tugas makalah mh
DESCRIPTION
nbvgfdfsfTRANSCRIPT
TUGAS MAKALAH
“MORBUS HANSEN”
NAMA KELOMPOK IV:
BAIQ KURNIA ARIYANTI
ENIK SRI SUPENI
IMANULLAH TAJDID
FAJRIN RAMADHAN
ZAINUDIN THEZA
PROGRAM STUDI EKSTENSI B
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MATARAM
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, adalah sebuah penyakit
infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae.
Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang saraf tepi dan secara sekunder
menyerang kulit serta organ-organ lain. Kusta memiliki dua macam tipe gejala klinis
yaitu pausibasilar (PB) dan multibasilar (MB).
Penyakit kusta masih menjadi permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar
masyarakat dunia terutama di Negara berkembang, dan Indonesia merupakan
penyumbang penyakit kusta setelah India dan Brazil.
Kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
Leprae, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa
mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis.
Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebabnya ialah Mycobacterium leprae
yang intraseluler obligat.
Kusta bukan penyakit keturunan, tetapi merupakan penyakit menular. Penyakit
menular ini pada umumnya mempengaruhi kulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai
cakupan manifestasi klinis yang luas.Penularan kusta terjadi lewat droplet, dari hidung
dan mulut, kontak yang lama dan sering pada klien yang tidak diobati. Manusia adalah
satu-satunya yang diketahui merupakan sumber Mycobacterium leprae. Kusta menular
dari penderita yang tidak diobati ke orang lainnya melalui pernapasan dan kontak kulit.
Kusta pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut,
saluran napas bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Kusta
adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang
intraseluler obligat.
Penularan kusta terjadi lewat droplet, dari hidung dan mulut, kontak yang lama
dan sering pada klien yang tidak diobati. Manusia adalah satu-satunya yang diketahui
merupakan sumber Mycobacterium leprae. Kusta menular dari penderita yang tidak
diobati ke orang lainnya melalui pernapasan dan kontak kulit.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang dibahas dalam referat ini adalah :
1) Apakah definisi Morbus Hansen?
2) Bagaimana epidemiologi Morbus Hansen?
3) Apakah etiologi Morbus Hansen?
4) Bagaimana bentuk-bentuk dan gejala morbus hansen?
5) Bgaimana penularan penyakit morbus hansen ?
6) Bagaimana patofisiologi morbus Hansen ?
7) Bagaimana manifestasi klinis morbus hansen?
8) Bagaimana pemeriksaan morbus hansen?
9) Bagaimana penatalaksanaan morbus hansen?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penyusunan referat ini adalah :
1 Mengetahui definisi Morbus Hansen?
2 Mengetahui epidemiologi Morbus Hansen?
3 Mengetahui etiologi Morbus Hansen?
4 Mengetahui bentuk-bentuk dan gejala morbus hansen?
5 Mengetahui penularan penyakit morbus hansen ?
6 Mengetahui patofisiologi morbus Hansen ?
7 Mengetahui manifestasi klinis morbus hansen?
8 Mengetahui pemeriksaan morbus hansen?
9 Mengetahui penatalaksanaan morbus hansen?
1.4 Manfaat
Menambah wawasan dan pengetahuan pembaca tentang morbus hansen dan
penatalaksanaannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Penyakit Kusta
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen,
sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen
pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.
Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada
kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat
progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.
Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan
anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath yang digambarkan dan
sering disamakan dengan kusta.
Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan
organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh
penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun infeksius, tetapi derajat
infektivitasnya rendah. Waktu inkubasinya panjang, mungkin beberapa tahun, dan
tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan infeksi sewaktu masa kanak-kanak. Tanda-
tanda seseorang menderita penyakit kusta antara lain, kulit mengalami bercak putih,
merah, ada bagian tubuh tidak berkeringat, rasa kesemutan pada anggota badan atau
bagian raut muka, dan mati rasa karena kerusakan syaraf tepi. Gejalanya memang tidak
selalu tampak. Justru sebaiknya waspada jika ada anggota keluarga yang menderita luka
tak kunjung sembuh dalam jangka waktu lama. Juga bila luka ditekan dengan jari tidak
terasa sakit.
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah
endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang
tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV
yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih
tinggi dari wanita.
