mk-3.docx

37
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA FAKULTAS KEDOKTERAN DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM STATUS PASIEN UNTUK UJIAN Untuk Dokter Muda Nama Dokter Muda Tanda Tangan NIM Tanggal Ujian 13 April 2015 Rumah sakit RSUD Dr.R Goeteng Taroenadibrata Purbalingga Gelombang Periode I. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn.D Jenis kelamin : Laki-laki Umur : 52 tahun Alamat : Karang talun 2/2 Agama : Islam Mondok di bangsal : Kenanga Pekerjaan : Buruh serabutan Tanggal masuk : Nomor CM : 00539927 II. ANAMNESIS Manajemen Kasus III-Interna 1

Upload: mutiaradevina

Post on 05-Feb-2016

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MK-3.docx

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA FAKULTAS KEDOKTERAN

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

STATUS PASIEN UNTUK UJIANUntuk Dokter Muda

Nama Dokter Muda Tanda TanganNIM

Tanggal Ujian 13 April 2015

Rumah sakitRSUD Dr.R Goeteng Taroenadibrata Purbalingga

Gelombang Periode

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn.D

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 52 tahun

Alamat : Karang talun 2/2

Agama : Islam

Mondok di bangsal : Kenanga

Pekerjaan : Buruh serabutan

Tanggal masuk :

Nomor CM : 00539927

II. ANAMNESIS

KU : Sakit seluruh tubuh

RPS :

3 hari sebelum masuk rumah sakit OS mengeluhkan sakit seluruh tubuh,mulut

susah dibuka sehingga susah makan dan minum,leher terasa kaku,pasien terlihat

kesakitan,perut terasa sangat kaku dan sendi sendi susah untuk digerakan,kejang

dirasakan semenjak 1 hari SMRS.

RPD : Keluhan serupa (+), HT (-), DM (-)

Manajemen Kasus III-Interna 1

Page 2: MK-3.docx

RPK : Keluhan serupa (-), Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-)

Kebiasaan & Lingkungan : Satu bulan yang lalu pasien tertusuk paku pada kaki kanan

di tempat kerjanya,tidak diobati dan hanya ditutup dengan

plester,pasien tidak menggunakan alas kaki saat bekeja.

III. PEMERIKSAAN TANDA VITAL (VITAL SIGN)

Tekanan darah : 130/80 mmHg

Suhu tubuh : 38,1oC

Frekuensi denyut nadi : 110 x/m

Frekuensi nafas : 22 x/m

IV. PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK

A. KEADAAN UMUM

Kedaan Umum : Tampak kesakitan

Kesadaran : Compos Mentis

Tinggi badan : 156 cm

Berat badan : 50 kg

BMI : 18.4

Kesan : Normoweight

Skema manusia

Gambarkan pada skema di atas jika ada kelainan lokal dan berikan keterangan

secukupnya

Manajemen Kasus III-Interna 2

Page 3: MK-3.docx

B. PEMERIKSAAN KEPALA :

1. Mata : Konjungtiva anemis : -/-

Sklera Ikterik : -/-

2. Hidung : Discharge : -

Deviasi : -

Nyeri tekan hidung : -

Nyeri tekan sinus paranasal : -

3. Telinga : Kelainan bentuk telinga : -

Discharge : -

Epistaksis : -

Benjolan : -

Pembesaran limfonodi pre/post : -

Nyeri tekan : -

4. Mulut : susah untuk dibuka

C. PEMERIKSAAN LEHER :

Inspeksi :

Benjolan/Massa : Tampak massa (-)

Pembesaran kelenjar limfonodi : -

Vena Jugularis : Tidak meningkat

Palpasi :

Benjolan/Masa : -

Nyeri tekan : -

Pemeriksaan trakea :

Deviasi trakea : -

Pemeriksaan kelenjar tiroid :

Pembesaran Kelenjar Tiroid : -

Ikut bergerak saat gerakan menelan : -

Konsistensi : -

Nyeri Tekan : -

Manajemen Kasus III-Interna 3

Page 4: MK-3.docx

Bruit : -

Pemeriksaan tekanan vena sentral : 5+2 cm H2O Interpretasi : Normal

D. PEMERIKSAAN THORAKS

Jantung :

Inspeksi : Sianosis sentral : -

Pulsasi ictus cordis : Terlihat di SIC V linea axilaris anterior

sinistra

Palpasi : Pulsasi ictus cordis : Teraba di SIC V, linea axilaris anterior

sinistra, kuat angkat, thrill (-)

