mk-3.docx
TRANSCRIPT
![Page 1: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/1.jpg)
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA FAKULTAS KEDOKTERAN
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
STATUS PASIEN UNTUK UJIANUntuk Dokter Muda
Nama Dokter Muda Tanda TanganNIM
Tanggal Ujian 13 April 2015
Rumah sakitRSUD Dr.R Goeteng Taroenadibrata Purbalingga
Gelombang Periode
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.D
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 52 tahun
Alamat : Karang talun 2/2
Agama : Islam
Mondok di bangsal : Kenanga
Pekerjaan : Buruh serabutan
Tanggal masuk :
Nomor CM : 00539927
II. ANAMNESIS
KU : Sakit seluruh tubuh
RPS :
3 hari sebelum masuk rumah sakit OS mengeluhkan sakit seluruh tubuh,mulut
susah dibuka sehingga susah makan dan minum,leher terasa kaku,pasien terlihat
kesakitan,perut terasa sangat kaku dan sendi sendi susah untuk digerakan,kejang
dirasakan semenjak 1 hari SMRS.
RPD : Keluhan serupa (+), HT (-), DM (-)
Manajemen Kasus III-Interna 1
![Page 2: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/2.jpg)
RPK : Keluhan serupa (-), Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-)
Kebiasaan & Lingkungan : Satu bulan yang lalu pasien tertusuk paku pada kaki kanan
di tempat kerjanya,tidak diobati dan hanya ditutup dengan
plester,pasien tidak menggunakan alas kaki saat bekeja.
III. PEMERIKSAAN TANDA VITAL (VITAL SIGN)
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Suhu tubuh : 38,1oC
Frekuensi denyut nadi : 110 x/m
Frekuensi nafas : 22 x/m
IV. PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK
A. KEADAAN UMUM
Kedaan Umum : Tampak kesakitan
Kesadaran : Compos Mentis
Tinggi badan : 156 cm
Berat badan : 50 kg
BMI : 18.4
Kesan : Normoweight
Skema manusia
Gambarkan pada skema di atas jika ada kelainan lokal dan berikan keterangan
secukupnya
Manajemen Kasus III-Interna 2
![Page 3: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/3.jpg)
B. PEMERIKSAAN KEPALA :
1. Mata : Konjungtiva anemis : -/-
Sklera Ikterik : -/-
2. Hidung : Discharge : -
Deviasi : -
Nyeri tekan hidung : -
Nyeri tekan sinus paranasal : -
3. Telinga : Kelainan bentuk telinga : -
Discharge : -
Epistaksis : -
Benjolan : -
Pembesaran limfonodi pre/post : -
Nyeri tekan : -
4. Mulut : susah untuk dibuka
C. PEMERIKSAAN LEHER :
Inspeksi :
Benjolan/Massa : Tampak massa (-)
Pembesaran kelenjar limfonodi : -
Vena Jugularis : Tidak meningkat
Palpasi :
Benjolan/Masa : -
Nyeri tekan : -
Pemeriksaan trakea :
Deviasi trakea : -
Pemeriksaan kelenjar tiroid :
Pembesaran Kelenjar Tiroid : -
Ikut bergerak saat gerakan menelan : -
Konsistensi : -
Nyeri Tekan : -
Manajemen Kasus III-Interna 3
![Page 4: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/4.jpg)
Bruit : -
Pemeriksaan tekanan vena sentral : 5+2 cm H2O Interpretasi : Normal
D. PEMERIKSAAN THORAKS
Jantung :
Inspeksi : Sianosis sentral : -
Pulsasi ictus cordis : Terlihat di SIC V linea axilaris anterior
sinistra
Palpasi : Pulsasi ictus cordis : Teraba di SIC V, linea axilaris anterior
sinistra, kuat angkat, thrill (-)
Perkusi : Batas jantung kanan di SIC IV linea sternalis dextra
Batas jantung kiri di SIC V linea axilaris anterior sinistra
Batas jantung atas di SIC II linea sternalis sinistra
Interpretasi : Hipertrofi ventrikel kiri
Auskultasi : S1 - S2 reguler, bising (-)
Paru :
Inspeksi : Deformitas dinding dada : -
Barrel chest : -
Deviasi tulang belakang : -
Retraksi dinding dada : -
Ketinggalan gerak : -
Spatium intercosta : normal
Palpasi : Vocal fremitus ki/ka : sama, normal
Nyeri tekan : -
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler +/+
Interpretasi : Keadaan paru dalam batas normal
E. PEMERIKSAAN ABDOMEN :
Inspeksi : Pelebaran vena : -
Manajemen Kasus III-Interna 4
