lapsus reaksi mh aprii

55
BAB 1. PENDAHULUAN Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, adalah sebuah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae. Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang saraf tepi dan secara sekunder menyerang kulit serta organ-organ lain. 12 Kusta memiliki dua macam tipe gejala klinis yaitu pausibasilar (PB) dan multibasilar (MB). 1,12 Penyakit kusta masih menjadi permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar masyarakat dunia terutama di Negara berkembang, dan Indonesia merupakan penyumbang penyakit kusta setelah India dan Brazil. 12 Kusta bukan penyakit keturunan, tetapi merupakan penyakit menular. Penyakit menular ini pada umumnya mempengaruhi kulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan manifestasi klinis yang luas. 1 Penularan kusta terjadi lewat droplet, dari hidung dan mulut, kontak yang lama dan sering pada klien yang tidak diobati. Manusia adalah satu-satunya yang diketahui merupakan sumber Mycobacterium leprae. Kusta menular dari penderita yang tidak diobati ke orang lainnya melalui pernapasan dan kontak kulit. Kusta pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. 2,5 1

Upload: apriamalia

Post on 07-Dec-2015

29 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

dermato

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus Reaksi MH Aprii

BAB 1. PENDAHULUAN

 

Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, adalah sebuah penyakit

infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae.

Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang saraf tepi dan secara sekunder

menyerang kulit serta organ-organ lain.12 Kusta memiliki dua macam tipe gejala klinis

yaitu pausibasilar (PB) dan multibasilar (MB).1,12

Penyakit kusta masih menjadi permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar

masyarakat dunia terutama di Negara berkembang, dan Indonesia merupakan

penyumbang penyakit kusta setelah India dan Brazil.12

Kusta bukan penyakit keturunan, tetapi merupakan penyakit menular. Penyakit

menular ini pada umumnya mempengaruhi kulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai

cakupan manifestasi klinis yang luas.1 Penularan kusta terjadi lewat droplet, dari hidung

dan mulut, kontak yang lama dan sering pada klien yang tidak diobati. Manusia adalah

satu-satunya yang diketahui merupakan sumber Mycobacterium leprae. Kusta menular

dari penderita yang tidak diobati ke orang lainnya melalui pernapasan dan kontak kulit.

Kusta pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut,

saluran napas bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. 2,5

Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati,

namun sejak tahun 1980 dimana program Multi Drug Treatment (MDT) mulai

diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi. Tujuan jangka menengah Program

P2 Kusta untuk menurunkan angka kesakitan kusta menjadi lebih kecil dari 1 per

10.000 penduduk pada tahun 2000 merupakan tantangan berat mengingat banyaknya

kendala pada pelaksanaannya. Salah satu kendala yang masih perlu mendapat perhatian

adalah penanganan reaksi kusta/ lepra.13

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

1

Page 2: Lapsus Reaksi MH Aprii

2.1  Definisi

Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan

gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen,

sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen

pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.

Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang

disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit

granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada

kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat

progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.

Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan

anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath yang digambarkan

dan sering disamakan dengan kusta. 2

Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan

organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota

tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun infeksius,

tetapi derajat infektivitasnya rendah. Waktu inkubasinya panjang, mungkin beberapa

tahun, dan tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan infeksi sewaktu masa kanak-

kanak. Tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta antara lain, kulit mengalami

bercak putih, merah, ada bagian tubuh tidak berkeringat, rasa kesemutan pada anggota

badan atau bagian raut muka, dan mati rasa karena kerusakan syaraf tepi. Gejalanya

memang tidak selalu tampak. Justru sebaiknya waspada jika ada anggota keluarga yang

menderita luka tak kunjung sembuh dalam jangka waktu lama. Juga bila luka ditekan

dengan jari tidak terasa sakit.

Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah

endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang

tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV

yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih

tinggi dari wanita.2,5

2.2  Epidemiologi

2

Page 3: Lapsus Reaksi MH Aprii

        Epidemiologi Secara Global

Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat

di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka

penyakit ini bisa menyerang di mana saja.

 Epidemiologi Kusta di Indonesia

Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian

menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang,

penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan pemeriksaan

kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat

di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada

abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia

untuk menyebarkan agamanya dan berdagang.

Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar di Indonesia

sebanyak  20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar ini membuat Indonesia

menjadi salah satu Negara di dunia yang dapat mencapai eliminasi kusta sesuai target

yang ditetapkan oleh World Health Organisation yaitu tahun 2000.12

2.3   Etiologi

Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang berbentuk pleomorfik

lurus, batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8

mikron. Basil ini berbentuk batang Gram positif dan bersifat tahan asam, tidak mudah

diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol

sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil tahan asam, tidak bergerak dan tidak

berspora, dan dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk

masa irreguler besar yang disebut globi. Micobakterium ini termasuk kuman aerob.

Kuman Mycobacterium leprae menular kepada manusia melalui kontak langsung

dengan penderita dan melalui pernapasan, kemudian kuman membelah dalam jangka

14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun. Setelah lima tahun, tanda-tanda

seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit mengalami bercak

putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi

sebagaimana mestinya.4,6 Menurut Marwali Harahap (2000), Mycobacterium leprae

mempunyai 5 sifat, yakni: 1. Mycobacterium leprae merupakan parasit intraseluler

obligat yang tidak dapat dibiakkan pada media buatan. 2. Sifat tahan

asam Mycobacterium leprae dapat diekstraksi oleh piridin. 3.Mycobacterium

3

Page 4: Lapsus Reaksi MH Aprii

leprae merupakan satu-satunya mikrobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-

Dihydroxyphenylalanin). 4. Mycobacterium leprae adalah satu-satunya spesies

mikobakterium yang menginvasi dan bertumbuh dalam saraf perifer. 5. Ekstrak terlarut

dan preparat Mycobacterium leprae mengandung komponen antigenik yang stabil

dengan aktivitas imunologis yang khas yaitu uji kulit positif pada penderita tuberkuloid

dan negatif pada penderita lepromatous.7.9,10

2.4   Bentuk-Bentuk dan Gejala  Penyakit Kusta

2.4.1   Klasifikasi Penyakit Kusta 4.5.12

1)     Jenis klasifikasi yang umum

a.    Klasifikasi Internasional (1953)

1.    Indeterminate (I)

2.    Tuberkuloid (T)

3.    Borderline-Dimorphous (B)

4.    Lepromatosa (L)

b.    Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi Ridley-Jopling (1962).

