pajak penghasilan gabungan
TRANSCRIPT
1
Bagian Kedua
PAJAK PENGHASILAN
A. PENGERTIAN PENGHASILAN
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, termasuk:
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan
dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang;
2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
3. laba usaha;
4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
a. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai
pengganti saham atau penyertaan modal;
b. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang
diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
c. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
d. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang
diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi
yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
e. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda
turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
Dalam hal terjadi pengalihan harta perusahaan kepada pegawainya, maka keuntungan
berupa selisih antara harga pasar harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan
penghasilan bagi perusahaan. (Pasal 3 PP 94 Tahun 2010)
2
5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran
tambahan pengembalian pajak;
o Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan
Kena Pajak merupakan objek pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah
dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah
sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
6. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
7. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
8. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
9. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya
"alimentasi" atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu
tertentu.
11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;
o Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang
semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya.
Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil
misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit
Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya
sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.
12. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
o Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi
Keuangan yang berlaku di Indonesia.
13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. premi asuransi;
15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
17. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
18. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakan; dan
19. surplus Bank Indonesia.
3
o Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank
Indonesia menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal
sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank
Indonesia. (Pasal 7 ayat (1) PP 94 Tahun 2010)
o Ketentuan mengenai tata cara penghitungan dan pembayaran PPh atas surplus Bank Indonesia
diatur dengan PMK-100/PMK.03/2011
B. SUBJEK PAJAK PENGHASILAN
1. Yang Menjadi Subjek Pajak
Yang menjadi subjek pajak adalah:
a. 1. orang pribadi;
2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
b. badan; dan
c. bentuk usaha tetap.
Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
a. Subjek pajak dalam negeri adalah:
1. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
untuk bertempat tinggal di Indonesia;
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan,
berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal
dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama‐lamanya. (Pasal 2A ayat (1) UU Nomor
36 Tahun 2008)
2. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari
badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
a. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
4
c. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah; dan
d. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
Kewajiban pajak subjektif badan dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi
bertempat kedudukan di Indonesia. (Pasal 2A ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2008)
3. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya
warisan yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai
dibagi. (Pasal 2A ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2008)
b. Subjek pajak luar negeri adalah:
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan ini dimulai pada saat orang pribadi atau
badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (5) UU Nomor 36 Tahun 2008 dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap. (Pasal 2A ayat (3) UU Nomor 36
Tahun 2008)
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan ini dimulai pada saat orang pribadi atau
badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat
tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut. (Pasal 2A ayat (4) UU Nomor 36
Tahun 2008)
5
2. Yang Tidak Termasuk Subjek Pajak
Yang tidak termasuk subjek pajak adalah: (Pasal 3 UU Nomor 36 Tahun 2008)
1. kantor perwakilan negara asing;
2. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia
tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta
negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
3. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota;
4. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional, dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
C. OBJEK PAJAK PENGHASILAN
1. Yang Termasuk Objek Pajak
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, termasuk:
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan
dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
3. laba usaha;
4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
a. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai
pengganti saham atau penyertaan modal;
6
b. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh
perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
c. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan
usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
d. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan; dan
e. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut
serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
Dalam hal terjadi pengalihan harta perusahaan kepada pegawainya, maka keuntungan berupa
selisih antara harga pasar harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi
perusahaan. (Pasal 3 PP 94 Tahun 2010)
5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran
tambahan pengembalian pajak;
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena
Pajak merupakan objek pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan
dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar
pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
6. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
7. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
8. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
9. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau tunjangan seumur hidup yang
dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;
7
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang
semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun,
dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya
Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat
(KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah
tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.
12. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan
yang berlaku di Indonesia.
13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. premi asuransi;
15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
17. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
18. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakan; dan
19. surplus Bank Indonesia.
Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia
menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan
Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia. (Pasal 7
ayat (1) PP 94 Tahun 2010)
Ketentuan mengenai tata cara penghitungan dan pembayaran PPh atas surplus Bank Indonesia
diatur dengan PMK-100/PMK.03/2011
2. Bukan Objek Pajak
Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
1. Hibahan, yaitu:
a bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang
berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
8
dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
b. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan;
2. Warisan;
3. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyertaan modal;
4. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali
yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib
Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15;
5. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
6. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak
dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan
modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang
menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah
25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
7. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri
Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
8. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada angka
7, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
9. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang
unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
9
10. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan
syarat badan pasangan usaha tersebut:
c. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
d. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
11. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
12. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada
instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4
(empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
13. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib
Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
D. PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK
1. Penghasilan Tidak Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
Berdasarkan PMK-162/PMK.011/2012 yang mulai berlaku efektif Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Wajib Pajak Orang Pribadi (OP) adalah Rp 24.300.000 atau jika dihitung per bulannya adalah Rp
2.025.000. Sehingga setiap orang yang mendapatkan penghasilan tidak lebih dari dua juta setiap bulannya
dibebaskan dari pengenaan pajak penghasilan. Kepada istri dan tanggungan masing-masing memperoleh
nilai PTKP sebesar 2.025.000.
Selengkapnya kenaikan PTKP ini dapat dilihat sebagai berikut:
TK, Lajang (tidak menikah), Lama: Rp. 15.840.000,- Baru: Rp. 24.300.000,-
TK1, Lajang dengan 1 tanggungan, Lama Rp. 17.160.000,- Baru: 26.325.000,-
TK2, Lajang dengan 2 tanggungan, Lama Rp. 18.480.000,- Baru: 28.350.000,-
TK3, Lajang dengan 3 tanggungan, Lama Rp. 19.800.000,- Baru: 30.375.000,-
10
K, Menikah tanpa tanggungan, Lama Rp. 17.160.000,- Baru: 26.325.000,-
K2, Menikah dengan 2 tanggungan, Lama Rp. 19.800.000,- Baru: 30.375.000,-
K1, Menikah dengan 1 tanggungan, Lama Rp. 18.480.000,- Baru: 28.350.000,-
K3, Menikah dengan 3 tanggungan, Lama Rp. 21.120.000,- Baru: 32.400.000,-
Tanggungan yang diperbolehkan adalah sebanyak 3 orang ato kurang. Untuk suami yang ingin
ditanggungkan ke penghasilan istri harus dibuktikan dengan surat keterangan dari pemerintah serendah-
rendahnya tingkat kecamatan bahwa suami benar-benar tidak memiliki penghasilan dan penghidupannya
ditanggung oleh istri (Surat Keputusan Dirjen Pajak Nomor Kep-02/PJ/1995). Penghasilan suami-isteri
dikenai pajak secara terpisah apabila:
a. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan; atau dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri.
. Yang bisa menjadi tanggungan adalah (Penjelasan Pasal 7 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008):
1. Keluarga dalam satu garis keturunan lurus sedarah dan semenda
Keluarga sedarah dan semenda yang menjadi tanggungan adalah yang menjadi tanggungan sepenuhnya
oleh Wajib Pajak. Arti dari menjadi tanggungan sepenuhnya adalah hidupnya benar-benar ditanggung
oleh wajib pajak. Yang termasuk sedarah atau semenda adalah: anak kandung, anak tiri, ibu, ayah,
mertua. Tanggungan hanya berlaku bagi hubungan sedarah dan semenda satu garis lurus sehingga
saudara seperti kakak, adik, kakak ipar, adik ipar, kakak dari orang tua, adik dari orang tua tidak bisa
menjadi tanggungan. Anak yang bisa menjadi penghasilan adalah anak yang belum dewasa atau belum
memiliki penghasilan sehingga masih ditanggung oleh Wajib Pajak
2. Anak angkat
Anak angkat dalam hukum perpajakan dapat diakui sebagai tanggungan jika: hidupnya ditanggung
sepenuhnya oleh Wajib Pajak atau belum dewasa. Anak angkat tidak berasal dari hubungan sedarah
maupun semenda (Surat Keputusan Dirjen Pajak Nomor Kep-02/PJ/1995)
2. Biaya
Perbedaan pengakuan biaya menurut perhitungan fiskal dan perhitungan komersial menyebabkan adanya
koreksi fiskal. Koreksi fiskal dilakukan Sehubungan dengan adanya perbedaan antara laba (rugi) menurut
perhitungan akuntansi komersial dengan akuntansi fiskal . Jenis-jenis perbedaan tersebut antara lain :
11
a. Beda tetap.
Yaitu penghasilan dan biaya yang diakui dalam penghitungan laba neto untuk akuntansi komersial tetapi
tidak diakui dalam penghitungan akuntansi pajak.
Contoh penghasilan : sumbangan, Penghasilan bunga deposito.
Contoh biaya : biaya sanksi perpajakan.
b. Beda waktu
Yaitu penghasilan dan biaya yang dapat diakui saat ini oleh akuntansi komersial, tetapi tidak dapat diakui
sekaligus oleh akuntansi pajak, biasanya karena perbedaan metode pengakuan.
Contoh penghasilan : pendapatan laba selisih kurs
Contoh biaya : biaya penyusutan, biaya sewa
Jenis koreksi fiskal adalah sebagai berikut :
a. Koreksi fiskal positif
Yaitu koreksi fiskal yang menyebabkan penambahan penghasilan kena pajak dan PPh terutang.
Contoh : Biaya PPh
b. Koreksi fiskal Negatif
Yaitu koreksi yang menyebabkan pengurangan penghasilan kena pajak dan PPh terutang.
Contoh : Penghasilan bunga deposito.
Ketentuan mengenai pengakuan biaya secara fiskal dapat dilihat di Undang-undang Pajak Penghasilan (UU
No 7 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No 36 Tahun 2008) Pasal 4 ayat 1 dan 3, Pasal 6
dan Pasal 9. Untuk lebih jelasnya biaya dan penghasilan yang mempengaruhi perhitungan laba-rugi fiskal
dapat dilihat pada penjelasan berikut:
a. Biaya yang tidak boleh dikurangkan (nondeductible)
Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, termasuk:
1. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang:
a. bukan merupakan objek pajak;
b. pengenaan pajaknya bersifat final; dan/atau
c. dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 UU PPh dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 UU PPh.
