makalah pribadi pbl 15

Upload: arwi-wijaya

Post on 14-Jan-2016

24 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

BAB 1PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangDalam rangka kegiatan belajar mandiri terarah, dilaksanakan sebuah program Problem Based Learning. Pada kegiatan ini, mahasiswa diarahkan untuk memperdalam bahan yang dipelajarinya dalam bentuk pembahasan sebuah kasus. Oleh sebab itulah makalah ini dibuat untuk menunjang proses belajar mahasiswa.

1.2 TujuanMakalah ini dibuat untuk membahas sejumlah bahan maupun bagian yang perlu diperhatikan lebih dalam dari kasus yang diberikan, yaitu kasus mengenai dermatitis atopik.

1.3 Manfaat Penulis berharap, makalah ini bisa bermanfaat untuk menjadi referensi dalam persiapan pleno program Problem Based Learning yang akan datang.

BAB IIISI

Dermatitis atopic (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita (DA, rhinitis alergik, dan atau asma bronchial). Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural).1-4Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh COCA (1923), yaitu istilahyang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya. Misalnya: asma bronchial, rhinitis alergik, dermatitis atopic, dan konjungtivitis alergik. 1-4Anamnesis Sejak kapan keluhan Riwayat keluarga Pernah diobati/tidak Gatal/tidak Merah/tidak Bersisik/tidak Sakit/panas Bau/tidakSinonimBanyak istilah lain dipakai sebagai sinonim DA ialah ekzema atopic, ekzema konstitusional, ekzema fleksural, neurodermitis diseminata, prurigo Besnier. Tetapi, yang paling sering digunakan ialah dermatitis atopik. 1-4

Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan fisik dilihat kondisi kulit pasien. Lesi yang ada di kulit pasien.Pemeriksaan PenunjangIgE serumIgE serum dapat diperiksa dengan metode ELISA. Ditemukan 80 % pada penderita dermatitis atopik menunjukkan peningkatan kadar IgE dalam serum terutama bila disertai gejala atopi ( alergi ). 3-4

EosinofilKadar serum dapat ditemukan dalam serum penderita dermatitis atopik. Berbagai mediatore berperan sebagai kemoatraktan terhadap eosinofil untuk menuju nke tempat peradangan dan kemudian mengeluarkan berbagai zat antara lain Major Basic Protein (MBP). Peninggian kadar eosinofil dalam darah terutama pada MBP. 3-4

TNF-aKonsentrasi plasma TNF-a meningkat pada penderita dermatitis atopik dibandingkan penderita asma bronkhial.3-4

Sel TLimfosit T di daerah tepi pada penderita dermatitis atopik mempunyai jumlah absolut yang normal atau berkurang. Dapat diperiksa dengan pemeriksaan imunofluouresensi terlihat aktifitas sel T-helper menyebabkan pelepasan sitokin yang berperan pada patogenesis dermatitis atopik. 3-4

Uji tusukPajanan alergen udara (100kali konsentrasi) yang dipergunakan untuk tes intradermal yang dapat memacu terjadinya hasil positif. 3-4

Pemeriksaan biakan dan resistensi kumanPemeriksaan dilakukan bila ada infeksi sekunder untuk menentukan jenis mikroorganisme patogen serta antibiotika yang sesuai. Sampel pemeriksaan diambil dari pus tempat lesi penderita. 3-4

Epidemiologi dan Faktor ResikoOleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat, maka untuk menginterpretasi hasil penelitian epidemiologik harus berhati-hati. Berbagai penelitian menyatakan bahwa prevalensi DA makin meningkat sehingga merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia, dan negara industri lain, prevalensi DA pada anak mencapai 10 sampai 20 persen, sedangkan pada dewasa kira-kira 1 sampai 3 persen. Di negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah, prevalensi DA jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak menderita DA daripada pria dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap prevalensi DA, misalnya jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu makin tinggi, penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya penggunaan antibiotik, berpotensi menaikkan jmlah penderita DA sedangkan rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga, urutan lahir makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil, akan melindungi kemngkina timbulnya DA pada kemudian hari. 1-4EtiopatogenesisPenyakit ini dipengaruhi multifaktorial, seperti faktor genetik, imunologik, lingkungan, sawar kulit dan farmakologik. Konsep dasar terjadinya DA adalah melalui reaksi imunologik, yang diperantarai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang. 1-5

Kadar IgE dalam serum penderita DA dan jumlah eosinofil dalam darah perifer umumnya meningkat. Terbukti bahwa ada hubungan secara sistemik antara DA dan alergi saluran napas, karena 80% anak dengan DA mengalami asma bronkial atau rinitis alergik. Dari percobaan pada tikus yang disensitisasi secara epikutan dengan antigen, akan terjadi dermatitis alergik, IgE dalam serum meningkat, eosinofilia saluran napas, dan respons berlebihan terhadap metakolin, hal tersebut menguatkan dugaan bahwa pajanan allergen pada DA akan mempermudah timbulnya asma bronkial. 1-5