Perkusi : Batas jantung kanan di SIC IV linea sternalis dextra

Batas jantung kiri di SIC V linea axilaris anterior sinistra

Batas jantung atas di SIC II linea sternalis sinistra

Interpretasi : Hipertrofi ventrikel kiri

Auskultasi : S1 - S2 reguler, bising (-)

Paru :

Inspeksi : Deformitas dinding dada : -

Barrel chest : -

Deviasi tulang belakang : -

Retraksi dinding dada : -

Ketinggalan gerak : -

Spatium intercosta : normal

Palpasi : Vocal fremitus ki/ka : sama, normal

Nyeri tekan : -

Perkusi : Sonor

Auskultasi : Vesikuler +/+

Interpretasi : Keadaan paru dalam batas normal

E. PEMERIKSAAN ABDOMEN :

Inspeksi : Pelebaran vena : -

Manajemen Kasus III-Interna 4

Page 5: MK-3.docx

Caput medusa : -

Umbilikus : warna kemerahan (-), bentuk dbn

Bentuk dinding abdomen : lebih tinggi dari dinding dada

Simetrisitas : simetris

Benjolan : -

Peristaltik : Tidak terlihat

Pulsasi aorta : Tidak terlihat

Auskultasi : Peristaltik : +

Perkusi :Dominan timpani : +

Batas kanan atas hepar : SIC V linea midclavicularis dextra

Batas lobus hepar kiri : 2 cm di bawah Proc. Xyphoideus

Lien : Tidak ada pembesaran

Palpasi : Hepar : Tidak teraba

Lien : Tidak teraba

Masa abdomen : -

Nyeri tekan : +

Spasme otot : +

PEMERIKSAAN REN :

Pemeriksaan nyeri ketok ginjal : -/-

PEMERIKSAAN EKSTREMITAS :

Lengan : Dalam batas normal

Tangan : Dalam batas normal

Kaki : Dalam batas normal

V. RESUME ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK :

OS terlihat kesakitan, demam, mulut susah dibuka sehingga susah makan dan

minum,leher terasa kaku, pasien terlihat kesakitan, perut terasa sangat kaku dan

sendi sendi susah untuk digerakan, kejang dirasakan semenjak 1 hari SMRS.

Manajemen Kasus III-Interna 5

Page 6: MK-3.docx

VI. DAFTAR MASALAH PASIEN (BERDASARKAN DATA ANAMNESIS DAN

PEMERIKSAAN FISIK) :

A. Masalah aktif : kesakitan,kejang,rahang kaku,demam

B. Masalah pasif : kaku kuduk,rahang kaku,perut kaku

VII.DIAGNOSIS :

- Tetanus

VIII. RENCANA

A. Tindakan Terapi (di IGD)

Infus RL 20 tpm

Injeksi ketorolac (extra)

Injeksi Ondancetron 2x1 ampul

Injeksi Ranitidin 2x1 ampul

Injeksi ATS

Diazepam 2mg 2x1

Paracetamol 3x1

B. Tindakan Diagnostik/ Pemeriksaan Penunjang

Darah Rutin

Gula Darah Sewaktu

Eelektrolit

EKG

IX. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI

NORMAL

Hematologi

Darah rutin

Hb

Leukosit

12.0

11,2

g/dl

103/ul

11,7-15,5

3,6-11

Manajemen Kasus III-Interna 6

Page 7: MK-3.docx

Hematokrit

Eritrosit

Trombosit

MCV

MCH

MCHC

DIFF COUNT

Eosinofil

Basofil

Netrofil Segmen

Limfosit

Monosit

Kimia Klinik

Gula Darah Sewaktu

Kolesterol Total

Trigliserid

Asam Urat

39

4.8

180

81

27

34

1

0

69

27

8

110

90

39

4.9

%

106/ul

103/ul

fL

Pg

g/dL

%

%

%

%

%

mg/dL

mg/ dL

mg/ dL

mg/ dL

35-47

3.8-5,2

150-440

80-100

26-34

32-36

1-3

0-1

50-70

25-40

2-8

100-150

150-200

70-140

<6.8

DAFTAR HASIL FOLLOW UP

Manajemen Kasus III-Interna 7

Page 8: MK-3.docx

S O A P

Mual (-) sudah

berkurang

,kejang

3x,kaku

kuduk,kaku

rahang,kaku

perut,kaku

ekstremitas

KU : Cukup

TD : 100/70

N : 100

S : 36,2 oC

RR : 20 x/m

Leher; kaku kuduk

Rahang kaku

Abdomen : Nyeri tekan,kaku

Tetanus Non Farmakologis :

