bentuk komoditas : bahan makanan olahan (diasin), produk ekspor dari sirip
cucut, kulitnya sebagai bahan berbagai bentuk asesoris (tas, sepatu, dompet dll)
untuk kebutuhan dalam negeri, tulang belakang dipasarkan sebagai bahan obat
kanker dan organ dalam (hati) terutama dari jenis cucut botol (Squalidae) dapat
menghasilkan minyak.
Berdasarkan data Statitik WPP Perikanan Tangkap tahun 2007 – 2011,
jenis hiu dominan yang tertangkap di WPP 716 (Laut Sulawesi dan Sebelah Utara
Pulau Halmahera) dan WPP 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik)
adalah requiem sharks (hiu lanyam). Rata-rata tangkapan requiem sharks sebesar
57,71 persen dari jumlah tangkapan hiu, terutama antara tahun 2008-2011
(Gambar 22).
Sumber : Diolah Data Statistik Perikanan Tangkap per WPP tahun 2012
Gambar 22 Jumlah Tangkapan Hiu di WPP 716 dan 717
2007 2008 2009 2010 2011
Whitespotted wedgefishes 301 19 157 161
Stingrays 84 244 330 213 217
Requiem sharks 74 736 726 723 740
Thresher sharks 1,028 226 344 373
-
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
1,600
Ton
120
2) Penyu
Tangkapan sampingan penyu ditetapkan melalui CMM 2008-03 tentang
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Penyu (Conservation And Management of
Sea Turtles) yang merupakan adopsi Pedoman FAO tahun 2005 untuk
mengurangi angka kematian penyu dalam operasi penangkapan ikan. Terdapat
lima jenis penyu di wilayah konvensi yang tertangkap pada alat tangkap longline
yakni, Green turtle, Loggerhead, Leatherback, Hawksbill dan Olive ridley.
Berdasarkan pasal 5 dan 10 Konvensi, Komisi mendesak semua negara
anggota unruk mengimplementasikan Pedoman Penangkapan Alat Tangkap Purse
Seine di wilayah perairan nasional dan di area Konvensi. Pada kondisi penyu
tertangkap dengan tidak sengaja maka awak kapal perlu melakukan upaya
pelepasan dan memastikan penyu tersebut dalam kondisi selamat. Kelima jenis
penyu tersebut terdapat di perairan Indonesia yang telah dilindungi melalui
Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan
Ekosistemnya dengan aturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah No. 7 tahun
1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Sebagaimana pengelolaan tangkapan utama, pengelolaan tangkapan
sampingan di laut lepas mengacu pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004.
Ketentuan tersebut dikuatkan dengan UU No. 21 Tahun 2009, yaitu pelaksanaan
Pasal 8 mengenai kerja sama untuk konservasi dan pengelolaan. Aturan lebih rinci
mengenai pengelolaan tangkapan sampingan dituangkan dalam Permen KP No.
Per.12/Men/2012. Pada Bab X bagian kesatu mengenai hasil tangkapan
sampingan (bycatch) yang secara ekologi terkait dengan (ecologically related
species) perikanan tuna. Menurut Pasal 39, setiap kapal penangkap ikan yang
melakukan penangkapan ikan di laut lepas yang memperoleh hasil tangkapan
sampingan (bycatch) yang secara ekologis terkait dengan (ecologically related
species) perikanan tuna berupa hiu, burung laut, penyu laut, mamalia laut
termasuk paus, dan hiu monyet wajib melakukan tindakan konservasi. Hasil
tangkapan sampingan yang secara ekologis terkait dengan perikanan tuna berupa
hiu dengan ketentuan bukan hiu juvenile dan hiu dalam kondisi hamil, dan harus
didaratkan secara utuh (Pasal 40 ayat 1).
121
Sementara itu, hasil tangkapan sampingan yang secara ekologis terkait
dengan perikanan tuna berupa burung laut pada wilayah 25 derajat lintang ke
arah selatan wajib menerapkan tindakan mitigasi yang efektif untuk menghindari
tertangkapnya burung laut (Pasal 41 ayat 1). Lebih lanjut, Pasal 41 ayat (2)
menyebutkan bahwa tindakan mitigasi tersebut terdiri dari: (a) setting di malam
hari dengan pencahayaan minimum di atas dek kapal; (b) menggunakan tali
pengusir burung (tori line); (c) menggunakan pemberat untuk branch line agar
umpan cepat tenggelam; (d) umpan cumi diberikan warna biru; (e) kendalikan sisa
debit/limbah; dan (f) penggunaan alat pelempar tali.
Menurut Pasal Pasal 42 ayat (1), setiap penangkapan ikan di laut lepas
yang tanpa sengaja tertangkap burung laut, penyu laut, dan/atau mamalia laut
termasuk paus harus dilepaskan dalam keadaan hidup. Dalam hal burung laut,
penyu laut, dan/atau mamalia laut termasuk paus yang tanpa sengaja tertangkap
dalam keadaan mati, nakhoda harus melaporkan kepada kepala pelabuhan
pangkalan untuk dibuat surat keterangan guna dilaporkan kepada Direktur
Jenderal Perikanan Tangkap (Pasal 42 ayat 2).
Sementara itu, hasil tangkapan sampingan yang yang secara ekologis
terkait dengan perikanan tuna berupa hiu monyet dengan ketentuan harus
dilepaskan dalam keadaan hidup, sedangkan dalam hal hiu monyet yang tanpa
sengaja tertangkap dalam keadaan mati, nakhoda harus melaporkan kepada kepala
pelabuhan pangkalan untuk dibuat surat keterangan guna dilaporkan kepada
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Selanjutnya ditambahkan bahwa setiap
kapal penangkap ikan yang menangkap, memindahkan, mendaratkan,
menyimpan, dan/atau menjual hiu monyet (thresher sharks) dari semua family
Alopiidae baik utuh maupun bagiannya dikenakan sanksi IUU Fishing (Pasal
43).
Aturan lain terkait tangkapan sampingan ditetapkan dalam Permen KP No.
Per.40/Men/2012. Pasal 73 menyebutkan, bahwa setiap kapal penangkap ikan
yang memiliki SIPI di WPP-NRI wajib melakukan tindakan konservasi
terhadap jenis spesies tertentu yang terkait secara ekologi dengan tuna, yang
ditetapkan oleh RFMO.
122
Khusus tentang pengelolaan hiu, Indonesia atas bantuan SEAFDEC sejak
tahun 2004 telah menyusun National Plan of Action (NPOA) Shark Management
namun hingga saat ini rencana aksi tersebut belum ditetapkan menjadi peraturan
menteri.
5.2.7 Program Observer dan Inspeksi Kapal
Ketentuan observer di WCPFC di tetapkan melalui empat CMM. Pertama,
CMM 2006-07 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Program Observer
Regional (Conservation and Management Measure for the Regional Observer
Programme). CMM 2006-07 merupakan pelaksanaan dari Pasal 28 Konvensi,
yaitu Komisi wajib mengembangkan suatu program pengamat regional untuk
mengumpulkan data hasil tangkapan yang terverifikasi, data ilmiah lain dan
informasi tambahan terkait dengan perikanan dari Wilayah Konvensi dan untuk
memantau pelaksanaan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang telah
diterima oleh Komisi. Oleh karena itu, dengan mengadopsi ketentuan Pasal 10
Konvensi tentang Fungsi Komisi, maka Komisi menetapkan prosedur untuk
mengembangkan Program Observer Regional.
Kedua, CMM 2006-08 tentang Komisi Prosedur Pemeriksaan dan Menaiki
Kapal (WCPFC Commission Boarding and Inspection Procedures ). CMM 2006-
08 adalah implementasi Pasal 26/Lampiran III dan Pasal 6 (2) Konvensi yang
bertujuan untuk memastikan kepatuhan terhadap prosedur mengenai pemeriksaan
dan menaiki kapal serta tindakan konservasi dan pengelolaan. Pelaksanaan
prosedur harus memperhitungkan kehadiran inspektur dalam kapal, frekuensi, dan
hasil pemeriksaan sebelumnya. Kapal-kapal yang menjadi prioritas pemeriksaan
adalah; (1) kapal yang tidak terdata pada daftar kapal yang diizin WCPFC tetapi
berbendera negara anggota komisi, (2) kapal yang tidak di periksa langsung oleh
negara bendera, (3) kapal penangkapan ikan yang tidak terdapat observer, (4)
kapal perikanan tuna skala besar, (5) kapal yang pernah melanggar langkah-
langkah konservasi dan pengelolaan sesuai dengan hukum internasional dan
nasional.
Ketiga, CMM 2007-01 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi
Program Observer Regional (Conservation and Management Measure for the
123
Regional Observer Programme). Program Observer Regional bertujuan untuk
pengumpulan data hasil tangkapan, pemantauan pada pelaksanaan CMMs, dan
mengumpulkan informasi tambahan yang terkait dengan perikanan. Sekretariat
wajib mengkoordinasikan program dan kuasa kepada penyedia observer pada
Program Observer Regional. Pengembangan panduan observer oleh komisi harus
mencakup : (1) hak dan tanggung jawab observer, (2) hak dan tanggung jawab
operator kapal, kapten, dan awak buah kapal, dan (3) jadwal Pelaksanaan.
Keempat, CMM 2011-06 tentang Tindakan Konservasi dan Pengelolaan
untuk Skema Kapatuhan dan Pemantauan (Conservation and Management
Measure for Compliance Monitoring Scheme) . CMM 2011-06 bertujuan untuk
melakukan pemantauan kepatuhan Konvensi WCPFC. Setiap tahun Komisi akan
mengevaluasi kepatuhan CCMs selama tahun sebelumnya berupa data: (1)
menangkap dan batas upaya untuk spesies target, (2) menangkap dan pelaporan
upaya untuk spesies target, (3) penutupan spasial dan temporal, dan pembatasan
pada penggunaan perangkat ikan, (4) pengamat dan cakupan VMS, dan (5)
penyediaan data ilmiah melalui laporan tahunan dan laporan ilmiah
yang akan diberikan kepada Komisi.
Pelaksanaan program observer di atur dalam Permen KP No.
Per.12/Men/2012. Adapun aturanya, yaitu: (a) surat kesanggupan menerima,
membantu kelancaran tugas, serta menjaga keselamatan pemantau di atas kapal
penangkap ikan (observer on board); (b) sanksi administrasi bagi penolakan
observer di atas kapal. Adapun sanksi administrasi berupa: peringatan tertulis
dikenakan dalam jangka waktu satu bulan; pembekuan SIPI dikenakan apabila
penanggung jawab atau pemilik kapal tidak memenuhi kewajibannya huruf a dan
SIPI dibekukan selama enam bulan; dan pencabutan SIPI dikenakan apabila
penanggung jawab atau pemilik kapal tidak memenuhi kewajibannya
sebagaimana dimaksud pada huruf b dan SIPI dicabut. Selain itu, kegiatan
transhipment disaksikan oleh pemantau di atas kapal pengangkut ikan (observer
on board) dari RFMO.
Aturan observer juga dituangkan dalam Permen KP No.
Per.30/Men/2012. Adapun aturanya, yaitu: (a) permohonan SIPI harus ada
kesanggupan penempatan observer di atas kapal; (b) Permohonan SIKPI harus
124
ada kesanggupan penempatan observer di atas kapal; (c) pelaksanaan
transhipment diawasi oleh pemantau kapal penangkap ikan dan kapal
pengangkut ikan; dan (d) menempatkan pemantau (observer) di atas kapal
penangkap ikan berukuran diatas 1.000 GT dengan menggunakan alat
penangkapan ikan purse seine.
Rekrutmen tenaga observer telah dilakukan oleh Kementerian Kelautan
dan Perikanan sejak tahun 2006 sejumlah 20 orang yang penempatan di atas kapal
baru terealisasi pada tahun 2007 sejumlah 2 orang untuk kapal longline dengan
daerah penangkapan di Samudera Hindia.
Disamping rekrutmen tenaga observer, sampai dengan tahun 2012 telah
dilaksanakan pelatihan sejumlah 68 orang yang terdiri dari 34 pegawai negeri sipil
dan 34 orang eks anak buah kapal (ABK). Disamping itu, telah ditempatkan 14
observer untuk kapal longline di Samudera Hindia terkait dengan kewajiban
Indonesia sebagai anggota IOTC.
Sedangkan untuk WCPFC belum ada penempatan observer, sampai
dengan tahun 2012 upaya yang telah dilakukan oleh Indonesia adalah melakukan
perjanjian kerjasama dengan Komisi WCPFC. Sebagai tindaklanjut dari perjanjian
tersebut pada tahun 2013, Ditjen Perikanan Tangkap akan mendapatkan hibah
pelatihan tenaga observer. Kebutuhan observer untuk 153 kapal yang memiliki
izin penangkapan ikan di Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik dibutuh 153 tenaga
observer.
5.2.8 Data Buoys
Data Buoys ditetapkan melalui CMM 2009-05 tentang Tindakan
Pengelolaan dan Konservasi Larangan Penangkapan Ikan dengan Data Buoys
(Conservation and Management Measure Prohibiting Fishing on Data Buoys) .
Pengembangan buoys bertujuan untuk mengumpulkan informasi untuk berbagai
tujuan seperti cuaca, pencarian dan keselamatan di laut, ramalan cuaca, peringatan
tsunami dan lain-lain, tetapi tidak untuk keperluan kegiatan penangkapan.
Spesies tuna dan and tuna-like species biasanya berkumpul di sekitar data buoys,
terutama juvenile bigeye tuna dan yellowfin tuna. Hal ini mendorong penangkapan
ikan disekitar buoys sehingga mengakibat kerusakan, kegiatan ini termasuk
125
pelanggaran berat sesuai pasal 25 Konvensi. Komisi telah mengeluarkan banyak
biaya dan waktu untuk memperbaiki dan mengganti buoys yang rusak dan hilang
akibat penangkapan. Jarak yang tidak diperbolehkan untuk penangkapan dari
buoys adalah kurang dari satu mil laut.
Aturan mengenai data buoys dituangkan dalam Permen KP No.
12/Men/2012. Menurut Pasal 47 ayat (1), kapal penangkap ikan dan kapal
pengangkut ikan dilarang: (a) melakukan kegiatan penangkapan ikan atau
kegiatan pengangkutan ikan dalam jarak 1 (satu) mil laut dari lokasi data buoys;
(b) mengambil data buoys pada saat melakukan kegiatan penangkapan ikan atau
pengangkutan ikan; dan/atau (c) menganggu keberadaan dan posisi data buoys.
Data buoys merupakan alat yang mengapung, baik hanyut ataupun menetap,
yang dipasang oleh Pemerintah atau otoritas yang berwenang dengan tujuan untuk
mengumpulkan data secara elektronik dan pengukuran data lingkungan dan bukan
untuk tujuan aktvitas penangkapan ikan (Pasal 47 ayat 2).
Di perairan Indonesia, pemasangan data buoys telah dimulai pemasangan
sejak tahun 2006 bekerjasama dengan NOAA di Samudera Hindia. Sedangkan
untuk Samudera Pasifik, pada tahun 2012 Indonesia bekerjasama dengan Jepang
dalam pemasangan satu unit data buoys pada koordinat 138000 BT dan 0
0 00
(Equator) atau di atas Papua.
5.2.9 Transhipment
Transhipment ditetapkan melalui CMM 2009-06 tentang Tindakan
Pengelolaan dan Konservasi Peraturan Transhiptmen (Conservation and
Management Measure on Regulation of Transhipment). CMM 2009-06 di
tetapkan berdasarkan fakta keberhasilan dan kegagalan pengelolaan ikan beruaya
jauh di area Konvensi. Tidak adanya pengaturan dan pelaporan transshipment
berkontribusi ketidakuratan pelaporan IUU fishing.
Berdasarkan pasal 29 Konvensi, transhipment mengharuskan pada
pelabuhan perikanan yang ditunjuk sesuai dengan hukum nasional yang berguna
untuk mempermudah perolehan data dan spesies yang di transhipment.
Berdasarkan jenis alat tangkap, purse seine dilarang kecuali jika penangkapan
126
ikan beruaya jauh pada perairan kepulauan/teritorial negara anggota yang
besangkutan.
Selanjutnya CMM 2011-06 tentang Tindakan Konservasi dan Pengelolaan
untuk Skema Kapatuhan dan Pemantauan (Conservation and Management
Measure for Compliance Monitoring Scheme) yang bertujuan untuk melakukan
pemantauan kepatuhan Konvensi WCPFC. Setiap tahun Komisi akan
mengevaluasi kepatuhan CCMs selama tahun sebelumnya berupa data: (1)
menangkap dan batas upaya untuk spesies target; (2) menangkap dan pelaporan
upaya untuk spesies target; (3) penutupan spasial dan temporal, dan pembatasan
pada penggunaan perangkat ikan menggabungkan; (4) pengamat dan cakupan
VMS, dan (5) penyediaan data ilmiah melalui laporan tahunan dan laporan ilmiah
yang akan diberikan kepada Komisi.
Jumlah kegiatan transhipment di wilayah Konvensi untuk seluruh kapal
penanngkapan ikan negara anggota dalam tiga tahun terakhir sejumlah 158 kali
(2010), 280 kali (2011) dan 193 kali (2012). Berdasarkan laporan WCPFC
terdapat 7 kapal longline Indonesia yang melakukan transhipment seperti Tabel
14.
Transhipment diatur dalam Permen KP No. Per. 12/Men/2012. Menurut
Pasal 30 ayat (1), kapal penangkap ikan dapat melakukan transhipment di laut
lepas maupun di pelabuhan di negara lain yang menjadi anggota RFMO pada
wilayah RFMO yang sama. Kapal penangkap ikan yang melakukan transhipment
di laut lepas harus memenuhi persyaratan (Pasal 30 ayat 2):
a. Nakhoda memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di
Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIPI paling lambat 72 jam
sebelum pelaksanaan transhipment;
b. Transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau;
c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar
kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized
vessels);
d. nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment
dengan mengisi pernyataan transhipment (transhipment declaration)
127
128
b. transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau;
c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar
kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized
vessels);
d. nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment
dengan mengisi pernyataan transhipment (transhipment declaration)
kepada otoritas pelabuhan di luar negeri dan sekretariat RFMO paling
lambat 48 jam sebelum pelaksanaan transhipment;
e. transhipment disaksikan oleh otoritas pelabuhan di tempat pelaksanaan
transhipment;
f. nakhoda harus menginformasikan secara elektronik pada saat
transhipment berlangsung kepada kepala pelabuhan pangkalan di
Indonesia dalam bentuk pernyataan transhipment (transhipment
declaration); dan
g. nakhoda harus mengisi dan menyerahkan secara elektronik pernyataan
transhipment (transhipment declaration) yang telah disahkan oleh para
pihak kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia paling lambat 15
hari setelah transhipment.
Kapal pengangkut ikan yang akan melakukan transhipment di laut lepas
harus memenuhi persyaratan (Pasal 30 ayat 4):
a. nakhoda memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di
Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIKPI paling lambat 72 jam
sebelum pelaksanaan transhipment;
b. transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau;
c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar
kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized
vessels);
d. nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment
dengan mengisi pernyataan transhipment (transhipment declaration)
kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia dan Sekretariat RFMO
paling lambat 24 jam sebelum pelaksanaan transhipment;
129
e. transhipment di saksikan oleh pemantau di atas kapal pengangkut ikan
(observer on board) dari RFMO; dan
f. nakhoda harus mengisi dan menyerahkan secara elektronik pernyataan
transhipment (transhipment declaration) yang telah disahkan oleh para
pihak kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia paling lambat 15
hari setelah transhipment.
Kapal pengangkut ikan yang akan melakukan transhipment di pelabuhan
negara lain yang menjadi anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama harus
memenuhi persyaratan:
a. nakhoda memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di
Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIKPI paling lambat 72 jam
sebelum pelaksanaan transhipment;
b. transmitter (on line) aktif serta dapat terpantau;
c. kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tercantum dalam daftar
kapal (record of vessels) sebagai kapal yang diizinkan (authorized
vessels);
d. nakhoda harus menyampaikan secara elektronik rencana transhipment
dengan mengisi pernyataan transhipment (transhipment declaration)
kepada otoritas pelabuhan di luar negeri dan sekretariat RFMO paling
lambat 48 jam sebelum pelaksanaan transhipment;
e. transhipment disaksikan oleh otoritas pelabuhan di tempat pelaksanaan
transhipment;
f. nakhoda harus menginformasikan secara elektronik pada saat
transhipment berlangsung kepada kepala pelabuhan pangkalan di
Indonesia dalam bentuk pernyataan transhipment (transhipment
declaration);
g. nahkoda harus mengisi dan menyerahkan secara elektronik pernyataan
transhipment (transhipment declaration) yang telah disahkan oleh para
pihak kepada kepala pelabuhan pangkalan di Indonesia paling lambat 15
hari setelah transhipment.
130
Aturan transhipment juga ditetapkan dalam Permen KP No.
Per.30/Men/2012. Menurut Pasal 69 ayat (1), setiap kapal penangkap ikan dapat
melakukan transhipment ke kapal penangkap ikan dan/atau ke kapal pengangkut
ikan. Transhipment dilakukan dengan ketentuan:
a. mempunyai pelabuhan pangkalan yang sama.
b. pelaksanaan transhipment diawasi oleh pemantau kapal penangkap
ikan dan kapal pengangkut ikan (observer);
c. transmitter VMS dalam kondisi aktif dan dapat dipantau secara online;
d. melaporkan kepada kepala pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum
dalam SIPI atau SIKPI;
e. melaporkan kepada pengawas perikanan di pelabuhan pangkalan
sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI; dan
f. mengisi pernyataan pemindahan ikan hasil tangkapan yang
ditandatangani oleh masing-masing nakhoda kapal dan disampaikan
kepada kepala pelabuhan pangkalan.
Dalam pelaksanaan transhipment, ikan wajib didaratkan di pelabuhan
pangkalan sesuai SIPI atau SIKPI dan tidak dibawa keluar negeri, kecuali bagi
kapal penangkap ikan yang menggunakan alat penangkapan ikan purse seine
berukuran diatas 1000 (seribu) GT yang dioperasikan secara tunggal (Pasal 69
ayat 3). Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan yang melanggar
ketentuan transhipment dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan SIPI
dan SIKPI (Pasal 69 ayat 4).
Sementara itu, Pasal 70 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap kapal
pengangkut ikan yang digunakan dalam usaha pengangkutan ikan dengan pola
kemitraan dapat melakukan transhipment dengan ketentuan: (a) kapal penangkap
ikan berukuran sampai dengan 10 GT; (b) kegiatan penangkapan ikan dan
pengangkutan ikan dilakukan oleh kapal yang memiliki izin atau Bukti Pencatatan
Kapal dan merupakan mitranya; (c) ikan yang dipindahkan wajib didaratkan di
pelabuhan pangkalan kapal pengangkut ikan yang menerima pemindahan ikan
hasil tangkapan; dan (d) mengisi pernyataan pemindahan ikan hasil tangkapan
dan ditandatangani oleh masing-masing nakhoda kapal dan disampaikan kepada
131
kepala pelabuhan pangkalan. Dalam pelaksanaan transhipment, ikan wajib
didaratkan di pelabuhan pangkalan sesuai SIKPI dan tidak di bawa keluar negeri
(Pasal 70 ayat 2). Setiap kapal pengangkut ikan yang melanggar ketentuan
transhipment dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan SIKPI.
5.3 Implikasi Hukum WCPFC
Berdasarkan Konvensi WCPFC, CMM dan kesiapan regulasi nasional
terdapat enam permasalahan yang harus diperhatikan pemerintah terkait dengan
ketentuan WCPFC, yaitu:
1) Status wilayah WCPFC
Permasalahan mendasar Indonesia dalam ratifikasi Konvensi WCPFC
adalah wilayah penerapannya memasukan perairan kepulauan Indonesia dan Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia. Hal ini tidak berlaku umum bagi RFMO yang
wilayah penerapannya di luar Zona Ekonomi Eksklusif suatu negara pantai.
Mengingat dalam UNCLOS 1982, perairan kepulauan memiliki rezim hukum
kedaulatan (sovereignty) dan Zona Ekonomi Eksklusif memiliki rezim hukum hak
berdaulat (sovereignt right). Dengan demikian, sebagai Negara yang berdaulat
dan telah meratifikasi UNCLOS 1982, maka dalam ratifikasi Konvensi WCPFC
perlu dipertegas hanya untuk perairan ZEE Indonesia pada WPP 716 (Laut
Sulawesi dan Sebelah Utara Pulau Halmahera) dan WPP 717 (Teluk Cendrawasih
dan Samudera Pasifik).
2) Pengawasan dan penegakan hukum
Terkait dengan pengawasan dan penegakan hukum, setidaknya terdapat
tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Penataan sistem informasi dan data. Pengelolaan perikanan berkelanjutan
dapat diwujudkan dengan statistik perikanan yang baik dalam rangka
menghasilkan the best scientific data sebagaimana yang diwajibkan dalam
hukum internasional. Namun demikian, statistik perikanan Indonesia
dihadapkan pada permasalahan akurasi. Oleh karena itu, perlu pembenahan
sistem pelaporan dan pendataan penangkapan ikan. Selain itu, terkait dengan
perizinan kapal perikanan berbendera Indonesia yang akan melakukan
132
penangkapan di wilayah WCPFC perlu singkronisasi data perizinan dengan
WCPFC Identification Number (WIN).
b. Penataan sistem pengawasan. Sistem pengawasan yang berlaku umum adalah
berupa program observer, inspeksi kapal, dan pemasangan transmitter
(VMS). Dalam konteks hukum, pemerintah Indonesia sudah mengatur ketiga
hal tersebut. Namun demikian, dalam pelaksanaannya dihadapkan pada
berbagai kendala. Program observer misalnya, masih terkendala sumberdaya
manusia (SDM) yang mampu bertahan berbulan-bulan di atas kapal.
Sementara pemasangan VMS terkendala kepatuhan operator kapal dalam
menyalakan alat tersebut. Oleh karena itu perlu ada program sistematis untuk
penambahan jumlah tenaga observer serta peningkatan kualitas sehingga
mampu bekerja secara efektif.
c. Pemberantasan IUU Fishing di wilayah Konvensi WCPFC. Praktik-praktik
IUU Fishing sangat beragam, sehingga dalam mengurangi terjadinya
pelanggaran, maka perlu dikaji secara lebih rinci mengenai praktik-praktik
IUU Fishing yang dilakukan oleh kapal perikanan bendera Indonesia.
d. Pengawasan efektivitas pelaksanaan hukum. Pemerintah Indonesia perlu
pengawasan pelaksanaan Peraturan Menteri yang sudah ditetapkan, baik yang
mengatur jalur tangkapan dan alat bantu penangkapan ikan, maupun
pelaksanaan program observer yang betujuan meminimalkan tertangkapnya
baby tuna (yellowfin tuna dan bigeye tuna).
3) Penyusuhan Peraturan Perundang-undangan
Organisasi internasional yang merupakan subjek hukum internasional
mampu membuat sumber hukum. Oleh karena itu, ketentuan yang selama ini
bersifat softlaw (non-legally binding) ditetapkan oleh RFMO sebagai hardlaw
(legally binding). Dengan demikian, setiap negara yang akan melakukan ratifikasi
terhadap Konvensi WCPFC akan terikat juga dengan aturan turunannya, yaitu
Conservation and Management Measures (CMM). Beberapa ketentuan CMM
WCPFC yang perlu diperkuat dalam hukum Indonesia dalam bentuk Peraturan
Perundang-Undangan yaitu:
133
a. Program observer. Permen KP ini harus memerhatikan perkembangan
hukum internasional, mulai dari standar SDM hingga tugas dan peran
observer.
b. Port State Measures Agreement. Ketentuan negara pelabuhan dalam
pemberantasan IUU Fishing sebagaimana diatur dalam PSM Agreement 2009
perlu diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui pengeluaran Peraturan
Presiden.
c. Pembatasan upaya tangkapan. Indonesia perlu memerhatikan pembatasan
upaya tangkapan sebagaimana diamanatkan dalam CMM 2004-04. Hingga
saat ini, pembatasan upaya tangkapan belum diatur, karena Indonesia tidak
menerapkan kuota tangkapan. Namun demikian, penutupan wilayah dan
waktu tangkapan diatur Pasal 45 ayat (1) Permen KP No. Per.12/Men/2012.
d. Pengelolaan rumpon. Aturan yang terkait dengan pemasangan rumpon di
tetapkan dengan Permen KP No. Per.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan
Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan
Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Menurut
Pasal 19 ayat (1), rumpon merupakan alat bantu untuk mengumpulkan ikan
dengan menggunakan berbagai bentuk dan jenis pemikat/atraktor dari benda
padat yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul. Lebih lanjut, Pasal
19 ayat (2) menyebutkan bahwa rumpon terdiri dari: (a) rumpon hanyut,
merupakan rumpon yang ditempatkan tidak menetap, tidak dilengkapi dengan
jangkar dan hanyut mengikuti arah arus; dan (b) rumpon menetap, merupakan
rumpon yang ditempatkan secara menetap dengan menggunakan jangkar
dan/atau pemberat, terdiri dari: (1) rumpon permukaan, merupakan rumpon
menetap yang dilengkapi atraktor yang ditempatkan di kolom permukaan
perairan untuk mengumpulkan ikan pelagis; dan (2) rumpon dasar,
merupakan rumpon menetap yang dilengkapi atraktor yang ditempatkan di
dasar perairan untuk mengumpulkan ikan demersal. Namun demikian,
Permen KP tersebut hanya mengatur pemasaangan rumpon di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, aturan
pemasangan dan pemanfaatan sebagaimana diamanatkan Pasal 19 ayat (3)
134
Permen KP No. Per.12/Men/2012 perlu memerhatikan ketentuan rumpon
yang diatur CMM 2009-02.
e. Hasil tangkapan sampingan. Aturan hasil tangkapan sampingan diatur dalam
Permen KP No. Per.12/Men/2012 dan Permen KP No. Per.30/Men/2012.
Namun demikian, perlu diatur secara lebih khusus terkait dengan jenis-jenis
hasil tangkapan sampingan diamanatkan dalam CMM, yaitu: burung laut
(CMM 2007-04), penyu (CMM 2008-03), hiu (CMM 2010-07), Cetacean
(CMM 2011-03), Oceanic Whitetip Shark (CMM 2011-04).Oleh karena itu,
perlu penetapan aturan khusus Permen KP tentang hasil tangkapan
sampingan.
f. National Plan of Action (NPOA) for the Conservation and Management of
Sharks dan NPOA for the Conservation and Management of Seabird.
Pemerintah perlu menetapkan Permen KP tentang Rencana Aksi Nasional
untuk Tindakan Konservasi dan Pengelolaan hiu dan penyu.
Per
ihal
Hu
ku
m N
asi
on
al
Imp
lem
enta
si
Sta
tus
Ura
ian
Ren
can
a A
ksi
UU
P
P
Per
pre
s P
erm
en K
P
I.
Kon
ven
si
1.
Wil
ayah
Pen
erap
an
√
√
√
-
Sed
ang
Rat
ifik
asi
Ind
on
esia
har
us
men
gen
yam
pin
gkan
wil
ayah
Ko
nven
si
WC
PF
C y
ang m
em
asu
kan
per
aira
n
kep
ula
uan
In
do
nes
ia d
an Z
EE
In
do
nes
ia.
2.
Aza
z P
elak
san
aan
√
√
- S
edan
g
Pri
nsi
p-p
rin
sip
in
i h
aru
s dit
erap
kan
dal
am s
emu
a p
erat
ura
n p
eru
nd
ang-
un
dan
gan
In
do
nes
ia
3.
Pen
erap
an K
ehat
i-h
atia
n
√
√
√
Ku
at
4.
Pel
aksa
naa
n A
zas-
Aza
s d
i
wil
ayah
Ber
das
arkan
Yuri
sdik
di
Nas
ional
√
√
√
√
K
uat
5.
Kes
esuai
an t
ind
akan
konse
rvas
i d
an
pen
gel
ola
an
√
√
√
Ku
at
6.
Kew
ajib
an P
ara
An
ggo
ta
Kom
isi
√
√
√
-
Sed
ang
a. P
enin
gkat
an s
iste
m p
engu
mp
ula
n d
ata
dan
pen
yer
ahan
kep
ada
CM
M
b. K
eber
adaa
n l
og
bo
ok
pen
ang
kap
an i
kan
lebih
pen
tin
g d
arip
ada
pri
nsi
p-p
rin
sip
MC
S
7.
Kew
ajib
an-K
ewaj
iban
Neg
ara
Ben
der
a
√
√
√
√
- S
edan
g
a. In
do
nes
ia p
erlu
men
ingkat
kan
syst
em
pel
apo
ran
.
b. S
iste
m p
elap
ora
n t
erse
but
har
us
tran
spar
an s
ehin
gga
men
yed
iakan
dat
a
yan
g a
ku
rat
dan
jel
as
8.
Pen
aata
n d
an p
eneg
akan
√
√
√
√
Sed
ang
Per
men
KP
No
. 1
2/M
en/2
01
2 m
engat
ur
135
Tab
el 1
8. K
esia
pan
Reg
ula
si N
asio
nal
dan
Ren
cana
Aksi
ter
had
ap K
eten
tuan
WC
PF
C
Per
ihal
Hu
ku
m N
asi
on
al
Imp
lem
enta
si
Sta
tus
Ura
ian
Ren
can
a A
ksi
UU
P
P
Per
pre
s P
erm
en K
P
pen
egak
an h
uku
m k
apal
per
ikan
an
ber
ben
der
a In
do
nes
ia y
ang m
elak
ukan
pen
angkap
an i
kan
di
Lau
t L
epas
9.
Itik
ad B
aik D
an
Pen
yal
ahgu
naa
n H
ak
√
√
√
Ku
at
II.
CM
M
1.
Pen
ggu
naa
n
transm
itte
r/V
MS
√
√
√
Ku
at
a.
CM
M 2
011
-02
:
tenta
ng K
om
isi
Ves
sel
Mo
nit
ori
ng
Sys
tem
(VM
S)
√
√
√
Ku
at
2.
Pen
egak
an h
uku
m
a.
20
09-0
1:
Rec
ord
of
Fis
hin
g V
esse
ls A
nd
Au
tho
riza
tio
n t
o F
ish
√
√
√
-
Sed
ang
a. F
un
gsi
pem
erin
tah
an t
erm
asu
k
pen
dat
aan k
apal
ikan
di
pel
abu
han
per
ikan
an s
udah
dia
tur
dal
am P
erm
en
KP
No
. P
er.0
8/M
en/2
01
2.
b. P
erkem
ban
gan
in
tern
asio
nal
men
gat
ur
pem
ber
anta
san
IU
U F
ish
ing d
i w
ilay
ah
pel
abu
han
, se
hin
gga
dal
am m
em
per
ku
at
Per
men
KP
No
. P
er.0
8/M
en.2
01
2
dip
erlu
kan
pen
ges
ahan
Agre
emen
t P
ort
Sta
te M
easu
res
(PS
M A
gre
emen
t 2
00
9)
b.
20
10-0
6:
Co
nse
rva
tio
n
an
d M
an
ag
emen
t
Mea
sure
to
Est
abli
sh a
Lis
t o
f V
esse
ls
√
√
- S
edan
g
Ind
on
esia
per
lu m
erin
ci k
egia
tan
IU
U d
i
wil
ayah
Ko
nven
si W
CP
FC
136
Per
ihal
Hu
ku
m N
asi
on
al
Imp
lem
enta
si
Sta
tus
Ura
ian
Ren
can
a A
ksi
UU
P
P
Per
pre
s P
erm
en K
P
Pre
sum
ed t
o H
ave
Ca
rrie
d o
ut
Ille
ga
l,
Un
rep
ort
ed a
nd
Un
reg
ula
ted
Fis
hin
g
Act
ivit
ies
in t
he
WC
PO
3.
