nata de coco
DESCRIPTION
jawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiajawdkwhkjdkjahjkdwhowahwodoakwdhjkakjdbkjabjkdsbhduwihduihaidhiaTRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kelapa
Kelapa (Cocos nucifera) termasuk kedalam famili palmae (palem) yang merupakan salah satu
kelas utama yang tergolong tumbuhan monokotiledon, famili palmae mencakup beberapa jenis
tumbuhan yang bermanfaat bagi manusia, seperti kurma, kelapa sawit, pinang, sagu, tebu pohon
aren, dan lainnya. Semuanya dibedakan berdasarkan batangnya yang tidak bercabang yang
dimahkotai oleh daun menjarum yang bentuknya menyerupai kipas.
Regnum : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Palmes
Familia : Palmae
Genus : Cocos
Spesies : Cocos nucifera
(Suhardiman, 1999).
Universitas Sumatera Utara
2.1.1 Air Kelapa
Kelapa menghasilkan air sebanyak 50-150 ml per butir. Air kelapa sangat baik digunakan
sebagai bahan dalam pembuatan nata, karena mengandung nutrisi yang dibutuhkan bagi
pertumbuhan, perkembangbiakan, dan aktivitas bibit nata yang berupa bakteri Acetobacter
Xylinum. Untuk pertumbuhan dan aktivitasnya, Acetobacter Xylinum membutuhkan unsure
makro dan mikro. Unsur makro terdiri atas karbon dan nitrogen.
Sebagian dari kebutuhan akan karbon tersebut sudah dapat diperoleh dari air kelapa
dalam bentuk karbohidrat sederhana, misalnya sukrosa, glukosa, fruktosa dan lain-lainnya.
Sementara nitrogen juga dapat diperoleh dari protein yang terkandung dalam air kelapa,
meskipun dalam jumlah yang kecil.
Namun meskipun sedikit, protein dalam air kelapa tersebut tersusun dari asam-asam
amino yang lengkap, yaitu sebanyak 17 macam asam amino. Bahkan persentase beberapa macam
asam amino yang meliputi arginin, alanin, sistein, dan serin, ternyata lebih tinggi daripada asam-
asam amino dalam susu sapi. Kelengkapan asam-asam amino dalam air kelapa ini sangat
mendukung pertumbuhan, perkembangan, dan aktivitas bibit nata Acetobacter Xylinum.
Selain karbohidrat dan protein, air kelapa yang telah tua juga mengandung berbagai
mineral yang sangat diperlukan oleh Acetobacter Xylinum. Kelengkapan unsur mineral yang
terkandung dalam air kelapa tua tersebut merupakan faktor kelebihan air kelapa jika
dibandingkan dengan bahan pembuatan nata lainnya.
Sebagai contoh, kalium (K), natrium (Na), magnesium (Mg), kalsium (Ca), dan fosfos
(P), merupakan unsur mineral utama yang terkandung dalam air kelapa tua, yang sangat
dibutuhkan oleh Acetobacter Xylinum.
Air kelapa yang baik adalah air kelapa yang diperoleh dari kelapa tua optimal, tidak
terlalu tua dan tidak pula terlalu muda. Dalam air kelapa yang terlalu, terkandung minyak dari
kelapa yang dapat menghambat pertumbuhan bibit nata Acetobacter Xylinum.
Universitas Sumatera Utara
Sebaliknya, air kelapa yang masih muda belum mengandung mineral yang cukup di
dalamnya, sehingga kurang baik apabila digunakan sebagai bahan pembuatan nata (Pambayun,
2002).
Tabel 2.1 Perbandingan komposisi air kelapa muda dengan air kelapa tua
Sumber air kelapa
(dalam 100 g)
Air kelapa muda
(%)
Air kelapa tua
(%)
Kalori 17,0 kal -
Protein 0,2 g 0,14 g
Lemak 1,0 g 1,50 g
Karbohidrat 3,8 g 4,60 g
Kalsium 15,0 mg -
Fosfor 8,0 mg 0,50 g
Besi 0,2 mg -
Asam askorbat 1,0 mg -
Air 95,5 g 91,50 g
Bagian yang dapat
dimakan
100 g -
Sumber : Palungkun, 2001.
2.2 Nata de coco
Nata de coco adalah jenis komponen minuman yang merupakan senyawa selulosa (dietary fiber)
yang dihasilkan dari air kelapa melalui proses fermentasi, yang melibatkan jasad renik
(mikrobia) yang dikenal dengan nama Acetobacter Xylinum.
Defenisi nata adalah suatu zat yang menyerupai gel, tidak larut dalam air dan berbentuk
pada permukaan media fermentasi air kelapa dan beberapa sari buah masam. Nata de coco
Universitas Sumatera Utara
adalah jenis nata dengan medium fermentasi dari air kelapa. Nata de coco dibuat dengan
memanfaatkan air kelapa untuk difermentasikan secara aerob dengan bantuan mikroba.
Sebagai makanan berserat, nata de coco memiliki kandungan selulosa ± 2,5% dan lebih
dari 95% kandungan air (Palungkun,1996). Nata de coco memiliki kandungan serat kasar 2,75%,
protein 1,5-2,8%; lemak 0,35% dan sisanya air.
Nata dapat digambarkan sebagai sumber makanan rendah energi untuk keperluan diet
karena gizi produk ini sangat rendah. Selain itu nata juga mengandung serat yang sangat
dibutuhkan oleh tubuh dalam proses fisiologis sehingga dapat memperlancar pencernaan.
2.2.1. Fermentasi nata de coco
Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktifitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat
organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan sifat bahan
pangan, sebagai akibat dari pemecahan kandungan-kandungan bahan pangan tersebut. Hasil-
hasil fermentasi terutama tergantung pada jenis bahan pangan (substrat), macam mikroba dan
kondisi di sekelilingnya yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba ( Winarno,
1992 ).
