tp mh tipe mb

26
BAB 1 PENDAHULUAN Kusta merupakan penyakit menahun, yang utamanya menyerang saraf tepi dan mengakibatkan kecacatan tubuh serta menimbulkan masalah psikososial akibat stigma di masyarakat, serta masih menjadi masalah kesehatan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. 1 Penyakit ini bersifat endemis dan tersebar secara tidak merata di benua Asia (62%), Afrika (34%), Amerika Latin (3%), dan lebih banyak pada daerah tropis dan subtropis. Penyebaran kusta dari suatu tempat ke tempat yang lain sampai tersebar di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Pada umumnya penyakit ini menyerang kelompok umur 25-35 tahun. Sedangkan beberapa peneliti melaporkan bahwa penyakit ini dapat mengenai semua ras dan jenis kelamin dimana beberapa peneliti melaporkan bahwa laki-laki lebih sering terkena daripada wanita dengan perbandingan 2:1. Hingga saat ini, Indonesia menempati posisi ke tiga sebagai negara terbanyak penduduknya mengidap kusta, setelah India dan Brazil. 1,2 Penyakit kusta juga sering disebut penyakit imunologik karena gejala klinis yang bergantung pada sistem imunitas seluler. Bila sistem imunitas seluler baik akan tampak ke gambaran tuberkuloid dan bila sistem imunitas seluler pasien memburuk maka akan 1

Upload: putripurwanthi

Post on 09-Dec-2015

57 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

morbus hansen tipe MB

TRANSCRIPT

Page 1: TP MH tipe MB

BAB 1

PENDAHULUAN

Kusta merupakan penyakit menahun, yang utamanya menyerang saraf tepi dan

mengakibatkan kecacatan tubuh serta menimbulkan masalah psikososial akibat

stigma di masyarakat, serta masih menjadi masalah kesehatan di negara-negara

berkembang termasuk Indonesia.1 Penyakit ini bersifat endemis dan tersebar

secara tidak merata di benua Asia (62%), Afrika (34%), Amerika Latin (3%), dan

lebih banyak pada daerah tropis dan subtropis. Penyebaran kusta dari suatu tempat

ke tempat yang lain sampai tersebar di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh

perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Pada umumnya penyakit

ini menyerang kelompok umur 25-35 tahun. Sedangkan beberapa peneliti

melaporkan bahwa penyakit ini dapat mengenai semua ras dan jenis kelamin

dimana beberapa peneliti melaporkan bahwa laki-laki lebih sering terkena

daripada wanita dengan perbandingan 2:1. Hingga saat ini, Indonesia menempati

posisi ke tiga sebagai negara terbanyak penduduknya mengidap kusta, setelah

India dan Brazil.1,2

Penyakit kusta juga sering disebut penyakit imunologik karena gejala

klinis yang bergantung pada sistem imunitas seluler. Bila sistem imunitas seluler

baik akan tampak ke gambaran tuberkuloid dan bila sistem imunitas seluler pasien

memburuk maka akan memberikan gambaran lepromatosa dimana pada laporan

kasus kali ini akan dibahas Morbus Hansen tipe Multibasilar (lepromatosa,

borderline lepromatosa dan mid borderline.1

Penyakit ini dapat menyebabkan kecacatan, apabila tidak mendapatkan

penanganan yang cepat dan tepat. Oleh karena itu sangat penting untuk

mengetahui gejala-gejala dari penyakit ini sehingga dapat melakukan deteksi dini

yang pada akhirnya akan mengurangi komplikasi yang disebabkan yaitu

kecacatan.

1

Page 2: TP MH tipe MB

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Morbus Hansen

Morbus Hansen atau lepra merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan

oleh Mycobacterium Leprae yang bersifat intraselular obligat dan predileksi pada

kulit dan saraf. Karakteristik klinis penyakit ini ditandai dari satu atau lebih tiga