Kusta tipe Pausi Bacillary atau disebut juga kusta kering adalah bilamana ada
bercak keputihan seperti panu dan mati rasa atau kurang merasa, permukaan bercak
kering dan kasar serta tidak berkeringat, tidak tumbuh rambut/bulu, bercak pada kulit
antara 1-5 tempat. Ada kerusakan saraf tepi pada satu tempat, hasil pemeriksaan
bakteriologis negatif (-), Tipe kusta ini tidak menular.Sedangkan Kusta tipe Multi
Bacillary atau disebut juga kusta basah adalah bilamana bercak putih kemerahan yang
tersebar satu-satu atau merata diseluruh kulit badan, terjadi penebalan dan pembengkakan
pada bercak, bercak pada kulit lebih dari 5 tempat, kerusakan banyak saraf tepi dan hasil
pemeriksaan bakteriologi positif (+). Tipe seperti ini sangat mudah menular.
2.2 Epidemiologi Penyakit Kusta
2.2.1 Epidemiologi Secara Global
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di
daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit
ini bisa menyerang di mana saja.
2.2.2 Epidemiologi Kusta di Indonesia
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian
menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang,
penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan pemeriksaan
kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat
di Leprosariasecara isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada
abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia
untuk menyebarkan agamanya dan berdagang.
Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar di Indonesia
sebanyak 20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar ini membuat Indonesia menjadi
salah satu Negara di dunia yang dapat mencapai eliminasi kusta sesuai target yang
ditetapkan oleh World Health Organisation yaitu tahun 2000.
2.3 Etiologi
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang berbentuk pleomorf
lurus, batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8
mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif dan bersifat tahan asam, tidak mudah
diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol
sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil tahan asam, tidak bergerak dan tidak
berspora, dan dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk
masa irreguler besar yang disebut globi. Micobakterium ini termasuk kuman aerob.
Kuman Mycobacterium leprae menular kepada manusia melalui kontak langsung
dengan penderita dan melalui pernapasan, kemudian kuman membelah dalam jangka 14-
21 hari dengan masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun. Setelah lima tahun, tanda-tanda
seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit mengalami bercak
putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana
mestinya. Menurut Marwali Harahap (2000), Mycobacterium leprae mempunyai 5 sifat,
yakni : 1. Mycobacterium leprae merupakan parasit intraseluler obligat yang tidak dapat
dibiakkan pada media buatan. 2. Sifat tahan asam Mycobacterium leprae dapat
diekstraksi oleh piridin. 3. Mycobacterium leprae merupakan satu-satunya
mikrobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-Dihydroxyphenylalanin).
4. Mycobacterium leprae adalah satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi
dan bertumbuh dalam saraf perifer. Ekstrak terlarut dan preparat Mycobacterium
leprae mengandung komponen antigenik yang stabil dengan aktivitas imunologis yang
khas yaitu uji kulit positif pada penderita tuberkuloid dan negatif pada
penderita lepromatous.
2.4 Bentuk-bentuk dan Gejala Penyakit Kusta
2.4.1 Klasifikasi Penyakit Kusta
1) Jenis klasifikasi yang umum
a. Klasifikasi Internasional (1953)
1. Indeterminate (I)
2. Tuberkuloid (T)
3. Borderline-Dimorphous (B)
4. Lepromatosa (L)
b. Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi Ridley-Jopling (1962).
1. Tuberkoloid (TT)
2. Boderline tubercoloid (BT)
3. Mid-berderline (BB)
4. Borderline lepromatous (BL)
5. Lepromatosa (LL)
c. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi
WHO (1988)
1. Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut
kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid.
2. Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut
kriteria Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan
BTA positif.
Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus diklasifikasikan sebagai
berikut : Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetapi diobati sebagai MB apapun hasil
pemeriksaan BTA-nya saat ini. Bila awalnya didiagnosis tipe PB, harus dibuat klasifikasi
baru berdasarkan gambaran klinis dan hasil BTA saat ini.
Tabel 1. Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO
PB MB
1. Lesi kulit (makula yang
datar, papulyang
meninggi,infiltrat, plak
eritem, nodus)
2. kerusakan
saraf(menyebabkan hilangnya
senasasi/kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf yang
terkena)
1-5 lesi
Hipopigmentasi/eritema
Distribusi tidak simetris
Hilangnya sensasi yang jelas
Hanya satu cabang saraf
> 5 lesi
Distribusi lebih
simetris
Hilangnya sensasi
kurang jelas
Banyak cabang saraf
Kekebalan selular (cell mediated immunity = CMI) seseorang yang akan
menentukan, apakah ia akan menderita kusta bila ia mendapat
infeksiMycobacterium leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya dalam spektrum
penyakit kusta.