Fermentasi nata dilakukan pada media cair yang telah diinokulasi dengan starter.
Mikroba tumbuh terutama pada permukaan media fermentasi. Fermentasi dilangsungkan sampai
nata yang terbentuk cukup tebal. Nata berupa lapisan putih seperti agar. Lapisan ini adalah massa
mikroba berkapsul dari selulosa (Hasbullah, 2001).
2.2.2. Zat-zat nutrisi yang ditambahkan pada fermentasi nata de coco
Komposisi media fermentasi nata terdiri dari karbohidrat (gula) sebagai sumber karbon dan urea
sebagai sumber nitrogen. Oleh karena itu perlu ditambahkan zat-zat nutrisi sebagai berikut.
a. Gula sebagai sumber karbon
Universitas Sumatera Utara
Sumber karbon merupakan faktor penting dalam proses fermentasi. Bakteri untuk menghasilkan
nata membutuhkan sumber karbon bagi proses metabolismenya. Glukosa akan masuk ke dalam
sel dan digunakan bagi penyediaan energi yang dibutuhkan dalam perkembangbiakannya.
Jumlah gula yang ditambahkan harus diperhatikan sehingga mencukupi untuk metabolisme dan
pembentukan pelikel nata. Kebutuhan karbon untuk media umumnya diberikan oleh glukosa,
pati, dan laktosa (Hidayat, 2006).
b. Urea sebagai sumber nitrogen
Selain gula, sumber nitrogen merupakan faktor penting. Nitrogen diperlukan untuk pertumbuhan
sel dan pembentukan enzim. Kekurangan nitrogen menyebabkan sel tumbuh dengan kurang baik
dan menghambat pembentukan enzim yang diperlukan, sehingga proses fermentasi dapat
mengalami kegagalan atau tidak sempurna (Hidayat, 2006).
2.2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi nata
Untuk menghasilkan produksi nata yang maksimal perlu diperhatikan faktor-faktor sebagai
berikut.
1. Temperatur ruang inkubasi
Temperatur ruang inkubasi harus diperhatikan karena berkaitan dengan pertumbuhan bakteri
Acetobacter Xylinum dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Pada umumnya suhu
fermentasi untuk pembuatan nata adalah pada suhu kamar (280C). Suhu yang terlalu rendah atau
terlalu tinggi akan mengganggu pertumbuhan bakteri pembentuk nata, yang akhirnya juga
menghambat produksi nata (Budiyanto, 2004).
2. Jenis dan konsentrasi Medium
Universitas Sumatera Utara
Medium fermentasi ini harus banyak mengandung karbohidrat (gula) di samping vitamin dan
mineral, karena pada hakekatnya nata tersebut adalah slime (menyerupai lendir) dari sel bakteri
yang kaya selulosa yang diproduksi dari glukosa oleh bakteri Acetobacter Xylinum. Bakteri ini
dalam kondisi yang optimum memiliki kemampuan yang luar biasa untuk memproduksi slime
sehingga slime tersebut terlepas dari sel vegetatif bakteri dan terapung-apung di permukaan
medium. Pembentukan nata terjadi karena proses pengambilan glukosa dari larutan gula yang
kemudian digabungkan dengan asam lemak membentuk precursor (penciri nata) pada membran
sel. Prekursor ini selanjutnya dikeluarkan dalam bentuk ekskresi dan bersama enzim
mempolimerisasi glukosa menjadi selulosa yang merupakan bahan dasar pembentukan slime.
Kadar karbohidrat optimum untuk berlangsungnya produksi nata adalah 10% (Palungkun, 1992).
3. Jenis dan konsentrasi stater
Pada umumnya Acetobacter Xylinum merupakan stater yang lebih produktif dari jenis stater
lainnya, sedang konsentrasi 5-10% merupakan konsentrasi yang ideal (Rahman, 1992).
4. Kebersihan alat
Alat-alat yang tidak steril dapat menghambat pertumbuhan bakteri Acetobacter Xylinum.
Sedangkan alat-alat yang steril dapat mendukung pertumbuhan bakteri Acetobacter Xylinum.
5. Waktu fermentasi
Waktu fermentasi yang digunakan dalam pembuatan nata umumnya 2-4 minggu. Minggu ke-4
dari waktu fermentasi merupakan waktu yang maksimal produksi nata, yang berarti lebih dari 4
minggu, maka kualitas nata yang diproduksi akan menurun.
6. pH fermentasi
Derajat keasaman yang dibutuhkan dalam pembuatan nata adalah 3-5 atau dalam suasana asam.
Pada kedua kondisi pH optimum, aktifitas enzim seringkali menurun tajam. Suatu perubahan
kecil pada pH dapat menimbulkan perbedaan besar pada kecepatan beberapa reaksi enzimatis
yang amat penting bagi organisme.
7. Tempat fermentasi
Universitas Sumatera Utara
Tempat fermentasi sebaiknya tidak terbuat dari logam karena mudah korosif yang dapat
mengganggu pertumbuhan mikroorganisme pembentuk nata. Di samping itu tempat fermentasi
sebaiknya tidak terkena cahaya matahari langsung, jauh dari sumber panas, dan harus berada
dalam kondisi steril.
Selain itu, dalam pembuatan nata juga harus diperhatikan bahwa selama proses
pembentukan nata langsung harus dihindari gerakan atau goncangan ini akan menenggelamkan
lapisan nata yang telah terbentuk dan menyebabkan terbentuknya lapisan nata yang baru yang
terpisah dari nata yang pertama. Hal ini menyebabkan ketebalan produksi nata tidak standar
(Budiyanto, 2004).
2.2.4. Kandungan gizi nata
Dilihat dari zat gizinya, nata tidak berarti apa-apa karena produk ini sangat miskin zat gizi.