2. PPh yang ditanggung oleh pemberi penghasilan.
Macam-macam biaya yang tidak dapat dikurangkan:
12
No Jenis
1 pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang
dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi (Pasal 9 ayat 1 huruf a)
2 biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau
anggota (Pasal 9 ayat 1 huruf b)
3 pembentukan atau pemupukan dana cadangan (Pasal 9 ayat 1 huruf c), kecuali:
1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan
kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan
perusahaan anjak piutang;
2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk
usaha pengolahan limbah industri,
yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
(PMK-219/PMK.011/2012)
4 premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea
siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan
premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan (Pasal 9 ayat 1
huruf d)
5 (Pasal 9 ayat 1 huruf e) penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi
seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah
tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK 83/PMK.03/2009)
6 jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan
(Pasal 9 ayat 1 huruf f)
7 (Pasal 9 ayat 1 huruf g) harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud
13
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP 18 Tahun 2009 dan SE-80/PJ/2010)
8 Pajak Penghasilan (Pasal 9 ayat 1 huruf h)
9 biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang
menjadi tanggungannya (Pasal 9 ayat 1 huruf i)
10 gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham (Pasal 9 ayat 1 huruf j)
11 sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan (Pasal 9 ayat 1 huruf k)
b. Biaya Yang Dapat Dikurangkan (Deductible)
No Jenis
1 Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha
(Pasal 6 ayat (1) huruf a), seperti:
a. biaya pembelian bahan
b. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus,
gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang
c. bunga, sewa, dan royalty
d. biaya perjalanan
e. biaya pengolahan limbah
f. premi asuransi
g. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan (PMK 02/PMK.03/2010 dan SE-9/PJ./2010)
h. biaya administrasi
i. pajak kecuali Pajak Penghasilan
2 penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran
untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A (ayat (1) huruf b)
3 iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan (Pasal 6 ayat
(1) huruf c)
14
4 kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan
atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (Pasal 6 ayat (1)
huruf d)
5 kerugian selisih kurs mata uang asing; (Pasal 6 ayat (1) huruf e)
6 biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia (Pasal 6 ayat (1) huruf
f)
7 biaya beasiswa, magang, dan pelatihan (Pasal 6 ayat (1) huruf g)
8 piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat
Jenderal Pajak; dan
3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah
yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah
dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur
bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih
debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k; yang pelaksanaannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK-57/PMK.03/2010); (Pasal
6 ayat (1) huruf h)
9 sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan PP
93 Tahun 2010 (Pasal 6 ayat (1) huruf i)
10 sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang
ketentuannya diatur dengan PP 93 Tahun 2010 (Pasal 6 ayat (1) huruf j)
11 biaya pembangunan infrastruktur sosialyang ketentuannya diatur dengan PP 93 Tahun 2010 (Pasal
6 ayat (1) huruf k)
12 sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 6
ayat (1) huruf l)
13 sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan PP 93 Tahun 2010
(Pasal 6 ayat (1) huruf m)
15
Contoh Soal Rekonsiliasi Fiskal:
PT Batang Sianok adalah perusahaan perdagangan di bidang bahan konstruksi. Pada Tahun 2013
melaporkan Laba-Rugi sebagai Berikut:
Penjualan : 5.000.000.000
Persediaan per 1 Jan 2013 500.000.000
Pembelian tahun 2013 3.250.000.000
Persediaan per 31 Des 2013 250.000.000
Harga Pokok Penjualan : (3.500.000.000)
Laba Kotor : 1.500.000.000
Pendapatan Lain-lain-Bunga Deposito : 10.000.000
Beban Usaha
Beban Gaji 300.000.000
Beban Air 50.000.000
Beban Listrik 100.000.000
Beban Perjalanan Dinas 35.000.000
Beban Telepon 20.000.000
Beban Hiburan 50.000.000
Tunjangan Makan 75.000.000
Sumbangan 50.000.000
PBB P-2 45.000.000
Denda STP SPT Tahunan ’11 1.000.000
Pajak Reklame 5.000.000
Beban Bensin Direksi 7.000.000
Biaya Depresiasi Gedung 100.000.000
Total Beban Usaha : (838.000.000)
Laba bersih : 672.000.000
Keterangan mengenai laporan laba rugi:
1. Beban gaji adalah total gaji dan THR kepada karyawan dan direksi
2. Beban perjalanan dinas terdiri dari ongkos jalan supir dan kurir sebesar 30 juta serta uang perjalanan
direksi klien bisnis perusahaan sebesar 5.000.000
3. Biaya telepon terdiri dari: 16.000.000 untuk tagihan telepon dan internet kantor, 4 juta untuk biaya pulsa
bagi direksi
16
4. Pada bulan September 2013, perusahaan mengikuti darmawisata ke Mentawai yang diikuti oleh seluruh
karyawan dengan rincian: biaya carter bis dan perahu: 10.000.000, biaya hotel: 20.000.000, biaya makan:
5.000.000 sementara sebesar 15.000.000 adalah biaya hiburan direksi ke Pekanbaru selama tahun 2013.
5. Tunjangan makan terdiri dari: tunjangan uang makan (dalam bentuk uang) kepada seluruh karyawan dan
direksi
6. Sumbangan sebesar 5.000.000 adalah sumbangan ke Koalisi Pemenangan Presiden Prabu Wow dan
Jokowow, dan 5.000.000 untuk sumbangan bencana letusan Gunung Sinabung yang tidak dikategorikan
bencana nasional, 20 juta untuk pembangunan masjid di sekitar kantor, 10 juta ke Yayasan Kasih Ibu yang
mengurusi bantuan kesehatan untuk masyarakat kurang mampu, 10 juta untuk GNOTA. GNOTA telah
ditetapkan oleh Menkeu sebagai lembaga yang boleh memperoleh bantuan keuangan.
7. Gedung diperoleh tahun 2005 dengan biaya perolehan 1.100.000.000 disusutkan dengan metode garis
lurus, masa manfaat sebesar 10 tahun dengan estimasi nilai sisa 100.000.000
Rekonsiliasi fiskal yang dibuat adalah sebagai berikut:
Jenis Menurut Laba
Rugi Komersil
Koreksi Menurut Laba
Rugi Fiskal
Keterangan
1 Penjualan 5.000.000.000 - 5.000.000.000
2 Harga
Pokok
Penjualan
(3.500.000.000) - (3.500.000.000)
3 Laba Kotor 1.500.000.000 1.500.000.000
4 Bunga
Deposito
10.000.000 (10.000.000) 0 Bunga deposito telah dipungut
pajak final PPh 4(2) sehingga
dikeluarkan dari perhitungan
5 gaji 300.000.000 - 300.000.000
6 air 50.000.000 - 50.000.000
7 listrik 100.000.000 - 100.000.000
8 Perjalanan
dinas
35.000.000 - 35.000.000
9 telepon 20.000.000 (2.000.000) 18.000.000 Biaya pulsa HP yang boleh
dibebankan adalah 50% dr Beban
Pulsa HP
10 hiburan 50.000.000 (15.000.000) 35.000.000 Hiburan boleh dibebankan adalah
hiburan yang dinikmati semua
pegawai
17
11 Tunjangan
makan
75.000.000 0 75.000.000 Tunjangan makan boleh
dibebankan jika diberikan dalam
bentuk uang
12 sumbangan 50.000.000 (40.000.000) 10.000.000 Sumbangan yang boleh dibebankan
adalah sumbangan untuk bencana
nasional berdasarkan aturan
pemerintah, atau organisasi yang
sudah ditetapkan oleh Menkeu
untuk memperoleh sumbangan
seperti BAZIS, dsb
13 PBB 45.000.000 - 45.000.000
14 STP 1.000.000 (1.000.000) 0 Pajak penghasilan termasuk STP
dan Ketetapannya tidak boleh
dibebankan
15 Pajak
Reklame
5.000.000 - 5.000.000
16 Bensin
Direksi
7.000.000 (7.000.000) 0 Karena fasilitas hanya diberikan
kepada karyawan tertentu saja dan
tidak berhubungan dengan
pekerjaan saja
17 Depresiasi 100.000.000 (50.000.000) 50.000.000 Menurut UU, bangunan memiliki
masa manfaat 20 tahun bukan 10
tahun
Total Beban
Usaha
(838.000.000) (723.000.000)
Laba (Rugi)
Bersih
672.000.000 777.000.000
E. PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI
1. WP OP Dalam Negeri
Dalam Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan diatur bahwa untuk tarif pajak Orang Pribadi digunakan
tarif berlapis. Susunan tarif tersebut adalah:
18
Lapisan Penghasilan Tarif
0 – 50.000.000 5%
50.000.000 – 250.000.000 15%
250.000.000 – 500.000.000 25%
>500.000.000 30%
a. Karyawan
Karyawan adalah orang yg bekerja pada suatu lembaga (kantor, perusahaan, dsb) dengan mendapat gaji
(upah). Sebagai pemberi kerja, perusahaan memiliki kewajiban untuk memotong dan menyetorkan pajak
penghasilan dari karyawannya kepada negara. Dalam Pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan diatur
bahwa Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama
dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib
dilakukan oleh
- pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai, dalam hal ini
termasuk di dalamnya upah harian, bonus akhir tahun, THR, dan Jaminan Keselamatan Kerja (JKK)
yang dibayarkan oleh perusahaan.
- bendahara pemerintah, atas gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
- dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apa
pun dalam rangka pensiun. Karena dana pensiun akan dipotong pajak penghasilannya ketika pegawai
bersangkutan menerima dana pensiun di hari tuanya nanti, iuran Jaminan Hari Tua (JHT) yang
ditanggung oleh pemberi kerja tidak dimasukkan sebagai komponen penambah penghasilan saat
perhitungan PPh pasal 21 oleh pemberi kerja. Sebaliknya apabila JHT dibayarkan sendiri oleh
karyawan, JHT akan mengurangi gaji dalam perhitungan pajak penghasilan PPh 21.
- badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.
- penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu
kegiatan.
*dalam bagian ini PKP adalah Penghasilan Kena Pajak, bukan Pengusaha Kena Pajak
Contoh-contoh perhitungan
1. Karyawan Tetap
1. Bu Ani, belum menikah, memiliki penghasilan selama tahun 2013 sebesar 90.000.000 dari
pekerjaannya sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta. Perusahaan membayarkan iuran JHT dan
JKK masing-masing sebesar 0,01% dan 0,03% dari gaji Bu Ani. Maka pajak penghasilannya adalah:
19
Gaji : 90.000.000
Ditambah: JKK, 0.03% x 90.000.000 : 27.000
Dikurangi: Biaya Jabatan (5% maks, 6.000.000) : (4.501.350)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) : (24.300.000)
Penghasilan Kena Pajak (PKP) : 61.228.350
Penghitungan Pajak:
Penghasilan Kena Pajak (PKP) = 61.228.350
Jika dipisah per lapisan penghasilan menjadi
Lapisan 0-50.000.000 (a) = 50.000.000
Lapisan 50.000.000-250.000.000 (b) = 11.228.350
Tarif pajaknya
Lapisan 0-50.000.000 = 5%x50.000.000 = 2.500.000
Lapisan 9.700.000 = 15%x11.228.350 = 1.684.050
Total PPh yang terutang Tahun 2013 = 4.184.050
Jadi jumlah total pajak penghasilan Bu Ani selama tahun 2013 adalah sebesar 4.184.050 rupiah. Perusahaan
menyetor PPh Pasal 21 sebesar 348.670 per bulan (4.184.050 dibagi 12 bulan).
2. Pak William karyawan sebuah perusahaan tambang minyak, memiliki istri dan dua orang anak.
Penghasilannya selama tahun 2013 adalah 800.000.000, Perusahaan membayarkan JHT dan JKK
masing-masing sebesar 0,01 dan 0,03 persen, Atas prestasinya di akhir tahun Pak William
mendapatkan bonus sebesar 100.000.000 maka pajak penghasilannya adalah
i. Perhitungan rutin (bulanan)
Gaji : 800.000.000
Ditambah JKK, 0.03% x 800.000.000 : 240.000
Dikurangi: Biaya Jabatan : (6.000.000)
Penghasilan tidak Kena Pajak (PTKP) : (28.350.000)
(24.300.000+2x2.025.000)
Penghasilan Kena Pajak (PKP) : 765.890.000
20
Penghitungan Pajak:
Penghasilan Kena Pajak (PKP) = 765.890.000
Jika dipisah per lapisan penghasilan menjadi
Lapisan 0-50.000.000 (a) = 50.000.000
Lapisan 50.000.000-250.000.000 (b) = 200.000.000
Lapisan 250.000.000-500.000.000 = 250.000.000
Lapisan >500.000.000 = 265.890.000
Tarif pajaknya
Lapisan 0-50.000.000 = 5%x50.000.000 = 2.500.000
Lapisan 50.000.000-250.000.000 = 15%x200.000.000 = 30.000.000
Lapisan 250.000.000-500.000.000 =25%x250.000.000 = 62.500.000
Lapisan >500.000.000 =30%x 265.890.000 = 79.767.000
Total PPh yang terutang Tahun 2013 = 170.767.000
ii. Perhitungan setelah bonus
Setiap bulannya, perusahaan akan memotong pajak penghasilan sebesar 14.230.583 (170.767.000 dibagi 12
bulan). Pada bulan ke-12 PPh 21 yang telah dibayarkan selama 11 bulan oleh perusahaan adalah =
14.230.583x11 = 156.536.416. Pada bulan kedua belas terdapat bonus yang tidak bisa diperhitungkan dari
awal tahun sehingga pada bulan kedua belas PPh dihitung ulang untuk menentukan kurang bayarnya.
Gaji : 800.000.000
Ditambah JKK, 0.03% x 800.000.000 : 240.000
Bonus : 100.000.000
Dikurangi: Biaya Jabatan : (6.000.000)
Penghasilan tidak Kena Pajak (PTKP) : (28.350.000)
(24.300.000+2x2.025.000)
Penghasilan Kena Pajak (PKP) : 865.890.000
Penghitungan Pajak:
Penghasilan Kena Pajak (PKP) = 865.890.000
Jika dipisah per lapisan penghasilan menjadi
Lapisan 0-50.000.000 (a) = 50.000.000
Lapisan 50.000.000-250.000.000 (b) = 200.000.000
21
Lapisan 250.000.000-500.000.000 = 250.000.000
Lapisan >500.000.000 = 365.890.000
Tarif pajaknya
Lapisan 0-50.000.000 = 5%x50.000.000 = 2.500.000
Lapisan 50.000.000-250.000.000 = 15%x200.000.000 = 30.000.000
Lapisan 250.000.000-500.000.000 =25%x250.000.000 = 62.500.000
Lapisan >500.000.000 =30%x 365.890.000 = 109.767.000
Total PPh yang terutang Tahun 2013 seharusnya = 204.767.000
Kurang bayar PPh Pasal 21 = 204.767.000 - 156.536.416 = 48.230.584
Jadi pada bulan kedua belas terdapat kurang bayar sebesar 48.230.584.
Dari perhitungan tersebut dapat diketahui bahwa PPh atas bonus sebesar 100.000.000 yang diterima Pak
William adalah sebesar 204.767.000-170.767.000 = 34.000.000
22
2. Pekerja Harian
Pajak penghasilan kepada pekerja lepas dan buruh harian dikenakan apabila memenuhi syarat:
- jumlah penghasilan bruto sehari yang melebihi Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah); atau
- jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya, dalam hal jumlah penghasilan kumulatif
dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah),
kurang dari 7.000.000
Jumlah penghasilan Perhitungan PPh
21
Keterangan
Kurang dari 200.000 per hari,
upah kumulatif selama bulan
kalender tidak lebih dari
2.025.000
Tidak ada Jumlah penghasilan di bawah PTKP
harian
Kurang dari 200.000 per hari,
upah kumulatif selama bulan
kalender antara 2.025.000 s.d.
7.000.000
5% x Penghasilan
Kena Pajak (PKP)
PTKP= (24.300.000/360)xjumlah hari
kerja, jadi
PKP= Total penghasilan kotor-
((24.300.000/360)xjumlah hari kerja)
Lebih dari 200.000 per hari, upah
kumulatif selama bulan kalender
tidak lebih dari 2.025.000
5% x Penghasilan
Kena Pajak (PKP)
Per Hari
PTKP Per hari = 200.000, jadi
PKP Per Hari = Penghasilan Kotor Per
Hari – 200.000
Lebih dari 200.000 per hari, upah
kumulatif selama bulan kalender
antara 2.025.000 s.d. 7.000.000
5% x Penghasilan
Kena Pajak (PKP)
PTKP= (24.300.000/360)xjumlah hari
kerja, jadi
PKP= Total penghasilan kotor-
((24.300.000/360)xjumlah hari kerja)
Upah kumulatif lebih dari
7.000.000 dalam satu bulan
kalender
Menggunakan
Lapisan Tarif PPh
Pasal 17
PKP= (Total penghasilan kotor
disetahunkan – PTKP Tahunan)/12
Contoh
1. Ibu Marni bekerja kepada PT Maju untuk memperbaiki taman dan saluran air di kantor PT Maju. Ibu
Marni bekerja selama tiga hari dengan penghasilan dibayar harian sebesar 350.000. Maka perhitungan
pajaknya:
Penghasilan Kotor per hari = 350.000
PTKP Per hari = 200.000
PKP = 150.000
PPh 21= 5% x 150.000 = 7.500
23
2. Bapak Juki, belum kawin bekerja memangkas rumput di lapangan dan taman milik PT Angkasa Raya.
Upah dibayar harian sebesar 150.000 selama 28 hari dimulai tanggal 2 April s.d. 29 April. Maka pajak
penghasilannya adalah
Penghasilan Kotor per hari = 150.000 (dibawah PTKP harian)
Penghasilan Kotor per bulan = 28 x 150.000 = 4.200.000 (diatas PTKP bulanan)
Digunakan PTKP Harian sebenarnya,
PTKP = 24.300.000/360 x 28 hari = 1.890.000
PKP = 2.310.000
PPh yang harus dipotong= 5%x2.310.000 = 115.500
3. Bapak Somad bekerja sebagai pekerja harian di PT Maju dengan upah 300.000 per hari selama 10 hari.
Maka pajak penghasilannya
Penghasilan Kotor per hari = 300.000
PTKP Per hari = 200.000
PKP = 100.000
PPh 21= 5% x 100.000 = 5.000
Dari hari 1 sampe 6, upah kumulatif masih dibawah PTKP bulanan, sehingga pajak yang dipotong
adalah 5.000 per hari
Ketika hari ketujuh, penghasilan kumulatif sudah diatas PTKP bulanan sehingga perhitungannya
menggunakan PTKP harian sebenarnya:
Upah 7 hari kerja (7x300.000) = 2.100.000
PTKP: 7x 24.300.000/360 =472.000
PKP = 1.627.000
PPh Pasal 21 = 5% x 1627.500 = 81.375
PPh 21 yang telah dipotong(5.000x6) = 30.000
PPh 21 yang harus dipotong pada = 51.375
Hari ketujuh
Setelah hari ketujuh, hari 8,9, dan 10 dihitung menggunakan PTKP harian sebenarnya:
Penghasilan Kotor per hari = 300.000
PTKP Per hari (24.300.000/360) = 67.500
PKP = 232.500
PPh 21= 5% x 232.500 = 11.625
24
3. Pegawai Tidak Tetap
Untuk pegawai tidak tetap berlaku ketentuan:
Sifat Penggajian Jumlah
Pemberi Kerja
Perhitungan Keterangan
Berkelanjutan Hanya satu DPP=50%xpenghasilan bruto
PKP = DPP – PTKP
Perhitungan Pajak:
Lapisan Tarif Pasal 17xPKP
DPP=dasar pengenaan
pajak
PTKP = penghasilan
tidak kena pajak, sesuai
dengan Pasal 17, sebesar
24.300.000 per tahun dan
tambahannya 2.025.000
Lebih dari satu DPP=50%xpenghasilan bruto
PKP=DPP
Perhitungan pajak:
Lapisan Tarif Pasal 17xPKP
Tidak
Berkelanjutan
Tidak dijadikan
acuan
DPP=50%xpenghasilan bruto
PKP=DPP
Perhitungan pajak:
Lapisan Tarif Pasal 17xPKP
Contoh:
dr. Abdul Gopar, Sp.JP merupakan dokter spesialis jantung yang melakukan praktik di Rumah Sakit
Harapan Jantung Sehat dengan perjanjian bahwa atas setiap jasa dokter yang dibayarkan oleh pasien akan
dipotong 20% oleh pihak rumah sakit sebagai bagian penghasilan rumah sakit dan sisanya sebesar 80% dari
jasa dokter tersebut akan dibayarkan kepada dr. Abdul Gopar,S p.JP pada setiap akhir bulan. Selain praktik
di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat dr. Abdul Gopar,S p.JP juga melakukan praktik sendiri di klinik
pribadinya dr .Abdul Gopar, Sp.JP telah memiliki NPWP dan pada tahun 2009, jasa dokter yang dibayarkan
pasien dari praktik dr. Abdul Gopar, Sp.JP di Rumah Sakit Harapan Jantung
Sehat adalah sebagai berikut
Bulan (Tahun 2013) Jumlah Pembayaran oleh Pasien
Januari 45.000.000
Februari 49,000,000 Maret 47.000.000
April 40,000,000
Mei 44.000.000 Juni 52.000.000
Juli 40.000.000 Agustus 35.000.000
September 45.000.000 Oktober 44.000.000
25
November 43.000.000 Desember 40.000.000
Jumlah 524.000.000
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk masa Januari sampai dengan Desember
26
Penghitungan PPh nya:
b. Pekerjaan Bebas
Sesuai dengan PP 46 Tahun 2013, WP OP yang melakukan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah
omset per tahun tidak lebih dari 4,8 milyar dikenai pajak penghasilan final pasal 4(2) sebesar satu persen
dari omzet/penghasilan bruto. Namun, tidak semua WP OP yang melakukan pekerjaan bebas dikenai aturan
ini. WP OP yang dikecualikan tersebut adalah:
tenaga ahli (terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris, pekerja
seni ( terdiri dari: pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari),
olahragawan, pembicara (terdiri dari: penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator),
27
pengarang, peneliti, dan penerjemah, agen iklan, pengawas atau pengelola proyek, perantara(makelar),
petugas penjaja barang dagangan, agen asuransi, distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel
marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya dan dan pedagang dengan
sistem bongkar pasang / berpindah atau menggunakan sebagian atau seluruh tempat usahanya untuk
kepentingan umum. WP yang dikecualikan tersebut memakai aturan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
(NPPN) dan tidak wajib melakukan pembukuan tetapi boleh menggunakan pencatatan.