Kap
al I
kan
a.
20
04-0
3:
Sp
ecif
icati
ons
for
the
Ma
rkin
g a
nd
Iden
tifi
cati
on
of
Fis
hin
g V
esse
ls
√
√
√
-
Sed
ang
Per
lu d
ilak
ukan
pen
yes
uai
an d
engan
WIN
b.
20
04-0
4 :
Res
olu
tio
n
on
Co
nse
rvati
on
an
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
s
√
-
Lem
ah
Per
lu d
ilak
ukan
pen
yu
sun
an P
erat
ura
n
Men
teri
Kel
auta
n t
erkai
t d
engan
pem
bat
asan
up
aya
tan
gkap
an (
inp
ut
rest
rict
ion)
c.
20
06-0
8:
WC
PF
C
Co
mm
issi
on
Bo
ard
ing
an
d I
nsp
ecti
on
Pro
ced
ure
s
√
√
√
-
Sed
ang
a. A
tura
n i
nsp
eksi
kap
al d
an o
bse
rver
dim
uat
dal
am P
erm
en K
P N
o.
Per
.12/M
en/2
01
2 d
an P
erm
en K
P N
o.
Per
.30/M
en/2
01
2.
b. N
amu
n k
edu
a P
erm
en t
erse
bu
t ti
dak
men
gat
ur
seca
ra d
etil
ten
tan
g
mekan
ism
e o
bse
rver
, se
hin
gga
per
lu
pen
etap
an P
erm
en
KP
ten
tan
g
Ob
serv
er,
yan
g t
entu
saj
a se
suai
den
gan
per
kem
ban
gan
hu
ku
m i
nte
rnas
ion
al
137
Per
ihal
Hu
ku
m N
asi
on
al
Imp
lem
enta
si
Sta
tus
Ura
ian
Ren
can
a A
ksi
UU
P
P
Per
pre
s P
erm
en K
P
d.
20
09-0
1:
Rec
ord
of
Fis
hin
g V
esse
ls a
nd
Au
tho
riza
tio
n t
o F
ish
√
√
√
√
K
uat
a.
Fu
ngsi
pem
erin
tah
an t
erm
asu
k
pen
dat
aan k
apal
ikan
di
pel
abu
han
per
ikan
an s
udah
dia
tur
dal
am P
erm
en
KP
No
. P
er.0
8/M
en/2
01
2.
b. P
erkem
ban
gan
in
tern
asio
nal
men
gat
ur
pem
ber
anta
san
IU
U F
ish
ing d
i w
ilay
ah
pel
abu
han
, se
hin
gga
dal
am m
em
per
ku
at
Per
men
KP
No
. P
er.0
8/M
en.2
01
2
dip
erlu
kan
pen
ges
ahan
Agre
emen
t P
ort
Sta
te M
easu
res
(PS
M A
gre
emen
t 2
00
9)
e.
20
09-0
9:
Co
nse
rva
tio
n
an
d M
an
ag
emen
t
Mea
sure
fo
r V
esse
ls
Wit
ho
ut
Nat
ional
ity
√
√
√
√
K
uat
f.
20
10-0
6:
Co
nse
rva
tio
n
an
d M
an
ag
emen
t
Mea
sure
to
Est
abli
sh a
Lis
t o
f V
esse
ls
Pre
sum
ed t
o H
ave
Ca
rrie
d o
ut
Ille
ga
l,
Un
rep
ort
ed a
nd
Un
reg
ula
ted
Fis
hin
g
Act
ivit
ies
in t
he
WC
PO
√
√
√
-
Sed
ang
Ind
on
esia
per
lu m
erin
ci k
egia
tan
IU
U d
i
wil
ayah
Ko
nven
si
138
Per
ihal
Hu
ku
m N
asi
on
al
Imp
lem
enta
si
Sta
tus
Ura
ian
Ren
can
a A
ksi
UU
P
P
Per
pre
s P
erm
en K
P
4.
Ala
t pen
angkap
ikan
dan
alat
ban
tu p
enan
gkap
an
ikan
a.
CM
M 2
008
-04 :
Co
nse
rva
tio
n a
nd
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
to P
rohib
it t
he
Use
of
La
rge-
Sca
le D
rift
net
s
on
th
e H
igh
Sea
s in
th
e
Co
nve
nti
on
Are
a
√
√
√
√
K
uat
b.
CM
M 2
009
-02:
FA
D
Clo
sure
s a
nd
Ca
tch
Ret
enti
on
√
√
√
-
Sed
ang
a. R
um
po
n d
iatu
r d
alam
Per
en K
P N
o.
Per
.02/M
en/2
01
2.
b. P
erlu
atu
ran
tek
nis
ten
tan
g r
um
po
n
seb
agai
man
a m
and
at P
asal
19
ayat
(3)
Per
men
KP
No
. P
er.0
2/M
en/2
01
2
5.
Pen
gel
ola
an T
angkap
an
Uta
ma
a.
20
04-0
4 :
Res
olu
tio
n
on
Co
nse
rvati
on
an
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
s
√
√
S
edan
g
Per
lu d
ilak
ukan
pen
yu
sun
an P
erat
ura
n
Men
ter
Kel
auta
n t
erkai
t d
engan
pem
bat
asan
up
aya
tan
gkap
an
b.
20
06-0
4:
Co
nse
rva
tio
n
an
d M
an
ag
emen
t
Mea
sure
fo
r S
trip
ed
Ma
rlin
in
th
e
So
uth
wes
t P
aci
fic
√
√
se
dan
g
Pem
ben
ahan
sis
tem
pen
dat
aan
keg
iata
n
per
ikan
an d
i la
ut
lep
as,
kh
usu
snya
Str
iped
Ma
rlin
in
th
e S
outh
wes
t P
aci
fic
c.
20
08-0
1:
Co
nse
rva
tio
n
an
d M
an
ag
emen
t
Mea
sure
fo
r B
ig-e
ye
√
√
- S
edan
g
a. In
do
nes
ia p
erlu
pen
gaw
asan
pel
aksa
naa
n P
erat
ura
n M
ente
ri y
ang
sud
ah d
itet
apkan
, b
aik y
ang
men
gat
ur
139
Per
ihal
Hu
ku
m N
asi
on
al
Imp
lem
enta
si
Sta
tus
Ura
ian
Ren
can
a A
ksi
UU
P
P
Per
pre
s P
erm
en K
P
an
d Y
ello
w-f
in T
un
a i
n
the
WC
PF
C
jalu
r ta
ngkap
an d
an a
lat
ban
tu
pen
angkap
an i
kan
, m
aup
un
pel
aksa
naa
n p
rogra
m o
bse
rver
yan
g
bet
uju
an m
emin
imal
isir
tert
angkap
nn
ya
bab
y t
un
a (y
ello
wfi
n
dan
big
eye)
b. p
enges
ahan
Per
men
KP
ten
tan
g
Ob
serv
er,
yan
g t
entu
saj
a se
suai
den
gan
per
kem
ban
gan
hu
ku
m i
nte
rnas
ion
al
d.
CM
M 2
009
-02:
FA
D
Clo
sure
s a
nd
Ca
tch
Ret
enti
on
√
√
- S
edan
g
a. R
um
po
n d
iatu
r d
alam
Per
en K
P N
o.
Per
.02/M
en/2
01
2.
b. P
erlu
atu
ran
tek
nis
ten
tan
g r
um
po
n
seb
agai
man
a m
and
at P
asal
19
ayat
(3)
Per
men
KP
No
. P
er.0
2/M
en/2
01
2
e.
20
09-0
3:
Co
nse
rva
tio
n
an
d M
an
ag
emen
t fo
r
Sw
ord
fish
√
√
- S
edan
g
Pem
ben
ahan
sis
tem
pen
dat
aan
keg
iata
n
per
ikan
an d
i la
ut
lep
as,
kh
usu
snya
Sw
ord
fish
di
Pas
ifik
Bar
at D
aya
f.
20
10-0
1:
Co
nse
rva
tio
n
an
d M
an
ag
emen
t
Mea
sure
fo
r N
ort
h
Pa
cifi
c S
trip
ed M
arl
in
√
√
- S
edan
g
Pem
ben
ahan
sis
tem
pen
dat
aan
keg
iata
n
per
ikan
an d
i la
ut
lep
as,
kh
usu
snya
Str
iped
Ma
rlin
di
Pas
ifik
Bar
at D
aya
g.
20
10-0
4:
Co
nse
rva
tio
n
an
d M
an
ag
emen
t
Mea
sure
fo
r P
aci
fic
Blu
efin
Tun
a
√
√
- se
dan
g
Ind
on
esia
men
do
ron
g k
om
un
ikas
i
den
gan
IA
TT
C s
ecar
a b
ilat
eral
ter
kai
t
den
gan
pen
gel
ola
an p
erik
anan
tun
a
siri
p b
iru
h.
20
10-0
5 :
Co
nse
rva
tio
n a
nd
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
√
√
- S
edan
g
Ind
on
esia
akan
men
jaga
Sou
th P
aci
fic
Alb
aco
re d
ari
keg
iata
n k
apal
per
ikan
an
140
Per
ihal
Hu
ku
m N
asi
on
al
Imp
lem
enta
si
Sta
tus
Ura
ian
Ren
can
a A
ksi
UU
P
P
Per
pre
s P
erm
en K
P
for
Sou
th P
aci
fic
Alb
aco
re
6.
Pen
gel
ola
an T
angkap
an
Sam
pin
gan
a.
20
04-0
4 :
Res
olu
tio
n
on
Co
nse
rvati
on
an
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
s
√
-
Sed
ang
Per
lu d
ilak
ukan
pen
yu
sun
an P
erat
ura
n
Men
ter
Kel
auta
n t
erkai
t d
engan
pem
bat
asan
up
aya
tan
gkap
an
b.
20
08-0
3 :
Co
nse
rva
tio
n A
nd
Ma
na
gem
ent
of
Sea
Tu
rtle
s
√
√
- S
edan
g
Pen
ges
ahan
Per
atura
n M
ente
ri K
elau
tan
dan
Per
ikan
an t
enta
ng H
asil
Tan
gkap
an
Sam
pin
gan
c.
20
10-0
7 :
Co
nse
rva
tio
n a
nd
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
for
Sha
rks
√
√
- S
edan
g
Pen
ges
ahan
In
do
nes
ia -
Nat
ion
al P
lan
of
Act
ion (
NP
OA
) fo
r th
e C
on
serv
atio
n a
nd
Man
agem
ent
of
Shar
ks
d.
20
11-0
3 :
Co
nse
rva
tio
n a
nd
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
for
Pro
tect
ion
of
Cet
ace
an
s fr
om
Purs
e
Sei
ne
Fis
hin
g
Op
era
tio
ns
√
√
- S
edan
g
Pen
ges
ahan
Per
atura
n M
ente
ri K
elau
tan
dan
Per
ikan
an t
enta
ng H
asil
Tan
gkap
an
Sam
pin
gan
e.
20
11-0
4 :
Co
nse
rva
tio
n a
nd
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
for
Oce
an
ic W
hit
etip
Sh
ark
√
√
- S
edan
g
Pen
ges
ahan
In
do
nes
ia -
Nat
ion
al P
lan
of
Act
ion (
NP
OA
) fo
r th
e C
on
serv
ati
on
an
d M
an
ag
emen
t of
Sh
ark
s
141
Per
ihal
Hu
ku
m N
asi
on
al
Imp
lem
enta
si
Sta
tus
Ura
ian
Ren
can
a A
ksi
UU
P
P
Per
pre
s P
erm
en K
P
7.
Pro
gra
m O
bse
rver
dan
Insp
eksi
Kap
al
a.
20
06-0
7 :
Co
nse
rva
tio
n a
nd
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
for
the
Reg
ion
al
Ob
serv
er P
rog
ram
me
√
√
- S
edan
g
a. A
tura
n i
nsp
eksi
kap
al d
an o
bse
rver
dim
uat
dal
am P
erm
en K
P N
o.
Per
.12/M
en/2
01
2 d
an P
erm
en K
P N
o.
Per
.30/M
en/2
01
2.
b. N
amu
n k
edu
a P
erm
en t
erse
bu
t ti
dak
men
gat
ur
seca
ra d
etil
ten
tan
g
mekan
ism
e o
bse
rver
, se
hin
gga
per
lu
pen
etap
an P
erm
en
KP
ten
tan
g
Ob
serv
er,
yan
g t
entu
saj
a se
suai
den
gan
per
kem
ban
gan
hu
ku
m i
nte
rnas
ion
al
b.
20
06-0
8 :
WC
PF
C
Co
mm
issi
on
Bo
ard
ing
an
d I
nsp
ecti
on
Pro
ced
ure
s
√
√
- S
edan
g
a. A
tura
n i
nsp
eksi
kap
al d
an o
bse
rver
dim
uat
dal
am P
erm
en K
P N
o.
Per
.12/M
en/2
01
2 d
an P
erm
en K
P N
o.
Per
.30/M
en/2
01
2.
b. N
amu
n k
edu
a P
erm
en t
erse
bu
t ti
dak
men
gat
ur
seca
ra d
etil
ten
tan
g
mekan
ism
e o
bse
rver
, se
hin
gga
per
lu
pen
etap
an P
erm
en
KP
ten
tan
g
Ob
serv
er,
yan
g t
entu
saj
a se
suai
den
gan
per
kem
ban
gan
hu
ku
m i
nte
rnas
ion
al
c.
20
07-0
1 :
Co
nse
rva
tio
n a
nd
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
for
the
Reg
ion
al
√
√
- S
edan
g
a. A
tura
n i
nsp
eksi
kap
al d
an o
bse
rver
dim
uat
dal
am P
erm
en K
P N
o.
Per
.12/M
en/2
01
2 d
an P
erm
en K
P N
o.
Per
.30/M
en/2
01
2.
142
Per
ihal
Hu
ku
m N
asi
on
al
Imp
lem
enta
si
Sta
tus
Ura
ian
Ren
can
a A
ksi
UU
P
P
Per
pre
s P
erm
en K
P
Ob
serv
er P
rog
ram
me
b. N
amu
n k
edu
a P
erm
en t
erse
bu
t ti
dak
men
gat
ur
seca
ra d
etil
ten
tan
g
mekan
ism
e o
bse
rver
, se
hin
gga
per
lu
pen
etap
an P
erm
en
KP
ten
tan
g
Ob
serv
er,
yan
g t
entu
saj
a se
suai
den
gan
per
kem
ban
gan
hu
ku
m i
nte
rnas
ion
al
d.
20
11-0
6 :
Co
nse
rva
tio
n a
nd
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
for
Co
mpli
ance
Mo
nit
ori
ng
Sch
eme
√
√
- S
edan
g
Ind
on
esia
mem
ilik
i at
ura
n k
egia
tan
pen
angkap
an i
kan
, b
aik d
i W
PP
-NR
I
mau
pu
n d
i la
ut
lep
as. K
edua
per
atura
n
ini
men
jadi
lan
das
an d
alam
mel
aku
kan
pen
angkap
an i
kan
di
laut
lep
as
8.
Data
Bu
oys
a.
20
09-0
5:
Co
nse
rva
tio
n
an
d M
an
ag
emen
t
Mea
sure
Pro
hib
itin
g
Fis
hin
g o
n D
ata
Bu
oys
√
√
√
Ku
at
9.
Tra
nsh
ipm
ent
b.
20
09-0
6 :
Co
nse
rva
tio
n a
nd
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
on
Reg
ula
tio
n o
f
Tra
nss
hip
men
t
√
√
√
Ku
at
Ket
eran
gan
:
Kuat
: H
uku
m N
asio
nal
(ad
a) P
erm
en (
ada)
Im
ple
men
tasi
(ad
a)
Sed
ang
:
Hu
ku
m N
asio
nal
(ad
a) P
erm
en (
ada)
Im
ple
men
tasi
(ti
dak
ada)
Lem
ah
:
Hu
ku
m N
asio
nal
(ad
a) P
erm
en (
tidak
ada)
Im
ple
men
tasi
(ti
dak
ada)
San
gat
Lem
at
:
Hu
ku
m N
asio
nal
(ti
dak
ada)
Per
men
(ti
dak
ada)
Im
ple
men
tasi
(ti
dak
ada)
143
144
5.4 Analisa Ekonomi
Analisa ekonomi di lakukan mengkaji dampak ekonomi terhadap
pelaksanaan CMM 2008-01 tentang Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Tuna
Bigeye dan Tuna Yellowfin di WCPFC (Conservation and Management Measure
for Big-eye and Yellowfin Tuna in the WCPFC). Pengaturan bertujuan untuk
mengurangi tingkat kematian akibat upaya penangkapan kedua spesies ini
terutama kematian juvenile akibat penggunaan alat tangkap purse seine dengan
alat bantu rumpon. Penutupan berlaku pada periode 1 Agustus – 30 September
antara tahun 2009 – 2012 yang selanjutnya diperpanjang melalui CMM 2011-01.
Namun ketentuan ini tidak berlaku jika kapal tersebut terdapat observer yang
dilaporkan ke Komisi.
Berdasarkan data hasil tangkapan per jenis alat tangkap yang didaratkan
di PPS Bitung periode tahun 2005 -2009, hasil tangkapan sebagian besar berasal
dari alat tangkap purse seine dan pole and line. Rata-rata hasil tangkapan purse
seine pada periode tersebut sebesar 78,57 persen dan pole and line sebesar 20,33
persen. Rata-rata peninkatan tangkapan purse seine setiap tahun sebesar 28,45
persen dan pole and line lebih tinggi takni 71,15 persen per tahun. Tingginya
pertumbuhan pole and line disebabkan semakin meningkatnya nelayan yang
menggunakan pole and line setiap tahun. Perkembangan pendaratan ikan di PPS
Bitung tahun 2005 -2009 dilihat pada Gambar 23.
Sumber : Diolah Data Statistik PPS Bitung 2010
2005 2006 2007 2008 2009
Long Line 330.23
Gill Net 110.00 320.61
Hand Line 1.42 0.51 0.51 4.33 57.30
Pole and Line 603.56 1,434.37 1,500.26 3,010.24 4,383.21
Purse Seine 5,026.12 7,333.98 5,065.32 9,883.84 10,248.96
- 2,000.00 4,000.00 6,000.00 8,000.00
10,000.00 12,000.00 14,000.00 16,000.00 18,000.00
Ton
Gambar 24a Jumlah Tangkapan Berdasarkan Jenis Alat Penangkapan Ikan di PPS
Bitung tahun 2005-2009
145
Nelayan purse seine merupakan nelayan dominan yang mendaratkan ikan
PPS Bitung dan pemasok utama industri pengolahan ikan di Kota Bitung.
Menurut Zulham(2011), PPS Bitung memberikan pasokan kontribusi sebesar 65
persen terhadap bahan baku industri pengolahan ikan sedangkan 35 persen
langsung didaratkan di masing-masing perusahaan.
Industri perikanan merupakan motor penggerak pembangunan Kota
Bitung. Sampai dengan tahun 2012 terdapat 20 perusahaan pengolahan ikan
dengan tujuan ekspor, tiga perusahaan pengalengan dan empat perusahaan
pengolahan ikan kayu (arubishi). Penutupan selama dua bulan penggunaan alat
tangkap purse seine dengan alat bantu rumpon dan larangan penangkapan baby
tuna tentunya akan mengurangi pendapatan nelayan dan pasokan bahan baku bagi
industri perikanan di Kota Bitung.
Responden analisa ekonomi dampak pelarangan penangkapan baby tuna
berasal dari 15 nelayan purse seine yang aktif mendaratkan ikan di PPS Bitung
selama tahun 2012. Karaktepristik variabel responden disajikan pada tabel 19.
Gambar 24b Tangkapan juvenile (baby tuna) yellowfin yang didaratkan di PPS
Bitung
146
Tabel 19. Rataan variable pendapat responden
Aspek Rata-rata Keterangan
Umur 27 Umur nelayan umumnya 27 tahun
Pendidikan 12 SMA
Pendapatan 20.520.000 Pendapatan per tahun
Lingkungan 3 Biasa saja
Pengetahuan 3 Kurang tahu
Kepentingan 3 Kurang tahu
Persetujuan 2 Cukup setuju
Pemanfaatan 3 Kurang tahu
Aturan 3 Kurang tahu
Perdagangan 3 Kurang tahu
Dampak 4 Kurang berdampak
Model regresi kesediaan nelayan purse seine untuk menerima pembayaran
(WTA) atas kesediaannya untuk tidak melakukan penangkapan juvenile (baby
tuna). Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar persepsi masyarakat
nelayan purse seine tentang pentingnya mewujudkan perikanan tuna
berkelanjutan. Dengan kata lain, adanya imbal jasa sebagai kompensasi kepada
nelayan purse seine di harapkan mampu mengurangi tekanan terhadap terhadap
ikan tuna yang masih kecil (baby tuna), sehingga ikan tuna bisa tumbuh besar dan
bernilai ekonomi tinggi serta mampu memenuhi kebutuhan protein hewan yang
sehat.
Analisa WTA dalam penelitian dilakukan dalam empat tahapan, yaitu:
1) Memberikan pemahaman tentang kemungkinan larangan penangkapan baby
tuna
Seluruh responden diberikan informasi, bahwa kemungkinan akan
dilakukannya pelarangan penangkapan baby tuna (yellowfin tuna dan bigeye tuna)
di wilayah Laut Sulawesi apabila Indonesia melakukan pengesahan terhadap
Konvensi WCPFC. Adapun responden adalah nelayan pengguna alat tangkap
purse seine.
2) Memperoleh Nilai WTA
Besarnya nilai WTA didapatkan dari hasil wawancara dengan
menggunakan daftar pertanyaan dalam bentuk kuisioner (Lampiran 3).
Berdasarkan hasil analisa, nilai rataan kesediaan menerima pembayaran (WTA)
147
kompensasi atas larangan penangkapan baby tuna per orang sebesar Rp 4.774.000
per tahun atau Rp 397.433 per bulan.
Sementara itu, rataan pendapatan tetap setiap nelayan purse seine sebesar
Rp 20.520.000 per tahun atau Rp 1.710.000 per bulan. Dengan demikian, apabila
larangan penangkapan baby tuna diberlakukan, maka pendapatan nelayan purse
seine per bulannya menjadi Rp 1.312.166,67, karena kehilangan sebesar Rp
397.433 per bulan. Oleh karena itu, dengan rata-rata nilai jual baby tuna Rp
10.000 per kg, maka untuk mempertahankan pendapatan nelayan purse seine
sebesar Rp 1.710.000 per bulannya, perlu kompensasi atau subsidi harga sebesar
Rp 3.031 per kg baby tuna. Hasil analisa sintesa dimuat pada Tabel 15, didukung
oleh pendapat responden yang dituangkan dalam Tabel 16
3) Evaluasi WTA
Hasil analisis faktor menunjukkan bahwa variabel-variabel umur, tingkat
pendidikan, jumlah pendapatan, kondisi lingkungan, pengetahuan terhadap
Konvensi WCPFC, kepentingan terhadap perdagangan tuna, persetujuan terhadap
ratifikasi Konvensi WCPFC, pola pemanfaatan, aturan penangkapan baby tuna,
peluang perdagangan tuna dan dampak terhadap pendapatan, di duga signifikan
memengaruhi kemampuan atau kesediaan untuk menerima pembayaran dengan
menggunakan model persamaan multiple regression. Hasil sintesa atas
pengolahan data menghasilkan bahwa nilai R square pada model ini nilainya
adalah 0,996 yang menunjukkan bahwa seberapa besar pengaruh variabel-variabel
penduga dalam menentukan peluang responden bersedia dibayar (WTA). Dengan
kata lain, 99,6 persen peluang respon bersedia untuk dibayar apabila dilakukan
larangan penangkapan baby tuna.
Sementara hasil sintesa pada penetapan variabel in the equation, maka
nilai koefisien dari setiap peubah pada model persamaan regresi disajikan pada
Tabel 20 yang ditunjukan pada nilai signifikan nilai kepecayaan 99 persen.
148
Tabel 20. Nilai Koefisien pada Peubah Kesediaan Masyarakat untuk Menerima
Pembayaran atas Larangan Penangkapan Baby Tuna di PPS Bitung
2012
Coefficien
ts
Standard
Error t Stat P-value
Lower
95%
Upper
95%
Lower
95.0%
Upper
95.0%
Intersep
-271501.85
76 1691412.03
-0.1605178
71
0.882672
927
-5654329.8
21
5111326.1
06
-5654329.8
21
5111326.1
06
Umur 128813.74
63 15838.3984 8.1330032
89 0.003886
622 78408.893
81 179218.59
87 78408.893
81 179218.59
87
Pendidikan
-
78324.6366
38801.79022
-
2.018583064
0.13684334
-
201809.2505
45159.97732
-
201809.2505
45159.97732
Pendapatan
0.203017325
0.023448626
8.657962377
0.00324153
0.128393331
0.27764132
0.128393331
0.27764132
Lingkungan
-
492251.3052
200132.8332
-
2.459622927
0.090897998
-
1129163.301
144660.6905
-
1129163.301
144660.6905
Pengetahuan
114699.1526 147241.93
0.778984306
0.492789732
-
353890.3833
583288.6886
-
353890.3833
583288.6886
Kepentingan
874425.4573
276364.7804
3.164026386
0.050713466
-
5090.616762
1753941.531
-
5090.616762
1753941.531
Persetujuan
-
652544.3475
76164.88169
-
8.567522629
0.003341989
-
894934.9938
-
410153.7012
-
894934.9938
-
410153.7012
Pemanfaa
tan
1128123.6
13
293706.560
1
3.8409888
17
0.031128
702
193418.25
6
2062828.9
7
193418.25
6
2062828.9
7
Aturan
-
934489.42
47
234233.790
8
-
3.9895585
58
0.028200
658
-
1679925.8
87
-
189052.96
27
-
1679925.8
87
-
189052.96
27
Perdagan
gan
-
393041.81
95
292539.691
1
-
1.3435504
02
0.271680
639
-
1324033.6
78
537950.03
93
-
1324033.6
78
537950.03
93
Dampak
-
275987.81
79
139855.842
6
-
1.9733735
31
0.142976
35
-
721071.52
73
169095.89
16
-
721071.52
73
169095.89
16
Sumber: Data diolah
4) Analisa faktor yang memengaruhi WTA
Tabel 16 di atas merupakan hasil sintesa atas pengolahan data yang
menghasilkan nilai variable in the equation dari persamaan regresi berikut:
Y WTA= -2,7150 + 1,2881 X1 -7,832 X2 + 0,0203 X3 - 4,9225 X4 + 1,1469
X5 + 8,7442 X6 – 6,5254X7 + 1,1281 X8 - 9,3448 X9 - 3,9304 X10 -
2,7598 X11
Hasil analisa dari model regresi YWTA maka koefisien dari model WTA
tersebut yang signifikan adalah variabel pendapatan, persetujuan dan umur, yaitu
sebesar 0,003 (P-Value) lebih kecil daripada 0,05. Artinya, setiap kenaikan 1 unit
pendapatan akan mengakibatkan kenaikan 2,03 kali kesediaan untuk menerima
pembayaran (WTA). Dengan kata lain, bila terjadi kenaikan kesediaan untuk
149
menerima pembayaran jasa lingkungan dari masyarakat sebesar 2,03 kali maka
secara signifikan tingkat pendapatan masyarakat nelayan terjadi pula kenaikannya
pada tingkat kepercayaan 99 persen. Selain pendapatan, variabel lain yang juga
berpengaruh signifikan adalah persetujuan sebesar 0.003 (penurunan 6,52 kali
untuk 1 unit), umur sebesar 0,003 (kenaikan 1,28 kali untuk 1 unit), aturan sebesar
0,02 (penurunan 9,34 kali untuk 1 unit), dan dampak pemanfaatan sebesar 0,03
(kenaikan 112 kali untuk 1 unit).
Tabel 21. Nilai WTA dan Pendapatan Nelayan Purse Seine di PPS Bitung 2012
No Nama WTA Pendapatan Tetap
1 Rml 4.320.000 21.600.000
2 RD 3.600.000 18.000.000
3 JB 4.500.000 18.000.000
4 NM 3.600.000 18.000.000
5 Mx 3.600.000 18.000.000
6 Srd 4.320.000 24.000.000
7 Jhr 5.250.000 21.000.000
8 Jh L 7.200.000 24.000.000
9 Tbh 3.600.000 15.600.000
10 RR 4.320.000 21.600.000
11 EW 6.000.000 30.000.000
12 Sml 6.300.000 18.000.000
13 TT 9.000.000 30.000.000
14 Le 2.400.000 12.000.000
15 FM 3.600.000 18.000.000
Total Per Tahun 4.774.000 20.520.000
Total per Bulan 397.833 1.710.000
Sumber: Data diolah
5.5 Analisa AWOT
Posisi Indonesia dalam pengelolaan perikanan di laut lepas dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal. Penelitian ini mengkombinasikan teknik-teknik
pembobotan (weighting) terhadap faktor internal dan eksternal dengan teknik
perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dari Saaty (1983). Menurut
Kangas et al (2001) penggunaan pairwise comparison dalam SWOT ini
menghasilkan teknik yang disebut sebagai AWOT atau AHP-SWOT. Cara ini
akan menghasilkan perumusan strategi yang terboboti.
5.5.1 Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal
Strategi diplomasi Indonesia dalam pengelolaan perikanan di laut lepas
yang dikelola oleh WCPFC disusun berdasarkan hasil identifikasi faktor internal
150
dan eksternal. Faktor internal didefinisikan sebagai faktor yang berasal dari dalam
lingkungan organisasi, yang dalam hal ini adalah pemerintah Indonesia,
sedangkan faktor eksternal adalah factor yang berasal dari luar (Pearce &
Robinson, 1997).
A. Faktor Internal
Kekuatan (Strength)
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan analisa peraturan
internasional serta peraturan perundang-undangan nasional, beberapa faktor
diidentifikasi sebagai kekuatan dalam strategi diplomasi Indonesia di WCPFC.
Kekuatan-kekuatan tersebut mencakup:
1) Adanya asosiasi perikanan tuna. Pengusaha perikanan tuna mempunyai
organisasi dalam memperjuangkan haknya serta berbagai informasi dalam
pelaksanaan usahanya. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor Kep.14/Men/2012 tentang Pedoman Umum Penumbuhan dan
Pengembangan Kelembagaan Pelaku Utama Perikanan, Asosiasi Perikanan
didefinisikan sebagai kumpulan dari gabungan kelompok perikanan yang
mempunyai tujuan bersama dengan jenis usaha yang sama. Adapun
organisasi pengusaha perikanan tuna di Indonesia, yaitu Asosiasi Tuna
Indonesia (ASTUIN) dan Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI).
2) Pelayanan perikanan satu atap. Pelayanan perikanan satu atap dilakukan di
kawasan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, seperti Otoritas
Pengelolaan Pelabuhan Perikanan terkait dengan pelayanan SHTI (Sertifikat
Hasil Tangkapan Ikan), PSDKP terkait dengan pelayanan SLO (Surat Laik
Operasi), dan Syahbandar Perikanan terkait dengan SPB (Surat Persetujuan
Berlayar) dan STBLK (Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan) kapal.
Pelayanan satu atap ini memudahkan pelaku usaha perikanan tangkap,
khususnya pemilik kapal dalam mengurus dokumen operasional penangkapan
dan pengangkutan ikan.
3) Pelabuhan perikanan dan sarana penunjang tersedia. Fasilitas pelabuhan
merupakan sarana dan prasarana yang tersedia di lokasi pelabuhan untuk
151
mendukung kegiatan operasional pelabuhan perikanan. Adapun fasilitas di
PPS Bitung, yaitu (DJPT, 2009):
a. Fasilitas pokok di PPS Bitung relatif lengkap dimana fasilitas-fasilitas
yang terkait dengan keamanan dan kenyamanan tambat labuh tersedia.
Sebagian besar fasilitas dalam kondisi baik dan dimanfaatkan sesuai
dengan peruntukkannya. Namun demikian, masih ada fasilitas pokok yang
pemanfaatannya tidak sesuai seperti Pencegah Benturan Kapal (fender). Data
selengkapnya mengenai fasilitas pokok disajikan pada Tabel 22.
b. Fasilitas fungsional PPS Bitung sebagian besar dalam kondisi baik dan
pemanfaatannya sesuai dengan peruntukkannya. Data selengkapnya
mengenai fasilitas fungsional di PPS Bitung disajikan pada Tabel 23.
c. Fasilitas penunjang digunakan untuk mendukung aktifitas operasional
pelabuhan dalam kondisi baik dan pemanfaatannya sesuai dengan
peruntukkannya. Data selengkapnya mengenai fasilitas penunjang di PPS
Bitung disajikan pada Tabel 24.
Tabel 22. Fasilitas Pokok PPS Bitung
Nama Fasilitas Jumlah
(unit) Volume
Satuan
Volume Kondisi Manfaat
Areal Daratan
Pelabuhan 1 4,6 ha Baik Sesuai
Dermaga 2 1.764-
1.610
m² Baik Sesuai
Kolam Pelabuhan 1 6 ha Baik Sesuai
Alur Pelayaran 1 Baik Sesuai
Pencegah Benturan
Kapal (Fender) 25 m Baik
Tidak
Sesuai
Tempat Tambat
(Bollard) 25 m Baik Sesuai
Jalan 1 7.185 m² Baik Sesuai
Drainase 1 490 m² Baik Sesuai
152
Tabel 23. Fasilitas Fungsional PPS Bitung.
Nama Fasilitas Jumlah
(unit) Volume
Satuan
Volume Kondisi Manfaat
Tempat Pelelangan
Ikan (TPI) 1 1.420 m² Baik Sesuai
Menara Pengawas 1 9 m² Baik Sesuai
Penampung/Tangki Air 1 938 m3 Baik Sesuai
Pengolahan Air 1 9,38 m³ Baik Sesuai
Pabrik Es 1 1 ha Baik Sesuai
Gudang Es 1 500 m³ Baik Sesuai
Mesin Penghancur Es 3 Unit Baik Sesuai
Genset 1 Baik Sesuai
Daya Listrik 7,158,125 Paket Baik Sesuai
Rumah Genset 1 99 m² Baik Sesuai
SPBN 1 616
m² Baik Sesuai
Tangki BBM 1 1.000 KL Baik Sesuai
Docking 1 1
ha Baik Sesuai
Bengkel 1 Baik Sesuai
Perbaikan Jaring 1 9 m² Baik Sesuai
Tempat Pengolahan
Ikan 1 1 m² Baik Sesuai
Tempat Penyimpanan
Ikan Segar 1 1 m² Baik Sesuai
Cold Storage 1 1 ha
Lab Pembinaan dan
Pengujian Mutu Hasil
Perikanan
1 928,13 m² Baik Sesuai
Syahbandar 1 168,92 m² Baik Sesuai
Kantor Administrasi
Pelabuhan 1 651,50 m² Baik Sesuai
Kantor Pengawas
Perikanan 1 19,50 m² Baik Sesuai
Kendaraan Inventaris
Roda 4 2 Unit Baik Sesuai
Kendaraan Inventaris
Roda 2 1 Unit Baik Sesuai
Tempat Parkir 1 ha Baik Sesuai
Kapal Pengawas 1 Unit Baik Sesuai
IPAL 1 20 m² Baik Sesuai
153
Tabel 24. Fasilitas penunjang PPS Bitung.