Karena kandungan zat gizi (khusunya energi) yang sangat rendah, produk ini aman untuk
dimakan siapa saja. Produk ini tidak akan menyebabkan kegemukan, sehingga sangat dianjurkan
bagi mereka yang sedang diet rendah kalori. Keunggulan lain dari produk ini adalah kandungan
seratnya yang cukup tinggi terutama selulosa. Peran utama serat dalam makanan adalah pada
kemampuannya mengikat air yang dapat melunakkan feses.
Makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi dapat mengurangi berat badan. Serat
makanan akan tinggal dalam saluran pencernaan dalam waktu yang relative singkat sehingga
absorpsi zat makanan berkurang. Selain itu, makanan yang mengandung serat yang relative
tinggi akan memberikan rasa kenyang karena komposisi karbohidrat kompleks yang
menghentikan nafsu makan sehingga mengakibatkan turunnya konsumsi makanan. Makanan
dengan kandungan serat kasar relative tinggi biasanya mengandung kalori rendah, kadar gula,
dan lemak rendah yang dapat membantu mengurangi terjadinya obesitas dan penyakit jantung
(Joseph, 2002).
2.3. Selulosa
Universitas Sumatera Utara
Selulosa adalah senyawa seperti serabut, liat, tidak larut dalam air, dan ditemukan di dalam
dinding sel pelindung tumbuhan, terutama pada tangkai, batang, dahan, dan semua bagian
berkayu dari jaringan tumbuhan. Selulosa membentuk komponen serat dari dinding sel
tumbuhan. Molekul selulosa merupakan rantai-rantai atau mikrofibril dari D-glukosa sampai
sebanyak 14000 satuan yang terdapat sebagai berkas-berkas terpuntir mirip tali yang terikat satu
sama lain oleh ikatan hydrogen (Fessenden, 1986).
Gambar 2.1 Struktur Selulosa
Selulosa yang diperoleh dari proses fermentasi nata adalah sejenis polisakarida mikroba
yang tersusun oleh serat selulosa yang dihasilkan oleh strain Acetobacter Xylinum. Selulosa ini
lebih mudah dicerna oleh manusia jika dibandingkan dengan selulosa yang berasal dari
tumbuhan.
Sistem pencernaan manusia mengandung enzim yang dapat mengkatalisis hidrolisis ikatan
α-glikosidik, tetapi tidak mengandung enzim yang diperlukan untuk menghidrolisis ikatan β-
glikosidik (Hart, 2003).
2.4. Acetobacter
Ciri-ciri Acetobacter adalah selnya berbentuk bulat panjang sampai batang lurus atau agak
bengkok, ukurannya 0,6-0,8 x 1,0-3,0 µm, terdapat dalam bentuk tunggal berpasangan atau
dalam bentuk rantai. Acetobacter merupakan aerobic sejati, membentuk kapsul, bersifat nonmotil
dan tidak mempunyai spora, suhu optimumnya adalah 300C (Pelczar dan Chan, 1988).
Universitas Sumatera Utara
Spesies Acetobacter yang terkenal adalah Acetobacter aceti, Acetobacter orlenensis,
Acetobacter liquefasiensis, dan Acetobacter xylinum. Meskipun ciri-ciri yang dimiliki hampir
sama dengan spesies lainnya Acetobacter xylinum dapat dibedakan dengan yang lain karena
sifatnya yang unik. Bila Acetobacter xylinum ditumbuhkan pada medium yang mengandung
gula. Bakteri ini dapat memecah komponen gula dan mampu membentuk suatu polisakarida
yang dikenal dengan selulosa ekstraseluler (Daulay, 2003).
Defenisi nata adalah suatu zat yang menyerupai gel, tidak larut dalam air dan terbentuk
pada permukaan media fermentasi air kelapa atau beberapa sari buah masam. Pembuatan nata
melibatkan jasad renik (mikroba) yang dikenal dengan nama Acetobacter Xylinum. Di bawah
mikroskop nata tampak sebagai massa benang yang melilit yang sangat banyak seperti benang-
benang kapas. Nata merupakan mikroorganisme itu sendiri seperti granula yeast yang tersusun
atas sel yeast sehingga ada yang menyangka bahwa mengkonsumsi nata sama dengan
mengkonsumsi Acetobacter (Hidayat, 2006).
2.4 .1. Jenis-jenis Acetobacter
Adapun jenis-jenis bakteri Acetobacter adalah sebagai berikut :
a. Acetobacter acetii, ditemukan oleh Beijerinck pada tahun 1898. Bakteri ini penting dalam
produksi asam asetat, yang mengoksidasi alkohol menjadi asam asetat. Banyak terdapat
pada ragi tapai, yang menyebabkan tapai yang melewati 2 hari fermentasi akan menjadi
berasa masam.
b. Acetobacter xylinum, bakteri ini digunakan dalam pembuatan nata de coco. Acetobacter
xylinum mampu mensintesis selulosa dari gula yang dikonsumsi. Nata yang dihasilkan
berupa pelikel yang mengambang dipermukaan substrat. Bakteri ini juga terdapat pada
produk kombucha yaitu fermentasi dari teh (Hidayat, 2007).
c. Acetobacter suboxydans, bakteri ini dapat mengubah glukosa menjadi asam askorbat (
vitamin C ) (Robinson, 1976).
Universitas Sumatera Utara
d. Acetobacter orleanensis, bakteri ini dapat mengubah etanol menjadi cuka (Mckane and
Judy, 1976).
e. Acetobacter indonesianensis, ditemukan pada tahun 2001. Bakteri ini merupakan bakteri
asli Indonesia.
f. Acetobacter cibinongensis, bakteri ini berasal dari daerah Cibinong.
g. Acetobacter syzygii, ditemukan pada tahun 2002. Bakteri ini berasal dari buah sirsak
h. Acetobacter tropicalis, ditemukan pada tahun 2001. Bakteri ini berasal dari daerah tropis.
i. Acetobacter bogoriensis, bakteri ini berasal dari daerah tropis.