1.    Tuberculoid (TT)

2.    Boderline tuberculoid (BT)

3.    Mid-borderline (BB)

4.    Borderline lepromatous (BL)

5.    Lepromatosa (LL)

c.    Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi WHO (1981) dan

modifikasi WHO (1988)

1.    Pausibasilar (PB)

Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut

kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid.

2.    Multibasilar (MB)

Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut

kriteria Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan

BTA positif.

4

Page 5: Lapsus Reaksi MH Aprii

Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus diklasifikasikan sebagai

berikut: Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetapi diobati sebagai MB apapun

hasil pemeriksaan BTA-nya saat ini. Bila awalnya didiagnosis tipe PB, harus dibuat

klasifikasi baru berdasarkan gambaran klinis dan hasil BTA saat ini.

Tabel 1. Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO

PB MB

1.      Lesi kulit (makula

yang datar, papu lyang

meninggi,infiltrat,

plak eritem, nodus)

2.     

Kerusakan saraf

(menyebabkan

hilangnya sensasi/

kelemahan otot yang

dipersarafi oleh saraf

yang terkena)

 1-5 lesi

 Hipopigmentasi/eritema

 Distribusi tidak simetris.

Hilangnya sensasi yang

jelas.

Hanya satu cabang saraf

 > 5 lesi

 Distribusi lebih

simetris.

Hilangnya

sensasi kurang

jelas.

 Banyak cabang

saraf

Kekebalan selular (cell mediated immunity= CMI) seseorang yang akan

menentukan, apakah ia akan menderita kusta bila ia mendapat infeksi

Mycobacterium leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya dalam spektrum penyakit

kusta.

5

Page 6: Lapsus Reaksi MH Aprii

Tabel 2. Gambaran klinis tipe PB

KarakteristikTuberkuloid

(TT)

Borderline

tuberculoid

(BT)

Indeterminate

(I)

Lesi

Tipe

Jumlah

Distribusi

Permukaan

Sensibilitas

BTA

Pada lesi kulit

Tes lepromin

Makula dibatasi

infiltrat

Satu atau

beberapa

Terlokalisasi &

asimetris

Kering, skuama

Hilang

Negatif

Positif kuat (3+)

Makula dibatasi

infiltrat saja

Satu dengan lesi

satelit

Asimetris

Kering, skuama

Hilang

Negatif atau 1 +

Positif (2 +)

Makula

Satu atau

beberapa

Bervariasi

Dapat halus

agak berkilat

Agak terganggu

Biasanya negatif

Meragukan (1 +)

6

Page 7: Lapsus Reaksi MH Aprii

Tabel 3. Gambaran klinis tipe MB

Karakteristik Lepromatosa (LL)Borderline

lepromatosa (BL)

Mid-borderline

(BB)

Lesi

Tipe

Jumlah

Distribusi

Permukaan

Sensibilitas

BTA

Pada lesi kulit

Pada

hembusan

hidung

Tes lepromin

Makula, infiltrat

difus, papul, nodus

Banyak, distribusi

luas, praktis tidak

ada kulit sehat

simetris

Kering, skuama

Halus dan berkilap

Tidak terganggu

Banyak (globi)

Banyak (globi)

Negative

Makula, plak,

papul

Banyak, tapi kulit

sehat masih ada

Cenderung

simetris

Halus dan berkilap

Sedikit berkurang

Banyak

Biasanya tidak ada

Negatif

Plak, lesi berbentuk

kubah, lesi

punched-out

Beberapa, kulit

sehat (+)

asimetris

sedikit berkilap,

beberapa lesi kering

berkurang

Agak banyak

tidak ada

biasanya negatif,

dapat juga (±)

Gambaran klinis penyakit kusta pada seorang pasien mencerminkan tingkat

kekebalan selular pasien tersebut. Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam

bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan

7

Page 8: Lapsus Reaksi MH Aprii

penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,

histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di

klinik dan untuk pemberantasan. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut:

1.    Tipe tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa,

dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan

lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang

meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat

disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa

gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda

terdapatnya respons imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.

2.    Tipe borderline tubercoloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang

sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa,

tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe

tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya

asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.

3.    Tipe mid borderline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum

penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai.

Lesi dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi

kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi

sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan

lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.

4.    Tipe borderline lepromatosa

Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah

sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih

bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan

distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada

bagian tengah. Lesi bagian tengah tampak normal dengan pinggir dalam infiltrat lebih

jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched

out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi,

berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan

tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat predileksi.

8

Page 9: Lapsus Reaksi MH Aprii

5.    Tipe lepromatosa (LL)

Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa,

berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak

ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi,

pelipis, dagu, cuping telinga. Sedang di badan mengenai bagian badan yang dingin,

lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium

lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka

menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis,

iritis dan keratis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat

dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi

testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove

anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif, muncul makula dan papul baru,

sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut

saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan

pengecilan otot tangan dan kaki.

Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam

klasifikasi Ridley dan jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu

tipe indeterminate (I). Lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit

sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor ekstremitas,

bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi atau sedikit

penebalan saraf. Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan, bila dengan pemeriksaan

histopatologik.

Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat

atau tipe dari penyakit tersebut yaitu: Adanya bercak tipis seperti panu pada

badan/tubuh manusia, Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama

semakin melebar dan banyak, Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris,

medianus, auricularis magnus serta peroneus, Kelenjar keringat kurang bekerja

sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma,

nodul) yang tersebar pada kulit, alis rambut rontok, muka berbenjol-benjol dan tegang

yang disebut facies leonina (muka singa).

2.5  Penularan Leprae

Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas

penularan di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama

9

Page 10: Lapsus Reaksi MH Aprii

tampaknya sangat berperan dalam penularan. Berjuta-juta basil dikeluarkan melalui

lendir hidung pada penderita kusta tipe lepromatosa yang tidak diobati, dan basil

terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir hidung yang kering. Ulkus kulit pada

penderita kusta lepromatusa dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme

kemungkinan masuk melalui saluran pernafasan atas dan juga melalui kulit yang

terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun, penularannya diduga melalui

plasenta.2

Dua pintu keluar dari Mycobacterium leprae dari tubuh manusia diperkirakan

adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus

lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun

masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke

permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukannya bakteri tahan asam

di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak

menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et

al menemukan adanya sejumlah Mycobacterium leprae yang besar di lapisan keratin

superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan

bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat. Pentingnya mukosa

hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898. Jumlah dari bakteri dari lesi

mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga

10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa

memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi

bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000

organisme per hari.

Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda

tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni

selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta

adalah : 1. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang

sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam. 2. Kontak kulit dengan kulit.

Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik

mikroskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multibasiler kepada

orang lain dengan cara penularan langsung. Penularan yang pasti belum diketahui, tapi

sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui

10

Page 11: Lapsus Reaksi MH Aprii

saluran pernapasan dan kulit. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah

dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain:

1)   Faktor Kuman kusta

Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh (solid)

bentuknya, lebih besar kemungkinan menyebabkan penularan dari pada orang yang

tidak utuh lagi. Mycobacterium leprae bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan

panjang 1-8 mikron dan lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang

tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin. Kuman

kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1 sampai 9 hari tergantung suhu atau

cuaca dan diketahui hanya kuman kusta  yang utuh (solid) saja dapat menimbulkan

penularan.11.12

2)   Faktor Imunitas

Sebagian manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil penelitian

menunjukan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 0rang yang tidak menjadi sakit, 3

orang sembuh sendiri tanpa obat dan 2 orang menjadi sakit. Hal ini belum lagi

mempertimbangkan pengaruh pengobatan.11

3)   Keadaan Lingkungan

Keadaan rumah yang berjejal yang biasanya berkaitan dengan kemiskinan,

merupakan faktor penyebab tingginya angka kusta. Sebaliknya dengan meningkatnya

taraf hidup dan perbaikan imunitas merupakan faktor utama mencegah munculnya

kusta.

4)    Faktor Umur

Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Incidence Rate penyakit ini

meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10 sampai 20 tahun dan kemudian

menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan puncak umur 30

sampai 50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun.11

5)   Faktor Jenis Kelamin

Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari pada wanita, kecuali

di Afrika dimana wanita lebih banyak dari pada laki-laki. Faktor fisiologis seperti

pubertas, menopause, Kehamilan, infeksi dan malnutrisi akan mengakibatkan

perubahan klinis penyakit kusta.11

Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta. Dari hasil penelitian

menunjukkan gambar sebagai berikut dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak

menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum

11

Page 12: Lapsus Reaksi MH Aprii

lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh

kuman Mycobacteriumleprae menderita kusta.10

2.5.1        Masa inkubasi

Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa

peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan

adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa

inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan

pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan

kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Dengan rata-rata adalah 4 tahun untuk

kusta tuberkuloid dan dua kali lebih lama untuk kusta lepromatosa.

Penyakit ini jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah usia 3 tahun;

meskipun, lebih dari 50 kasus telah ditemukan pada anak-anak dibawah usia 1 tahun,

yang paling muda adalah usia 2,5 bulan. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa

inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.3

2.5.2        Reservoir

Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang diketahui berperan

sebagai reservoir. Di Lusiana dan Texas, binatang Armadillo liar diketahui secara

alamiah dapat menderita penyakit yang mempunyai kusta seperti pada percobaan yang

dilakukan dengan binatang ini. Diduga secara alamiah dapat terjadi penularan

dari Armadilo kepada manusia. Penularan kusta secara alamiah ditemukan terjadi pada

monyet dan simpanse yang ditangkap di Nigeria dan Sierra Lione.1.6

2.6  Patogenesis

Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh masih belum

diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa tersering ialah

melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa

nasal. Pengaruh Mycobacterium leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas

seseorang, kemampuan hidup Mycobacterium leprae pada suhu tubuh yang rendah,

waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis.7.9

Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama

terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel

Schwan di jaringan saraf. Bila kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh,

12

Page 13: Lapsus Reaksi MH Aprii

maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel

mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya.2.3.4

Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan

demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat

bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.11

Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga

makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman

difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif

dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia langhans. Bila infeksi ini tidak segera

di atasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan

saraf dan jaringan disekitarnya.5,7

Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhan Mycobacterium leprae,

disamping itu sel Schwan berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya

sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalm sel Schwan, kuman

dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan

terjadi kerusakan saraf yang progresif.11

2.7  Manifestasi Klinis

Menurut Jimmy Wales (2008), tanda-tanda tersangka kusta (Suspek) adalah

sebagai berikut:  Tanda-tanda pada kulit, Bercak/kelainan kulit yang merah/putih di

bagian tubuh, Kulit mengkilat, Bercak yang tidak gatal, Adanya bagian-bagian yang

tidak berkeringat atau tidak berambut, Lepuh tidak nyeri, Tanda-tanda pada syaraf,

Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan, Gangguan gerak

anggota badan/bagian muka, Adanya cacat (deformitas), Luka (ulkus) yang tidak mau

sembuh.

Gejala-gejala kerusakan saraf menurut A. Kosasih (2008), antara lain adalah

N.fasialis: Lagoftalmus,  N.ulnaris: Anastesia pada ujung jari bagian anterior

kelingking dan jari manis, Clawing kelingking dan jari manis, Atrofi hipotenar dan

otot interoseus dorsalis pertama.  N.medianus: Anastesia pada ujung jari

bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah, Tidak mampu aduksi ibu

jari,  Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah, Ibu jari kontraktur.

N.radialis:  Anastesia dorsum manus, Tangan gantung (wrist/hand drop), Tidak mampu

ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan. N.poplitea lateralis: Kaki gantung (foot

drop),  N.tibialis posterior, Anastesia telapak kaki, Clow toes. 6

13

Page 14: Lapsus Reaksi MH Aprii

2.8  DIAGNOSIS

2.8.1  Anamnesis

Subyektif : Keluhan penderita, Kelainan  kulit, Mati rasa, Gangguan fungsi pada saraf.

Obyektif :  Riwayat kontak dengan penderita, Latar belakang keluarga misalnya

Keadaan sosial ekonomi.

Evaluasi data : Untuk menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya, Sebagai sumber

acuan pengobatan MDT dan klasifikasi penyakit kusta.