Tabel 2. Gambaran klinis tipe PB
Karakteristik Tuberkuloid (TT)Borderline
tuberculoid (BT)
Indeterminate
(I)
Lesi
Tipe
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Sensibilitas
BTA
Pada lesi kulit
Tes lepromin
Makula dibatasi
infiltrat
Satu atau beberapa
Terlokalisasi &
asimetris
Kering, skuama
Hilang
Negatif
Positif kuat (3+)
Makula dibatasi
infiltrat saja
Satu dengan lesi
satelit
Asimetris
Kering, skuama
Hilang
Negatif atau 1 +
Positif (2 +)
Makula
Satu atau
beberapa
Bervariasi
Dapat halus agak
berkilat
Agak terganggu
Biasanya negatif
Meragukan (1 +)
Tabel 3. Gambaran klinis tipe MB
Karakteristik Lepromatosa (LL)Borderline
lepromatosa (BL)
Mid-borderline
(BB)
Lesi
Tipe
Jumlah
Distribusi
Makula, infiltrat
difus, papul, nodus
Banyak, distribusi
luas, praktis tidak ada
kulit sehat
simetris
Kering, skuama
Makula, plak,
papul
Banyak, tapi kulit
sehat masih ada
Cenderung
Plak, lesi berbntuk
kubah, lesi punched-
out
Beberapa, kulit sehat
(+)
asimetris
Permukaan
Sensibilitas
BTA
Pada lesi kulit
Pada hembusan
hidung
Tes lepromin
Halus dan berkilap
Todak terganggu
Banyak (globi)
Banyak (globi)
Negative
simetris
Halus dan berkilap
Sedikit berkurang
Banyak
Biasanya tidak ada
Negatif
sedikit berkilap,
beberapa lesi kering
berkurang
agak banyak
tidak ada
biasanya negatif,
dapat juga (±)
Gambaran klinis penyakit kusta pada seorang pasien mencerminkan tingkat
kekebalan selular pasien tersebut. Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang
penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Joplingyang mengelompokkan penyakit
kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan
imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk
pemberantasan.Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :
1. Tipe tuberkoloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa,
dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi
yang regresi atau cemntral healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang
meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsnata. Dapat
disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa
gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda
terdapatnya respons imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.
Gambar. Tipe TT
2. Tipe borderline tubercoloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang
sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa,
tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe
tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya
asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3. Tipe mid borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum
penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai.
Lesi dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang
jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi sangat
bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan
lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.
Gambar. Tipe BB
4. Tipe borderline lepromatosa
Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit
dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi
bentuknya. Walaupun masih kecil, papul dannodus lebih tegas dengan distribusi lesi
yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi
bagian tengah tampak normal dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan
dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak sepertipunched out. Tanda-tanda
kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipipigmentasi, berkurangnya keringat dan
hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf
dapat teraba pada tempat predileksi.
5. Tipe lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebiheritematosa,
berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak
ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi,
pelipis, dagu, cuping telinga. Sedang dibadan mengenai bagian badan yang dingin,
lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut
tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi
kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis,
iritis dankeratis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai
pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.
Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking dan glove anaesthesia. Bila
penyakit ini menjadi progresif, muncul makula dan papul baru, sedangkan lesi lama
menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami
degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan
dan kaki.
Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam
klasifikasi Ridley dan jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu
tipe indeterminate (I). lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik
dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong
atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi atau sedikit penebalan
saraf. Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan, bila dengan pemeriksaan histopatologik.
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe
dari penyakit tersebut yaitu: Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia,
Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan
banyak, Adanya pelebaransyaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis
magnus serta peroneu, Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan
mengkilat. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit,
Alis rambut rontok, Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies
leomina (muka singa).
Gambar. Tipe LL
2.5 Penularan Leparae
Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas penularan
di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya
sangat berperan dalam penularan. Berjuta-juta basil dikeluarkan melalui lendir hidung
pada penderita kusta tipelepromatosa yang tidak diobati, dan basil terbukti dapat hidup
selama 7 hari pada lendir hidung yang kering. Ulkus kulit pada penderita
kustalepromatusa dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme kemungkinan masuk
melalui saluran pernafasan atas dan juga melalui kulit yang terluka. Pada kasus anak-
anak dibawah umur satu tahun, penularannya diduga melalui plasenta.
Dua pintu keluar dari Mycobacterium leprae dari tubuh manusia diperkirakan
adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa
kasuslepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit.
Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah
ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam
di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et almelaporkan bahwa mereka tidak menemukan
bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya
sejumlah Mycobacterium leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di
penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme
tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat. Pentingnya mukosa hidung telah
dikemukakan oleh Schäffer pada 1898. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di
kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000
bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan
adanya bakteri di sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret
hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda
tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni
selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta
adalah : 1. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang
sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam. 2. Kontak kulit dengan kulit.
Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik
mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multibasiler kepada
orang lain dengan cara penularan langsung. Penularan yang pasti belum diketahui, tapi
sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui
saluran pernapasan dan kulit. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan
tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain :
1) Faktor Kuman kusta
Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh (solid)
bentuknya, lebih besar kemungkinan menyebabkan penularan dari pada orang yang tidak
utuh lagi Mycobacterium leprae bersifat tahan asam, bermentuk batang dengan panjang
1-8 mikron dan lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-
satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin. Kuman kusta dapat hidup
diluar tubuh manusia antara 1 sampai 9 hari tergantung suhu atau cuaca dan diketahui
hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja dapat menimbulkan penularan.
2) Faktor Imunitas
Sebagian manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil penelitian
menunjukan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 0rang yang tidak menjadi sakit, 3
orang sembuh sendiri tanpa obat dan 2 orang menjadi sakit. Hal ini belum lagi
mempertimbangkan pengaruh pengobatan.
3) Keadaan Lingkungan
Keadaan rumah yang berjejal yang biasanya berkaitan dengan kemiskinan,
merupakan faktor penyebab tingginya angka kusta. Sebaliknya dengan meningkatnya
taraf hidup dan perbaikan imunitas merupakan faktor utama mencegah munculnya kusta.
4) Faktor Umur
Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Incidence Rate penyakit ini
meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10 sampai 20 tahun dan kemudian
menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan puncak umur 30
sampai 50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun.
5) Faktor Jenis Kelamin
Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari pada wanita, kecuali
di Afrika dimana wanita lebih banyak dari pada laki-laki. Faktor fisiologis seperti
pubertas, monopause, Kehamilan, infeksi dan malnutrisi akan mengakibatkan perubahan
klinis penyakit kusta.
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta. Dari hasil penelitian
menunjukkan gambar sebagai berikut dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak
menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum
lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh
kuman Mycobacteriumleprae menderita kusta.
2.5.1 Masa inkubasi
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa
peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan
adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi
maksimum dilaporkan selama 30 tahun Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada
veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke
daerah non-endemik. Dengan rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan dua
kali lebih lama untuk kusta lepromatosa.
Penyakit ini jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah usia 3 tahun; meskipun,
lebih dari 50 kasus telah ditemukan pada anak-anak dibawah usia 1 tahun, yang paling
muda adalah usia 2,5 bulan. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata
dari kusta adalah 3-5 tahun.
2.5.2 Reservoir
Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang diketahui berperan
sebagai reservoir. Di Lusiana dan Texas binatang Armadillo liar diketahui secara alamiah
dapat menderita penyakit yang mempunyai kusta seperti pada percobaan yang dilakukan
dengan binatang ini. Diduga secara alamiah dapat terjadi penularan dari Armadilo kepada
manusia. Penularan kusta secara alamiah ditemukan terjadi pada monyet dan simpanse
yang ditangkap di Nigeria dan Sierra Lione.
2.6 Patogenesis
Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh masih belum
diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa tersering ialah
melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa
nasal. PengaruhMycobacterium leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas
seseorang, kemampuan hidup Mycobacterium leprae pada suhu tubuh yang rendah,
waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dannontoksis.
Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama
terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel
Schwan di jaringan saraf. Bila kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh,
maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel
mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya.
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat
bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga
makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman
di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan
kadang-kadang bersatu membentuk sel datia langhans. Bila infeksi ini tidak segera di
atasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan
saraf dan jaringan disekitarnya.
Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhanMycobacterium lepare,
disamping itu sel Schwan berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya
sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalm sel Schwan, kuman
dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan
terjadi kerusakan saraf yang progresif.
2.7 Manifestasi Klinis Penyakit Kusta
Menurut Jimmy Wales (2008), tanda-tanda tersangka kusta (Suspek) adalah sebagai
berikut : Tanda-tanda pada kulit, Bercak/kelainan kulit yang merah/putih dibagian tubuh,
Kulit mengkilat, Bercak yang tidak gatal, Adanya bagian-bagian yang tidak berkeringat
atau tidak berambut, Lepuh tidak nyeri, Tanda-tanda pada syaraf, Rasa kesemutan,
tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan, Gangguan gerak anggota badan/bagian
muka, Adanya cacat (deformitas), Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh.