Jenis Acetobacter 5 – 9 adalah spesies baru yang merupakan bakteri asli Indonesia, yang
ditemukan oleh Dr. Puspita Lisdayanti (Prasetyo, 2003).
2.4.2. Acetobacter xylinum
Bakteri pembentuk nata termasuk kedalam golongan Acetobacter, yang mempunyai ciri – ciri
antara lain : ”sel bulat panjang sampai batang (seperti kapsul), tidak mempunyai endospora, sel –
selnya bersifat gram negatif, bernafas secara aerob tetapi dalam kadar yang kecil (Pelczar dan
Chan, 1988).
Acetobacter xylinum dapat dibedakan dengan spesies yang lain karena sifatnya yang bila
ditumbuhkan pada medium yang kaya komponen gula, bakteri ini dapat memecah komponen
gula dan mampu membentuk suatu polisakarida yang dikenal dengan selulosa ekstraseluler.
Acetobacter xylinum mempunyai tiga enzim yang aktif, yaitu enzim kinase, enzim
ekstraseluler selulosa polimerase, dan enzim protein sintetase. Enzim ekstraseluler selulosa
polimerase aktif pada pH 4 yang berfungsi untuk membentuk benang-benang selulosa (nata).
Enzim protein sintetase aktif pada pH 3-6 yang berfungsi untuk mengubah makanan yang
mengandung C, H, O, dan N menjadi protein (Mandel, 2004).
Dalam medium cair, Acetobacter xylinum mampu membentuk suatu lapisan yang dapat
mencapai ketebalan beberapa sentimeter. Bakteri terperangkap dalam benang – benang yang
Universitas Sumatera Utara
dibuatnya. Untuk menghasilkan massa yang kokoh, kenyal, tebal, putih, dan tembus pandang
perlu diperhatikan suhu fermentasi (inkubasi), komposisi medium dan pH medium.
Gambar 2.2 Acetobacter xylinum
Klasifikasi ilmiah dari Acetobacter xylinum :
Kerajaan : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Alpha Proteobacteria
Ordo : Rhodospirilia
Famili : Pseudomonadaceae
Genus : Acetobacter
Spesies : Acetobacter xylinum (Moss M.O., 1995).
Bakteri Acetobacter xylinum mengalami pertumbuhan sel. Pertumbuhan sel didefinisikan
sebagai pertumbuhan secara teratur semua komponen di dalam sel hidup. Bakteri Acetobacter
xylinum mengalami beberapa fase pertumbuhan sel yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan awal,
fase pertumbuhan eksponensial, fase pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan tetap, fase menuju
kematian, dan fase kematian. Adapun tahap – tahap pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum
dalam kondisi normal dapat dilihat pada gambar 2.3
Universitas Sumatera Utara
waktu
Gambar 2.3 Tahap – tahap pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum dalam kondisi
normal
a. Fase adaptasi
Begitu dipindahkan ke media baru, bakteri Acetobacter xylinum tidak langsung tumbuh dan
berkembang. Pada fase ini, bakteri akan terlebih dahulu menyesuaikan diri dengan substrat dan
kondisi lingkungan barunya. Fase adaptasi bagi Acetobacter xylinum dicapai antara 0 – 24 jam
atau ± 1 hari sejak inokulasi.
b. Fase pertumbuhan awal
Pada fase ini, sel mulai membelah dengan kecepatan rendah. Fase ini menandai diawalinya fase
pertumbuhan eksponensial. Fase ini dilalui dalam beberapa jam.
c. Fase pertumbuhan eksponensial
Fase ini disebut juga sebagai fase pertumbuhan logaritmik, yang ditandai dengan pertumbuhan
yang sangat cepat. Untuk bakteri Acetobacter xylinum, fase ini dicapai dalam waktu antara 1- 5
hari tergantung pada kondisi lingkungan. Pada fase ini juga, bakteri mengeluarkan enzim
d Bobot sel
Bobot nata
Pertumbuhan Acetobacter xylinum
Pembentukan
b
c
e
g
a
f
Universitas Sumatera Utara
ekstraseluler polimerase sebanyak – banyaknya untuk menyusun polimer glukosa menjadi
selulosa.
d. Fase pertumbuhan diperlambat
Pada fase ini, terjadi pertumbuhan yang diperlambat karena ketersediaan nutrisi yang telah
berkurang, terdapatnya metabolit yang bersifat toksik yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri, dan umur sel yang telah tua.
e. Fase stasioner
Pada fase ini, jumlah sel yang tumbuh relatif sama dengan jumlah sel yang mati. Penyebabnya
adalah di dalam media terjadi kekurangan nutrisi, pengaruh metabolit toksik lebih besar, dan
umur sel semakin tua. Namun pada fase ini, sel akan lebih tahan terhadap kondisi lingkungan
yang ekstrim jika dibandingkan dengan ketahanannya pada fase lain. Matrik nata lebih banyak
diproduksi pada fase ini.
f. Fase menuju kematian
Pada fase ini, bakteri mulai mengalami kematian karena nutrisi telah habis dan sel kehilangan
banyak energi cadangannya.
g. Fase kematian
Pada fase ini, sel dengan cepat mengalami kematian, dan hampir merupakan kebalikan dari dase
logaritmik. Sel mengalami lisis dan melepaskan komponen yang terdapat di dalamnya.
2.4.3. Sifat-sifat Acetobacter xylinum
1. Sifat Morfologi
Acetobacter xylinum merupakan bakteri berbentuk batang pendek, yang mempunyai panjang 2
mikron dan lebar 0,6 mikron, dengan permukaan dinding yang berlendir. Bakteri ini bisa
membentuk rantai pendek dengan satuan 6 – 8 sel.
Bakteri ini tidak membentuk endospora maupun pigmen. Pada kultur sel yang masih
muda, individu sel berada sendiri-sendiri dan transparan. Koloni yang sudah tua membentuk
Universitas Sumatera Utara
lapisan menyerupai gelatin yang kokoh menutupi sel dan koloninya. Pertumbuhan koloni pada
medium cair setelah 48 jam inokulasi akan membentuk lapisan pelikel dan dapat dengan mudah
diambil dengan jarum ose.
