documentmh

19
4.3 Distribusi Menurut Faktor Manusia 3,5,6 a) Etnik dan Suku Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik. Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama: kejadian kusta lepromatosa lebih banyak pada etnik China dibandingkan etnik Melayu atau India. Demikian pula dengan kejadian di Indonesia etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu b) Faktor Sosial Ekonomi Sudah diketahui bahwa faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta. Hal ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi, maka kejadian kusta sangat cepat menurun, bahkan hilang. Kasus kusta imor pada negara tersebut ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonomi tinggi. Kegagalan kasus kusta impor untuk menularkan pada kasus kedua di Eropa juga disebabkan karena tingkat sosial ekonomi yang tinggi c) Distribusi Menurut Umur Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden, kaena pada saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengn kata lain kejadian penyakit sering terkait pada umur pada saat timbulnya penyakit. Pada penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan data umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik umur. Kusta diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif d) Distribusi Menurut Jenis Kelamin Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut catatan sebagian besar negara di dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang dibandingkan wanita. Relatif rendahnya

Upload: vivitaslim

Post on 22-Dec-2015

21 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

mh

TRANSCRIPT

Page 1: Documentmh

4.3 Distribusi Menurut Faktor Manusia3,5,6

a)      Etnik dan Suku

Kejadian  penyakit  kusta  menunjukkan  adanya  perbedaan  distribusi dapat  dilihat karena

faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah  yang sama kondisi

lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik. Di  Myanmar

kejadian  kusta  lepromatosa  lebih  sering  terjadi  pada  etnik  Burma dibandingkan

dengan  etnik  India.  Situasi  di  Malaysia  juga  mengindikasikan  hal  yang sama:  kejadian

kusta  lepromatosa  lebih  banyak  pada  etnik  China  dibandingkan  etnik Melayu atau

India. Demikian pula dengan kejadian di Indonesia etnik Madura dan Bugis lebih banyak

menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu

b)      Faktor Sosial Ekonomi

Sudah  diketahui  bahwa  faktor  sosial  ekonomi  berperan  penting  dalam  kejadian kusta.

Hal ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi,

maka kejadian  kusta sangat cepat menurun,  bahkan hilang.  Kasus kusta imor pada negara

tersebut ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonomi tinggi. Kegagalan

kasus  kusta  impor  untuk  menularkan  pada  kasus  kedua  di  Eropa  juga disebabkan

karena tingkat sosial ekonomi yang tinggi

c)      Distribusi Menurut Umur

Kebanyakan   penelitian   melaporkan   distribusi   penyakit   kusta   menurut   umur

berdasarkan   prevalensi,   hanya   sedikit   yang   berdasarkan   insiden,   kaena   pada 

saat timbulnya  penyakit  sangat  sulit  diketahui.  Dengn  kata  lain  kejadian  penyakit

sering terkait  pada  umur  pada  saat  timbulnya  penyakit.  Pada  penyakit  kronik  seperti

kusta, informasi  berdasarkan  data  prevalensi  dan  data  umur  pada  saat  timbulnya

penyakit mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik umur. Kusta diketahui terjadi pada

semua umur  berkisar  antara  bayi  sampai  umur  tua  (3  minggu  sampai  lebih  dari  70

tahun). Namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif

d)     Distribusi Menurut Jenis Kelamin

Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan.  Menurut catatan  sebagian  besar negara di

dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak

terserang dibandingkan wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan

kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti kebanyakan penyakit

menular  lainnya,  laki-laki  lebih  banyak  terpapar  dengan  faktor  resiko  akibat  gaya

hidupnya.

Page 2: Documentmh

4.4 Faktor-faktor yang Menentukan Terjadinya Penyakit Kusta 3,5,6

a)      Sumber Penularan

Hanya  manusia  satu-satunya  sampai  saat  ini  yang  dianggap  sebagai  sumber

penularan  walaupun  kuman  kusta  dapat  hidup  pada  armadillo,  simpanse,  dan  pada

telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus

b)      Cara Keluar dari Pejamu (Host)

Mukosa  hidung  telah  lama  dikenal  sebagai  sumber  dari  kuman.  Suatu  kerokan hidung

dari penderita tipe Lepromatous yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar  10-

10.  Dan  telah  terbukti  bahwa  saluran  napas  bagian  atas  dari  penderita  tipe

Lepromatous merupakan sumber kuman yang terpenting dalam lingkungan

c)      Cara Penularan

Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahun-

tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan

masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara  penularan

penyakit  kusta.  Secara  teoritis  penularan  ini  dapat  terjadi  dengan  cara kontak  yang

lama  dengan  penderita.  Penderita  yang  sudah  minum  obat  sesuai  dengan regimen

WHO tidak menjadi sumber penularan bagi orang lain

d)     Cara Masuk ke Pejamu

Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum dapat

dipastikan. Diperirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan bagian atas dan

melalui kontak kulit yang tidak utuh

e)      Pejamu

Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah  kontak dengan penderita, hal   ini 

disebabkan   karena   adanya   imunitas.   M.   leprae   termasuk   kuman   obligat

intraseluler  dan  sistem  kekebalan  yang  efektif  adalah  sistem  kekebalan  seluler.  Faktor

fisiologik  seperti  pubertas,  menopause,  kehamilan,  serta  faktor  infeksi  dan  malnutrisi

dapat   meningkatkan   perubahan   klinis   penyakit   kusta.   Dari   studi   keluarga 

kembar didapatkan bahwa faktor genetik mempengaruhi tipe penyakit yang berkembang

setelah infeksi. Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian kecil

(5%) dapat ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan

hanya 30% yang dapat menjadi sakit.