Nama Fasilitas Jumlah
(unit) Volume
Satuan
Volume Kondisi Manfaat
Mess Karyawan 3 240,88 m² Baik Sesuai
Pos Jaga 2 42,25 m² Baik Sesuai
Pos Pelayanan Terpadu 1 150 m² Baik Sesuai
Guest House 2
Tempat Peribadatan 2
935,52 m² Baik Sesuai
Klinik Kesehatan 1
150
MCK 1 45 m² Baik Sesuai
Waserda/toko 4 30,71 m² Baik Sesuai
4) Terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala industri dan kecil. Pancing
hand line berkembang di Bitung. Hal ini dalam rangka menekan biaya
operasional laut yang monthly fishing menjadi one day fishing. Dengan
demikian, Anak Buah Kapal (ABK) purse seine berubah menjadi hand line.
5) Kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia. Berdasarkan analisa
peraturan perundang-undangan tingkat nasional, peraturan perundang-
undangan Indonesia dalam pengelolaan perikanan, termasuk pengelolaan
perikanan di laut lepas cukup lengkap. Bahkan, perkembangan terakhir, sudah
ada aturan usaha perikanan tangkap di laut lepas, yaitu Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12/Men/2012.
6) Adanya estimasi jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Estimasi jumlah
tangkapan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
(Kepmen KP) Nomor Kep. 45/Men/2011 tentang Estimasi Potensi
Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia. Estimasi yang dikeluarkan berdasarkan Kepmen KP Nomor
45/Men/2011 yaitu sebesar 6.520.100 ton/tahun, dimana ikan pelagis kecil
menempati urutan pertama, yaitu 3.645.700 ton/tahun, kemudian ikan
demersal (1.452.500 ton/tahun), ikan pelagis besar (1.145.400 ton/tahun),
ikan karang konsumsi (145.300 ton/tahun), udang penaeid (98.300 ton/tahun),
cumi-cumi (28.300 ton/tahun), dan lobster (4.800 ton/tahun). Sementara
154
berdasarkan WPP, WPP 711 menempati urutan pertama, yaitu 1.059.000
ton/tahun, kemudian WPP 713 (929.700 ton/tahun), WPP 718 (855.500
ton/tahun), WPP 712 (836.600 ton/tahun), WPP 715 (595.600 ton/tahun),
WPP 572 (565.200 ton/tahun), WPP 573 (491.700 ton/tahun), WPP 716
(333.600 ton/tahun), WPP 717 (299.100 ton/tahun), WPP 714 (278.000
ton/tahun), dan WPP 571 (276.000 ton/tahun.
7) Perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di Samudera Pasifik
diindikasikan sebagai spawning ground yellowfin. Sebagaimana Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, terdapat 11 WPP Republik
Indonesia. Kedua WPP-RI tersebut diindikasikan sebagai spawning ground
tuna yellowfin (yellowfin). Adapun kedua WPP-RI tersebut, yaitu WPP 716
(Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera), meliputi Provinsi
Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Maluku Utara, dan
Provinsi Gorontalo; dan WPP 717 (perairan Teluk Cendrawasih dan
Samudera Pasifik), meliputi : Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan
Provinsi Maluku Utara.
8) Jumlah armada penangkapan dan nelayan pada WPP 716 dan 717 cukup
besar. Data statistik perikanan tangkap per WPP tahun tahun 2011
menunjukan bahawa terdapat 754 kapal penangkapan ikan, dimana 84 persen
atau 630 kapal berukuran antara 20 -100 GT
Selanjutnya faktor-faktor ini dianalisis menggunakan metode
perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada
Gambar 25 dan Tabel 25.
Gambar 25. Hasil Analisa Perbandingan Kekuatan
M o d e l N a m e : S t r e n g t - S
Priorities with respect to:
Goal: Kekuatan
Adanya asosiasi perikanan tuna .058
Pelayanan perikanan satu atap .088
Pelabuhan perikanan dan sarana .099
Terdapat pelaku usaha perikana .036
Kelengkapan peraturan perundan .137
Adanya estimasi jumlah tangkap .169
Perairan Laut Sulawesi dan ZEE .373
Jumlah armada penangkapan dan .041
Inconsistency = 0.02
with 0 missing judgments.
Page 1 of 12/17/2013 11:02:21 AM
akhmad solihin
155
Berdasarkan hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio
No. Aspek Skor
Bobot Rangking
1 Adanya asosiasi perikanan tuna 0,035 6
2 Pelayanan perikanan satu atap 0,053 5
3 Pelabuhan perikanan dan sarana penunjang tersedia 0,059 4
4 Terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala
industri dan kecil
0,022 8
5 Kelengkapan peraturan perundang-undangan
Indonesia
0,082 3
6 Adanya estimasi jumlah tangkapan yang
diperbolehkan
0,101 2
7 perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di
Samudera Pasifik diindikasikan sebagai Spawning
Gound yellow fin tuna
0,224 1
8 Jumlah armada penangkapan dan nelayan cukup
besar
0,024 7
Hasil analisis pembobotan faktor kekuatan yang memberikan peluang
menunjukkan bahwa perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di Samudera
Pasifik diindikasikan sebagai spawning ground yellow fin tuna mendapatkan
bobot relatif tertinggi (0,224) dibandingkan faktor lainnya. Urutan bobot relatif
lainnya adalah adanya estimasi jumlah tangkapan yang diperbolehkan (0,101),
kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia (0,082), pelabuhan
perikanan dan sarana penunjang tersedia (0,059), pelayanan perikanan satu atap
(0,053), adanya asosiasi perikanan tuna (0,035), jumlah armada penangkapan dan
nelayan cukup besar (0,024), dan terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala
industri dan kecil (0,022)
(CR) sebesar 0.02. Artinya, data pengisian kuisioner dari responden cukup
konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat. Revisi pendapat
dilakukan apabila nilai CR > 0,1, dengan pengulangan pengisian kuesioner atau
melakukan pengolahan data (adjustment) (Saaty, 1983).
Tabel 21. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Kekuatan
156
Kelemahan (Weaknes)
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan analisa peraturan
internasional serta peraturan perundang-undangan nasional, beberapa faktor
diidentifikasi sebagai kelemahan dalam strategi diplomasi Indonesia di WCPFC.
Kelemahan-kelemahan tersebut mencakup:
(1) Penempatan rumpon tidak sesuai peraturan. Kementerian Kelautan dan
Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat
Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia Menurut Peraturan Menteri ini, jalur
penangkapan ikan di WPP-NRI terdiri dari:
a. Jalur penangkapan ikan I, terdiri dari: jalur penangkapan ikan IA, meliputi
perairan pantai sampai dengan 2 mil laut yang diukur dari permukaan air
laut pada surut terendah, dan Jalur penangkapan ikan IB, meliputi
perairan pantai di luar 2 mil laut sampai dengan 4 mil laut.
b. Jalur penangkapan ikan II, meliputi perairan di luar jalur penangkapan
ikan I sampai dengan 12 mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut
terendah.
c. Jalur penangkapan ikan III, meliputi ZEEI dan perairan di luar jalur
penangkapan ikan II.
(2) Sistem pendataan perikanan Indonesia masih belum baik. Permasalahan
klasik dan mendasar dalam pengelolaan perikanan Indonesia adalah
lemahnya sistem pendataan. Namun demikian, dalam perkembangannya,
sistem pendataan perikanan tangkap dibenahi dengan cara dikeluarkannya
aturan logbook penangkapan ikan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor Per.18/Men/2010. Hal ini sebagaimana dituangkan dalam
konsideran menimbang, yaitu bahwa dalam rangka mendukung kebijakan
pengelolaan sumber daya ikan yang optimal dan berkelanjutan serta
terjaminnya kelestarian sumber daya ikan, diperlukan data dan informasi
perikanan yang akurat terkait dengan kegiatan penangkapan ikan dalam
logbook penangkapan ikan. Alur dan mekanisme pelaksanaan logbook
157
Penangkapan Ikan sebagaimana diatur dalam Permen KP Nomor
18/Men/2010 disajikan pada Gambar 26.
Gambar 26. Alur dan Mekanisme Logbook Penangkapan Ikan
(3) Pelaksanaan observer dan board inspection belum optimal. Berdasarkan
analisa peraturan sebelumnya, bahwa kegiatan observer dan board inspection
sudah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan Indonesia, yaitu
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12/Men/2012 dan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.30/Men/2012. Namun
program tersebut dihadapkan pada berbagai kendala keterbatasan jumlah
sumberdaya manusia.
(4) Pelaksanaan VMS masih belum optimal. Berdasarkan analisa peraturan
sebelumnya, kewajiban penggunaan VMS diatur dengan UU No. 31 Tahun
2004 sebagaimana diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009, Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.05/Men/2007, Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.12/Men/2012, dan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.30/Men/2012. Namun demikian, banyak
nelayan yang tidak mengaktifkan VMS tersebut.
158
(5) Belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik. Setiap WPP-NRI
seharusnya memilki Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP). Namun untuk
kedua WPP tersebut hingga saat ini belum ditetapkan dalam suatu Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan. Ketiadaan dokumen RPP yang disahkan
secara hukum, dikhawatirkan mendukung kerusakan sumberdaya dan
ekosistem perairannya.
(6) NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan menjadi
peraturan. National Plan of Action (NPOA) untuk IUU Fishing dan Shark
merupakan dokumen yang dapat dijadikan pedoman dalam mengelola IUU
Fishing dan hiu. Namun hingga saat ini, Indonesia belum menetapkannya
sebagai dokumen hukum yang dapat dijadikan sebagai landasan pengelolaan
hiu dan pemberantasan IUU fishing.
(7) Belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam meningkatkan posisi
tawar pemerintah Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang
diapit dua samudera yang didalamnya menyimpang potensi sumberdaya ikan.
Perkembangan hukum internasional, menempatkan laut lepas bukan lagi
sebagai kawasan bebas untuk penangkapan ikan. Hal ini dikarenakan, hukum
internasional memberikan mandat kepada RFMO untuk mengelola suatu
kawasan laut lepas. Oleh karena itu, dalam mensejajarkan diri dengan Negara
tetangga, maka Indonesia perlu menyusun strategi untuk meningkatkan posisi
tawar pemerintah Indonesia dalam forum internasional atau regional.
(8) Armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh kapal-kapal
penangkapan berukuran kecil. Armada perikanan nasional Indonesia
didominasi oleh armada penangkapan ikan skala kecil. Pada tahun 2011, dari
58.651 unit armada penangkapan ikan pada WPP 716 dan 717 didominasi
oleh armada perikanan tangkap skala kecil, yaitu perahu tanpa motor
sebanyak 28.583 unit (48,73%), motor tempel sebanyak 23.198 (39,55%),
dan kapal motor sebanyak 6870 unit (11,62%).
Selanjutnya faktor-faktor ini dianalisis menggunakan metode
perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada
Gambar 27 dan Tabel 26.
159
Gambar 27. Hasil Analisa Perbandingan Kelemahan
Tabel 26. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Kelemahan
No. Aspek Skor
Bobot Rangking
1 Penempatan rumpon tidak sesuai peraturan 0,018 7
2 System pendataan perikanan Indonesia masih
belum baik
0,034 5
3 Pelaksanaan observer dan board inspection belum
optimal
0,047 4
4 Pelaksanaan VMS masih belum optimal 0,028 6
5 Belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera
Pasifik
0,096 1
6 NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum
ditetapkan menjadi peraturan
0,071 3
7 Belum adanya kebijakan dan strategi nasional
dalam meningkatkan posisi tawar pemerintah
Indonesia.
0,094 2
8 Armada penangkapan ikan nasional didominasi
oleh kapal-kapal penangkapan berukuran kecil
0,012 8
Berdasarkan hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio
(CR) sebesar 0.02. Artinya, data pengisian kuisioner dari responden cukup
konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat serta cukup valid untuk
analisis lebih lanjut.
Hasil analisis pembobotan faktor kelemahan yang memberikan peluang
menunjukkan bahwa belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik (0,096)
dibandingkan faktor lainnya. Urutan bobot relatif lainnya adalah belum adanya
kebijakan dan strategi nasional dalam meningkatkan posisi tawar pemerintah
Indonesia (0,094), NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan
160
menjadi peraturan (0,071), pelaksanaan observer dan board inspection belum
optimal (0,047), system pendataan perikanan Indonesia masih belum baik (0,034),
pelaksanaan VMS masih belum optimal (0,028), penempatan rumpon tidak sesuai
peraturan (0,018) dan Armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh kapal-
kapal penangkapan berukuran kecil (0,012)
B. Eksternal
Peluang (Opportunity)
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan analisa peraturan
internasional serta peraturan perundang-undangan nasional, beberapa faktor
diidentifikasi sebagai peluang dalam strategi diplomasi Indonesia di WCPFC.
Peluang-peluang tersebut mencakup:
1) Potensi sumberdaya ikan belum dimanfaatkan secara optimal. Mengacu
kepada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.45/Men/2011
tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia, WPP 716 dan 717 untuk skipjack
berstatus moderate.
2) Regulasi/kebijakan industrialisasi dan minapolitan perikanan. Minapolitan dan
industrialisasi perikanan merupakan kebijakan Kementerian Kelautan dan
Perikanan dalam mendorong industri perikanan, termasuk didalamnya adalah
untuk komoditas tuna, tongkol dan cakalang. Kebijakan ini mendukung
pengembangan industri tuna di Indonesia. Landasan hukum kebijakan
industrialisasi perikanan ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor Per.27/Men/2012 tentang Pedoman Umum Industrialisasi
Kelautan dan Perikanan. Sementara landasan hukum pengembangan
minapolitan, yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
Per.18/Men/2012.
3) Kajian dan mitigasi kematian non-target spesies. WCPFC mengeluarkan
beberapa CMM untuk melakukan mitigasi terhadap kematian non-target
spesies, seperti burung laut, penyu, hiu, dan Cetaceans.
161
4) Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten. Konvensi WCPFC
memuat ketentuan mengenai pertimbangan nelayan artisanal dan subsisten.
Hal ini sebagaimana dituangkan dalam Pasal 5 butir h Konvensi WCPFC.
5) Tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta terhindar dari
embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota
WCPFC
6) Penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC . Status Indonesia sebagai
CNM hanya memiliki hak bicara dalam setiap pertemuan, sementara member
akan memilki hak suara. Dengan demikian, keterlibatan aktif Indonesia dalam
WCPFC akan memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan
informasi diantara negara anggota serta terhindar dari ancaman embargo.
7) Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil WCPFC serta
memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan informasi diantara
negara anggota
Selanjutnya faktor-faktor ini dianalisis menggunakan metode
perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada
Gambar 28 dan Tabel 27.
Gambar 28. Hasil Analisa Perbandingan Peluang
162
Tabel 27. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Peluang
No. Aspek Skor
Bobot Rangking
1 Potensi SDI belum dimanfaatkan secara optimal 0.033 7
2 Regulasi/kebijakan industrialisasi dan minapolitan
perikanan
0,047 6
3 Kajian dan mitigasi kematian non-target spesies
(burung laut, penyu dan hiu, Cetaceans)
0,099 4
4 Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten 0,073 5
5 Tersedianya bantuan teknis dan finansial dari
WCPFC, serta terhindar dari embargo ekspor
produk perikanan Indonesia oleh negara-negara
anggota WCPFC.
0,133 3
6 Penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC 0,333 1
7 Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang
diambil WCPFC serta memudahkan Indonesia
dalam hal pertukaran data dan informasi diantara
negara anggota
0,282 2
Berdasarkan hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio
(CR) sebesar 0.02. Artinya, data pengisian kuisioner dari responden cukup
konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat serta cukup valid untuk
analisis lebih lanjut.
Hasil analisis pembobotan faktor peluang yang memberikan peluang
menunjukkan bahwa penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC
mendapatkan bobot relatif tertinggi (0,333) dibandingkan faktor lainnya. Urutan
bobot relatif lainnya adalah Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang
diambil WCPFC serta memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran data dan
informasi diantara negara anggota (0,282); Tersedianya bantuan teknis dan
finansial dari WCPFC, serta terhindar dari embargo ekspor produk perikanan
Indonesia oleh negara-negara anggota WCPFC (0,133); Kajian dan mitigasi
kematian non-target spesies (burung laut, penyu dan hiu, Cetaceans) (0,099);
Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten (0,073); Regulasi/kebijakan
industrialisasi dan minapolitan perikanan (0,047); dan Potensi SDI belum
dimanfaatkan secara optimal (0.033)
163
Ancaman (Threat)
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan analisa peraturan
internasional serta peraturan perundang-undangan nasional, beberapa faktor
diidentifikasi sebagai ancaman dalam strategi diplomasi Indonesia di WCPFC.
Ancaman-ancaman tersebut mencakup:
(1) Kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing. Perairan Sulawesi umumnya
menjadi tempat praktik-praktik illegal fishing nelayan Filipina. Nelayan
Filipina sekarang banyak menggunakan pump boat untuk mencuri ikan di
Indonesia.
Gambar 29. Pumb Boat Filipina yang Tertangkap PSDKP Bitung
(2) Aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna. Dalam
rangka menjamin perikanan tuna berkelanjutan, maka WCPFC
mengeluarkan CMM 2008-02 (Conservation and Management Measure
for Big-eye and Yellow-fin Tuna in the WCPFC) untuk melarang
penangkapan baby tuna, untuk tuna yellowfin dan bigeye. Hal ini harus
menjadi perhatian stakeholder perikanan tuna Indonesia, karena bisa
berdampak terhadap embargo ekspor tuna Indonesia.
(3) Transshipment di tengah laut. Salah satu praktik-praktik IUU Fishing yang
marak di wilayah Bitung adalah transshipment di tengah laut. Ikan hasil
tangkapan transshipment tersebut dibawa ke Filipina, yaitu General
Santos.
(4) Wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan Indonesia.
Wilayah penerapan WCPFC sebagaimana dituangkan dalam Pasal 3
memasukan wilayah perairan kepulauan Indonesia. Hal ini menimbulkan
164
penolakan Kementerian Luar Negeri dalam meratifikasi Konvensi
WCPFC.
(5) Pembatasan penangkapan spesies tertentu . Beberapa spesies yang
dibatasi penangkapannya adalah North Pacific Albacore, South Pacific
Albacore, Striped Marlin in the Southwest Pacific, Swordfish, North
Pacific Striped Marlin, Pacific Bluefin Tuna, Oceanic Whitetip Shark.
Hal ini sebagaimana diatur dalam CMM.
(6) Pembatasan penggunaan rumpon. CMM 2009-02 (FAD Closures And
Catch Retention) mengatur pembatasan penggunaan rumpon dalam
penggunaan alat tangkap purse seine. Hal ini mengancam nelayan purse
seine Indonesia yang menggunakan rumpon untuk mengumpulkan ikan.
(7) Beberapa ketentuan internasional yang pada awalnya bersifat sukarela
telah berubah menjadi bersifat wajib dan mengikat. Sebagaimana
diketahui bersama, bahwa FAO mengeluarkan International Plan of
Action (IPOA) untuk IUU fishing, hiu dan burung laut. Namun WCPFC,
mengeluarkan CMM yang bersifat mengikat dalam pengelolaan untuk hiu
dan burung laut serta pemberantasan IUU fishing.
(8) Pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi nasional diindikasikan
dikendalikan oleh internasional dan regional. Wilayah penerapan WCPFC
yang memasukan perairan kepulauan Indonesida dan ZEE Indonesia
adalah ancaman. Hal ini dikarenakan, setiap kegiatan penangkapan ikan
oleh nelayan Indonesia di wilayah tumpang tindih tersebut, Indonesia bisa
mendapatkan teguran atau bahkan sanksi.
Selanjutnya faktor-faktor ini dianalisis menggunakan metode
perbandingan berpasangan. Hasil analisis perhitungan bobot disajikan pada
Gambar 33 dan Tabel 28.
Gambar 30. Hasil Analisa Perbandingan Ancaman
Model Name: Threath-T
Priorities with respect to:
Goal: Ancaman
Kegiatan illegal fishing oleh .022
Larangan penangkapan baby tuna .291
Transhipment di tengah laut .032
Wilayah penerapan WCPFC memasu .167
Pembatasan penangkapan spesies .217
Pembatasan penggunaan rumpon .116
Beberapa ketentuan internasion .098
Aturan pengelolaan SDI di wila .056
Inconsistency = 0.02
with 0 missing judgments.
Page 1 of 12/17/2013 11:59:15 AM
akhmad solihin
165
Tabel 28. Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Ancaman
No. Aspek Skor
Bobot Rangking
1 Kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing 0,009 8
2 Aturan internasional yang melarang penangkapan
baby tuna
0,116 1
3 Transhipmen di tengah laut 0,013 7
4 Wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan
kepulauan Indonesia
0,067 3
5 Pembatasan penangkapan spesies tertentu 0,087 2
6 Pembatasan penggunaan rumpon 0,046 4
7 Beberapa ketentuan internasional yang pada
awalnya bersifat sukarela telah berubah menjadi
bersifat wajib dan mengikat.
0,039 5
8 Pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi
nasional diindikasikan dikendalikan oleh
internasional dan regional
0,023 6
Berdasarkan hasil analisis di atas menghasilkan nilai consistency ratio
(CR) sebesar 0.02. Artinya, data pengisian kuisioner dari responden cukup
konsisten sehingga tidak perlu dilakukan revisi pendapat serta cukup valid untuk
analisis lebih lanjut.
Hasil analisis pembobotan faktor peluang yang memberikan peluang
menunjukkan bahwa aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna
mendapatkan bobot relatif tertinggi (0,116) dibandingkan faktor lainnya. Urutan
bobot relatif lainnya adalah pembatasan penangkapan spesies tertentu (0,087);
wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan Indonesia (0,067);
pembatasan penggunaan rumpon (0,046); beberapa ketentuan internasional yang
pada awalnya bersifat sukarela telah berubah menjadi bersifat wajib dan mengikat
(0,039); pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi nasional diindikasikan
dikendalikan oleh internasional dan regional (0,023); transhipmen di tengah laut
(0,013); dan kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing (0,009).
5.5.2 Matriks IFE dan EFE
Berdasarkan hasil analisis terhadap faktor-faktor internal dan eksternal,
maka dapat disusun matriks IFE yang berisi kekuatan dan kelemahan serta
matriks EFE yang berisi peluang dan ancaman disertai dengan bobot dan rating.
166
Penentuan bobot diambil dari hasil AHP sedangkan rating ditentukan oleh peneliti
yang melihat hasil diskusi dengan responden. Diskusi dengan responden
dilakukan saat responden sebelum dan sesudan mengisi kuesinoner. Bobot dan
rating kemudian dikalikan untuk memperoleh skor, sedangkan untuk
mendapatkan skor akhir internal dan eksternal maka skor dari responden tersebut
dirata-rata. Tabel matriks IFE strategi kebijakan perikanan tuna dapat dilihat pada
Tabel 29.
Tabel 29 Matriks IFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna
Faktor Strategis Internal Rata-rata
Skor Bobot Rating
kekuatan
A Adanya asosiasi perikanan tuna 0.035 2 0.070
B Pelayanan perikanan satu atap 0.053 2 0.106
C Pelabuhan perikanan dan sarana penunjang tersedia 0.059 2 0.119
D Terdapat pelaku usaha perikanan tangkap skala
industri dan kecil
0.022 1 0.022
E Kelengkapan peraturan perundang-undangan
Indonesia
0.082 3 0.247
G Adanya estimasi jumlah tangkapan yang
diperbolehkan
0.101 3 0.304
H perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di
Samudera Pasifik diindikasikan sebagai Spawning
0.224 4 0.895
I Jumlah armada penangkapan dan nelayan cukup
besar
0.024 2 0.048
0.6
Kelemahan
K Penempatan rumpon tidak sesuai peraturan 0.018 2 0.037
L System pendataan perikanan Indonesia masih belum
baik
0.034 2 0.068
M Pelaksanaan observer dan board inspection belum
optimal
0.047 2 0.094
N Pelaksanaan VMS masih belum optimal 0.028 2 0.055
O Belum ada RPP Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik 0.096 4 0.382
P NPOA IUU Fishing dan Shark Managemet belum
ditetapkan menjadi peraturan
0.071 3 0.212
Q Belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam
meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia
0.094 3 0.283
R Armada penangkapan ikan nasional didominasi oleh
kapal-kapal penangkapan berukuran kecil
0.012 1 0.012
0.400
Total 1 2.954
167
Berdasarkan hasil perhitungan matriks IFE di atas maka dapat disimpulkan
bahwa efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna secara internal berada dalam
kondisi rata-rata. Hal ini dapat dilihat dari nilai total nilai sebesar 2,954.
Pada Tabel 26 dapat diketahui bahwa kekuatan utama strategi kebijakan
adalah perairan Laut Sulawesi dan ZEE Indonesia di Samudera Pasifik
diindikasikan sebagai spawning dengan nilai 0.895. Spawning ground di wilayah
Indonesia dapat dijadikan alat diplomasi yang menguntungkan Indonesia dalam
setiap pembuatan keputusan WCPFC. Namun demikian, di sisi lain, lemahnya
diplomasi akan menyudutkan Indonesia ketika nelayan Indonesi melakukan
penangkapan ikan baby tuna yang berada di Indonesi. Oleh karena itu, keberadaan
spawning ground tersebut perlu dikaji secara ilmiah.
Faktor kedua adalah adanya estimasi jumlah tangkapan yang
diperbolehkan dengan nilai 0.304. Adanya estimasi perikanan Indonesia
merupakan amanat dari UNCLOS 1982 untuk menjadi alat ukur dalam
pengelolaan perikanan. Oleh karena itu, keberadaan data perikanan yang baik
adalah syarat utama dalam memperbaiki dan menyusun estimasi perikana
tersebut. Faktor terakhir adalah kelengkapan peraturan perundang-undangan
Indonesia dengan nilai sebesar 0.247. Berdasarkan hasil analisa peraturan
perundang-undangan, bahwa peraturan perundang-undangan secara umum sudah
lengkap meski ada beberapa peraturan yang perlu ditetapkan. Namun demikian,
kelengkapan peraturan perundang-undangan Indonesia merupakan kekuatan
Indonesia dalam melakukan diplomasi, bahwa Indonesia memiliki kepedulian
yang sama dengan negara lainnya dalam mewujudkan perikanan berkelanjutan
dan bertanggung jawab.
Kelemahan utama strategi kebijakan adalah belum adanya Rencana
Pengelolaan Perikanan (RPP) Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik dengan nilai
sebesar 0.096. Ketiadaan RPP ini dapat berpengaruh terhadap keberlanjutan
perikanan di kedua WPP tersebut. Dengan demikian, ketiadaan RPP adalah
kelemahan yang harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia.
Faktor kedua adalah belum adanya kebijakan dan strategi nasional dalam
meningkatkan posisi tawar pemerintah Indonesia dengan nilai sebesar 0,174.
Permasalahan posisi tawar adalah hal penting dalam diplomasi, sehingga
168
kekuatan-kekuatan seperti adanya indikasi spawning ground dapat dijadikan alat
utama meningkatkan posisi tawar tersebut. Faktor terakhir adalah NPOA IUU
Fishing dan Shark Managemet belum ditetapkan menjadi peraturan. Kedua NPOA
tersebut belum ditetapkan dalam sebuah peraturan. Hal ini dikarenakan, IUU
Fishing dan hiu dimuat dalam international plan of action (IPOA) yang bersifat
softlaw. Padahal, dalam RFMO, khususnya WCPFC, aturan yang softlaw diubah
menjadi hardlaw melalui CMM.
Sementara itu, matriks EFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna
dapat dilihat pada Tabel 26. Berdasarkan hasil analisis matriks EFE, diperoleh
jumlah skor rata-rata untuk faktor eksternal sebesar 2.965. Nilai ini
memperlihatkan bahwa efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna berada dalam
level rata-rata.
Tabel 30 Matriks EFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna
Faktor strategis eksternal Rata-rata
Skor Bobot Rating
A Peluang
Potensi SDI belum dimanfaatkan secara optimal
0.0198
1
0.020
B Regulasi/kebijakan industrialisasi dan minapolitan perikanan 0.0282 2 0.056
C Kajian dan mitigasi kematian non-target spesies 0.0594 3 0.178
D Mempertimbangkan nelayan artisanal dan subsisten 0.0438 2 0.088
E Tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta
terhindar dari embargo ekspor produk perikanan Indonesia
oleh negara-negara anggota WCPFC
0.0798 3 0.239
F Penguatan posisi Indonesia dalam forum WCPFC 0.1998 4 0.799
G Dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil
WCPFC serta memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran
data dan informasi diantara negara anggota
0.1692 3 0.508
0.6
Ancaman
H Kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing 0.009 2 0.018
I Aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna 0.116 4 0.466
J Transhipmen di tengah laut 0.013 2 0.026
K Wilayah penerapan WCPFC memasuki perairan kepulauan
Indonesia
0.067 3 0.200
L Pembatasan penangkapan spesies tertentu 0.087 2 0.174
M Pembatasan penggunaan rumpon 0.046 2 0.093
N Beberapa ketentuan internasional yang pada awalnya bersifat
sukarela telah berubah menjadi bersifat wajib dan mengikat
0.039 2 0.078
P Pengelolaan sumberdaya di wilayah yurisdiksi nasional
diindikasikan dikendalikan oleh internasional dan regional
0.023 1 0.023
0.4
Total 1.000 2.965
169
Berdasarkan Tabel 30 bahwa peluang utama adalah penguatan posisi
Indonesia dalam forum WCPFC menduduki urutan pertama. Hal ini bisa dilihat
dari nilai sebesar 0.799. Penguatan tersebut dengan membenahi hal-hal yang
dipersyaratkan oleh WCPFC seperti pembenahan sistem data dan implementasi
MCS yang baik serta terlibat aktif dalam setiap pertemuan yang diselenggarakan.
Peluang kedua yang dapat dimanfaatkan adalah dapat memengaruhi
keputusan-keputusan yang diambil WCPFC serta memudahkan Indonesia dalam
hal pertukaran data dan informasi diantara negara anggota dengan nilai sebesar
0.508. Peluang ini didasarkan bahwa Indonesia memperkuat diplomasi dengan
berbagai kepatuhan dan bukti ilmiah tentang spawning ground. Faktor ketiga
adalah tersedianya bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta terhindar dari
embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota WCPFC
dengan nilai sebesar 0.263. Sebagaimana yang disebutkan sebelunya, bahwa
keterlibatan aktif Indonesia selain peduli terhadap isu global dan regional, juga
mendapatkan bantuan teknis dan financial dalam mewujudkan perikanan di
wilayah WCPFC.
Faktor utama yang menjadi ancaman efektivitas strategi kebijakan adalah
aturan internasional yang melarang penangkapan baby tuna. Faktor ini memiliki
nilai sebesar 0.466. Larangan penangkapan baby tuna tersebut berdasarkan CMM
yang disebabkan oleh menurunnya tangkapan tuna yellowfin dan bigeye. Oleh
karena itu, larangan penggunaan purse seine dengan menggunakan rumpon juga
telah dikeluarkan.
Faktor ancaman kedua adalah wilayah penerapan WCPFC memasuki
perairan kepulauan Indonesia. Faktor ini memiliki nilai sebesar 0.200. Wilayah
penerapan WCPFC memasukan perairan kepulauan Indonesia, sehingga dalam
ratifikasi yang akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia harus memberikan
catatan untuk batasan wilayah tersebut. hal ini dikarenakan, biasanya pengelolaan
RFMO berada di luar ZEE. Faktor ketiga adalah pembatasan penangkapan spesies
tertentu dengan nilai 0.174. Pembatasan tersebut dalam rangka menjaga
keberlanjutan spesies tertentu yang dikhawatirkan musnah. Berdasarkan dari
perhitungan matriks IFE dan EFE diperoleh jumlah nilai rata-rata sebesar 2.954
dan 2.965. Penggabungan antara nilai IFE dan EFE pada matriks IE akan
170
menunjukkan efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna berada pada sel ke lima
(V) seperti yang terlihat pada Gambar 34. Dengan demikian, strategi yang terbaik
yang sebaiknya dilakukan adalah menjaga dan mempertahankan posisi yang
selama ini sudah diraih. Kebijakan umum dari strategi ini adalah dengan cara
penguatan posisi Indonesia dalam WCPFC. Selain itu, perlu peningkatan system
pengumpulan data dan informasi yang disertai dengan peningkatan pengawasan.
Total Rata-rata Tertimbang IFE
Kuat Rata-rata Lemah
(3,0-4.0) (2,0-2,99) (1,0-1,99)
Tinggi
(3,0-4,0)
Total Sedang
Rata-rata (2,0-2,99)
Tertimbang EFE Rendah
(1,0-1,99)
Gambar 31 Matriks IE
5.6 Strategi Kebijakan
Setelah melakukan analisis terhadap faktor internal dan eksternal,
selanjutnya dapat diformulasikan alternatif strategi dengan menggunakan matriks
SWOT, yang merupakan kombinasi dari strategi SO, WO, ST, dan WT.
perumusan strategi dilakukan dengan mempertimbangkan keempat faktor yaitu
kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang telah diidentifikasi. Strategi
yang dihasilkan merupakan kombinasi SO (strength-opportunities), ST (strength-
threats), WO (weakness-opportunities), dan WT (weakness-threats) yang
dirangkum dalam matriks SWOT. Perumusan strategi pemasaran yang dibangun
dengan menggunakan matriks SWOT dapat pada Tabel 27.
I II III
IV VI
VII VIII IX
V
T
abel
31. M
atri
k S
WO
T u
ntu
k P
eru
musa
n S
trat
egi
Dip
lom
asi
Indones
ia
I
FA
S
E
FA
S
Kek
ua
tan
(S
tren
gth
s)
S1
. A
dan
ya
aso
siasi
per
ikanan
tuna;
S2
. P
elay
anan
per
ikanan s
atu a
tap
;
S3
. P
elab
uhan
per
ikanan
dan
sar
ana
pen
unja
ng t
erse
dia
;
S4
. T
erd
apat
pel
aku u
saha
per
ikan
an t
ang
kap
skal
a
ind
ust
ri d
an k
ecil
;
S5
. K
elen
gkap
an p
erat
ura
n p
erund
ang
-und
angan
Ind
ones
ia;
S6
. A
dan
ya
esti
masi
ju
mla
h t
ang
kap
an y
ang
dip
erb
ole
hkan
;
S7
. S
pa
wn
ing
Go
un
d
yell
ow
fin
tu
na
;
S8
. Ju
mla
h a
rmad
a p
enan
gkap
an d
an n
elayan c
uk
up
bes
ar;
Kel
em
ah
an
(W
ea
kn
esse
s)
W1
. P
enem
pat
an r
um
po
n t
idak
ses
uai
per
atura
n;
W2
. S
yst
em
pend
ataa
n p
erik
anan
Ind
ones
ia m
asih
bel
um
bai
k;
W3
. P
elak
sanaa
n o
bse
rver
dan
bo
ard i
nsp
ecti
on b
elu
m
op
tim
al;
W4
. P
elak
sanaa
n V
MS
mas
ih b
elu
m o
pti
mal
;
W5
. B
elum
ad
a R
PP
Lau
t S
ula
wesi
dan
Sam
ud
era P
asif
ik;
W6
. N
PO
A I
UU
Fis
hin
g d
an S
ha
rk M
an
ag
emet
bel
um
dit
etap
kan
men
jad
i p
erat
ura
n;
W7
. B
elum
ad
anya
keb
ijak
an d
an s
trat
egi
nas
ional
dal
am
men
ing
kat
kan p
osi
si t
aw
ar p
emer
inta
h I
nd
onesi
a;
W8
. A
rmad
a p
enan
gkap
an i
kan n
asi
onal
did
om
inas
i o
leh
kap
al-k
apal
pen
ang
kap
an b
eru
kura
n k
ecil
Pel
ua
ng
(O
pp
ort
un
itie
s)
O1
. P
ote
nsi
SD
I b
elu
m d
iman
faat
kan
sec
ara
op
tim
al;
O2
. R
egu
lasi
/keb
ijak
an i
nd
ust
rial
isas
i p
erik
anan
dan
min
apo
lita
n;
O3
. K
ajia
n d
an m
itig
asi
kem
atia
n n
on-t
arget
spes
ies;
O4
. M
emp
erti
mb
ang
kan
nel
ay
an a
rtis
anal
dan
sub
sist
en;
O5
. T
erse
dia
nya
ban
tuan
tek
nis
dan
fin
ansi
al d
ari
WC
PF
C;
O6
. P
enguat
an p
osi
si I
nd
onesi
a d
alam
fo
rum
WC
PF
C;
O7
. D
apat
mem
engar
uh
i kep
utu
san
-kep
utu
san
yan
g d
iam
bil
WC
PF
C s
erta
mem
ud
ahkan
Ind
ones
ia d
alam
hal
per
tukar
an d
ata
dan
info
rmas
i d
ianta
ra n
egar
a an
ggo
ta
SO
SO
1.