1. Sifat Fisiologi
Bakteri ini dapat membentuk asam dari glukosa, etil alkohol, dan propil alkohol, tidak
membentuk indol dan mempunyai kemampuan mengoksidasi asam asetat menjadi CO2 dan H2O.
Sifat yang paling menonjol dari bakteri ini adalah memiliki kemampuan mempolimerisasi
glukosa hingga menjadi selulosa. Selanjutnya, selulosa tersebut membentuk matrik yang dikenal
sebagai nata. Faktor – faktor dominan yang mempengaruhi sifat fisiologi dalam pembentukan
nata adalah ketersediaan nutrisi, derajat keasaman, temperatur, dan ketersediaan oksigen.
2.4.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Acetobacter xylinum
Adapun beberapa faktor yang berkaitan dengan kondisi nutrisi, adalah sebagai berikut:
a. Sumber karbon
Sumber karbon yang dapat digunakan dalam fermentasi nata adalah senyawa karbohidrat yang
tergolong monosakarida dan disakarida. Pembentukan nata dapat terjadi pada media yang
mengandung senyawa – senyawa glukosa, sukrosa, dan laktosa. Sementara yang paling banyak
digunakan berdasarkan pertimbangan ekonomis, adalah sukrosa atau gula pasir.
Penambahan sukrosa harus mengacu pada jumlah yang dibutuhkan. Penambahan yang
berlebihan, disamping tidak ekonomis akan mempengaruhi tekstur nata, juga dapat menyebabkan
terciptanya limbah baru berupa sisa dari sukrosa tersebut. Namun sebaliknya, penambahan yang
terlalu sedikit, menyebabkan bibit nata menjadi tumbuh tidak normal dan nata tidak dapat
dihasilkan secara maksimal.
b. Sumber nitrogen
Universitas Sumatera Utara
Sumber nitrogen bisa digunakan dari senyawa organik maupun anorganik. Bahan yang baik bagi
pertumbuhan Acetobacter xylinum dan pembentukan nata adalah ekstrak yeast dan kasein.
Namun, amonium sulfat dan amonium fosfat (di pasar dikenal dengan ZA) merupakan bahan
yang lebih cocok digunakan dari sudut pandang ekonomi dan kualitas nata yang dihasilkan.
Banyak sumber N lain yang dapat digunakan dan murah seperti urea.
c. Tingkat keasaman (pH)
Meskipun bisa tumbuh pada kisaran pH 3,5 – 7,5 , bakteri Acetobacter xylinum sangat cocok
tumbuh pada suasana asam (pH 4,3). Jika kondisi lingkungan dalam suasana basa, bakteri ini
akan mengalami gangguan metabolisme selnya.
d. Temperatur
Adapun suhu ideal (optimal) bagi pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum adalah 280C – 310C.
Kisaran suhu tersebut merupakan suhu kamar. Pada suhu di bawah 280C, pertumbuhan bakteri
terhambat. Demikian juga, pada suhu diatas 310C, bibit nata akan mengalami kerusakan dan
bahkan mati, meskipun enzim ekstraseluler yang telah dihasilkan tetap bekerja membentuk nata.
e. Udara (oksigen)
Bakteri Acetobacter xylinum merupakan mikroba aerobik. Dalam pertumbuhan, perkembangan,
dan aktivitasnya, bakteri ini sangat memerlukan oksigen. Bila kekurangan oksigen, bakteri ini
akan mengalami gangguan dalam pertumbuhannya dan bahkan akan segera mengalami
kematian. Oleh sebab itu, wadah yang digunakan untuk fermentasi nata de coco, tidak boleh
ditutup rapat. Untuk mencukupi kebutuhan oksigen, pada ruang fermentasi nata harus tersedia
cukup ventilasi.
2.4.5. Aktifitas Acetobacter xylinum pada fermentasi nata
Apabila ditumbuhkan dalam media yang kaya akan sukrosa (gula pasir), bakteri ini akan
memecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Senyawa – senyawa glukosa dan fruktosa
tersebut baru dikonsumsi sebagai bahan bagi metabolisme sel.
Universitas Sumatera Utara
Bakteri Acetobacter xylinum merombak gula untuk memperoleh energi yang diperlukan
bagi metabolisme sel. Selain itu, bakteri ini juga mengeluarkan enzim yang mampu menyusun
(mempolimerisasi) senyawa glukosa menjadi polisakarida yang dikenal dengan selulosa
ekstraseluler (nata de coco).
Fruktosa, selain digunakan sebagai sumber energi, bahan dasar nata setelah dihidrolisis
menjadi glukosa, juga berperan sebagai induser bagi sintesis enzim ekstraseluler polimerase. Hal
ini merupakan salah satu alasan, bahwa sukrosa mempunyai kelebihan dibanding gula sederhana
lain dalam fungsinya sebagai substrat pembuat nata.
Berdasarkan pada pengamatan morfologi, pembentukan nata oleh bakteri Acetobacter
xylinum diawali dengan pembentukan lembaran benang – benang selulosa. Pembentukan benang
tersebut, pada mulanya tampak seperti flagel (cambuk pada bakteri umumnya).
Selanjutnya, bakteri Acetobacter xylinum membentuk mikrofibril selulosa di sekitar
permukaan tubuhnya hingga membentuk serabut selulosa yang sangat banyak dan dapat
mencapai ketebalan tertentu. Pada akhirnya, susunan selulosa tersebut akan tampak seperti
lembaran putih transparan dengan permukaan licin dan halus, yang disebut nata.