V.PATOGENESIS

Page 3: Documentmh

Masuknya   M.Leprae   ke   dalam   tubuh   akan   ditangkap   oleh   APC   (Antigen

Presenting  Cell)  dan  melalui  dua  signal  yaitu  signal  pertama  dan  signal  kedua.  Signal

pertama  adalah  tergantung  pada  TCR-  terkait  antigen  (TCR  =  T  cell  receptor)  yang

dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah

produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang

berinteraksi   dengan   ligan   sel   T   melalui   CD28.   Adanya   kedua   signal   ini   akan

mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan

IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1. Th2  akan  menghasilkan  IL  4,  IL  10,

IL  5,  IL  13.  IL  5  akan  mengaktifasi  dari eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari

makrofag. IL 4akan mengaktifasi sel B untuk  menghasilkan  IgG4  dan  IgE.  IL  4  ,  IL10,

dan  IL  13  akan  mengaktifasi  sel mast. Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi

adanya sel T anergi dan tidak teraktivasinya   APC   secara  lengkap   akan   menyebabkan 

respon  ke  arah   Th2.   Pada Tuberkoloid  Leprosy,  kita  akan  melihat  bahwa  Th  1  akan

lebih  tinggi  dibandingkan denganTh2  sedangkan  pada  Lepromatous  leprosy,  Th2  akan

lebih  tinggi  dibandingkan dengan Th1. 1,3,4

APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum tulang dan melalui

darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC yang paling

efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat – tempat mikroba dan antigen asing

masuk tubuh serta organ – organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal

untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan  diaktifkan  oleh

adanya  peptida  dari  MHC  pada  permukaan  sel,  selain  itu  dengan adanya  molekul

kostimulator  CD86/B72,  CD80/B7.1,  CD38  dan  CD40.  Setelah  DC matang, DC akan

pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi  dari  CCR7

(  reseptor  kemokin  satu  –  satunya  yang  diekspresikan  oleh  DC matang).  M.  Leprae

mengaktivasi  DC  melalui  TLR  2  –  TLR  1  heterodimer  dan diasumsikan   melalui 

triacylated   lipoprotein   seperti  19   kda   lipoprotein.   TLR   2 polimorfisme  dikaitkan

dengan  meningkatnya  kerentanan  terhadap  leprosy. 5,6

5.1 Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta

M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang   akan 

berikatan   dengansel   schwaan   melalui   reseptor   dystroglikan   lalu   akan mengaktifkan

MHC kelas II setelah itu  mengaktifkan  CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1  dan  Th2

dimana  Th1  dan  Th2  akan  mengaktifkan  makrofag.  Makrofag  gagal memakan  M.

Leprae  akibat  adanya  fenolat  glikolipid  I  yang  melindunginya  di  dalam makrofag.

Ketidakmampuan  makrofag  akan  merangsang  dia  bekerja  terus-menerus untuk

menghasilkan  sitokin  dan  GF  yang  lebih  banyak  lagi.  Sitokin  dan  GF  tidak mengenelai

bagian  self atau  nonself sehingga akan merusak  saraf dan saraf  yang rusak akan  diganti

dengan  jaringan  fibrous  sehingga  terjadilah  penebalan  saraf  tepi.  Sel schwann

merupakan APC non professional.3

5.2 Patogenesis reaksi Kusta

Page 4: Documentmh

Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang dianggap

sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi

dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering  disebut

reaksi  lepra  non  nodular  merupakan  reaksi  hipersensitifitas  tipe  IV (Delayed Type

Hipersensitivity Reaction). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan

berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem  imunitas  selluler

yang  cepat.  Hasil  dari  reaksi  ini  ada  dua  yaitu  upgrading reaction / reversal reaction ,

dimana terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid (peningkatan sistem   imunitas   selluler) 

dan   biasanya   terjadi   pada   respon   terhadap   terapi,   dandowngrading,   dimana 

terjadi   pergeseran   ke   arah   lepromatous   (penurunan   sistem imunitas selluler) dan

biasanya terjadi pada awal terapi. Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas

humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III. Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema

nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi   pada   pasien   LL.   M.   Leprae akan 

berinteraksi   dengan   antibodi   membentuk kompleks imun dan mengendap pada

pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples , imun  dan  merangsang

netrofil  untuk  menghasilkan  enzim  lisosom.  Enzim lisosom akan melisis sel. 1,3,4

VI.Gambaran Klinis

Keluhan  utama  biasanya  sebagai  akibat  kelainan  saraf  tepi,  yang  dalam  hal  ini dapat

berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan, kelemahan otot-otot dan

kulit kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat

berupa kelainan pada saraf tepi, kulit, rambut, otot, tulang, mata, dan testis. Klasifikasi

kusta menurut Ridley dan Jopling :1,5,7,8

1.  Tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat

berupa  makula  atau  plakat  yang  berbatas  jelas  dan  pada  bagian  tengah  dapat

ditemukan  lesi yang  regresi atau  central  healing.  Permukaan  lesi dapat  bersisik  dengan

tepi  yang  meninggi,  bahkan  dapat  menyerupai  gambaran  psoriasis  atau  tinea

sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan

sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu

yang adekuat terhadap kuman kusta.