Pen
elit
ian p
erik
anan s
ecar
a ru
tin (
S3
, S
6,
S7
, S
8,
S9
, O
1,
O3
, O
4,
O5
, O
6,
O7
)
SO
2.
Pen
gem
bangan f
asil
itas
dan
pel
ayanan p
elab
uhan
per
ikan
an (
S1
, S
2,
S3
, S
4,
S8
, O
1,
O2
, O
4)
SO
3.
Pen
guat
an p
eran
aso
siasi
per
ikan
an t
una
(S1
, S
4,
O1
, O
2,
O4
)
WO
WO
1.
Pen
gem
ban
gan
sis
tem
info
rmas
i d
an d
ata
(W2
, W
3,
W4
, O
1,
O3
, O
4,
O5
, O
6,
O7
)
WO
2. P
enin
gkat
an M
CS
(W
1,
W2
, W
3, W
4, W
5, W
7,
O3
,
O4
, O
5)
WO
3. P
enet
apan
do
ku
men
RP
P (
W5,
W6,
W7,
O1
, O
2, O
3,
O4
, O
5,
O6
, O
7)
WO
4. P
enguata
n a
rmad
a ta
ng
kap
(W
1,
W8
, O
1, O
2,
O4
)
171
An
cam
an
(T
hre
ats
)
T1.
Keg
iata
n i
lleg
al f
ishin
g o
leh n
elayan a
sing
;
T2.
Atu
ran i
nte
rnas
ional
yan
g m
elar
ang
pen
angkap
an b
aby t
una;
T3. T
ranss
hip
men
t d
i te
ngah
lau
t;
T4.
Wil
ayah p
ener
apan
WC
PF
C m
em
asu
ki
per
aira
n k
epula
uan
Ind
ones
ia;
T5.
Pem
bat
asan
pen
an
gkap
an s
pes
ies
tert
entu
.
T6.
Pem
bat
asan
pen
ggu
naa
n r
um
po
n;
T7.
Beb
erap
a ket
entu
an i
nte
rnas
ional
yan
g p
ada
aw
aln
ya
ber
sifa
t su
kar
ela
tela
h b
erub
ah
men
jad
i b
ersi
fat
waj
ib d
an m
engik
at;
T8.
Pen
gel
ola
an s
um
ber
daya
di
wil
ayah
yuri
sdik
si
nas
ional
dii
nd
ikas
ikan d
ikend
alik
an o
leh
inte
rnasi
onal
dan r
egio
nal;
ST
ST
1. P
enguat
an s
iste
m p
eneg
akan
huk
um
(S
2,
S5
, T
1,
T2, T
3, T
5, T
6, T
7)
ST
2. P
enguat
an k
erja
sam
a re
gio
nal
den
gan W
CP
FC
(S1
, S
2,
S3
, S
4,
S6,
S7
, S
8,
S8
, T
2, T
4, T
5,T
6, T
7,
T8)
WT
WT
1.
Sin
ergis
asi
atu
ran p
em
asa
ngan
ru
mp
on (
W1
, T
1, T
2,
T5, T
6)
172
173
Berdasarkan analisis matriks SWOT didapatkan empat macam strategi
yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Strategi Strength-Opportunities (SO)
Strategi SO adalah strategi menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk
memanfaatkan peluang yang ada. Berdasarkan kekuatan dan peluang yang
diperoleh, maka strategi yang seharusnya dilakukan adalah penelitian perikanan
secara rutin. Hal ini didasarkan adanya perbaikan data setiap tahun terkait dengan
estimasi, penelitian spawning ground yang dapat dijadikan alat diplomasi, dan
adanya bantuan teknis dan keuangan sehingga perlu peningkatan penelitian yang
dasar dan strategis.
Strategi kedua yang dapat dilakukan adalah pengembangan fasilitas dan
pelayanan pelabuhan perikanan. Pengembangan fasilitas dan pelayanan di
pelabuhan perikanan. Strategi ini berdasarkan adanya dukungan dari pemerintah
yang dicerminkan dengan program minapolitan dan industrialisasi perikanan.
Sementara strategi ketiga yang dapat dilakukan adalah penguatan peran
asosiasi perikanan tuna. Strategi ini didasari oleh keberadaan asosiasi tuna,
sehingga memudahkan dalam memfasilitasi kepentingan pemerintah dan
pengusaha perikanan tuna.
b. Strategi ST (strength-threats)
Strategi ST merupakan strategi memanfaatkan kekuatan untuk
menghindari ancaman yang datang dari luar. Strategi ST paling utama adalah
penguatan sistem penegakan hukum. Strategi ini ditempuh untuk menciptakan
efektivitas penegakan hukum, mulai dari pengawasan hingga penyidikan. Hal ini
untuk menghindari tumpang tindih kewenangan.
Strategi kedua adalah penguatan kerjasama regional dengan WCPFC.
Hingga saat ini, Indonesia berstatus sebagai contracting non-member atau negara
peninjau. Oleh karena itu, perlu penguatan kerjasama dengan keterlibatan aktif di
WCPFC.
c. Strategi WO (weakness-opportunities)
Strategi WO adalah strategi yang meminimalkan kelemahan dengan
memanfaatkan peluang yang ada. Strategi WO utama yang bisa dilakukan adalah
pengembangan sistem informasi dan data. Strategi ini didasari oleh lemahnya
174
sistem pendataan Indonesia sehingga dikhawatirkan menimbulkan salah dalam
penentuan kebijakan.
Strategi kedua adalah Peningkatan MCS. Kelemahan yang dapat dihindari
dari strategi ini adalah belum optimalnya penggunaan logbook penangkapan ikan,
observer dan board inspection serta penggunaan trasmiter. Strategi ini
memanfaatkan peluang berupa tersedianya bantuan teknis dan finansial.
Sementara strategi ketiga adalah Penetapan dokumen RPP. Strategi ini didasari
oleh belum adanya dokumen pegangan dalam mengelola suatu wilayah. Ketiadaan
dokumen menyebabkan kebingungan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Sedangkan strategi WO yang keempat adalah penguatan armada tangkap. Strategi
ini didasari oleh perpindahan penggunaan perahu besar menjadi lebih kecil dan
bersifat individual. Peluang yang digunakan pada strategi ini adalah potensi belum
dimanfaatkan secara optimal dan peluang pasar yang baik.
d. Strategi WT (weakness-threats)
Strategi WT merupakan strategi untuk mengurangi kelemahan dan
menghindari ancaman. Strategi yang bisa dilakukan adalah dengan mensinergikan
aturan pemasangan rumpon sebagaimana yang diatur oleh WCPFC dengan
peraturan Indonesia. Hal ini dalam rangka membangun perikanan berkelanjutan
yang disebabkan penggunaan rumpon.
Hasil dari matriks SWOT dan keempat macam strategi secara umum diatas
didapatkan tujuh rekomendasi strategi alternative yakni :
1) Penelitian perikanan secara rutin. Strategi ini dalam rangka menghasilkan
data ilmiah terbaik yang tersedia. Salah satu penelitian yang harus
dilakukan adalah mengenai lokasi pasti spawning ground tuna (yellowfin
dan bigeye). Mengingat, lokasi spawning ground kedua tuan tersebut
diindikasikan berada di Indonesia, sehingga kebenaran data tersebut dapat
dijadikan alat dilomasi Indonesia.
2) Pengembangan fasilitas dan pelayanan pelabuhan perikanan. Strategi ini
dalam rangka mengoptimalkan fungsi pelabuhan dalam kegiatan bisnis dan
pemerintahan, khususnya pencatatan kegiatan perikanan. Pengembangan
fasilitas pelabuhan disesuaikan dengan kebutuhan pelabuhan masing-
masing dan daya dukung infrastrukturnya, seperti listrik. Sementara
175
pengembangan pelayanan adalah dengan cara pelayanan satu atap yang
dilaksanakan di semua pelabuhan perikanan Indonesia. Pelayanan
pemberian izin, perlu pembangunan gedung pelayanan satu atap yang
didalamnya tergabung beberapa lembaga Negara, seperti Pelabuhan
Perikanan, PSDKP, Imigrasi, Bea Cukai, Perhubungan Laut, Badan
Karantina Ikan. Adanya pelayanan satu atap tersebut memudahkan nelayan
dalam setiap pengurusan dokumen perizinan, baik yang terkait dengan
penangkapan maupun dengan pemasaran atau ekspor-impor. Selain itu,
perlu pembuatan system informasi pelayanan yang terintegrasi sehingga
lebih menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan perizinan.
3) Penguatan peran asosiasi perikanan tuna
Pelibatan asosiasi tuna dalam semua aspek, mulai dari penangkapan hingga
pemasaran dapat memudahkan pemerintah dalam pengembangan industry
perikanan tuna di Indonesia umumnya, dan Bitung khususnya. Pelibatan
asosiasi perikanan tuna juga bisa dilakukan pada saat memberikan data dan
informasi untuk pembuatan kebijakan.
4) Penguatan sistem penegakan hokum
Dalam rangka menjamin perikanan tuna berkelanjutan, system penegakan
hukum perlu ditata dan disinergikan antar lembaga, sehingga strategi ini
mendukung industry perikanan tuna. Selain itu, pemberantasan IUU fishing
di wilayah perairan Laut Sulawesi perlu dilakukan secara koordinatif dan
sinergis, sehingga potensi sumberdaya ikan tidak dicuri oleh nelayan asing.
Hasil yang diharapkan dari strategi ini adalah adanya standar operasional
yang sama antar penegak hukum, sehingga tidak membingungkan nelayan
ketika terjadi pelanggaran. Selain itu, efektivitas penegakan hukum
terhadap pelaku IUU Fishing diharapkan mampu menjamin keberlanjutan
usaha perikanan tuna. Mengingat, IUU Fishing menyumbangkan 30 persen
dari total tangkapan dunia selama ini.
5) Penguatan kerjasama regional dengan WCPFC
Dalam rangka memperkuat diplomasi Indonesia di WCPFC, maka
pemerintah Indonesia harus melakukan ratifikasi Konvensi WCPFC
sehingga dengan demikian Indonesia menjadi negara full member
176
(member contracting parties). Perubahan status tersebut menempatkan
Indonesia mempunya hak bicara dan suara, yang selama ini hanya
mempunyai hak bicara karena statusnya negara peninjau (member non-
contracting parties).
6) Pengembangan system informasi dan data
Statistik perikanan Indonesia sebagaimana statistik lainnya di Indonesia
dihadapkan pada permasalahan “keabsahan”. Hal ini dikarenakan, data
dikumpulkan tidak secara benar. Oleh karena itu, pengembangan system
informasi dan data perlu menjadi perhatian pemerintah. Dukungan teknis
dan financial dari lembaga internasional bisa diperoleh dalam pelaksanaan
pengembangan system informasi dan data.
7) Peningkatan MCS
Pemerintan Indonesia sudah memiliki aturan mengenai observer, inspeksi
kapal dan transmitter. Permasalahannya adalah pada tahap pelaksanaan.
Oleh karena itu, strategi yang harus dilakukan adalah peningakatn MCS
yang efektif dan efisien dalam mendukung perikanan berkelanjutan.
8) Penetapan dokumen RPP
Indonesia memiliki 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Namun
demikian, pelaksanaan pengelolan WPP tersebut dihadapkan pada
kebingungan apa yang harus dilakukan. Hal ini dikarenakan tidak adanya
dokumen RPP. Oleh karena itu, strategi yang harus dilakukan adalah
menetapkan dokumen RPP sebagai pedoman hukum dalam pengelolaan
WPP.
9) Penguatan armada tangkap
Strategi mendapat dukungan dari program minapolitan dan industrialisasi
perikanan, sehingga pemerintah bisa membangun armada tangkap tuna
yang. Hasil yang diharapkan dari strategi ini adalah modernisasi armada
sesuai dengan daya dukung potensi tuna.
10) Sinerigisasi aturan pemasangan rumpon
WCPFC memiliki aturan mengenai pemasangan rumpon, begitu juga
Indonesia dengan Peratutan Menterinya. Oleh karena itu, strategi yang
177
harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah mensinergikan
pemasangan rumpon yang diatur oleh WCPFC dengan Indonesia,
khususnya di WPP 717 dan 718.
178
179
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1) Pengelolaan perikanan pada WCPFC ditetapkan melalui dua ketentuan
mengikat yakni Konvensi WCPFC dan Conservation and Management
Measures (CMM), serta satu ketentuan tidak mengikat yakni Resolusi.
Berdasarkan analisa peraturan perundang-undangan terdapat 18 hal yang harus
diperhatikan Indonesia terkait dengan ketentuan tindakan konservasi dan
pengelolaan yang diatur oleh WCPFC, yakni :
a. Konvensi WCPFC yang memuat sembilan hal yang harus menjadi
perhatian dan kesiapan Indonesia, yaitu: (1) Wilayah penerapan, (2) Azas-
azas dan langkah-langkah untuk konservasi dan pengelolaan, (3)
Penerapan pendekatan kehati-hatian, (4) Pelaksanaan azas-azas di
wilayah-wilayah berdasarkan yurisdiksi nasional, (5) Kesesuaian langkah-
langkah konservasi dan pengelolaan, (6) Kewajiban Para Anggota
Komisi, (7) Kewajiban-Kewajiban Negara Bendera, (8) Penaatan dan
Penegakan, dan (9) Itikad Baik dan Penyalahgunaan Hak.
b. Conservation and Management Measures (CMM) yang memuat sembilan
hal yang harus menjadi perhatian dan kesiapan Indonesia, yaitu: (1)
Penggunaan Transmitter (VMS), (2) Penegakan hukum, (3) Kapal
Penangkapan Ikan, (4) Alat Penangkap Ikan dan Alat Bantu Penangkapan
Ikan, (5) Pengelolaan Tangkapan Utama, (6) Pengelolaan Tangkapan
Sampingan, (7) Program Observer dan Inspeksi Kapal, (8) Data Buoys,
dan (9) Transhipment
2) Berdasarkan Konvensi WCPFC, CMM dan kesiapan regulasi nasional
terdapat tiga hal yang harus diperhatikan pemerintah Indonesia, yaitu:
a. Status wilayah WCPFC. Indonesia harus menegaskan kepada Komisi
WCPFC bahwa wilayah Konvensi di perairan Indonesia hanya untuk
perairan ZEE Indonesia pada WPP 716 (Laut Sulawesi dan Sebelah Utara
Pulau Halmahera) dan WPP 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudera
Pasifik).
180
b. Pengawasan dan penegakan hukum. Empat hal yang harus diperhatikan
yakni; (1) Penataan sistem informasi dan data, (2) Penataan sistem
pengawasan, (3) Pemberantasan IUU Fishing di wilayah Konvensi
WCPFC, dan (4) Pengawasan efektivitas pelaksanaan hukum.
c. Penyusuhan Peraturan Perundang-undangan. Beberapa ketentuan
Konvensi dan CMM WCPFC yang perlu ditetapkan dalam bentuk
Peraturan Perundang-Undangan yaitu: (1) Program observer, (2) Port
State Measures Agreement (3) Pembatasan upaya tangkapan (4)
Pengelolaan rumpon (5) Hasil tangkapan sampingan (6) National Plan of
Action (NPOA) for the Conservation and Management of Sharks
3) Kebijakan pelarangan penangkapan baby tuna akan menghasilkan nilai rataan
kesediaan menerima pembayaran (WTA) per orang sebesar Rp 4.774.000 per
tahun atau Rp 397.433 per bulan. Sementara itu, rataan pendapatan tetap
setiap nelayan purse seine sebesar Rp 20.520.000 per tahun atau Rp 1.710.000
per bulan. Dengan demikian, apabila larangan penangkapan baby tuna
diberlakukan, maka pendapatan nelayan purse seine per bulannya menjadi Rp
1.312.166,67, karena kehilangan sebesar Rp 397.433 per bulan.
4) Ketentuan penutupan penggunaan alat tangkap purse seine dengan alat bantu
rumpon selama periode Agustus sampai dengan Oktober akan mengganggu
pasokan ikan terhadap industri pengolahan ikan di Kota Bitung, karena 78,57
persen pendaratan ikan di Kota Bitung berasal dari alat tangkap purse seine.
Mengacu pada periode yang sama pada tahun 2012, total pendapatan dari
bigeye dan yellowfin dari alat tangkap purse seine mencapai
Rp.15.420.837.600,-.
5) Strategi yang harus dilakukan, yaitu: (1) Penelitian perikanan secara rutin, (2)
Pengembangan fasilitas dan pelayanan pelabuhan perikanan, (3) Penguatan
peran asosiasi perikanan tuna, (4) Penguatan sistem penegakan hukum (5)
Penguatan kerjasama regional dengan WCPFC, (6) Pengembangan sistem
informasi dan data, (7) Peningkatan MCS, (8) Penetapan dokumen RPP, (9)
Penguatan armada tangkap, dan (10) Sinerigisasi aturan pemasangan rumpon.
181
6.2 Saran
1) Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai dampak lain yang ditimbulkan
dari ratifikasi Konvensi WCPFC, karena aturan WCPFC terus berkembang
dengan cara mengeluarkan resolusi.
2) Partisipasi Indonesia dalam kerjasama WCPFC dapat dioptimalkan untuk
kepentingan nasional dalam rangka pertumbuhan ekonomi. Diplomasi
Indonesia dalam setiap pertemuan WCPFC masih sangat terbatas karena
belum menjadi member. Oleh karena itu, proses ratifikasi Konvensi WCPFC
yang sedang dilakukan Indonesia untuk peningkatan status keanggotaan
menjadi anggota penuh dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak lama.
3) Kecenderungan perkembangan pengelolaan perikanan tuna oleh WCPFC
melalui pembatasan hasil tangkapan (catch limit). Penetapan catch limit
berdasarkan historical annual catch setiap negara untuk spesies yang
dikelola. Oleh karena itu untuk memperkuat posisi Indonesia sekaligus
melindungi kepentingan nasional adalah melalui pendataan hasil tangkapan
akurat dan tepat. Sehingga setiap pertemuan tahunan WCPFC, delegasi
Indonesia memiliki dasar yang kuat untuk melakukan intervensi besaran
catch limit (kuota).
182
183
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, L. 2006. Pengantar Penilaian Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut.
Departemen Manajemen Sumberdaya Pesisir dan Laut-IPB.
Agreement to Promote Compliance with International Conservation and
Management Measures by Fishing Vessel on the High Seas, 1993.
Agreement For The Establishment Of The Indian Ocean Tuna Commission 1993.
Aranda, H., Murua, H., and DeBruyn, P. Managing Fshing Capacity in Tuna
Regional Fsheries Management Organisations (RFMOs): Development
and State of the Art. Marine Policy. 36 (2012) 985–992.
Ariadno, M.K. 2012. Review of Policy and Legal Arrangements of WCPFC
Related Matters and Checklist of Compliance Shortfalls. Policy Paper.
WCPFC.
Bjørndal, T. 2009. Overview, Roles, and Performance of the North East Atlantic
Fisheries Commission (NEAFC). Marine Policy, Vol 33 (2009) 685–697.
BRPL – DKP, 2005. Potensi Sumberdaya Ikan di WPP Samudera Hindia. Tidak
diterbitkan.
Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna
Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory Fish
Stocks in the Western and Central Pacific Ocean 2000
David, F.R. 2003. Strategic Management, Concepts and cases, 10th ed. New
Jersey: Pearson Education Inc. 461 hal.
Dickson, A. C. DFT, M. Demoos, W. S. de la Cruz, I. Tanangonan, J. O. Dickson,
DFT and R. V. Ramiscal. 2012. Analysis of Purse Seine/Ring Net Fishing
Operations in Philippine EEZ. Paper prepared for the Scientific
Committee Eighth Regular Session, 7-15 August 2012, Busan, Republic of
Korea.
Ditjen Perikanan Tangkap, 2006. Naskah Urgensi : Usulan Keanggotaan
Indonesia Dalam Commission For The Conservation of Southern Bluefin
Tuna (CCSBT). Tidak diterbitkan.
Dunn, W.N. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta Engagement. Center for Civic Education: USA.
Durianto, et. al. 2001. Strategi Menaklukkan Pasar Melalui Riset Ekuitas dan
Perilaku Merek, PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.
FAO, 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries.
FAO, 1999. A Review of Measures Taken by Regional Marine Fishery Bodies to
Addres Contemporary Fishery Issues. Roma.
FAO, 2000. Aplication of Contingent Valuation Method in Developing Countries.
FAO Economic and Social Development. Papers No. 146/200. FAO.
Roma.
184
FAO, 2001.International Guidelines For The Management Of Deep-Sea Fisheries
In The High Seas.
FAO, 2012.The State of World Fisheries and Aquaculture. FAO. Rome.
Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia
Pusataka Utama. Jakarta.
Gerston, L.N. 2012. Public Policymaking in a Democratic Society: a Guide to
Civic.
Hanich, Q. 2011. Interest and Influence -A Snapshot of the Western and Central
Pacific Tropical Tuna Fisheries. Research Online - Australian National
Centre for Ocean Resources and Security (ANCORS) University of
Wollongong.
Hannesson, R. 2011. Rights Based Fishing on the High Seas: Is It Possible?.
Marine Policy, Vol 35 (2011) 667-674.
Havice, 2010. The Structure of Tuna Aceess Agreements in Western and Central
Pacific Ocean: Lesson for Vessel Day Scheme Planning. Marine
Policy.34.5.979-987
Herndon, A., Galucci, V.F., DeMaster, D., and Burke, W. 2010. The Case for an
International Commission for the Conservation and Management of
Sharks (ICCMS). Marine Policy, Vol 34 (2010) 1239–1248.
Hogwood, B.W. dan L.A. Gunn. 1984. Policy Analysis for the Real World.
Oxford University Press. London.
Jenkins, W.I. 1978. Policy Analysis. Oxford: Martin Robertson.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.45/Men/2011 tentang
Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Republik Indonesia
Krippendorff, K. 1980. Content Analysis : an introduction to its methodology.
Beverly Hills: Sage Publications
Levesque, 2008. International fisheries agreement: Review of the International
Commission for the Conservation of Atlantic Tunas Case study—Shark
Management. Marine Policy, Vol 32 (2008) 528–533.
Lodge L dan House C. 2007. Managing International Fisheries : Improving
Fisheries Governance By Stregthening Regional Fisheries Management
Organizations. Chatham House.
Marguire. 2006. The state of world highly migratory, straddling and other high
seas fishery resources and associated species.
FAO Fisheries Technical Paper. No. 495. Rome: FAO. 2006. 84p.
McDorman, T. (2005). Decision-Making Processes of Regional Fisheries
Management Organizations, Prepared for the St John’s Conference on
Governance of High Seas Fisheries and the UN Fish Agreement, 1–5 May,
2005, St John’s, Canada.
185
Mulyana, D. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Munro. 2004. The Conservation and Management of Shared Fish Stocks: legal
and economicaspects. FAO Fisheries Technical Paper. No. 465. Rome,
FAO. 2004. 69p
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penelitian
Dan Pengembangan Perikanan
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.05/Men/2007 tentang
Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.01/Men/2009 tentang
Wilayah Pengelolan Perikanan Republik Indonesia
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.18/Men/2010 tentang
Logbook Penangkapan Ikan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.02/Men/2011 tentang Jalur
Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu
Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.05/Men/2012 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No
Per.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat
Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.08/Men/2012 tentang
Kepelabuhanan Perikanan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12/Men/2012 tentang
Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per.30/Men2012 tentang Usaha
Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia
Polacheck, T. 2012. Politics and Independent Scientific Advice in RFMO
Processes: a Case Study Of Crossing Boundaries. Marine Policy, Vol 36
(2012) 132–141.
PPS Bitung. 2012. Laporan Tahunan PPS Bitung.
Pusat Riset Perikanan Tangkap, 2005. Potensi Sumberdaya Ikan di WPP
Samudera Hindia. Tidak diterbitkan.
Rangkuti F. 2005. Analisis SWOT: Teknik Membelah Kasus Bisnis. Jakarta:
PT.Gramedia Pustaka Utama.
Robbins, P. 2004. Political Ecology. A Critical Introduction. Blackwell
Publishing. USA. UK. Australia.
186
Saaty, T L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. PT. Pustaka
Binaman Pressindo: Jakarta
Satria, A., Anggraini, E., dan Solihin, A. 2009. Globalisasi Perikanan; Reposisi
Indonesia. IPB Press. Bogor.
Serdy. 2003. Conference on the Governance and Management of Deep-sea
Fisheries. Part 1: Conference reports; 1-5 December 2003, Queenstown,
New Zealand ; FAO Fisheries Proceedings (FAO)
Sitorus, M.T.F.. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Bogor. Kelompok
Dokumentasi Ilmu Sosial.
Starke, J.G. Pengantar Hukum Internasional (Terjemahan). Edisi Kesepuluh. Sinar
Grafika. Jakarta.
Undang Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118.
Undang Undang No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran
Undang Undang Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations
Agreement for the Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19
December 1982 Relating to the Conservation and Management of
Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995
Undang Undang No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 154.
United Nations Conventions on Law of The Sea (UNCLOS) 1982.
United Nations Agreement for the Implementation of the Provision of the
UNCLOS of 19 December 1982 Relating to the Conservation and
Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks
1995.
Wahab, S.A. 2012. Analisi Kebijakan: dari Formulasi ke Penyusunan Model-
model Implementasi Kebijakan Publik.
Wahyuni, M. et.al., 2007. Program Gemar Makan Ikan: Sebagai Strategi
Membangun Anak Bangsa Berkualitas, Departemen Kelautan dan
Perikanan, Jakarta.
Waugh, S.M., Baker, G.B., Gales, R., and Croxall, J.P. 2008. CCAMLR Process
of Risk Assessment to Minimise the Effects of Longline Fshing Mortality
on Seabirds. Marine Policy, Vol 32 (2008) 442–454.
WCPFC, 2007. Scientific Committee Third Regular Session
www.foa.org/fi
Widodo J dan Suadi, 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut.Gadjah
Mada University Press.Yogyakarta.p49
Worm, B., Edward, B.B., Nicola, B., J. Emmett Duffy, Carl, F., Benjamin S.H.,
Jeremy B. C.J., Heike, K.L., Fiorenza, M., Stephen, R.P., Enric, S.,
187
Kimberley A.S., John J.S., Reg, W. 2006. Impact of Biodiversity Loss on
Ocean Ecosystem Services. Science, vol 314, pp.787-790.
Yusri. Statistik Sosial: Aplikasi dan Interpretasi. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Yuwono S, Sukarno E, dan Ichsan, 2002. Petunjuk Praktis Penyusunan Balanced
Scorecard.
Zulham, A. 2011. Industri Perikanan Bitung. Buletin Sosek Kelautan dan
Perikanan Vol. 6 No. 2, 2011.
.
188
L
ampir
an 1
. T
abula
si D
ata
Res
ponden
Nel
ayan
Purs
e S
eine
No
N
am
a
WT
A
AG
E
ED
U
INC
O
CO
N_
EN
V
KN
OW
U
RG
A
GR
EE
D
EF
FE
CT
R
UL
E
OP
P
IMP
AC
T
1
Ram
li
43
200
00
21
7
21
600
000
3
3
3
3
3
3
3
3
2
Riz
ky D
apat
3
60
00
00
22
10
18
000
000
3
2
4
3
4
4
4
4
3
Jem
my B
ette
ng
4
50
00
00
30
13
18
000
000
3
5
3
4
4
4
2
3
4
Nurh
aid
ir M
alik
3
60
00
00
26
13
18
000
000
4
3
3
3
3
3
2
3
5
Max
i 3
60
00
00
39
10
18
000
000
2
2
2
4
3
4
3
3
6
Suri
adi
43
200
00
27
16
24
000
000
2
3
2
1
1
2
2
5
7
Juhar
i 5
25
00
00
23
13
21
000
000
3
2
3
1
3
3
3
3
8
Jho
ni
L
72
000
00
42
13
24
000
000
3
3
2
3
3
2
3
3
9
Tas
bih
3
60
00
00
23
10
15
600
000
3
3
3
2
3
3
3
4
10
Riv
ai
Rim
po
rok
43
200
00
26
16
21
600
000
2
3
2
1
2
3
2
4
11
Eca
n W
arugani
60
000
00
20
13
30
000
000
3
2
4
3
4
4
3
5
12
Sam
sul
63
000
00
35
7
18
000
000
3
3
3
0
2
3
3
3
13
Tho
mas
Tuer
ah
90
000
00
29
13
30
000
000
5
2
4
0
5
4
4
4
14
Leo
2
40
00
00
24
7
12
000
000
4
2
4
4
4
4
4
3
15
Faj
ar M
onan
gi
36
000
00
24
13
18
000
000
3
3
3
3
3
3
3
3
4
,77
4,0
00
27
.40
11
.60
20
,520
,00
0
3
3
3
2
3
3
3
4
189
Lam
pir
an 2
. H
asil
Anal
isa
Reg
resi
SU
MM
AR
Y O
UT
PU
T
R
egre
ssio
n S
tati
stic
s
M
ult
iple
R
0.9
984
117
12
R
Sq
uar
e
0.9
968
259
47
A
dju
sted
R
Sq
uar
e 0
.98
51
877
51
S
tand
ard
Err
or
20
833
5.4
43
5
O
bse
rvat
ion
s 1
5
A
NO
VA
d
f S
S
MS
F
S
ign
ific
an
ce F
R
egre
ssio
n
11
4.0
893
3E
+1
3
3.7
175
8E
+1
2
85
.651
243
26
0
.00
18
345
85
R
esid
ual
3
1
.30
21
1E
+1
1
43
403
657
003
T
ota
l 1
4
4.1
023
6E
+1
3
Co
effi
cien
ts
Sta
nd
ard
Err
or
t S
tat
P-v
alu
e L
ow
er 9
5%
U
pp
er 9
5%
L
ow
er 9
5.0
%
Up
per
95
.0%
Inte
rcep
t -2
71
50
1.8
576
1
69
14
12
.03
-0
.16
05
17
871
0
.88
26
729
27
-5
65
43
29
.821
5
11
13
26
.10
6
-56
54
329
.821
5
11
13
26
.10
6
AG
E
12
881
3.7
46
3
15
838
.398
4
8.1
330
032
89
0
.00
38
866
22
7
84
08
.893
81
1
79
21
8.5
98
7
78
408
.893
81
1
79
21
8.5
98
7
ED
U
-78
32
4.6
36
6
38
801
.790
22
-2
.01
85
83
064
0
.13
68
433
4
-20
18
09
.25
05
4
51
59
.977
32
-2
01
80
9.2
505
4
51
59
.977
32
INC
O
0.2
030
173
25
0
.02
34
486
26
8
.65
79
623
77
0
.00
32
415
3
0.1
283
933
31
0
.27
76
413
2
0.1
283
933
31
0
.27
76
413
2
CO
N_
EN
V
-49
22
51
.30
52
2
00
13
2.8
33
2
-2.4
59
622
927
0
.09
08
979
98
-1
12
91
63
.301
1
44
66
0.6
90
5
-11
29
163
.301
1
44
66
0.6
90
5
KN
OW
1
14
69
9.1
52
6
14
724
1.9
3
0.7
789
843
06
0
.49
27
897
32
-3
53
89
0.3
833
5
83
28
8.6
88
6
-35
38
90
.38
33
5
83
28
8.6
88
6
UR
G
87
442
5.4
57
3
27
636
4.7
80
4
3.1
640
263
86
0
.05
07
134
66
-5
09
0.6
16
762
1
75
39
41
.53
1
-50
90
.616
762
1
75
39
41
.53
1
AG
RE
ED
-6
52
54
4.3
475
7
61
64
.881
69
-8
.56
75
22
629
0
.00
33
419
89
-8
94
93
4.9
938
-4
10
15
3.7
012
-8
94
93
4.9
938
-4
10
15
3.7
012
190
E
FF
EC
T
11
281
23
.61
3
29
370
6.5
60
1
3.8
409
888
17
0
.03
11
287
02
1
93
41
8.2
56
2
06
28
28
.97
1
93
41
8.2
56
2
06
28
28
.97
RU
LE
-9
34
48
9.4
247
2
34
23
3.7
90
8
-3.9
89
558
558
0
.02
82
006
58
-1
67
99
25
.887
-1
89
05
2.9
627
-1
67
99
25
.887
-1
89
05
2.9
627
OP
P
-39
30
41
.81
95
2
92
53
9.6
91
1
-1.3
43
550
402
0
.27
16
806
39
-1
32
40
33
.678
5
37
95
0.0
39
3
-13
24
033
.678
5
37
95
0.0
39
3
IMP
AC
T
-27
59
87
.81
79
1
39
85
5.8
42
6
-1.9
73
373
531
0
.14
29
763
5
-72
10
71
.52
73
1
69
09
5.8
91
6
-72
10
71
.52
73
1
69
09
5.8
91
6
191
192
Lampiran 3. Kuesioner WTA Nelayan Purse Seine
KUESIONER SURVEI PERIKANAN TUNA
TAHUN 2012
I. IDENTITAS RESPONDEN
1. Nama Responden : ……………………………………………
2. Jenis Kelamin :
……………………………………………
3. Umur :
……………………………………………
4. Alamat Responden :
............................................................
5. Pendidikan Terakhir :
……………………………………………
6. Status Kependudukan : Lokal / Pendatang
(Kalau Pendatang) asal :
……………
7. Pekerjaan Pokok :
……………………………………………
8. Pekerjaan Sampingan :
.............................................................
II. DATA UMUM
1. Jumlah Anggota Keluarga : ……………………………………………
2. Penghasilan Tetap/bulan : Rp. ………………………………………
3. Pengeluaran / bulan : Rp.
………………………………………
4. Bagaimana pendapat Saudara tentang kondisi lingkungan perairan laut
tempat menangkap tuna saat ini (Jelaskan):
a. Sangat baik
b. Cukup baik
c. Biasa saja
d. Kurang baik
e. Sangat tidak baik
Alasan jawaban
III. USAHA/AKTIVITAS MASYARAKAT
Umum
1. Ukuran perahu/kapal yang digunakan :………………GT
2. Alat Bantu tangkap :………………..
3. Skala usaha : (pilih salah satu)
subsisten/artisanal (kecil/sedang/besar)/industri (kecil/sedang/besar)
4. Pelabuhan tempat pendaratan ikan :
5. Status kepemilikan usaha : milik sendiri/kelompok nelayan/perusahaan
193
Operasional Penangkapan Ikan Tuna
1. Apakah daerah operasional penangkapan tuna (fishing ground) yang bapak
lakukan 3 tahun terakhir ini berubah:
a. 2 tahun lalu perairan…………..
b. 1 tahun lalu perairan…………..
c. Tahun ini perairan…………..