Adapun mekanisme pembentukan nata seperti yang telah diuraikan diatas, dapat
diilustrasikan seperti pada gambar 2.4
Universitas Sumatera Utara
Keterangan gambar:
1. Sel Acetobacter xylinum
2. Benang selulosa
Gambar 2.4 Susunan fibril selulosa yang membentuk jalinan yang akan menjadi nata
2.5. Edible Film
Edible film adalah suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk untuk
melapisi makanan (coating) atau diletakkan di antara komponen makanan (film) yang berfungsi
sebagai penghalang terhadap perpindahan massa (misalnya kelembaban, oksigen, cahaya, lipid,
zat terlarut) dan atau sebagai pembawa additif serta untuk meningkatkan penanganan suatu
makanan (Krochta, 1994).
Jika bahan baku dan bahan racikannya adalah bahan yang bisa dimakan dan hanya
perubahan struktur bahan baku yang terjadi selama proses pemasakan, perubahan pH, atau
modifikasi enzimatis, maka kemasan tersebut digolongkan kepada kemasan yang dapat dimakan
(Bardant dan Dewi, 2007).
Edible film diaplikasikan pada makanan dengan cara pembungkusan, pencelupan,
penyikatan, atau penyemprotan. Bahan hidrokoloid dan koloid lemak atau campuran keduanya
dapat digunakan untuk membuat edible film. Hidrokoloid yang dapat digunakan untuk membuat
edible film adalah protein (kasein, protein kedelai, protein jagung, dan gluten gandum) dan
1
2
Universitas Sumatera Utara
karbohidrat (pati, pektin, dan modifikasi karbohidrat lainnya), sedangkan lipid yng digunakan
adalah lilin atau wax, gliserol, dan asam lemak.
Kelebihan edible film yang dibuat dari hidrokoloid diantaranya memiliki kemampuan
yang baik untuk melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida, dan lipid serta memiliki
sifat mekanis yang diinginkan dan meningkatkan kesatuan structural produk. Kelemahannya,
film dari karbohidrat kurang bagus digunakan untuk mengatur migrasi uap air sementara film
dari protein sangat dipengaruhi oleh perubahan pH.
Kelebihan edible film dari lipid adalah memiliki kemampuan yang baik untuk melindungi
produk dari penguapan air. Sedangkan kekurangannya yaitu kegunaannya dalam bentuk murni
sebagai pelapis masih terbatas, karena mempunyai kekurangan dari segi ketahanannya.
Edible film dari komposit (gabungan hidrokoloid dan lipid) dapat meningkatkan
kelebihan film dari hidrokoloid dan film dari lipid, serta mengurangi kelemahannya.
Pembentukan edible film merupakan proses pertumbuhan fragmen-fragmen kecil yang akan
membentuk suatu polimer. Prinsip pembentukan edible film adalah interaksi rantai polimer
menghasilkan polimer yang lebih besar dan stabil. (Syamsir,2008)
2.5.1 Sifat edible film
Sifat fisik film meliputi sifat mekanik dan penghambatan. Sifat mekanik menunjukkan
kemampuan kekuatan film dalam menahan kerusakan bahan selama pengolahan, sedangkan sifat
penghambatan menunjukkan kemampuan film melindungi produk yang dikemas dengan
menggunakan film tersebut. Beberapa sifat film meliputi kekuatan renggang putus, ketebalan,
pemanjangan, laju transmisi uap air, dan kelarutan film (Gontard, 1993).
a. Ketebalan Film (mm)
Universitas Sumatera Utara
Ketebalan film merupakan sifat fisik yang dipengaruhi oleh konsentrasi padatan terlarut
dalam larutan film dan ukuran plat pencetak. Ketebalan film akan mempengaruhi laju transmisi
uap air, gas dan senyawa volatile (Mc Hugh and Sanesi, ,1993).
b. Tensile strength (Mpa) dan Elongasi (%)
Pemanjangan didefinisikan sebagai presentase perubahan panjang film pada saat film
ditarik sampai putus (Krochta dan Mulder Johnston,1997).
Menurut Krochta dan De Mulder Johnston (1997), kekuatan regang putus merupakan
tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film dapat tetap bertahan sebelum film putus atau
robek. Pengukuran kekuatan regang putus berguna untuk mengetahui besarnya gaya yang dicapai
untuk mencapai tarikan maksimum pada setiap satuan luas area film untuk merenggang atau
memanjang.
c. Kelarutan Film
Persen kelarutan edible film adalah persen berat kering dari film yang terlarut setelah
dicelupkan di dalam air selama 24 jam (Gontard, 1993).
d. Laju Transmisi Uap Air
Laju transmisi uap air merupakan jumlah uap air yang hilang per satuan waktu dibagi
dengan luas area film. Oleh karena itu salah satu fungsi edible film adalah untuk menahan
migrasi uap air maka permeabilitasnya terhadap uap air harus serendah mungkin (Gontard,
1993).
Menurut Syarief (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi konstanta permeabilitas
kemasan adalah:
1) Jenis film permeabilitas dari polipropilen lebih kecil dari padapolietilen artinya gas atau uap
air lebih mudah menembuspolipropilen daripada polietilen.
2) Ada tidaknya " cross linking" misalnya pada konstanta
Universitas Sumatera Utara
3) Suhu
4) Ada tidaknya plasticizer misal air
5) Jenis polimer film
6) Sifat dan besar molekul gas
7) Solubilitas atau kelarutan gas
Sifat fisik film meliputi sifat mekanik dan penghambatan. Sifat mekanik menunjukkan
kekuatan film menahan kerusakan bahan selama pengolahan; sedangkan sifat penghambatan
menunjukkan kemampuan film melindungi produk yang dikemas dengan menggunakan film
tersebut. Beberapa sifat film meliputi kekuatan renggang putus, ketebalan, pemanjangan, laju
transmisi uap air, dan kelarutan film (Gontard, 1993).