Gejala-gejala kerusakan saraf menurut A. Kosasih (2008), antara lain adalah : N.
fasialis : Lagoftalmus. N. ulnaris : Anastesia pada ujung jari bagian anterior kelingking
dan jari manis, Clawing kelingking dan jari manis, Atrofi hipotenar dan otot interoseus
dorsalis pertama. N. medianus : Anastesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari,
telunjuk dan jari tenga, Tidak mampu aduksi ibu jari, Clawing ibu jari, telunjuk dan jari
tengah, Ibu jari kontraktur. N. radialis : Anastesia dorsum manus, Tangan gantung
(wrist/hand drop), Tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan. N. poplitea
lateralis : Kaki gantung (foot drop), N.tibialis posterior, Anastesia telapak kaki, Clow
toes.
2.8 Pemeriksaan Penderita Kusta
2.8.1 Anamnesis
Subyektif : Keluhan penderita, Kelainan kulit, Mati rasa, Gangguan fungsi pada saraf.
Obyektif : Riwayat kontak dengan penderita, Latar belakang keluarga misalnya
Keadaan sosial ekonomi.
Evaluasi data : Untuk menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya, Sebagai sumber
acuan pengobatan MDT dan klasifikasi penyakit kusta.
2.8.2 Pemeriksaan fisik
Inspeksi : Inspeksi adalah suatu proses observasi yang dilaksanakan secara
sistematik. Observasi dilaksanakan dengan menggunakan indra penglihatan,
pendengaran, penciuman sebagai suatu alat untuk mengumpulkan data. Inspeksi dimulai
pada saat berinteraksi dengan penderita dan dilanjutkan dengan pemeriksaan lebih lanjut.
Ruangan membutuhkan cahaya yang adekuat (terang) diperlukan agar petugas dapat
membedakan warna dan bentuk tubuh.
Palpasi : Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada: n. auricularis
magnus, n. ulnaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n. tibialis posterior. Hasil
pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya
nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat saraf diraba.
Saraf ulnaris - untuk memeriksa saraf ulnaris kiri, pegang lengan bawah kiri penderita
dengan tangan kiri Anda; raba di bawah siku penderita dengan tangan kanan Anda. Anda
akan menemukan saraf ulnaris di cekungan pada sisi median (dalam). Lakukan
sebaliknya untuk memeriksa saraf ulnaris lengan kanan.
Gambar. Nervus terkena morbus hansen
Saraf medianus - untuk memeriksa saraf medianus, pegang pergelangan penderita
dengan telapak tangannya menghadap ke atas; raba hati-hati di tengah-tengah
pergelangan. Saraf medianus mungkin tidak teraba, tapi ada tidaknya nyeri tekan tetap
dapat terdeteksi.
Saraf peroneus - untuk meraba saraf peroneus kanan, minta penderita duduk di
kursi dan kemudian Anda duduk atau berlutut di depannya. Gunakan tangan kiri Anda
untuk meraba saraf di sisi luar betis sedikit di bawah lutut dan lekukan sekitar tulang di
bawah lutut. Gunakan tangan kanan Anda untuk memeriksa saraf Peroneus kiri.
Fungsi sensorik : Dilakukan pemeriksaan fungsi saraf sensorik pada telapak
tangan, daerah yang sisarafi oleh n.ulnaris dan medianus juga pada daerah telapak kaki
untuk daerah yang disarafi oleh n.tibialis posterior.
Fungsi motoric : N.fasialis dengan memeriksa kekuatan penutupan bola mata.
N.ulnaris dengan memeriksa kekuatan m.abductor pollicis minimi. N.medianus, dengan
memeriksa kekuatan m.abductor pollicis brevis. N.radialis, dengan memeriksa kekuatan
fleksi dorsal pergelangan tangan. N.peroneous, dengan memeriksa kekuatan fleksi dorsal
pergelangan kaki baik pada arah eversi maupun inverse. N.tibialis posterior, dengan
memeriksa kekuatan otot truceps surae, tibialis posterior, flexor hallucis longus dan
flexor digitorum longus.
Fungsi Otonom : Fungsi Otonom diperiksa dengan memegang tangan atau kaki
penderita untuk menilai kebasahan telapak tangan maupun kaki (fungsi kelenjar
keringat). Pemeiksaan bersama dengan gerak Olah raga.
Tanda pasti kusta adalah: a) kulit dengan bercak putih atau kemerahan dengan mati
rasa, b) penebalan pada saraf tepi disertai kelainan fungsinya berupa mati rasa dan
kelemahan pada otot tangan , kaki, dan mata, c) pada pemeriksaan kerokan kulit BTA
positif. Klien dikatakan menderita kusta apabila ditemukan satu atau lebih dari Cardinal
Signs Kusta, pada waktu pemeriksaan klinis.
2.9 Penanggulangan Penyakit Kusta
2.9.1 Pengobatan
Pengobatan berdasarkan regimen MDT (Multi Drug Therapy) dalam buku Pedoman
Diagnosis dan Terapi BAG/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dokter Soetomo
Surabaya adalah sebagai berikut :
1. Pausibasiler
Rifampicine 600 mg/bulan, diminum di depan petugas (dosis supervisi)
DSS 100 mg/hari
Pengobatan diberikan secara teratur selama 6 bulam dan diselesaikan dalam waktu
maksimal 19 bulan. Setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From
Treatment)
2. Multibasiler
Rifampicine 600 mg/bulan, dosis supervisi.
Lamprene 300 mg/hari, dosis supervisi.
Ditambahkan
Lamprene 50 mg/hari
DDS 100 mg/hari
Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 12 dosis (bulan) dan deselesaikan dalam
waktu maksimal 18 bulan. Setelah selesai 12 dosis dinyatakan RFT, meskipun secara
klinis lesinya masih aktif dan BTA (+).
2.9.2 Rehabilitasi Medik
Kiranya tidak perlu diragukan lagi bahwa timbulnya cacat pada penyakit kusta
merupakan salah satu hal yang paling penting ditakuti. Dari hasil penelitian pada bulan
Maret 1996 di Rumah Sakit Kusta Sitanala, menunjukkan bahwa lebih dari 73% pasien
yang datang berobat di poliklinik telah disertai cacat kusta. Walaupun dengan pengobatan
yang benar dan teratur penyakit kusta dapat disembuhkan, akan tetapi cacat yang telah
timbul atau mungkin yang akan timbul merupakan persoalan yang cukup kompleks. Bila
hal ini tidak ditangani secara benar, maka akan berlanjut semakin parah serta berakhir
fatal. Makin berat keadaan suatu cacat, maka makin cepat pula keadaan memburuk
Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai pengelolaan yang baik
dan benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan rehabilitasi medik secara terpadu, mulai
dari pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka, bedah rekonstruksi dan bedah
septik, pemberian alas kaki, protese atau alat bantu lainnya, serta terapi okupasi. Penting
pula diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu rehabilitasi sosial (rehabilitasi
nonmedis), agar mantan pasien kusta dapat siap kembali ke masyarakat, kembali
berkarya membangun negara, dan tidak menjadi beban pemerintah. Kegiatan terpadu
pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak diagnosis ditegakkan. Rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial merupakan satu kesatuan kegiatan yang dikenal sebagai rehabilitasi
paripurna.
Menghadapi kecacatan pada pasien kusta, perlu dibuat program rehabilitasi
medik yang terencana dan terorganisasi. Dokter, terapis dan pasien harus bekerjasama
untuk mendapat hasil yang maksimal. Pengetahuan medis dasar yang perlu dikuasai
adalah anatomi anggota gerak, prinsip dasar penyembuhan luka, pemilihan dan saat yang
tepat untuk pemakaian modalitas terapi dan latihan. Diagnosis dan terpai secara dini,
disusul dengan perawatan yang cermat, akan mencegah pengembangan terjadinya
kecacatan. Perawatan terhadap reaksi lepra mempunyai 4 tujuan, yaitu :
a) Mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar pula dari gangguansensorik,
paralisis, dan kontraktur.
b) Hentikan kerusakan mata untuk mencegah kebutaan.
c) Kontrol nyeri.
d) Pengobatan untuk mematikan basil lepra dan mencegah perburukan keadaan penyakit.
Bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat pencegahan kecacatan.
Bila kasus lanjut, upaya rehabilitasi difokuskan pada pencegahan handicap dan
mempertahankan kemampuan fungsi yang tersisa. Beberapa hal yang harus dilakukan
oleh pasien adalah :
a) Pemeliharaan kulit harian
1) cuci tangan dan kaki setiap malam sesudah bekerja dengan sedikit sabun (jangan
detergen)
2) Rendam kaki sekitar 20 menit dengan air dingin
3) kalau kulit sudah lembut. Gosok kaki dengan karet busa agar kulit kering terlepas.
4) kulit digosok dengan minyak.