2. Apakah ada perubahan jarak selama 3 tahun terakhir dari tempat pendaratan
tuna ke fishing ground
a. 2 tahun lalu:…………….mil laut atau ………hari perjalanan
b. 1 tahun lalu:…………….mil laut atau ………hari perjalanan
c. Tahun ini:…………….mil laut atau ………hari perjalanan
3. Apakah ada perubahan banyaknya trip operasi penangkapan tuna dalam kurun
waktu 3 tahun terakhir:
a. 2 tahun lalu: ……… trip/tahun
b. 1 tahun lalu: ……… trip/tahun
c. Tahun ini: ……… trip/tahun
4. Apakah ada perubahan lamanya satu kali trip operasi penangkapan tuna dalam
kurun waktu 3 tahun terakhir ini:
a. 2 tahun lalu: ……………..jam/hari
b. 1 tahun lalu: ……………..jam/hari
c. Tahun ini: ……………..jam/hari
5. Waktu pengoperasian alat tangkap : pagi/siang/malam
6. Hari tidak ke laut selama satu minggu :……….hari
7. Bulan tidak ke laut selama satu tahun :……bulan, yaitu pada bulan
1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12
8. Apakah ada perubahan musim penangkapan tuna dalam kurun waktu 3 tahun
terakhir:
a. 2 tahun lalu :
i. Musim banyak : bulan…………..sampai bulan…………..
ii. Musim sedang : bulan…………..sampai bulan…………..
iii. Musim kurang : bulan…………..sampai bulan…………..
b. 1 tahun lalu :
i. Musim banyak : bulan…………..sampai bulan…………..
ii. Musim sedang : bulan…………..sampai bulan…………..
iii. Musim kurang : bulan…………..sampai bulan…………..
c. Tahun ini:
i. Musim banyak : bulan…………..sampai bulan…………..
ii. Musim sedang : bulan…………..sampai bulan…………..
iii. Musim kurang : bulan…………..sampai bulan…………..
Hasil Tangkapan
1. Apakah ada perubahan jenis tuna yang ditangkap dalam kurun waktu tiga
tahun terakhir:
a. 2 tahun lalu: .............................
b. 1 tahun lalu: .............................
c. Tahun ini: .............................
2. Apakah ada perubahan harga penangkapan tuna yang ditangkap dalam kurun
waktu 3 tahun terkahir:
194
a. 2 tahun lalu
……………………kg/trip/bulan/tahun, harganya Rp/kg………………..
…………………… kg/trip/bulan/tahun, harganya Rp/kg……………….
…………………… kg/trip/bulan/tahun, harganya Rp/kg………………
b. 1 tahun lalu
……………………kg/trip/bulan/tahun, harganya Rp/kg………………..
…………………… kg/trip/bulan/tahun, harganya Rp/kg……………….
…………………… kg/trip/bulan/tahun, harganya Rp/kg………………
c. Tahun ini
……………………kg/trip/bulan/tahun, harganya Rp/kg………………..
…………………… kg/trip/bulan/tahun, harganya Rp/kg……………….
…………………… kg/trip/bulan/tahun, harganya Rp/kg………………
3. Hasil tangkapan utama saat ini
No Jenis ikan tuna Musim Banyak (kg/trip) Musim kurang (kg/trip)
1
2
3
4
5
4. Penanganan tuna di atas kapal : menggunakan palkah dan es/menggunakan
palkah tanpa es/dibiarkan diatas dek/lain-lain………….
Penerimaan
1. Apakah ada perbedaan hasil tangkapan dalam kurun waktu 3 tahun terakhir
a. 2 tahun lalu: .............................kg/trip
b. 1 tahun lalu: .............................kg/trip
c. Tahun ini: ................................kg/trip
2. Apakah ada perbedaan harga hasil tangkapan dalam kurun waktu 3 tahun
terakhir
a. 2 tahun lalu: .............................kg/trip
b. 1 tahun lalu: .............................kg/trip
c. Tahun ini: ................................kg/trip
3. Total penerimaan : Rp/kg/trip/bulan/tahun…………………………………
Adanya perubahan biaya operasional dalam kurun waktu 3 tahun terakhir
1. Biaya ABK/trip/kapal :
a. 2 thn lalu Rp……..; b. 1 thn lalu Rp……; c. Thn ini Rp……….;
2. Bahan bakar/trip/kapal :
a. 2 thn lalu Rp……..; b. 1 thn lalu Rp……; c. Thn ini Rp……….;
3. Olie/trip/kapal:
a. 2 thn lalu Rp……..; b. 1 thn lalu Rp……; c. Thn ini Rp……….;
4. Total Bahan Pengawet/trip/kapal
a. 2 thn lalu Rp……..; b. 1 thn lalu Rp……; c. Thn ini Rp……….;
5. Lain-lain ………….: Rp/trip/kapal (perahu)…………………….
195
IV. PERSEPSI RATIFIKASI KONVENSI INTERNATIONAL TENTANG
TUNA
1. Apakah anda mengetahui adanya konvensi internasional tentang tuna?
a. Sangat tahu
b. Cukup tahu
c. Kurang tahu
d. Tidak tahu
e. Tidak mau tahu
2. Apakah anda tahu bahwa ratifikasi konvensi tersebut sangat penting bagi
perdagangan tuna Indonesia?
a. Sangat tahu
b. Cukup tahu
c. Kurang tahu
d. Tidak tahu
e. Tidak mau tahu
3. Apakah anda setuju bilamana Indonesia meratifikasi konvensi internasional
tentang tuna?
a. Sangat setuju
b. Cukup setuju
c. Sama saja
d. Kurang setuju
e. Tidak setuju
4. Apakah anda mengetahui bahwa ratifikasi konvensi internasional tentang tuna
akan berdampak terhadap pola pemanfaatan ikan tuna?
a. Sangat tahu
b. Cukup tahu
c. Kurang tahu
d. Tidak tahu
e. Tidak mau tahu
5. Apakah anda tahu bahwa salah satu aturan konvensi internasional tentang tuna
adalah tidak diperbolehkannya penangkapan baby tuna?
a. Sangat tahu
b. Cukup tahu
c. Kurang tahu
d. Tidak tahu
e. Tidak mau tahu
196
6. Apakah anda mengetahui bahwa ratifikai konvensi internasional tentang tuna
tersebut akan membuka peluang bagi perdagangan ikan tuna Indonesia di
tingkat dunia?
a. Sangat tahu
b. Cukup tahu
c. Kurang tahu
d. Tidak tahu
e. Tidak mau tahu
7. Menurut anda bilamana rafitikasi konvensi internasional tentang tuna
dilakukan akankah berdampak terhadap pendapatan anda?
a. Sangat berdampak
b. Cukup berdampak
c. Biasa saja
d. Kurang berdampak
e. Tidak berdampak
8. Berapa besar dampak penurunan pendapatan yang mungkin akan terjadi
bilamana ratifikasi konvensi tersebut dilakukan (sebutkan tepatnya)?
a. Lebih dari 80 persen
b. Antara 61-80 persen
c. Antara 41-60 persen
d. Antara 21-40 persen
e. Kurang dari 20 persen
Sebesar ……. persen dari total pendapatan sebesar Rp………………….
/tahun
197
Lampiran 4. Konvensi WCPFC serta Implikasinya bagi Indonesia
Pasal Aturan Implikasi bagi Indonesia
Pasal 1 Penggunaan Istilah -
Pasal 2 Tujuan -
Pasal 3 Wilayah penerapan Pemerintah Indonesia harus memerhatikan
wilayah WCPFC yang memotong perairan
Indonesia dan ZEE Indonesia
Pasal 4 Hubungan antara
Konvensiini dengan
Konvensi 1982
-
Pasal 5 Azas-azas dan
langkah-langkah
untuk konservasi dan
pengelolaan
Setelah menjadi anggota, harus:
a. mengambil langkah-langkah untuk
memastikan keberlanjutan jangka
panjang sediaan ikan yang beruaya jauh
di Wilayah Konvensi dan
mempromosikan tujuan pemanfaatan
sediaan secara optimal;
b. memastikan bahwa langkah-langkah
yang didasarkan pada bukti ilmiah
terbaik yang tersedia dan dirancang
untuk mempertahankan atau
memulihkan sediaan pada tingkat yang
mampu memproduksi hasil maksimal
yang berkelanjutan , seperti yang
disyaratkan oleh faktor-faktor
lingkungan dan ekonomi yang relevan ,
termasuk persyaratan-persyaratan
khusus bagi Negara-Negara
Berkembang di Wilayah Konvensi,
khususnNegara-Negara pulau kecil yang
sedang berkembang , dan
mempertimbangkan pola-pola
penangkapan ikan, saling
ketergantungan antar sediaan dan
standar minimal internasional yang pada
umumnya direkomendasikan, baik sub-
regional, regional ataupun global.
c. menerapkan pendekatan kehati-hatian
sesuai dengan Konvensi ini dan semua
standar internasional terkait yang
disetujui dan praktek-praktek dan
prosedur yang direkomendasikan .
d. mengkaji dampak dari penangkapan
ikan, kegiatanlain manusia, dan faktor-
faktor lingkungan terhadap sediaan
target, spesies non-target, dan spesies
yang berasal dari ekosistem yang sama
198
atau yang bergantung kepada atau
berhubungan dengan sediaan target;
e. mengambil langkah-langkah untuk
meminimalkan limbah, buangan,
tangkapan oleh alat yang hilang, atau
yang ditinggalkan, pencemaran yang
berasal dari kapal-kapal perikanan,
spesies non-target, baik ikan ataupun
non-ikan (selanjutnya disebut spesies
non-target) dan dampaknya terhadap
spesies yang berhubungan atau
bergantung, khususnya spesies yang
terancam punah dan mempromosikan
pengembangan dan penggunaan secara
selektif alat dan teknik penangkapan
ikan yang ramah lingkungan dan
berbiaya efektif;
f. melindungi keanekaragaman hayati di
lingkungan laut;
g. mengambil langkah-langkah untuk
mencegah atau meniadakan
penangkapan ikan yang berlebihan dan
kapasitas penangkapan ikan yang
berlebihan dan untuk memastikan
bahwa tingkat upaya penangkapan ikan
tidak melebihi tingkat upaya yang
setara dengan pemanfaatan sumberdaya
perikanan yang berkelanjutan;
h. mempertimbangkan kepentingan
nelayan artisanal dan subsisten
i. mengumpulkan dan membagi data
secara tepat waktu, lengkap dan akurat
mengenai kegiatan penangkapan ikan,
antara lain, posisi kapal, tangkapan
spesies target dan non-target dan upaya
penangkapan ikan, serta informasi dari
program penelitian nasional dan
internasional; dan
j. melaksanakan dan menegakkan
langkah-langkah konservasi dan
pengelolaan melalui pemantauan,
pengendalian dan pengawasan secara
efektif.
Pasal 6 Penerapan pendekatan
kehati-hatian
Setelah menjadi anggota, harus:
1. Menerapkan pendekatan kehat-hatian;
a. menerapkan pedoman yang
dijelaskan pada lampiran II
Persetujuan, yang merupakan
199
bagian tidak terpisahkan dari
Konvensi ini, dan menetapkan,
berdasarkan informasi ilmiah
terbaik yang tersedia, titik-titik
acuan spesifik sediaan dan tindakan
yang akan diambil apabila
dilampauinya acuan spesifik
sediaan tersebut;
b. memerhatikan, antara lain,
ketidakpastian yang berkaitan
dengan ukuran dan produktivitas
sediaan, titik-titik acuan, kondisi
sediaan yang berhubungan dengan
titik-titik acuan tersebut, tingkat dan
distribusi mortalitas [kematian] ikan
dan dampak kegiatan penangkapan
ikan terhadap spesies non-target dan
spesies yang berhubungan atau
bergantung, maupun kelautan yang
ada dan yang diprediksikan, kondisi
lingkungan dan sosial-ekonomi; dan
c. mengembangkan program
pengumpulan data dan penelitian
untuk mengkaji dampak
penangkapan ikan terhadap spesies
non-target dan spesies yang
berhubungan atau yang bergantung
dan lingkungannya, dan bilamana
diperlukan menerapkan rencana
untuk memastikan konservasi
spesies-spesies tersebut dan untuk
melindungi habitat yang menjadi
perhatian khusus.
2. Indoneia wajib lebih berhati-hati
apabila informasi tidak pasti, tidak
dapat diandalkan, atau tidak memadai.
3. Indonesia wajib mengambil langkah-
langkah untuk memastikan bahwa,
apabila telah mendekati titik acuan,
titik acuan tersebut tidak akan
dilampaui.
4. Indonesia wajib mengusahakan agar
sediaan dan spesies tersebut dilakukan
pemantauan secara lebih baik untuk
meninjau ulang statusnya dan
keefektifan langkah-langkah
konservasi dan pengelolaan.
5. Indonesia wajib melaksanakan
200
sesegera mungkin langkah-langkah
konservasi dan pengelolaan, termasuk,
antara lain, batas-batas hasil tangkapan
dan batas-batas upaya.
6. Indonesia wajib melaksanakan
langkah-langkah konservasi dan
pengelolaan secara darurat untuk
memastikan bahwa kegiatan
penangkapan ikan tidak memperparah
dampak negatif tersebut.
Pasal 7 Pelaksanaan azas-azas
di wilayah-wilayah
berdasarkan yurisdiksi
nasional
1. Sebagai negara pantai, Indonesia wajib
melaksanakan azas-azas dan langkah-
langkah konservasi dan pengelolaan.
2. Indonesia harus mempertimbangkan
kapasitas masing-masing negara pantai
yang sedang berkembang di wilayah
Konvensi
Pasal 8 Kesesuaian langkah-
langkah konservasi
dan pengelolaan
Indonesia harus bekerja sama untuk tujuan
mencapai tindakan yang kompatibel dalam
hal sediaan ikan yang beruaya jauh di
wilayah konvensi
Pasal 9 Pembentukan
Komisi
-
Pasal 10 Fungsi Komisi -
Pasal 11 Badan-Badan di
Bawah Komisi
-
Pasal 12 Fungsi-Fungsi Komite
Ilmiah
-
Pasal 13 Jasa-Jasa Ilmiah -
Pasal 14 Fungsi Komite Teknis
dan Kepatuhan
-
Pasal 15 Sekretariat -
Pasal 16 Staf Komisi -
Pasal 17 Pendanaan Komisi -
Pasal 18 Anggaran Komisi -
Pasal 19 Audit Tahunan -
Pasal 20 Pengambilan
Keputusan
-
Pasal 21 Transparansi -
Pasal 22 Kerjasama dengan
Organisasi Lain
-
Pasal 23 Kewajiban Para
Anggota Komisi
a. Indonesia segera melaksanakan
ketentuan Konvensi ini dan konservasi
apapun, pengelolaan dan langkah-
langkah atau hal-hal lain yang dapat
disepakati sesuai dengan Konvensi ini
b. Indonesia wajib :
201
a. setiap tahun memberikan kepada
Komisi data statistik, biologis, dan
data lain dan informasi sesuai
dengan Lampiran I Persetujuan
dan, sebagai tambahan, data dan
informasi yang mungkin
dibutuhkan oleh Komisi.
b. informasi mengenai aktivitas
penangkapan ikannya di Wilayah
Konvensi, termasuk wilayah
penangkapan ikan dan kapal
perikanan
c. informasi mengenai tahapan yang
diambil untuk melaksanakan
langkah-langkah konservasi dan
pengelolaan yang telah diterima
oleh Komisi.
Pasal 24 Kewajiban-
Kewajiban Negara
Bendera
a. Indonesia wajib mengambil langkah-
langkah:
a. Kapal-kapal ikan yang mengibarkan
bendera negaranya mematuhi
ketentuan-ketentuan Konvensi ini
dan langkah-langkah konservasi dan
pengelolaan yang diterima sesuai
dengan Konvensi ini dan kapal-
kapal tersebut tidak terlibat dalam
kegiatan apapun yang mengurangi
keefektivitasan langkah-langkah
tersebut;
b. Kapal-kapal ikan yang mengibarkan
bendera negaranya tidak melakukan
penangkapan ikan secara tidak sah
di wilayah di bawah yurisdiksi
negara Pihak Penandatangan
Konvensi.
b. Indonesia wajib menjamin kapal-kapal
yang mengibarkan benderanya untuk
menangkap ikan di Wilayah Konvensi
di luar wilayah yurisdiksi nasional
hanya apabila yang bersangkutan dapat
melaksanakan secara efektif
tanggungjawabnya sehubungan dengan
kapal-kapal tersebut berdasarkan
Konvensi 1982, Kesepakatan dan
Konvensi ini.
c. Untuk tujuan efektivitas pelaksanaan
Konvensi, Indonesia wajib mencatat
kegiatan kapal perikanan yang
202
memiliki lisensi.
4. Indonesia wajib memelihara catatan
tentang kapal perikanan yang berhak
mengibarkan benderanya dan diijinkan
untuk digunakan guna menangkap ikan
di Wilayah Konvensi di luar wilayah
yurisdiksi nasionalnya, dan wajib
memastikan bahwa seluruh kapal
perikanan tersebut dimuat dalam catatan
tersebut.
5. Indonesia wajib memberikan informasi
yang ditetapkan pada lampiran IV
Konvensi ini.
6. Indonesia wajib memastikan bahwa
setiap kapal penangkap ikan berbendera
Indonesia yang menangkap ikan yang
beruaya jauh di area konvensi di bawah
yurisdiksi nasional dari anggota lain
untuk menggunakan transmitter
7. Indonesia wajib bekerja sama untuk
memastikan kesesuaian antara sistem
pemantauan kapal nasional dan sistem
pemantauan kapal di laut lepas.
Pasal 25 Penaatan dan
Penegakan
a. Indonesia wajib menegakkan ketentuan
Konvensi ini dan setiap langkah-langkah
konservasi dan pengelolaan yang
ditetapkan oleh Komisi
b. Indonesia wajib menyelidiki secara
menyeluruh setiap dugaan pelanggaran
oleh kapal perikanan yang mengibarkan
benderanya atas ketentuan Konvensi ini
atau langkah-langkah konservasi dan
pengelolaan yang diterima oleh Komisi
Pasal 26 Menaiki Kapal dan
Pemeriksaan
-
Pasal 27 Langkah-langkah
Yang diambil oleh
Negara pelabuhan
-
Pasal 28 Program Pengamat
Regional
-
Pasal 29 Pemindahan Muatan
Antar Kapal
-
Pasal 30 Pengakuan atas
Persyaratan Khusus
Negara-Negara
Berkembang
-
Pasal 31 Prosedur penyelesaian
perselisihan
-
203
Pasal 32 Negara-negara bukan
pihak pada Konvensi
ini
-
Pasal 33 Itikad Baik Dan
Penyalahgunaan Hak
Prinsip itikad baik harus ditegakkan oleh
Indonesia sesuai dengan kewajiban yang
diatur dalam Konvensi.
Pasal 34 Penandatanganan,
Ratifikasi,
Penerimaan,
Persetujuan
-
Pasal 35 Penambahan -
Pasal 36 Mulai Berlakunya
Konvensi
-
Pasal 37 Reservasi dan
Pengecualian
-
Pasal 38 Deklarasi dan
Pernyataan
-
Pasal 39 Hubungan dengan
perjanjian-perjanjian
lain
-
Pasal 40 Perubahan -
Pasal 41 Lampiran-Lampiran -
Pasal 42 Pengunduran Diri -
Pasal 43 Partisipasi Oleh
Teritori
-
Pasal 44 Lembaga Penitipan - Sumber: Dikembangkan dari Ariadno (2012)
204
Lampiran 5. CMM dan Implikasinya bagi Indonesia
CMM Tentang Implikasi bagi Indonesia
2004-03 Specifications
For The Marking
And
Identification Of
Fishing Vessels
Indonesia wajib mendesak operator/pengusaha
penangkapan ikan untuk mengadopsi International
Telecommunication Union Radio Call Signs
(IRCS) dan kapal harus memiliki nomor identitas
WCPFC (WCPFC Identification Number/WIN)
2004-04 Resolution on
Conservation
and Management
Measures
Indonesia wajib mengambil tindakan terkait dengan:
(a) pembatasan upaya dan tangkapan; (b)
pembatasan kapasitas kapal tuna skala besar; (c)
tindakan untuk mengatasi dampak kapal tuna skala
besar sehingga untuk memastikan kompatibilitas
antara tindakan yang dilakukan di luar wilayah
yurisdiksi nasional dan langkah-langkah yang
diterapkan oleh negara-negara pantai untuk
mengelola perikanan yang dilakukan oleh kapal-
kapal didalam zona mereka; (d) penutupan wilayah
dan waktu; dan (e) tindakan mitigasi untuk
mengatasi kematian non-target spesies, seperti
burung laut, penyu dan hiu
2005-03 Conservation
and Management
Measure for
North Pacific
Albacore
Indonesia wajib memastikan keberlanjutan jangka
panjang dan kelangsungan ekonomi perikanan South
Pacific albacore
Indonesia wajib melaporkan tahunan kepada Komisi
tentang tingkat tangkapan kapal-kapal ikannya yang
menangkap South Pacific Albacore sebagai hasil
tangkapan sampingan.
2006-04 Conservation
and
Management
Measure For
Striped Marlin
In The
Southwest
Pacific
Indonesia wajib mengambil tindakan untuk
melindungi keberlanjutan dan kelangsungan
ekonomi perikanan striped marlin in the Southwest
Pacific.
Indonesia menyediakan laporan kepada Komisi
terkait dengan jumlah kapal ikan yang menangkap
striped marlin in the Southwest Pacific dan total
tangkapannya
2006-07 Conservation
and
Management
Measure for
the Regional
Observer
Programme
Indonesia wajib memerhatikan kapal-kapal ikannya
yang melakukan penangkapan di wilayah Konvensi
untuk mempersiapkan penerimaan observer dari
Komisi
Indonesia wajib menyiapkan prosedur hukum
tentang penerimaan observer diatas kapal sesuai
dengan standar Konvensi
2006-08 WCPFC
Commission
Boarding and
Inspection
Procedures
Indonesia wajib mematuhi prosedur mengenai
pemeriksaan dan menaiki kapal serta tindakan
konservasi dan pengelolaan
205
2007-01 Conservation
and
Management
Measure for
the Regional
Observer
Programme
Indonesia wajib memerhatikan kapal-kapal ikannya
yang melakukan penangkapan di wilayah Konvensi
untuk mempersiapkan penerimaan observer dari
Komisi
Indonesia wajib menyiapkan prosedur hukum
tentang penerimaan observer diatas kapal sesuai
dengan standar Konvensi
2007-04 Conservation
And
Management
Measure to
Mitigate the
Impact of
Fishing for
Highly
Migratory Fish
Stock on
Seabirds
Indonesia harus mengerjakan mitigasi burung laut
yang tercantum dalam CMM
Indonesia didorong untuk mengadopsi tindakan
yang bertujuan untuk memastikan bahwa burung
laut yang tertangkap hidup-hidup pancing rawai
bisa dilepas kembali dalam kondisi baik tanpa
membahayakan kehidupan burung laut yang
bersangkutan.
Indonesia setiap tahunnya harus melaporkan
kepada Komisi tentang interaksi dengan burung
laut, termasuk bycatches dan rincian spesies, untuk
memungkinkan Komite Ilmiah dalam
memperkirakan kematian burung laut di seluruh
wilayah perikanan WCPF berlaku.
2008-01 Conservation
and
Management
Measure for
Big-eye and
Yellow-fin
Tuna in the
WCPFC
Indonesia harus memastikan bahwa tindakan untuk
perikanan purse seine tidak melanggar upaya
tangkapan
Indonesia wajib melaksanakan tindakan yang
sesuai untuk mengurangi perikanan purse seine
yang mengakibatkan kematian tuna bigeye.
Indonesia memastikan bahwa kapal ikannya
mematuhi aturan tentang pembatasan penangkapan
ikan di rumpon
Indonesia harus memastikan efektivitas aturan
program observer regional
Indonesia harus tunduk kepada Rencana
Pengelolaan Komisi untuk penggunaan rumpon
oleh kapal mereka di laut lepas.
Indonesia harus mengeksplorasi dan mengevaluasi
tindakan mitigasi untuk juvenile bigeye dan
yellowfin yang diambil di sekitar rumpon
2008-03 Conservation
And
Management of
Indonesia wajib melaksanakan panduan FAO
tentang pengurangan kematian penyu dalam
operasi penangkapan ikan
206
Sea Turtles Indonesia setiap tahunnya melaporkan ke Komisi
termasuk perkembangan pelaksanaan Panduan
FAO dan tindakannya, serta pengumpulan
informasi terkait dengan penyu dalam pengelolaan
perikanan sebagaimana diatur dalam Konvensi.
2008-04 Conservation
and
Management
Measure to
Prohibit the
Use of Large-
Scale Driftnets
on the High
Seas in the
Convention
Area
Indonesia wajib melarang penggunaan alat tangkap
driftnets skala besar di wilayah Konvensi.
Indonesia wajib melaporkan tahunan tentang
kegiatan MCS di laut lepas wilayah Konvensi
2009-01 Record of
Fishing Vessels
And
Authorization
to Fish
Indonesia harus mengambil tindakan untuk
memastikan bahwa kapal purse seine Indonesia di
laut lepas mematuhi aturan dalam penerapan
ketentuan CMM 2008-01 yang berkaitan dengan
penutupan rumpon dan retensi penangkapan.
Indonesia wajib menjamin bahwa tidak ada kapal
purse seine di sekitar 1 mil lokasi rumpon yang
tertutup
Indonesia wajib menjamin kapal ikannya tidak
menggunakan rumpon
Indonesia harus mengacu pada standar
internasional terkait pembuatan kapal ikan
Indonesia harus melakukan pendampingan
terhadap pelaku usaha agar menyerahkan laporan
tangkapannya
2009-02 Fad Closures
And Catch
Retention
Indonesia wajib memastikan pelaksanaan
penutupan rumpon dan pengurangan tangkapan di
laut lepas antara 200 S dan 20
0 N sesuai spesifikasi
standar
Indonesia wajib mengambil tindakan untuk
menastikan kapal purseinnya untuk mematuhi
aturan rumpon
2009-03 Conservation
and
Management
for Swordfish
Indonesia wajib bekerjasama untuk melindungi
dalam jangka panjang dan kelangsungan ekonomi
perikanan swordfish du Pasifik Barat Daya.
Indonesia menyediakan laporan kepada Komisi
terkait dengan jumlah kapal ikan yang menangkap
swordfishes dan total tangkapannya
2009-05 Conservation
and
Management
Indonesia harus melarang kapal ikannya dari
jangkauan sekitar 1 mil laut atau berinteraksi
dengan pelampung data di laut lepas dari area
207
Measure
Prohibiting
Fishing on
Data Buoys
konvensi
2009-06 Conservation
and
Management
Measure on
Regulation of
Transshipment
Indonesia wajib mematuhi ketentuan transshipment
di wilayah Konvensi
2009-09 Conservation
and
Management
Measure for
Vessels Without
Nationality
Indonesia wajib mengambil tindakan penting,
termasuk pengaturan nasionalnya dalam rangka
mendukung tindakan pengelolaan dan konservasi
yang diadopsi oleh Komisi
2009-10 Conservation
and
Management
Measure to
Monitor
Landings of
Purse Seine
Vessels at
Ports so as to
Ensure
Reliable Catch
Data by
Species
-
2009-11 Cooperating
Non-Member
. Indonesia harus menyampaikan permohonan kepada
Komisi untuk status Cooperating Non Member
disampaikan sekurang-kurangnya 60 hari sebelum
Pertemuan Tahunan Technical and Compliance
Committee.
2010-01 Conservation
and
Management
Measure for
North Pacific
Striped Marlin
Indonesia wajib mengikuti batasan tangkapan,
yaitu:
a. 2011 [10%] reduction of the highest catch
between 2000 and 2003;
b. 2012 [15%] reduction of the highest catch
between 2000 and 2003;
c. 2013 and beyond: [20%] reduction of the highest
catch between 2000 and 2003;
Indonesia harus memutuskan tindakan pengelolaan
yang diperlukan untuk memastikan bahwa operasi
Negara bendera kapal /disewa di bawah batas
tangkapan yang ditetapkan dalam tindakan ini.
Indonesia harus melaporkan pelaksanaan tindakan
Negara bendera kapal /disewa untuk mengurangi
208
total tangkapan.
2010-02 Conservation
and
Management
Measure for
the Eastern
High-Seas
Pocket Special
Management
Area
-
2010-04 Conservation
and
Management
Measure for
Pacific Bluefin
Tuna
Indonesia harus mengambil tindakan untuk
memperkuat system pengumpulan data perikanan
tuna sirip biru Pasifik
Indonesia harus mendorong komunikasi dengan
IATTC secara bilateral
2010-05 Conservation
and
Management
Measure for
South Pacific
Albacore
Indonesia wajib memastikan keberlanjutan jangka
panjang dan kelangsungan ekonomi perikanan South
Pacific albacore
Indonesia wajib melaporkan tahunan kepada Komisi
tentang tingkat tangkapan kapal-kapal ikannya yang
menangkap South Pacific Albacore sebagai hasil
tangkapan sampingan.
2010-06 Conservation
and
Management
Measure to
Establish a List
of Vessels
Presumed to
Have Carried
out Illegal,
Unreported
and
Unregulated
Fishing
Activities in the
WCPO
Indonesia harus mengambil tindakan non-diskriminatif
sesuai dengan UU yang berlaku, hukum
internasional dan paragraf 56 dan 66 IPOA IUU
Fishing
2010-07 Conservation
and
Management
Measure for
Sharks
Indonesia wajib melaksanakan FAO International
Plan of Action for the Conservation and
Management of Sharks (IPOA Sharks
2011-01 Conservation
and
Management
Measure for
Temporary
Indonesia mengharuskan menempatkan observer
dalam kapal mereka.
209
Extension of
CMM 2008-01
2011-02 Commission
Vessel
Monitoring
System
Indonesia wajib memastikan bahwa kapal ikannya
yang menangkap ikan beruaya jauh di sesuai
koordinat yang ditetapkan komisi harus
mengatifkan Automatic Location Communicators
(ALCs).
2011-03 Conservation
and
Management
Measure for
Protection of
Cetaceans from
Purse Seine
Fishing
Operations
Indonesia wajib melarang kapal ikannya untuk
mengoperasikan purse seine ketika tuna dan
cetacean sedang bergerombol
Indonesia wajib memastikan pelepasan ceteacean
yang tertangkap secara aman
2011-04 Conservation
and
Management
Measure for
Oceanic
Whitetip Shark
Indonesia wajib melarang kapal ikannya sesuai
aturan, seperti transshipping, menyimpan pada
kapal penangkap ikan, atau mendarat Oceanic
Whitetip Shark
Indonesia wajib memastikan pelepasan Oceanic
Whitetip Shark yang tertangkap secara aman
2011-05 Conservation
and
Management
Measure on
Charter
Notification
Scheme
Indonesia wajib mengatur kapal ikan yang
menggunakan system sewa
2011-06 Conservation
and
Management
Measure for
Compliance
Monitoring
Scheme
Indonesia wajib melaksanakan dan memenuhi
kewajiban sesuai Konvensi yang diadopsi oleh
Komisi.
Sumber: Dikembangkan dari Ariadno (2012)
210
Lam
iran
6.
Anal
isa
Per
ban
din
gan
Konven
si W
CP
FC
dan
Per
atu
ran P
erund
ang
-Undan
gan
Indones
ia
Pasa
l A
tura
n
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng P
era
tura
n
Peru
nd
an
g-u
nd
an
gan
Tin
dak
an
Ak
si
Pas
al 3
W
ilay
ah
pen
erap
an
Pem
erin
tah I
ndones
ia h
arus
mem
erhat
ikan
wil
ayah
WC
PF
C
yan
g m
emoto
ng p
erai
ran
Indon
esia
dan
ZE
E I
ndo
nes
ia
UU
No. 31 T
ah
un
2004 d
an
UU
No.
45 T
ah
un
2009
Pas
al 5
ayat
(1)
Wil
ayah
pen
gel
ola
an p
erik
anan
(WP
P)
Rep
ubli
k I
ndon
esia
untu
k
pen
angkap
an i
kan
dan
/ata
u
pem
budid
ayaa
n i
kan
mel
iputi
:
a.
per
aira
n I
ndones
ia;
b.
ZE
EI;
dan
c.
sungai
, d
anau
, w
aduk,
ra
wa,
dan
gen
angan
ai
r la
inn
ya
yan
g
dap
at
diu
sahak
an
sert
a la
han
pem
budid
ayaa
n
ikan
yan
g
pote
nsi
al
di
wil
ayah
R
epubli
k
Indon
esia
Pas
al 5
ayat
(2)
Pen
gel
ola
an p
erik
anan
di
luar
wil
ayah
pen
gel
ola
an p
erik
anan
Rep
ubli
k I
ndones
ia, se
bag
aim
ana
dim
aksu
d p
ada
ayat
(1),
dis
elen
ggar
akan
ber
das
arkan
per
atura
n p
erund
ang-u
nd
angan
,
per
syar
atan
, dan
/ata
u s
tandar
inte
rnas
ional
yan
g d
iter
ima
seca
ra
um
um
I
ndon
esia
har
us
men
gkla
rifi
kas
i
pel
aksa
naa
n
Konven
si
WC
PF
C
yan
g
mem
asukan
w
ilayah
terr
itori
al
Indones
ia
dan
ZE
E
Indon
esia
, yan
g
dal
am
hal
in
i ad
alah
WP
P-R
I 716
(per
aira
n
Lau
t S
ula
wes
i dan
sebel
ah
Uta
ra
Pula
u
Hal
mah
era)
dan
W
PP
-RI
717
(per
aira
n
Tel
uk
Cen
dra
was
ih
dan
Sam
uder
a P
asif
ik)
R
atif
ikas
i In
dones
ia h
aru
s
men
gen
yam
pin
gkan
wil
ayah
K
onven
si
WC
PF
C
yan
g
mem
asukan
per
aira
n
kep
ula
uan
In
dones
ia
dan
ZE
E I
ndones
ia.
210
211
Perm
en K
P N
o.
Per
.01/M
en/2
009
Pas
al 1
ayat
(2)
a.
WP
P-R
I 571
(per
aira
n
Sel
at
Mal
aka
dan
Lau
t A
ndam
an)
b.
WP
P-R
I 572 (p
erai
ran S
amuder
a
Hin
dia
se
bel
ah
Bar
at
Sum
ater
a
dan
Sel
at S
unda)
.
c.
WP
P-R
I 573 (p
erai
ran S
amuder
a
Hin
dia
se
bel
ah
Sel
atan
Ja
wa
hin
gga
sebel
ah
Sel
atan
N
usa
Ten
ggar
a,
Lau
t S
awu,
dan
L
aut
Tim
or
bag
ian B
arat
).
d.
WP
P-R
I 711
(per
aira
n
Sel
at
Kar
imat
a, L
aut
Nat
una,
dan
Lau
t
Chin
a S
elat
an).
e.
WP
P-R
I 712 (
per
aira
n L
aut
Jaw
a)
f.
WP
P-R
I 713
(per
aira
n
Sel
at
Mak
assa
r,
Tel
uk
Bo
ne,
L
aut
Flo
res,
dan
Lau
t B
ali)
.
g.
WP
P-R
I 714 (
per
aira
n T
eluk T
olo
dan
Lau
t B
and
a)
h.
WP
P-R
I 715
(p
erai
ran
Tel
uk
Tom
ini,
L
aut
Mal
uku,
Lau
t
Hal
mah
era,
Lau
t S
eram
dan
Tel
uk
Ber
au)
i.