Cek Lab ulang DR,

ureum kreatinin

Farmakologis :

- Infus D5% drip

diazepam 4ampul

16 tpm

- Inj.cefriaxon 2x1a

- Inj.ranitidin 2x1a

- Inf.metronidazol

- Paracetamol

3x1tab

- Antasid Syr 3x1

Cth

Keluhan (+) TD : 110/80

N : 80 x/m

S : 37oC

RR : 20 x/m

Tetanus - Terapi lanjut

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI

NORMAL

Hematologi

Darah rutin

Hb

Leukosit

Hematokrit

12,0

8.0

32

g/dl

103/ul

%

11,7-15,5

3,6-11

35-47

Manajemen Kasus III-Interna 8

Page 9: MK-3.docx

Eritrosit

Trombosit

MCV

MCH

MCHC

DIFF COUNT

Eosinofil

Basofil

Netrofil Segmen

Limfosit

Monosit

3.9

220

80

25

31

1

0

67

27

8

106/ul

103/ul

fL

Pg

g/dL

%

%

%

%

%

3.8-5,2

150-440

80-100

26-34

32-36

1-3

0-1

50-70

25-40

2-8

TETANUS

Manajemen Kasus III-Interna 9

Page 10: MK-3.docx

A. Definisi

Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukan gejala dengan

gangguan neuromuskuler akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot yang

disebabkan oleh eksotosin spesifik dari kuman ananerob Clostridium tetani (De

jong, 2004).

B. Etiologi

Infeksi tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani yang bersifat anaerob

murni. Kuman ini mudah dikenali karena pembentukan spora dan bentuk yang khas.

Ujung sel menyerupai tongkat pemukul gendering atau raket squash (De jong,

2004).

Klasifikasi Ilmiah

Kingdom: Bacteria

Division: Firmicutes

Class: Clostridia

Order: Clostridiales

Family: Clostridiaceae

Genus: Clostridium

Species: Clostridium tetani (Arditayasa, 2008)

Karakteristik Umum

Manajemen Kasus III-Interna 10

Page 11: MK-3.docx

Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk batang lurus, langsing,

berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Kuman ini terdapat di

tanah terutama tanah yang tercemar tinja manusia dan binatang. Clostridium tetani

termasuk bakteri gram positif anaerobic berspora, mengeluarkan eksotoksin.

Costridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin.

Tetanospamin yang dapat menyebabkan penyakit tetanus. Perkiraan dosis

mematikan minimal dari kadar toksin (tetanospamin) adalah 2,5 nanogram per

kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk 70 kilogram (154lb) manusia

(Arditayasa, 2008).

Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak

memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak

menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif. Spora dari

Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap antiseptis.

Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8°F (121°C) selama

10–15 menit. Juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya

(Arditayasa, 2008).

C. Patogenesis

Clostridium Tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang

terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya spora ini

melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk (oleh besi: kaleng), luka

bakar, luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali

pusat, kadang–kadang luka tersebut hampir tak terlihat. Pandi dkk (1965)

melaporkan bahwa 70% pada telinga sebagai port d’entree, sedangkan beberapa

peneliti melaporkan bahwa porte d'entree melalui telinga hanya 6,5% (Iswara,

2009).

Jenis-jenis luka yang sering menjadi tempat masuknya kuman Clostridium

tetani sehingga harus mendapatkan perawatan khusus adalah:

Luka-luka tembus pada kulit atau yang menimbulkan kerusakan luas

Luka baker tingkat 2 dan 3

Fistula kulit atau pada sinus-sinusnya

Luka-luka di bawah kuku

Manajemen Kasus III-Interna 11

Page 12: MK-3.docx

Ulkus kulit yang iskemik

Luka bekas suntikan narkoba

Bekas irisan umbilicus pada bayi

Endometritis sesudah abortus septik

Abses gigi

Mastoiditis kronis

Ruptur apendiks

Abses dan luka yang mengandung bakteri dari tinja (Arditayasa, 2008).

Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi

hipoaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, lekosit yang mati,

benda–benda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian

berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka dilepaskan

eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin sangat mudah

mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai saraf melalui dua cara :

1. Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujung–ujung saraf

perifer atau motorik melalui axis silindrik ke cornu anterior susunan saraf pusat

dan susunan saraf perifer.

2. Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk

seterusnya susunan saraf pusat (Iswara, 2009).