Faktor Genetik

DA adalah penyakit dalam keluarga dimana pengaruh maternal sangat besar. Walaupun banyak gen yang nampaknya terkait dengan penyakit alergi, tetapi yang paling menarik adalah peran Kromosom 5 q31 33 karena mengandung gen penyandi IL3, IL4, IL13 dan GM CSF (granulocyte macrophage colony stimulating factor) yang diproduksi oleh sel Th2. Pada ekspresi DA, ekspresi gen IL-4 juga memainkan peranan penting. Predisposisi DA dipengaruhi perbedaan genetik aktifitas transkripsi gen IL-4. Dilaporkan adanya keterkaitan antara polimorfisme spesifik gen kimase sel mas dengan DA tetapi tidak dengan asma bronchial ataupun rinitif alergik. Serine protease yang diproduksi sel mast kulit mempunyai efek terhadap organ spesifik dan berkontribusi pada resiko genetik DA. 1-5

Respons Imun pada Kulit

Salah satu faktor yang berperan pada DA adalah faktor imunologik. Di dalamkompartemen dermo-epidermal dapat berlangsung respon imun yang melibatkan selLangerhans (SL) epidermis, limfosit, eosinofil dan sel mast. Bila suatu antigen (bisa berupa alergen hirup, alergen makanan, autoantigen ataupun super antigen) terpajan ke kulit individu dengan kecenderungan atopi, maka antigen tersebut akan mengalami proses : ditangkap IgE yang ada pada permukaan sel mas atau IgE yang ada di membran SL epidermis. Bila antigen ditangkap IgE sel mas (melalui reseptor FcRI), IgE akan mengadakan cross linking dengan FcRI, menyebabkan degranulasi sel mast dan akan keluar histamin dan faktor kemotaktik lainnya. Reaksi ini disebut reaksi hipersensitif tipe cepat (immediate type hypersensitivity). Pada pemeriksaan histopatologi akan nampak sebukan sel eosinofil. 1-5

Selanjutnya antigen juga ditangkap IgE, sel Langerhans (melalui reseptor FcRI,FcRII dan IgE-binding protein), kemudian diproses untuk selanjutnya denganbekerjasama dengan MHC II akan dipresentasikan ke nodus limfa perifer (sel Tnaive)yang mengakibatkan reaksi berkesinambungan terhadap sel T di kulit, akan terjadidiferensiasi sel T pada tahap awal aktivasi yang menentukan perkembangan sel T ke arah TH1 atau TH2. Sel TH1 akan mengeluarkan sitokin IFN-, TNF, IL-2 dan IL-17,sedangkan sel TH2 memproduksi IL-4, IL-5 dan IL-13. Meskipun infiltrasi fase akut DA didominasi oleh sel TH2 namun kemudian sel TH1 ikut berpartisipasi.Jejas yang terjadi mirip dengan respons alergi tipe IV tetapi dengan perantara IgEsehingga respons ini disebut IgE mediated-delayed type hypersensitivity. Padapemeriksaan histopatologi nampak sebukan sel netrofil. Selain dengan SL dan sel mas, IgE juga berafinitas tinggi dengan FcRI yang terdapat pada sel basofil dan terjadi pengeluaran histamin secara spontan oleh sel basofil. Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF dan sitokin pro inflamasi epidermis lainnya yang akan mempercepat timbulnya peradangan kulit DA. Kadang-kadang terjadi aktivasi penyakit tanpa rangsangan dari luar sehingga timbul dugaan adanya autoimunitas pada DA. Pada lesi kronik terjadi perubahan pola sitokin. IFN- yang merupakan sitokin Th1 akan diproduksi lebih banyak sedangkan kadar IL-5 dan IL-13 masih tetap tinggi. Lesi kronik berhubungan dengan hiperplasia epidermis. IFN dan GM-CSF mampu menginduksi sel basal untuk berproliferasi menghasilkan pertumbuhan keratinosit epidermis. Perkembangan sel T menjadi sel TH2 dipacu oleh IL-10 dan prostaglandin (P6) E2. IL-4 dan IL-13 akan menginduksi peningkatan kadar IgE yang diproduksi oleh sel B. 1-5