2.8.2  Pemeriksaan fisik

Inspeksi: Inspeksi adalah suatu proses observasi yang dilaksanakan secara

sistematik. Observasi dilaksanakan dengan menggunakan indra penglihatan,

pendengaran, penciuman sebagai suatu alat untuk mengumpulkan data. Inspeksi

dimulai pada saat berinteraksi dengan penderita dan dilanjutkan dengan

pemeriksaan lebih lanjut. Ruangan membutuhkan cahaya yang adekuat (terang)

diperlukan agar petugas dapat membedakan warna dan bentuk tubuh.

Palpasi: Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada: n.auricularis

magnus, n.ulnaris, n.radialis, n.medianus, n.peroneus, dan n.tibialis posterior.

Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi,

penebalan, dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia

kesakitan atau tidak saat saraf diraba.2

Tanda pasti kusta adalah: a) kulit dengan bercak putih atau kemerahan dengan

mati rasa, b) penebalan pada saraf tepi disertai kelainan fungsinya berupa mati rasa dan

kelemahan pada otot tangan, kaki, dan mata, c) pada pemeriksaan kerokan kulit BTA

positif. Seseorang dikatakan menderita kusta apabila ditemukan satu atau lebih

dari Cardinal Signs Kusta, pada waktu pemeriksaan klinis.11

Pemeriksaan Saraf Tepi

14

Page 15: Lapsus Reaksi MH Aprii

o Saraf ulnaris: untuk memeriksa saraf ulnaris kiri, pegang lengan bawah kiri

penderita dengan tangan kiri Anda; raba di bawah siku penderita dengan tangan

kanan Anda. Anda akan menemukan saraf ulnaris di cekungan pada sisi median

(dalam). Lakukan sebaliknya untuk memeriksa saraf ulnaris lengan kanan.2

o Saraf medianus: untuk memeriksa saraf medianus, pegang pergelangan

penderita dengan telapak tangannya menghadap ke atas; raba hati-hati di

tengah-tengah pergelangan. Saraf medianus mungkin tidak teraba, tapi ada

tidaknya nyeri tekan tetap dapat terdeteksi.2

o Saraf peroneus: untuk meraba saraf peroneus kanan, minta penderita duduk di

kursi dan kemudian Anda duduk atau berlutut di depannya. Gunakan tangan kiri

Anda untuk meraba saraf di sisi luar betis sedikit di bawah lutut dan lekukan

sekitar tulang di bawah lutut. Gunakan tangan kanan Anda untuk memeriksa

saraf Peroneus kiri.2

o Fungsi sensorik: Dilakukan pemeriksaan fungsi saraf sensorik pada telapak

tangan, daerah yang disarafi oleh n.ulnaris dan medianus juga pada daerah

telapak kaki untuk daerah yang disarafi oleh n.tibialis posterior.2,4,5

o  Fungsi motorik: N.fasialis dengan memeriksa kekuatan penutupan bola mata.

N.ulnaris dengan memeriksa kekuatan m.abductor pollicis minimi. N.medianus,

dengan memeriksa kekuatan m.abductor pollicis brevis. N.radialis, dengan

memeriksa kekuatan fleksi dorsal pergelangan tangan. N.peroneus, dengan

memeriksa kekuatan fleksi dorsal pergelangan kaki baik pada arah eversi

maupun inverse. N.tibialis posterior, dengan memeriksa kekuatan otot triceps

surae, tibialis posterior, flexor hallucis longus dan flexor digitorum longus.2,4,5

o Fungsi Otonom: Fungsi Otonom diperiksa dengan memegang tangan atau kaki

penderita untuk menilai kebasahan telapak tangan maupun kaki (fungsi kelenjar

keringat). Pemeriksaan bersama dengan gerak Olah raga.2,4,5

Tanda pasti kusta adalah: a) kulit dengan bercak putih atau kemerahan dengan mati

rasa, b) penebalan pada saraf tepi disertai kelainan fungsinya berupa mati rasa dan

kelemahan pada otot tangan , kaki, dan mata, c) pada pemeriksaan kerokan kulit BTA

positif. Seseorang dikatakan menderita kusta apabila ditemukan satu atau lebih

dari Cardinal Signs Kusta, pada waktu pemeriksaan klinis.11

15

Page 16: Lapsus Reaksi MH Aprii

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaaan bakterioskopik

Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat.

Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang

diwarnai dengan pewarnaan Ziehl Neelson. Bakterioskopik negative pada

seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil

M.Leprae. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling

padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil.

Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6

tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling

aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping

telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena

pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae14.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah

sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (I.B) dengan nilai 0 sampai 6+

menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).

1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP

2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP

3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP

4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP

5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP

6+ Bila > 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah

solid dan non solid.

IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+

tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari

16

Page 17: Lapsus Reaksi MH Aprii

dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100

lapangan.

2. Pemeriksaan Histopatologi

Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada

yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila

SIS nya tinggu, makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae. Datangnya

histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya

faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus

difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat

bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans.

Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang

disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat.

Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat

menghancurkan M.Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat

berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau sel busa

dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. 14

Gambaran histopatologi tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan

saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe

lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone ) yaitu

suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik.

Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat

campuran unsur – unsur tersebut.

3. Pemeriksaan serologik:

Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh

M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.Leprae,

yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD

serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-

lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.tuberculosis.

17

Page 18: Lapsus Reaksi MH Aprii

Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta

yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.Pemeriksaan

serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji

ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay) dan ML dipstick

(Mycobacterium Leprae dipstick). 14

4. Tes lepromin

adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk

diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap

M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme,

disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi

Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila

terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi

terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test

(PPD) pada tuberkolosis.

2.9 Penatalaksanaan Penyakit Kusta

Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai penularan

untuk menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan menyembuhkan

penderita, mencegah timbulnya penyakit, dan untuk mencapai tujuan tersebut, strategi

pokok yang dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.

Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin,

dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson

yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus

obat, dan untuk mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS

(Diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998 WHO

menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan alternative yaitu ofloksasin,

minosiklin, dan klaritomisin. Sejak tahun 1951 pengobatan tuberculosis dengan obat

kombinasi ditujukan untuk mencegah kemungkinan resistensi obaat sedangkan MDT

untuk kusta baru dimulai tahun 1971.14

18

Page 19: Lapsus Reaksi MH Aprii

DDS:

Ada dua jenis relaps pada kusta yaitu relaps sensitive (persisten) dan relaps

resisten. Pada relaps persisten secara klinis, bakterioskopik, histopatologik dapat

dinyatakan penyakit tiba-tiba aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan

bakterioskopik positif kembali. Tetapi setelah dibuktikan dengan pengobatan dan

inokulasi pada mencit, ternyata M.Leprae yang semula dorman, sleeping, atau persisten

bangun dan aktif kembali. Pada pengobatan sebelumnya, basil dorman sukar

dihancurkan dengan obat atau MDT apapun. Pada relaps resisten secara klinis,

bakterioskopik, histopatologik yang khas dapat dibuktikan dengan percobaan dan

inokulasi pada mencit, bahwa M.Leprae resisten terhadap DDS. Resisten hanya terjadi

pada kusta multibasilar tetapi tidak pada pausibasilar, oleh karena SIS penderita PB

tinggi dan pengobatannya relative singkat.

Pengertian MDT pada saat ini adalah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan

obat-obat lain. Dosis DDS ialah 1-2 mg/kg BB setiap hari. Efek sampingnya antara

lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati

perifer, sindrom DDS, nekrosis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan

methemoglobinemia. 14

Rifampicin:

Kombinasi DDS dengan dosis 10mg/kg BB, diberikan setiap hari atau setiap

bulan. Rifampicin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi karena dapat memperbesar

kemungkinan terjadinya resistensi. Efek Samping yang harus di perhatikan adalah

hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit. 14

Klofazimin (lamprene) :

Dosis sebagai antikusta ialah 50mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari

atau 3x100mg setiap minggu. Juga bersifat sebagai antiinflamasi sehingga dapat

dipakai pada penanggulangan E.N.L dengan dosis lebih tinggi yaitu 200-300 mg/hari

namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu.

Efek sampingnya adalah warna kecokelatan pada kulit dan warna kekuningan

pada sclera sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh klofazimin yang

merupakan zat warna dan dideposit terutama pada sel system retikuloendotelial,

19

Page 20: Lapsus Reaksi MH Aprii

mukosa, dan kulit. Obat ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan

masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek samping hanya terjadi dalam dosis

tinggi, berupa gangguan gastrointestinal yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia,

dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan.Perubahan warna tersebut

akan mulai menghilang setelah 3 bulan obat diberikan. 4

Ofloksasin:

Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium

leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan

dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium Leprae hidup sebesar 99,99%.

Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya., berbagai

gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness

dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukkan dan biasanya tidak

membutuhkan penghentian pemakaian obat. Penggunaan pada anak, remaja, wanita

hamil dan menyusui harus hati-hati, karena pada hewan muda kuinolon menyebabkan

artropati. Selain ofloksasin dapat pula digunakan levofloksasin dengan dosis 500 mg

sehari. Obat tersebut lebih baru, jadi lebih efektif. 14

Minosiklin:

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi

daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampicin. Dosis standar harian

100 mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang

menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simptom saluran

cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizzines dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak

dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan14.

Klaritromisin:

Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal

terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta

lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99 % kuman hidup dalam 28 hari

dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare

yang terbukti sering di temukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg. 14

20

Page 21: Lapsus Reaksi MH Aprii

Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT).

Setelah RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dengan

tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun

selama minimal 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap negative dan klinis tidak ada

keaktivan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From

Control (RFC). 14

MDT untuk pausibasilar ( I, TT, BT ) adalah rifampicin 600 mg setiap bulan

dan DDS 100 mg setiap hari. Keduanya diberikan selama 6 bulan sampai 9 bulan.

Selama pengobatam, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah

6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2

tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktivan baru secara klinis dan

bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakan RFC. 14

WHO pada tahun 1998 telah memperpendek masa pengobatan untuk kasus

Multibasilar menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus

Pausibasilar dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. 14

Penderita multibasilar yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten

pula dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Dalam hal ini rejimen

pengobatan menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg

setiap hari selama 6 bulan, dilanjutkan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400 mg

atau minosiklin 100 mg setiap hari selama 8 bulan. 14

Bagi penderita MB yang menolak klofazimin dapat di berikan ofloksasin 400

mg/hari atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan. Alternatif lain ialah diberikan

rifampicin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis

tunggal setiap bulan selama 24 bulan.

21

Page 22: Lapsus Reaksi MH Aprii

WHO Recommended treatment regimens

6 month regimen for Paucibacillary (PB) Leprosy

Dapson Rifampisin

Dewasa

50-70 kg

100 mg

Setiap hari

600 mg

Sebulan sekali di bawah

pengawasan

Anak

10-14 tahun *

50 mg

Setiap hari

450 mg

Sebulan sekali di bawah

pengawasan

* Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg

setiap hari dan rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan

12 month regimen for Multibacillary (MB) Leprosy

Dapsone Rifampisin Clofazimin

Dewasa

50-70 kg

100 mg

Setiap Hari

600 mg

Sebulan sekali

di bawah

pengawasan

50 mg

Setiap hari

DAN 300 mg

Sebulan sekali di

bawah

pengawasan

Anak

10-14 tahun *

50 mg

Setiap hari

450 mg

Sebulan sekali

di bawah

pengawasan

50 mg

Setiap hari

DAN 150 mg

Sebulan sekali di

bawah

pengawasan

*Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg

sehari, rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan, klofazimin,

50 mg diberikan dua kali seminggu, dan klofazimin 100 mg diberikan sebulan sekali di

bawah pengawasan

22

Page 23: Lapsus Reaksi MH Aprii

Single Lesion Paucibacillary (SLPB) Leprosy (one time dose of 3 medications

taken together)

Rifampisin Ofloxasin Minosiklin

Dewasa

50-70 kg

600 mg 400 mg 100 mg

Anak

5- 14 tahun *

300 mg 200 mg 50 mg

* Tidak dianjurkan untuk wanita hamil atau anak-anak kurang dari 5 tahun

Tipe PB

Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal yang

diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah minum 6 dosis maka dinyatakan RFT

(released from treatment)

Anak Dewasa

Hari 1 : diawasi petugas Rifampisin 2caps

(300mg+150mg) + DDS 1

tab (50mg)

Rifampisin 2caps

(2x300mg) + DDS 1 tab

(100mg)

Hari 2-28 : di rumah DDS 1 tab (50mg) DDS 1 tab (100mg)

*Anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB

Tipe MB

Mengobatan MDT untuk kusta tipe MB dilakukan dalam 24 dosis yang

diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Setelah selesai minum 24 dosis maka

dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri

positif.