Aktivitas tetanospamin pada motor end plate akan menghambat pelepasan

asetilkolin, tetapi tidak menghambat alfa dan gamma motor neuron sehingga tonus

otot meningkat dan terjadi kontraksi otot berupa spasme otot. Tetanospamin juga

mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus yang berat, sehingga terjadi

overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi, keringat yang

berlebihan dan meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urine. Tetanospamin

yang terikat pada jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir lagi oleh antitoksin

tetanus (Iswara, 2009).

Tetanolisin dalam percobaan dapat menghancurkan sel darah merah, tetapi

tidak menimbulkan tetanus secara langsung, melainkan menambah optimal kondisi

lokal untuk berkembangnya bakteri. Tetanospasmin terdiri atas protein yang bersifat

toksik terhadap sel saraf. Toksin ini diabsorpsi oleh end organ saraf di ujung saraf

Manajemen Kasus III-Interna 12

Page 13: MK-3.docx

motorik dan diteruskan melalui saraf sampai ke sel ganglion dan susunan saraf

pusat. Bila telah mencapai susunan saraf pusat dan terikat pada sel saraf, toksin

tersebut tidak dapat dinetralkan lagi. Saraf yang terpotong atau degenerasi, lambat

menyerap toksin, sedangkan saraf sensorik sama sekali tidak menyerap (De jong,

2004).

D. Gejala klinis

Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3–28 hari, namun dapat singkat

hanya 1–2 hari dan kadang–kadang lebih dari 1 bulan. Makin pendek masa inkubasi

makin jelek prognosanya. Terdapat hubungan antara jarak tempat invasi

Clostridium Tetani dengan susunan saraf pusat dan interval antara luka dan

permulaan penyakit, dimana makin jauh tempat invasi maka masa inkubasi makin

panjang. Secara klinis tetanus ada 3 macam yaitu tetanus umum, tetanus local,

tetanus cephalic (Iswara, 2009).

Tetanus umum

Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai.

Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka seperti luka

bakar yang luas, luka tusuk yang dalam, furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkus

dekubitus dan suntikan hipodermis (Barkin, 1979).

Manajemen Kasus III-Interna 13

Page 14: MK-3.docx

Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot baik bersifat

menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot. Kekakuan otot terutama pada rahang

(trismus) dan leher (kuduk kaku). Lima puluh persen penderita tetanus umum akan

menuunjukkan trismus. Dalam 24–48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh

sampai ke ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan

mulut sukar dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut 'Lock Jaw'. Selain kekakuan

otot masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka

menyerupai muka meringis kesakitan yang disebut 'Rhisus Sardonicus' (alis tertarik

ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi),

akibat kekakuan otot–otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu

melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai

opisthotonus (Barkin, 1979).

Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik

secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan

bunyi). Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat

dan kaki dalam posisi ekstensi. Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang

hebat serta ketakutan yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah

terangsang. Spasme otot–otot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan

gangguan menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urine sering terjadi karena spasme

sphincter kandung kemih (Barkin, 1979).

Kenaikan temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai panas

yang tinggi sehingga harus hati–hati terhadap komplikasi atau toksin menyebar luas

dan mengganggu pusat pengatur suhu. Pada kasus yang berat mudah terjadi

overaktivitas simpatis berupa takikardi, hipertensi yang labil, berkeringat banyak,

panas yang tinggi dan aritmia jantung (Barkin, 1979).

Menurut berat ringannya tetanus umum dapat dibagi atas:

1) Tetanus ringan: trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum

walaupun dirangsang.

Manajemen Kasus III-Interna 14

Page 15: MK-3.docx

2) Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila

dirangsang.

3) Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum yang

spontan (Barkin, 1979).

Cole dan Youngman (1969) membagi tetanus umum atas:

A. Grade 1: ringan

Masa inkubasi lebih dari 14 hari

Period of onset > 6 hari

Trismus positif tetapi tidak berat

Sukar makan dan minum tetapi disfagia tidak ada.

Lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme disekitar luka dan

kekakuan umum terjadi beberapa jam atau hari.

B. Grade II: sedang

Masa inkubasi 10–14 hari

Period of onset 3 hari atau kurang

Trismus ada dan disfagia ada.

Kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispnoe dan sianosis

tidak ada.

C. Grade III: berat

Masa inkubasi < 10 hari

Period of onset 3 hari atau kurang

Trismus berat

Disfagia berat.

Kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat

banyak dan takikardia (Barkin, 1979).

Manajemen Kasus III-Interna 15

Page 16: MK-3.docx

Tetanus lokal

Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena

gambaran klinis tidak khas. Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot–otot

pada bagian proksimal dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan

angka kematian 1%, kadang –kadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus

umum (Iswara, 2009).