tanda kardinal, seperti hipopigmentasi atau eritema dengan kehilangan sensasi,

penebalan saraf perifer, dan terdeteksi BTA (basil tahan asam) pada kerokan lesi

kulit. Saraf perifer merupakan afinitas pertama, kemudian kulit dan mukosa

traktus respiratorius bagian atas, dan dapat pula ke organ lain, kecuali susunan

saraf pusat.1,3,4

2.2. Epidemiologi

Berdasarkan studi, penyakit kusta ini menyerang kelompok umur 25-35 tahun,

dengan berbagai macam ras dan jenis kelamin (pria:wanita, 2:1). Hingga kini

proses penyebaran penyakit masih belum pasti, namun teori kontak langsung antar

kulit yang lama dan erat, serta secara inhalasi sebab M. Leprae mampu hidup

dalam droplet untuk beberapa hari acuan untuk transmisi penyakit ini.3,4,5

Prevalensi kusta di dunia berkisar 1,4 kasus per 10.000 penduduk, dan yang

terdaftar pada tahun 2003 adalah sebesar 612.110 kasus. Kira-kira 70% dari

seluruh kasus penyakit kusta di dunia berasal dari India, Indonesia, dan Myanmar.

Di Indonesia, prevalensi penyakit kusta pada tahun 2003 sebesar 16.837 atau 0.81

pada 10.000 penduduk. Distribusi penyakit MH di Indonesia tidak merata, namun

daerah dengan prevalensi tertinggi diantaranya, Jawa Timur, Jawa Barat dan

Sulawesi Selatan.5,6

2.3. Etiologi

Penyakit kusta disebabkan oleh M .leprae yang ditemukan oleh G.H. Armauer

Hansen tahun 1873 di Norwegia. Basil ini bersifat tahan asam, bentuk pleomorf lurus,

batang ramping dan sisanya berbentuk paralel dengan kedua ujung-ujungnya bulat

dengan ukuran panjang 1-8 um dan diameter 0,25-0,3 um. Basil ini menyerupai

kuman berbentuk batang yang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora.

2

Page 3: TP MH tipe MB

Dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen basil yang hidup dapat berbentuk batang yang utuh,

berwarna merah terang, dengan ujung bulat (solid), sedang basil yang mati bentuknya

terpecah-pecah (fragmented) atau granular. Basil ini hidup dalam sel terutama

jaringan yang bersuhu rendah dan tidak dapat dikultur dalam media buatan (in

vitro).2,3

2.4. Patogenesis

Faktor genetik manusia mempengaruhi akuisisi lepra dan manifestasi klinis

penyakit ini. Studi single-nucleotide polymorphism (SNP) mengemukakan

produksi rendah lymphotoxin-α (LTA) adalah faktor resiko genetik utama untuk

onset awal lepra. Beberapa SNP juga memiliki hubungan dengan penyakit atau

perkembangan reaksi lepra, seperti vitamin D receptor (VDR), TNF-α, IL-10,

IFN-γ, gen HLA, dan TLR1.1,2,3,4 Dua gen telah diidentifikasi sebagai faktor resiko

lainnya, seperti PARK2, yang mengode E3-ubiquitin ligase parkin, dan PACRG,

sedangkan gen lainnya yaitu NOD2 meningkatkan afinitas lepra dan

pengembangan reaksi lepra tipe I dan tipe II.3

Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama

terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau

sel schawnn di jaringan saraf. Bila kuman ini masuk ke dalam tubuh maka tubuh

akan bereaksi mengeluarkan makrofag untuk memfagositnya.3

Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular dengan

demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat

merusak jaringan. Pada tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi

sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Setelah menghancurkan

kuman, makrofag berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan

kadang bersatu membentuk sel datia langhans. Sel epiteloid ini yang kemudian

akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.3,7

Sel schwann (SC) adalah taget utama infeksi M. Leprae yang menyebabkan

jejas pada saraf, demielinisasi, dan disabilitas. Perlekatan M. Leprae pada sel

schwann menginduksi demielinisasi dan kehilangan konduksi aksonal.35 M.

Leprae dapat menginvasi sel tersebut melalui protein laminin spesifik pada PGL-

1.36,37 PGL-1 merupakan glikokonjugasi pada M. Leprae. Identifikasi pada

reseptor target sel schwann (dystroglycan), memiliki peran dalam degenerasi awal

3

Page 4: TP MH tipe MB

saraf.37 Demielinisasi merupakan hasil dari ligasi bakteri secara langsung terhadap

reseptor neuregulin, ErbB2, dan aktivasi Erk1/2, sehingga terjadi aktivasi signal

MAP kinase dan aktivasi sistem proliferasi.3

Makrofag adalah salah satu sel inang yang datang kontak dengan M. Leprae.

Proses fagositosis bakteri ini oleh monocyte-derived macrophages dapat dimediasi

oleh reseptor komplemen CR1 (CD35), CR3 (CD11b/CD18), dan CR4

(CD11c/CD18) dan diregulasi oleh protein kinase.4,5,6 Terkadang adanya sitokin

Th2 dapat menyebabkan proses fagositosis terganggu.7

2.5. Klasifikasi Morbus Hansen

Terdapat beberapa pedoman klasifikasi penyakit ini, diantaranya yaitu:

1. Ridley dan Jopling:7,8,9

a. Tipe Tuberkuloid Tuberkuloid (TT, stabil)

b. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

c. Tipe Mid Borderline (BB)

d. Tipe Borderline Lepromatosa (BL)

e. Tipe Lepromatosa Lepromatosa (LL, stabil)

2. Madrid:

a. Indeterminate

b. Tuberkuloid

c. Borderline

d. Lepromatosa

3. WHO (1995):

a. Tipe Pausibasiler (PB): Tipe TT, Tipe BT

b. Tipe Multibasilar (MB): Tipe LL, Tipe BL, Tipe BB

2.6. Morbus Hansen Tipe Multi Basiler

Berdasarkan klasifikasi WHO (1995), penyakit morbus hansen tipe MB, terdiri

atas tipe LL, tipe BL, dan tipe BB yang mengandung banyak M. Leprae.11 Pada

klasifikasi Ridley-Jopling MB didefinisikan dengan indeks bakteri (IB) > 2+,

sedangkan PB < 2+. Untuk kepentingan pengobatan, MH tipe MB merupakan

semua penderita kusta tipe LL, BL, dan BB atau klasifikasi klinis dengan BTA

4

Page 5: TP MH tipe MB

positif, sehingga apabila MH tipe PB ditemukan hasil BTA positif, dapat

dimasukkan dalam tipe MB.11,12 Diagnosis penyakit ini, didasarkan pada

manifestasi klinis, bakterioskopis, histopatologis, dan serologis. Adapun

manifestasi klinis penyakit morbus hansen tipe MB, dapat dilihat pada tabel di

bawah ini.

SIFAT LEPROMATOSA(LL)

BORDERLINE LEPROMATOSA

(BL)

MID BORDERLINE

(BB)LesiBentuk Makula

Infiltrat difusPapulNodus

MakulaPlakatPapul

PlakatDome-shaped(kubah)Punched-out

Jumlah Tidak terhitungTidak ada kulit sehat

Sukar dihitungMasih ada kulit sehat

Dapat dihitungKulit sehat jelas ada

Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris Prmukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar,agak

berkilatBatas Tidak jelas Agak jelas Agak jelasAnestesi Biasanya tidak jelas Tak jelas Lebih jelasBTALesi kulit Banyak(ada globus) Banyak Agak banyakSekret hidung

Banyak(ada globus) Biasanya negatif Biasanya negatif

Tes Lepromin

Negatif Negatif Biasanya negatif

Pada pemeriksaan bakterioskopik (kerokan pada lesi kulit) dengan Ziehl –

Neelsen ditemukan hasil yang positif pada penderita MH tipe MB. Adapun indeks

bakteri yang ditemukan berupa > 2+ atau > 10 BTA dalam 10 LP (lapang

pandang) untuk tipe MB. Sedangkan pada pemeriksaan serologik, ditemukan

antibodi spesifik terhadap M. Leprae, berupa antibodi anti phenolic glycolipid-1

dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Namun, terdapat pula antibodi non-

spesifik yang dapat dihasilkan oleh bakteri ini, berupa liphoarabinomanan

(LAM). Pemeriksaan serologik penting dan sering dilakukan pada MH yang

meragukan, sebab temuan tanda klinis dan bakteriologis yang tidak jelas.8,9

5

Tabel 1. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MB12

Page 6: TP MH tipe MB

Menurut WHO (1995), oleh karena keterbatasan pemeriksaan kerokan pada

lesi kulit di lapangan, maka WHO telah menyederhanakan diagnosis klinis

penyakit morbus hansen tipe MB yang didasarkan pada temuan lesi > 5 dengan

distribusi lesi lebih simetris, disertai kehilangan sensasi yang kurang jelas dan

kerusakan pada banyak cabang saraf (n. ulnaris, n. medianus, n. radialis, n.

poplitea lateralis, n. tibialis posterior, n. fasialis, dan n. trigemenus).11

2.7. Pengobatan Morbus Hansen Tipe Multi Basiler

Terapi pengobatan untuk penyakit morbus hansen telah menggunakan teknik

MDT (multi drug treatment), hal ini dilaksanakan untuk mencegah resistensi,

memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan rantai transmisi

penyakit ini. Pengobatan untuk MH tipe MB, yaitu terlihat pada tabel berikut:

Rifampicin Dapson Lamprene

Dewasa 600 mg/bulan

Diminum di depan

petugas kesehatan

100 mg/hari

Diminum

dirumah

300 mg/bulan

Diminum di depan

petugas kesehatan,

dilanjutkan dengan 50

mg/hari diminum di

rumah atau 3 kali 100

mg/minggu

Anak-anak

(10-14

tahun)

450 mg/bulan

Diminum di depan

petugas

50 mg/hari

Diminum di

rumah

150 mg/bulan

Diminum di depan

petugas kesehatan,

dilanjutkan dengan 50

mg selang sehari di

rumah

Nb: diminum di depan petugas atau dalam pengawasan

Dosis MDT pada anak dibawah umur 10 tahun yaitu sebagai berikut:9

6

Tabel 2. Dosis dan Cara Pemakaian MDT pada Dewasa dan Anak-anak8,9

Page 7: TP MH tipe MB

1. Rifampicin: 10-15 mg/kg BB

2. Dapson : 1-2 mg/kg BB

3. Lamprene :

a. Bulanan: 100 mg/bulan

b. Harian: 50 mg/2x seminggu

Sebagai standar pengobatan, WHO Expert Committee membuat keputusan

dengan memperpendek masa pengobatan untuk kasus multibasiler dari 24 dosis

yang diselesaikan dalam waktu 24 – 36 bulan, menjadi 12 dosis dalam 12 – 18

bulan.13,14 Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan sebagai RFT

(Release from Treatment) atau berhenti minum obat. Setelah masa RFT, maka

dilakukan tindak lanjut (tanpa pengobatan) secara klinis dan bakterioskopis

minimal setiap tahun dalam jangka waktu 5 tahun. Bila dalam jangka waktu

tersebut, bakterioskopis tetap negatif dan tidak ditemukan tanda-tanda relaps atau

kusta aktif, maka penderita dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut dengan

Release from Control (RFC).1

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama : SWY

Umur : 30 tahun

Kelamin : Laki - laki

Agama : Islam

Alamat : Jalan Kubu Anyar Kuta

Status : Belum menikah

Pekerjaan : Pegawai Swasta

Pendidikan terakhir : SMA

7

Page 8: TP MH tipe MB

Suku : Jawa

Bangsa : Indonesia

Tanggal Periksa : 15 Juni 2015

3.2. Anamnesa

Keluhan utama:

Bercak-bercak kemerahan pada seluruh badan

Perjalanan penyakit:

Penderita mengeluh adanya bercak bercak kemerahan yang terdapat pada seluruh

badan sejak kurang lebih 4 bulan yang lalu. Bercak tersebut lama kelamaan

semakin membesar dan mengalami peninggian. Pasien mengatakan bercak terlihat

lebih merah ketika ia merasa kelelahan namun aktivitas sehari - hari pasien tidak

mengalami gangguan.

Pasien sempat mencari pengobatan ke Puskesmas Kuta dan akhirnya dirujuk

ke RS Indera dan melakukan pemeriksaan BTA dengan hasil positif. Pasien

mengatakan tidak merasakan nyeri maupun gatal pada bercak di tubuhnya.

Riwayat demam maupun lemah badan sebelumnya disangkal oleh pasien.

Riwayat Pengobatan

Penderita sempat berobat ke Puskesmas Kuta dan dirujuk ke RS Indera. Pasien

tidak sempat mengkonsumsi obat - obatan terntentu untuk keluhan yang

dialaminya.

Riwayat Penyakit Terdahulu

Penderita belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Riwayat

penyakit sistemik disangkal oleh pasien.

Riwayat Keluarga

Pasien mengaku tidak mengetahui apa di keluarganya ada yang menderita hal

yang sama dengan pasien.

8

Page 9: TP MH tipe MB

Riwayat Sosial

Pasien bekerja sebagai pegawai di restauran siap saji dimana ia merantau dari

Jawa ke Bali dan tinggal di sebuah kos-kosan bersama teman - temannya. Pasien

tetap bekerja dan beraktivitas seperti biasa. Pasien mengaku kurang tahu apabila

ada tetangga maupun rekan kerjanya yang menderita hal yang sama. Pasien juga

mengaku tidak memiliki riwayat minum-minuman beralkohol maupun merokok.

Riwayat Atopi

Penderita menyangkal riwayat alergi.

3.3. Pemeriksaan Fisik

Status present

Keadaan Umum : baik

Kesadaran : compos mentis

Tensi : 110/80 mmHg

Nadi : 78 x/mneit

Respirasi : 18 x/menit

VAS : 0/10

Temperatur : 36.80C

Status general

Kepala : normocefali

Mata : konjungtiva anemia -/-, sklera hiperemis -/-,

Madarosis/kerontokan pada alis -/+

THT : dalam batas normal

Thorax : Cor: S1S2 tunggal regular, murmur (-)

Pul: vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen : dintensi (-), bising usus (+) normal,

hati dan lien tidak teraba

Extremitas : akral hangat (+), edema (-)

Status Dermatologi

9

Page 10: TP MH tipe MB

Lokasi : seluruh tubuh

Effloresensi : tampak plak eritema, batas tegas, multiple, bentuk bulat, ukuran

bervariasi dengan diameter 1 - 2 cm di atas kulit normal.

Stigmata atopik : tidak ada

Mukosa : dalam batas normal

Rambut : dalam batas normal

Kuku : dalam batas normal

Penebalan saraf : tidak terdapat penebalan saraf

Pemeriksaan Fisik Khusus:

Tes sensitivitas : Hasil yang diperoleh pada pasien ini adalah tidak terdapat

adanya gangguan sensitivitas pada plak di tubuh penderita.

Pemeriksaan penebalan saraf tepi: pada pasien ini tidak ditemukan penebalan

saraf tepi.

Pemeriksaan sensorik : Hasil yang diperoleh pada pasien ini adalah sensoriknya

masih normal.

Pemeriksaan motorik : pada pemeriksaan ini kekuatan otot pasien yang dinilai

dan hasilnya kekuatan otot pada pasien ini maksimal.

3.4. Diagnosis Banding

10

Page 11: TP MH tipe MB

Discoid Lupus Erythematosus

Erythema Nodusum

3.5. Usulan Pemeriksaan

1. Pemeriksaan BTA. Hasil BTA : positif

Tempat Pengambilan Indeks Bakteri Solid Fragmented

Cuping Telinga Kanan +2 45 111

Cuping Telinga Kiri +2 40 98

IB = 4/2 = 2

2. Pemeriksaan Biopsi: belum dikerjakan

3.6. Resume

Penderita, laki-laki, 30 tahun, Hindu, Bali. Datang dengan adanya bercak bercak

kemerahan yang terdapat di seluruh tubuhnya. Keluhan pasien dimulai sejak 4

bulan yang lalu. Pasien merupakan rujukan dari Puskesmas Kuta dan belum

mendapat pengobatan apapun terkait keluhannya.

Pemeriksaan fisik :

Status present : dalam batas normal

Status general : madarosis + pada alis kiri

Status dermatologi :

Lokasi : Seluruh tubuh

Effloresensi : tampak plak eritema, batas tegas, multiple, bentuk bulat,

ukuran bervariasi dengan diameter 1 - 2 cm di atas kulit

normal.

Stigmata atopik : tidak ada

Mukosa : dalam batas normal

Rambut : dalam batas normal

Kuku : dalam batas normal

Penebalan saraf : tidak terdapat penebalan saraf

Pemeriksaan fisik khusus : dalam batas normal

11

Page 12: TP MH tipe MB

3.7. Diagnosis Kerja

Morbus Hansen Tipe Multi Basiler

3.8. Penatalaksanaan

MDT (Multi Drug Treatment) untuk multibasilar di puskesmas :

Rifampisin : 600 mg tiap bulan diminum didepan petugas

Lampren : 300 mg tiap bulan diminum didepan petugas, dilanjutkan 50 mg tiap

hari dirumah

Dapson : 100 mg tiap hari diminum di rumah

3.9. KIE

Reaksi kusta

Istirahat yang cukup dan makan minum yang bergizi.

Menyarankan untuk teratur minum obat dan kontrol kembali ke poliklinik

kulit dan kelamin saat obat habis untuk memantau hasil dan perkembangan

pengobatan.

Deteksi dini untuk keluarga yang kontak serumah.

3.10 Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam Quo ad functionam : dubia ad malam Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

12

Page 13: TP MH tipe MB

BAB IV

PEMBAHASAN

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronis,dan penyebabnya ialah

Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai

afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian

dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.

Diagnosa kusta dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Dari pasien ini didapatkan bahwa pasien mengeluh

adanya bercak-bercak kemerahan pada seluruh tubuh tanpa disertai nyeri dan gatal

sejak 4 bulan yang lalu. Melalui pemeriksaan fisik didapatkan status dermatologi

pada regio seluruh tubuh tampak plak eritema, batas tegas, multiple, bentuk bulat,

13

Page 14: TP MH tipe MB

ukuran bervariasi dengan diameter 1 - 2 cm di atas kulit normal. Pasien sudah

melakukan pemeriksaan BTA dan didapatkan hasil positif dengan indeks bakteri

2.

Lesi kulit yang terjadi pada pasien juga dapat didiagnosis banding dengan

Discoid Lupus Erythomatosum (DLE) dan Erythema Nodusum. Pada Discoid

Lupus Erythomatosum yang merupakan bentuk dari Chronic Cutaneous Lupus

Erythomatosum (CCLE) memberikan gambaran berupa makula, papula hingga

plak eritema yang dapat berkembang menjadi hiperkeratosis. Perlu

dipertimbangkan juga keterlibatan organ lain seperti yang dipaparkan pada kriteria

American College of Rheumatology untuk mendiagnosis Systemic Lupus

Erythematosus (SLE) yang berupa malar rash, discoid rash, photosensitivity, oral

ulcers, athritis, serositis, renal disorder, neurologic disorder, hematologic

disorder, immunologic disorder dan antinuclear antibody.

Sedangkan Erythema Nodusum merukapakan penyakit yang bersifat akut,

nodular, dan merupakan erupsi eritema yang biasanya terjadi pada kaki bagian

ekstensor. Erythema Nodusum biasa dikaitkan dengan reaksi hipersensitivitas,

penyakit sistemik lain maupun akibat obat - obatan. Erythema nodusum

memberikan gambaran nodular eritema yang nyeri dimana pembengkakan

nodulnya sendiri disebabkan oleh inflamasi dari lapisan lemak dari kulit.

Diagnosis ditegakkan lewat anamnesis dan pemeriksaan fisik namun terkadang

biopsi juga dapat dilakukan untuk konfirmasi diagnosis.

Diagnosa pasti penyakit kusta dapat ditegakkan bila menemukan 2 dari 3

tanda kardinal atau adanya tanda yang ke 4 saja (anasthesia, penebalan saraf, lesi

kulit, BTA + pada slit skin smear). Pada pasien ini ditemukan pemeriksaan BTA

positif sehingga diagnosis banding dapat disingkiran dan diagnosis kerja

mengarah pada Morbus Hansen tipe multibasilar. Pemeriksaan biopsi dapat

dilakukan untuk mengetahui tipe kusta secara lebih spesifik.

SIFAT LEPROMATOSA(LL)

BORDERLINE LEPROMATOSA

(BL)

MID BORDERLINE

(BB)LesiBentuk Makula Makula Plakat

14

Tabel 1. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MB12

Page 15: TP MH tipe MB

Infiltrat difusPapulNodus

PlakatPapul

Dome-shaped(kubah)Punched-out

Jumlah Tidak terhitungTidak ada kulit sehat

Sukar dihitungMasih ada kulit sehat

Dapat dihitungKulit sehat jelas ada

Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris Prmukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar,agak

berkilatBatas Tidak jelas Agak jelas Agak jelasAnestesi Biasanya tidak jelas Tak jelas Lebih jelasBTALesi kulit Banyak(ada globus) Banyak Agak banyakSekret hidung

Banyak(ada globus) Biasanya negatif Biasanya negatif

Pemilihan terapi berdasarkan tipe dari penyakit kusta. Apabila hasilnya

menunjukkan tipe PB, terapi diberikan sesuai WHO begitu sebaliknya pada tipe

MB, terapi diberikan sesuai WHO. Pada pasien ini, kusta yang terjadi adalah kusta

tipe MB yang secara klinis ditandai dengan lesi yang lebih dari 5, lesi polimorfik,

distribusi di kedua sisi tubuh (bilateral) dan tidak adanya penurunan sensasi yang

jelas disertai dengan hasil BTA +. MDT yang diebrikan berupa Rifampisin 600

mg tiap bulan diminum didepan petugas, Lamprene atau Klofazimin 300 mg tiap

bulan diminum didepan petugas, dilanjutkan 50 mg tiap hari dirumah dan Dapson

(Diaminodifenil Sulfon) 100 mg tiap hari diminum di rumah.

15

Page 16: TP MH tipe MB

BAB V

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat dikemukakan pada laporan kasus ini, yaitu

sebagai berikut:

1. Morbus Hansen atau lepra merupakan penyakit infeksi kronis yang

disebabkan oleh Mycobacterium Leprae yang bersifat intraselular obligat dan

predileksi pada kulit dan saraf. Karakteristik klinis penyakit ini ditandai dari

satu atau lebih tiga tanda kardinal, seperti hipopigmentasi atau eritema

dengan kehilangan sensasi, penebalan saraf perifer, dan terdeteksi BTA (basil

tahan asam) pada kerokan lesi kulit.

2. Proses patogenesis belum dapat diketahui secara pasti, namun studi baru-baru

ini menyebutkan, bahwa reaksi kusta tipe I merupakan reaksi hipersensitivitas

tipe lambat (delayed). Antigen M. Leprae ditemukan pada sel saraf dan kulit

16

Page 17: TP MH tipe MB

yang terlokalisasi pada sel Schwann dan makrofag. TLR2 reseptor berperan

besar dalam mengaktifkan sistem imun seluler dan sitokin pro –inflamasi.

3. Terapi pengobatan untuk penyakit morbus hansen telah menggunakan teknik

MDT (multi drug treatment), hal ini dilaksanakan untuk mencegah

resistensin, memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan

rantai transmisi penyakit ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, S. Hamzah, M. Aisah, S. editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.

Edisi Keenam, Cetakan Kedua. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia : Jakarta. 2011.

2. M. A. M. Marques, V. L. Antônio, E. N. Sarno, P. J. Brennan, and M. C. V.

Pessolani, “Binding of α2-laminins by pathogenic and non-pathogenic

mycobacteria and adherence to Schwann cells,” Journal of Medical

Microbiology, vol. 50, no. 1, pp. 23–28, 2001.

3. V. Ng, G. Zanazzi, R. Timpl et al., “Role of the cell wall phenolic

glycolipid-1 in the peripheral nerve predilection of Mycobacterium leprae,”

Cell, vol. 103, no. 3, pp. 511–524, 2000.

4. A. Rambukkana, H. Yamada, G. Zanazzi et al., “Role of α-dystroglycan as a

Schwann cell receptor for Mycobacterium leprae,” Science, vol. 282, no.

5396, pp. 2076–2079, 1998.

17

Page 18: TP MH tipe MB

5. N. Tapinos, M. Ohnishi, and A. Rambukkana, “ErbB2 receptor tyrosine

kinase signalling mediates early demyelination induced by leprosy bacilli,”

Nature Medicine, vol. 12, no. 8, pp. 961–966, 2006.

6. L. S. Schlesinger and M. A. Horwitz, “Phagocytosis of Mycobacterium

leprae by human monocyte-derived macrophages is mediated by

complement receptors CR1 (CD35), CR3 (CD11b/CD18), and CR4

(CD11c/CD18) and IFN-γ activation inhibits complement receptor function

and phagocytosis of this bacterium,” Journal of Immunology, vol. 147, no.

6, pp. 1983–1994, 1991.

7. K. Prabhakaran, E. B. Harris, and B. Randhawa, “Regulation by protein

kinase of phagocytosis of Mycobacterium leprae by macrophages,” Journal

of Medical Microbiology, vol. 49, no. 4, pp. 339–342, 2000.

8. D. S. Ridley and W. H. Jopling, “Classification of leprosy according to

immunity. A five-group system,” International Journal of Leprosy and Other

Mycobacterial Diseases, vol. 34, no. 3, pp. 255–273, 1966.

9. WHO, “Chemotherapy of leprosy for control programmes,” World Health

Organisation Technical Report Series, vol. 675, pp. 1–33, 1982

10. T. T. Fajardo, “Indeterminate leprosy: a 3 year study, clinical observations,”

International Journal of Leprosy, vol. 39, pp. 94–95, 1971.

11. World Health Organization. A Guide to eliminating leprosy as a public

problem. Edisi ke-1. Geneva: WHO 1995

18