WP
P-R
I 716
(per
aira
n
Lau
t
211
212
Sula
wes
i dan
seb
elah
Uta
ra P
ula
u
Hal
mah
era)
j.
WP
P-R
I 717
(p
erai
ran
Tel
uk
Cen
dra
was
ih
dan
S
amuder
a
Pas
ifik
)
k.
WP
P-R
I 718 (
per
aira
n L
aut
Aru
,
Lau
t A
rafu
ru,
dan
L
aut
Tim
or
bag
ian T
imur)
Pas
al 5
A
zas-
azas
dan
langk
ah-
langk
ah untu
k
konse
rvas
i dan
pen
gel
ola
an
Set
elah
men
jadi
anggota
, har
us:
a.
men
gam
bil
lan
gk
ah-l
angkah
untu
k m
emas
tikan
keb
erla
nju
tan j
angk
a
pan
jan
g s
edia
an i
kan
yan
g
ber
uaya
jauh d
i W
ilay
ah
Konven
si d
an
mem
pro
mosi
kan
tuju
an
pem
anfa
atan
sed
iaan
sec
ara
opti
mal
;
b.
mem
asti
kan
bah
wa
lan
gk
ah-
langk
ah y
ang d
idas
arkan
pad
a bukti
ilm
iah t
erbai
k
yan
g t
erse
dia
dan
dir
anca
ng
untu
k m
emper
tahan
kan
ata
u
mem
uli
hkan
sed
iaan
pad
a
tingkat
yan
g m
ampu
mem
pro
duksi
has
il
mak
sim
al y
ang
ber
kel
anju
tan , s
eper
ti y
ang
UU
No. 31 T
ah
un
2004 d
an
UU
No.
45 T
ah
un
2009
Pas
al 2
Pen
gel
ola
an p
erik
anan
dil
akukan
ber
das
arkan
asa
s m
anfa
at, kea
dil
an,
kem
itra
an, pem
erat
aan,
ket
erpad
uan
, ket
erbukaa
n, ef
isie
nsi
,
dan
kel
esta
rian
yan
g b
erkel
anju
tan
UU
No. 21 T
ah
un
2009
Pri
nsi
p-P
rinsi
p U
mum
Unia
1995
Pen
gel
ola
an p
erik
anan
dil
akukan
ber
das
arkan
asa
s m
anfa
at, kea
dil
an,
kem
itra
an, pem
erat
aan,
ket
erpad
uan
, ket
erbukaa
n, ef
isie
nsi
,
dan
kel
esta
rian
yan
g b
erkel
anju
tan:
a. m
engam
bil
tin
dak
an u
ntu
k
men
jam
in k
eles
tari
an j
angka
pan
jan
g s
edia
an i
kan
yan
g b
eruaya
terb
atas
dan
sed
iaan
ikan
yan
g
Pri
nsi
p-p
rinsi
p i
ni
har
us
dit
erap
kan
dal
am s
emua
per
atura
n p
erund
ang-
undan
gan
Indon
esia
212
213
dis
yar
atkan
ole
h
fakto
r-
fakto
r li
ngkun
gan
dan
ekonom
i yan
g r
elev
an ,
term
asuk p
ersy
arat
an-
per
syar
atan
khusu
s bag
i
Neg
ara-
Neg
ara
Ber
kem
ban
g d
i W
ilay
ah
Konven
si, k
husu
snN
egar
a-
Neg
ara
pula
u k
ecil
yan
g
sedan
g b
erk
emban
g ,
dan
mem
per
tim
ban
gk
an p
ola
-
pola
pen
angkap
an i
kan
,
sali
ng k
eter
gan
tun
gan
an
tar
sedia
an d
an s
tand
ar m
inim
al
inte
rnas
ional
yan
g p
ada
um
um
nya
dir
ekom
endas
ikan
, b
aik
sub
-reg
ional
, re
gio
nal
atau
pun g
lobal
.
c.
men
erap
kan
pen
dek
atan
keh
ati-
hat
ian s
esu
ai d
engan
Konven
si i
ni
dan
sem
ua
stan
dar
inte
rnas
ion
al t
erk
ait
yan
g d
iset
uju
i dan
pra
kte
k-
pra
kte
k dan
p
rose
dur
yang
dir
ekom
endas
ikan
.
d.
men
gk
aji
dam
pak
dar
i
pen
angkap
an i
kan
,
ber
uaya
jau
h d
an m
emaj
ukan
tuju
an p
enggun
aan o
pti
mal
sed
iaan
ikan
ter
sebut;
b.
men
jam
in b
ahw
a ti
ndak
an t
erse
but
did
asar
kan
pad
a bukti
ilm
iah
terb
aik y
ang a
da
dan
dir
anca
ng
untu
k m
emel
ihar
a at
au
mem
uli
hkan
sed
iaan
ikan
pad
a
tingkat
yan
g d
apat
men
jam
in h
asil
mak
sim
um
yan
g l
esta
ri;
c. m
ener
apk
an p
endek
atan
keh
ati-
hat
ian;
d.
men
guku
r dam
pak
dar
i
pen
angkap
an i
kan
, k
egia
tan
man
usi
a la
inn
ya,
dan
fak
tor-
fakto
r
lingkun
gan
ter
had
ap s
edia
an t
arget
dan
spes
ies
yan
g t
erm
asu
k d
alam
ekosi
stem
yan
g s
ama
atau
men
yat
u/b
erhubun
gan
den
gan
ata
u
ber
gan
tun
g p
ada
sedia
an t
arget
ters
ebut;
e. m
engam
bil
tin
dak
an k
on
serv
asi
dan
pen
gel
ola
an u
ntu
k s
pes
ies
dal
am e
kosi
stem
yan
g s
ama
atau
men
yat
u/b
erhubun
gan
d
engan
ata
u
ber
gan
tun
g p
ada
sedia
an t
arget
ters
ebut;
f. m
emin
imal
kan
pen
cem
aran
,
213
214
keg
iata
nla
in m
anusi
a, d
an
fakto
r-fa
kto
r li
ngkun
gan
terh
adap
sed
iaan
tar
get
,
spes
ies
non
-tar
get
, dan
spes
ies
yan
g b
eras
al d
ari
ekosi
stem
yan
g s
ama
atau
yan
g b
ergan
tun
g k
epad
a
atau
ber
hubun
gan
den
gan
sedia
an t
arget
;
e.
men
gam
bil
lan
gk
ah-
langk
ah u
ntu
k
mem
inim
alkan
lim
bah
,
buan
gan
, ta
ngkap
an ole
h
alat
yan
g h
ilan
g, at
au y
ang
dit
inggal
kan
, pen
cem
aran
yan
g b
eras
al d
ari
kap
al-
kap
al p
erik
anan
, sp
esie
s
non-t
arget
, bai
k i
kan
atau
pun n
on-i
kan
(sel
anju
tnya
dis
ebut
spes
ies
non-t
arget
) d
an d
ampak
nya
terh
adap
sp
esie
s yan
g
ber
hubun
gan
ata
u
ber
gan
tun
g, khusu
snya
spes
ies
yan
g t
eran
cam
punah
dan
mem
pro
mosi
kan
pen
gem
ban
gan
dan
pen
ggun
aan s
ecar
a se
lekti
f
sam
pah
bar
ang-b
aran
g b
uan
gan
tangk
apan
yan
g t
idak
ber
guna,
ala
t
tangk
ap y
ang d
itin
ggal
kan
tangk
apan
spes
ies
non t
arget
, bai
k
ikan
mau
pun b
ukan
spes
ies
ikan
,
dan
dam
pak
ter
had
ap s
pes
ies,
mel
alui
tindak
an p
engem
ban
gan
dan
pen
ggunaa
n a
lat
tan
gkap
yan
g
sele
kti
f se
rta
teknik
yan
g r
amah
lingkun
gan
dan
mura
h;
g.
mel
indungi
kea
nek
arag
aman
hay
ati
pad
a li
ngkun
gan
lau
t;
h.
men
gam
bil
tin
dak
an u
ntu
k
men
cegah
dan
/ata
u m
engura
ng
keg
iata
n p
enan
gkap
an i
kan
yan
g
ber
lebih
an d
an p
enan
gk
apan
ikan
yan
g m
eleb
ihi
kap
asit
as d
an u
ntu
k
men
jam
in b
ahw
a ti
ngkat
usa
ha
pen
angkap
an i
kan
tid
ak m
eleb
ihi
tingkat
yan
g s
epad
an d
engan
pen
ggun
aan l
esta
ri s
um
ber
daya
ikan
;
i. m
emer
hat
ikan
kep
enti
ngan
nel
ayan
pan
tai
dan
subsi
sten
si;
j. m
engum
pulk
an d
an m
ember
ikan
pad
a sa
at y
ang t
epat
, dat
a yan
g
lengk
ap d
an a
ku
rat
men
gen
ai
keg
iata
n p
erik
anan
, an
tara
lai
n,
214
215
alat
dan
tek
nik
pen
angkap
an i
kan
yan
g
ram
ah l
ingkun
gan
dan
ber
bia
ya
efek
tif;
f.
mel
indungi
kea
nek
arag
aman
hayat
i d
i
lingkun
gan
lau
t;
g.
men
gam
bil
lan
gk
ah-
langk
ah u
ntu
k m
ence
gah
atau
men
iadak
an
pen
angkap
an i
kan
yan
g
ber
lebih
an d
an k
apas
itas
pen
angkap
an i
kan
yan
g
ber
lebih
an d
an u
ntu
k
mem
asti
kan
bah
wa
tin
gk
at
upay
a pen
angkap
an i
kan
tidak
mel
ebih
i ti
ngkat
upay
a yan
g s
etar
a d
engan
pem
anfa
atan
sum
ber
daya
per
ikan
an y
ang
ber
kel
anju
tan;
h.
mem
per
tim
ban
gk
an
kep
enti
ngan
nel
ayan
arti
sanal
dan
subsi
sten
i.
men
gum
pulk
an d
an
mem
bag
i d
ata
seca
ra t
epat
wak
tu, le
ngkap
dan
ak
ura
t
men
gen
ai k
egia
tan
posi
si k
apal
, ta
ngk
apan
spes
ies
targ
et d
an n
onta
rget
dan
usa
ha
pen
angkap
an i
kan
, se
rta
info
rmas
i
dar
i pro
gra
m r
iset
nas
ion
al d
an
inte
rnas
ional
;
k.
k. m
emaj
ukan
dan
mel
aksa
nak
an
rise
t il
mia
h d
an m
engem
ban
gk
an
teknolo
gi
yan
g t
epat
dal
am
men
dukung k
onse
rvas
i d
an
pen
gel
ola
an i
kan
; d
an
l. m
elak
sanak
an d
an m
ener
apkan
tindak
an k
onse
rvas
i dan
pen
gel
ola
an m
elal
ui
pem
anta
uan
,
pen
gaw
asan
, dan
pen
gen
dal
ian.
215
216
pen
angkap
an i
kan
, an
tara
lain
, posi
si k
apal
,
tangk
apan
sp
esie
s ta
rget
dan
non-t
arget
dan
upaya
pen
angkap
an i
kan
, se
rta
info
rmas
i dar
i pro
gra
m
pen
elit
ian n
asio
nal
dan
inte
rnas
ional
; dan
j.
mel
aksa
nak
an d
an
men
egak
kan
lan
gkah
-
langk
ah k
onse
rvas
i dan
pen
gel
ola
an m
elal
ui
pem
anta
uan
, p
engen
dal
ian
dan
pen
gaw
asan
sec
ara
efek
tif.
Pas
al 6
P
ener
apan
pen
dek
atan
keh
ati-
hat
ian
Set
elah
men
jadi
anggota
, har
us:
a. M
ener
apk
an p
end
ekat
an
keh
at-h
atia
n;
1.
men
erap
kan
ped
om
an
yan
g d
ijel
askan
pad
a
lam
pir
an I
I P
erse
tuju
an,
yan
g m
erupak
an b
agia
n
tidak
ter
pis
ahkan
dar
i
Konven
si i
ni,
dan
men
etap
kan
,
ber
das
arkan
info
rmas
i
ilm
iah t
erbai
k y
ang
ters
edia
, ti
tik
-tit
ik a
cuan
UU
No. 31 T
ah
un
2004 d
an
UU
No.
45 T
ah
un
2009
Pas
al 6
ayat
(1)
Pen
gel
ola
an p
erik
anan
dal
am
wil
ayah
pen
gel
ola
an p
erik
anan
Rep
ubli
k I
ndon
esia
dil
akukan
untu
k t
erca
pai
nya
man
faat
yan
g
opti
mal
dan
ber
kel
anju
tan, se
rta
terj
amin
nya
kel
esta
rian
sum
ber
day
a ik
an
UU
No. 21 T
ah
un
2009
Kew
ajib
an
Dip
erlu
kan
pen
elit
ian
refe
rence
poin
, se
hin
gga
per
lu m
enin
gk
atkan
per
an
Pusa
t P
enel
itia
n
Pen
gel
ola
an P
erik
anan
dan
Konse
rvas
i
216
217
spes
ifik
sed
iaan
dan
tindak
an y
ang a
kan
dia
mbil
apab
ila
dil
ampau
inya
acu
an
spes
ifik
sed
iaan
ter
sebut;
2.
mem
erhat
ikan
, an
tara
lain
, ket
idak
pas
tian
yan
g
ber
kai
tan d
engan
ukura
n
dan
pro
dukti
vit
as
sedia
an, ti
tik
-tit
ik a
cuan
,
kondis
i se
dia
an y
ang
ber
hubun
gan
den
gan
titi
k-t
itik
acu
an t
erse
but,
tingkat
dan
dis
trib
usi
mort
alit
as [
kem
atia
n]
ikan
dan
dam
pak
keg
iata
n p
enan
gkap
an
ikan
ter
had
ap s
pes
ies
non-t
arget
dan
sp
esie
s
yan
g b
erhubun
gan
ata
u
ber
gan
tun
g, m
aupun
kel
auta
n y
ang a
da
dan
yan
g d
ipre
dik
sikan
,
kondis
i li
ngkungan
dan
sosi
al-e
konom
i; d
an
3.
men
gem
ban
gkan
pro
gra
m p
engum
pula
n
dat
a dan
pen
elit
ian u
ntu
k
men
erap
kan
pen
dek
atan
keh
ati-
hat
ian (
pre
cauti
onar
y a
pp
roac
h);
Neg
ara
waj
ib m
ener
apk
an
pen
dek
atan
keh
ati-
hat
ian
(pre
cauti
onar
y a
pp
roac
h)
ket
ika
men
etap
kan
tin
dak
an k
onse
rvas
i
dan
pen
gel
ola
an s
edia
an i
kan
Kep
men
KP
No. 45/M
en
/2011
Men
etap
kan
Est
imas
i P
ote
nsi
Sum
ber
Daya
Ikan
di
Wil
ayah
Pen
gel
ola
an P
erik
anan
Neg
ara
Rep
ub
lik I
ndones
ia
Tah
un 2
011
sebag
aim
ana
terc
antu
m d
alam
Lam
pir
an I
yan
g m
erupak
an
bag
ian t
idak
ter
pis
ahk
an d
ari
Kep
utu
san M
ente
ri i
ni.
217
218
men
gk
aji
dam
pak
pen
angkap
an i
kan
terh
adap
sp
esie
s non
-
targ
et d
an s
pes
ies
yan
g
ber
hubun
gan
ata
u y
ang
ber
gan
tun
g d
an
lingkun
gan
nya,
dan
bil
aman
a dip
erlu
kan
men
erap
kan
ren
can
a
untu
k m
emas
tikan
konse
rvas
i sp
esie
s-
spes
ies
ters
ebut
dan
untu
k m
elin
dungi
hab
itat
yan
g m
enja
di
per
hat
ian
khusu
s.
b.
Indon
esia
waj
ib l
ebih
ber
hat
i-hat
i ap
abil
a
info
rmas
i ti
dak
pas
ti, ti
dak
dap
at d
iandal
kan
, at
au t
idak
mem
adai
.
c. I
ndon
esia
waj
ib m
engam
bil
langk
ah-l
angkah
untu
k
mem
asti
kan
bah
wa,
apab
ila
tela
h m
endek
ati
titi
k a
cuan
,
titi
k a
cuan
ter
sebut
tidak
akan
dil
ampau
i.
d.
Indon
esia
waj
ib
men
gusa
hak
an a
gar
sed
iaan
218
219
dan
spes
ies
ters
ebut
dil
akukan
pem
anta
uan
seca
ra l
ebih
bai
k u
ntu
k
men
inja
u u
lang s
tatu
snya
dan
kee
fekti
fan l
angk
ah-
langk
ah k
onse
rvas
i dan
pen
gel
ola
an.
e. I
ndon
esia
waj
ib
mel
aksa
nak
an s
eseg
era
mungkin
lan
gkah
-lan
gkah
konse
rvas
i dan
pen
gel
ola
an, te
rmas
uk
,
anta
ra l
ain, b
atas
-bat
as
has
il t
angkap
an d
an b
atas
-
bat
as u
paya.
f.
Indon
esia
waj
ib
mel
aksa
nak
an l
angkah
-
langk
ah k
onse
rvas
i dan
pen
gel
ola
an s
ecar
a dar
ura
t
untu
k m
emas
tikan
bah
wa
keg
iata
n p
enan
gkap
an
ikan
tid
ak m
emper
par
ah
dam
pak
neg
atif
ter
sebut.
Pas
al 7
P
elak
sanaa
n
azas
-aza
s di
wil
ayah
-wil
ayah
ber
das
arkan
yu
risd
iksi
a.
Seb
agai
neg
ara
pan
tai,
Indon
esia
waj
ib
mel
aksa
nak
an a
zas-
azas
dan
langk
ah-l
angkah
konse
rvas
i
dan
pen
gel
ola
an.
UU
No. 21 T
ah
un
2009
Ket
entu
an i
ni
mer
upak
an u
ngkap
an
bah
wa
Indon
esia
tel
ah s
epen
uhn
ya
mer
atif
ikas
i U
NC
LO
S 1
982, se
cara
sepen
uhn
ya
akan
mel
aksa
nak
an
Indon
esia
per
lu h
ati-
hat
i
dal
am m
enyusu
n p
erat
ura
n
per
undan
g-u
nd
angan
yan
g
terk
ait
den
gan
oto
rita
s
Neg
ara
pan
tai
dal
am
219
220
nas
ional
b.
Indon
esia
har
us
mem
per
tim
ban
gk
an
kap
asit
as m
asin
g-m
asin
g
neg
ara
pan
tai
yan
g s
edan
g
ber
kem
ban
g d
i w
ilayah
Konven
si
ket
entu
an i
ni
mel
aksa
nak
an p
rinsi
p-
pri
nsi
p d
i dal
am y
uri
sdik
si
nas
ional
.
Pas
al 8
K
eses
uai
an
langk
ah-l
angkah
konse
rvas
i dan
pen
gel
ola
an
Indon
esia
har
us
bek
erja
sam
a
untu
k t
uju
an m
enca
pai
tin
dak
an
yan
g k
om
pat
ibel
dal
am h
al
sedia
an i
kan
yan
g b
eru
aya
jauh
di
wil
ayah
konv
ensi
UU
No. 31 T
ah
un
2004 d
an
UU
No.
45 T
ah
un
2009
Pas
al 5
ayat
(2)
Pen
gel
ola
an p
erik
anan
di
luar
wil
ayah
pen
gel
ola
an p
erik
anan
Rep
ubli
k I
ndon
esia
, se
bag
aim
ana
dim
aksu
d p
ada
ayat
(1),
dis
elen
ggar
akan
ber
das
arkan
per
atura
n p
erund
ang-u
nd
angan
,
per
syar
atan
, dan
/ata
u s
tandar
inte
rnas
ional
yan
g d
iter
ima
seca
ra
um
um
Kem
ente
rian
Kel
auta
n d
an
Per
ikan
an p
erlu
mem
per
kuat
efe
kti
vit
as d
an
efis
iensi
dal
am
men
gen
dal
ikan
log
book
pen
angkap
an i
kan
.
Pas
al 2
3
Kew
ajib
an P
ara
Anggota
Kom
isi
a.
Indon
esia
seg
era
mel
aksa
nak
an k
eten
tuan
Konven
si i
ni
dan
konse
rvas
i ap
apun,
pen
gel
ola
an d
an l
angkah
-
langk
ah a
tau h
al-h
al l
ain
yan
g d
apat
dis
epak
ati
sesu
ai d
engan
Konv
ensi
ini
b.
Indon
esia
waj
ib :
Perm
en K
P N
o.
Per
.18/M
en/2
010
Kew
ajib
a p
engis
ian l
og
book
pen
angkap
an i
kan
Perm
en K
P N
o.
Per
.12/M
en/2
012
Bab
X T
ind
akan
Konse
rvas
i dan
Pen
gel
ola
an
Perm
en K
P N
o.
Per
.30/M
en/2
012
Pen
gat
ura
n p
eriz
inan
seb
agai
ala
t
P
enin
gkat
an s
yst
em
pen
gum
pula
n d
ata
dan
pen
yer
ahan
kep
ada
CM
M
K
eber
adaa
n l
ogbook
pen
angkap
an i
kan
leb
ih
pen
ting d
arip
ada
pri
nsi
p-p
rinsi
p M
CS
220
221
1.
seti
ap t
ahun
mem
ber
ikan
kep
ada
Kom
isi
dat
a st
atis
tik,
bio
logis
, dan
dat
a la
in
dan
info
rmas
i se
suai
den
gan
Lam
pir
an I
Per
setu
juan
dan
,
sebag
ai t
ambah
an, dat
a
dan
info
rmas
i yan
g
mungkin
dib
utu
hkan
ole
h K
om
isi.
2.
info
rmas
i m
engen
ai
akti
vit
as p
enan
gkap
an
ikan
nya
di
Wil
ayah
Konven
si, te
rmas
uk
wil
ayah
pen
angk
apan
ikan
dan
kap
al
per
ikan
an
3.
info
rmas
i m
engen
ai
tahap
an y
ang d
iam
bil
untu
k m
elak
sanak
an
langk
ah-l
angkah
konse
rvas
i dan
pen
gel
ola
an y
ang t
elah
dit
erim
a o
leh K
om
isi.
untu
k m
elak
ukan
pen
gel
ola
an
per
ikan
an
Pas
al 2
4
Kew
ajib
an-
Kew
ajib
an
Neg
ara
a.
Indon
esia
waj
ib m
engam
bil
langk
ah-l
angkah
:
1.
Kap
al-k
apal
ikan
yan
g
PP
No. 51 T
ah
un
2002
Pas
al 4
1-4
8
I
ndon
esia
per
lu
men
ingkat
kan
syst
em
pel
apora
n.
221
222
Ben
der
a m
engib
arkan
ben
der
a
neg
aran
ya
mem
atuhi
ket
entu
an-k
eten
tuan
Konven
si i
ni
dan
langk
ah-l
angkah
konse
rvas
i dan
pen
gel
ola
an y
ang
dit
erim
a se
suai
den
gan
Konven
si i
ni
dan
kap
al-
kap
al t
erse
but
tidak
terl
ibat
dal
am k
egia
tan
apap
un y
ang
men
gura
ngi
kee
fekti
vit
asan
lan
gkah
-
langk
ah t
erse
but;
2.
Kap
al-k
apal
ikan
yan
g
men
gib
arkan
ben
der
a
neg
aran
ya
tidak
mel
akukan
pen
angkap
an
ikan
sec
ara
tidak
sah
di
wil
ayah
di
baw
ah
yu
risd
iksi
neg
ara
Pih
ak
Pen
andat
angan
Konven
si.
b.
Indon
esia
waj
ib m
enja
min
kap
al-k
apal
yan
g
men
gib
arkan
ben
der
anya
untu
k m
enan
gk
ap i
kan
di
Perm
en K
P N
o.
Per
.30/M
en/2
012
Ter
kai
t den
gan
SIP
I d
alam
syst
em
pel
apora
n
Perm
en K
P N
o.
Per
.12/M
en/2
012
Bab
VI
Pen
daf
tara
n K
apal
pad
a
RF
MO
Bab
IX
Kep
atuhan
Kap
al
Pen
angk
ap d
an K
apal
Pen
gan
gkut
Ikan
Bab
X T
ind
akan
Konse
rvas
i dan
Pen
gel
ola
an
Perm
en K
P N
o.
Per
.05/M
en/2
007
Pas
al 3
ayat
(1)
Dep
arte
men
Kel
auta
n d
an
Per
ikan
an m
enyel
enggar
akan
sist
em p
eman
tauan
kap
al p
erik
anan
sebag
ai b
agia
n d
ari
pel
aksa
naa
n
tugas
pokok d
an f
un
gsi
dal
am
pen
gel
ola
an s
um
ber
daya
ikan
.
Pas
al 3
ayat
(2)
Dal
am m
enyel
enggar
akan
sis
tem
pem
anta
uan
kap
al p
erik
anan
sebag
aim
ana
dim
aksu
d p
ada
ayat
(1),
Dep
arte
men
Kel
auta
n d
an
Per
ikan
an m
elak
sanak
an
per
enca
naa
n, pen
etap
an s
tandar
S
iste
m p
elap
ora
n
ters
ebut
har
us
tran
spar
an
sehin
gga
men
yed
iak
an
dat
a yan
g a
ku
rat
dan
jela
s.
222
223
Wil
ayah
Konven
si d
i lu
ar
wil
ayah
yuri
sdik
si n
asio
nal
han
ya
apab
ila
yan
g
ber
san
gkuta
n d
apat
mel
aksa
nak
an s
ecar
a
efek
tif
tan
ggun
gja
wab
nya
sehubungan
den
gan
kap
al-
kap
al t
erse
but
ber
das
arkan
Konven
si 1
982,
Kes
epak
atan
dan
Konven
si
ini.
c.
Untu
k t
uju
an e
fekti
vit
as
pel
aksa
naa
n K
onven
si,
Indon
esia
waj
ib m
enca
tat
keg
iata
n k
apal
per
ikan
an
yan
g m
emil
iki
lise
nsi
.
d.
Indon
esia
waj
ib
mem
elih
ara
cata
tan t
enta
ng
kap
al p
erik
anan
yan
g
ber
hak
men
gib
arkan
ben
der
anya
dan
dii
jinkan
untu
k d
igunak
an g
un
a
men
angkap
ikan
di
Wil
ayah
Konven
si d
i lu
ar
wil
ayah
yuri
sdik
si
nas
ional
nya,
dan
waj
ib
mem
asti
kan
bah
wa
selu
ruh
kap
al p
erik
anan
ter
sebut
per
alat
an, p
emban
gunan
,
pen
gop
eras
ian, se
rta
mon
itori
ng
dan
eval
uas
i pen
yel
enggar
aan
sist
em p
eman
tauan
kap
al
per
ikan
an
223
224
dim
uat
dal
am c
atat
an
ters
ebut.
e.
Indon
esia
waj
ib
mem
ber
ikan
info
rmas
i
yan
g d
itet
apkan
pad
a
lam
pir
an I
V K
onv
ensi
ini.
f.
Indon
esia
waj
ib
mem
asti
kan
bah
wa
seti
ap
kap
al p
enan
gk
ap i
kan
ber
ben
der
a In
don
esia
yan
g
men
angkap
ikan
yan
g
ber
uaya
jauh
di
area
konven
si d
i baw
ah
yu
risd
iksi
nas
ional
dar
i
anggota
lai
n u
ntu
k
men
ggun
akan
tra
nsm
itte
r
g.
Indon
esia
waj
ib b
eker
ja
sam
a untu
k m
emas
tikan
kes
esuai
an a
nta
ra s
iste
m
pem
anta
uan
kap
al n
asio
nal
dan
sis
tem
pem
anta
uan
kap
al d
i la
ut
lepas
.
Pas
al 2
5
Pen
aata
n d
an
Pen
egak
an
a.
Indon
esia
waj
ib
men
egak
kan
ket
entu
an
Konven
si i
ni
dan
set
iap
langk
ah-l
angkah
konse
rvas
i
dan
pen
gel
ola
an y
ang
dit
etap
kan
ole
h K
om
isi
PP
No. 51 T
ah
un
2002
Pas
al 4
1 d
an 4
2
Sura
t ta
nda
keb
angsa
an k
apal
UU
No. 21 T
ah
un
2009
Men
gac
u U
NC
LO
S 1
982,
Indon
esia
mem
erlu
kan
per
atura
n p
erund
ang-
undan
gan
ter
kai
t den
gan
mek
anis
me
pen
egak
an
hukum
ter
had
ap k
apal
per
ikan
an I
ndones
ia d
i lu
ar
224
225
b.
Indon
esia
waj
ib m
enyel
idik
i
seca
ra m
enyel
uru
h s
etia
p
dugaa
n p
elan
ggar
an o
leh
kap
al p
erik
anan
yan
g
men
gib
arkan
ben
der
anya
atas
ket
entu
an K
onv
ensi
ini
atau
lan
gkah
-lan
gkah
konse
rvas
i dan
pen
gel
ola
an
yan
g d
iter
ima
ole
h K
om
isi
Indon
esia
har
us
men
gak
ui
hukum
RD
MO
dan
WC
PF
C
ZE
E
Pas
al 3
3
Itik
ad B
aik D
an
Pen
yal
ahgunaa
n
Hak
Pri
nsi
p i
tikad
bai
k h
arus
dit
egak
kan
ole
h I
ndon
esia
sesu
ai d
engan
kew
ajib
an y
ang
dia
tur
dal
am K
onven
si.
Pri
nsi
p i
tikad
bai
k u
ntu
k
mel
aksa
nak
an p
rakti
k-p
rakti
k/k
ondis
i
eksi
stin
g p
engel
ola
an p
erik
anan
Indon
esia
Sum
ber
: D
ikem
ban
gk
an d
ari
Ari
adno (
2012)
225
Lam
pir
an 7
. A
nal
isa
Per
ban
din
gan
CM
M d
an P
erat
ura
n P
erund
ang-u
ndan
gan
Indones
ia
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
dan
g-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
2004
-03
S
pec
ific
ati
ons
Fo
r
Th
e M
ark
ing
An
d
Iden
tifi
cati
on
of
Fis
hin
g V
esse
ls
Indones
ia w
ajib
men
des
ak
oper
ator/
pen
gusa
ha
pen
angkap
an
ikan
untu
k m
engad
opsi
Inte
rnati
onal
Tel
ecom
munic
ati
on U
nio
n R
adio
Call
Sig
ns
(IR
CS)
dan
kap
al h
arus
mem
ilik
i nom
or
iden
tita
s W
CP
FC
(WC
PF
C I
den
tifi
cati
on
Num
ber
/WIN
)
PP
No.
51 T
ah
un
20
02
Pas
al 4
8 a
yat
(1)
Kap
al I
ndones
ia y
ang
dil
engkap
i den
gan
per
angk
at
ko
munik
asi
radio
kap
al h
aru
s
mem
pun
yai
tan
da
pan
ggil
an
(call
sig
n)
sebag
ai s
alah
sat
u
iden
tita
s kap
al
Per
men
KP
No.
Per
.30/M
en/2
012
Lam
pir
an I
II m
em
uat
ca
ll s
ign
dal
am D
ata
Kap
al
Per
lu d
ilak
ukan
pen
yes
uai
an
den
gan
WIN
2004
-04
R
eso
luti
on
on
Co
nse
rva
tio
n a
nd
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
s
Indones
ia w
ajib
men
gam
bil
tin
dak
an
terk
ait
den
gan
: (a
) pem
bat
asan
upay
a
dan
tan
gkap
an;
(b)
pem
bat
asan
kap
asit
as k
apal
tuna
skal
a bes
ar;
(c)
tindak
an u
ntu
k m
engat
asi
dam
pak
kap
al t
una
skal
a bes
ar s
ehin
gga
untu
k m
em
asti
kan
ko
mpat
ibil
itas
anta
ra t
indak
an y
ang d
ilak
ukan
di
luar
wil
ayah
yuri
sdik
si n
asio
nal
dan
langkah
-lan
gkah
yan
g d
iter
apkan
ole
h n
egar
a-neg
ara
pan
tai
untu
k
men
gel
ola
per
ikan
an y
ang d
ilak
ukan
ole
h k
apal
-kap
al d
idal
am z
ona
mer
eka;
(d)
pen
utu
pan
wil
ayah
dan
wak
tu;
dan
(e)
tin
dak
an m
itig
asi
untu
k m
engat
asi
kem
atia
n n
on
-tar
get
Pem
bat
asan
upay
a ta
ngkap
an
bel
um
dia
tur,
kar
ena
Ind
on
esia
tidak
men
erap
kan
ku
ota
tangkap
an
Pen
utu
pan
wil
ayah
dan
wak
tu
tangkap
an d
iatu
r P
asal
45
ayat
(1)
Per
men
KP
No
.
Per
.12/M
en/2
012
.
Set
iap
kap
al p
enan
gkap
ik
an
yan
g m
elak
ukan
pen
angkap
an
ikan
di
laut
lepas
dil
aran
g
mel
aku
kan
pen
angkap
an i
kan
yan
g d
itet
apkan
ole
h R
FM
O
ber
das
arkan
:
a.
wak
tu p
enan
gkap
an i
kan
dit
utu
p;
dan
/ata
u
Per
lu d
ilak
ukan
pen
yu
sun
an
Per
atu
ran
Men
ter
Kel
auta
n
terk
ait
den
gan
pem
bat
asan
up
aya
tan
gkap
an
226
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
da
ng-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
spes
ies,
sep
erti
buru
ng l
aut,
pen
yu
dan
hiu
b.
wil
ayah
pen
angkap
an i
kan
yan
g d
itutu
p
Tin
dak
an m
itig
asi
kem
atia
n
non
-tar
get
dia
tur
Per
men
KP
No.
Per
.12/M
en/2
01
2 d
an
Per
men
KP
No
.
Per
.30/M
en/2
01
2
Per
men
KP
No
. P
er.1
2/M
en/2
012
Pas
al 3
9
Set
iap k
apal
pen
angkap
ikan
yan
g m
elak
ukan
pen
angkap
an
ikan
di
laut
lep
as y
ang
mem
per
ole
h h
asil
tan
gkap
an
sam
pin
gan
(b
ycatc
h)
yan
g
seca
ra e
ko
logis
ter
kai
t d
engan
(eco
logic
all
y re
late
d s
pec
ies)
per
ikan
an t
un
a b
eru
pa
hiu
,
buru
ng l
aut,
pen
yu
lau
t,
mam
alia
lau
t t
erm
asu
k p
aus,
dan
hiu
mo
nyet
w
ajib
mel
aku
kan
tin
dak
an k
on
serv
asi
Per
men
KP
No
. P
er.4
0/M
en/2
012
Pas
al 7
3
Set
iap k
apal
p
enan
gkap
ik
an
yan
g
mem
ilik
i S
IPI
di
WP
P-
NR
I w
ajib
mel
aku
kan
tindak
an k
on
serv
asi
terh
adap
jenis
sp
esie
s t
erte
ntu
yan
g
terk
ait
seca
ra e
ko
logi
den
gan
227
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
dan
g-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
tuna,
yan
g d
itet
apkan
ole
h
RF
MO
2005
-03
C
on
serv
ati
on
and
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
fo
r N
ort
h
Pa
cifi
c A
lbaco
re
I
ndones
ia w
ajib
mem
asti
kan
keb
erla
nju
tan j
angka
pan
jang d
an
kel
angsu
ngan
ekonom
i per
ikan
an
South
Paci
fic
alb
aco
re
I
ndones
ia w
ajib
mel
apork
an t
ahunan
kep
ada
Kom
isi
tenta
ng t
ingkat
tangkap
an k
apal
-kap
al i
kan
nya
yan
g
men
angkap
South
Paci
fic
alb
aco
re
sebag
ai h
asil
tan
gkap
an s
ampin
gan
.