Bentuk cephalic

Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka

mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, leper, otitis media kronis dan

jarang akibat tonsilectomi. Gejala berupa disfungsi saraf kranial antara lain: n. III,

IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendiri–sendiri maupun kombinasi dan

menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan–bulan. Tetanus cephalic dapat

berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya prognosa bentuk tetanus

cephalic jelek (Iswara, 2009).

E. Diagnosis

Diagnosis cukup ditegakan berdasarkan gejala klinis karena pemeriksaan

kuman Clostridium tetani belum tentu berhasil. Anamnesis tentang adanya kelainan

yang dapat menjadi tempat masuknya kuman tetanus, adanya trismus, risus

sardonikus, kaku kuduk, opistotonus, perut keras seperti papan atau kejang tanpa

gangguan kesadaran sudah cukup menegakan diagnosis tetanus (De Jong, 2004).

Bila gambaran klinis tetanus sudah jelas, biasanya diagnosis pasti mudah

ditegakan. Pada fase awal kadang dapat timbul keraguan. Infeksi lokal daerah mulut

juga sering disertai trismus. Kemungkinan lainnya adalah meningitis atau ensefaliti.

Pasien dengan gejala hysteria mungkin sulit dibedakan dengan pasien tetanus (De

Jong, 2004).

Manajemen Kasus III-Interna 16

Page 17: MK-3.docx

F. Penatalaksanaan

1) Pengobatan Umum:

Ruangan perawatan harus tenang.

Apabila terdapat luka maka dilakukan debridement dan medikasi luka setiap

hari dengan Rivanol atau Betadin. Apabila luka tertutup maka dibuat luka

terbuka dengan tujuan membuat kondisi aerob disekitar luka.

Pemberian analgetik untuk mengurangi rasa nyeri.

Bila perlu diberikan oksigen dan kadang–kadang diperlukan tindakan

trakeostomi untuk menghindari obstruksi jalan napas.

Jika banyak sekresi pada mulut akibat kejang atau penumpukan saliva maka

dibersihkan dengan pengisap lendir.

Makanan dan minuman melalui sonde lambung. Bahan makanan yang mudah

dicerna dan cukup mengandung protein dan kalori (Iswara, 2009).

2) Pengobatan Khusus:

a) Tetanus immunoglobulin (TIG)

Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:

- Toksin bebas dalam darah;

- Toksin yang bergabung dengan jaringan saraf.

Yang dapat dinetralisir oleh antitoksin adalah toksin yang bebas dalam

darah. Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat

dinetralisir oleh antitoksin.

Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan

dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara

intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin",

yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius (Arditayasa, 2008).

Di negara Barat pencegahan tetanus dilakukan dengan pernberian

kombinasi toksoid dan TIG. Tabel I di bawah ini adalah skema yang digunakan

di Amerika Serikat (Iswara, 2009) : 

Manajemen Kasus III-Interna 17

Page 18: MK-3.docx

Imunisasi

tetanus

sebelumnya

(dosis)

Luka kecil Luka besar / Luka tembus /

Luka kotor

Toksoid TIG Toksoid TIG

Tidak jelas Td - Td Ya

0 - 1 Td - Td Ya

2 Td - Td -(x)

> 3 -(xx) - -(xxx) -

 Keterangan:

TIG         : Tetanus Imun Globulin (manusia)

Td           : Tetanus difteri toksoid

-              : Tidak diberikan

Ya           : Diberikan

x              : Kecuali luka lebih dari 24 jam

xx            : Kecuali telah lebih dari 10 tahun pemberian toksoid yang terakhir

xxx          : Kecuali telah lebih dari 5 tahun pemberian toksoid yang terakhir

b) Anti Tetanus Serum (ATS)

ATS diberikan apabila TIG tidak tersedia. Sebelum pemberian ATS

harus dilakukan:

- Anamnesa apakah ada riwayat alergi;

- Tes kulit dan mata; dan

- Harus selalu sedia Adrenalin 1:1.000.

Ini dilakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda, yang bersifat

heterolog sehingga mungkin terjadi syok anafilaksis.

Manajemen Kasus III-Interna 18

Page 19: MK-3.docx

Tes mata

Pada konjungtiva bagian bawah diteteskan 1 tetes larutan antitoksin

tetanus 1:10 dalam larutan garam faali, sedang pada mata yang lain hanya

ditetesi garam faali. Positif bila dalam 20 menit, tampak kemerahan dan

bengkak pada konjungtiva.