1.  Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

Lesi  pada  tipe  ini  menyerupai  tipe  TT,  yakni  berupa  makula  atau  plakat  yang sering

disertai  lesi  satelit  di  tepinya.  Jumlah  lesi  dapat  satu  atau  beberapa,  tetapi gambaran

hipopigmentasi,  kekeringan  kulit  atau  skuama  tidak  sejelas  tipe  TT.  Adanya gangguan

saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak

dekat saraf perifer yang menebal

Page 5: Documentmh

1. Tipe Mid Borderline (BB)

Merupakan  tipe  yang  paling  tidak  stabil,  disebut  juga  sebagai  bentuk  dismorfik dan 

jarang   dijumpai.   Lesi   sangat   bervariasi,   dapat   berbentuk   makula   infiltratif,

permukaan  lesi  dapat  mengkilap  dan  batas  lesi  kurang  jelas.  Ciri  khasnya  adalah  lesi

punched  out,  yaitu,  suatu  lesi  hipopigmentasi  dengan  bagian  tengah  oval  dan

berbatas jelas

1. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)

Secara  klasik  lesi  dimulai  dengan  makula,  awalnya  sedikit  dan  dengan  cepat

menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan

distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian

tengah.  Lesi  bagian  tengah  sering  tampak  normal  dengan  infiltrasi  di  pinggir  dan

beberapa  tampak  seperti  punched  out.  Tanda-tanda  kerusakan  saraf  lebih  cepat

muncul dibandingkan dengan tipe LL.

1. Tipe Lepromatous Leprosy

Jumlah   lesi   pada   tipe   ini   sangat   banyak,   simetris,   permukaan   halus,   lebih

eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi

dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu,

cuping telinga; sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan,

punggung  tangan,  dan  ekstensor  tungkai.  Pada  stadium  lanjut,  tampak  penebalan

kulit yang   progresif,   cuping   telinga   menebal,   facies   leonina,   madarosis,   iritis, 

keratitis, deformitas  pada  hidung,  pembesaran  kelenjar  limfe,  dan  orkitis  yang

selanjutnya  dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala

stocking and glove anesthesia  dan  pada  stadium  lanjut  serabut-serabut  saraf  perifer

mengalami  degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot

tangan dan kaki.

Namun  ada  juga  tipe  kusta  yang  tidak  termasuk  dalam  klasifikasi  Ridley  dan Jopling,

tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta, yaitu tipe Intermediate (I). Lesi biasanya

berupa  makula  hipopigmentasi  dengan  sedikit  sisik  dan  kulit  disekitarnya normal.

Lokasi  biasanya  di  bagian  ekstensor  ekstremitas,  bokong  atau  muka,  kadang- kadang

dapat ditemukan makula hipostesia atau sedikit penebalan saraf.3,5

Deformitas  dapat  terjadi  pada  kusta.  Pada  kusta  sesuai  patofisiologinya  ada  dua yaitu

primer  dan  sekunder.  Deformitas  primer  sebagai  akibat  langsung  oleh  granuloma yang

terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan

disekitarnya,  yaitu  kulit,  mukosa  traktus  respiratorius  atas,  tulang  –  tulang  jari,  dan

Page 6: Documentmh

wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas

diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.5

Gejala  kerusakan  saraf  pada  nervus  ulnaris  adalah  anestesia  pada  ujung  jari anterior 

kelingking   dan  jari  manis,  clawing  kelingking   dan  jari  manis,  dan  atrofi hipotenar

dan  otot  interoseus  serta  kedua  otot  lumbrikalis  medial.  Pada  N.medianus adalah

anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu

aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi

otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus,

serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop) dan tak mampu  ekstensi

jari  –  jari  atau  pergelangan  tangan.  Pada  N.  Poplitea  lateralis  adalah anestesi  tungkai

bawah,  bagian  lateral  dan  dorsum pedis,  kaki  gantung  (foot  drop)  dan kelemahan otot

peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah anestesi telapak kaki, claw toes dan paralisis otot

intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada N. Fasialis adalah cabang temporal  dan

zigomatik  menyebabkan  lagoftalmus  dan  cabang  bukal,  mandibular  serta servikal

menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. Pada

N.trigeminus adalah anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata. Kerusakan  mata 

pada  kusta  dapat  primer  dan  sekunder.  Primer  mengakibatkan alopesia  pada  alis 

mata  dan  bulu  mata,  juga  dapat  mendesak  jaringan  mata  lainnya. Sekunder        

disebabkan oleh rusaknya N. Facialis yang menyebabkan paralisis orbikularis palpebrarum 

sebagian  atau  seluruhnya,  mengakibatkan  lagoftalmus  yang selanjutnya, menyebabkan

kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama akan

menyebabkan kebutaan.5,6

Infiltrasi  granuloma  ke  dalam  adneksa  kulit  yang  terdiri  atas  jaringan  keringat,

kelenjar  palit,  dan  folikel  rambut  dapat  mengakibatkan  kulit  kering  dan  alopesia.