![Page 5: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/5.jpg)
Caput medusa : -
Umbilikus : warna kemerahan (-), bentuk dbn
Bentuk dinding abdomen : lebih tinggi dari dinding dada
Simetrisitas : simetris
Benjolan : -
Peristaltik : Tidak terlihat
Pulsasi aorta : Tidak terlihat
Auskultasi : Peristaltik : +
Perkusi :Dominan timpani : +
Batas kanan atas hepar : SIC V linea midclavicularis dextra
Batas lobus hepar kiri : 2 cm di bawah Proc. Xyphoideus
Lien : Tidak ada pembesaran
Palpasi : Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Masa abdomen : -
Nyeri tekan : +
Spasme otot : +
PEMERIKSAAN REN :
Pemeriksaan nyeri ketok ginjal : -/-
PEMERIKSAAN EKSTREMITAS :
Lengan : Dalam batas normal
Tangan : Dalam batas normal
Kaki : Dalam batas normal
V. RESUME ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK :
OS terlihat kesakitan, demam, mulut susah dibuka sehingga susah makan dan
minum,leher terasa kaku, pasien terlihat kesakitan, perut terasa sangat kaku dan
sendi sendi susah untuk digerakan, kejang dirasakan semenjak 1 hari SMRS.
Manajemen Kasus III-Interna 5
![Page 6: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/6.jpg)
VI. DAFTAR MASALAH PASIEN (BERDASARKAN DATA ANAMNESIS DAN
PEMERIKSAAN FISIK) :
A. Masalah aktif : kesakitan,kejang,rahang kaku,demam
B. Masalah pasif : kaku kuduk,rahang kaku,perut kaku
VII.DIAGNOSIS :
- Tetanus
VIII. RENCANA
A. Tindakan Terapi (di IGD)
Infus RL 20 tpm
Injeksi ketorolac (extra)
Injeksi Ondancetron 2x1 ampul
Injeksi Ranitidin 2x1 ampul
Injeksi ATS
Diazepam 2mg 2x1
Paracetamol 3x1
B. Tindakan Diagnostik/ Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin
Gula Darah Sewaktu
Eelektrolit
EKG
IX. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI
NORMAL
Hematologi
Darah rutin
Hb
Leukosit
12.0
11,2
g/dl
103/ul
11,7-15,5
3,6-11
Manajemen Kasus III-Interna 6
![Page 7: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/7.jpg)
Hematokrit
Eritrosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
DIFF COUNT
Eosinofil
Basofil
Netrofil Segmen
Limfosit
Monosit
Kimia Klinik
Gula Darah Sewaktu
Kolesterol Total
Trigliserid
Asam Urat
39
4.8
180
81
27
34
1
0
69
27
8
110
90
39
4.9
%
106/ul
103/ul
fL
Pg
g/dL
%
%
%
%
%
mg/dL
mg/ dL
mg/ dL
mg/ dL
35-47
3.8-5,2
150-440
80-100
26-34
32-36
1-3
0-1
50-70
25-40
2-8
100-150
150-200
70-140
<6.8
DAFTAR HASIL FOLLOW UP
Manajemen Kasus III-Interna 7
![Page 8: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/8.jpg)
S O A P
Mual (-) sudah
berkurang
,kejang
3x,kaku
kuduk,kaku
rahang,kaku
perut,kaku
ekstremitas
KU : Cukup
TD : 100/70
N : 100
S : 36,2 oC
RR : 20 x/m
Leher; kaku kuduk
Rahang kaku
Abdomen : Nyeri tekan,kaku
Tetanus Non Farmakologis :
Cek Lab ulang DR,
ureum kreatinin
Farmakologis :
- Infus D5% drip
diazepam 4ampul
16 tpm
- Inj.cefriaxon 2x1a
- Inj.ranitidin 2x1a
- Inf.metronidazol
- Paracetamol
3x1tab
- Antasid Syr 3x1
Cth
Keluhan (+) TD : 110/80
N : 80 x/m
S : 37oC
RR : 20 x/m
Tetanus - Terapi lanjut
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI
NORMAL
Hematologi
Darah rutin
Hb
Leukosit
Hematokrit
12,0
8.0
32
g/dl
103/ul
%
11,7-15,5
3,6-11
35-47
Manajemen Kasus III-Interna 8
![Page 9: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/9.jpg)
Eritrosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
DIFF COUNT
Eosinofil
Basofil
Netrofil Segmen
Limfosit
Monosit
3.9
220
80
25
31
1
0
67
27
8
106/ul
103/ul
fL
Pg
g/dL
%
%
%
%
%
3.8-5,2
150-440
80-100
26-34
32-36
1-3
0-1
50-70
25-40
2-8
TETANUS
Manajemen Kasus III-Interna 9
![Page 10: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/10.jpg)
A. Definisi
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukan gejala dengan
gangguan neuromuskuler akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot yang
disebabkan oleh eksotosin spesifik dari kuman ananerob Clostridium tetani (De
jong, 2004).