Tes kulit

Suntikan 0,1 cc larutan 1/1000 antitoksin tetanus dalam larutan faali

secara intrakutan. Reaksi positif bila dalam 20 menit pada tempat suntikan

terjadi kemerahan dan indurasi lebih dari 10 mm. Bila tes mata dan kulit

keduanya positif, maka antitoksin diberikan secara bertahap.

Dosis

Dosis ATS biasanya diberikan 10.000-20.000 U selama 5 hari berturut-

turut. Akan tetapi ada yang berbeda pendapat. Behrman (1987) dan Grossman

(1987) menganjurkan dosis 50.000–100.000 U yang diberikan setengah lewat

intravena dan setengahnya intramuskuler. Pemberian lewat intravena diberikan

dengan cara melarutkannya dalam 100–200 cc glukosa 5% dan diberikan selama

1–2 jam. Di FKUI, ATS diberikan dengan dosis 20.000 U selama 3 hari (Iswara,

2009).

c) Antikonvulsan dan sedatif

Obat–obat ini digunakan untuk merelaksasi otot dan mengurangi

kepekaan jaringan saraf terhadap rangsangan. Obat yang ideal dalam

penanganan tetanus ialah obat yang dapat mengontrol kejang dan menurunkan

spastisitas tanpa mengganggu pernapasan, gerakan–gerakan volunter atau

kesadaran.

Obat–obat yang lazim digunakan ialah:

- Diazepam

Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis 0,1

mg/kg.bb/kali i.v. perlahan–lahan dengan dosis optimum 10 mg/kali diulangi

setiap kali kejang. Diikuti pemberian diazepam peroral (sonde lambung) dengan

dosis 0,1 mg/kg.bb/kali sehari diberikan 6 kali (Iswara, 2009).

Manajemen Kasus III-Interna 19

Page 20: MK-3.docx

- Fenobarbital

Dosis awal: 1 tahun 50 mg intramuskuler; 1 tahun 75 mg intramuskuler.

Dilanjutkan dengan dosis oral 5–9 mg/kg.bb/hari dibagi dalam 3 dosis (Iswara,

2009).

- MgSO4

Magnesium menghambat aktifitas dan ganglion simpatis sehingga dapat

digunakan untuk mengontrol penderita tetanus yang berat dengan cara

mencegah pelepasan katekolamin sehingga dapat menurunkan kepekaan

reseptor adrenergik alfa (Joshi, 2007).

Obat anti kejang MgSO4 diberikan dalam infus dextrose 5% sebanyak

500 cc tiap 6 jam. Cara pemberian MgSO4 : dosis awal 2 gram intravena

diberikan dalam 10 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan sebanyak 2

gram per jam drip infus (80 ml/jam atau 15-20 tetes/menit). Apabila kejang

masih terjadi diberikan MgSO4 10gr IM, masing-masing 5gr bokong kanan dan

bokong kiri.

Syarat pemberian MgSO4 :

o frekuensi napas lebih dari 16 kali permenit

o tidak ada tanda-tanda gawat napas

o diuresis lebih dari 100 ml dalam 4 jam sebelumnya

o refleks patella positif.

MgSO4 dihentikan bila ada tanda-tanda intoksikasi. Siapkan antidotum

MgSO4 yaitu Ca-glukonas 10% (1 gram dalam 10 cc NaCl 0.9%, diberikan

intravena dalam 3 menit).

Dalam beberapa penelitian MgSO4 efektif untuk mengatasi spasme otot.

Di rumah sakit Eastern Nepal, MgSO4 merupakan protocol tetap untuk

penatalaksanaan pasien tetanus (Joshi, 2007).

Manajemen Kasus III-Interna 20

Page 21: MK-3.docx

d) Antibiotik.

- Penisilin Prokain

Digunakan untuk membasmi bentuk vegetatif Clostridium Tetani. Dosis:

50.000 u/kg.bb/hari i.m selama 10 hari atau 3 hari setelah panas turun. Dosis

optimal 600.000 u/hari (Iswara, 2009).

- Tetrasiklin dan Eritromisin

Diberikan terutama bila penderita alergi terhadap penisilin. Tetrasiklin :

30–50 mg/kg.bb/hari dalam 4 dosis. Eritromisin : 50 mg/kg.bb/hari dalam 4

dosis, selama 10 hari (Iswara, 2009).

-Metronidazole

Metronidazole merupakan pilihan obat untuk mengeliminasi Clostridium

tetani. Dalam beberapa penelitian metronidazole lebih baik daripada

menggunakan penisilin karena penisilin dalam beberapa kasus bisa memacu

antagonis GABA yang bisa meningkatkan resiko terjadinya kejang. Selain itu

metronidazole mempunyai kemampuan penetrasi yang lebih baik ke jaringan

anaerob, sehingga mengeliminasi Clostridium tetani lebih cepat daripada

penisilin. Dosis yang diberikan adalah 500 mg per 8 jam (Joshi, 2007).

e) Oksigen

Diberikan oksigen dengan nasal kanul 4-6 L/menit bila terjadi asfiksia

dan sianosis (Iswara, 2009).

f) Trakeostomi

Gangguan yang mengindikasikan perlunya dilakukan trakeostomi :

o terjadinya obstruksi jalan nafas atas

o sekret pada bronkus yang tidak dapat dikeluarkan secara fisiologis, misalnya

pada pasien dalam keadaan koma.

o untuk memasang alat bantu pernafasan (respirator).

o apabila terdapat benda asing di subglotis.

Manajemen Kasus III-Interna 21

Page 22: MK-3.docx

o penyakit inflamasi yang menyumbat jalan nafas ( misal angina ludwig),

epiglotitis dan lesi vaskuler, neoplastik atau traumatik yang timbul melalui

mekanisme serupa.

o mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran nafas atas seperti rongga

mulut, sekitar lidah dan faring. Hal ini sangat berguna pada pasien dengan

kerusakan paru, yang kapasitas vitalnya berkurang

o Cedera parah pada wajah dan leher

o Setelah pembedahan wajah dan leher

o Hilangnya refleks laring dan ketidakmampuan untuk menelan sehingga

mengakibatkan resiko tinggi terjadinya aspirasi (Utama, 2007).

Dilakukan pada penderita tetanus jika terjadi:

- Spasme berkepanjangan dari otot respirasi

- Tidak ada kesanggupan batuk atau menelan

- Obstruksi larings; dan

- Koma (Iswara, 2009).

G. Komplikasi

1) Pada saluran pernapasan

Oleh karena spasme otot–otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya

kejang menyebabkan terjadi asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta

sukarnya menelan air liur dan makanan atau minuman sehingga sering terjadi

aspirasi pneumoni, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret. Pneumotoraks dan

mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.

2) Pada kardiovaskuler

Komplikasi berupa akti itas simpatis yang meningkat antara lain berupa

takikardia, hiperrtensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.

3) Pada tulang dan otot

Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam

otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura columna vertebralis akibat kejang yang

terus–menerus terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti melaporkan

juga dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta.

Manajemen Kasus III-Interna 22

Page 23: MK-3.docx

4) Komplikasi yang lain:

- Laserasi lidah akibat kejang;

- Dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja

- Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan

mengganggu pusat pengatur suhu.

Penyebab kematian penderita tetanus akibat komplikasi yaitu:

Bronkopneumonia, cardiac arrest, septikemia dan pneumotoraks (Asa, 1986).

H. Prognosis

Dipengaruhi oleh beberapa faktor:

1) Masa inkubasi

Makin panjang masa inkubasi biasanya penyakit makin ringan, sebaliknya

makin pendek masa inkubasi penyakit makin berat. Pada umumnya bila inkubasi

kurang dari 7 hari maka tergolong berat.

2) Umur

Makin muda umur penderita seperti pada neonatus maka prognosanya makin

jelek.

3) Period of onset

Period of onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya trismus

sampai terjadi kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosa jelek.

4) Panas

Pada tetanus febris tidak selalu ada. Adanya hiperpireksia maka prognosanya

jelek.

5) Pengobatan

Pengobatan yang terlambat prognosa jelek.

6) Ada tidaknya komplikasi

7) Frekuensi kejang

Semakin sering kejang semakin jelek prognosanya (Iswara, 2009).

Manajemen Kasus III-Interna 23

Page 24: MK-3.docx

I. Pencegahan

1) Pertimbangan individual penderita

Pada setiap penderita luka harus ditentukan apakah perlu tindakan

profilaksis terhadap tetanus dengan mempertimbangkan keadaan / jenis luka,

dan riwayat imunisasi.

2) Debridement

Tanpa memperhatikan status imunisasi. Eksisi jaringan nekrotik dan benda

asing harus dikerjakan untuk semua jenis luka.

3) Imunisasi aktif

Tetanus toksoid diberikan dengan dosis sebanyak 0,5 cc IM, diberikan

selama 1x sebulan selama 3 bulan berturut-turut. DPT terutama diberikan pada

anak. Diberikan pada usia 2-6 bulan dengan dosis sebesar 0,5 cc IM, 1 x sebulan

selama 3 bulan berturut–turut. Booster diberikan pada usia 12 bulan, 1 x 0,5 cc

IM dan antara 5-6 tahun 1 x 0,5 cc IM. Booster diberikan setiap 10 tahun setelah

suntikan imunisasi dasar lengkap.

Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat cedera,

baik sebagai imunisasi dasar ataupun sebagai booster kecuali bila penderita telah

mendapat booster dalam 5 tahun terakhir.

4) Imunisasi Pasif

ATS (anti tetanus serum), dapat merupakan antitoksin bovine maupun

antitoksin equine. Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 1500 IU per

IM dan untuk anak-anak adalah 750 IU per IM.

HIG (human immunoglobuline) merupakan antitoksin berasal dari

manusia. Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 250 IU per IM

(setara dengan 1500 IU ATS), sedangkan untuk anak-anak adalah 125 IU per

Manajemen Kasus III-Interna 24

Page 25: MK-3.docx

IM. HIG diberikan apabila penderita alergi terhadap ATS yang diolah dari

hewan (Karakata, 1992).

KESIMPULAN

Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukan gejala dengan

gangguan neuromuskuler akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot yang

disebabkan oleh eksotosin spesifik dari kuman ananerob Clostridium tetani.

Clostridium Tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang

terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Bila keadaan menguntungkan

di mana tempat luka tersebut menjadi hipoaerob sampai anaerob disertai terdapatnya

jaringan nekrotis, lekosit yang mati, benda–benda asing maka spora berubah menjadi

vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman

lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.

Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3–28 hari, namun dapat singkat hanya

1–2 hari dan kadang–kadang lebih dari 1 bulan. Secara klinis tetanus ada 3 macam yaitu

tetanus umum, tetanus local, tetanus cephalic. Diagnosis cukup ditegakan berdasarkan

gejala klinis. Anamnesis tentang adanya kelainan yang dapat menjadi tempat masuknya

kuman tetanus, adanya trismus, risus sardonikus, kaku kuduk, opistotonus, perut keras

seperti papan atau kejang tanpa gangguan kesadaran sudah cukup menegakan diagnosis

tetanus.

Prinsip penatalaksanaan yaitu dengan mengurangi rasa nyeri, menghilangkan

kuman penyebab, menetralkan toksin yang beredar dalam darah, mencegah terjadinya

kejang berulang, mengatasi penyulit, dan mencegah terjadinya komplikasi. Prognosis

tetanus tergantung berdasarkan masa Inkubasi, usia penderita, frekuensi kejang,

kenaikan suhu badan, pengobatan terlambat, adanya penyulit seperti spasme otot

pernafasan atau obstruksi jalan nafas.

Pencegahan merupakan jalan terbaik daripada melakukan pengobatan. Cara

pencegahan tetanus bisa dilakukan dengan mencegah terjadinya luka, apabila terjadi

luka dilakukan pengobatan yang adekuat, pemberian imunisasi aktif atau dengan

pemberian imunisasi pasif.

Manajemen Kasus III-Interna 25

Page 26: MK-3.docx

DAFTAR PUSTAKA

Arditayasa, Wayan. 2008. Clotridium tetani. Fakultas Kedokteran Universitas

Gajah Mada Bagian Mikrobiologi.

Asa, K. D.; Bertorini, T. E. Pinals, R. S. Case Report Myositis Ossificans

Circumscripta, a Complication of Tetanus. Am. J. Med. Sciences 1986

Atrakchi, S. A. and Wilson, D. H. Epidemiology. Br. Med. J. 1977

Barkin, R. M.; Pichichero, M. E. Diphteria–Pertusis–Tetanus Vaccine

Teactogenicity. Cimmercial Products. Pediatricas 1979

De Jong, Wim, R. Sjamsuhidayat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Iswara, Yoga. 2009. Difteri, Pertusis, Tetanus. Wordpress.com

Joshi, Agarwal B., Malla , Karmacharya B. 2007. Complete elimination of

tetanus is still elusive in developingcountries: A review of adult tetanus cases

from referral hospital in Eastern Nepal. Kathmandu University Medical Journal.

Karakata, Sumiardi. 1992. Bedah minor. Jakarta : hipokrates

Ritarwan, Kiking. 2004. Tetanus. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara Bagian Neurologi. RSU H. Adam malik.

Utama, Harry Wahyudhy. 2007. Trakeostomi. Wordpress.com

Manajemen Kasus III-Interna 26

Page 27: MK-3.docx

Manajemen Kasus III-Interna 27