UU
No.
31 T
ah
un
20
04
Pasa
l 10 a
yat
(1)
Untu
k
kep
enti
ngan
ker
ja
sam
a in
tern
asio
nal
,
Pem
erin
tah:
a.
dap
at m
emub
likas
ikan
sec
ara
ber
kal
a h
al-h
al
yan
g
ber
ken
aan
den
gan
la
ngk
ah
konse
rvas
i dan
p
engel
ola
an
sum
ber
day
a ik
an;
b.
bek
erja
sam
a d
engan
neg
ara
teta
ngga
atau
den
gan
neg
ara
lain
dal
am r
angka
ko
nse
rvas
i
dan
pen
gel
ola
an
sum
ber
day
a ik
an d
i la
ut
lep
as,
laut
lepas
yan
g b
ersi
fat
tert
utu
p,
atau
sem
i te
rtutu
p
d
an
wil
ayah
kan
ton
g;
c.
mem
ber
itah
ukan
se
rta
men
yam
pai
kan
b
ukti
-bu
kti
terk
ait
kep
ada
neg
ara
ben
der
a as
al
kap
al
yan
g
dic
uri
gai
m
elak
uk
an
keg
iata
n
yan
g
dap
at
men
imbulk
an
ham
bat
an
dal
am
konse
rvas
i dan
pen
gel
ola
an
sum
ber
d
aya
ikan
.
I
nd
on
esia
akan
men
jaga
So
uth
Paci
fic
alb
aco
re d
ari
keg
iata
n k
apal
per
ikan
an
228
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
da
ng-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
PP
No.
30 T
ah
un
20
08
P
asal
26 a
yat
(1
)
Pen
yel
enggar
a L
itb
ang
Per
ikan
an d
alam
neg
eri
yan
g
akan
mel
aku
kan
Per
ikan
an d
i
wil
ayah
pen
yel
enggar
aan
Lit
ban
g P
erik
anan
har
us
mel
apork
an k
edat
angan
nya
kep
ada
pej
abat
yan
g
ber
wen
ang,
kec
ual
i ap
abil
a
Lit
ban
g P
erik
anan
dil
aku
kan
di
labora
tori
um
200
6-0
4
Co
nse
rva
tio
n
an
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
For
Str
iped
Ma
rlin
In T
he
So
uth
wes
t
Pa
cifi
c
Indones
ia w
ajib
men
gam
bil
tindak
an u
ntu
k m
elin
dungi
keb
erla
nju
tan d
an k
elan
gsu
ngan
ekonom
i per
ikan
an s
trip
ed m
arl
in
in t
he
South
wes
t P
aci
fic.
Indones
ia m
enyed
iakan
lap
ora
n
kep
ada
Kom
isi
terk
ait
den
gan
jum
lah k
apal
ikan
yan
g m
enan
gkap
stri
ped
marl
in i
n t
he
South
wes
t
Paci
fic
dan
tota
l ta
ngkap
annya
UU
No.
31 T
ah
un
20
04
Pasa
l 10 a
yat
(1)
Untu
k
kep
enti
ngan
ker
ja
sam
a in
tern
asio
nal
,
Pem
erin
tah:
a.
dap
at
mem
ub
likas
ikan
se
cara
ber
kal
a h
al-h
al
yan
g
ber
ken
aan
d
engan
la
ngkah
konse
rvas
i d
an
pen
gel
ola
an
sum
ber
day
a ik
an;
b.
bek
erja
sa
ma
den
gan
n
egar
a
teta
ngga
atau
d
engan
n
egar
a
lain
dal
am
ran
gka
ko
nse
rvas
i
dan
pen
gel
ola
an su
mb
er d
aya
ikan
di
laut
lepas
, la
ut
lep
as
yan
g
ber
sifa
t te
rtu
tup
, at
au
sem
i te
rtu
tup
dan
wil
ayah
kan
tong;
c.
mem
ber
itah
ukan
se
rta
Pem
ben
ahan
syst
em
pen
dat
aan k
egia
tan
per
ikan
an d
i la
ut
lep
as,
kh
usu
snya
Str
iped
Ma
rlin
In T
he
So
uth
wes
t P
aci
fic
229
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
dan
g-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
men
yam
pai
kan
b
ukti
-bu
kti
terk
ait
kep
ada
neg
ara
ben
der
a
asal
kap
al
yan
g
dic
uri
gai
mel
aku
kan
kegia
tan
yan
g
dap
at
men
imbu
lkan
h
amb
atan
dal
am
kon
serv
asi
dan
pen
gel
ola
an s
um
ber
day
a ik
an.
PP
No.
30 T
ah
un
20
08
P
asal
26 a
yat
(1)
Pen
yel
enggar
a L
itb
ang P
erik
anan
dal
am n
eger
i yan
g a
kan
mel
aku
kan
Per
ikan
an d
i w
ilay
ah
pen
yel
enggar
aan L
itban
g
Per
ikan
an h
arus
mel
apork
an
ked
atan
gan
nya
kep
ada
pej
abat
yan
g b
erw
enan
g,
kec
ual
i ap
abil
a
Lit
ban
g P
erik
anan
dil
aku
kan
di
labora
tori
um
2006
-07
C
on
serv
ati
on
an
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
fo
r th
e
Reg
ion
al
Ob
serv
er
Pro
gra
mm
e
Indones
ia w
ajib
mem
erhat
ikan
kap
al-k
apal
ikan
nya
yan
g
mel
aku
kan
pen
angkap
an d
i w
ilay
ah
Konven
si u
ntu
k m
em
per
siap
kan
pen
erim
aan o
bse
rver
dar
i K
om
isi
Indones
ia w
ajib
men
yia
pkan
pro
sedur
hukum
ten
tang
pen
erim
aan o
bse
rver
dia
tas
kapal
sesu
ai
den
gan s
tandar
Konven
si
Per
men
KP
No.P
er.1
2/M
en/2
012
Pas
al 8
ayat
(3)
hu
rif
G
Per
mohonan
SIP
I h
aru
s ad
a
kes
anggupan
pen
emp
atan
obse
rver
di
atas
kap
al
Pas
al 8
ayat
(4)
Atu
ran s
anksi
pen
ola
kan
obse
rver
di
atas
kap
al
Pas
al 3
0 a
yat
(2
), a
yat
(4
)
huri
f E
Per
lu p
enges
ahan
Per
men
KP
ten
tan
g O
bse
rver
, yan
g
tentu
saj
a se
suai
den
gan
per
kem
ban
gan
hu
ku
m
inte
rnas
ion
al
230
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
da
ng-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
transh
ipm
ent
dis
aksi
kan
ole
h
pem
anta
u d
i at
as k
apal
pen
gan
gku
t ik
an
(obse
rver
on
bo
ard
) d
ari
RF
MO
Per
men
KP
No
.
Per
.30/M
en/2
012
Pas
al 9
ayat
(1
) h
uri
f H
bag
ian 1
Per
mohon
an S
IPI
har
us
ada
kes
anggu
pan
pen
emp
atan
obse
rver
di
atas
kap
al
Pas
al 2
4 a
yat
(1
) h
uri
f F
bag
ian 1
Per
mohon
an S
IKP
I h
aru
s ad
a
kes
anggu
pan
pen
emp
atan
obse
rver
di
atas
kap
al
Pas
al 6
9 a
yat
(2
) h
uru
f E
Pel
aksa
naa
n tr
ansh
ipm
ent
dia
was
i ole
h p
eman
tau
kap
al
pen
angkap
ikan
dan
kap
al
pen
gan
gku
t ik
an (
ob
serv
er)
Pas
al 8
8 b
uti
r B
men
em
pat
kan
pem
anta
u
(obse
rver
) di
atas
kap
al
pen
angkap
ikan
b
eru
ku
ran
dia
tas
1.0
00
G
T
den
gan
men
ggun
akan
ala
t
pen
angkap
an i
kan
pu
rse
sein
e
231
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
dan
g-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
2006
-08
W
CP
FC
Co
mm
issi
on
Bo
ard
ing a
nd
Insp
ecti
on
Pro
ced
ure
s
I
ndones
ia w
ajib
mem
atuhi
pro
sedur
men
gen
ai p
emer
iksa
an d
an m
enai
ki
kap
al s
erta
tin
dak
an k
onse
rvas
i dan
pen
gel
ola
an
Per
men
KP
No.P
er.1
2/M
en/2
012
Pas
al 8
ayat
(3)
hu
rif
G
Per
mohonan
SIP
I h
aru
s ad
a
kes
anggupan
pen
emp
atan
obse
rver
di
atas
kap
al
Pas
al 8
ayat
(4)
Atu
ran s
anksi
pen
ola
kan
obse
rver
di
atas
kap
al
Pas
al 3
0 a
yat
(2
), a
yat
(4
)
huri
f E
transh
ipm
ent
dis
aksi
kan
ole
h
pem
anta
u d
i at
as k
apal
pen
gan
gkut
ikan
(obse
rver
on b
oa
rd)
dar
i
RF
MO
Per
men
KP
No.
Per
.30/M
en/2
012
Pas
al 9
ayat
(1)
hu
rif
H
bag
ian 1
Per
mohonan
SIP
I h
aru
s ad
a
kes
anggupan
pen
emp
atan
obse
rver
di
atas
kap
al
Pas
al 2
4 a
yat
(1
) h
uri
f F
bag
ian 1
Per
mohonan
SIK
PI
har
us
ada
kes
anggupan
pen
emp
atan
obse
rver
di
atas
kap
al
Pas
al 6
9 a
yat
(2
) h
uru
f E
P
erlu
pen
ges
ahan
Per
men
KP
ten
tan
g O
bse
rver
, yan
g
tentu
saj
a se
suai
den
gan
per
kem
ban
gan
hu
ku
m
inte
rnas
ion
al
232
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
da
ng-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
Pel
aksa
naa
n tr
ansh
ipm
ent
dia
was
i ole
h p
eman
tau
kap
al
pen
angkap
ikan
dan
kap
al
pen
gan
gku
t ik
an (
ob
serv
er)
Pas
al 8
8 b
uti
r B
men
em
pat
kan
pem
anta
u
(obse
rver
) di
atas
kap
al
pen
angkap
ikan
b
eru
ku
ran
dia
tas
1.0
00
G
T
den
gan
men
ggunak
an a
lat
pen
angkap
an i
kan
pu
rse
sein
e
200
7-0
1
Co
nse
rva
tio
n
an
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
fo
r th
e
Reg
ion
al
Ob
serv
er
Pro
gra
mm
e
Indones
ia w
ajib
mem
erhat
ikan
kap
al-k
apal
ikan
nya
yan
g
mel
aku
kan
pen
angkap
an d
i w
ilay
ah
Konven
si u
ntu
k m
em
per
siap
kan
pen
erim
aan o
bse
rver
dar
i K
om
isi
Indones
ia w
ajib
men
yia
pkan
pro
sedur
hukum
ten
tang
pen
erim
aan o
bse
rver
dia
tas
kap
al
sesu
ai d
engan
sta
ndar
Konven
si
Per
men
KP
No.P
er.1
2/M
en/2
012
Pas
al 8
ayat
(3
) h
uri
f G
Per
mohon
an S
IPI
har
us
ada
kes
anggu
pan
pen
emp
atan
obse
rver
di
atas
kap
al
Pas
al 8
ayat
(4
)
Atu
ran s
anksi
pen
ola
kan
obse
rver
di
atas
kap
al
Pas
al 3
0 a
yat
(2
), a
yat
(4
)
huri
f E
transh
ipm
ent
dis
aksi
kan
ole
h
pem
anta
u d
i at
as k
apal
pen
gan
gku
t ik
an
(obse
rver
on
bo
ard
) d
ari
RF
MO
Per
men
KP
No
.
Per
.30/M
en/2
012
Per
lu p
enges
ahan
Per
men
KP
ten
tan
g O
bse
rver
, yan
g
tentu
saj
a se
suai
den
gan
per
kem
ban
gan
hu
ku
m
inte
rnas
ion
al
233
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
dan
g-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
Pas
al 9
ayat
(1)
hu
rif
H
bag
ian 1
Per
mohonan
SIP
I h
aru
s ad
a
kes
anggupan
pen
emp
atan
obse
rver
di
atas
kap
al
Pas
al 2
4 a
yat
(1
) h
uri
f F
bag
ian 1
Per
mohonan
SIK
PI
har
us
ada
kes
anggupan
pen
emp
atan
obse
rver
di
atas
kap
al
Pas
al 6
9 a
yat
(2
) h
uru
f E
Pel
aksa
naa
n tr
ansh
ipm
ent
dia
was
i ole
h pem
anta
u
kap
al
pen
angkap
ikan
dan
kap
al
pen
gan
gkut
ikan
(o
bse
rver
)
Pas
al 8
8 b
uti
r B
men
em
pat
kan
pem
anta
u
(obse
rver
) di
atas
kap
al
pen
angkap
ikan
b
eru
ku
ran
dia
tas
1.0
00
GT
den
gan
men
ggunak
an a
lat
pen
angkap
an i
kan
purs
e se
ine
2007
-04
C
on
serv
ati
on
An
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
to
Mit
iga
te t
he
Imp
act
of
Fis
hin
g f
or
Hig
hly
Indones
ia h
arus
men
ger
jakan
mit
igas
i buru
ng l
aut
yan
g
terc
antu
m d
alam
CM
M
Indones
ia d
idoro
ng u
ntu
k
men
gad
opsi
tin
dak
an y
ang
ber
tuju
an u
ntu
k m
em
asti
kan
bah
wa
buru
ng l
aut
yan
g t
erta
ngkap
hid
up
-
hid
up
pan
cing r
awai
bis
a dil
epas
UU
No.
31 T
ah
un
20
04
Pasa
l 10 a
yat
(1)
Untu
k
kep
enti
ngan
ker
ja
sam
a in
tern
asio
nal
,
Pem
erin
tah:
a.
dap
at
mem
ubli
kas
ikan
se
cara
ber
kal
a hal
-hal
yan
g
ber
ken
aan
den
gan
la
ngkah
Pen
yu
sun
an I
nd
on
esia
–
Na
tio
na
l P
lan
of
Act
ion
(NP
OA
) S
eabir
ds
234
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
da
ng-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
Mig
rato
ry F
ish
Sto
ck o
n
Sea
bir
ds
kem
bal
i dal
am k
ondis
i bai
k t
anpa
mem
bah
ayakan
keh
idupan
buru
ng
laut
yan
g b
ersa
ngkuta
n.
Indones
ia s
etia
p t
ahunnya
har
us
mel
apo
rkan
kep
ada
Kom
isi
tenta
ng
inte
raksi
den
gan
buru
ng l
aut,
term
asuk b
yca
tches
dan
rin
cian
spes
ies,
untu
k m
em
ungkin
kan
Kom
ite
Ilm
iah
dal
am
mem
per
kir
akan
kem
atia
n b
uru
ng
laut
di
selu
ruh
wil
ayah
per
ikan
an
WC
PF
C b
erla
ku
.
konse
rvas
i d
an
pen
gel
ola
an
sum
ber
day
a ik
an;
b.
bek
erja
sa
ma
den
gan
n
egar
a
teta
ngga
atau
d
engan
n
egar
a
lain
dal
am
ran
gka
ko
nse
rvas
i
dan
pen
gel
ola
an su
mb
er d
aya
ikan
di
laut
lepas
, la
ut
lep
as
yan
g
ber
sifa
t te
rtu
tup
, at
au
sem
i te
rtu
tup
dan
wil
ayah
kan
tong;
c.
mem
ber
itah
ukan
se
rta
men
yam
pai
kan
b
ukti
-bu
kti
terk
ait
kep
ada
neg
ara
ben
der
a
asal
kap
al
yan
g
dic
uri
gai
mel
aku
kan
kegia
tan
yan
g
dap
at
men
imb
ulk
an
ham
bat
an
dal
am
ko
nse
rvas
i d
an
pen
gel
ola
an s
um
ber
day
a ik
an.
UU
No.
21 T
ah
un
20
09
Pel
aksa
naa
n P
asal
8 (
Ker
ja
sam
a untu
k k
on
serv
asi
dan
pen
gel
ola
an)
PP
No.
30 T
ah
un
20
08
P
asal
26 a
yat
(1
)
Pen
yel
enggar
a L
itb
ang
Per
ikan
an d
alam
neg
eri
yan
g
akan
mel
aku
kan
Per
ikan
an d
i
wil
ayah
pen
yel
enggar
aan
Lit
ban
g P
erik
anan
har
us
235
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
dan
g-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
mel
apork
an k
edat
angan
nya
kep
ada
pej
abat
yan
g
ber
wen
ang,
kec
ual
i ap
abil
a
Lit
ban
g P
erik
anan
dil
aku
kan
di
labora
tori
um
Tin
dak
an m
itig
asi
kem
atia
n
non
-tar
get
dia
tur
Per
men
KP
No.
Per
.12/M
en/2
01
2 d
an
Per
men
KP
No.
Per
.30/M
en/2
012
Per
men
KP
No. P
er.1
2/M
en/2
012
Pas
al 3
9
Set
iap k
apal
pen
angkap
ikan
yan
g m
elak
ukan
pen
angkap
an
ikan
di
laut
lepas
yan
g
mem
per
ole
h h
asil
tan
gkap
an
sam
pin
gan
(byc
atc
h)
yan
g
seca
ra e
kolo
gis
ter
kai
t d
engan
(eco
logic
all
y re
late
d s
pec
ies)
per
ikan
an t
una
ber
up
a h
iu,
buru
ng l
aut,
pen
yu
lau
t,
mam
alia
lau
t t
erm
asu
k p
aus,
dan
hiu
monyet
w
ajib
mel
aku
kan
tin
dak
an k
on
serv
asi
Per
men
KP
No. P
er.4
0/M
en/2
012
Pas
al 7
3
Set
iap k
apal
pen
angkap
ik
an
yan
g
mem
ilik
i S
IPI
di
WP
P-
NR
I w
ajib
mel
aku
kan
236
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
da
ng-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
tindak
an k
on
serv
asi
terh
adap
jenis
sp
esie
s t
erte
ntu
yan
g
terk
ait
seca
ra e
ko
logi
den
gan
tuna,
yan
g d
itet
apkan
ole
h
RF
MO
200
8-0
1
Co
nse
rva
tio
n
an
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
fo
r B
ig-
eye
and
Yel
low
-
fin
Tun
a i
n t
he
WC
PF
C
Indones
ia h
arus
mem
asti
kan
bah
wa
tindak
an u
ntu
k p
erik
anan
purs
e
sein
e ti
dak
mel
anggar
upay
a
tangkap
an
Indones
ia w
ajib
mel
aksa
nak
an
tindak
an y
ang s
esuai
untu
k
men
gura
ngi
per
ikan
an p
urs
e se
ine
yan
g m
engak
ibat
kan
kem
atia
n t
una
big
eye.
Indones
ia m
em
asti
kan
bah
wa
kap
al
ikan
nya
mem
atuhi
atura
n t
enta
ng
pem
bat
asan
pen
angkap
an i
kan
di
rum
pon
Indones
ia h
arus
mem
asti
kan
efek
tivit
as a
tura
n p
rogra
m o
bse
rver
regio
nal
Indones
ia h
arus
tunduk k
epad
a
Ren
cana
Pen
gel
ola
an K
om
isi
untu
k
pen
ggunaa
n r
um
pon
ole
h k
apal
mer
eka
di
laut
lepas
.
Indones
ia h
arus
men
gek
splo
rasi
dan
men
gev
aluas
i ti
ndak
an m
itig
asi
untu
k j
uve
nil
e big
eye
dan
yel
low
fin
yan
g d
iam
bil
di
sekit
ar r
um
pon
Atu
ran
Pu
rse S
ein
e
Per
men
KP
No
.
Per
.02/M
en/2
01
1
Pen
gat
ura
n j
alur
tan
gkap
an
untu
k m
asin
g-m
asin
g a
lat
tangkap
dan
ru
mp
on
ber
das
arkan
to
nas
e kap
al
Atu
ran
Pro
gra
m O
bse
rver
Per
men
KP
No.P
er.1
2/M
en/2
012
Pas
al 8
ayat
(3
) h
uri
f G
Per
mohon
an S
IPI
har
us
ada
kes
anggu
pan
pen
emp
atan
obse
rver
di
atas
kap
al
Pas
al 8
ayat
(4
)
Atu
ran s
anksi
pen
ola
kan
obse
rver
di
atas
kap
al
Pas
al 3
0 a
yat
(2
), a
yat
(4
)
huri
f E
transh
ipm
ent
dis
aksi
kan
ole
h
pem
anta
u d
i at
as k
apal
pen
gan
gku
t ik
an
(obse
rver
on
bo
ard
) d
ari
RF
MO
Ind
on
esia
per
lu
pen
gaw
asan
pel
aksa
naa
n
Per
atu
ran
Men
teri
yan
g
sud
ah d
itet
apkan
, b
aik y
ang
men
gat
ur
jalu
r ta
ngkap
an
dan
ala
t b
antu
pen
angkap
an
ikan
, m
aup
un
pel
aksa
naa
n
pro
gra
m o
bse
rver
yan
g
bet
uju
an m
emin
imal
isir
tert
angkap
nn
ya
bab
y t
un
a
(yel
low
fin
da
n b
igey
e)
pen
ges
ahan
Per
men
KP
tenta
ng O
bse
rver
, yan
g
tentu
saj
a se
suai
den
gan
per
kem
ban
gan
hu
ku
m
inte
rnas
ion
al
237
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
dan
g-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
Per
men
KP
No.
Per
.30/M
en/2
012
Pas
al 9
ayat
(1)
hu
rif
H
bag
ian 1
Per
mohonan
SIP
I h
aru
s ad
a
kes
anggupan
pen
emp
atan
obse
rver
di
atas
kap
al
Pas
al 2
4 a
yat
(1
) h
uri
f F
bag
ian 1
Per
mohonan
SIK
PI
har
us
ada
kes
anggupan
pen
emp
atan
obse
rver
di
atas
kap
al
Pas
al 6
9 a
yat
(2
) h
uru
f E
Pel
aksa
naa
n tr
ansh
ipm
ent
dia
was
i ole
h pem
anta
u
kap
al
pen
angkap
ikan
dan
kap
al
pen
gan
gkut
ikan
(o
bse
rver
)
Pas
al 8
8 b
uti
r B
men
em
pat
kan
pem
anta
u
(obse
rver
) di
atas
kap
al
pen
angkap
ikan
b
eru
ku
ran
dia
tas
1.0
00
GT
den
gan
men
ggunak
an a
lat
pen
angkap
an i
kan
purs
e se
ine
2008
-03
C
on
serv
ati
on
An
d
Ma
na
gem
ent
of
Sea
Tu
rtle
s
Indones
ia w
ajib
mel
aksa
nak
an
pan
duan
FA
O t
enta
ng p
engura
ngan
kem
atia
n p
enyu d
alam
oper
asi
pen
angkap
an i
kan
Indones
ia s
etia
p t
ahunnya
Per
men
KP
No. P
er.1
2/M
en/2
012
Pas
al 3
9
Set
iap k
apal
pen
angkap
ikan
yan
g m
elak
ukan
pen
angkap
an
ikan
di
laut
lepas
yan
g
Pen
ges
ahan
Per
atura
n
Men
teri
Kel
auta
n d
an
Per
ikan
an t
enta
ng H
asil
Tan
gkap
an S
amp
ingan
238
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
da
ng-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
mel
apork
an k
e K
om
isi
term
asuk
per
kem
ban
gan
pel
aksa
naa
n
Pan
duan
FA
O d
an t
indak
annya,
sert
a pen
gum
pula
n i
nfo
rmas
i te
rkai
t
den
gan
pen
yu
dal
am p
engel
ola
an
per
ikan
an s
ebag
aim
ana
dia
tur
dal
am K
onven
si.
mem
per
ole
h h
asil
tan
gkap
an
sam
pin
gan
(b
yca
tch)
yan
g
seca
ra e
ko
logis
ter
kai
t d
engan
(eco
logic
ally
rel
ated
sp
ecie
s)
per
ikan
an t
un
a b
eru
pa
hiu
,
buru
ng l
aut,
pen
yu
lau
t,
mam
alia
lau
t t
erm
asu
k p
aus,
dan
hiu
mo
nyet
w
ajib
mel
aku
kan
tin
dak
an k
on
serv
asi
Per
men
KP
No
. P
er.4
0/M
en/2
012
Pas
al 7
3
Set
iap k
apal
p
enan
gkap
ik
an
yan
g
mem
ilik
i S
IPI
di
WP
P-
NR
I w
ajib
mel
aku
kan
tindak
an k
on
serv
asi
terh
adap
jenis
sp
esie
s t
erte
ntu
yan
g
terk
ait
seca
ra e
ko
logi
den
gan
tuna,
yan
g d
itet
apkan
ole
h
RF
MO
200
8-0
4
Co
nse
rva
tio
n
an
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
to
Pro
hib
it t
he
Use
of
La
rge-
Sca
le
Dri
ftn
ets
on t
he
Hig
h S
eas
in t
he
Co
nve
nti
on
Are
a
Indones
ia w
ajib
mel
aran
g
pen
ggunaa
n a
lat
tangkap
dri
ftnet
s
skal
a bes
ar d
i w
ilay
ah K
onven
si.
Indones
ia w
ajib
mel
apork
an
tahunan
ten
tang k
egia
tan M
CS
di
laut
lepas
wil
ayah
Konven
si
PP
No.
51 T
ah
un
20
02
PP
ini
adal
ah l
andas
an u
ntu
k
pem
enuhan
dan
sta
nd
ar u
mu
m
oper
asio
nal
kap
al
Per
men
KP
No
.
Per
.02/M
en/2
011
Pen
gat
ura
n j
alur
tan
gkap
an
untu
k m
asin
g-m
asin
g a
lat
tangkap
dan
ru
mp
on
ber
das
arkan
to
nas
e kap
al
Ind
on
esia
har
us
mem
asti
kan
bah
wa
kap
al p
erik
anan
Ind
on
esia
tid
ak
men
ggu
nak
an d
rift
net
s
skal
a b
esar
di
wil
ayah
Ko
nven
si.
239
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
dan
g-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
2009
-01
R
eco
rd o
f
Fis
hin
g V
esse
ls
An
d
Au
tho
riza
tio
n t
o
Fis
h
Indones
ia h
arus
men
gam
bil
tindak
an u
ntu
k m
em
asti
kan
bah
wa
kap
al p
urs
e se
ine
Indones
ia d
i la
ut
lepas
mem
atuhi
atura
n d
alam
pen
erap
an k
eten
tuan
CM
M 2
008
-
01 y
ang b
erkai
tan d
engan
pen
utu
pan
rum
pon
dan
ret
ensi
pen
angkap
an.
Indones
ia w
ajib
men
jam
in b
ahw
a
tidak
ada
kap
al p
urs
e se
ine
di
sekit
ar 1
mil
lo
kas
i ru
mpon y
ang
tert
utu
p
Indones
ia w
ajib
men
jam
in k
apal
ikan
nya
tidak
men
ggunak
an
rum
pon
Indones
ia h
arus
men
gac
u p
ada
stan
dar
inte
rnas
ional
ter
kai
t
pem
buat
an k
apal
ikan
Indones
ia h
arus
mel
akukan
pen
dam
pin
gan
ter
had
ap p
elak
u
usa
ha
agar
men
yer
ahkan
lap
ora
n
tangkap
annya
Atu
ran
Kap
al
PP
No.
51 T
ahun 2
00
2
PP
ini
adal
ah l
andas
an u
ntu
k
pem
enuhan
dan
sta
nd
ar u
mu
m
oper
asio
nal
kap
al
Per
men
KP
No.
Per
.12/M
en/2
012
Pas
al 5
0 d
an 5
1 m
engat
ur
pen
gad
aan k
apal
ikan
Per
men
KP
No.
Per
.30/M
en/2
012
Pas
al 3
0 d
an 3
5 m
engat
ur
pen
gad
aan k
apal
ikan
Atu
ran
Pen
ggu
naan
Ru
mp
on
Per
men
KP
No.
Per
.02/M
en/2
011
Pen
gat
ura
n j
alur
tan
gkap
an
untu
k m
asin
g-m
asin
g a
lat
tangkap
dan
rum
po
n
ber
das
arkan
tonas
e kap
al
Atu
ran
Lap
ora
n T
an
gk
ap
an
Per
men
KP
No.
Per
.18/M
en/2
010
Pen
gat
ura
n k
ewaj
iban
lo
gb
oo
k
pen
angkap
an i
kan
Pen
ges
ahan
Agre
emen
t
Po
rt S
tate
Mea
sure
s
Ind
on
esia
har
us
mem
asti
kan
pel
aksa
naa
n
syst
em p
enca
tata
n k
apal
ikan
dan
oto
rris
asin
ya
2009
-02
F
AD
Clo
sure
s
An
d C
atc
h
Indones
ia w
ajib
mem
asti
kan
pel
aksa
naa
n p
enutu
pan
rum
pon d
an
Per
men
KP
No.
Per
.02/M
en/2
011
Ind
on
esia
har
us
mem
asti
kan
pel
aksa
naa
n
240
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
da
ng-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
Ret
enti
on
pen
gura
ngan
tan
gkap
an d
i la
ut
lepas
anta
ra 2
00 S
dan
20
0 N
ses
uai
spes
ifik
asi
stan
dar
Indones
ia w
ajib
men
gam
bil
tindak
an u
ntu
k m
enas
tikan
kap
al
purs
einnya
untu
k m
em
atuhi
atura
n
rum
pon
Pen
gat
ura
n j
alur
tan
gkap
an
untu
k m
asin
g-m
asin
g a
lat
tangkap
dan
ru
mp
on
ber
das
arkan
to
nas
e kap
al
Kep
utu
san
Dir
jen
Per
ikan
an
Tan
gk
ap
Nom
or
KE
P.0
8/D
J-
PT
/2010
Pem
ber
hen
tian
S
emen
tara
Pem
ber
ian
Iz
in
Bag
i U
sah
a
Bar
u
Ala
t P
enan
gkap
an
Ikan
dan
A
lat
Ban
tu
Pen
angkap
an
Ikan
T
erte
ntu
. A
tura
n te
rkai
t:
Pen
utu
pan
Purs
e S
ein
e P
elag
is
Bes
ar (
>2
00
GT
) u
ntu
k s
emu
a
dae
rah
pen
angkap
an
dan
Rum
pon
S
emu
a Z
EE
Indones
ia
pen
gaw
asan
pen
angkap
an
ikan
di
rum
po
n
200
9-0
3
Co
nse
rva
tio
n
an
d
Ma
na
gem
ent
for
Sw
ord
fish
Indones
ia w
ajib
bek
erja
sam
a untu
k
mel
indungi
dal
am j
angka
pan
jang
dan
kel
angsu
ngan
ekonom
i
per
ikan
an s
word
fish
d P
asif
ik B
arat
Day
a.
Indones
ia m
enyed
iakan
lap
ora
n
kep
ada
Kom
isi
terk
ait
den
gan
jum
lah k
apal
ikan
yan
g m
enan
gkap
sword
fish
es d
an t
ota
l ta
ngkap
annya
UU
No.
31 T
ah
un
20
04
Pasa
l 10 a
yat
(1)
Untu
k
kep
enti
ngan
ker
ja
sam
a in
tern
asio
nal
,
Pem
erin
tah:
d.
dap
at
mem
ub
likas
ikan
se
cara
ber
kal
a h
al-h
al
yan
g
ber
ken
aan
d
engan
la
ngkah
konse
rvas
i d
an
pen
gel
ola
an
sum
ber
day
a ik
an;
e.
bek
erja
sa
ma
den
gan
n
egar
a
teta
ngga
atau
d
engan
n
egar
a
lain
dal
am
ran
gka
ko
nse
rvas
i
dan
pen
gel
ola
an su
mb
er d
aya
Pem
ben
ahan
syst
em
pen
dat
aan k
egia
tan
per
ikan
an d
i la
ut
lep
as,
kh
usu
snya
Sw
ord
fish
di
Pas
ifik
Bar
at D
aya
241
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
dan
g-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
ikan
di
laut
lepas
, la
ut
lep
as
yan
g
ber
sifa
t te
rtu
tup
, at
au
sem
i te
rtutu
p
d
an
w
ilay
ah
kan
tong;
f.
mem
ber
itah
ukan
se
rta
men
yam
pai
kan
b
ukti
-bu
kti
terk
ait
kep
ada
neg
ara
ben
der
a
asal
kap
al
yan
g
dic
uri
gai
mel
aku
kan
kegia
tan
yan
g
dap
at
men
imbu
lkan
h
amb
atan
dal
am
kon
serv
asi
dan
pen
gel
ola
an s
um
ber
day
a ik
an.
PP
No.
30 T
ah
un
20
08
P
asal
26 a
yat
(1)
Pen
yel
enggar
a L
itb
ang
Per
ikan
an d
alam
neg
eri
yan
g
akan
mel
aku
kan
Per
ikan
an d
i
wil
ayah
pen
yel
enggar
aan
Lit
ban
g P
erik
anan
har
us
mel
apork
an k
edat
angan
nya
kep
ada
pej
abat
yan
g
ber
wen
ang,
kec
ual
i ap
abil
a
Lit
ban
g P
erik
anan
dil
aku
kan
di
labora
tori
um
2009
-05
C
on
serv
ati
on
an
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
Pro
hib
itin
g
Fis
hin
g o
n D
ata
Indones
ia h
arus
mel
aran
g k
apal
ikan
nya
dar
i ja
ngkau
an s
ekit
ar 1
mil
lau
t at
au b
erin
tera
ksi
den
gan
pel
ampung d
ata
di
laut
lepas
dar
i
area
konven
si
Per
men
KP
No.
Per
.12/M
en/2
012
Pas
al 4
7 a
yat
(1)
Kap
al p
enan
gkap
ikan
dan
kap
al p
engan
gku
t ik
an
dil
aran
g:
Ind
on
esia
har
us
mem
ber
laku
kan
per
atura
n
ini
242
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
da
ng-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
Bu
oys
a.
mel
aku
kan
kegia
tan
pen
angkap
an i
kan
ata
u
keg
iata
n p
engan
gku
tan
ikan
dal
am j
arak
1 (
satu
) m
il l
aut
dar
i lo
kas
i d
ata
buo
ys;
b.
men
gam
bil
dat
a b
uo
ys
pad
a
saat
mel
aku
kan
kegia
tan
pen
angkap
an i
kan
ata
u
pen
gan
gku
tan
ikan
;
dan
/ata
u
c. m
engan
ggu
keb
erad
aan
dan
posi
si d
ata
bu
oys.
Pas
al 4
7 a
yat
(2
)
Dat
a b
uo
ys
seb
agai
man
a
dim
aksu
d p
ada
ayat
(1
)
mer
upak
an a
lat
yan
g
men
gap
un
g,
bai
k h
anyu
t
atau
pun m
enet
ap, yan
g
dip
asan
g o
leh
Pem
erin
tah
ata
u
oto
rita
s yan
g b
erw
enan
g
den
gan
tuju
an u
ntu
k
men
gu
mpu
lkan
dat
a se
cara
elek
tronik
dan
pen
gu
ku
ran
dat
a li
ngku
ngan
dan
bu
kan
untu
k t
uju
an a
ktv
itas
pen
angkap
an i
kan
.
200
9-0
6
Co
nse
rva
tio
n
an
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
on
Indones
ia w
ajib
mem
atuhi
ket
entu
an t
ranss
hip
men
t di
wil
ayah
Konven
si
Per
men
KP
No
.