5) secara teratur kulit diperiksa (adakah kemerahan, hot spot, nyeri, luka dan lain-lain)
b) Proteksi tangan dan kaki
1) Tangan :
a) pakai sarung tangan waktu bekerja
b) stop merokok
c) jangan sentuh gelas/barang panas secara langsung
d) lapisi gagang alat-alat rumah tangga dengan bahan lembut
2) Kaki
a) selalu pakai alas kaki
b) batasi jalan kaki, sedapatnya jarak dekat dan perlahan
c) meninggikan kaki bila berbaring
c) Latihan fisioterapi
Tujuan latihan adalah :
1) Cegah kontraktur
2) Peningkatan fungsi gerak
3) Peningkatan kekuatan otot
4) Peningkatan daya tahan (endurance)
a) Latihan lingkup gerak sendi : secara pasif meluruskan jari-jari
menggunakan tangan yang sehat atau dengan bantuan orang lain. Pertahankan 10
detik, lakukan 5 – 10 kali per hari untuk mencegah kekakuan. Frekuensi dapat
ditingkatkan untuk mencegah kontraktur. Latihan lingkup gerak sendi juga
dikerjakan pada jari-jari ke seluruh arah gerak.
b) Latihan aktif meluruskan jari-jari tangan dengan tenaga otot sendiri
c) Untuk tungkai lakukan peregangan otot-otot tungkai bagian belakang
dengan cara berdiri menghadap tembok, ayunkan tubuh mendekati tembok,
sementara kaki tetap berpijak.
d) Program latihan dapat ditingkatkan secara umum untuk mempertahankan
elastisitas otot, mobilitas, kekuatan otot, dan daya tahan.
e) Bidai
Pembidaian dapat dilakukan untuk jari dan pergelangan tangan agar tidak
terjadi deformitas. Bidai dipasang pada anggiota gerak fungsional saat timbul reaksi
penyakit. Bidai dapat mengurangi nyeri dan mencegah kerusakan saraf. Dianjurkan
memakai bidai yang ringan yang dipakai sepanjang hari, kecuali pada waktu latihan
lingkup gerak sendi.
f) Program terapi okupasi merupakan program yang sangat penting untuk
mempertahankan dan meningkatkan kemampuan menolong diri, tetapi perlu diingat
hal-hal yang harus diperhatikan untuk melindungi alat gerak dari bahaya pekerjaan
rumah tangga. Alat bantu khusus dapat dibuat untuk kemudahan bekerja, sesuai
dengan deformitaspasien.
1) latihan redukasi motorik
a) diawali dengan latihan lingkup gerak sendi dan latihan peregangan.
b) Memanfaatkan alat bantu kerja, dilakukan gerakan motorik tangan dan jari-jari,
sekaligus melatih koordinasi gerak dengan bagian ekstremitas yang sehat.
c) Gerak terampil tangan dan jari
d) Latihan posisi dan postur pasif dan aktif.
2) Latihan redukasi sensorik
a) Latihan ini akan meningkatkan kualitas sensori pasien, dan menolong pasien
untuk mencari alternatif lain untuk meningkatkan sensibilitas sehingga kapasitas
fungsional juga meningkat
b) Latihan sensorik bertahap, mulai dari sentuhan kasar, sampai halus, dingin dan
hangat.
c) Latihan pengenalan bentuk berbagai benda.
3) Latihan aktivitas menolong diri
4) Latihan aktivitas rumah tangga
5) Latihan aktivitas kerja
f) Senam Kusta
suatu gerakan badan yang berfokus pada olah gerak motorik saraf
terpenting pada penderita kusta. Tujuan : Membantu mendeteksi kemunduran
saraf pada penderita kusta itu sendiri, Membantu latihan olah gerak badan yang
terganggu lebih lanjut, Menjadi acuan perawatan diri untuk mencegah cacat.
Gerakan Senam Kusta
a. Gerakan penghangat
Nafas (respirasi) Oksigen ke paru-paru menahan oksigen di paru-paru
mengeluarkan karbon dioksida dari paru-paru dengaan posisi kedua tangan diangkat
diatas diturunkan seperti semula, kedua kaki terbuka derakan dilakukan dengan perlahan-
lahan diulang dengan hitungan 8X3.
Manfaat gerakan : MenyuplaI oksigen ke paru-paru memberikan suplemen
oksigen kesemua organ tubuh terutama jantung, otak diteruskan ke system saraf tubuh
untuk memungkinkan motorik, sensorik dan otonom menahan oksigen di paru-paru dan
mengeluarkan karbon dioksida dari paru-paru untuk penghangatan tubuh.
b. Gerakan Fasialis Care
Melakukan buka tutup mata gerakan dilakukan perlahan-lahan di ulang 8X3
hitungan. Manfaat gerakan : Memberikan kekuatan otot-otot yang berfungsi menutup
mata meningkatkan reflek kedip mata, menanamkan (think blink) piker kedip mata dan
mengetahui secara dini kerusakan saraf fasialis mencegah terjadinya lagophthalmos.
c. Gerakan Radialis Care
Melakukan kedua tangan kanan dan kiri diluruskan kedepan dengan mengepal,
kedua kepalan tangan digerakkan kearah atas dan kebawah posisi (ekstensi dan fleksi)
gerakan ini dihitung 8X3. Manfaat gerakan : Gerakan ini menguatkan otot-otot
pergelangan tangan yang disarapi oleh saraf radialis.
d. Gerakan Ulnaris Care
Kedua tangan diangkat sejajar dengan dada posisi tengada jari-jari kedua tangan
dirapatkan dengan melakukan bukak tutup jari kelingking kearah samping menjauhkan
(abduksi) kelingking dengan jari-jari lainnya dengan hitungan 8X3. Manfaat gerakan :
Menguatkan otot jari kelingking yang disarafi oleh saraf ulnaris.
e. Gerakan Medianus Care
Kedua tangan diangkat sejajar dengan dada posisi tengada jari-jari kedua tangan
dirapatkan dengan ibu jari kedua tangan digerakkan tegak lurus ke atas gerakan ini
dihitung 8X3. Manfaat gerakan : Memberikan kekuatan otot ibu jari yang disarafi oleh
saraf medianus.
f. Gerakan Peroneus Care
Posisi kedua kaki merapat gerakan ujung jari diangkat (ekstensi maksimal)
dengan tumit sebagai tumpuhan gerakan ini dihitung 8X3. Manfaat gerakan : Gerakan ini
menguatkan otot-otot pergelangan kaki yang disarafi oleh saraf peroneus.
g. Gerakan Penutup
Melakukan ambil nafas, menahan nafas, mengeluarkan nafas dengan perlahan-
lahan dihitung 8X3, 8 pertama nafas, 8 kedua tahan, 8 ketiga keluarkan. Manfaat gerakan
: Relaksasikan otot-otot yang digerakkan dan pendinginan secara umum pada tubuh.
h. Gerakan Evaluasi Care
Gerakan ini dilakukan sendiri-sendiri oleh penderita memilih gerakan (Evaluasi)
yang tidak mampu dilakukan dengan optimal (gerakan 2,3,4,5,6). Manfaat
gerakan: Menilai gangguan pada saraf, Menilai bila ada gerakan berarti kuat, Menilai
bila ada gerakan tapi lemah berarti sedang, Menilai bila tidak ada gerakan berarti
lumpuh, Mengacu perawatan diri lebih lanjut.
BAB III
KESIMPULAN
1. Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang
disebabkanoleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada
kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat
progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.
2. Manefestasi klinis berupa Tanda-tanda pada kulit, Bercak/kelainan kulit yang
merah/putih dibagian tubuh, Kulit mengkilat, Bercak yang tidak gatal, Adanya bagian-
bagian yang tidak berkeringat atau tidak berambut, Lepuh tidak nyeri, Tanda-tanda
pada syaraf, Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan, Gangguan
gerak anggota badan/bagian muka, Adanya cacat (deformitas), Luka (ulkus) yang tidak
mau sembuh.
3. Penatalaksanaan morbus Hansen meliputi pengobatan dengan obat – obatan
farmakologi dan rehabiltasi medic. Rehabilitasi medic meliputi pelatihan untuk
mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar pula dari gangguan sensorik,
paralisis, dan kontraktur.
DAFTAR PUSTAKA
CDC. (2003). Hansens's Disease (Leprosy), retrieved December 2003
fromhttp://cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/hansen-a.htm.htm. Last update:
February 11, 2004
Daili, dkk. 1998. Kusta. UI PRES. Jakarta.
Djuanda, Edwin. 1990. Rahasia Kulit Anda. FKUI. Jakarta.
Djuanda.A., Menaldi. SL., Wisesa.TW., dan Ashadi. LN. (1997). Kusta :
diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Djuanda. A.,Djuanda. S., Hamzah. M., dan Aisah.A. (1993). Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penrbit FKUI
Graham, Robin. 2002. Lecture Notes Dermatologi. Erlangga. Jakarta.
Nadesul, Hendrawan. 1995. Bagaimana Kalau Terkena Penyakit Kulit.
Barrett. TL., Wells. MJ., Libow.L., Quirk.C., and Elston DM. (2002).
Leprosy, retrieved January 14, 2005
from http://emedicine.com/derm/byname/leprosy.htm. Last update: April 10,
2002
Ditjen PPM & PL. (2000). Buku Pedoman Program P2 Kusta Bagi
Petugas Puskesmas. Jakarta : Sub Direktorat Kusta & Frambusia.
Dinkes Prop.Sumsel. (2003). Modul pemberantasan penyakit
kusta. Palembang : tidak diterbitkan.
Leisinger, KM. (2005). Leprosy in the year 2005: Impressive success with
the treatment of a biblical disease
http://novartisfoundatin.com/en/about/organization/board/klaus-leisinger.htm