B. Etiologi
Infeksi tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani yang bersifat anaerob
murni. Kuman ini mudah dikenali karena pembentukan spora dan bentuk yang khas.
Ujung sel menyerupai tongkat pemukul gendering atau raket squash (De jong,
2004).
Klasifikasi Ilmiah
Kingdom: Bacteria
Division: Firmicutes
Class: Clostridia
Order: Clostridiales
Family: Clostridiaceae
Genus: Clostridium
Species: Clostridium tetani (Arditayasa, 2008)
Karakteristik Umum
Manajemen Kasus III-Interna 10
![Page 11: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/11.jpg)
Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk batang lurus, langsing,
berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Kuman ini terdapat di
tanah terutama tanah yang tercemar tinja manusia dan binatang. Clostridium tetani
termasuk bakteri gram positif anaerobic berspora, mengeluarkan eksotoksin.
Costridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin.
Tetanospamin yang dapat menyebabkan penyakit tetanus. Perkiraan dosis
mematikan minimal dari kadar toksin (tetanospamin) adalah 2,5 nanogram per
kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk 70 kilogram (154lb) manusia
(Arditayasa, 2008).
Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak
memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak
menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif. Spora dari
Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap antiseptis.
Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8°F (121°C) selama
10–15 menit. Juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya
(Arditayasa, 2008).
C. Patogenesis
Clostridium Tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya spora ini
melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk (oleh besi: kaleng), luka
bakar, luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali
pusat, kadang–kadang luka tersebut hampir tak terlihat. Pandi dkk (1965)
melaporkan bahwa 70% pada telinga sebagai port d’entree, sedangkan beberapa
peneliti melaporkan bahwa porte d'entree melalui telinga hanya 6,5% (Iswara,
2009).
Jenis-jenis luka yang sering menjadi tempat masuknya kuman Clostridium
tetani sehingga harus mendapatkan perawatan khusus adalah:
Luka-luka tembus pada kulit atau yang menimbulkan kerusakan luas
Luka baker tingkat 2 dan 3
Fistula kulit atau pada sinus-sinusnya
Luka-luka di bawah kuku
Manajemen Kasus III-Interna 11
![Page 12: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/12.jpg)
Ulkus kulit yang iskemik
Luka bekas suntikan narkoba
Bekas irisan umbilicus pada bayi
Endometritis sesudah abortus septik
Abses gigi
Mastoiditis kronis
Ruptur apendiks
Abses dan luka yang mengandung bakteri dari tinja (Arditayasa, 2008).
Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi
hipoaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, lekosit yang mati,
benda–benda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian
berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka dilepaskan
eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin sangat mudah
mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai saraf melalui dua cara :
1. Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujung–ujung saraf
perifer atau motorik melalui axis silindrik ke cornu anterior susunan saraf pusat
dan susunan saraf perifer.
2. Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk
seterusnya susunan saraf pusat (Iswara, 2009).
Aktivitas tetanospamin pada motor end plate akan menghambat pelepasan
asetilkolin, tetapi tidak menghambat alfa dan gamma motor neuron sehingga tonus
otot meningkat dan terjadi kontraksi otot berupa spasme otot. Tetanospamin juga
mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus yang berat, sehingga terjadi
overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi, keringat yang
berlebihan dan meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urine. Tetanospamin
yang terikat pada jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir lagi oleh antitoksin
tetanus (Iswara, 2009).
Tetanolisin dalam percobaan dapat menghancurkan sel darah merah, tetapi
tidak menimbulkan tetanus secara langsung, melainkan menambah optimal kondisi
lokal untuk berkembangnya bakteri. Tetanospasmin terdiri atas protein yang bersifat
toksik terhadap sel saraf. Toksin ini diabsorpsi oleh end organ saraf di ujung saraf
Manajemen Kasus III-Interna 12
![Page 13: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/13.jpg)
motorik dan diteruskan melalui saraf sampai ke sel ganglion dan susunan saraf
pusat. Bila telah mencapai susunan saraf pusat dan terikat pada sel saraf, toksin
tersebut tidak dapat dinetralkan lagi. Saraf yang terpotong atau degenerasi, lambat
menyerap toksin, sedangkan saraf sensorik sama sekali tidak menyerap (De jong,
2004).
D. Gejala klinis
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3–28 hari, namun dapat singkat
hanya 1–2 hari dan kadang–kadang lebih dari 1 bulan. Makin pendek masa inkubasi
makin jelek prognosanya. Terdapat hubungan antara jarak tempat invasi
Clostridium Tetani dengan susunan saraf pusat dan interval antara luka dan
permulaan penyakit, dimana makin jauh tempat invasi maka masa inkubasi makin
panjang. Secara klinis tetanus ada 3 macam yaitu tetanus umum, tetanus local,
tetanus cephalic (Iswara, 2009).
Tetanus umum
Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai.
Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka seperti luka
bakar yang luas, luka tusuk yang dalam, furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkus
dekubitus dan suntikan hipodermis (Barkin, 1979).
Manajemen Kasus III-Interna 13
![Page 14: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/14.jpg)
Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot baik bersifat
menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot. Kekakuan otot terutama pada rahang
(trismus) dan leher (kuduk kaku). Lima puluh persen penderita tetanus umum akan
menuunjukkan trismus. Dalam 24–48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh
sampai ke ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan
mulut sukar dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut 'Lock Jaw'. Selain kekakuan
otot masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka
menyerupai muka meringis kesakitan yang disebut 'Rhisus Sardonicus' (alis tertarik
ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi),
akibat kekakuan otot–otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu
melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai
opisthotonus (Barkin, 1979).
Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik
secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan
bunyi). Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat
dan kaki dalam posisi ekstensi. Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang
hebat serta ketakutan yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah
terangsang. Spasme otot–otot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan
gangguan menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urine sering terjadi karena spasme
sphincter kandung kemih (Barkin, 1979).
Kenaikan temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai panas
yang tinggi sehingga harus hati–hati terhadap komplikasi atau toksin menyebar luas
dan mengganggu pusat pengatur suhu. Pada kasus yang berat mudah terjadi
overaktivitas simpatis berupa takikardi, hipertensi yang labil, berkeringat banyak,
panas yang tinggi dan aritmia jantung (Barkin, 1979).
Menurut berat ringannya tetanus umum dapat dibagi atas:
1) Tetanus ringan: trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum
walaupun dirangsang.
Manajemen Kasus III-Interna 14
![Page 15: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/15.jpg)
2) Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila
dirangsang.
3) Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum yang
spontan (Barkin, 1979).
Cole dan Youngman (1969) membagi tetanus umum atas:
A. Grade 1: ringan
Masa inkubasi lebih dari 14 hari
Period of onset > 6 hari
Trismus positif tetapi tidak berat
Sukar makan dan minum tetapi disfagia tidak ada.
Lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme disekitar luka dan
kekakuan umum terjadi beberapa jam atau hari.
B. Grade II: sedang
Masa inkubasi 10–14 hari
Period of onset 3 hari atau kurang
Trismus ada dan disfagia ada.
Kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispnoe dan sianosis
tidak ada.
C. Grade III: berat
Masa inkubasi < 10 hari
Period of onset 3 hari atau kurang
Trismus berat
Disfagia berat.
Kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat
banyak dan takikardia (Barkin, 1979).
Manajemen Kasus III-Interna 15
![Page 16: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/16.jpg)
Tetanus lokal
Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena
gambaran klinis tidak khas. Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot–otot
pada bagian proksimal dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan
angka kematian 1%, kadang –kadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus
umum (Iswara, 2009).
Bentuk cephalic
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka
mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, leper, otitis media kronis dan
jarang akibat tonsilectomi. Gejala berupa disfungsi saraf kranial antara lain: n. III,
IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendiri–sendiri maupun kombinasi dan
menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan–bulan. Tetanus cephalic dapat
berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya prognosa bentuk tetanus
cephalic jelek (Iswara, 2009).
E. Diagnosis
Diagnosis cukup ditegakan berdasarkan gejala klinis karena pemeriksaan
kuman Clostridium tetani belum tentu berhasil. Anamnesis tentang adanya kelainan
yang dapat menjadi tempat masuknya kuman tetanus, adanya trismus, risus
sardonikus, kaku kuduk, opistotonus, perut keras seperti papan atau kejang tanpa
gangguan kesadaran sudah cukup menegakan diagnosis tetanus (De Jong, 2004).
Bila gambaran klinis tetanus sudah jelas, biasanya diagnosis pasti mudah
ditegakan. Pada fase awal kadang dapat timbul keraguan. Infeksi lokal daerah mulut
juga sering disertai trismus. Kemungkinan lainnya adalah meningitis atau ensefaliti.
Pasien dengan gejala hysteria mungkin sulit dibedakan dengan pasien tetanus (De
Jong, 2004).
Manajemen Kasus III-Interna 16
![Page 17: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/17.jpg)
F. Penatalaksanaan
1) Pengobatan Umum:
Ruangan perawatan harus tenang.
Apabila terdapat luka maka dilakukan debridement dan medikasi luka setiap
hari dengan Rivanol atau Betadin. Apabila luka tertutup maka dibuat luka
terbuka dengan tujuan membuat kondisi aerob disekitar luka.
Pemberian analgetik untuk mengurangi rasa nyeri.
Bila perlu diberikan oksigen dan kadang–kadang diperlukan tindakan
trakeostomi untuk menghindari obstruksi jalan napas.
Jika banyak sekresi pada mulut akibat kejang atau penumpukan saliva maka
dibersihkan dengan pengisap lendir.
Makanan dan minuman melalui sonde lambung. Bahan makanan yang mudah
dicerna dan cukup mengandung protein dan kalori (Iswara, 2009).
2) Pengobatan Khusus:
a) Tetanus immunoglobulin (TIG)
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:
- Toksin bebas dalam darah;
- Toksin yang bergabung dengan jaringan saraf.
Yang dapat dinetralisir oleh antitoksin adalah toksin yang bebas dalam
darah. Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat
dinetralisir oleh antitoksin.
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan
dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara
intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin",
yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius (Arditayasa, 2008).
Di negara Barat pencegahan tetanus dilakukan dengan pernberian
kombinasi toksoid dan TIG. Tabel I di bawah ini adalah skema yang digunakan
di Amerika Serikat (Iswara, 2009) :
Manajemen Kasus III-Interna 17
![Page 18: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/18.jpg)
Imunisasi
tetanus
sebelumnya
(dosis)
Luka kecil Luka besar / Luka tembus /
Luka kotor
Toksoid TIG Toksoid TIG
Tidak jelas Td - Td Ya
0 - 1 Td - Td Ya
2 Td - Td -(x)
> 3 -(xx) - -(xxx) -
Keterangan:
TIG : Tetanus Imun Globulin (manusia)
Td : Tetanus difteri toksoid
- : Tidak diberikan
Ya : Diberikan
x : Kecuali luka lebih dari 24 jam
xx : Kecuali telah lebih dari 10 tahun pemberian toksoid yang terakhir
xxx : Kecuali telah lebih dari 5 tahun pemberian toksoid yang terakhir
b) Anti Tetanus Serum (ATS)
ATS diberikan apabila TIG tidak tersedia. Sebelum pemberian ATS
harus dilakukan:
- Anamnesa apakah ada riwayat alergi;
- Tes kulit dan mata; dan
- Harus selalu sedia Adrenalin 1:1.000.
Ini dilakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda, yang bersifat
heterolog sehingga mungkin terjadi syok anafilaksis.
Manajemen Kasus III-Interna 18
![Page 19: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/19.jpg)
Tes mata
Pada konjungtiva bagian bawah diteteskan 1 tetes larutan antitoksin
tetanus 1:10 dalam larutan garam faali, sedang pada mata yang lain hanya
ditetesi garam faali. Positif bila dalam 20 menit, tampak kemerahan dan
bengkak pada konjungtiva.
Tes kulit
Suntikan 0,1 cc larutan 1/1000 antitoksin tetanus dalam larutan faali
secara intrakutan. Reaksi positif bila dalam 20 menit pada tempat suntikan
terjadi kemerahan dan indurasi lebih dari 10 mm. Bila tes mata dan kulit
keduanya positif, maka antitoksin diberikan secara bertahap.
Dosis
Dosis ATS biasanya diberikan 10.000-20.000 U selama 5 hari berturut-
turut. Akan tetapi ada yang berbeda pendapat. Behrman (1987) dan Grossman
(1987) menganjurkan dosis 50.000–100.000 U yang diberikan setengah lewat
intravena dan setengahnya intramuskuler. Pemberian lewat intravena diberikan
dengan cara melarutkannya dalam 100–200 cc glukosa 5% dan diberikan selama
1–2 jam. Di FKUI, ATS diberikan dengan dosis 20.000 U selama 3 hari (Iswara,
2009).
c) Antikonvulsan dan sedatif
Obat–obat ini digunakan untuk merelaksasi otot dan mengurangi
kepekaan jaringan saraf terhadap rangsangan. Obat yang ideal dalam
penanganan tetanus ialah obat yang dapat mengontrol kejang dan menurunkan
spastisitas tanpa mengganggu pernapasan, gerakan–gerakan volunter atau
kesadaran.
Obat–obat yang lazim digunakan ialah:
- Diazepam
Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis 0,1
mg/kg.bb/kali i.v. perlahan–lahan dengan dosis optimum 10 mg/kali diulangi
setiap kali kejang. Diikuti pemberian diazepam peroral (sonde lambung) dengan
dosis 0,1 mg/kg.bb/kali sehari diberikan 6 kali (Iswara, 2009).
Manajemen Kasus III-Interna 19
![Page 20: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/20.jpg)
- Fenobarbital
Dosis awal: 1 tahun 50 mg intramuskuler; 1 tahun 75 mg intramuskuler.
Dilanjutkan dengan dosis oral 5–9 mg/kg.bb/hari dibagi dalam 3 dosis (Iswara,
2009).
- MgSO4
Magnesium menghambat aktifitas dan ganglion simpatis sehingga dapat
digunakan untuk mengontrol penderita tetanus yang berat dengan cara
mencegah pelepasan katekolamin sehingga dapat menurunkan kepekaan
reseptor adrenergik alfa (Joshi, 2007).
Obat anti kejang MgSO4 diberikan dalam infus dextrose 5% sebanyak
500 cc tiap 6 jam. Cara pemberian MgSO4 : dosis awal 2 gram intravena
diberikan dalam 10 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan sebanyak 2
gram per jam drip infus (80 ml/jam atau 15-20 tetes/menit). Apabila kejang
masih terjadi diberikan MgSO4 10gr IM, masing-masing 5gr bokong kanan dan
bokong kiri.
Syarat pemberian MgSO4 :
o frekuensi napas lebih dari 16 kali permenit
o tidak ada tanda-tanda gawat napas
o diuresis lebih dari 100 ml dalam 4 jam sebelumnya
o refleks patella positif.
MgSO4 dihentikan bila ada tanda-tanda intoksikasi. Siapkan antidotum
MgSO4 yaitu Ca-glukonas 10% (1 gram dalam 10 cc NaCl 0.9%, diberikan
intravena dalam 3 menit).
Dalam beberapa penelitian MgSO4 efektif untuk mengatasi spasme otot.
Di rumah sakit Eastern Nepal, MgSO4 merupakan protocol tetap untuk
penatalaksanaan pasien tetanus (Joshi, 2007).
Manajemen Kasus III-Interna 20
![Page 21: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/21.jpg)
d) Antibiotik.
- Penisilin Prokain
Digunakan untuk membasmi bentuk vegetatif Clostridium Tetani. Dosis:
50.000 u/kg.bb/hari i.m selama 10 hari atau 3 hari setelah panas turun. Dosis
optimal 600.000 u/hari (Iswara, 2009).
- Tetrasiklin dan Eritromisin
Diberikan terutama bila penderita alergi terhadap penisilin. Tetrasiklin :
30–50 mg/kg.bb/hari dalam 4 dosis. Eritromisin : 50 mg/kg.bb/hari dalam 4
dosis, selama 10 hari (Iswara, 2009).
-Metronidazole
Metronidazole merupakan pilihan obat untuk mengeliminasi Clostridium
tetani. Dalam beberapa penelitian metronidazole lebih baik daripada
menggunakan penisilin karena penisilin dalam beberapa kasus bisa memacu
antagonis GABA yang bisa meningkatkan resiko terjadinya kejang. Selain itu
metronidazole mempunyai kemampuan penetrasi yang lebih baik ke jaringan
anaerob, sehingga mengeliminasi Clostridium tetani lebih cepat daripada
penisilin. Dosis yang diberikan adalah 500 mg per 8 jam (Joshi, 2007).
e) Oksigen
Diberikan oksigen dengan nasal kanul 4-6 L/menit bila terjadi asfiksia
dan sianosis (Iswara, 2009).
f) Trakeostomi
Gangguan yang mengindikasikan perlunya dilakukan trakeostomi :
o terjadinya obstruksi jalan nafas atas
o sekret pada bronkus yang tidak dapat dikeluarkan secara fisiologis, misalnya
pada pasien dalam keadaan koma.
o untuk memasang alat bantu pernafasan (respirator).
o apabila terdapat benda asing di subglotis.
Manajemen Kasus III-Interna 21
![Page 22: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/22.jpg)
o penyakit inflamasi yang menyumbat jalan nafas ( misal angina ludwig),
epiglotitis dan lesi vaskuler, neoplastik atau traumatik yang timbul melalui
mekanisme serupa.
o mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran nafas atas seperti rongga
mulut, sekitar lidah dan faring. Hal ini sangat berguna pada pasien dengan
kerusakan paru, yang kapasitas vitalnya berkurang
o Cedera parah pada wajah dan leher
o Setelah pembedahan wajah dan leher
o Hilangnya refleks laring dan ketidakmampuan untuk menelan sehingga
mengakibatkan resiko tinggi terjadinya aspirasi (Utama, 2007).
Dilakukan pada penderita tetanus jika terjadi:
- Spasme berkepanjangan dari otot respirasi
- Tidak ada kesanggupan batuk atau menelan
- Obstruksi larings; dan
- Koma (Iswara, 2009).
G. Komplikasi
1) Pada saluran pernapasan
Oleh karena spasme otot–otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya
kejang menyebabkan terjadi asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta
sukarnya menelan air liur dan makanan atau minuman sehingga sering terjadi
aspirasi pneumoni, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret. Pneumotoraks dan
mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.
2) Pada kardiovaskuler
Komplikasi berupa akti itas simpatis yang meningkat antara lain berupa
takikardia, hiperrtensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
3) Pada tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam
otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura columna vertebralis akibat kejang yang
terus–menerus terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti melaporkan
juga dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta.
Manajemen Kasus III-Interna 22
![Page 23: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/23.jpg)
4) Komplikasi yang lain:
- Laserasi lidah akibat kejang;
- Dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja
- Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan
mengganggu pusat pengatur suhu.
Penyebab kematian penderita tetanus akibat komplikasi yaitu:
Bronkopneumonia, cardiac arrest, septikemia dan pneumotoraks (Asa, 1986).
H. Prognosis
Dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1) Masa inkubasi
Makin panjang masa inkubasi biasanya penyakit makin ringan, sebaliknya
makin pendek masa inkubasi penyakit makin berat. Pada umumnya bila inkubasi
kurang dari 7 hari maka tergolong berat.
2) Umur
Makin muda umur penderita seperti pada neonatus maka prognosanya makin
jelek.
3) Period of onset
Period of onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya trismus
sampai terjadi kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosa jelek.
4) Panas
Pada tetanus febris tidak selalu ada. Adanya hiperpireksia maka prognosanya
jelek.
5) Pengobatan
Pengobatan yang terlambat prognosa jelek.
6) Ada tidaknya komplikasi
7) Frekuensi kejang
Semakin sering kejang semakin jelek prognosanya (Iswara, 2009).
Manajemen Kasus III-Interna 23
![Page 24: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/24.jpg)
I. Pencegahan
1) Pertimbangan individual penderita
Pada setiap penderita luka harus ditentukan apakah perlu tindakan
profilaksis terhadap tetanus dengan mempertimbangkan keadaan / jenis luka,
dan riwayat imunisasi.
2) Debridement
Tanpa memperhatikan status imunisasi. Eksisi jaringan nekrotik dan benda
asing harus dikerjakan untuk semua jenis luka.
3) Imunisasi aktif
Tetanus toksoid diberikan dengan dosis sebanyak 0,5 cc IM, diberikan
selama 1x sebulan selama 3 bulan berturut-turut. DPT terutama diberikan pada
anak. Diberikan pada usia 2-6 bulan dengan dosis sebesar 0,5 cc IM, 1 x sebulan
selama 3 bulan berturut–turut. Booster diberikan pada usia 12 bulan, 1 x 0,5 cc
IM dan antara 5-6 tahun 1 x 0,5 cc IM. Booster diberikan setiap 10 tahun setelah
suntikan imunisasi dasar lengkap.
Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat cedera,
baik sebagai imunisasi dasar ataupun sebagai booster kecuali bila penderita telah
mendapat booster dalam 5 tahun terakhir.
4) Imunisasi Pasif
ATS (anti tetanus serum), dapat merupakan antitoksin bovine maupun
antitoksin equine. Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 1500 IU per
IM dan untuk anak-anak adalah 750 IU per IM.
HIG (human immunoglobuline) merupakan antitoksin berasal dari
manusia. Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 250 IU per IM
(setara dengan 1500 IU ATS), sedangkan untuk anak-anak adalah 125 IU per
Manajemen Kasus III-Interna 24
![Page 25: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/25.jpg)
IM. HIG diberikan apabila penderita alergi terhadap ATS yang diolah dari
hewan (Karakata, 1992).
KESIMPULAN
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukan gejala dengan
gangguan neuromuskuler akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot yang
disebabkan oleh eksotosin spesifik dari kuman ananerob Clostridium tetani.
Clostridium Tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Bila keadaan menguntungkan
di mana tempat luka tersebut menjadi hipoaerob sampai anaerob disertai terdapatnya
jaringan nekrotis, lekosit yang mati, benda–benda asing maka spora berubah menjadi
vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman
lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3–28 hari, namun dapat singkat hanya
1–2 hari dan kadang–kadang lebih dari 1 bulan. Secara klinis tetanus ada 3 macam yaitu
tetanus umum, tetanus local, tetanus cephalic. Diagnosis cukup ditegakan berdasarkan
gejala klinis. Anamnesis tentang adanya kelainan yang dapat menjadi tempat masuknya
kuman tetanus, adanya trismus, risus sardonikus, kaku kuduk, opistotonus, perut keras
seperti papan atau kejang tanpa gangguan kesadaran sudah cukup menegakan diagnosis
tetanus.
Prinsip penatalaksanaan yaitu dengan mengurangi rasa nyeri, menghilangkan
kuman penyebab, menetralkan toksin yang beredar dalam darah, mencegah terjadinya
kejang berulang, mengatasi penyulit, dan mencegah terjadinya komplikasi. Prognosis
tetanus tergantung berdasarkan masa Inkubasi, usia penderita, frekuensi kejang,
kenaikan suhu badan, pengobatan terlambat, adanya penyulit seperti spasme otot
pernafasan atau obstruksi jalan nafas.
Pencegahan merupakan jalan terbaik daripada melakukan pengobatan. Cara
pencegahan tetanus bisa dilakukan dengan mencegah terjadinya luka, apabila terjadi
luka dilakukan pengobatan yang adekuat, pemberian imunisasi aktif atau dengan
pemberian imunisasi pasif.
Manajemen Kasus III-Interna 25
![Page 26: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/26.jpg)
DAFTAR PUSTAKA
Arditayasa, Wayan. 2008. Clotridium tetani. Fakultas Kedokteran Universitas
Gajah Mada Bagian Mikrobiologi.
Asa, K. D.; Bertorini, T. E. Pinals, R. S. Case Report Myositis Ossificans
Circumscripta, a Complication of Tetanus. Am. J. Med. Sciences 1986
Atrakchi, S. A. and Wilson, D. H. Epidemiology. Br. Med. J. 1977
Barkin, R. M.; Pichichero, M. E. Diphteria–Pertusis–Tetanus Vaccine
Teactogenicity. Cimmercial Products. Pediatricas 1979
De Jong, Wim, R. Sjamsuhidayat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Iswara, Yoga. 2009. Difteri, Pertusis, Tetanus. Wordpress.com
Joshi, Agarwal B., Malla , Karmacharya B. 2007. Complete elimination of
tetanus is still elusive in developingcountries: A review of adult tetanus cases
from referral hospital in Eastern Nepal. Kathmandu University Medical Journal.
Karakata, Sumiardi. 1992. Bedah minor. Jakarta : hipokrates
Ritarwan, Kiking. 2004. Tetanus. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara Bagian Neurologi. RSU H. Adam malik.
Utama, Harry Wahyudhy. 2007. Trakeostomi. Wordpress.com
Manajemen Kasus III-Interna 26
![Page 27: MK-3.docx](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081603/55cf85a7550346484b905262/html5/thumbnails/27.jpg)
Manajemen Kasus III-Interna 27