23

Page 24: Lapsus Reaksi MH Aprii

Anak Dewasa

Hari 1 : diawasi petugas Rifampisin 2caps

(300mg+150mg) +

Klofazimin 3caps

(3x50mg) + DDS 1 tab

(50mg)

Rifampisin 2caps

(2x300mg) +

klofazimin 3caps

(3x100) + DDS 1 tab

(100mg)

Hari 2-28 : di rumah Klofazimin 1 tab

(50mg) + DDS 1 tab

(50mg)

Klofasimin 1cap

(100mg) + DDS 1 tab

(100mg)

* anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB

Gambar . MDT regimens

24

Page 25: Lapsus Reaksi MH Aprii

2.10 REAKSI KUSTA

Terminologi reaksi digunakan untuk menggambarkan keadaan mengenai berbagai

gejala dan tanda radang akut lesi pasien kusta, yang dapat dianggap sebagai kelaziman

pada perjalanan penyakit atau bagian komplikasi penyakit kusta. Seluruh komplikasi

penyakit kusta yang dimaksud meliputi:

- Komplikasi jaringan akibat invasi masif M. leprae

- Komplikasi akibat reaksi

- Komplikasi akibat imunitas yang menurun

- Komplikasi akibat kerusakan saraf

- Komplikasi disebabkan resistensi terhadap obat antikusta. 11

Penyebab

Meskipun gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis maupun faktor

pencetus reaksi kusta sudah diketahui jelas, namun penyebab pasti masih belum

diketahui. Kemungkinan reaksi ini menggambarkan episode hipersensitivitas

akut terhadap antigen basil yang menimbulkan gangguan keseimbangan

imunitas yang telah ada.

Faktor pencetus

Berbagai faktor yang dianggap sering mendahului timbulnya reaksi kusta antara

lain:

- Setelah pengobatan antikusta yang intensif

- Infeksi rekuren

- Pembedahan

- Stres fisik

- Imunisasi

- Kehamilan

- Saat-saat setelah melahirkan.

25

Page 26: Lapsus Reaksi MH Aprii

Pembagian Reaksi

Ada dua tipe reaksi menurut hipersensitivitas yang menyebabkannya:

Reaksi lepra tipe 1 disebabkan oleh hipersensitivitas selular

Reaksi lepra tipe 2 disebabkan oleh hipersensitivitas humoral

Fenomena Lucio atau reaksi kusta tipe 3, sebenarnya merupakan bentuk reaksi tipe 2

yang lebih berat.

Dari segi imunologis terdapat perbedaan yang prinsip antara reaksi tipe 1 dan

reaksi tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan ialah imunitas selular

(SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 imunitas humoral.

Menurut Ridley dan Jopling spektrum kusta terdiri atas 5 tipe yaitu: TT, BT,

BB, BL, LL. Bentuk TT dan LL disebut bentuk polar dan mempunyai imunitas yang

stabil, sedangkan lainnya disebut bentuk subpolar dan imunitasnya tidak stabil.

Disamping tipe-tipe di atas terdapat tipe TTs dan LLs, yang merupakan bentuk

subpolar, berdekatan sekali dengan tipe TT maupun LL, sehingga secara klinis sukar

atau tidak bisa dibedakan dengan bentuk TT maupun LL (klinis seperti TT dan LL,

tetapi imunitasnya tidak stabil).

Semakin tinggi imunitas (SIS) yang dimiliki oleh seorang pasien kusta, maka

semakin tinggi jumlah basil yang dikandungnya. Pada tipe TT dengan imunitas yang

tinggi sukar sekali menemukan basil, sedangkan pada tipe LL yang hampir atau tidak

mempunyai imunitas, dengan mudah basil dapat ditemukan.

A. Reaksi Tipe 1

Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity

reaction yang disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal upgrading)

seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal dari kuman yang

telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai

perubahan sistem imun selular yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe I terjadi

akibat perubahan keseimbangan antara imunitas dan basil. Dengan demikian, sebagai

hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/reversal, apabila menuju ke arah bentuk

tuberkuloid (terjadi peningkatan SIS) atau down grading, apabila menuju ke bentuk

lepromatosa (terjadi penurunan SIS). 11

26

Page 27: Lapsus Reaksi MH Aprii

. Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan reaksi reversal oleh

karena paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan

pengobatan, sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai oleh karena

berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat

pengobatan.

Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta

yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk yang

lain. Bentuk BB, apabila terjadi reaksi reversal akan berubah menjadi bentuk BT dan

akhirnya ke bentuk LLs. 11

Secara garis besar manifestasi dari reaksi kusta tipe 1 dapat digolongkan

sebagai berikut:

Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat

Kulit Lesi kulit yang telah ada

menjadi lebih eritematosa

Lesi yang telah ada

menjadi eritematosa.

Timbul lesi baru yang

kadang-kadang disertai

panas dan malaise.

Saraf Membesar, tidak nyeri, fungsi

tidak terganggu.

Berlangsung kurang dari 6

minggu.

Membesar, tidak nyeri,

fungsi terganggu.

Berlangsung lebih dari 6

minggu.

Kulit dan saraf

bersama-sama

Lesi kulit yang telah ada

menjadi lebih eritematosa, nyeri

pada saraf

Berlangsung kurang dari 6

minggu.

Lesi kulit yang eritematosa

disertai ulserasi atau edema

pada tangan/ kaki.

Saraf membesar, nyeri, dan

fungsinya terganggu.

Berlangsung sampai 6

minggu atau lebih.

