referat mh

28
REFERAT MORBUS HANSEN Dokter Pembimbing: dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK Disusun oleh: Gohlena Raja Naguna Chekma G4A013081 Windy Nofiatri Ristha G4A013082 Sukma Setya G4A013083 Argarini Dian Pratama G4A013084

Upload: warjoson

Post on 06-Nov-2015

231 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kulit MH

TRANSCRIPT

REFERATMORBUS HANSEN

Dokter Pembimbing:

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KKDisusun oleh:

Gohlena Raja Naguna ChekmaG4A013081Windy Nofiatri Ristha

G4A013082

Sukma Setya

G4A013083

Argarini Dian Pratama

G4A013084FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

SMF ILMU KESEHATAN KULIT & KELAMINRSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

PURWOKERTO

2014LEMBAR PENGESAHANTelah dipresentasikan dan disetujui referat berjudul

Morbus HansenDisusun OlehGohlena Raja Naguna ChekmaG4A013081

Windy Nofiatri Ristha

G4A013082

Sukma Setya

G4A013083

Argarini Dian Pratama

G4A013084Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Pada tanggal : Desember 2014Mengetahui,Pembimbing

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KKKATA PENGANTARPuji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan dan pelaksanaan penelitian deskriptif yang berjudul Morbus Hansen. Penulisan referat ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Penulis berharap referat ini dapat bermanfaat untuk kepentingan pelayanan kesehatan, pendidikan. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih kepada:1. dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan referat ini.

2. Teman-teman FK-Unsoed dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat ini.

Penulis sadar sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak dijumpai kekurangan. Oleh karena itu, segala masukan yang bersifat membangun dari para penelaah sangat diharapkan demi proses penyempurnaan.

Purwokerto, Desember 2014 PenyusunBAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangMorbus Hansen atau juga dikenal dengan nama lepra dan kusta merupakan penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun yang lalu. Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Nama Morbus Hansen ini sesuai dengan nama yang menemukannya, yaitu Dr. Gerhard ArmauwerHansen pada tahun 1874 (Wolf et al., 2008).

Penyakit ini merupakan penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit, saluran pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980, dimana program Multi Drug Treamtment (MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi sayangnya meskipun telah dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi kerusakan sensorik dan motorik yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga timbul gejala tangan lunglai dan mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma negatif terhadap penyakit kusta (Kosasih, 2007).B. Tujuan Penulisan

Penulisan referat ini bertujuan untuk lebih memahami tanda dan gejala Morbus Hansen (Kusta) serta bagaimana cara mencegah penularan dan penatalaksanaannya agar dapat menurunkan jumlah penderita dan mencegah kecacatan pada pasien yang sudah menderita penyakit kusta. C. Manfaat

Manfaat dari penulisan referat ini dijabarkan sebagai berikut :1. Diharapkan dapat menjadi salah satu masukan bagi instansi kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan di masa mendatang terutama untuk Rumah Sakit Umum Margono Soekarjo Purwokerto.2. Diharapkan menjadi bahan pembelajaran yang baik mengenai penyakit Kusta (Morbus Hansen) bagi Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Margono Soekarjo Purwokerto.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Istilah kusta berasal dari bahasa India, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen . Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang intraselular obligat (Kosasih et al., 2007).

2. Epidemiologi

Kusta terdapat dimana-mana, terutama di Asia, Amerika Latin, daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Penyebaran kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut (Djuanda, 2007).Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah: a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 27 x 24 jam.b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.Klinis ternyata kontak lama dan berulang-ulang ini bukanlah merupakan faktor yang penting. Banyak hal-hal yang tidak dapat di terangkan mengenai penularan ini sesuai dengan hukum-hukum penularan seperti halnya penyakit-penyakit terinfeksi lainnya (Zulkifli, 2003).Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasanM. lepraedan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah : a. Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa

b. Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti

c. Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti

d. Kesadaran sosial :Umumnya negara-negara endemis kusta adalah Negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah

e. Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat (Djuanda, 2007; Zulkifli, 2003).3. Etiologi

Kuman penyebab adalahMycobacterium lepraeyang ditemukan oleh G. A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia.M. lepraeberbetuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alcohol serta Gram positif. Di luar tubuh dapat hidup selama 2-9 hari. Masa pembelahan ataugeneration timerata-rata 20 hari (Djuanda, 2007).4. Patogenesis

Mycobacterium lepraemerupakan parasitobligat intraseluleryang terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atausel Schwandi jaringan saraf. Bila Mycobacterium lepraemasuk ke dalam tubuh, akan menimbulkan reaksi Hipersensitifitas tipe IV oleh sel TH1, sel pembunuh dan makrofag. Antigen difagositosis oleh makrofag, diolah, dan dipresentasikan pada sel TH. Sensitisasi ini berlangsung lebih dari 5 hari. Pada kontak kedua, sejumlah sel T teraktivasi menjadi sel TH1. Sel ini akan merangsang pembentukan monosit di sumsum tulang melalui IL-3 dan faktor yang merangsang koloni makrofag-granulosit (GM-CSF) sehingga menarik monosit dan makrofag melalui kemokin, seperti MCPs (monocyte chemoattractant proteins) dan MIPs (monocyte inflammatory proteins), dan mengaktifkannya melalui interfeuron (IFN-). MCPs dan MIPs bersama dengan TNF- meyebabkan reaksi peradangan yang hebat (Abulafia, 1999; Silbernagl, 2007).Makrofag dalam jaringan berasal dari monosit dalam darah yang mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel aveolar dari paru, sel glia dari otak, dan dari kulit disebut histiosit. Dengan adanya proses imunologik, histiosit datang ke tempat kuman. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi limfosit disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan Sistem Imun Seluler (SIS) rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkanM. Leprayang sudah ada didalamnya, bahkan ijdikan tempt berkembang iak dan disebutsel Virchowatausel lepraatausel busadan sebagai alat pengangkut penyebarluasan (Djuanda, 2007).

5. Klasifikasi

a.Jenis klasifikasi yang umum 1).KlasifikasiInternasional (1953)

a).Indeterminate (I)b).Tuberkuloid (T)c).Borderline-Dimorphous (B)d).Lepromatosa (L)2).Klasifikasiuntuk kepentingan riset /klasfikasiRidley-Jopling(1962).a). Tuberkoloid (TT)b).Borderline tubercoloid (BT)c).Mid-Borderline (BB)d). Borderline lepromatous (BL)e).Lepromatosa (LL)3).Klasifikasiuntuk kepentingan program kusta /klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi WHO (1988)a) Pausibasilar (PB)Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut kriteriaRidleydanJoplingatau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid.

b)Multibasilar (MB)Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteriaRidleydanJoplingatau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif (Djuanda, 2007).

6. Gejala Klinis

a. Kelainan pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih (hipopigmentasi) yang tak berasa atau kemerahan (eritematosus) yang mati rasa.

b. Penebalan syaraf tepi.

c. Gejala pada kulit, penderita kusta adalah pada kulit terjadi benjol-benjol kecil berwarna merah muda atau ungu. Benjolan kecil ini menyebar berkelompok dan biasanya terdapat pada mata dan mungkin juga timbul di hidung hingga menyebabkan perdarahan.

d. Gejala pada saraf, berkurangnya perasaan pada anggota badan atau bagian tubuh yang terkena. Kadang-kadang terdapat radang syaraf yang nyeri. Adakalanya kaki dan tangan berubah bentuknya. Jari kaki sering hilang akibat serangan penyakit ini. Penderita merasa demam akibat reaksi penyakit tersebut (Depkes, 2008).Tiga tanda utama (Cardinal Sign): a. Kelainan pada kulit pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih (hipopigmentasi) atau kemerahan (eritematosus) yang mati rasa

b. Penebalan saraf tepi dengan gangguan sensasi di area lesi

c. Pada pemeriksaan apusan kulit (skin smear) ditemukan adanya Basil Tahan Asam (BTA) (Kumar, 2009).Tabel 1. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta Multibasiler (MB) Sifat LesiLepromatosa (LL)Borderline Lepromatosa (BL)Mid Borderline (BB)

BentukMakula

Infiltrat difus

Papul

NodusMakula

Plakat

PapulPlakat

Dome-shape(kubah)

Punched-out

JumlahTidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehatSukar dihitung, masih ada kulit sehatDapat dihitung, kulit sehat jelas ada

DistribusiSimetrisHampir simetrisAsimetris

PermukaanHalus berkilatHalus berkilatAgak kasar, agak berkilat

BatasTidak jelasAgak jelasAgak jelas

AnestesiaBiasanya tidak jelasTak jelasLebih jelas

BTA

Lesi kulitBanyak (ada globus)BanyakAgak banyak

Sekret hidungBanyak (ada globus)Biasanya negatifNegatif

Tes LeprominNegatifNegatifNegatif

Tabel 2. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta Pausibasiler (PB)

Karakteristik LesiTuberkuloid (TT)Borderline Tuberculoid (BT)Indeterminate (I)

Tipe

Makula ; makula dibatasi infiltrat

Makula dibatasi infiltrat saja; infiltrat sajaHanya Infiltrat

Jumlah

Satu atau dapat beberapaBeberapa atau satu dengan lesi satelitSatu atau beberapa

Distribusi

Terlokalisasi & asimetrisAsimetrisBervariasi

Permukaan

Kering, skuamaKering, skuamaDapat halus agak berkilat

BatasJelasJelasDapat jelas atau dapat tidak jelas

AnestesiaJelasJelasTak ada sampai tidak jelas

BTA

lesi kulitHampir selalu negatifNegatif atau hanya 1+Biasanya negatif

Tes leprominPositif kuat (3+)Positif lemahDapat positif lemah atau negatif

Tabel 3. Bagan diagnosis klinis menurut WHO

PBMB

1.Lesi kulit (makula yang datar,papulyang meninggi,infiltrat, plak eritem, nodus)

1-5 lesi

Hipopigmentasi/eritemaDistribusi tidak simetris

Hilangnya sensasi yang jelas> 5 lesi

Distribusi lebih simetris

Hilangnya sensasi kurang jelas

Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya senasasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena)Hanya satu cabang sarafBanyak cabang saraf

7. PrognosisSetelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis,oftalmologis, physical medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi komplikasi (Smith, 2007).

8. Tatalaksana Lama

Tahun 1940-1970 digunakan Dapsone sebagai mono terapi untuk lepra. Penggunaan Dapsone dapat menyembuhkan lepra pada saat itu namun penggunaan Dapsone sebagai mono terapi menimbulkan bertambahnya resistensi terhadap Dapsone di Dunia.

Tahun 1976 WHO mendukung untuk program khusus penelitian dan pelatihan penyakit tropis untuk mengevaluasi respon efektif terhadap resistensi Dapsone dan mempromosikan vaksin. Tahun 1960 berbagai obat antituberkulosis seperti streptomisin, ethionamid, isoniazid, thiacetazone, dan prothionamide dicoba untuk pengobatan lini kedua, namun keberhasilan tidak konsisten, terjadi toksisitas sistemik, resistensi silang dan faktor biaya menjadi faktor pembatas. Konsep MDT pada lepra muncul setelah ketersediaan clofazimine dan penggunaan rifampisin dalam terapi tuberculosis. Sebagai teori bahan pertimbangan, para ahli lepra di dunia mulai menggunakan regimen obat kombinasi untuk terapi lepra berdasarkan penelitian.

Tahun 1981 WHO mengambil keputusan yaitu rekomendasi MDT untuk terapi lepra. Obat MDT diantaranya rifampicin 600 mg dan clofazimine 300 mg, serta dapsone 100 mg dan clofazimine 50 mg untuk 24 bulan yang didukung oleh rekomendasi WHO. Rekomendasi WHO untuk pasien MB untuk dua tahun atau sampai skin smear negative, dan pasien PB dengan rifampisin dan dapsone untuk 6 bulan.

Tahun 1985 berdasarkan rekomendasi yang diambil dari sebagian besar beberapa Negara, sejak dikenalkan MDT sebagai terapi lepra, terjadi perdebatan mengenai waktu terapi dan klasifikasi untuk lepra. Pada tahun 1980-an sampai 1999 fokus pada upaya peningkatan kesehatan dan mencegah kesakitan melalui bidang pendidikan kesehatan, pencegahan, dan perlindungan kesehatan.9. Tatalaksana Baru

Tatalaksana Lepar menyesuaikan dengan tipe sebagai berikut : Lepra tipe PB

Jenis dan obat untuk orang dewasa

Pengobatan bulanan : Hari pertama (diminum didepan petugas)

a. 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)

b. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)

Pengobatan hari ke 2-28 (dibawa pulang)

a. 1 tablet dapson (DDS 100 mg) 1 Blister untuk 1 bulan

Lama pengobatan : 6 Blister diminum selama 6-9 bulan

Lepra tipe MB Jenis dan dosis untuk orang dewasa :

Pengobatan Bulanan : Hari pertama (Dosis diminum di depan petugas)

a. 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)

b. 3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg)

c. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)

Pengobatan Bulanan : Hari ke 2-28

a. 1 tablet Lampren 50 mg

b. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)

Pedoman praktis untuk pemberian MDT bagi penderita kusta tipe PB sesuai umur digunakan bagan sebagai berikut :

Nama

Obat < 5 tahun 5-9

Tahun 10-14 tahun >15 tahun keterangan

Rifampisin Berdasarkan

Berat Badan 300 mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln Minum di depan petugas

DDS 25 mg/hari

25 mg/hari 50 mg/hari

50 mg/hari 100 mg/hari

100 mg/hari Minum di depan petugas

Minum di rumah

Tabel 4. Modul Pelatihan Program P2 Kusta UPK 2012Pedoman praktis untuk pemberian MDT bagi penderita kusta tipe MB sesuai umur digunakan bagan sebagai berikut :

Tabel 5. Obat Penderita Kusta Tipe MBNama

Obat < 5 tahun 5-9

Tahun 10-14 tahun >15 tahun Keterangan

Rifampisin Berdasarkan

Berat Badan 300 mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln Minum di depan petugas

DDS 25 mg/hari

25 mg/hari 50 mg/hari

50 mg/hari 100 mg/hari

100 mg/hari Minum di depan petugas

Minum di rumah

Clofazimine 100 mg/bln

50 mg 2 kali seminggu 150 mg/bln

50 mg setiap 2 hari 300 mg/bln

50 mg/hari Minum di depan petugas

Minum di rumah

1. Dapsone

Bentuk obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100mg/tablet.

Sifat bakteriostatik yaitu menghalang/menghambat pertumbuhan kuman kusta.

Dosis : dewasa 100 mg/hari, anak-anak 1-2 mg/kg berat badan/hari.

Efek samping jarang terjadi, berupa anemia hemolitik.

Manifestasi kulit (alergi) seperti halnya obat lain, seseorang dapat alergi terhadap obat ini. Bila hal ini terjadi harus diperiksa dokter untuk dipertimbangkan apakahobat harus distop.

Manifestasi saluran pencernaan makanan : tidak mau makan, mual, muntah.

2. Rifampicin

Bentuk : Kapsul atau tablet takaran 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600 mg.

Sifat : Bakteriosid (Mematikan kuman kusta)

Dosis : Untuk dipergunakan dalam pengobatan kombinasi,lihat pada regimen pengobatan MDT. Untuk anak-anak dosisnya adalah 10-15 mg/kg berat badan.

Efek samping : dapat menimbulkan kerusakan pada hati dan ginjal. Dengan pemberian Rifampicin 600 mg/bulan tidak berbahanya bagi hati dan ginjal(kecuali ada tanda-tanda penyakit sebelumnya). Sebelum pemberian obat ini perludilakukan tes fungsi hati apabila ada gejala-gejala yang mencurigakan. Perlu diberitahukan kepada penderita bahwa air seni akan berwarna merah bila minumobat. Efek samping lain adalah tanda-tanda seperti influenza (flu Syndrom)

3. Clofazimine

Bentuk : kapsul warna coklat.Ada takaran 50 mg/kapsul dan 100 mg/kaps.

Sifat : bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman kusta dan anti reaksi(menekan reaksi).

Dosis : untuk dipergunakan dalam pengobatan kombinasi,lihat pada regimen pengobatan MDT.

Efek samping : Gangguan pencernaan berupa diare, nyeri pada lambung

(Smith, 2014)

Metode ROM

Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO, pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400 mg dan minosiklin 100 mg dan pasien dapat langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 (Smith, 2014).

Ofloksasin

Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium Leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium

Leprae hidup sebesar 99.99% (Smith, 2014).

Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk Insomnia, nyeri kepala, Dizziness, Nercousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukan dan biasanya tidak membutuhkan penghentian pemakaian obat (Smith, 2014).

MinoksiklinTermasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis stsandar harian 100mg. efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang mengenai kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan (Smith, 2014).Kasus Putus obat

Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO,sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya (Silvi, 2010).

Upaya Pencegahan Cacat Kusta

1. Berobat sedini mungkin

2. Pengobatan pasien dengan MDT-WHO sampi RFT

3. Deteksi dini adanya penyakit kusta dengan pemeriksaan fungsi syaraf secara rutin.

4. Penyuluhan.

5. Perawatan diri.

6. Penggunaan alat bantu

7. Rehabilitasi medis.

Upaya pencegahan tersebut dapat dilakukan di rumah ataupun d puskesmas, maupun unit pelayanan rujukan seperti rumah sakit. Pasien harus memahami bila MDT dapat membunuh kuman kusta, namun cacat pada mata, tangan dan kaki yang sudah ada sebelumnya akan tetap ada seumur hidupnya. Maka pasien harus melakukan perawatan diri (KKRI, 2012)BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan1. Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi kronis, disebabkan oleh Mikrobakterium leprae yang obligat intra seluler dan menyerang system saraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorik bagian atas kemudian menyerang organ-organ kecuali susunan syaraf pusat.2. Kuman Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um X 0,5 Um, tahan asam dan alkohol serta bersifat Gram positif.3. Pada Morbus Hansen, didapatkan 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya ada, sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni : Lesi kulit yang anestesi , penebalan saraf perifer, dan ditemukannya M. leprae sebagai bakteriologis positif.4. Tujuan utama penatalaksanaan yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.

1. Saran

2. Deteksi dini dan pengobatan yang cepat dan adekuat dapat membantu dalam mencegah penularan dan mencegah kecacatan bagi penderita.

3. Diharapkan dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai cara penularan dan patogenesis agar dapat menurunkan angka kejadian Morbus Hansen di Indonesia.

4. Dilakukan sosialisasi kepada masyarakat luas tentang cara penularan dan gejala klinis Morbus Hansen agar bagi masyarakat yang sudah terinfeksi bakteri M. leprae cepat ditangani dan tidak menularkan orang disekitarnya.Daftar PustakaAbulafia, Jorge. 1999.Leprosy : pathogenesis updated.The Department of Dermatology University of Buenos Aires School of Medicine, Bueno Aires, Argentina dalamwww.v2020la.orgdiunduh tanggal 3 April 2013.

Depkes RI. 2008.Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007.Departemen Kesehatan R.I, Jakarta dalamwww.depkes.go.iddiunduh tanggal 4 Juni 2010.

Djuanda, Adhi. 2007.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Dogra, Sunil. Narang, Tarun. Kumar, Bhushan. 2013. Leprosy Evolution of The Path to Eradication. Department of Dermatology, Venereology & Leprology, Postgraduate Institute of Medical Education & Research. India : Chandigarh. No. 81, Hal : 20-22

Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian Kusta, Kumar, Bushan. 2009.Leprosy : A Disease with Diagnostic and Management Challenges.Indian J Dermatol Venerol Leprol volume 75 India dalam http://www.ijdvl.com/diunduh tanggal 23 Desember 2014.

Silbernagl, Stefan. 2007.Teks dan Atlas Berwarna Patofisiolgi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG.

Silvi airani. 2010 . Kusta/ Lepra/ Penyakit Morbus Hansen, Penyakit Hansen. UNAIR.Smith D. 2014. Leprosy. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/220455-overview#showall diakses tanggal 22 Desember 2014.Smith, D S. Leprosy . Diunduh dari http://www.emedicine.medscape.com Diakses tanggal 23 Desember 2014.

WHO.Leprosy: the diseasedalamhttp://www.who.intdiunduh tanggal 23 Desember 2014.