Jenis WP OP Tarif Keterangan
WP OP melakukan pekerjaan bebas
termasuk kriteria WP Tertentu PP
46 Tahun 2013
1% x omzet Boleh memilih pencatatan atau
pembukuan
WP OP omset kurang dari 4,8M
dikecualikan dari PP 46 Tahun
2013
Penghasilan Neto =
Penghasilan bruto x NPPN
PKP = Penghasilan Neto-
PTKP
Penghitungan pajak terutang
menggunakan lapisan
penghasilan pasal 17
Zakat wajib hanya boleh
mengurangi penghasilan jika
disalurkan melalui badan zakat
yang ditunjuk oleh Menkeu
Boleh memilih pencatatan atau
pembukuan
WP OP melakukan pekerjaan bebas
omset lebih dari 4,8 M
PKP= Laba Usaha-PTKP
Penghitungan pajak terutang
menggunakan lapisan
penghasilan pasal 17
Zakat wajib hanya boleh
mengurangi penghasilan jika
disalurkan melalui badan zakat
yang ditunjuk oleh Menkeu
Harus melakukan pembukuan
28
Contoh:
Wajib Pajak A tidak kawin. Ia seorang dokter bertempat tinggal di Jakarta . Penerimaan bruto sebagai
dokter (setahun) di Jakarta Rp. 100.000.000,-
Penghasilan neto dihitung sebagai berikut:
Sebagai dokter :45% X Rp. 100.000.000,- = Rp. 45.000.000,-
Jumlah penghasilan Neto = Rp. 45.000.000,-
Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak=
Rp. 45.000.000,-- Rp. 24.300.000,- = Rp. 20.700.000,-
Pajak penghasilan yang terutang = 5% X Rp. 20.700.000,- = Rp1.035.000,-
45 % adalah norma penghitungan dokter di Jakarta
2. WP OP dan Badan Luar Negeri
Yang dimaksud Subjek Pajak luar negeri adalah Wajib Pajak yang:
- Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui BUT di Indonesia.
- Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh panghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Perlakuan Pajak bagi Subjek Pajak Luar Negeri:
1. Dasar pengenaan PPh Pasal 26 adalah dari jumlah penghasilan bruto.
2. Dikenakan tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), dalam hal orang pribadi yang menerima penghasilan
adalah subjek pajak dalam negeri dari negara yang telah mempunyai P3B dengan Indonesia.
Contoh:
Russel Frederiksen adalah pegawai asing yang berada di Indonesia kurang dari 183 hari. Dia berstatus
menikah dan mempunyai 2 orang anak. la memperoleh gaji pada bulan Maret 2013 sebesar US$2,500
sebulan. Kurs Menteri Keuangan pada saat pemotongan adalah Rp11.500,00 untuk US$ 1.00.
29
Penghitungan PPh Pasal 26:
Penghasilan bruto berupa gaji sebulan adalah:
US$2,500 x Rp11.500,00 = Rp28.750.000,00
PPh Pasal 26 terutang adalah: 20% x Rp28.750.000,00 = Rp5.750.000,00 (final)
F. PAJAK PENGHASILAN BADAN
Setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, pengusaha kecil dengan peredaran usaha
kurang dari 4,8 Milyar dikenai pajak penghasilan sebesar 1% dari omzet kecuali beberapa Wajib pajak
tertentu yang dikecualikan. Sehingga tarif pajak penghasilan badan menjadi:
Omset Tarif Keterangan
0-4.800.000.000 1% x omzet Untuk WP tertentu baik Orang Pribadi maupun
Badan, bersifat final
50% x 25% x laba
(mendapat fasilitas
pengurangan sebesar
50%)
Umumnya tidak berlaku lagi dengan adanya PP 46
Tahun 2013
4.800.000.000-
50.000.000.000
- Fasilitas 50%x25%
untuk sebagian Laba,
- Tarif 25% untuk
laba sisanya
Perhitungan:
Yang mendapat fasilitas= (4,8M/omzet)xlaba
Yang tidak mendapat fasilitas= laba sisanya setelah
dikurangi yang mendapat fasilitas
>50.000.000.000 25% x Laba Tidak mendapat fasilitas pengurangan sebesar 50%
Contoh Perhitungan:
PT ABC memiliki peredaran usaha sebesar 9,6 milyar selama tahun 2013. Laba PT ABC tercatat sebesar
300.000.000. Maka perhitungan pajaknya adalah:
Karena omzet PT ABC sebesar 14.4 Milyar maka sebagian laba PT ABC mendapat fasilitas pengurangan
sebesar 50%, sementara sisanyatidak mendapat fasilitas pengurangan.
Yang mendapat fasilitas = 4,8𝑚𝑖𝑙𝑦𝑎𝑟
14.4𝑚𝑖𝑙𝑦𝑎𝑟× 300.000.000 = 100.000.000
Yang tidak mendapat fasilitas = 300.000.000-100.000.000 = 200.000.000
Perhitungan pajaknya;
Yang mendapat fasilitas = 100.000.000 x 25% x 50% = 12.500.000
Yang tidak mendapat fasilitas = 200.000.000 x 25% = 50.000.000
Pajak Penghasilan Badan PT ABC = 62.500.000
30
G. PAJAK PENGHASILAN FINAL PASAL 4 AYAT 2
Pajak penghasilan Final adalah pajak penghasilan yang mekanisme pemotongannya dianggap telah selesai
pada saat telah dipotong pajaknya. Pajak penghasilan final dipisahkan dari perhitungan PPh tidak final.
Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan, Pajak final dapat dilihat pada pasal 4 ayat 2 dan pasal 26 (untuk
WP Luar Negeri)
1. PPh Final Pasal 4(2) Selain WP Kriteria Tertentu
Berikut ini adalah tabel PPh final pasal 4(2)
No Uraian Tarif x DPP Dasar Hukum
1 Sewa tanah dan/ atau
bangunan.
10% x jumlah bruto nilai persewaan
tanah dan/ atau bangunan
Sejak 1 Mei 2002
PP 5/2002, KEP
227/PJ/2002
2 Pengalihan hak atas tanah
dan/ atau bangunan.
5% x jumlah bruto nilai pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan.
Rumah Sederhana dan Rumah
Susun Sederhana dikenakan= 1% x
jumlah bruto nilai pengalihan
Sejak 1 Januari 2009
PP 48/1994 Jo. PP
71/2008
PMK243/PMK.03/2008
SE06/PJ.03/2008
PER 30/PJ/2009
3 Jasa Konstruksi Pelaksanaan Konstruksi:
2%: kualifikasi usaha kecil
4%: tidak punya kualifikasi;
3%: kualifikasi selain kecil
(menengah & besar)
Perencanaan/Pengawasan
Konstruksi:
4%: punya kualifikasi usaha;
6%: tidak punya kualifikasi
usaha.
Sejak 1 Januari 2008
PP 51 tahun 2008 Jo PP
40 tahun 2009
31
4 Penjualan saham di Bursa
Efek
selain IPO= 0,1% x jmlh bruto nilai
transaksi penjualan
IPO=((0,5 % x nilai saham) + (0,1 %
x jmlh bruto nilai transaksi
penjualan))
IPO(Initial Public Offering)
Sejak 29 Mei 1997
PP 41/1994 Jo. PP
14/1997
KMK282/KMK.04/1997
5
SUN
(Surat
Utang
Negara)
terdiri
dari:
Penghasilan Bunga/
Diskonto Obligasi
Yg dimaksud dengan
Obligasi disini adalah
Surat Utang dan Surat
Utang Negara (SUN)
yang berjangka waktu
>12 bulan (lebih dari
12 bulan).
Utk SBSN dengan jgk
wkt >12 bulan (lebih
dari 12 bln) juga
mengikuti ketentuan
seperti Obligasi
Negara.
Dikecualikan dari
pemotongan PPh Pasal
4(2) jika:
penerima adalah
WP Dana Pensiun
yang telah disahkan
oleh MenKeu;
Utk WPDN dan BUT:
15% x jmlh bruto bunga/diskonto
Utk WPLN selain BUT:
20% x jmlh bruto bunga/diskonto
atau sesuai tarif P3B
Untuk WP Reksadana yg terdaftar
di BAPEPAM-LK:
0% x jlmh bruto (thn 2009-2010)
5% x jmlh bruto (thn 2011-2013)
15% x jmlh bruto (thn 2014- dst)
ketentuan berlaku sejak 1
Januari 2009
PP 16 tahun 2009
PMK 85/PMK.03/2011
32
WP Bank yang
didirikan di
Indonesia, atau
cabang bank luar
negeri di Indonesia.
6 Surat Perbendaharaan
Negara (SPN)= SUN
berjangka waktu
paling lama 12 bulan.