27

Page 28: Lapsus Reaksi MH Aprii

B. Reaksi tipe 2

Reaksi lepra tipe 2 ini dikenal dengan nama sebagai Erithema Nodosum

Leprosum (ENL). ENL merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III menurut Coomb dan

Gell. Antigen berasal dari produk kuman yang telah mati dan bereaksi dengan antibodi

membentuk kompleks Ag-Ab. Kompleks Ag-Ab ini akan mengaktivasi komplemen

sehingga terjadi ENL. Jadi ENL merupakan reaksi humoral yang merupakan

manifestasi sindrom kompleks imun. Terutama terjadi pada bentuk LL dan LLs kadang

pada bentuk BL. Biasanya disertai gejala-gejala sistemik. Baik reaksi tipe 1 maupun

tipe 2 ada hubungannya dengan pemberian pengobatan antikusta, hanya saja reaksi tipe

2 tidak lazim terjadi dalam 6 bulan pertama pengobatan, tetapi justru terjadi pada akhir

pengobatan karena basil telah menjadi granular. 11

Tidak terlihat gambaran perubahan lesi kusta seperti pada reaksi tipe 1 (SIS

tidak berubah, dengan demikian kedudukannya dalam spektrum pun tetap).

Manifestasi reaksi lepra tipe 2 dapat sebagai berikut:

Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat

Kulit - Nodus sedikit, dapat

berulserasi

- Demam ringan, malaise

- Nodus banyak,

nyeri, berulserasi

- Demam tinggi,

malaise

Saraf - Saraf membesar

- Tidak nyeri

- Fungsi tidak terganggu

- Saraf membesar

- nyeri

- Fungsi terganggu

Mata Lunak, tidak nyeri Nyeri, penurunan visus dan

merah sekitar limbus

Testis Lunak, nyeri dan membesar

28

Page 29: Lapsus Reaksi MH Aprii

Penanganan Reaksi Kusta

Pada prinsipnya pengobatan reaksi kusta terutama ditujukan untuk:

- Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi paralisis

atau kontraktur.

- Secepatnya dilakukan tindakan agar tidak terjadi kebutaan bila mengenai mata,

- Membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas.

- Mengatasi rasa nyeri.

PENGOBATAN

Prinsip pengobatan reaksi kusta:

1. Pemberian obat antireaksi

2. Istirahat atau imobilisasi

3. Analgetik, sedatif untuk mengatasi nyeri.

4. Obat antikusta diteruskan.

Untuk semua tipe reaksi, bila tidak ada kontra indikasi, semua obat antikusta

dosis penuh harus tetap diberikan:

- Untuk membunuh kuman agar penyakitnya tidak meluas,

- Untuk mencegah timbulnya resistensi,

- Dengan menghentikan obat-obat antikusta saat pengobatan reaksi kadang-

kadang justru akan menimbulkan reaksi pada waktu obat antikusta tersebut

diberikan kembali.

Reaksi ringan

Nonmedikamentosa: Istirahat, imobilisasi, berobat jalan.

Medikamentosa:

Aspirin:

Masih merupakan obat terbaik dan murah untuk mengatasi nyeri dan

sebagai antiradang. Dosis yang dianjurkan antara 600-1200 mg diberikan tiap 4

jam, 4 sampai 6 kali sehari.

29

Page 30: Lapsus Reaksi MH Aprii

Klorokuin:

Kombinasi aspirin dan klorokuin dikatakan lebih baik khasiatnya dibandingkan

dengan pemberian tunggal.

Dosis: 3 kali 150 mg / hari

Efek toksik pada penggunaan jangka panjang dapat berupa: ruam pada kulit,

fotosensitisasi serta gangguan gastro-intestinal, penglihatan dan pendengaran.

Antimon:

Stibophen berisi 8,5 mg antimon per ml.

Dosis: 2-3 ml diberikan secara selang-seling, dosis total tidak melebihi 30 ml.

digunakan pada reaksi tipe 2 yang ringan untuk mengatasi rasa nyeri sendi-

sendi dan tulang.

Efek samping: ruam pada kulit, bradikardia, hipotensi.

Kini jarang dipakai karena kurang efektif dan lebih toksik daripada

kortikostreoid, talidomid, dan klofasimin.

Talidomid:

Obat tersebut digunakan untuk mengatasi reaksi tipe 2 agar dapat melepaskan

ketergantungan pada kortikosteroid.

Dosis; mula-mula diberikan 400 mg/hari sampai reaksinya teratasi, kemudian

berangsur-angsur diturunkan sampai 50mg/hari. Tidak dianjurkan diberikan

pada wanita usia subur. 11

Reaksi berat

Segera rujuk ke Rumah Sakit untuk perawatan.

Untuk reaksi tipe 1 harus segera diberikan kortikosteroid, sedangkan

untuk reaksi tipe 2 dapat diberikan klofazimin, talidomid, dan kortikosteroid

sendiri-sendiri atau kombinasi. Mengenai dosis, cara maupun lama pengobatan

reaksi kusta sangat bervariasi, sehingga belum ada dosis baku. 11

Cara pemberian Kortikosteroid

- Dimulai dengan dosis tunggal atau sedang.

- Gunakan prednison atau prednisolon.

- Dosis diturunkan setelah terjadi response maksimal.

30

Page 31: Lapsus Reaksi MH Aprii

- Dosis steroid dapat dimulai antara 30-80 mg prednison/ hari dan diturunkan 5-

10 mg/ 2 minggu, sebagai berikut:

2 minggu I : 30 mg/hr

2 minggu II : 20 mg/hr

2 minggu III : 15 mg/hr

2 minggu IV : 10 mg/hr

2 minggu V : 5 mg/hr.

Fenomena Lucio

Rifampisin merupakan obat utama bagi pasien fenomena Lucio yang belum

pernah mendapat pengobatan antikusta. Pemberian kortikosteroid seperti pada

pengobatan ENL. Talidomid dan klofazimin tidak efektif. 11

Tabel 4. Penatalaksanaan reaksi kusta (sumber: kepustakaan nomor 15)

2.11 PROGNOSIS

Dengan pengobatan MDT yang adekuat umumnya prognosis adalah baik.

Tetapi, jika sudah ada kontraktur, ulkus kronik dan kecacatan lain maka prognosis

menjadi lebih buruk. Prognosis juga bergantung pada stadium penyakit dan kepatuhan

pasien dalam minum obat,

31

Page 32: Lapsus Reaksi MH Aprii

BAB 3. REFLEKSI KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. S

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 48 tahun

Status : Sudah menikah

Suku : Jawa

Agama : Islam

Pekerjaan : Buruh tani

Alamat : Wuluhan- Jember

Tgl pemeriksaan : 21 Agustus 2015

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama:

Bercak merah dan membenjol banyak pada badan

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang dengan keluhan pada badan terdapat bercak kemerahan

yang juga membenjol, banyak menyebar, sudah 3 minggu ini. Pasien

mengaku sedang mengkonsumsi obat kusta mulai 8 bulan lalu. Pasien

merasa bercak di badannya tersebut menjadi seperti benjolan sudah 3

minggu ini, tidak gatal. Bercak tersebut masih bisa dirasakan oleh pasien

ketika diraba, namun sudah berkurang jika dibandingkan kulit yang

normal. Tidak ada rasa kesemutan pada tubuh.