Berdasarkan UU no. 17 tahun 1996 pasal 3 syarat edible film menjadi pengemas
makanan, yaitu:
1. Menjaga produk pangan agar tetap bersih, terlindung dari kotoran dan kontaminan.
2. Menjaga produk pangan dari kerusakan fisik, perubahan kadar air dan pengaruh sinar.
3. Pengemas tidak mudah robek atau putus.
4. Pengemas tidak mudah berubah warna, aroma dan rasa dalam jangka waktu yang
cepat.
2.5.2 Aplikasi edible Film
Aplikasi dari edible film atau edible coating dapat dikelompokkan atas :
1. Sebagai kemasan primer dari produk pangan.
Contoh dari penggunaan edible film sebagai kemasan primer adalah pada permen, sayur-sayuran
dan buah-buahan segar, sosis, daging dan produk hasil laut.
Universitas Sumatera Utara
2. Sebagai barrier.
Penggunaan edible film sebagai barrier dapat dilihat dari contoh-contoh berikut :
Gellan gum yang direaksikan dengan garam mono atau bivalen yang membentuk film,
diperdagangkan dengan nama dagang Kelcoge merupakan barrier yang baik untuk absorbsi
minyak pada bahan pangan yang digoreng, sehingga menghasilkan bahan dengan kandungan
minyak yang rendah.
3. Sebagai pengikat (Binding).
Edible film juga dapat diaplikasikan pada snack atau crackers yang diberi bumbu yaitu sebagai
pengikat atau adesif dari bumbu yang diberikan agar dapat lebih merekat pada produk. Pelapisan
ini berguna untuk mengurangi lemak pada bahan yang dengan penambahan bumbu.
4. Sebagai Pelapis (Glaze).
Edible film dapat bersifat pelapis untuk meningkatkan penampilan dari produk-produk bakery,
yaitu untuk menggantikan palapisan dengan telur. Keuntungan dari palapisan ini adalah dapat
menghindari masuknya mikroba yang dapat terjadi jika dilapisi dengan telur (Julianti dan
Nurminah, 2007).
2.6. Bahan yang ditambahkan
Pada pembuatan edible film dari bahan dasar nata de coco yang dibuat dari bahan-bahan seperti
air kelapa, gula, urea, pati, gliserin, dan kitosan. Yang masing-masing dari bahan tersebut
mempunyai fungsi sebagai bahan karbohidrat, sumber nitrogen, plasticizer, dan antimikroba.
2.6.1 Pati
Amilum atau dalam kehidupan sehari-hari disebut pati terdapat pada umbi, daun, batang dan biji-
bijian. Amilum terdiri atas dua macam polisakarida yang kedua-duanya adalah polimer dari
glukosa, yaitu amilosa dan sisanya amilopektin.
Universitas Sumatera Utara
Amilosa terdiri atas 250-300 unit D-glukosa yang terikat dengan ikatan α 1,4-glikosidik,
jadi molekulnya merupakan rantai terbuka. Amilopektin juga terdiri atas molekul D-glukosa
yang sebagian besar mempunyai ikatan 1,4-glikosidik dan sebagian lagi ikatan 1,6-glikosidik.
Adanya ikatan 1,6-glikosidik ini menyebabkan terjadinya cabang, sehingga molekul amilopektin
berbentuk rantai terbuka dan bercabang ( Poedjiadi, 1994).
Pati dapat dipisahkan menjadi dua fraksi utama berdasarkan kelarutan bila ditambahkan
dengan air panas: sekitar 20% pati adalah amilosa (larut) dan 80% sisanya ialah amilopektin
(tidak larut).
Amilosa. Hidrolisis lengkap amilosa meghasilkan hanya D-Glukosa; hidrolisis parsial
menghasilkan maltose sebagai satu-satunya disakarida. Disimpulkan bahwa amilosa adalah
polimer linear dari α-D-glukosa yang dihubungkan secara-1,4. Beda antara amilosa dan selulosa
ialah ikatan glikosidanya β dalam selulosa, dan α dalam amilosa. Hal ini menyebabkan
perbedaan sifat antara kedua polisakarida ini. Terdapat 250 satuan glukosa atau lebih per
molekul amilosa, banyaknya satuan bergantung spesi hewan atau tumbuhan itu.
Gambar 2.5 Struktur Amilosa
Amilopektin. Suatu polisakarida yang jauh lebih besar daripada amilosa, mengandung
1000 satuan glukosa atau lebih per molekul. Seperti rantai dalam amilosa, rantai utama dari
amilopektin mengandung 1,4-α-D-glukosa. Tidak seperti amilosa, amilopektin bercabang
sehingga terdapat satu glukosa ujung kira-kira tiap 25 satuan glukosa. Ikatan pada titik
percabangan ialah ikatan 1,6-α-glikosida.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.6 Struktur Amilopektin
Hidrolisis lengkap amilopektin hanya menghasilkan D-glukosa. Namun hidrolisis tak
lengkap menghasilkan suatu campuran disakarida maltose danisomaltosa, yang kedua ini berasal
dari percabangan-1,6 ( Fesenden, 1986).
2.6.2. Gliserin
Gliserin yang merupakan produk samping dari industri oleokimia yang memiliki sifat
higroskopis, larut dalam air dan alkohol, tidak berwarna, tidak berbau dan memiliki rasa manis.
Gliserin banyak digunakan untuk farmasi, bahan makanan, kosmetik, emulsifier dan minyak
pelumas. Adapun kegunaan gliserin adalah sebagai berikut :
a) Farmasi
Gliserin banyak digunakan sebagai salep, obat batuk, pembuatan multi vitamin, vaksin, obat
infeksi, stimulan jantung, antiseptik, pencuci mulut, pasta gigi.
b) Bahan makanan
Gliserin digunakan sebagai pelarut ekstrak buah seperti vanili, kopi, koumarin. Gliserin juga
digunakan untuk minuman berkarbonat, pembuatan keju, permen jeli.
c) Kosmetik
Universitas Sumatera Utara
Gliserin yang memiliki sifat tidak beracun, tidak iritasi dan tidak berwarna digunakan untuk
pelembut dan pelembab kulit, krem kulit, sabun, pembersih wajah. Gliserin juga digunakan
sebagai pelarut parfum, pewarna dan pembersih kendaraan (Minner,1953).