20% x diskonto SPN ketentuan
berlaku sejak 4 April 2008
(yg dikecualikan dari pemotongan:
bank yg didirikan di Indonesia atau
cabang bank LN di Indonesia, Dana
Pensiun, Reksadana yg terdaftar di
BAPEPAM-LK)
PP 27 tahun 2008
PMK 63/PMK.03/2008
PER 18/PJ/2008
7 Deviden yang dibagikan
kepada OP
10% x jmlh bruto deviden
sejak 1 Januari 2009
Pasal 17 ayat (2c) UU 36
tahun 2008
PP 19 tahun 2009
8
Bunga Simpanan Koperasi
yang dibayarkan kepada
anggota koperasi orang
pribadi
0% atas bunga simpanan koperasi
sampai dengan Rp 240.000
10% x Jmlh bruto (utk bunga
simpanan diatas Rp 240.000
sebulan.)
sejak 1 Januari 2009
PP 15 tahun 2009
9 Pendapatan bunga deposito
dan tabungan serta Sertifikat
Bank Indonesia (SBI)
Untuk WPDN & BUT:
20% x jmlh bruto bunga
Untuk WPLN:
20% x jmlh bruto bunga atau sesuai
P3B
sejak 1 Januari 2001
PP 131 tahun 2000
33
dikecualikan dari pemotongan:
jumlah tidak melebihi Rp 7,5 juta
jika penerima: bank yg didirikan di
Indonesia atau cabang bank LN di
Indonesia.
jika penerima:Dana Pensiun yg
telah disahkan Menteri Keuangan.
bunga tabungan pada bank yang
ditunjuk Pemerintah dlm rangka
pemilikan Rumah Sederhana, dsb.
10 Hadiah Undian 25% x jmlh bruto nilai hadiah
sejak 1 Januari 2001
PP 132 tahun 2000
KEP 395/PJ/2001
SE 19/PJ.43/2001
11
Penjualan saham milik Modal
Ventura
0,1% x jmlh bruto nilai transaksi
sejak 8 Februari 1995
Jika saham diperjualbelikan di Bursa
Efek, maka berlaku ketentuan tentang
penjualan saham di Bursa Efek.
PP 4 tahun 1995
KMK 250/KMK.04/1995
2. Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterlma Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentun (Pajak Penghasilan 4 ayat 2)
Sejak Juli Tahun 2013 diperlakukan peraturan baru yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 yang
dan petunjuk pelaksanaannya dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang pajak
penghasilan final bagi wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
Yang dimaksud dengan Wajib Pajak dengan penghasilan bruto tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi
atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap yang menerima penghasilan dari usaha, tidak
termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Perhitungan pajak
penghasilan atas wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah sebesar 1% dari peredaran bruto
34
usaha. Wajib Pajak dengan peredaran bruto kurang dari 4,8 milyar setahun yang dikecualikan dari
ketentuan ini antara lain: jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas Yitu: tenaga ahli (terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris, pekerja seni ( terdiri dari: pemain musik,
pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto
model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari), olahragawan, pembicara (terdiri dari: penasihat,
pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator), pengarang, peneliti, dan penerjemah, agen iklan,
pengawas atau pengelola proyek, perantara(makelar), petugas penjaja barang dagangan, agen asuransi,
distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling)
dan kegiatan sejenis lainnya dan pedagang dengan sistem bongkar pasang / berpindah atau menggunakan
sebagian atau seluruh tempat usahanya untuk kepentingan umum. Kepada Wajib Pajak yang masuk kriteria
WP Tertentu ini berlaku tarif pajak 1% dari omzet bersifat final dan dibebaskan dari
pemotongan/pemungutan pajak penghasilan oleh pihak lain. Pembebasan ini dilakukan dengan
menggunakan Surat Keterangan bebas yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak.
H. PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh:
1. Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga 34ariff
lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang;
2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang
impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
3. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
1. PPh Pasal 22 Bendaharawan
Yaitu PPh yang dipungut atas transaksi pembelian barang oleh instansi pemerintah
Yang ditunjuk sebagai Pemungut PPh Pasal 22 Bendaharawan adalah bendahara pemerintah dan Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi
atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga 34ariff lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas
pembelian barang; (Pasal 1 ayat (1) huruf b PMK-224/PMK.011/2012)
1. bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan
mekanisme uang persediaan (UP); (Pasal 1 ayat (1) huruf c PMK-224/PMK.011/2012)
35
2. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi
delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS). (Pasal 1
ayat (1) huruf d PMK-224/PMK.011/2012)
Tarif
o PPh Pasal 22 Bendaharawan = 1,5% x Harga Pembelian tidak termasuk PPN
o Pemungutan PPh Pasal 22 ini bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran PPh
dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut.
o Besarnya pungutan PPh Pasal 22 yang diterapkan terhadap WP yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi
100% (seratus persen) daripada tariff yang diterapkan terhadap WP yang dapat menunjukkan NPWP.
Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22 oleh Bendaharawan
No Jenis
1 Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00
(dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah (Pasal 3 ayat (1) huruf e
PMK-224/PMK.011/2012)
Pengecualian ini dilakukan tanpa SKB
2 pembayaran untuk:
1. pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos;
2. pemakaian air dan listrik.
(Pasal 3 ayat (1) huruf e PMK-224/PMK.011/2012)
Pengecualian ini dilakukan tanpa SKB.
3 Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) (Pasal 3 ayat (1) huruf g PMK-224/PMK.011/2012)
Pengecualian ini dilakukan tanpa SKB.
4 Pembayaran yang diterima karena penyerahan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan dalam
rangka pelaksanaan proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah luar negeri
5 Pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik
(BULOG); Pengecualian ini dilakukan tanpa SKB.
6 pembayaran untuk pembelian minyak bumi, gas bumi, dan/ atau produk sampingan dari kegiatan
usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi yang dihasilkan di Indonesia dari:
3. kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama; atau
4. kantor pusat kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama;
(Pasal 3 ayat (1) huruf e angka 4 PMK-146/PMK.011/2013)
36
o Ketentuan ini berlaku sejak ditetapkannya BUMN sebagai pemungut PPN (yaitu sejak sejak 24
Februari 2013) (Pasal 10A PMK-146/PMK.011/2013) Pengecualian ini dilakukan tanpa SKB.
7 pembayaran untuk pembelian panas bumi atau listrik hasil pengusahaan panas bumi dari Wajib
Pajak yang menjalankan usaha di bidang usaha panas bumi berdasarkan kontrak kerja sama
pengusahaan sumber daya panas bumi (Pasal 3 ayat (1) huruf e angka 5 PMK-146/PMK.011/2013)
Ketentuan ini berlaku sejak ditetapkannya BUMN sebagai pemungut PPN (yaitu sejak sejak 24
Februari 2013) (Pasal 10A PMK-146/PMK.011/2013)
Pengecualian ini dilakukan tanpa SKB.
2. PPh Pasal 22 Atas Impor
Pemungut PPh Pasal 22 atas impor barang adalah Bank Devisa dan DJBC. (Pasal 1 ayat (1) huruf a PMK-
224/PMK.011/2012)
Besarnya pungutan PPh Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut : (Pasal 2 ayat (1) huruf a PMK-
175/PMK.011/2013)
1. barang-barang tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran PMK-175/PMK.011/2013,
sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;
2. selain barang-barang tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 1, yang menggunakan Angka
Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor, kecuali atas impor
kedelai, gandum, dan tepung terigu sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai impor;
3. selain barang-barang tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 1, yang tidak menggunakan
Angka Pengenal Impor (API), sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor; dan/atau
4. yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost, Insurance,
and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan pabean di bidang impor. Pemungutan PPh Pasal 22 ini bersifat
tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran PPh dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang
dipungut. Besarnya pungutan PPh Pasal 22 yang diterapkan terhadap WP yang tidak memiliki NPWP lebih
tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap WP yang dapat menunjukkan NPWP.
Ketentuan pengenaan tarif yang lebih tinggi 100% ini berlaku untuk pemungutan PPh Pasal 22 yang bersifat
tidak final.
37
Impor yang dikecualikan dari pemungutan pph pasal 22
Impor yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 adalah : (Pasal 3 PMK-224/PMK.011/2012)
a. Impor barang atau penyerahan barang di dalam negeri yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan tidak terutang PPh. (Pasal 3 ayat (1) huruf a PMK-224/PMK.011/2012)
b. Impor barang yang dibebaskan dari bea masuk dan atau PPN. (Pasal 3 ayat (1) huruf b PMK-
146/PMK.011/2013). barang tersebut yaitu : (Pasal 3 ayat (1) huruf b PMK-146/PMK.011/2013)
1. Barang perwakilan negara asing dan para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas
timbal balik.
2. Barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan
tidak memegang paspor Indonesia yang diakui dan terdaftar dalam peraturan menteri keuangan
yang mengatur tentang tata cara pemberian pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang
untuk keperluan badan internasional beserta para pejabatanya yang bertugas di Indonesia;
3. Barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan atau untuk
kepentingan penanggulangan bencana ;
4. Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam, dan tempat lain semacam itu
yang terbuka untuk umum.
5. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
6. Barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang cacat lainnya.
7. Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah.
8. Barang pindahan.
9. Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkutan, pelintas batas, dan barang kiriman sampai
batas jumlah tertentu sesuai ketentuan perundang-undangan kepabeanan.
10. Barang yang diimpor oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditunjukan untuk
kepentingan umum.
11. Persenjataan, amunisi, perlengkapan militer, termasuk suku cadang untuk keperluan pertahanan
dan keamanan negara.
12. Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan
keamanan negara.
13. Vaksin polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN).
14. buku ilmu pengetahuan dan teknologi, buku pelajaran umum, kitab suci, buku pelajaran agama,
dan buku ilmu pengetahuan lainnya;
15. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal angkutan penyeberangan, kapal
pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat
keselamatan pelayanan atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh
Perusahaan Pelayanan Niaga Nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional, Perusahaan
38
Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai,
Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;
16. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan
manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh
Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan pesawat udara yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan
Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pcmberian jasa perawatan atau reparasi
pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga nasional;
17. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana
yang dimpor dan digunakan oleh PT. Kereta Api Indonesia, dan komponen atau bahan yang
diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero), yang digunakan untuk
pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan atau pemelibaraan, serta prasarana
yang akan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero);
18. peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Kementerian Pertahanan atau TNI untuk
penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan untuk
rnendukung pertahanan Nasional, yang diimpor oleh Kernenterian Pertahanan, TNl atau pihak
yang ditunjuk oleh Kernenterian Pertahanan atau TNT; dan/atau
19. barang untuk kegiatan hulu Minyak dan Gas Bumi yang importasinya dilakukan oleh Kontraktor
Kontrak Kerja Sama (termasuk barang yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 sejak
berlakunya PMK-154/PMK.03/2010 yaitu 31 Agustus 2010)
Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali
(Pasal 3 ayat (1) huruf c PMK-224/PMK.011/2012)
impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk
tujuan ekspor (Pasal 3 ayat (1) huruf f PMK-224/PMK.011/2012) dan (Pasal 3A ayat (1) PER-
15/PJ/2011)
Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor
kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan,
pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan Dirjen Bea dan Cukai (Pasal 3
ayat (1) huruf d PMK-224/PMK.011/2012)
Atas impor barang berupa mesin dan peralatan, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas,
tidak termasuk suku cadang, yang diperlukan oleh pengusaha di bidang pemanfaatan Sumber Energi
Terbarukan dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 impor. (Pasal 4 ayat (1) PMK-
21/PMK.011/2010)
39
3. PPh Pasal 22 Atas BUMN
Pemungut PPh Pasal 22 adalah BUMN yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan, yang meliputi:
1. PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero)
Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT
Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero)
Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero); dan
2. Bank-bank Badan Usaha Milik Negara,
berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan
usahanya.
Tarif
o PPh Pasal 22 = 1,5% x Harga Pembelian tidak termasuk PPN (Pasal 2 ayat (1) huruf b PMK-
175/PMK.011/2013)
o Pemungutan PPh Pasal 22 ini bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran PPh
dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut. (Pasal 9 ayat (1) huruf a PMK-
224/PMK.011/2012)
o Besarnya pungutan PPh Pasal 22 yang diterapkan terhadap WP yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi
100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap WP yang dapat menunjukkan NPWP.
(Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 36 TAHUN 2008) dan (Pasal 2 ayat (3) PMK-175/PMK.011/2013)
Pengecualian pemungutan PPh pasal 22 BUMN
Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 yaitu Pembayaran yang dilakukan oleh
pemungut pajak berkenaan dengan: (Pasal 3 ayat (1) huruf e PMK-224/PMK.011/2012)
a. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
b. pembayaran untuk:
1. pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos;
2. pemakaian air dan listrik.
40
c. berlaku sejak ditetapkannya BUMN sebagai pemungut PPN (yaitu sejak sejak 24 Februari 2013)
Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 yaitu Pembayaran yang dilakukan oleh
pemungut pajak berkenaan dengan :
1. pembayaran untuk pembelian minyak bumi, gas bumi, dan/ atau produk sampingan dari kegiatan
usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi yang dihasilkan di Indonesia dari: (Pasal 3 ayat (1)
huruf e angka 4 PMK-146/PMK.011/2013)
a. kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama; atau
b. kantor pusat kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak
kerja sama;
2. pembayaran untuk pembelian panas bumi atau listrik hasil pengusahaan panas bumi dari Wajib
Pajak yang menjalankan usaha di bidang usaha panas bumi berdasarkan kontrak kerja sama
pengusahaan sumber daya panas bumi ; (Pasal 3 ayat (1) huruf e angka 5 PMK-
146/PMK.011/2013)
4. PPh Pasal 22 Produsen Atau Importir Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Dan Pelumas
Yaitu Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan bahan
bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas
Tarif :
Besarnya pungutan PPh Pasal 22 ditetapkan atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pelumas oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas adalah sebagai
berikut: (Pasal 2 ayat (1) huruf C PMK-175/PMK.011/2013)
1. Bahan Bakar Minyak
Jenis Produk Tarif untuk penjualan kepada : Dasar Pengenaan Pajak
SPBU Pertamina SPBU Bukan
Pertamina atau pihak
selain SPBU
bahan bakar minyak 0,25 % 0,30 % Penjualan tidak termasuk
PPN
2. bahan bakar gas sebesar 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN;
3. pelumas sebesar 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN.
4.
41
Pemungutan PPh Pasal 22 oleh Pemungut Pajak atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas
kepada (Pasal 9 ayat (2) PMK-224/PMK.011/2012) :
1. penyalur/agen bersifat final;
2. selain penyalur/agen bersifat tidak final
Besarnya tarif pemungutan yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP adalah lebih
tinggi 100% daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP, dan
pengenaan tarif pajak lebih tinggi 100% ini hanya dikenakan terhadap objek PPh Pasal 22 yang bersifat
tidak final (Pasal 2 ayat (3) PMK-175/PMK.011/2013)
5. PPh Pasal 22 Industri Tertentu
Termasuk Pemungut PPh Pasal 22 yaitu :
1. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri
otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri
(Pasal 1 ayat (1) huruf f PMK-224/PMK.011/2012)
Distributor adalah pedagang, yang meliputi badan atau orang pribadi, yang melakukan pembelian
dari produsen secara langsung untuk dijual dan/atau dipasarkan kembali. (Pasal 2 PER-
06/PJ/2013)
Penunjukan pemungut PPh Pasal 22 ini dilakukan tanpa penerbitan surat keputusan Kepala KPP.
(Pasal 3 PER-06/PJ/2013)
Terhadap pemungut PPh Pasal 22 yang telah diterbitkan surat keputusan penunjukan pemungut
PPh Pasal 22, pemungut pajak tersebut tetap melakukan pemungutan PPh Pasal 22 (Pasal 6A
PER-06/PJ/2013)
Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja adalah industri baja yang merupakan
industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir.
(Pasal 1 ayat (2) PMK-224/PMK.011/2012)
42
Tarif :
No Jenis Industri Tarif PPh Pasal
22
Sifat Dasar Hukum (sejak 10
Desember 2010 s/d sekarang)
1 penjualan baja 0,3 % x DPP PPN Tidak Final PER-57/PJ/2010
2 penjualan semua jenis
kendaraan bermotor beroda dua
atau lebih
0,45 % x DPP
PPN
Tidak Final PER-57/PJ/2010
3 penjualan semua jenis semen 0,25 % x DPP
PPN
Tidak Final PER-57/PJ/2010
4 penjualan kertas 0,1 % x DPP PPN Tidak Final PER-57/PJ/2010
5 penjualan semua jenis obat 0,3% x DPP PPN Tidak Final Ketentuan ini baru ada sejak
24 Februari 2013 (Pasal 2
ayat (1) huruf d PMK-
224/PMK.011/2012)
1. Besarnya pungutan PPh Pasal 22 ditetapkan atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam
negeri oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja,
industri otomotif, dan industri farmasi:
2. Besarnya pungutan PPh Pasal 22 ditetapkan atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh
Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum
kendaraan bermotor sebesar 0,45% dari DPP PPN (tidak final). (Pasal 2 ayat (1) huruf e PMK-
175/PMK.011/2013) Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri; Terhadap
pemungut PPh Pasal 22 yang telah diterbitkan surat keputusan penunjukan pemungut PPh Pasal 22,
pemungut pajak tersebut tetap melakukan pemungutan PPh Pasal 22 (Pasal 6A PER-06/PJ/2013)
Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah atas Penjualan kendaraan bermotor di
dalam negeri yang dilakukan oleh industri otomotif, Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen
Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, yang telah dikenai pemungutan PPh
berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf c UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh stdtd UU Nomor 36
Tahun 2008 dan peraturan pelaksanaannya. (Pasal 3 ayat (1) huruf h PMK-146/PMK.011/2013 (berlaku
sejak 4 November 2013))
Pemungutan PPh Pasal 22 ini bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran PPh dalam
tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut. (Pasal 9 ayat (1) huruf e PMK-224/PMK.011/2012)
43
Besarnya tarif pemungutan yang diterapkan terhadap WP yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 100%
(seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap WP yang dapat menunjukkan NPWP. (Pasal 2 ayat
(3) PMK-175/PMK.011/2013)
6. PPh Pasal 22 Pedagang Pengumpul
Pemungut PPh Pasal 22 adalah Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk
keperluan industrinya atau ekspornya. (Pasal 1 ayat (1) huruf i PMK-224/PMK.011/2012)
Pedagang pengumpul adalah badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya:
1. mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan; dan
2. menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor
kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.
Tarif:
o Besarnya pungutan PPh Pasal 22 ditetapkan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau
ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan, sebesar 0,25% dari harga pembelian tidak termasuk PPN. (Pasal
2 ayat (1) huruf f PMK-175/PMK.011/2013)
o Pemungutan PPhn Pasal 22 ini bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran PPh
dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut. (Pasal 9 ayat (1) huruf f PMK-
224/PMK.011/2012)
o Besarnya tarif pemungutan yang diterapkan terhadap WP yang tidak memiliki NPWP adalah lebih
tinggi 100% daripada tarif yang diterapkan terhadap WP yang dapat menunjukkan NPWP (Pasal 2 ayat
3 PMK-175/PMK.011/2013).
44
7. PPh Pasal 22 Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah
Pemungut :
Wajib Pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Tarif: 5% x Harga Jual (tidak termasuk PPN dan PPnBM)
Barang yang tergolong sangat mewah yang dikenakan pph pasal 22:
No Jenis Barang Harga Jual atau Harga Pengalihan
1 Pesawat udara pribadi lebih dari Rp 20.000.000.000,00 (Dua puluh
milyar rupiah)
2 Kapal pesiar dan sejenisnya lebih dari Rp 10.000.000.000,00 (Sepuluh
milyar rupiah)
3 Rumah beserta tanahnya
lebih dari Rp 10.000.000.000,00 (Sepuluh
milyar rupiah) dan Luas bangunan lebih dari
500 M2 (Lima ratus meter persegi)
4 Apartemen, kondominium, dan sejenisnya
lebih dari Rp 10.000.000.000,00 (Sepuluh
milyar rupiah) dan Luas bangunan lebih dari
400 M2 (Empat ratus meter persegi)
5
Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang
dari 10 (sepuluh) orang, berupa sedan, jeep, sport utility
vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan
sejenisnya
lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (Lima milyar
rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari
3.000 cc.
45
I. PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
1. Pemotong dan Objek Pajak Penghasilan Pasal 23
Pemotong PPh Pasal 23 adalah :
1. Badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
2. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemotong PPh 23 (Harus ada Surat
Keputusan Penunjukan yang diterbitkan oleh Kepala KPP (tidak ada format baku yang tersedia),
yaitu : KEP-50/PJ./1994
a. Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut
adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
WP Orang pribadi ini hanya memotong PPh Pasal 23 atas sewa saja
Objek PPh Pasal 23 adalah :
1. Dividen (Pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh)
2. Bunga (Pasal 4 ayat (1) huruf f UU PPh)
3. Royalti (Pasal 4 ayat (1) huruf h UU PPh)
4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e UU pph. (Dalam hal ini berarti yang merupakan objek
PPh Pasal 23 yaitu apabila yang menerima jenis penghasilan ini adalah selain WP OP yang
harusnya dipotong PPh Pasal 21)
Dikenakan PPh Pasal 23 jika hadiah atau penghargaan perlombaan, penghargaan, dan hadiah
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya diterima oleh WP Badan termasuk
BUT
5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau
bangunan
6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa
lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 (PMK 244/PMK.03/2008) (Dalam hal ini berarti
yang merupakan objek PPh Pasal 23 yaitu apabila yang menerima jenis penghasilan ini adalah
selain WP OP yang harusnya dipotong PPh Pasal 21)
Yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh
Pemotong PPh Pasal 23 kepada WP DN atau BUT.
46
Yang bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah :
1. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
2. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
3. dividen yang bukan Objek PPh (Pasal 4 ayat (3) huruf f) dan dividen yang diterima oleh orang
pribadi (merupakan objek PPh yang bersifat final (Pasal 17 ayat (2c));
4. bagian laba yang bukan objek PPh (Pasal 4 ayat (3) huruf i);
5. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
6. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi
sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan
(PMK-251/PMK.03/2008)
2. Saat Terutang Atau Saat Pemotongan
Saat Pemotongan : Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 UU PPh dilakukan pada akhir bulan
dibayarkannya penghasilan, disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau jatuh temponya pembayaran
penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu. (PP Nomor 94 Tahun
2010 Pasal 15 ayat (3)
Saat Terutang : Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 UU PPh adalah pada saat pembayaran, saat
disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang
ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa
manajemen atau jasa lainnya). (Penjelasan PP Nomor 94 Tahun 2010 Pasal 15 ayat (3)
Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan" (seperti : untuk dividen) adalah :
1. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan
dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) Tahunan. Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan
dalam tahun berjalan membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan
Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan atau ditentukan
dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan Anggaran Dasar perseroan yang
bersangkutan.
2. untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham
yang berhak atas dividen (recording date). Dengan perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan
atas dividen sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat
dilakukan setelah para pemegang saham yang berhak "menerima atau memperoleh" dividen
tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara tunai.
47
Yang dimaksud dengan "saat jatuh tempo pembayaran" (seperti : untuk bunga atau sewa)
adalah saat kewajiban untuk melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang
tertulis maupun tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.
3. Jenis-jenis Objek Pajak PPh Pasal 23
a. Dividen
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau
pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi.
Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
1. pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk
apapun;
2. pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
3. pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal
dari kapitalisasi agio saham;
Tetapi apabila pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran berasal
dari:
a. kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah menyetor modal atau
membeli saham di atas harga nominal, sepanjang jumlah nilai nominal saham yang
dimilikinya setelah pembagian saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan
b. kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1) UU PPh.
Ini tidak termasuk sebagai pengertian dividen sesuai Pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh
(Pasal 2 PP 94 Tahun 2010 dan penjelasannya)
4. pembagian laba dalam bentuk saham
5. pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6. jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham
karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
7. pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-
tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat
dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
8. pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan
tanda-tanda laba tersebut;
9. bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10. bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
48
11. pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi; (ini merupakan dividen yang tidak
dipotong PPh Pasal 23 UU UU Nomor 36 Tahun 2008)
12. pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai
biaya perusahaan.
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam
hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan
dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih
antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen.
Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh
perseroan yang bersangkutan.
Pembagian laba secara langsung dan/atau tidak langsung yang berasal dari saldo laba termasuk saldo
laba berdasarkan proyeksi laba tahun berjalan merupakan objek pajak, kecuali bagian laba yang bukan
objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh (Pasal 6 PP 94 Tahun 2010)
1. Dividen Yang Merupakan Objek PPh Pasal 23
Tarifnya sebesar 15% dari Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final
Dalam hal WP yang menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 23
tidak memiliki NPWP, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% daripada tarif yang
seharusnya (Pasal 23 ayat 1a UU Nomor 36 Tahun 2008)
Saat terutang dan saat pemotongan
Saat Terutang : saat disediakan untuk dibayarkan (Penjelasan PP Nomor 94 Tahun 2010 Pasal 15 ayat
(3)
Yang dimaksud dengan "saat disediakan untuk dibayarkan" adalah :
1. untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan
dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) Tahunan. Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam
tahun berjalan membagikan dividen sementara (dividen interim), maka Pajak Penghasilan Pasal 23
Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan atau ditentukan dalam Rapat
Direksi atau pemegang saham sesuai dengan Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan.
2. untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham
yang berhak atas dividen (recording date). Dengan perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan
atas dividen sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan baru dapat
dilakukan setelah para pemegang saham yang berhak "menerima atau memperoleh" dividen tersebut
diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara tunai.
49
Saat Pemotongan : Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 UU PPh dilakukan pada akhir bulan
dibayarkannya penghasilan, disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau jatuh temponya
pembayaran penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu. (PP
Nomor 94 Tahun 2010 Pasal 15 ayat (3)
2. Dividen Yang Tidak Dipotong Pph Pasal 23
Dividen yang tidak dipotong PPh Pasal 23antara lain:
1. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh PT sebagai WPDN, koperasi, BUMN, atau
BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat:
a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b. bagi PT, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang
disetor; (karena bukan merupakan objek pajak sesuai Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh)
2. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit
penyertaan Kontrak Investasi Kolektif (KIK), (karena bukan merupakan objek pajak sesuai Pasal 4
ayat (3) huruf i UU 36 tahun 2008);
Bagian laba yang diterima atau diperoleh oleh pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi
Kolektif termasuk keuntungan atas pelunasan kembali unit penyertaannya, tidak termasuk sebagai
objek pajak.
Ketentuan ini berlaku juga bagi pemegang unit penyertaan yang merupakan Subjek Pajak luar
negeri. (PP 94 Tahun 2010 Pasal 5)
3. Dividen yang diterima oleh Orang Pribadi (karena merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) final)
4. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya (karena dikecualikan
dari pemotongan PPh Pasal 23 sesuai Pasal 23 ayat (4) huruf f UU 36 tahun 2008);
3. Dividen Yang Merupakan Objek PPh Pasal 4 Ayat (2) (Final)
Dividen Yang Diterima Oleh Orang Pribadi (Pasal 17 ayat (2c) UU No.36 tahun 2008, PP nomor 19
Tahun 2009, dan PMK-111/PMK.03/2010).
50
4. Ketentuan terkait dividen bagi wp badan (dijelaskan dalam SE-30/PJ/2012)
Peraturan perundang-undangan di bidang PPh telah mengatur bahwa atas penghasilan berupa dividen
dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh
tempo pembayarannya oleh WP badan dalam negeri kepada:
1. WP OP dalam negeri dikenai PPh sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final yang dilakukan
melalui pemotongan oleh pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar
dividen sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2c) UU PPh jo. PP Nomor 19 TAHUN 2009;
2. WP badan dalam negeri atau BUT, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15%
(lima belas persen) dari jumlah bruto sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 1 UU
PPh;
3. WP luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen)
dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1)
huruf a UU PPh.
b. Bunga
1. Bunga Objek PPh Pasal 23
Objek PPh Pasal 23 adalah bunga dan imbalan lainnya termasuk premium maupun diskonto yang
merupakan bunga antar pinjaman yang diterima atau diperoleh oleh WP OP DN maupun WP Badan DN
dari pihak pembayar bunya yang merupakan pemotong PPh Pasal 23
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang.
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya. Premium
merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi.
Diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Diskonto merupakan
penghasilan bagi yang membeli obligasi.
Tarif PPh Pasal 23 = 15% dari Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final
Dalam hal WP yang menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 23
tidak memiliki NPWP, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% daripada tarif yang
seharusnya Pasal 23 ayat (1a) UU Nomor 36 Tahun 2008)
2. Pinjaman Tanpa Bunga Dari Pemegang Saham (PP 94 Tahun 2010 Pasal 12)
Pinjaman tanpa bunga dari pemegang saham yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas
diperkenankan apabila:
1. pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari pihak
lain;
51
2. modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor seluruhnya;
3. pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan
4. perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan
usahanya.
Apabila pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak berbentuk perseroan terbatas dari pemegang sahamnya
tidak memenuhi ketentuan ini,maka atas pinjaman tersebut terutang bunga dengan tingkat suku bunga
wajar.
Yang dimaksud dengan "tingkat suku bunga wajar" adalah tingkat suku bunga yang berlaku yang
ditetapkan sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman (best practice) jika transaksi dilakukan di
antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(4) UU PPh.
3. Bunga Yang Tidak Dipotong PPh Pasal 23 Adalah:
a. Jika penghasilan dibayar/ terutang kepada Bank (karena dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal
23 sesuai Pasal 23 ayat (4) huruf a UU Nomor 36 Tahun 2008)
b. Jika penghasilan dibayar/ terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai
penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK-
251/PMK.03/2008). (karena dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23 sesuai Pasal 23 ayat (4)
huruf h UU Nomor 36 Tahun 2008) Keterangan:
Penghasilan yang dibayar/ terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan penyalur pinjaman
dan/ atau pembiayaan yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23 adalah penghasilan
berupa bunga atau imbalan lain yang diberikan atas penyaluran pinjaman dan/atau pemberian
pinjaman (termasuk pembiayaan berbasis syariah) (Pasal 1 ayat (2) PMK-251/PMK.03/2008).
1. Badan Usaha yang dimaksud terdiri dari: (Pasal 1 ayat (3) PMK-251perusahaan
pembiayaan yang merupakan badan usaha diluar Bank dan lembaga keuangan bukan
Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk bidang usaha
lembaga pembiayaan dan telah memperoleh ijin usaha dari Menteri Keuangan.
2. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah yang khusus didirikan untuk
memberikan sarana pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi,
termasuk PT (Persero) Permodalan Nasional Madani.
c. Bunga Deposito, Tabungan (yang didapatkan dari Bank), dan Diskonto SBI (karena termasuk
pemotongan PPh Pasal 4(2))
d. Bunga Obligasi (karena termasuk pemotongan PPh Pasal 4(2))
e. Bunga simpanan yang dibayarkan Koperasi kepada anggota koperasi Orang Pribadi (WP OP)
(karena termasuk pemotongan PPh Pasal 4(2))
52
4. Bunga Yang Merupakan Objek PPh Pasal 4 Ayat (2) (Bersifat Final)
a. Bunga Obligasi (bersifat final) (PP 16 Tahun 2009 yang berlaku sejak 1 Januari 2009)
b. Bunga yang diterima berasal dari bank (bersifat final) (PP 131 Tahun 2000, KMK-
51/KMK.04/2001, dan SE-01/PJ.43/2001) berlaku sejak 1 Januari 2001
c. Bunga Simpanan Yang Dibayarkan Oleh Koperasi Yang Didirikan Di Indonesia Kepada
Anggota Koperasi Orang Pribadi (bersifat final) (PP 15 TAHUN 2009) (berlaku sejak 1 Januari
2009), PMK-112/PMK.03/2010
c. Royalti
1. Definisi Royalti dan Tarif Pajak Penghasilan atas Royalti
(Penjelasan Pasal 4(1) Huruf H UU 36 tahun 2008) Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan
atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak,
sebagai imbalan atas:
1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah,
paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak
kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
2. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
3. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
4. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak
menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan
peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut
pada angka 3, berupa:
penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang
disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk
siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau
teknologi yang serupa;
penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
5. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video
untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
6. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak
kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
53
Tarif Pajak Penghasilan atas Royalti adalah:
o 15% dari Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final
o Dalam hal WP yang menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 23 tidak
memiliki NPWP, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% daripada tarif yang seharusnya
(Pasal 23 ayat 1a UU 36 tahun 2008)
2. Pengenaan PPh Atas Royalti Dari Hasil Karya Sinematografi (PER-33/PJ./2009 (berlaku sejak 4
Juni 2009))
Pemanfaatan hasil Karya Sinematografi dapat dilakukan melalui suatu perjanjian baik tertulis maupun tidak
tertulis atas penggunaan hasil Karya Sinematografi :
1. dengan pemindahan seluruh hak cipta tanpa persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada kewajiban
pembayaran kompensasi di kemudian hari (INI TIDAK TERMASUK PENGERTIAN ROYALTI);
2. dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain untuk
mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya, dengan persyaratan
tertentu seperti penggunaan Karya Sinematografi untuk jangka waktu atau wilayah tertentu ((INI
TERMASUK PENGERTIAN ROYALTI) PPH 23 = 15% X SELURUH PENGHASILAN YANG
DITERIMA/DIPEROLEH PEMEGANG HAK CIPTA);
3. dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain untuk
mengumumkan ciptaannya dengan menggunakan pola bagi hasil antara pemegang hak cipta dan
pengusaha bioskop ((INI TERMASUK PENGERTIAN ROYALTI) PPH 23 = 15% X 10% X BAGI
HASIL) ; atau
4. dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain tanpa
hak untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya (INI
TIDAK TERMASUK PENGERTIAN ROYALTI).
d. Hadiah
1. Hadiah Yang Dikenakan PPh
a. Hadiah Undian (bersifat final, Pasal 4(2))
Tarif = 25% dari jumlah bruto nilai hadiah
b. hadiah atau penghargaan perlombaan, penghargaan, dan hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
dan kegiatan lainnya (bersifat tidak final)
Atas hadiah atau penghargaan perlombaan, penghargaan, dan hadiah sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya dikenakan PPh dengan ketentuan sebagai berikut : (Pasal 2
ayat (2) KEP-395/PJ/2001)
54
1. Dalam hal penerima penghasilan adalah orang pribadi Wajib Pajak dalam negeri,
dikenakan PPh Pasal 21 sebesar tarif Pasal 17 UU No. 36 Tahun 2008
i. Hadiah atau penghargaan perlombaan yang diterima oleh Orang Pribadi WP
dalam negeri
Hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau penghargaan yang
diberikan melalui suatu perlombaan atau adu ketangkasan
Berdasarkan pasal 3 huruf f PER-31/PJ/2012 Orang Pribadi ini dikategorikan
sebagai peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan
sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan.
Penghitungan PPh Pasal 21 nya adalah Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1)
huruf a UU PPh X jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran
yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan
(Pasal 16 ayat (2) huruf b PER-31/PJ/2012)
ii. Hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya
Hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya adalah hadiah
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh penerima hadiah
2. Dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri selain BUT, dikenakan
PPh Pasal 26 sebesar 20% dari jumlah bruto dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B
yang berlaku
3. Dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak badan termasuk BUT, dikenakan PPh
Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah penghasilan bruto
2. Hadiah Yang Tidak Dikenakan PPh
Tidak termasuk dalam pengertian hadiah dan penghargaan yang dikenakan PPh adalah : (Pasal 3
KEP-395/PJ/2001)
0. hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua pembeli
atau konsumen akhir tanpa diundi, dan
1. hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa.
55
e. Sewa
Sewa yang dipotong PPh pasal 23 :
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) ( dengan kata lain Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan)
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta adalah penghasilan yang
diterima atau diperoleh sehubungan dengan kesepakatan untuk memberikan hak menggunakan harta
selama jangka waktu tertentu baik dengan perjanjian tertulis maupun tidak tertulis sehingga harta
tersebut hanya dapat digunakan oleh penerima hak selama jangka waktu yang telah disepakati
Tarif PPh atas sewa adalah 2% dari jumlah bruto
Dalam hal WP yang menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 23
tidak memiliki NPWP, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% daripada tarif yang
seharusnya (Pasal 23 ayat 1a UU Nomor 36 Tahun 2008)
f. Jasa
1. Jasa yang dipotong PPh pasal 23 :
Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain
selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 (imbalan
sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang
diterima oleh WP Badan
Tarif : 2% dari jumlah bruto
Dalam hal WP yang menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 23
tidak memiliki NPWP, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% daripada tarif yang
seharusnya (Pasal 23 ayat 1a UU Nomor 36 Tahun 2008)
2. Defenisi-Defenisi Jenis Jasa Lain (Pengertian Istilah Di Pmk 244/PMK.03/2008)
Defenisi yang ada di PMK 244/PMK.03/2008
a. Jasa penunjang di bidang penambangan migas (di pasal 2 ayat (1))
b. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas (di pasal 2 ayat
(2))
c. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan Bandar udara (di pasal 2 ayat (3))
d. Jasa maklon (di pasal 2 ayat (4))
e. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer (di pasal 2 ayat (5))
56
Defenisi yang ada di SE-35/PJ/2010
Jasa teknik (di angka 3)
Jasa manajemen (di angka 4)
Jasa konsultan(di angka 5)
Defenisi jasa-jasa lain
Jasa Penilai (Ada di PMK-125/PMK.01/2008). Jasa sertifikasi termasuk dalam pengertian
jasa penilai SE-13/PJ.43/1997. Jasa pemberian sertifikasi biasanya meliputi proses ; tahapan
penelitian, tahapan analisis, dan tahapan pengujian. Jasa sertifikasi adalah jasa pemberian
pengakuan atas pemenuhan aspek kualitas sesuai dengan setandar yang telah ditetapkan atas
suatu produk dan/atau jasa, baik dilakukan oleh lembaga di dalam negeri (misalnya ; SNI) atau
lembaga luar negeri (misalnya; ISO, IEC, dan sebagainya). Jenis sertifikasi yang diberikan
antara lain ; sertifikasi personel, sertifikasi sistem mutu, sertifikasi hasil uji, dan sertifikasi
inspeksi teknik. Dalam penyerahan jasa sertifikasi, pihak yang menerima jasa memberikan
imbalan atau penggantian kepada lembaga sertifikasi yang bersangkutan dalam bentuk biaya
sertifikasi, biaya konsultasi, dan biaya pengujian.
Jasa Aktuaris. Aktuaris adalah seorang ahli yang dapat mengaplikasikan ilmu keuangan
dan teori statistik untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bisnis aktual. Persoalan ini
umumnya menyangkut analisa kejadian masa depan yang berdampak pada segi finansial,
khususnya yang berhubungan dengan besar pembayaran di masa depan dan kapan pembayaran
dilakukan pada waktu yang tidak pasti. Secara umum, aktuaris bekerja di bidang: konsultasi,
perusahaan asuransi jiwa, pensiun, dan investasi. Aktuaris juga sedang merambah di bidang-
bidang lainnya, dimana kemampuan analitis diperlukan. Lingkup Pekerjaan Asuransi Jiwa,
Asuransi Umum/Kerugian, Kesehatan, Pensiun, Manfaat Karyawan, Kebijakan Sosial,
Keuangan, Investasi dan Manajemen Resiko
Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan. Atestasi (attestation)
adalah suatu pernyataan pendapat atau pertimbangan orang yang independen dan kompeten
tentang apakah asersi suatu entitas sesuai, dalam semua hal yang material, dengan kriteria yang
telah ditetapkan.
Jasa Perancang (design). Contoh jasa yang termasuk jasa perancang (design) :Jasa
perancang interior dan jasa perancang pertamanan,Jasa perancang mesin dan jasa perancang
peralatan, Jasa perancang alat-alat transportasi/ kendaraan, Jasa perancang iklan/ logo, Jasa
perancang alat kemasan (KEP-170/PJ./2002). Tetapi karena KEP-170/PJ./2002 ini sudah
dicabut dan di PMK 244/PMK.03/2008 tidak ada pembatasan atas jenis-jenis jasa perancang,
sehingga semua yang termasuk jasa perancang (design) adalah objek PPh Pasal 23.
57
Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services). Jasa penyediaan tenaga kerja
adalah jasa yang diserahkan oleh Pengusaha kepada pengguna jasa tenaga kerja, di mana
Pengusaha dimaksud semata-mata hanya menyerahkan jasa penyediaan tenaga kerja
Pengertian jasa di bidang pembersihan adalah semua jasa yang bergerak di bidang
pembersihan, yaitu : (referensi dari S-110/PJ.32/1996)
Jasa pembersihan eksterior gedung, jasa pembersihan ruangan dan/atau sarana gedung,
jasa pembersihan peralatan gedung dengan tujuan agar menjadi bersih dan rapih.
Jasa pembersihan halaman, pekarangan, taman dan sebagainya dengan tujuan agar
menjadi bersih dan indah.
Jasa pembersihan lainnya.
58
Daftar Pustaka:
Direktorat Jenderal Pajak. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Diperoleh 16 Oktober 2014 dari:
http://tkb-djp/tkb/engine/learning3/index_cat.php?id=1