Riwayat Penyakit Dahulu:

- Pasien menderita penyakit kusta sejak 1 tahun lalu

- Diabetes (-)

- Hipertensi (-).

32

Page 33: Lapsus Reaksi MH Aprii

Riwayat Penyakit Keluarga:

Pasien mengaku anaknya pernah mengalami gejala serupa dan sudah

menjalani program minum obat selama 12 bulan.

Riwayat pengobatan:

Pasien rutin mengkonsumsi obat antikusta sudah 8 bulan.

Riwayat alergi:

Disangkal.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Status generalis

- Keadaan umum : cukup

- Kesadaran : compos mentis

- Vital sign : dalam batas normal

- Kepala/ Leher : dalam batas normal

- Thorax : C/P dalam batas normal

- Abdomen : dalam batas normal, nodul multiple (+)

- Ekstremitas : Akral hangat pada keempat ekstremitas dan

tidak ada oedem pada ekstremitas.

Status Dermatologis

- Lokasi : Regio Thorax anterior, regio abdomen

- Efloresensi : Nodul multiple dengan makula eritematous, berbatas

tegas, dengan berbagai diameter, bentuk bulat dan lonjong,

permukaannya halus dan mengkilap. Hipoestesi (+).

33

Page 34: Lapsus Reaksi MH Aprii

Pemeriksaan Sensibilitas

a. Sensasi raba : terganggu di dalam lesi, dan normal di luar lesi.

b. Sensasi nyeri : negatif

c. Sensasi suhu : tidak dilakukan

Pemeriksaan motorik

a. Mata : Lagoftalmus (-)

b. Ekstremitas superior : Tahanan baik

c. Ekstremitas Inferior : Tahanan baik

Pemeriksaan otonom

a. Tes tinta tidak dilakukan

b. Kulit tampak mengkilap dan kering

Pemeriksaan Saraf Perifer

Saraf Tepi Hasil Pemeriksaan

N. Auricularis magnus Menebal D/S (-/-), Nyeri D/S (-/-)

N. Ulnaris Menebal D/S (-/-), Nyeri D/S (-/-)

N. Tibialis Posterior Menebal D/S (-/-), Nyeri D/S (-/-)

N. Peroneus lateralis Menebal D/S (+/-), Nyeri D/S (-/-)

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Bakteriologis didapatkan Indeks Bakteri +3

3.5 Diagnosis Banding

- Reaksi morbus hansen tipe 2

- Reaksi morbus hansen tipe 1

- Psoriasis vulgaris

- Ptiriasis rosea

3.6 Diagnosis Kerja

Reaksi morbus hansen tipe 2 (MH tipe multibasiler)

34

Page 35: Lapsus Reaksi MH Aprii

3.7 Tatalaksana

a. Medikamentosa

MDT- MB selama 12 bulan:

Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.

Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas.

DDS 100 mg /hari, klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah.

Obat antireaksi kusta:

Thalidomide 4 x 100 mg / hari.

Bila terjadi perbaikan klinis, dosis thalidomide diturunkan menjadi 300

mg/hari. Setelah itu dosis thalidomide dapat diturunkan perlahan-lahan

menjadi 100 mg setiap bulan.

b. Edukasi

Jelaskan mengenai reaksi kusta kepada pasien.

Meminum obat secara teratur, sesuai dosis.

Kontrol secara rutin.

3.8 Prognosis

Dubia ad bonam

DAFTAR PUSTAKA

35

Page 36: Lapsus Reaksi MH Aprii

1. CDC. (2003). Hansens's Disease (Leprosy), retrieved  December 2003 fromhttp://cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/hansen-a.htm.htm. Last update: February 11, 2004. Diakses 20 agustus 2015

2. Daili, dkk. 1998. Kusta. UI PRES. Jakarta.3. Djuanda, Edwin. 1990. Rahasia Kulit Anda. FK UI. Jakarta.4. Djuanda.A., Menaldi. SL., Wisesa.TW., dan Ashadi. LN. (1997).

Kusta : diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.5. Djuanda. A.,Djuanda. S., Hamzah. M., dan Aisah.A. (1993). Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penrbit FKUI6. Graham, Robin. 2002. Lecture Notes Dermatologi. Erlangga. Jakarta.7. Nadesul, Hendrawan. 1995. Bagaimana Kalau Terkena Penyakit Kulit.8. Barrett. TL., Wells. MJ., Libow.L., Quirk.C., and Elston DM. (2002).

Leprosy, retrieved  January 14, 2005 from http://emedicine.com/derm/ byname/leprosy.htm. diakses 20 Agustus 2015

9. Ditjen PPM & PL. (2000). Buku Pedoman Program P2 Kusta Bagi Petugas Puskesmas. Jakarta : Sub Direktorat Kusta & Frambusia.

10. Dinkes Prop.Sumsel. (2003). Modul pemberantasan penyakit kusta. Palembang

11.  Leisinger, KM. (2005). Leprosy in the year 2005: Impressive success with the treatment of a biblical disease, from: http://novartisfoundatin.com/en/about/organization/board/klaus-leisinger.htm, diakses 20 Agustus 2015.

12. WHO. (2002). Elimination of Leprosy as a Public Health Problem. retrieved January 14, 2005 from http://who.int.com/lep/stat2002/ global02. htmLlast update: January 10, 2005. diakses 20 Agustus 2015.

13. Martodihardjo S, Susanto RS. 2003. Reaksi Kusta dan Penanganannya dalam Buku KUSTA. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. h.75

14. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam : Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ke-6. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.2010;73-88

15. P. Renata, Listiawan Y. 2012. Peran TNF-α pada Imunopatogenesis ENL dan Kontribusinya pada Penatalaksanaan ENL, dalam Jurnal Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin, Vol.24, nomor 1, April 2012. Diunduh dari http://journal.unair.ac.id/filerPDF /bik3afcd0ac6fefull.pdf, diakses pada 20 Agustus 2015.

36