Gliserin dengan rantai HO-CH2-CH-(OH)-CH2-OH adalah produk samping dari reaksi
hidrolisis antara minyak nabati dengan air untuk menghasilkan asam lemak. Senyawa ini bisa
menurunkan titik beku pelarutnya dengan mengganggu pembentukan kristal es pelarut.
Gliserin juga dapat meningkatkan titik didih pelarutnya dengan menghalangi molekul-
molekul pelarut saling bertumbukan, dengan demikian mengurangi tekanan uap pelarutnya.
Gliserin berbentuk cairan jernih, tidak berbau dan memiliki rasa manis.
CH2 – OH
CH – OH
CH2 – OH
Gambar 2.7 Struktur Gliserin
Gliserin merupakan humektan yang biasa dipakai untuk kosmetik (hand and body lotion,
cream pelembab, dan lain-lain), untuk bahan dasar pembuatan sabun juga merupakan bahan
utama untuk pasta gigi. Fungsinya adalah untuk mengikat air/pelembab sehingga cream selalu
basah.
Gliserin mudah dicerna dan tidak beracun dan bermetabolisme bersama karbohidrat,
meskipun berada dalam bentuk kombinasi pada sayuran dan lemak binatang.
Untuk produk makanan dan pembungkus makanan yang kontak langsung dengan
konsumen, syarat utamanya adalah tidak beracun. Kegunaannya di dalam produk makanan dan
minuman antara lain sebagai :
Universitas Sumatera Utara
- Pelarut untuk pemberi rasa
- Pengental dalam sirup
- Bahan pengisi dalam makan rendah lemak
- Pencegah kristalisasi gula pada permen dan es
(http:susyanairi.blogspot.com/gliserin/html)
2.6.3. Kitosan
Kitosan adalah poli-(2-amino-2-deoksi-β-(1-4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul
(C6H11NO4)n yang dapat diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitosan juga dijumpai secara alamiah di
beberapa organisme.
Gambar 2.8 Struktur Kitosan
Kitosan merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan . kitosan larut pada
kebanyakan larutan asam organik pada pH sekitar 4,0, tetapi tidak larut pada pH yang lebih besar
dari 6,5, juga tidak larut dalam pelarut air, alkohol, dan aseton. Dalam asam mineral pekat seperti
HCl dan HNO3, kitosan larut pada konsentrasi 0,15-1%, tetapi tidak larut pada konsentrasi 10%.
Kitosan tidak larut dalam H2SO4 pada berbagai konsentrasi, sedangkan di dalam H3PO4 tidak
larut pada konsentrasi 1% sementara pada konsentrasi 0,1% sedikit larut.
Kitosan lazimnya disintesis dari deasetilase kitin yang berasal dari limbah kulit udang
atau kepiting. Oleh karena itu, penggunaan kitosan sejak awal telah berperan dalam mengurangi
pencemaran lingkungan. Manfaat kitosan dalam bidang lingkungan adalah untuk menyerap
Universitas Sumatera Utara
logam berat maupun zat warna yang banyak dihasilkan dari industri tekstil atau kertas. Logam
berat merupakan limbah yang sangat berbahaya.
Kitosan larut dalam pelarut organic, HCl encer, HNO3 encer, H3PO4 0,5% dan
CH3COOH 1%, tetapi tidak larut dalam basa kuat dan H2SO4. Dalam kondisi asam berair, gugus
amino (-NH2) kitosan akan menangkap H+ dari lingkungannya, sehingga gugus aminonya
terprotonasi menjadi –NH3+. Gugus inilah yang menyebabkan kitosan bertindak sebagai garam,
sehingga dapat larut dalam air, analog dengan pelarutan garam, sehingga dapat larut dalam air.
Selain itu, muatan positif - NH3+ dapat dimanfaatkan untuk adsorpsi (penyerapan) zat warna
anionic (bermuatan negatif). Sementara adsorpsi zat warna kationik dan kation logam
memanfaatkan keberadaan pasanganelektron bebas pada gugus –OH dan NH2. Oleh karena itu,
sebaiknya proses penyerapan dilakukan dalam lingkungan yang tidak asam agar gugus –NH2
tidak terprotonasi.
Dewasa ini aplikasi kitin dan kitosan sangat banyak dan meluas. Di bidang industri ,
kitin, dan kitosan berperan antara lain sebagai koagulan polielektrolit pengolahan limbah cair,
pengikat dan penjerap ion logam, mikroorganisme, mikroalga, pewarna, residu peptisida, lemak,
tannin, PCB (poliklorinasi bifenil), mineral dan asam organik, media kromatografi afinitas, gel
dan pertukaran ion, penyalut berbagai serat alami dan sintetik, pembentuk film dan membran
mudah terurai, meningkatkan kualitas kertas, pulp, dan produk tekstil. Sementara di bidang
pertanian dan pangan, kitin dan kitosan digunakan antara lain untuk pencampur ransum pakan
ternak, anti mikroba, anti jamur, serat bahan pangan, penstabil, pembentuk gel, pembentuk
tekstur, pengental dan pengemulsi produk olahan pangan, pembawa zat aditif makanan, flavor,
zat gizi, peptisida, herbisida, virusida tanaman, dan deasidifikasi buah-buahan, sayuran dan
penjernih sari buah. Fungsinya sebagai antimikrob dan antijamur juga diterapkan di bidang
kedokteran. Kitin dan kitosan dapat mencegah pertumbuhan Candida albicans dan
Staphvlacoccus aureus (Sugita, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.7 Syarat mutu
Syarat mutu merupakan hal yang penting dalam menentukan kualitas nata. Adapun syarat mutu
nata menurut SNI (Standar Nasional Indonesia) adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara