makalah tasawuf

27
BAB I Pendahuluan Tasawuf merupakan salah satu aspek esoteris (rahasia) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhan. Sebagai ilmu keislaman tasawuf adalah hasil kebudayaan Islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti Fiqh dan Ilmu Tauhid. Pada masa Rasulullah SAW belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada masa itu hanyalah sebutan sahabat Nabi SAW. Pada dasarnya tasawuf itu adalah suatu faham yang mengajarkan kepada kita tentang etika, moral, tingkah laku atau perangai sehari-hari, dimana kita dituntut untuk berintegrasi dan prihatin dengan kondisi social masyarakat disekitar kita. Tetapi pada pelaksanaannya ternyata faham tasawuf telah disalahartikan. Dalam pandangan mereka (baca: sufisme) tasawuf itu adalah memisahkan diri dari dunia nyata dengan cara melulu ibadah kepada Tuhan melalui zikir, sholat atau lain-lainnya karena terobsesi oleh janji tentang surga yang ada di kehidupan akhirat nanti. Padahal di dalam al-Qur’an telah diperintahkan kepada kita untuk tidak meninggalkan dunia, bahkan kita diwajibkan untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan dunia dan kebutuhan akhirat. Bahkan Nabi SAW sendiri telah wanti-wanti kepada umatnya untuk tidak mengesampingkan kehidupan dunia, sebab dunia merupakan perantara menuju akhirat nanti. Tasawuf moder n, yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-qur’an dan Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya, mengontrol prilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan TASAWUF; TASAWUF DALAM PEMIKIRAN ULAMA’ MODERN

Upload: abbas

Post on 27-Sep-2015

19 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Makalah yang menjelaskan dalam hal tasawuf

TRANSCRIPT

BAB IPendahuluan

Tasawuf merupakan salah satu aspek esoteris (rahasia) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhan. Sebagai ilmu keislaman tasawuf adalah hasil kebudayaan Islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti Fiqh dan Ilmu Tauhid. Pada masa Rasulullah SAW belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada masa itu hanyalah sebutan sahabat Nabi SAW.Pada dasarnya tasawuf itu adalah suatu faham yang mengajarkan kepada kita tentang etika, moral, tingkah laku atau perangai sehari-hari, dimana kita dituntut untuk berintegrasi dan prihatin dengan kondisi social masyarakat disekitar kita. Tetapi pada pelaksanaannya ternyata faham tasawuf telah disalahartikan. Dalam pandangan mereka (baca: sufisme) tasawuf itu adalah memisahkan diri dari dunia nyata dengan cara melulu ibadah kepada Tuhan melalui zikir, sholat atau lain-lainnya karena terobsesi oleh janji tentang surga yang ada di kehidupan akhirat nanti.Padahal di dalam al-Quran telah diperintahkan kepada kita untuk tidak meninggalkan dunia, bahkan kita diwajibkan untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan dunia dan kebutuhan akhirat. Bahkan Nabi SAW sendiri telah wanti-wanti kepada umatnya untuk tidak mengesampingkan kehidupan dunia, sebab dunia merupakan perantara menuju akhirat nanti. Tasawuf modern, yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-quran dan Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya, mengontrol prilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca keduanya. Tasawuf ini diperankan oleh kaum sufi yang mutadil (moderat) dalam pendapat-pendatnya, mereka mengikat antara tasawuf mereka dan Al-quran serta Sunnah dengan bentuk yang jelas. Boleh dinilai bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa menimbang tasawuf mereka dengan neraca Syariah.Dengan demikian, dalam makalah ini akan membahas mengenai pemikiran tasawuf modern Al-Junayd al-Baghdadi, Al-Qusyairi An-Naisabury, dan Al-Harawi.

BAB IIPembahasanA. Biografi Al-Junayd al-BaghdadiAbu AI-Qasim Al-Junayd bin Muhammad Al-Junayd AI-Khazzaz Al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di Baghdad, Iraq, la berasal dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn Al-Junayd. Ia adalah murid dari Sirri al-Saqati dan Haris al-Muhasibi.[footnoteRef:2] [2: Muhammad Shalikin,17 jalan menggapai mahkota sufi, sekh abdulqadir al-Jailani,(Yogyakarta: Mutiara Media, 2009), 29.]

Al-Junayd pertama kali memperoleh didikan agama dari pamannya (saudara ibunya), yang bernama Sari Al-Saqati, seorang pedagang rempah-rempah yang sehari-harinya berkeliling menjajakan dagangannya di kota Baghdad. Pamannya ini dikenal juga sebagai seorang sufi yang tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan Al-Junayd, seluruh pelajaran agama yang diberikan pamannya mampu diserapnya dengan baik. Dan ia meninggal tahun 297 H / 298 M.[footnoteRef:3]dan dianggap sebagai perintis dari tasawuf yang bercorak ortodoks. [3: Shalikin,menggapai mahkota sufi,29.]

B. Pengertian tasawuf meneurut Junayd al-BaghdadiMengenai penegertian tasawuf, Al-Junayd al-Baghdadi mengatakan bahwasanya tasawuf ialah bahwa engkau bersama Allah tanpa penghubung.[footnoteRef:4]Sementara menurut Basyuni mendefinisikan tasawuf ialah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa kepada amal dan perbuatan yang sungguh-sungguh, menjauhkan diri dari kehidupan dunia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat dengan-Nya.[footnoteRef:5] [4: Sokhi Huda,Tasawwuf Kultural: fenomina shalawat wahidiyah,(Yogyakarta: LkiS, 2003),28.] [5: Ibrahim Basuni,Nasyah at-Tashawwuf al-Islami,(Kairo: Dar al-Fikr, 1969), 17.]

Akan tetapi Al-Junayd al-Baghdadi, lebih memperinci lagi. Ia membagi definisi tasawuf ke dalam empat bagian, yaitu:[footnoteRef:6] [6: http://imdad-gresik.blogspot.com/2010/08/konsep-zuhud-dalam-kajian-tasawuf.html]

1. Tasawuf adalah Mengenal Allah, sehingga hubungan antara kita dengan-Nya tiada perantara.2. Tasawuf adalah Melakukan semua akhlak yang baik menurut sunah rasul dan meninggalkan akhlak yang buruk.3. Tasawuf adalah Melepaskan hawa nafsu menurut kehendak Allah.4. Tasawuf adalah Merasa tiada memiliki apapun, juga tidak di miliki oleh sesiapa pun kecuali Allah SWT.Sehingga dari definisi-definisi taswuf diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya tasawuf ialah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan jalan menyucikan diri dari segala sesutu yang dapat mencegah untuk dekat kepadaNya. Baik yang berupa perintah maupun yang dilarang oleh Allah SWT.C. Pemikiran dan Ciri Tasawuf Al-Junayd al-BaghdadiSebelum ajaran tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi, terdapat Pandangan-pandangan para sufi cukup radikal, memancing para yuris (fukaha) atau ahli fikih untuk mengambil sikap. Sehingga muncul pertentangan antara para pengikut tasawuf dan ahli fikih. Ahli fikih memandang pelaku tasawuf sebagai orang-orang zindik, yang mengaku Islam tapi tidak pernah menjalankan syariatnya. Hal ini karena, banyak pelaku tasawuf yang secara lahir meninggalkan tuntunan-tuntunan syariat. Sebaliknya, tokoh zuhud-tasawuf memandang tokoh-tokoh fikih sebagai orang-orang yang hanya memperhatikan legalitas suatu persoalan, banyak penyelewengan dilakukan untuk mendapatkan hal-hal yang sebenarnya dilarang.Dari adanya hal itu, Al-Junayd al-Baghdadi memberikan penegasan lebih lanjut akan pentingnya amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menurut al-Junayd, tasawuf adalah pengabdian kepada Allah dengan penuh kesucian. Oleh karena itu, barang siapa yang membersihkan diri dari segala sesuatu selain Allah, maka ia adalah sufi.Karena penekanan pada aspek amaliah inilah, maka tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi terkesan berusaha menciptakan keseimbangan antara syariat dan hakikat. Ini merupakan kecenderungan yang berbeda sama sekali dengan tasawuf yang berorientasi pada pemikiran atau falsafah. syariat yang tidak diperkuat dengan hakikat akan tertolak, demikian pula hakikat yang tidak diperkuat dengan syariat juga akan tertolak. Syariat datang dengan taklif kepada makhluk sedangkan hakikat muncul dari pengembaraan kepada yang Haq (Allah).[footnoteRef:7]Hal itu berarti kedekatan kepada Allah dapat dicapai manakala orang telah melaksanakan amaliah lahiriah berupa syariat dan kemudian dilanjutkan dengan amaliah batiniah berupa hakikat. [7: Al-Qusyairi,Ar-Risalati Al-Qusyairiyyah, Abdul Halim Mahmud, ed., (Dar al-Kutub al- Haditsah, 1385 H), 240.]

Al-Junayd dikenal pemikirannya beraliran salaf. la tidak bersikap radikal dalam menghadapi setiap persoalan. la lebih berkonsentrasi pada ajaran tasawufnya yang bersandarkan pada Al Quran dan Hadis.Hal itu dapat dilihat pada pemikirannya yang disesuaikan dengan firman Allah: Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah engkau lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah engkau berbuat kerusakan di bumk Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Surah AI-Qashash : 77).Dimana, pada umumnya orang memahami Zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tidak peduli dengan urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia tidak terlalu peduli.Karena diakuiatau tidak bahwasanya Tasawuf sebenarnya telah ada sejak Rasulullah, akan tetapi Rasulullah tidak secara langsung meneyebutkannya dengan tasawuf secara gamlang. Hal itu dapat terlihat dari pola hidup serta tata cara beliau dalam segala bentuk hidupnya yang menampilkan dengan penuh kesederhanaan. Namun pada perkembangan selanjutnya tasawwuf mengalami kemajuan yang dikembangkan oleh masing-masing tokoh tasawuf dengan model masing-masing.Begituhalnya mengenai masalah hulul dan ittihad yang tetap melandasinya dengan apa yang terdapat didalam ajaran al-Quran dan hadis. Artinya tasawuf Junaid al-Baghdady ini tetap memandang bahwa pentingnya syariat demi mencapai akhirat. Dimana, ajaran tasawuf al-Junaid ini sama dengan ajaran tasawuf Al-Muhibbi yang memberi tekanan besar pada disiplin diri atau lebih sepesifik pada disiplin kalbu. Ia memperjelas antara orientasi ukrawi dan moralitas.[footnoteRef:8] [8: Al-harist al-Muhasibi,Sederhana penuh berkah,. Diterjemahkan dari al-Wasaya: karangan Abu Abdillah al-harist ibn Hasan al-Muhasibi. (Al-haramain, singapurah dan Jeddah, Tt. ( PT. Serambi Alam Semista, 2006), 18.]

Dari ajaran tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi ini sangat jelas bahwasanya, orang sufi itu tetap diwajibkan menjalankan syariat untuk mencapai kehadirat Ilahi Rabbi. Tanpa menjalankan syariat, seseorang tidak akan sampai kepada Allah SWT.D. Pandangan Al-Junayd al-Baghdadi terhadap zuhudPada umumnya orang memahami Zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tidak peduli dengan urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia tidak terlalu peduli.Pemahaman seperti itu jelas kurang tepat. Sebab banyak sufi tidak mengartikan zuhud seperti itu. Menurut Al-Junayd al-Baghdadi (210-298 H), misalnya, justru sangat tidak menyukai sikap zuhud demikian. Menurut dia, zuhud model itu hanya akan membawa orang, termasuk sufi, pada kondisi yang tidak menggembirakan. Padahal konsep Zuhud adalah dimana kita tetap memiliki harta, namun tidak terlalu mencintainya. Hal ini seperti yang dikatakan Husyain Assabuni bahwa tidak ada zuhud itu meninggalkan harta, akan tetapi bagaimana menggantinya dengan jalan rasa takut didalam hati dan tidak thama.[footnoteRef:9] [9: Sayyid Muhammad bin Muhammad Husaain Assabuni,Ittihafussadatil Muttaqin: bisyarahi ihya ulumuddin. Juz II,(Bairut: Darul Kutubul Ilmiyah, 1409), 634.]

Aplikasi zuhud, menurut Al-Junayd al-Baghdadi, bukanlah meninggalkan kehidupan dunia sama sekali, melainkan tidak terlalu mementingkan kehidupan duniawi belaka. Jadi, setiap Muslim termasuk juga para sufi, tetap berkewajiban untuk mencari nafkah bagi penghidupan dunianya, untuk diri dan keluarganya. Letak zuhudnya adalah, bila ia memperoleh rezeki yang lebih dari cukup. ia tidak merasa berat memberi kepada mereka yang lebih memerlukannya.Berdasarkan pemahaman dan penghayatan Junayd al-Baghdadi tentang zuhud ini, maka tidak berlebihan kalau kemudian ia disebut sebagai Sufi yang moderat. Kemoderatan Junayd al-Baghdadi dalam bertasawuf jelas terlihat ketika ia bicara soal zuliud misalnya. Karena. zuhud merupakan pangkal atau dasar dari segala ajaran yang terkandung dalam sufisme yang diyakini oleh setiap sufi. Untuk menjadi sufi, setiap orang harus terlebih dulu menjalani zuhud atau menjadi zahid. Untuk menjadi zahid, seorang sufi harus melepaskan kesenangannya pada benda-benda yang selama ini telah memberinya kenikmatan duniawi. Sebab kesenangan kepada duniawi diyakini sebagai pangkal segala bencana. Sedangkan bencana yang paling besar bagi setiap sufi adalah ketika mereka tidak dapat mendekati dan bersatu dengan Tuhan.Menurut Junayd al-Baghdadi, setiap Muslim, termasuk juga para sufi, seharusnya mengikuti jejak Rasulullah saw, yaitu menjalani kehidupan ini seperti manusia biasa, menikah, berdagang, berpakaian yang pantas. tapi juga dermawan, la tidak suka dengan sifat manusia yang apatis.Kata Al-Junyad, Seorang sufi tidak seharusnya hanya berdiam diri di masjid dan berzikir saja tanpa bekerja untuk nafkahnya. Sehingga untuk menunjang kehidupannya orang tersebut menggantungkan diri hanya pada pemberian orang lain. Sifat-sifat seperti itu sangatlah tercela. Karena sekali pun ia sufi, ia harus tetap bekerja keras untuk menopang kehidupannya sehari-hari. Dimana jika sudah mendapat nafkah, diharapkan mau membelanjakannya di jalan Allah SWT.[footnoteRef:10] [10: http://ahmedelkariem.blogspot.com/2010/01/junaid-al-baghdadi.html. 06-12-11.]

Konsep taswuf Al-Junyad sperti itu dapat diterapkan pada keadaan zaman sekarang ini, karena pada kehidupan modern kali ini tidak mungkin seseorang melakukan zuhud yang meninggalkan kehidupan dunia secra total karena masih banyaknya tanggung jawab yang harus di pikilnya serta diperlukan adanya interaksi dengan banyak orang serta urusan dunia yang lain. Maka dengan demikian konsep zuhud yang ditawarkan Al-Junyad yang sangat cocok dengan tantangan zaman kali ini.Selain itu, meski Al-Junayd seorang sufi, ia tidak melulu membicarakan soal tasawuf saja, tetapi juga berbagai masalah lain yang berhubungan dengan kemaslahatan umat Islam. Inilah juga yang membuat Al-Junayd agak berbeda dengan para sufi pada umumnya.Misalnya. Al-Junayd sangat peduli terhadap berbagai penyakit yang timbul di masyarakat. Menurut dia, di dalam masyarakat lebih banyak ditemukan orang yang sakit jiwa ketimbang mereka yang sakit jasmani. Itu lantaran jiwa lebih sensitif dan lebih rapuh ketimbang fisik, sehingga jiwa lebih mudah menderita. Lebih lanjut, penyakit jiwa ini lebih merusak jika dibandingkan dengan penyakit fisik. Sebab penyakit tersebut lebih mudah menggerogoti jiwa dan moral manusia. Sedangkan jika jiwa seorang sudah rusak, maka dengan mudah ia akan terseret pada berbagai perbuatan yang menyalahi ajaran agama, yang lebih jauh akan menggiringnya masuk ke dalam neraka.[footnoteRef:11] [11: AI-Qushairy,AI-Risalah ai-Qushairiyah,(Kairo: Dar al-Kutub al-Arabiyah al-Kubra, 1912),10.]

E. Al-Baghdadi dalam hal Ittihad dan HululBerbicara Ittihad yang dikembangkan oleh al-Busthami dan Hulul yang dipopulerkan oleh al-Hallaj atau konsep cinta dan menyatu dengan Allah sangatlah menarik dalam taswwuf. Sehingga, Radikalisme dan liberalisme tasawuf dapat kita amati dalam fenomena ittihad dan hulul tersebut, yang keduanya memiliki kesamaan dalam menafikan realitas konkret manusia.Keliaran pemikiran semacam itu dalam pandangan Junayd al-Baghdadi, tidaklah benar. Baginya, dunia tasawuf harus tetap berpijak pada realitas konkret manusia. Pencapaian tertinggi dalam dunia tasawuf hanyalah sampai level mahabbah dan marifah. Dengan demikian eksistensi konkret hamba (ubudiah) tetap terpisah dari eksistensi tuhan (uluhiah). Menurut Al Junaid, syariat tetaplah penting dalam menuju mahabbah dan marifah.[footnoteRef:12] Kendati demikian, dari pemahan itu, manusia menurut Al-Junyad bisa mendekati bahkan bersatu dengan Tuhan melalui tasawuf. Dan untuk mencapai kebersatuan itu, orang harus mampu memisahkan ruhnya dari semua sifat kemakhlukan yang melekat pada dirinya. Walau begitu, kata Al-Junayd, sufisme adalah suatu sifat (keadaan) yang di dalamnya terdapat kehidupan manusia. Artinya, esensinya memang merupakan sifat Tuhan, Tapi gambaran formalnya (lahirnya) adalah sifat manusia. [12: http://wwwahamid.blogspot.com/2011/05/tasawwuf-al-imam-junaid-al-baghdadi-ra.html]

Di sinilah Junayd al-Baghdadi ingin menegaskan bahwa sesungguhnya diri manusia telah dihiasi dengan sifat Tuhan, Sehingga, kondisi tingkat tertinggi dari suatu pengalaman sufistik yang dicapai seorang sufi pada persatuannya dengan Tuhan, juga dapat dilukiskan. Pada tingkat ini seorang sufi akan kehilangan kesadarannya, la tidak lagi merasa memiliki hubungan dengan lingkungannya. Seluruh perhatiannya hanya tertuju buat Tuhan dengan kehilangan kesadarannya akan keduniaan, maka ia otomatis sedang berada dengan Tuhan.Pada tingkat yang demikian. seorang sufi merasakan tidak ada lagi jarak antara dirinya dengan Tuhan. Karena sifat-sifat yang ada pada dirinya semuanya sudah digantikan dengan sifat Tuhan. Segala kehendak pribadi manusia lenyap, digantikan dengan kehendakNya.Ketika Al-Junayd al-Baghdadi ditanya mengenaial-Haaqyang dilontarkan pada diri al-Hallaj. Ia tidak mengartikan hal itu langsung kepada arti Allah SWT, Tetapi ia mengartikanal-Haqqitu merupakan lawan darial-Bathil. Al-Hallaj dibunuh dijalan yang benar.[footnoteRef:13]Artinya, kataal-Haqqyang dikatakan oleh al-Hallaj tersebut menandakan bahwa ia adalah sesuatu yang benar bukanlah Allah SWT. Terlepas dari itu, dapat kita lacak apakah pernyataan al-Hallaj itu ada latar belakang dari apa yang dikatakan. Karna pada saat itu terdapat suatu kekuasan yang besar yang mungkin kebijakannya lepas dari ajaran agama, yang mendorong dirinya berkata demikian. [13: Syekh Mudzaffer Ozak al-Jerrahi. Dekap aku dalam kasih sayangmu: Jalan Cinta pendamba Ridha Allah. Penerjemah serambi, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semista, 2006 ), 73.]

Al-Junayd al-Baghdadi bahkan berkata, bahwa yang mengetahui Allah hanyalah Allah sendiri. Demikian pula dengan orang yang dicintai Allah (Nabi Muhammad) yang telah dibukakan tabir 70.000 tabir hijab, hanya tinggal satu hijab antara ia dengan-Nya.[footnoteRef:14] Hal itu dapat kita pahami dalam perjalanan Rasulullah saat kejadian Miraj. Begitu halnya dengan Nabi-Nabi lain disaat ia berhadapan dengan Allah, beliau tidak mampu melihat secara langsung. Apalagi manusia biasa yang derajatnya jauh dari Derajat kenabian itu sendiri. [14: Syekh Tosun Bayrok al-Jarrahi,Asmaul husna, makna dan khasiat. Penerjemah, Nuruddin Hidayat,(Jakarata: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007 ), 21.]

Bahakan Al-Junayd al-Baghdadi memperlihatkan sikap cukup keras terhadap orang yang mengabaikan syariat. Ketika diceritakan kepadnya tentang orang yang telah mencapai marifat, kemudian ia dibebaskan oleh Allah dari amal ibadah. Ia justru berkata bahwa orang tersebut sebenarnya berada dalam lumuran dosa dan mereka lebih berbahya dari pada pencuri serta pembuat keonaran.[footnoteRef:15] [15: Abdul Djamil,Perlawanan Kiai Desa: pemikiran dan gerakan Islam KH. Ahmad Rifai kalisasak,(Yogyakarta: LkiS, 2001), 119.]

Dalam hal ini, Al-Junayd al-Baghdadi ingin menegaskan bahwasanya walaupun orang telah menyatu dengan Allah SWT. Baginya tetap dikenakan kewajiban melaksankan aturan-aturan syariat, yang menandakan bahwa Manusia tetaplah manusia yang tidak akan berupah posisinya menjadi Allah SWT. walaupun ia sedang merasa dalam keadaan Ittihat ataupun Hulul itu sendiri.Maka dengan demikian, untuk mencapai persatuan kepada Tuhan, menurut Al-Junayd al-Baghdadi. manusia harus menyucikan batin, mengendalikan nafsu, dan rnembersihkan hati dari segala sifat-sifat kemakhlukan. Setelah kebersatuan dengan Tuhan itu tercapai, seorang sufi kembali tersadar. Dan selanjutnya harus mengajak umat dan membimbingnya ke jalan yang diyakininya. Maksud dari apa yang ditawarkan Al-Junyad ini, diharapkan agar oaring yang bertaswuf harus seimbang antara urusan dunia dan ahirat serta bagaimana didalam perakteknya adanya keterkaitan antara syariat dan hakekat itu sendiri.B. Al-Qusyairi An-Naisabury

Nama lengkapnya adalah Abd al-Karim ibn Hawazin ibn Abd al-Malik ibn Thalhah Al-Qusyairi dilahikan pada bulan Rabi al-Awwal 376 H. / 986 M. di kota kecil Ustuwa, negeri yang searah dengan Naisabur, yang banyak terdapat dusun-dusun tempat kelahiran cendekiawan dan ulama-ulama terkenal.[footnoteRef:16] [16: Imam Qusyairi Al-Naisaburi,Allah Dimata Sufi : Penjelajahan Spiritual Bersama Asma Al-Husna / Imam Al-Qusyairi Al-Naisaburi; penerjemah, Sulaiman Al-Kumayi, (Jakarta : Atmaja : 2003), cet. 1, hlm. 15]

Dari pihak ayahnya, Abul Qasim adalah keturunan Bani Qusyayr, salah satu suku Arab yang tinggal di Khurasan sewaktu propinsi ini di bawah kekuasaan kaum Muslim. Ibunya keturunan Bani Salam, yang juga adalah salah satu suku Arab. Keluarga yang didalamnya al-Qusyairi dilahirkan tampaknya berkecukupan dan terpelajar.Paman al-Qusyairi dari pihak ibunya, Abu Uqayl Abd al-Rahman ibn Muhammad, menguasai sejumlah desa di Ustawa. Dia adalah seorang pakar hadits terkenal, dan salah seorang pengajar awal al-Qusyairi dalam disiplin ini. Beliau masa mudanya sudah menguasai bahasa Arab dengan baik dalam waktu singkat, dan beliau belajar kecakapan berkuda dan penggunaan senjata kepada Abul Qasim al-Yamani, kecakapan yang umumnya tidak dinisbatkan kepada seorang guru-guru sufi. Pada suatu waktu al-Qusyairi menyadari bahwa desa yang penguasaannya dilimpahkan oleh ayahnya kepadanya dikenakan pajak yang semakin tinggi. Merasa berkewajiban mencegah terulangnya tindakan-tindakan salah seperti itu, dia memutuskan pergi ke Nisyapur, mengkaji akuntansi dan Aritmatika,dan bergabung dalam pengelolaan administrasi keuangan.Tidak mengherankan bahwa al-Qusyairi, yang menguasai bahasa Arab dengan baik, segera terpalingkan dari disiplin akuntansi kepada ilmu-ilmu keislaman. Perubahan tersebut disebabkan oleh perjumpaannya dengan guru sufi Abu Ali al-Daqqaq, putra Junayd al-Baghdadi (w. 297 H/ 910 M). al-Qusyairi menyatakan bahwa dia sangat mentakzimkan (Amat hormat dan sopan) al-Daqqaq, sampai-sampai dia selalu berpuasa dan melakukan ghusl (mandi bersuci) pada hari dia akan pergi menumuinya. Sekalipun begitu, dai masih gemetar di hadaan al-Daqqaq. Atas kepatuhannya ini, al-Daqqaq memberikan ganjaran dengan memilihnya sebagai muridnya yang terkemuka dan mengawinkannya dengan anak perempuannya, Kadbanu Fathimah.Yang paling penting bagi al-Qusyairi adalah kajian hadits. Selama hidupnya, al-Qusyairi mengkaji hadits bersama sedikitnya tujuh belas pakar hadits, dan selanjutnya mengajarkan hadits kepada enam puluh murid. Dari pengkajian hadits, al-Qusyairi mendapatkan bukan saja penguasaan atas sunnah dan aplikasinya pada sufisme, tetapi juga metodologi yang ditempuhnya dalam menulis al-Risalah, kumpulan hadits.Al-Daqqaq mengirimkan al-Qusyairi untuk belajar kepada Abu Bakr Muhammad ibn Bakr al-Thusi, mufti Nisyapur yang bermadzhab Syafii. Bersamanya, al-Qusyairi mengkaji bukan saja hadits, tetapi juga fiqh madzhab Syafii, yang kepadanya dia tetap mencurahkan perhatian sepanjang hidupnya.Dan kemudian bersama Abu Bakr Muhammad ibn Hasan ibn Furak (w.406 H/ 1015 M), dia mengkaji baik hadits maupun teologi Asyari. Pendidikan formalnya dalam sains-sains keagamaan tampaknya selesai di bawah bimbingan Abu Ishaq Isfaraini (w. 418 H/ 1027 M), seorang sarjana yang mengelola madrasahnya sendiri di Nisyapur.[footnoteRef:17] [17: Abd al-Karim ibn Huwazin al-Qusyayri,Risalah Sufi al-Qusyayri, penerjemah Ahsin Muhammad, diterjemah dariPrinciples of Sufism, (Bandung : Pustaka : 1994), cet. 1, bagian pendahuluan hlm. v vii.]

Al-Daqqaq meninggal pada tahun 412 H/ 1021 M, dan al-Qusyairi melanjutkan pelatihan sufinya bersama tokoh terkenal lain dari Nisyapur, Abu Abd al-Rahman al-Sulami. Tetapi periode yang ditempuh di bawah bimbingannya jelas singkat, lantaran Sulami meninggal di kemudian hari pada tahun yang sama, dan al-Qusyairi tampaknya selalu menganggap dirinya sebagai murit Abu Ali al-Daqqaq.[footnoteRef:18] [18: Ibid, Abd al-Karim ibn Huwazin al-Qusyayri, hlm. viii]

Pada tahun 432 H / 1040 M, saat mana al-Qusyairi sebagai seorang sufi dan cendikiawan benar-benar masyhur, kota Nisyapur beralih dari kekuasaan Dinasti Ghazwany kepada penerusnya, Dinasti Saljuk. Banyak masalah yang muncul pada tahun 446 H/ 1054 M ketika al-Qusyairi menulis surat terbuka kepada para ulama di dunia Muslim, yang mengeluhkan gangguan yang dialami oleh kaum Asyari-Syafii (Keluhan Ahli Sunnah (Kaum Sunni) berkenaan dengan penganiyaan yang telah menimpa mereka). Selanjutnya, al-Kunduri (perdana menteri) memerintahkan agar al-Qusyairi dan tokoh-tokoh Nisyapur yang lain ditahan. Sebagian dari mereka, termasuk teolog besar Asyari Imam al-Haramayn al-Juwayni (w. 478 H/ 1087 M), berhasil melarikan diri dan pergi ke Makkah; al-Qusyairi dipenjarakan di penjara Nisyapur. Pengaruhnya tidak berlangsung lama. Abu Sahl, rais madzhab Syafii di Nisyapur, mengumpulkan kekuatan yang besar, memporakporandakan penjara dan melepaskan al-Qusyairi. Dengan cara yang agak kurang bijak, Abu Sahl menemui Tughril (pemimpin dinasti Saljuk) di Rayy, seraya berusaha membenarkan tindakan-tindakannya. Dia dipenjarakan secara paksa atas perintah al-Kunduri. Al-Qusyairi pergi ke Baghdad, tempat dia diterima dengan baik oleh Khalifah Abbasiyah al-Qaim bin Amrillah yang memintanya mengajarkan hadits di istana dan oleh ulama di kota tersebut.[footnoteRef:19] [19: Ibid, Abd al-Karim ibn Huwazin al-Qusyayri, hlm. ix xi]

Pada bulan-bulan pertama tahun 465 H (1074 M) mulai terlihat kemunduran kesehatannya, kelemahan sudah mulai mengalahkan kemampuannya. Walau kondisi sudah demikian, ia masih tetap juga berusaha agar dapat tetap mendirikan sholat dengan berdiri. Namun takdir bicara lain, karena usia yang sudah lanjut dan kesehatan semakin menurun, maka sebelum terbit matahari tanggal 16 Rabiul Akhir tahun 465 H/ 1074 M, ia kembali pada penciptanya. Ia dimakamkan bersebelahan dengan syekh dan mertuanya, Abu Ali al-Daqqaq, yang samapi saat ini makamnya tidak pernah sepi dari peziarah. Al-Qusyairi mempunyai enam orang putra : tiga orang dari Kadbanu Fathimah, yang sendirinya adalah seorang wanita, yang memiliki reputasi kesarjanaan, dan tiga orang dari isteri keduaanya, anak perempuan Ahmad ibn Muhammad al-Charkhi al-Baladi. Beberapa dari putra-putranya ini menjadi sarjana-sarjana terkenal dalam masing-masing disiplin mereka.Maha guru syeikh ini menunaikan kewajiban haji bersamaan dengan para ulama terkenal, antara lain adalah syeikh Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf al-Juwainy, salah seorang Ulama tafsir, bahasa dan fiqih, Syeikh Abu Bakr Ahmad ibnul Husain al-baihaqy, seorang ulama pengarang besar, dan sejumlah besar ulama-ulama masyhur yang sangat dihormati ketika itu. Dikisahkan diantara salah satu dari sekian karamah Maha Guru syeikh al-Qushayri ini, antara lain memiliki kuda, hadiah dari seseorang. Kuda itu mengabdi kepada syeikh selama 20 tahun. Ketika syeikh meninggal, si kuda amat sedih. Selama seminggu ia tidak mau makan hingga kuda itu pun mati.A. Corak pemikiraan al-Qusyairi Risalah al-QusyairiPada abad V hijriyah yaitu abu al-Qasim Abdul al-Karim bin Hawazin Bin Abd al-Malik Bin Thalhah al-Qusyairi atau lebih dikenal dengan al-Qusyari (471 H.) al-Qusyairi menulis al-Risalah al-Qusyairiyah terdiri dari dua jilid.[footnoteRef:20] [20: Nasiruddin,Pendidikan Tasawuf, (Semarang : RaSail Media Group : 2010), cet.1, hlm. 29, lihat juga Hamka,Tasauf perkembangan dan pemurnian, (Jakarta : PT. Pustaka Panjimas : 1994), cet. XIX, hlm. 89]

Kemasyhuran al-Qusyairi terletak terutama pada al-risalahnya yang umumnya dikenal barangkali lebih tepat sebagai al-Risalah al-Qusyairiyah. Karyanya ini terkadang diberi judul al-Risalah ila al-Shufiyah (Surat-surat Kepada Para Sufi), karena sebagian besar buku ini dimaksudkan, paling tidak secara formal, sebagai pesan al-Qusyairi kepada kaum sufi yang sezaman dengannya. Seperti banyak sufi masa awal, al-Qusyairi terluapi kekecewaan yang mendalam terhadap situasi masa itu yang benar-benar merosot. Muncul kelompok yang berpikiran dangkal dan menipu, sembari menyerukan sufisme secara salah, mengklaim telah mencapai tingkat-tingkat spiritual yang membebaskan diri mereka dari kewajiban melaksanakan syariat. Niat al-Qusyairi tidak lain adalah menangkal pengaruh mereka dengan menyuguhkan tulisan akurat dan komprehensif tentang kehidupan, ajaran dan praktik para tokoh awal dan yang paling otoritatif, yang musti diteladani oleh kaum sufi bukan satu-satunya kelompok pembaca yang dimaksud. Al-Qusyairi juga berikhtiyar mendemonstrasikan kepada seluruh pembaca kelayakan syariy praktik-praktik sufi yang khas, seperti sama dan menunjukkan bahwa ajaran kaum sufi identik dengan ajaran Ahli Sunnah (Kaum Sunni) (dalam formulasi Asyariyah).Sebenarnya kitab ini ditulis Qusyairi terhadap golongan orang-orang Sufi dalam beberapa negara Islam dalam tahun 437 H, tetapi kemudian tersiar luas ke seluruh tempat, karena isinya ditujukan mengadakan perbaikan mengenai ajaran-ajaran Sufi, yang pada waktu itu telah banyak menyimpang dari sumber Islam. Hal ini di singgung juga oleh al-Ghazali dalam kitabnya Minhajul Abidin . Zaman telah berakhir bagi jalan ini. Tidak, bahkan jalan ini telah menyimpang dari hakikat realitas. Telah lewat zaman para guru yang menjadi panutan mereka. Tidak banyak lagi generasi muda yang mau mengikuti perjalanan dan kehidupan mereka. Sirnalah kerendahan hati dan punahlah sudah kesederhanaan hidup. Ketamakan semakin menggelora dan ikatannya semakin membelit. Hilanglah kehormatan harga dari kalbu. Betapa sedikit orang-orang yang berpegang teguh pada Agama. Banyak orang yang menolak membedakan masalah halal haram. Mereka cenderung meninggalkan sikap menghormati orang lain dan membuang jauh rasa malu. Bahkan, mereka merasa enteng pelaksanaan ibadah , melecehkan puasa dan shalat, dan terbuai dalam medan kemabukan. Mereka jatuh dalam pelukan nafsu syahwat dan tidak peduli sekalipun melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan.Pendapat Al-qusyairi diatas barangkali terlalu berlebihan. Namun, apapun masalahnya, paling tidak, hal itu menunjukkan bahwa tasawuf pada masanya mulai menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah atau dari segi-segi moral dan tingkah laku.Oleh karena itu pula, Al-qusyairi menyatakan bahwa ia menulis risalahnya karena dorongan rasa sedihnya melihat apa-apa yang menimpa jalan tasawuf. Ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian penyerunya. Risalahnya itu, menurutnya sekedar pengobatan keluhan atas apa yang menimpa tasawuf pada masanya. Dalam halaman-halaman awal al-risalah, al-Qusyairi menjelaskan tujuan penulisan karyanya. Pada dua bab pertama, dia mendiskusikan ajaran kaum sufi, memberikan tekanan khusus pada tauhid dan hubungan sifat-sifat Tuhan dengan Zat Tuhan. Selanjutnya diikuti dengan bagian utama pertama buku itu : uraian tentang 83 sufi masa lampau. Sesudah menguraikan secara ringkas sufi-sufi tersebut dan karakteristik-kateristik ajaran mereka masing-masing, al-Qusyairi menyuguhkan ucapan-ucapan pilihan sufi-sufi tersebut. Patut dicatat bahwa sejumlah syaikh zaman sekarang disebutkan di berbagai tempat dalam al-risalah, tetapi tak seorang pun, bahkan Abu Ali al-Daqqaq, guru al-Qusyairi sendiri, mempunyai bagian khusus membahas dirinya dalam uraian biografis dalam karya itu. Al-Qusyairi kemungkinan besar ingin bersikap bijaksana berkenaan dengan tokoh-tokoh yang masih hidup.Selanjutnya buku itu menampilkan suatu bagian panjang tentang terminologis sufisme, dengan masing-masing istilah dianalisis dalam hubungannya, pertama-tama, dengan segi etimologis dan pemakaian umumnya, dan selanjutnya penerapan khususnya pada sufisme. Bagian ini diikuti dengan serangkaian bab yang membahas berbagai maqam dan keadaan yang dilintasi sang sufi dalam perjalanan spiritualnya. Masing-masing dari bab-bab ini diperkenalkan dengan kutipan-kutipan berupa ayat-ayat al-Quran dan hadits, yang selalu disertai isnad penuh, dan disusun berdasarkan urutan logis diktum-diktum para otorita masa lalu. Akhirnya, al-Qusyairi membahas berbagai aspek praktik sufi, termasuk teknik-teknik dalam menempuh perjalanan spiritual, hubungan murid dengan syekh dan dengan sesama murid, bolehnya melakukansama, makna kewalian (wilayah), signifikansi mimpi, dan, di atas semuanya, perlunya melaksanakan syariah secara permanen dalam seluruh rinciannya. Dan dengan panjang lebar juga diuraikanannya tentang pengertian mujahadah, khalwat, uzlah, muraqabah, sabar, syukur, khauf, raja, dan sifat-sifat lain yang diperlukan keterangannya agak mendalam oleh orang-orang suluk.Memang kitab ini memperlihatkan perbedaannya dari kitab-kitab lai, dari satu pihak karena pengupasannya bersifat ilmiyah, dan dari lain pihak pengupasan itu didasarkan atas ucapan-ucapan dan pandangan-pandangan bermacam-macam guru-guru thariqat yang sudah ternama. B. Karya-karya al-QusyairiImam Al-Qushayri dikenal sebagai seorang Ulama lebih dari satu disiplin ilmu. Di atas semua disiplin ilmu, ia adalah seorang sufi besar, seorang pengarang dalam bidang tasawuf dan ilmu-ilmu islam. Karena itu tidak aneh bila karya-karyanya cukup banyak. Di sini akan disebutkan karya-karyanya menurut abjad (arab) sebagai berikut :1.Ahkamus Syari.2.Adabus Shufiyah.3.Al-Arbaun fil hadits (sebuah kitab hadist yang disajikan oleh Syeikh Al-Qushayri, berjumlah 40 hadist Rasulullah SAW, dengan sanad yang muttasil dari gurunya sendiri, Abu ali ad-Daqqaq).4.Istifadhatul Muradat.5.Bulghatul Maqashid fit-Tasawwuf.6.At Tahbir fit-Tadzkir.7.Tartibus Suluk fi thariqillaahi Taala: (merupakan suatu risalah).8.At Tauhidun Nabawy.9.At Taisir fi Ilmit Tafsir : (buku ini disebut At-Tafsirul Kabir yang merupakan buku pertama yang disusun oleh Maha Guru. Buku itu diselesaikan tahun 410 H. Menurut Ibnu Khalikan, tajuddin as-Subky dan Jalaludin as-Suyuthy sepakat bahwa tafsir tersebut merupakan tafsir terbaik.10.Al Jawahir.11.Hayatul Arwah, wad-Dalil ila Thariqil Ishlah.12.Diwan Syir.13.Adz-Dzikr wadz-Dzaakir.14.Ar- Risalatul Qusyairiyah fi Ilmit-Thasawwuf, yang ditulis pada tahun 438H.15.Siratul Masyayikh.16.Syarhul Asmaail Husna.17.Syakayatu Ahlis Sunnah maa Naalahum minal mihnah. C. Al-HarawiNama lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan.Seperti dikatakan Louis Massignon, dia adalah seorang faqih dari madzhab hambali; dan karya-karyanya di bidang tasawuf dipandang amat bermut. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj.Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb al-`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut, menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya; kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bias tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-Sunnah. Dalam kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-ucapannya, sebagaimana katanya. Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut, al-Harwi berbicara tentang maqam ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang aneh. Dia mengatakan: peringkat ketiga (dari peringkat-peringkat ketenangan) adalah ketenagan yang timbul dari perasaan ridhaatas bagian yang diterimanya. Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan aneh yang menyesatkan ; dan membuat orang yang mencapainya tegak pada batas tingkatannya. yang dimaksud dengan ucapan dengan ucapan yang menyesatkan itu adalah seperti ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain. Berbeda dengan al-Jinaid, Sahl al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini memiliki ketenangan yang membuat mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang anah. Karena itu dapat dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari ketidak tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di kalbu, maka hal itu akan membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan tersebut. Kemudian yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi pada batas tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Tegasnya, di sekali-kali tidak melewati tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba.Ketenangan tersebut, menurut al-harawi, tidak di turunkan kecuali pada kalbu seorang nabi atau wali.

BAB IIIKesimpulanDari uaraian pemikiran tasawuf menurut ulama modern diatas dapat disimpulkan bahwa:1. Nama lengkap al-Baghdadi ialah Abu AI-Qasim Al-Junayd bin Muhammad Al-Junayd AI-Khazzaz Al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di Baghdad, Iraq, la berasal dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn Al-Junayd. Ia adalah murid dari Sirri al-Saqati dan Haris al-Muhasibi.2. Sementara penegrtian tasawuf menurut Al-Junayd al-Baghdadi adalah Tasawuf adalah Mengenal Allah, sehingga hubungan antara kita dengan-Nya tiada perantara. Ajarannya dengan melakukan semua akhlak yang baik menurut sunah rasul dan meninggalkan akhlak yang buruk dan melepaskan hawa nafsu menurut kehendak Allah serta Merasa tiada memiliki apapun, juga tidak di miliki oleh sesiapa pun kecuali Allah SWT.3. Adapun ciri tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi yaitu adanya keterkaitan antara syariat dan hakekat yang dilandasi dengan ajaran-ajaran dari al-Quran dan Hadis.4. Aplikasi zuhud, menurut Al-Junayd al-Baghdadi, bukanlah meninggalkan kehidupan dunia sama sekali, melainkan tidak terlalu mementingkan kehidupan duniawi belaka.5. Konsep Ittihad dan Hulul yang menampakkan bahwa sufi seakan derajatnya sama dengan Allah menurut Junayd al-Baghdadi tidaklah benar. Baginya, dunia tasawuf harus tetap berpijak pada realitas konkret manusia. Pencapaian tertinggi dalam dunia tasawuf hanyalah sampai level mahabbah dan marifah. Dengan demikian eksistensi konkret hamba (ubudiah) tetap terpisah dari eksistensi tuhan (uluhiah).6. Nama lengkapnya adalah Abd al-Karim ibn Hawazin ibn Abd al-Malik ibn Thalhah Al-Qusyairi dilahikan pada bulan Rabi al-Awwal 376 H. / 986 M. di kota kecil Ustuwa, Iran Timur-Laut.7. Guru-guru al-Qusyairi adalah yang pertama yaitu paman beliau sendiri yaitu Abu Uqayl Abd al-Rahman ibn Muhammad, Abul Qasim al-Yamani, Abu Ali al-Daqqaq, Abu Bakr Muhammad ibn Bakr al-Thusi, Abu Bakr Muhammad ibn Hasan ibn Furak, Abu Ishaq Isfaraini, Abu Abd al-Rahman al-Sulami.8. Sebenarnya kitab ini ditulis Qusyairi terhadap golongan orang-orang Sufi dalam beberapa negara Islam dalam tahun 437 H, tetapi kemudian tersiar luas ke seluruh tempat, karena isinya ditujukan mengadakan perbaikan mengenai ajaran-ajaran Sufi, yang pada waktu itu telah banyak menyimpang dari sumber Islam. Hal ini di singgung juga oleh al-Ghazali dalam kitabnya Minhajul Abidin.9. Dalam halaman-halaman awal al-risalah, al-Qusyairi menjelaskan tujuan penulisan karyanya. Pada dua bab pertama, dia mendiskusikan ajaran kaum sufi, memberikan tekanan khusus pada tauhid dan hubungan sifat-sifat Tuhan dengan Zat Tuhan. Dan dengan panjang lebar juga diuraikanannya tentang pengertian mujahadah, khalwat, uzlah, muraqabah, sabar, syukur, khauf, raja, dan sifat-sifat lain yang diperlukan keterangannya agak mendalam oleh orang-orang suluk.10. Karya-karya al-Qusyairi diantaranya adalahAhkamus Syari, Adabus Shufiyah, Al-Arbaun fil hadits, Istifadhatul Muradat, Bulghatul Maqashid fit-Tasawwuf, At Tahbir fit-Tadzkir, Tartibus Suluk fi thariqillaahi Taala: (merupakan suatu risalah), At Tauhidun Nabawy, At Taisir fi Ilmit Tafsir, Al Jawahir, Hayatul Arwah, wad-Dalil ila Thariqil Ishlah, Diwan Syir, Adz-Dzikr wadz-Dzaakir, Ar- Risalatul Qusyairiyah fi Ilmit-Thasawwuf, yang ditulis pada tahun 438H, Siratul Masyayikh, Syarhul Asmaail Husna, Syakayatu Ahlis Sunnah maa Naalahum minal mihnah.11. Nama lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan.Seperti dikatakan Louis Massignon, dia adalah seorang faqih dari madzhab hambali12. karya-karyanya di bidang tasawuf dipandang amat bermut. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj.13. Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb al-`Alamin.14. Dalam kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-ucapannya, sebagaimana katanya. Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut, al-Harwi berbicara tentang maqam ketenangan (sakinah)Daftar PustakaMuhasibi, Al-harist.Sederhana penuh berkah,. Diterjemahkan dari al-Wasaya: karangan Abu Abdillah al-harist ibn Hasan al-Muhasibi. Al-haramain, singapurah dan Jeddah, Tt. PT. Serambi Alam Semista, 2006.Assabuni, Sayyid Muhammad bin Muhammad Husaain.Ittihafussadatil Muttaqin: bisyarahi ihya ulumuddin. Juz II.Bairut: Darul Kutubul Ilmiyah, 1409.Jarrahi, Syekh Tosun Bayrok.Asmaul Husna, makna dan khasiat. Penerjemah, Nuruddin Hidayat.Jakarata: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007.Qushairy,AI-Risalah al-Qushairiyah.Kairo: Dar al-Kutub al-Arabiyah al-Kubra, 1912.Al-Naisaburi, Imam Qusyairi,Allah Dimata Sufi : Penjelajahan Spiritual Bersama Asma Al-Husna / Imam Al-Qusyairi Al-Naisaburi; penerjemah, Sulaiman Al-Kumayi, (Jakarta : Atmaja : 2003), cet. 1Syukur Amin, Masharudin,Intelektualisme Tasawuf, (Semarang : LEMBKOTA : 2002), cet. 1Abd al-Karim ibn Huwazin al-Qusyayri,Risalah Sufi al-Qusyayri, penerjemah Ahsin Muhammad, diterjemah dariPrinciples of Sufism, (Bandung : Pustaka : 1994).

1TASAWUF; TASAWUF DALAM PEMIKIRAN ULAMA MODERN