Pada tipe  lepromatous  dapat  timbul  ginekomastia  akibat  gangguan  keseimbangan

hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.5,6

Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang titandai dengan adanya

nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat juga

berbentuk  plak.  Bakterioskopik  positif  tinggi.  Umumnya  timbul  sebagai  kasus relapse

sensitive  atau  relape  resistent.  Relapse  sensitive  terjadi,  bila  penyakit  kambuh setelah

menyelesaikan  pengobatan  sesuai  dengan  waktu  yang  ditentukan.  Dapat  terjadi oleh

karena kuman yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tidak adekuat,

baik dosis maupun lama pemberiannya.3,5

Gejala  pada  reaksi  kusta  tipe  I  adalah  perubahan  lesi  kulit,  demam  yang  tidak begitu

tinggi,  gangguan  konstitusi,  gangguan  saraf  tepi,  multiple  small  satellite  skin

makulopapular  skin  lesion  dan  nyeri  pada  tekan  saraf.  Reaksi  kusta  tipe  I  dapat

dibedakan atas reaksi ringan dan berat. Pada  reaksi  kusta  tipe  II  adalah  neuritis,

gangguan  konstitusi,  dan  komplikasi organ tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat

dibedakan atas reaksi ringan dan berat.3

Page 7: Documentmh

Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur, dan

nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi

yang  nyeri.  Lesi  lambat  sembuh  dan  terbentuk  jaringan  parut.  Dari  hasil histopatologi 

ditemukan   nekrosis   epidermal   iskemik,   odem,   proliferasi   endotelial pembuluh darah

dan banyak basil M.leprae di endotel kapiler.3

Eritema  nodosum  lepromatous  (ENL),  timbul  nodul  subkutan  yang  nyeri  tekann dan

meradang,  biasanya dalam kumpulan. Setiap  nodul bertahan selama satua atau dua

minggu tetapi bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan

athralgia.1

VII. Pemeriksaan Pasien

Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga harus

diperhatikan   dan   juga   dilihat   kerusakan   kulit.   Palpasi   dan   pemeriksaan   dengan

menggunakan alat – alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas untuk rasa raba,

tabung  reaksi  masing  –  masing  dengan  air  panas  dan  es,  pensil  tinta  Gunawan

(tanda Gunawan) untuk melihat ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan

dapat pula  tidak  dan  sebagainya.  Cara  menggoresnya  mulai  dari  tengah  lesi,  yang

kadang – kadang  dapat  membantu,  tetapi  bagi  penderita  yang  memiliki  kulit  berambut

sedikit, sangat sukar untuk menentukannya.

7.1  Pemeriksaan Saraf Tepi

Untuk  saraf  perifer,  perlu  diperhatikan  pembesaran,  konsistensi  dan  nyeri  atau tidak.

Hanya  beberapa  saraf  yang  diperiksa  yaitu  N.fasialis,  N.aurikularis  magnus, N.radialis,

N.  Ulnaris,  N.  Medianus,  N.  Poplitea  lateralis,  N.  Tibialis  posterior.  Pada pemeriksaan 

saraf   tepi   dapat   dibandingkan   saraf   bagian   kiri   dan   kanan,   adanya pembesaran

atau  tidak,  pembesaran  reguler/irreguler,  perabaan  keras/kenyal,  dan  yang terakhir

dapat  dicari  adanya  nyeri  atau  tidak  (Daili,  21:2003).  Pada  tipe  lepromatous biasanya 

kelainan   sarafnya   billateral   dan   menyeluruh   sedangkan   tipe   tuberkoloid

terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Berikut cara pemeriksaan saraf yang dilakukan pada

penderita kusta:9

1. N. Aurukularis magnus

Pasien  disuruh  menoleh  ke samping  semaksimal  mungkin,  maka saraf  yang  terlibat

akan  terdorong  oleh  otot  di  bawahnya  sehingga  acapkali  sudah  bisa  terlihat  bila

saraf membesar.  Dua  jari  pemeriksa  diletakkan  di  atas  persilangan  jalannya  saraf 

tersebut dengan   arah  otot.   Bila  ada  penebalan,   maka  pada  perabaan   secara

seksama  akan menemukan jaringan seperti kabel atau kawat. Jangan lupa membandingkan

antara yang kiri dan yang kanan

Page 8: Documentmh

1. N. Ulnaris

Tangan  yang  diperiksa  harus  santai,  sedikit  fleksi  dan  sebaiknya  diletakkan  di  atas

satu  tangan  pemeriksa.  Tangan  pemeriksa  yang  lain  meraba  lekukan  di  bawah  siku

(sulkus   nervi   ulnaris)   dan   merasakan,   apakah   ada   penebalan   atau   tidak.   Perlu

dibandingkan  antara  yang  kanan  dan  yang  kiri  untuk  melihat  adanya  perbedaan  atau

tidak

1. N. Paroneus lateralis

Pasien   duduk   dengan   kedua   kaki   menggantung,   diraba   di   sebelah   lateral   dari

capitulum fibulae, biasanya sedikit ke posterior

7.2 Tes Fungsi Saraf

a.   Tes Sensoris9

– Rasa Raba

Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa perasaan rangsang

raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang diperiksa harus duduk pada 

waktu   dilakukan   pemeriksaan.   Terlebih   dahulu   petugas   menerangkan   bahwa

bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit

yang disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal

ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan

sepotong kain. Selain diperiksa pada lesi di kulit sebaiknya juga diperiksa pada kulit yang

sehat. Bercak pada kulit harus diperiksa pada bagian tengahnya

–          Rasa Nyeri

Diperiksa  dengan  memakai  jarum.  Petugas  menusuk  kulit  dengan  ujung  jarum yang

tajam  dan  dengan  pangkal  tangkainya  yang  tumpul  dan  pasien  harus  mengatakan

tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul

–          Rasa Suhu

Dilakukan  dengan  menggunakan  2  tabung  reaksi,  yang  satu  berisi  air  panas

(sebaiknya 400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 200C). Mata pasien ditutup

atau  menoleh  ke  tempat  lain,  lalu  bergantian  kedua  tabung  tersebut  ditempelkan

pada daerah  kulit  yang  dicurigai.  Sebelumnya  dilakukan  kontrol  pada  kulit  yang  sehat.

Bila pada  daerah  tersebut  pasien  salah  menyebutkan  sensasi  suhu,  maka  dapat

disebutkan sensasi suhu di daerah tersebut terganggu

b. Tes Motoris

Page 9: Documentmh

–          Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking pasien. Peganglah jari

telunjuk,  jari tengah,  dan  jari manis  pasien,  lalu mintalah  pasien  untuk merapatkan  jari

kelingkingnya. Jika pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya, taruhlah kertas diantara jari

kelingking dan jari manis, mintalah pasien untuk menahan kertas tersebut. Bila pasien

mampu   menahan   coba   tarik   kertas   tersebut   perlahan   untuk   mengetahui 

ketahanan ototnya

–          Periksa  fungsi  saraf  medianus  dengan  meluruskan  ibu  jari  ke  atas.  Minta

pasien mengangkat ibu jarinya ke atas. Perhatikan ibu jari apakah benar-benar bergerak ke

atas dan jempolnya lurus. Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan atau dorong ibu

jari pada bagian telapaknya.

–          Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk menggerakkna

pergelangan tangan ke belakang. Uji kekuatan otot dengan mencoba menahan gerakan

tersebut

–          Periksa  fungsi  saraf  eroneus  communis  dengan  meminta  pasien  melakukan

gerakan fleksi pada pergelangan kaki dan minta juga pasien untuk melakukan gerakan ke

lateral, lalu nilai kekuatan ototnya dengan mencoba untuk menahan gerakan tersebut.

III.Diagnosis

Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena memberikan gejala yang

hampir  mirip  dengan  penyakit  lainnya.  Diagnosis  penyakit  kusta  didasarkan  pada

penemuan tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:

1. Bercak kulit yang mati rasa

Pemeriksaan  harus  di  seluruh  tubuh  untuk  menemukan  ditempat  tubuh  yang  lain,

maka  akan  didapatkan  bercak  hipopigmentasi  atau  eritematus,  mendatar  (makula)

atau meninggi  (plak).  Mati  rasa  pada  bercak  bersifat  total  atau  sebagian  saja

terhadap  rasa raba, rasa suhu, dan rasa nyeri.

1. Penebalan saraf tepi

Dapat  disertai rasa  nyeri  dan  dapat  juga disertai  dengan  atau  tanpa  gangguan  fungsi

saraf yang terkena, yaitu:

–          Gangguan fungsi sensoris: hipostesi atau anestesi

–          Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis

–          Gangguan   fungsi   otonom:   kulit  kering,   retak,  edema,  pertumbuhan rambut

yang terganggu.

Page 10: Documentmh

1. Ditemukan kuman tahan asam

Untuk  menegakkan  diagnosis  penyakit  kusta,  paling  sedikit  harus  ditemukan  satu

tanda   kardinal.   Bila   tidak   atau   belum   dapat   ditemukan,   maka   kita   hanya   dapat

mengatakan  tersangka  kusta  dan  pasien  perlu  diamati  dan  diperiksa  ulang  setelah  3-

6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan

IX.Diagnosis Banding

Pada lesi makula differetial diagnosisnya vitiligo, Pitiriasis Versikolor, Ptiriasis alba, Tinea

korporis. Pada lesi papul, Granuloma annulare, lichen planus dll. Pada lesi plak, Tinea

korporis, Ptiriasis rosea, psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne  vulgaris,  neurofibromatosis  dll. 

Pada  lesi  saraf,  Amyloidosis,  diabetes,  trachoma dll.

Vitiligo,   makula   putih   berbatas   tegas   dan   mengenai   seluruh   tubuh   yang

mengandung  sel  melanosit.  Vitiligo  merupakan  hipomelanosis  idiopatik  yang  ditandai

dengan makula putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis

autoimun,  hipotesis  neurohumoral,  hipotesis  autotoksik  dan  pajanan  terhadap  bahan

kimia.

Hipotesis autoimun,ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia pernisiosa  dan

hipoparatiroid.  Hipotesis  neurohumeral,  karena  melanosit  terbentuk  dari neural  crest

maka  diduga  faktor  neural  berpengaruh.  Hasil  metabolisme  tirosin  adalah melanin 

dan   katekol.   Kemungkinan   ada   produk   intermediate   dari   katekol   yang

mempunyai  efek  merusak  melanosit.  Pada  beberapa  lesi  ada  gangguan  keringat,  dan

pembuluh   darah,   terhadap   respon   transmitter   saraf   misalnya   setilkolin.   Hipotesis

autotoksik,hasil metabolisme tirosin adalah DOPA lalu akan diubah menjadi dopaquinon.

Produk  –  produk  dari  DOPA  bersifat  toksik  terhadap  melanin.  Pajanan  terhadap  bahan

kimia, adanya monobenzil eter hidrokuinon pada sarung tangan dan fenol pada detergen.

Gejala  klinis  vitiligo  adalah  terdapat  repigmentasi  perifolikuler.  Daerah  yang paling

sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada

mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor. Mukosa

jarang  terkena,  kadang  –  kadang  mengenai  genitalia eksterna, puting susu, bibir dan

ginggiva.

Vitiligo  dapat  dibagi  atas  dua  yaitu  lokal  dan  generalisata.  Vitiligo  lokal  dapat dibagi

tiga  yaitu  vitiligo  fokal  adalah  makula  satu  atau  lebih  tetapi  tidak  segmental, vitiligo

segmental  adalah  makula  satu  atau  lebih  yang  distribusinya  sesuai  dengan dermatom,

dan  mukosal  yang  hanya  terdapat  pada  mukosa.  Vitiligo  generalisata  juga dapat

dibagi tiga yaitu  vitiligo  acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal

ekstremitas   dan   muka  serta  merupakan   stadium  awal  vitiligo   generalisata,   vitiligo

vulgaris   adalah   makula  yang  luas   tetapi  tidak   membentuk   satu   pola,  dan   vitiligo

Page 11: Documentmh

campuran adalah makula yang menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan vitiligo

total.

Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya adalah terdpat flora

normal  yang  berhubungan  denganPtiriasis  versikolor  yaitu  Pitysporum  orbiculare bulat

atau Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor

predisposisi  ada  dua  yaitu  faktor  eksogen  dan  faktor  endogen.  Faktor  endogen

adalah akibat  rendahnya  imun  penderita  dsedangkan  faktor  eksogen  adalah  suhu,

kelembapan udara dan keringat. Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam

dekarbosilat yang  diprosuksi  oleh  Malaize  furfur  yang  bersifat  inhibitor  kompetitif

terhadap  enzim tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin.

Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna-warni,

bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan

menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi

jarang, dan gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti

and meat ball).

Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin). Gejala

klinisnya  adalah  lesi  bulat  atau  lonjong,  eritema,  skuama,  kadang  papul  dan vesikel

di pinggir,  daerah  lebih  terang,  terkadang  erosi dan  krusta karena  kerokan,  lesi

umumnya bercak – bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center

healing.

Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul – papul yang mempunyai warna dan

konfigurasi  yang  khas.  Papul  –papul  berwarna  merah,  biru,  berskuama,  dan  berbentuk

siku  –  siku.  Lokasinya  diekstremitas  bagian  fleksor,  selaput  lendir,  dan  alat  kelamin.

Rasanya  sangat  gatal,  umumnya  membaik  1  –  2  tahun.  Hipotesis  mengatakan  liken

planus merupakan infeksi virus.

Psoriasis  penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai dengan adanya

bercak  –  bercak  eritema  berbatas  tegas  dengan  skuama  kasar,  berlapis  – lapis dan

transparan disertai fenomena tetesan lilin,  Auspitz,  Koebner. Gejala klinisnya adalah  tidak 

ada  pengaru  terhadap  keadaan  umum,  gatal  ringan,  kelainan  pada  kulit terdiri  bercak

–  bercak  eritema  yang  meninggi  atau  plak  dengan  skuama  diatasnya, eritema

sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi

yaitu numuler, plakat, lentikuler dan dapat konfluen.

Akne Vulgaris, penyakit  peradangan  menahun folikel  pilosebasea yang  umumnya pada

remaja  dan  dapat  sembuh  sendiri.  Gejala  klinisnya  adalah  sering  polimorf  yang terdiri

dari  berbagai  kelainan  kulit,  berupa  komedo,  papul,  pustul,  nodus  dan  jaringan parut

akibat aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipotropik maupun yang hipertopik.

Page 12: Documentmh

Neuropatik  pada  diabetes,  gejalanyatergantung  pada  jenis  neuropatik  dan  saraf yang

terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak menunjukkan gejala apapun. Gejala

ringan  muncul  lebih  awal  dan  kerusakan  saraf  terjadi  setelah  beberapa  tahun. Gejala

kerusakan  saraf  dapat  berupa  kebas  atau  nyeri  pada  kaki,  tangan  ,  pergelangan

tangan,  dan  jari  –  jari  tangan,  maldigestion,  diare,  konstipasi,  masalah  pada  urinasi,

lemas, disfungsi ereksi dll

Defisiensi   vitamin   B6,gejala   klinis   termasuk   seboroik   dermatitis,   cheilotis, glossitis,

mual,  muntah,  dan  lemah.  Pemeriksaan  neurologis  menunjukka  penurunan propiosepsi

dan   vibrasi  dengan  rasa  sakit   dan  sensasi  temperatur,   refleks   achilles menurun atau

tidak ada.

Defisiensi   folat,   gejala   klinisnya   tidak   dapat   dipisahkan   dengan   defisiensi

kobalamin   ( vitamin   B12)   walaupun   demensia   lebih   dominan.   Pasien 

mengalami sensorimotor poly neuropathy dan demensia.

X.Pengobatan

Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden

penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk

mencapai  tujuan  tersebut,  srategi  pokok  yg  dilakukan  didasarkan  atas  deteksi  dini

dan pengobatan penderita.

Dapson,  diamino  difenil  sulfon  bersifat  bakteriostatik  yaitu  mengahalangi  atau

menghambat  pertumbuhan  bakteri.  Dapson  merupakan  antagonis  kompetitif  dari para-

aminobezoic  acid  (PABA)  dan  mencegah  penggunaan  PABA  untuk  sintesis  folat  oleh

bakteri. Efek samping dari dapson adlah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea,

muntah, sakit kepala, dan vertigo

Lamprene (Clofazimin), merupakan bakteriostatik dan dapat menekan  reaksi kusta.

Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor  dari  NA/K ATPase. Efek

sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman, warna kulit akan

kembali normal bila obat tersebut  dihentikan, diare, nyeri lambung.

Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara

menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan  pada

subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik.

Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus untuk penderita

kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn kekeringan kulit dan bersisisk

(ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I.

Page 13: Documentmh

Regimen   pengobatan   kusta   disesuaikan   dengan   yang   direkomendasikan   oleh

WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi

1. Pausi Basiler (PB)

2. Multi Basiler (MB)

Dengan  memakai  regimen  pengobatan  MDT =  multi  drug  treatment.Kegunaan  MDT

untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan

penderita  dalam  berobat,  menurunkan  angka  putus  obat  pada  pemakaian  monoterapi

Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi tunggal diberikan

ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung RFT/=Release

From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak  di  berikan

ROM.  Bila  obat  ROM  belum  tersedia  di  Puskesmas  diobati  dengan regimen 

pengobatan  PB  lesi  (2-5).Bila  lesi  tunggal  dgn  pembesaran  saraf  diberikan: regimen

pengobatan PB lesi (2-5)

Rifampicin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa(50-70

kg) 600 mg 400 mg 100 mg

Anak

(5-14 th)300 mg 200 mg 50 mg

PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9) bulan.

Setelah  minum  6  dosis  ini  dinyatakan  RFT  (Release  From  Treatment)  yaitu berhenti

minum obat.

Rifampicin Dapson

Dewasa 600 mg/bulan Diminum           

didepan petugas kesehatan 100  mg/hr  diminum  dirumah

Anak-anak

(10-14 th) 450 mg/bulan Diminum didepan

petugas kesehatan  50  mg/hari  diminum  di rumah 

MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18 bulan.

Setelah  selesai  minum  12  dosis  obat  ini,  dinyatakan FT/=Realease  From Treatment

Page 14: Documentmh

yaitu  berhenti  minum  obat.  Masa pengamatan  setelah  RFT dilakukan  secara pasif

untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.

Rifampicin Dapson Lamprene

Dewasa

600 mg/bulandiminum

di depan petugas

kesehatan

100 mg/hari diminumdi

rumah

300 mg/bulandiminum

di depan petugas

kesehatan dilanjutkan

dgn 50 mg/hari

diminum di rumah

Anak-anak(10-14

th)

450 mg/bulandiminum

di depan petugas

50 mg/hari diminumdi

rumah

150 mg/bulandiminum

di depan petugas

kesehatan dilanjutkan

dg 50 mg selang sehari

diminum di rumah

Pengobatan  reaksi  kusta.  Bila  reaksi  tidak  ditangani  dengan  cepat  dan  tepat maka

dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop

foot, claw  toes  dan  kontraktur.  Untuk  mengatasi  hal-hal  tersebut  diatas  dilakukan

pengobatan prinsip  pengobatan  reaksi  kusta  yaitu  immobilisasi  /  istirahat, pemberian

analgesik  dan  sedatif,  pemberian  obat-obat  anti  reaksi,  MDT  diteruskan dengan dosis

yang tidak diubah.

Pada  reaksi  ringan,  istirahat  di  rumah,  berobat  jalan,  pemberian  analgetik  dan obat-

obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5 hari, dan

MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Reaksi  berat,  immobilisasi,  rawat  inap  di rumah  sakit,  pemberian  analgesik  dan

sedative,  MDT (obat kusta)  diteruskan  dengan dosis tidak  diubah, pemberian  obat-obat

anti  reaksi  dan  pemberian  obat-obat  kortikosteroid  misalnya  prednison.Obat-obat  anti

reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis

3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml

secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh         

karena  toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama pada wanita (teratogenik). Dosis

400 mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.

Pemberian  Kortikosteroid, dimulai dengan dosis tinggi atau  sedang. Digunakan prednison

atau  prednisolon. Gunakan  sebagai  dosis  tunggal  pada  pagi  hari  lebih  baik walaupun

dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off) setelah

terjadi respon maksimal

XI.  Pengobatan Kusta Untuk Situasi Khusus

Page 15: Documentmh

Jika  MDT-WHO  tidak  dapat  dilaksanakan  karena  berbagai  alasan,  WHO  expert

committe pada tahun 1997 mempunyai regimen untuk situasi khusus, yaitu:

1. Penderita tidak dapat diobati dengan rifampisin

Penyebabnya mungkin alergi, gangguan pada fungsi hepar, ada penyakit penyerta atau resisten terhadap obat ini. Regimen untuk penderita ini, adalah

Lama Pengobatan Jenis Obat Dosis

6 Bulan

Klofazimin 50 mg/hari

Ofloksasin 400 mg/hari

Minosiklin 100 mg.hari

Diikuti dengan 18 bulan

Klofazimin + Ofloksasin 50 mg/hari

atau

Minosiklin 400 mg/hari

Pada  tahun  1994  WHO  Study  Group  on  Chemotherapy  of  Leprosy  menyatakan

klaritromisisn 500 mg/hari dapat menggantikan ofloksasin atau minosiklin pada regimen di

atas.

1. Penderita yang menolak kofazimin

Biasanya  penderita  menolak  obat  ini  karena  adanya  pewarnaan  kulit.  Untuk  itu

klofazimin pada MDT_MB dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau

minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan.

Pada  tahun  1997,  WHO  Expert  of  Committe  on  Leprosy merekomendasikan  juga

regimen MDT-MB alternatis selama 24 bulan:

–          Rifampisin 600 mg/bulan selama 24 bulan,

–          Ofloksasin 400 mg/bulan selama 24 bulan, dan

–          Minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan

1. Penderita yang tidak dapat diobati dengan DDS

Page 16: Documentmh

Bila  DDS  menyebabkan  terjadinya  efek  samping  berat  pada  penderita  PB  maupun MB,

obat ini harus dihentikan.

Rifampisin Klofazimin

Dewasa 600 mg/bln 50 mg/hari dan 300 mg/bulan

Anak-anak 450 mg/bln 50 mg/hari dan 150 mg/bulan

 

XII.Komplikasi

Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi kronik

sekunder dapat  menyebabkan  hilangnya  jari  jemari  ataupun  ekstremitas  bagian distal.

Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada

pasien  lepromatosus  difus,  infiltratif  dan  non  noduler.  Kasus  klinik  yang  berat lainnya 

adalah   vaskulitis   nekrotikus   dan   menyebabkan   meningkatnya   mortalitas. Amiloidos

sekunder  merupakan  penyulit  pada  penyakit  leprosa  berat  terutama  ENL kronik.

XIII. Prognosis

Setelah  program  terapi  obat  biasanya  prognosis  baik,  yang  paling  sulit  adalah

manajemen  dari  gejala  neurologis,  kontraktur  dan  perubahan  pada tangan  dan  kaki.

Ini membutuhkan tenaga  ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis,

oftalmologis,  physical  medicine, dan  rehabilitasi.  Yang  tidak  umum  adalah  secondary

amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi komplikasi.

Mekanisme Kerusakan Syaraf

Mycobacterium leprae merupakan satu-satunya basil yang dapat menginfeksi sistem saraf tepi dan

merupakan penyebab infeksi tersering neuropati perifer.Perubahan patologis pada saraf disebabkan oleh

invasi M.leprae pada sel Schwann. Inflamasi dengan infiltrasi selular dan edema menyebabkan

pembengkakan pada saraf dan penekanan serabut saraf. Kerusakan saraf pada kusta mengenai

peripheral nerve trunk dan small dermal nerve. Saraf tepi yang terlibat yaitu pada fibro-osseus tunnel

dekat permukaan kulit meliputi Nervus (N.) auricularis magnus, ulnaris, medianus, radiculocutaneus,

poplitea lateralis, dan tibialis posterior. Keterlibatan pada saraf ini menyebabkan pembesaran saraf,

dengan atau tanpa nyeri dengan pola penurunan fungsi sensoris dan motoris regional. Kerusakan small

dermal nerve menyebabkan keluhan anestesi parsial pada kusta tipe tuberkuloid dan borderline

tuberculoid, serta glove and stocking sensory loss pada tipe lepromatosa.

Tingkat Kerusakan Syaraf

Page 17: Documentmh

Syarat perifer yang terkena akan mengalami beberapa tingkat kerusakan ( Srinivasan

dalamWisnu.2003:86)

1. Stage of involvement,syaraf menjadi lebih tebal dari normal (penebalan syaraf)

dan mungkin disertai nyeri tekan dan nyeri spontan pada syaraf perifer tersebut,

tetapi belum disertai dengan gangguan fungsi syaraf misalnya anestesi dan

kelemahan otot

2. Stage of damage,Pada stadium ini syaraf telah rusak dan fungsi syaraf tersebut

telah terganggu.Kerusakan fungsi syaraf, misalnya kehilangan fungsi syaraf

otonom,sensorif dan kelamahan otot menunjukkan syaraf tersebut mengalami

kerusakan ( damage) atau telah mengalami paralisis. Diagnosa State of damage

ditegakkan bila syaraf telah mengalami paralisis yang tidak lengkap atau saraf

batang tubuh telah mengalami paralisis yang lengkap tidak lebih dari 6-9 bulan

(catatan : pada POD kerusakan syaraf < 6 bulan)

3. Stage of destruction,Pada tingkat ini saraf telah rusak secara lengkap . Diagnosis

stage of destruction ditegakkan bila kerusakan atau paralisis saraf secara lengkap

lebih dari 1 tahun. Pada tingkat ini walaupun dengan pengobatan fungsi syaraf tidak

dapat diperbaiki