Per
.12/M
en/2
01
2
Ali
h M
uat
an (
Tra
nsh
ipm
ent)
,
Tin
dak
an K
on
serv
asi
dan
Ind
on
esia
su
dah
men
gat
ur
keg
iata
n t
ran
ship
men
t
243
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
dan
g-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
Reg
ula
tio
n o
f
Tra
nss
hip
men
t
Pen
gel
ola
an S
um
ber
Day
a
Ikan
(B
ab I
X)
Per
men
KP
No.
Per
.30/M
en/2
012
Tra
nsh
ipm
ent
(Bab
VII
I)
2009
-09
C
on
serv
ati
on
an
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
fo
r
Ves
sels
Wit
ho
ut
Na
tio
na
lity
Indones
ia w
ajib
men
gam
bil
tindak
an p
enti
ng,
term
asuk
pen
gat
ura
n n
asio
nal
nya
dal
am
rangka
men
dukung t
indak
an
pen
gel
ola
an d
an k
onse
rvas
i yan
g
dia
dopsi
ole
h K
om
isi
Per
men
KP
No.
Per
.05/M
en/2
007
Pas
al 2
Sis
tem
pem
anta
uan
kap
al
per
ikan
an d
isel
enggar
akan
den
gan
tuju
an:
a. m
enin
gkat
kan
efe
kti
vit
as
pen
gel
ola
an s
um
ber
day
a ik
an
mel
alui
pen
gen
dal
ian d
an
pem
anta
uan
ter
had
ap k
apal
per
ikan
an;
b.
men
ingkat
kan
efi
sien
si d
an
efek
tivit
as p
engel
ola
an u
sah
a
per
ikan
an y
ang d
ilak
ukan
ole
h
per
usa
haa
n p
erik
anan
;
c.
men
ingkat
kan
ket
aata
n k
apal
per
ikan
an y
ang m
elak
ukan
keg
iata
n p
enan
gkap
an d
an/a
tau
pen
gan
gkuta
n i
kan
ter
had
ap
ket
entu
an p
erat
ura
n p
eru
ndan
g-
undan
gan
yan
g b
erla
ku
; dan
d.
mem
per
ole
h d
ata
dan
info
rmas
i te
nta
ng k
egia
tan
kap
al p
erik
anan
dal
am r
ang
ka
pen
gel
ola
an s
um
ber
day
a ik
an
seca
ra b
erta
nggu
ng j
awab
dan
Ind
on
esia
men
ggu
nak
an
per
izin
an k
apal
per
ikan
an
ber
sifa
t te
rtutu
p (
clo
se
reg
istr
y)
244
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
da
ng-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
ber
kel
anju
tan
.
Per
men
KP
No
.
Per
.08/M
en/2
012
Pas
al 3
ayat
(3
)
Fungsi
pem
erin
tah
an p
ada
pel
abuhan
per
ikan
an
sebag
aim
ana
dim
aksu
d p
ada
ayat
(2)
huru
f a,
mer
up
akan
fungsi
untu
k m
elak
san
akan
pen
gat
ura
n,
pem
bin
aan
,
pen
gen
dal
ian
, p
engaw
asan
,
sert
a kea
man
an d
an
kes
elam
atan
oper
asio
nal
kap
al
per
ikan
an d
i p
elab
uhan
per
ikan
an
Per
men
KP
No
.
Per
.12/M
en/2
012
Pen
gat
ura
n p
eriz
inan
kap
al
ikan
dia
tur
pad
a B
ab I
II
tenta
ng p
ersy
arat
an d
an t
ata
pen
erbit
an i
zin
, u
ntu
k S
IUP
,
SIP
I dan
SIK
PI
(Pas
al 5
-12
).
Per
men
KP
No
.
Per
.30/M
en/2
012
Pen
gat
ura
n p
eriz
inan
kap
al
ikan
dia
tur
pad
a B
ab I
II
tenta
ng p
ersy
arat
an d
an t
ata
pen
erbit
an i
zin
, u
ntu
k S
IUP
,
245
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
dan
g-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
SIP
I dan
SIK
PI
(Pas
al 1
1-2
9).
2009
-10
C
on
serv
ati
on
an
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
to
Mo
nit
or
La
nd
ings
of
Pu
rse
Sei
ne
Ves
sels
at
Po
rts
so a
s to
En
sure
Rel
iab
le C
atc
h
Da
ta b
y Sp
ecie
s
- -
-
2009
-11
C
oo
per
ati
ng
No
n-M
emb
er
Indones
ia h
arus
men
yam
paik
an
per
mohonan
kep
ada
Kom
isi
untu
k
stat
us
Cooper
ati
ng N
on M
ember
dis
ampai
kan
sek
ura
ng
-kura
ngnya
60
har
i se
bel
um
Per
tem
uan
Tah
unan
Tec
hnic
al
and C
om
pli
ance
Com
mit
tee.
UU
No.
31 T
ah
un
20
04
Pasa
l 10 a
yat
(1)
Untu
k
kep
enti
ngan
ker
ja
sam
a in
tern
asio
nal
,
Pem
erin
tah:
d.
dap
at m
emub
likas
ikan
sec
ara
ber
kal
a h
al-h
al
yan
g
ber
ken
aan
den
gan
la
ngk
ah
konse
rvas
i dan
p
engel
ola
an
sum
ber
day
a ik
an;
e.
bek
erja
sam
a d
engan
neg
ara
teta
ngga
atau
den
gan
neg
ara
lain
dal
am r
angka
ko
nse
rvas
i
dan
pen
gel
ola
an
sum
ber
day
a ik
an d
i la
ut
lep
as,
laut
lepas
yan
g b
ersi
fat
tert
utu
p,
atau
se
mi
tert
utu
p
d
an
wil
ayah
kan
ton
g;
f.
mem
ber
itah
ukan
se
rta
Ind
on
esia
mas
ih b
erst
atu
s
seb
agai
CN
M
246
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
da
ng-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
men
yam
pai
kan
b
ukti
-bu
kti
terk
ait
kep
ada
neg
ara
ben
der
a as
al
kap
al
yan
g
dic
uri
gai
m
elak
uk
an
keg
iata
n
yan
g
dap
at
men
imb
ulk
an
ham
bat
an
dal
am
ko
nse
rvas
i dan
pen
gel
ola
an
sum
ber
d
aya
ikan
.
Pas
al 1
0 a
yat
(2
)
Pem
erin
tah i
ku
t se
rta
seca
ra
akti
f dal
am k
ean
ggo
taan
bad
an/l
emb
aga/
org
anis
asi
regio
nal
dan
inte
rnas
ion
al
dal
am r
angka
ker
ja s
ama
pen
gel
ola
an p
erik
anan
regio
nal
dan
inte
rnas
ion
al.
201
0-0
1
Co
nse
rva
tio
n
an
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
fo
r
No
rth
Paci
fic
Str
iped
Ma
rlin
I
ndones
ia w
ajib
men
gik
uti
bat
asan
tangkap
an,
yai
tu:
a.
2011 [
10%
] re
duct
ion o
f th
e
hig
hes
t ca
tch b
etw
een 2
000 a
nd
2003;
b.
2012 [
15%
] re
duct
ion o
f th
e
hig
hes
t ca
tch b
etw
een 2
000 a
nd
2003;
c.
2013 a
nd b
eyond:
[20%
]
reduct
ion o
f th
e hig
hes
t ca
tch
bet
wee
n 2
000 a
nd 2
003;
I
ndones
ia h
arus
mem
utu
skan
tindak
an p
engel
ola
an y
ang
UU
No.
31 T
ah
un
20
04
Pasa
l 10 a
yat
(1)
Untu
k
kep
enti
ngan
ker
ja
sam
a in
tern
asio
nal
,
Pem
erin
tah:
g.
dap
at
mem
ub
likas
ikan
se
cara
ber
kal
a h
al-h
al
yan
g
ber
ken
aan
d
engan
la
ngkah
konse
rvas
i d
an
pen
gel
ola
an
sum
ber
day
a ik
an;
h.
bek
erja
sa
ma
den
gan
n
egar
a
teta
ngga
atau
d
engan
n
egar
a
lain
dal
am
ran
gka
ko
nse
rvas
i
dan
pen
gel
ola
an su
mb
er d
aya
Pem
ben
ahan
syst
em
pen
dat
aan k
egia
tan
per
ikan
an d
i la
ut
lep
as,
kh
usu
snya
Str
iped
Mar
lin
di
Pac
ifik
Bar
at D
aya
247
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
dan
g-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
dip
erlu
kan
untu
k m
em
asti
kan
bah
wa
oper
asi
Neg
ara
ben
der
a kap
al
/dis
ewa
di
baw
ah b
atas
tan
gkap
an
yan
g d
itet
apkan
dal
am t
indak
an i
ni.
I
ndones
ia h
arus
mel
apork
an
pel
aksa
naa
n t
indak
an N
egar
a
ben
der
a kap
al /
dis
ewa
untu
k
men
gura
ngi
tota
l ta
ngkap
an.
ikan
di
laut
lepas
, la
ut
lep
as
yan
g
ber
sifa
t te
rtu
tup
, at
au
sem
i te
rtutu
p
d
an
w
ilay
ah
kan
tong;
i.
mem
ber
itah
ukan
se
rta
men
yam
pai
kan
b
ukti
-bu
kti
terk
ait
kep
ada
neg
ara
ben
der
a
asal
kap
al
yan
g
dic
uri
gai
mel
aku
kan
kegia
tan
yan
g
dap
at
men
imbu
lkan
h
amb
atan
dal
am
kon
serv
asi
dan
pen
gel
ola
an s
um
ber
day
a ik
an.
PP
No.
30 T
ah
un
20
08
P
asal
26 a
yat
(1)
Pen
yel
enggar
a L
itb
ang P
erik
anan
dal
am n
eger
i yan
g a
kan
mel
aku
kan
Per
ikan
an d
i
wil
ayah
pen
yel
enggar
aan
Lit
ban
g P
erik
anan
har
us
mel
apork
an k
edat
angan
nya
kep
ada
pej
abat
yan
g
ber
wen
ang,
kec
ual
i ap
abil
a
Lit
ban
g P
erik
anan
dil
aku
kan
di
labora
tori
um
2010
-02
C
on
serv
ati
on
an
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
fo
r th
e
Ea
ster
n H
igh
-
Sea
s P
ock
et
- -
-
248
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
da
ng-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
Sp
ecia
l
Ma
na
gem
ent
Are
a
201
0-0
4
Co
nse
rva
tio
n
an
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
fo
r
Pa
cifi
c B
luef
in
Tu
na
I
ndones
ia h
arus
men
gam
bil
tin
dak
an
untu
k m
em
per
kuat
syst
em
pen
gum
pula
n d
ata
per
ikan
an t
una
siri
p b
iru P
asif
ik
I
ndones
ia h
arus
men
doro
ng
ko
munik
asi
den
gan
IA
TT
C s
ecar
a
bil
ater
al
UU
No.
31 T
ah
un
20
04
Pasa
l 10 a
yat
(1)
Untu
k
kep
enti
ngan
ker
ja
sam
a in
tern
asio
nal
,
Pem
erin
tah:
a.
dap
at
mem
ub
likas
ikan
se
cara
ber
kal
a h
al-h
al
yan
g
ber
ken
aan
d
engan
la
ngkah
konse
rvas
i d
an
pen
gel
ola
an
sum
ber
day
a ik
an;
b.
bek
erja
sa
ma
den
gan
n
egar
a
teta
ngga
atau
d
engan
n
egar
a
lain
dal
am
ran
gka
ko
nse
rvas
i
dan
pen
gel
ola
an su
mb
er d
aya
ikan
di
laut
lepas
, la
ut
lep
as
yan
g
ber
sifa
t te
rtu
tup
, at
au
sem
i te
rtu
tup
dan
wil
ayah
kan
tong;
c.
mem
ber
itah
ukan
se
rta
men
yam
pai
kan
b
ukti
-bu
kti
terk
ait
kep
ada
neg
ara
ben
der
a
asal
kap
al
yan
g
dic
uri
gai
mel
aku
kan
kegia
tan
yan
g
dap
at
men
imb
ulk
an
ham
bat
an
dal
am
ko
nse
rvas
i d
an
pen
gel
ola
an s
um
ber
day
a ik
an.
PP
No.
30 T
ah
un
20
08
I
nd
on
esia
men
do
ron
g
ko
mu
nik
asi
den
gan
IA
TT
C
seca
ra b
ilat
eral
ter
kai
t
den
gan
pen
gel
ola
an
per
ikan
an t
un
a si
rip
bir
u
249
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
dan
g-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
P
asal
26 a
yat
(1)
Pen
yel
enggar
a L
itb
ang
Per
ikan
an d
alam
neg
eri
yan
g
akan
mel
aku
kan
Per
ikan
an d
i
wil
ayah
pen
yel
enggar
aan
Lit
ban
g P
erik
anan
har
us
mel
apork
an k
edat
angan
nya
kep
ada
pej
abat
yan
g
ber
wen
ang,
kec
ual
i ap
abil
a
Lit
ban
g P
erik
anan
dil
aku
kan
di
labora
tori
um
2010
-05
C
on
serv
ati
on
an
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
fo
r
So
uth
Paci
fic
Alb
aco
re
I
ndones
ia w
ajib
mem
asti
kan
keb
erla
nju
tan j
angka
pan
jang d
an
kel
angsu
ngan
ekonom
i per
ikan
an
So
uth
Pac
ific
alb
acore
I
ndones
ia w
ajib
mel
apork
an t
ahunan
kep
ada
Kom
isi
tenta
ng t
ingkat
tangkap
an k
apal
-kap
al i
kan
nya
yan
g
men
angkap
South
Pac
ific
Alb
acore
sebag
ai h
asil
tan
gkap
an s
ampin
gan
.
UU
No.
31 T
ah
un
20
04
Pasa
l 10 a
yat
(1)
Untu
k
kep
enti
ngan
ker
ja
sam
a in
tern
asio
nal
,
Pem
erin
tah:
j.
dap
at
mem
ubli
kas
ikan
se
cara
ber
kal
a hal
-hal
yan
g
ber
ken
aan
den
gan
la
ngkah
konse
rvas
i dan
p
engel
ola
an
sum
ber
day
a ik
an;
k.
bek
erja
sa
ma
den
gan
n
egar
a
teta
ngga
atau
d
engan
n
egar
a
lain
dal
am
rangka
ko
nse
rvas
i
dan
pen
gel
ola
an su
mb
er d
aya
ikan
di
laut
lepas
, la
ut
lep
as
yan
g
ber
sifa
t te
rtu
tup
, at
au
sem
i te
rtutu
p
d
an
w
ilay
ah
kan
tong;
l.
mem
ber
itah
ukan
se
rta
men
yam
pai
kan
b
ukti
-bu
kti
I
nd
on
esia
akan
men
jaga
So
uth
Pac
ific
Alb
aco
re d
ari
keg
iata
n k
apal
per
ikan
an
250
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
da
ng-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
terk
ait
kep
ada
neg
ara
ben
der
a
asal
kap
al
yan
g
dic
uri
gai
mel
aku
kan
kegia
tan
yan
g
dap
at
men
imb
ulk
an
ham
bat
an
dal
am
ko
nse
rvas
i d
an
pen
gel
ola
an s
um
ber
day
a ik
an.
PP
No.
30 T
ah
un
20
08
P
asal
26 a
yat
(1
)
P
enyel
enggar
a L
itb
ang
Per
ikan
an d
alam
neg
eri
yan
g
akan
mel
aku
kan
Per
ikan
an d
i
wil
ayah
pen
yel
enggar
aan
Lit
ban
g P
erik
anan
har
us
mel
apork
an k
edat
angan
nya
kep
ada
pej
abat
yan
g
ber
wen
ang,
kec
ual
i ap
abil
a
Lit
ban
g P
erik
anan
dil
aku
kan
di
labora
tori
um
201
0-0
6
Co
nse
rva
tio
n
an
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
to
Est
abli
sh a
Lis
t
of
Ves
sels
Pre
sum
ed t
o
Ha
ve C
arr
ied
ou
t Il
leg
al,
Un
rep
ort
ed a
nd
Un
reg
ula
ted
Fis
hin
g
I
ndones
ia h
arus
men
gam
bil
tin
dak
an
non
-dis
krim
inati
f se
suai
den
gan
UU
yan
g b
erla
ku,
hukum
inte
rnas
ional
dan
Par
agra
f 56 d
an 6
6 I
PO
A I
UU
Fis
hin
g
P
erat
ura
n p
eru
ndan
g-u
nd
angan
Indones
ia s
udah
men
gat
ur
keg
iata
n p
emb
eran
tasa
n I
UU
Fis
hin
g
I
nd
on
esia
per
lu m
erin
ci
keg
iata
n I
UU
di
wil
ayah
Ko
nven
si
251
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
dan
g-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
Act
ivit
ies
in t
he
WC
PO
2010
-07
C
on
serv
ati
on
an
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
fo
r
Sh
ark
s
Indones
ia w
ajib
mel
aksa
nak
an F
AO
Inte
rnati
onal
Pla
n o
f A
ctio
n f
or
the
Conse
rvati
on
and
Managem
ent
of
Shark
s (I
PO
A S
hark
s M
anagem
ent)
Per
men
KP
No. P
er.1
2/M
en/2
012
Pas
al 3
9
Set
iap k
apal
pen
angkap
ikan
yan
g m
elak
ukan
pen
angkap
an
ikan
di
laut
lepas
yan
g
mem
per
ole
h h
asil
tan
gkap
an
sam
pin
gan
(byc
atc
h)
yan
g
seca
ra e
kolo
gis
ter
kai
t d
engan
(eco
logic
all
y re
late
d s
pec
ies)
per
ikan
an t
una
ber
up
a h
iu,
buru
ng l
aut,
pen
yu
lau
t,
mam
alia
lau
t t
erm
asu
k p
aus,
dan
hiu
monyet
w
ajib
mel
aku
kan
tin
dak
an k
on
serv
asi
Per
men
KP
No. P
er.4
0/M
en/2
012
Pas
al 7
3
Set
iap k
apal
pen
angkap
ik
an
yan
g
mem
ilik
i S
IPI
di
WP
P-
NR
I w
ajib
mel
aku
kan
tindak
an k
onse
rvas
i te
rhad
ap
jenis
sp
esie
s t
erte
ntu
yan
g
terk
ait
seca
ra e
ko
logi
den
gan
tuna,
yan
g d
itet
apkan
ole
h
RF
MO
Pen
ges
ahan
In
do
nes
ia -
Nat
ional
Pla
n o
f A
ctio
n
(NP
OA
) fo
r th
e
Co
nse
rva
tio
n a
nd
Ma
na
gem
ent
of
Sh
ark
s
2011
-01
C
on
serv
atio
n
and
Man
agem
ent
Mea
sure
for
Indones
ia m
enghar
usk
an
men
em
pat
kan
obse
rver
dal
am k
apal
.
Per
men
KP
No.P
er.1
2/M
en/2
012
Pas
al 8
ayat
(3)
hu
rif
G
Per
lu p
enges
ahan
Per
men
KP
ten
tan
g O
bse
rver
, yan
g
tentu
saj
a se
suai
den
gan
252
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
da
ng-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
Tem
po
rary
Ex
ten
sio
n o
f
CM
M 2
008
-01
Per
mohon
an S
IPI
har
us
ada
kes
anggu
pan
pen
emp
atan
obse
rver
di
atas
kap
al
Pas
al 8
ayat
(4
)
Atu
ran s
anksi
pen
ola
kan
obse
rver
di
atas
kap
al
Pas
al 3
0 a
yat
(2
), a
yat
(4
)
huri
f E
tran
ship
men
t d
isak
sikan
ole
h
pem
anta
u d
i at
as k
apal
pen
gan
gku
t ik
an
(obse
rver
on
bo
ard
) dar
i
RF
MO
Per
men
KP
No
.
Per
.30/M
en/2
012
Pas
al 9
ayat
(1
) h
uri
f H
bag
ian 1
Per
mohon
an S
IPI
har
us
ada
kes
anggu
pan
pen
emp
atan
obse
rver
di
atas
kap
al
Pas
al 2
4 a
yat
(1
) h
uri
f F
bag
ian 1
Per
mohon
an S
IKP
I h
aru
s ad
a
kes
anggu
pan
pen
emp
atan
obse
rver
di
atas
kap
al
Pas
al 6
9 a
yat
(2
) h
uru
f E
Pel
aksa
naa
n tr
ansh
ipm
ent
dia
was
i ole
h p
eman
tau
kap
al
pen
angkap
ikan
dan
kap
al
per
kem
ban
gan
hu
ku
m
inte
rnas
ion
al
253
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
dan
g-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
pen
gan
gkut
ikan
(o
bse
rver
)
Pas
al 8
8 b
uti
r B
men
em
pat
kan
pem
anta
u
(obse
rver
) di
atas
kap
al
pen
angkap
ikan
b
eru
ku
ran
dia
tas
1.0
00
GT
den
gan
men
ggunak
an a
lat
pen
angkap
an i
kan
purs
e se
ine
2011
-02
C
om
mis
sio
n
Ves
sel
Mo
nit
ori
ng
Syst
em
Indones
ia w
ajib
mem
asti
kan
bah
wa
kap
al i
kan
nya
yan
g m
enan
gkap
ikan
ber
uay
a ja
uh d
i se
suai
koord
inat
yan
g d
itet
apkan
ko
mis
i
har
us
men
gat
ifkan
Auto
mati
c
Loca
tion C
om
munic
ato
rs (
AL
Cs)
.
UU
No.
31 T
ah
un
20
04
seb
agaim
an
a d
iub
ah
den
ga
n
UU
No.
45 T
ah
un
20
09
Pas
al 7
ayat
(2)
hu
ruf
e
Set
iap o
rang y
ang m
elak
uk
an
usa
ha
dan
/ata
u k
egia
tan
pen
gel
ola
an
per
ikan
an w
ajib
mem
atuhi
ket
entu
an
sebag
aim
ana
dim
aksu
d p
ada
ayat
(1)
men
gen
ai:
sist
em
pem
anta
uan
kap
al p
erik
anan
Per
men
KP
No.
Per
.05/M
en/2
007
Bab
V (
kew
ajib
an
pem
asan
gan
tra
nsm
itte
r)
Bab
VI
(kew
ajib
an p
enggu
na
transm
itte
r)
Per
men
KP
No.
Per
.12/M
en/2
012
Ind
on
esia
per
lu
pen
ingkat
an p
enggu
naa
n
VM
S,
yan
g d
iser
tai
den
gan
pen
gaw
asan
sec
ara
teru
s-
men
eru
s
254
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
da
ng-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
Pas
al 8
sura
t ket
eran
gan
pem
asan
gan
tran
smit
ter
(on
lin
e)
Pas
al 2
7 a
yat
(3
)
Sura
t ket
eran
gan
akti
vis
i
tran
smit
ter
(on
lin
e )
Pas
al 3
0 a
yat
(2
), (
3),
(4
), d
an
(5)
Kew
ajib
an k
apal
yan
g
mel
aku
kan
tra
nss
hip
men
t
men
gak
tifk
an t
ran
smit
ter
Per
men
KP
No
.
Per
.30/M
en/2
012
Pas
al 1
9 a
yat
(1
), P
asal
22
sura
t ket
eran
gan
pem
asan
gan
tran
smit
ter
(on
lin
e)
Pas
al 5
0 a
yat
(2
) h
uru
f d
,
Pas
al 5
9 a
yat
(2
) h
uru
f d
bukti
pem
bay
aran
ai
r ti
me
Tra
nsm
itte
r V
esse
l
Monit
ori
ng
Syst
em
untu
k t
ahun
yan
g a
kan
dat
ing.
Bab
IX
(A
lih
Mu
atan
(Tra
nsh
ipm
ent)
, T
ind
akan
Konse
rvas
i dan
Pen
gel
ola
an S
DI
201
1-0
3
Co
nse
rva
tio
n
an
d
Ma
na
gem
ent
I
ndones
ia w
ajib
mel
aran
g k
apal
ikan
nya
untu
k m
engoper
asik
an
purs
e se
ine
ket
ika
tuna
dan
cet
acea
n
Per
men
KP
No
. P
er.1
2/M
en/2
012
Pas
al 3
9
Set
iap k
apal
pen
angkap
ikan
Pen
ges
ahan
Per
atura
n
Men
teri
Kel
auta
n d
an
Per
ikan
an t
enta
ng H
asil
255
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
dan
g-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
Mea
sure
fo
r
Pro
tect
ion
of
Cet
ace
an
s fr
om
Pu
rse
Sei
ne
Fis
hin
g
Op
era
tio
ns
sedan
g b
erger
om
bol
I
ndones
ia w
ajib
mem
asti
kan
pel
epas
an c
etea
cean
yan
g t
erta
ngkap
seca
ra a
man
yan
g m
elak
ukan
pen
angkap
an
ikan
di
laut
lepas
yan
g
mem
per
ole
h h
asil
tan
gkap
an
sam
pin
gan
(byca
tch)
yan
g
seca
ra e
kolo
gis
ter
kai
t d
engan
(eco
logic
ally
rel
ated
sp
ecie
s)
per
ikan
an t
una
ber
up
a h
iu,
buru
ng l
aut,
pen
yu
lau
t,
mam
alia
lau
t t
erm
asu
k p
aus,
dan
hiu
monyet
w
ajib
mel
aku
kan
tin
dak
an k
on
serv
asi
Per
men
KP
No. P
er.4
0/M
en/2
012
Pas
al 7
3
Set
iap k
apal
pen
angkap
ik
an
yan
g
mem
ilik
i S
IPI
di
WP
P-
NR
I w
ajib
mel
aku
kan
tindak
an k
onse
rvas
i te
rhad
ap
jenis
sp
esie
s t
erte
ntu
yan
g
terk
ait
seca
ra e
ko
logi
den
gan
tuna,
yan
g d
itet
apkan
ole
h
RF
MO
Tan
gkap
an S
amp
ingan
2011
-04
C
on
serv
ati
on
an
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
fo
r
Oce
an
ic
Wh
itet
ip S
ha
rk
I
ndones
ia w
ajib
mel
aran
g k
apal
ikan
nya
sesu
ai a
tura
n,
seper
ti
tran
sship
pin
g,
men
yim
pan
pad
a
kap
al p
enan
gkap
ikan
, at
au m
endar
at
Oce
anic
Whit
etip
Shark
I
ndones
ia w
ajib
mem
asti
kan
pel
epas
an O
ceanic
Whit
etip
Shark
yan
g t
erta
ngkap
sec
ara
aman
Per
men
KP
No. P
er.1
2/M
en/2
012
Pas
al 3
9
Set
iap k
apal
pen
angkap
ikan
yan
g m
elak
ukan
pen
angkap
an
ikan
di
laut
lepas
yan
g
mem
per
ole
h h
asil
tan
gkap
an
sam
pin
gan
(byca
tch)
yan
g
seca
ra e
kolo
gis
ter
kai
t d
engan
(eco
logic
ally
rel
ated
sp
ecie
s)
Pen
ges
ahan
In
do
nes
ia -
Nat
ional
Pla
n o
f A
ctio
n
(NP
OA
) fo
r th
e
Co
nse
rva
tio
n a
nd
Ma
na
gem
ent
of
Sh
ark
s
256
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
da
ng-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
per
ikan
an t
un
a b
eru
pa
hiu
,
buru
ng l
aut,
pen
yu
lau
t,
mam
alia
lau
t t
erm
asu
k p
aus,
dan
hiu
mo
nyet
w
ajib
mel
aku
kan
tin
dak
an k
on
serv
asi
Per
men
KP
No
. P
er.4
0/M
en/2
012
Pas
al 7
3
Set
iap k
apal
p
enan
gkap
ik
an
yan
g
mem
ilik
i S
IPI
di
WP
P-
NR
I w
ajib
mel
aku
kan
tindak
an k
on
serv
asi
terh
adap
jenis
sp
esie
s t
erte
ntu
yan
g
terk
ait
seca
ra e
ko
logi
den
gan
tuna,
yan
g d
itet
apkan
ole
h
RF
MO
201
1-0
5
Co
nse
rva
tio
n
an
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
on
Ch
art
er
No
tifi
cati
on
Sch
eme
I
ndones
ia w
ajib
men
gat
ur
kap
al i
kan
yan
g m
enggunak
an s
yst
em s
ewa
Per
men
KP
No
. P
er.3
0/M
en/2
01
2
P
asal
31 a
yat
(1
)
Pen
gad
aan
kap
al p
enan
gkap
ikan
dan
/ata
u k
apal
pen
gan
gku
t
ikan
dap
at d
ilak
ukan
dar
i dal
am
neg
eri
dan
/ata
u l
uar
neg
eri
den
gan
ca
ra
mem
bel
i,
mem
ban
gun
, at
au
mem
odif
ikas
i
I
nd
on
esia
per
lu
mem
pet
imb
ang
kan
atu
ran
men
gen
ai k
apal
yan
g i
kan
yan
g b
ersu
mb
er d
ari
sew
a
201
1-0
6
Co
nse
rva
tio
n
an
d
Ma
na
gem
ent
Mea
sure
fo
r
Co
mp
lia
nce
I
ndones
ia w
ajib
mel
aksa
nak
an d
an
mem
enuhi
kew
ajib
an s
esuai
Konven
si y
ang d
iadopsi
ole
h
Kom
isi.
UU
No.
31 T
ah
un
20
04
Pasa
l 10 a
yat
(1)
Untu
k
kep
enti
ngan
ker
ja
sam
a in
tern
asio
nal
,
Pem
erin
tah:
I
nd
on
esia
mem
ilik
i at
ura
n
keg
iata
n p
enan
gkap
an i
kan
,
bai
k d
i W
PP
-NR
I m
aup
un
di
laut
lep
as. K
edu
a per
atura
n
ini
men
jadi
lan
das
an d
alam
257
CM
M
Ten
tan
g
Imp
lik
asi
bagi
Ind
on
esia
K
on
dis
i E
ksi
siti
ng
Per
atu
ran
Per
un
dan
g-u
nd
an
ga
n
Tin
da
ka
n A
ksi
Mo
nit
ori
ng
Sch
eme
a.
dap
at
mem
ubli
kas
ikan
se
cara
ber
kal
a hal
-hal
yan
g
ber
ken
aan
den
gan
la
ngkah
konse
rvas
i dan
p
engel
ola
an
sum
ber
day
a ik
an;
b.
bek
erja
sa
ma
den
gan
n
egar
a
teta
ngga
atau
d
engan
n
egar
a
lain
dal
am
rangka
ko
nse
rvas
i
dan
pen
gel
ola
an su
mb
er d
aya
ikan
di
laut
lepas
, la
ut
lep
as
yan
g
ber
sifa
t te
rtu
tup
, at
au
sem
i te
rtutu
p
d
an
w
ilay
ah
kan
tong;
c.
mem
ber
itah
ukan
se
rta
men
yam
pai
kan
b
ukti
-bu
kti
terk
ait
kep
ada
neg
ara
ben
der
a
asal
kap
al
yan
g
dic
uri
gai
mel
aku
kan
kegia
tan
yan
g
dap
at
men
imbu
lkan
h
amb
atan
dal
am
kon
serv
asi
dan
pen
gel
ola
an s
um
ber
day
a ik
an.
mel
aku
kan
pen
angkap
an
ikan
di
laut
lep
as
258
Lam
pir
an 8
. M
atri
k K
elom
pok K
onven
si d
an C
MM
Peri
hal
KO
NV
EN
SI
(Pa
sal)
C
MM
2
004
20
05
2006
2007
2008
2009
2010
2011
3
5
6
7
8
2 3
2 4
2 5
3 3
0 3
0 4
03
0 4
0 7
0 8
0 1
0 4
0 1
0 3
0 4
0 1
0 2
0 3
0 5
0 6
0 9
1 0
1 1
0 1
0 2
0 4
0 5
0 6
0 7
0 1
0 2
0 3
0 4
0 5
0 6
1.
Wil
ayah
Pen
erap
an
∎
2.
Aza
z
Pel
aksa
naa
n
∎
3.
Pen
erap
a
n K
ehat
i-
hat
ian
∎
∎
4.
Pel
aksa
n
aan
Aza
s-A
zas
di
wil
ayah
Ber
das
ark
an
Yu
risd
ik
di
Nas
ional
∎
∎
5.
Kes
esu
ai
an
tin
dak
an
kon
serv
a
si
dan
p
engel
ol
aan
∎
6.
Kew
ajib
an
Par
a A
nggota
Kom
isi
∎
7.
Kew
ajib
an-
Kew
ajib
∎
259
an
Neg
ara
Ben
der
a
8.
Pen
aata
n
dan
pen
egak
an
∎
9.
Itik
ad
Bai
k
Dan
Pen
yal
ah
gu
naa
n
Hak
∎
10.
Pen
gg
unaa
n
tran
sm
itte
r/V
MS
∎
11.
Pen
ega
kan
huku
m
∎
∎
∎
∎
∎
12.
Kap
al
Ikan
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
13.
Ala
t
pen
ang
kap
ikan
dan
al
at
ban
tu
pen
ang
kap
an
ikan
14.
Pen
gel
ola
an
Tan
gk
apan
Uta
ma
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
15.
Pen
gel
ola
an
Tan
gk
apan
Sam
pi
ngan
∎
∎
∎
∎
∎
260
16.
Pro
gra
m
Ob
serv
er d
an
Insp
eksi
Kap
al
∎
∎
∎
∎
17.
Da
ta
Buo
ys
∎
18.
Tra
nsh
ipm
ent
∎
∎
∎
261
Lam
pir
an 9
. M
atri
k K
eter
kai
tan H
ukum
Nas
ional
Den
gan
Konse
rvas
i dan
CM
M
Pera
tura
n
Peru
nd
an
ga
-Un
da
ng
an
KO
NV
EN
SI
(Pa
sal)
C
MM
2
004
200
5
2006
2007
2008
2009
2010
2011
3
5
6
7
8
2 3
2 4
2 5
3 3
0 3
0 4
03
0 4
0 7
0 8
0 1
0 4
0 1
0 3
0 4
0 1
0 2
0 3
0 5
0 6
0 9
1 0
1 1
0 1
0 2
0 4
0 5
0 6
0 7
0 1
0 2
0 3
0 4
0 5
0 6
1.
UU
No 3
1
tah
un
2
004
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
2.
UU
No.
17 T
ahu
n
2008
3.
UU
No.
21 T
ahu
n
2009
∎
∎
∎
∎
∎
∎
4.
PP
No.
51
tah
un
2002
∎
∎
∎
∎
∎
5.
PP
No.
30
T
ahun
2008
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
6.
PP
No.
61
T
ahun
2009
7.
Per
men
K
P N
o.
Per
.05
/Me
n/2
007
∎
∎
∎
8.
Per
men
KP
No.
Per
.01
/Me
n/2
009
∎
9.
Per
men
KP
No.
Per
.18
/Me
n/2
010
∎
∎
262
10.
Per
men
KP
No.
Per
.02
/
Men
/20
11
∎
∎
∎
11.
Per
men
KP
No.
Per
.12
/M
en/2
0
11
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
12.
Per
men
KP
No.
Per
.08
/M
en/2
0
12
∎
13.
Per
men
K
P N
o.
Per
.12
/
Men
/20
12
∎
14.
Per
men
KP
No.
Per
.30
/
Men
/20
12
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
∎
15.
Kep
men
KP
No.
Kep
.45
/M
en/2
0
11
∎
16.
Per
men
K
P N
o
Per
40/M
en/
2012
∎
∎
∎
∎
∎
∎
17.
Kep
Dir
jen
P
T
Nom
or
KE
P.0
8/
DJ-
PT
/201
0
∎
263