Sel mononuklear penderita DA meningkatkan aktivitas enzim CAMP-PDE, yang akan menignkatkan sintesis IgE oleh sel B dan prodiksi IL-4 oleh sel T. Produksi IgE dan IL-4 secara in vitro dapat diturunkan oleh penghambat PDE (PDE inhibitor). Sekresi IL-10 dan PGE2 dari monosit juga meningkat; kedua produk ini menghambat IFN- yang dihasilkan oleh sel T. 1-5

Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita DA adalah abnormal, dapat secara langsung menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen; secara selektif dapat secara langsung menstimulasi sel TH menjadi fenotip TH2. SL yang mengandung IgE meningkat; sel ini mampu mempresentasikan alergen tungau debu rumah (D. Ptreonyssinus) kepada sel T. SL yang mengandung IgE setelah menangkat allergen akan mengaktifkan sel TH2 memori di kulit atopi, jug abermigrasi ke kelenjar getah bening setempat untuk menstimulasi sel T naive sehingga jumlah sel TH2 bertambah banyak. 1-5

SL pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE, yaitu FcRI, FcRII (CD23) dan IgE-binding protein. Reseptor FcRI mempunyai akfinitas kuat untuk mengiakt IgE. IgE terikat pada SL melalui reseptor spesifik FcRI pada permukaan SL. Pada orang normal dan penderita alergi saluran napas kadar ekspresi FcRI di permukaan Slnya rendah, sedangkan di lesi ekzematosa DA tinggi. Ada korelasi antara ekspresi permukaan FcRI dan kadar IgE dalam serum. Selain pada SL, reseptor IgE dengan afinitas tinggi (FcRI) juga ditemukan pada permukaan sel mast dan monosit. 1-5

Kadar seramid pada kulit penderita DA berkurang sehingga kehilangan air (transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis dipermudah. Hal ini mempercepat absorbsi antigen ke dalam kulit. Sebagaimana diketahui bahwa sensitisasi epikutan terhadap alergen menimbulkan respons TH2 yang lebih tinggi daripada melalui sistemik atau jalan udara, maka kulit yang terganggu fungsi sawarnya merupakan tempat yang sensitif. 1-5

Respons Sistemik

Jumlah IFN- yang dihasilkan oleh sel mononuclear darah tepi penderita DA menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum meningkat. IFN- menghambat sintesis IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi reseptor IL-r pada sel T. sel T spesifik untuk allergen di darah tepi meningkat dan memproduksi IL-4, IL-5, IL-13 dan sedikit IFN-. IL-4 dan IL-13 merupakan sitokin yang meninguksi transkripsi pada ekson C sehingga terjadi pembentukkan IgE. IL-4 dan IL-13 juga menginduksi ekspresi molekul adesi permukaan pembuluh darah, misalnya VCAM-1, infiltrasi eosinofil dan menurunkan fungsi sel TH1. 1-5

Sel monosit di darah tepi penderita DA diaktivasi, mempunyai insidens apoptosis spontan rendah, tidak responsif terhadap induksi apoptosis IL-4. Hambatan apoptosis ini disebabkan oleh meningkatnya produksi GM_CSF oleh monosit yang beredar pada DA. 1-5Perubahan sistemik pada DA adalah sebagai berikut :- Sintesis IgE meningkat.- IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat.- Ekspresi CD23 pada sel B dan monosit meningkat.- Respons hipersensitivitas lambat terganggu- Eosinofilia- Sekresi IL-4, IL-5 dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat- Sekresi IFN- oleh sel TH1 menurun- Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.- Kadar CAMP-Phosphodiesterase monosit meningkat disertai peningkatan IL-13 dan PGE2.1

Berbagai Faktor Pemicu

Pada anak kecilm makanan dapat berperan dalam patogenesis DA, tetapi tidak biasa terjadi pada penderita DA yang lebih tua. Makanan yang paling sering ialah telur, susu, gandum, kedele, dan kacang tanah. Reaksi yang terjadi pada penderita DA karena induksi alergen makanan dapat berupa dermatitis ekzematosa, utrikaria, kontak urtikaria, atau kelainan muko-kutan yang lain. Hasil pemeriksaan laboratorium dari bayi dan anak-anak kecil dengan DA sedang atau berat, menunjukkan reaksi positif terhadap tes kulit dadakan (immediate skin test) dengan berbagai jenis makanan. Reaksi positif ini diikuti dengan kenaikan mencolok histamin dalam plasma dan aktivasi eosinofil. Sel T spesifik untuk alergen makanan juga berhasil diklon dari lesi penderita DA. 1-5

Dari percobaan buta ganda dengan plasebo dan tungau debu rumah (TDR), ditemukan penderita DA setelah menghirup TDR mengalami ekserbasi ditempat lesi lama, dan timbul pula lesi baru. Demikian pula setelah aplikasi epikutan dengan aeroalergen (TDR, bulu binatang, kapang) melalui uji tempel pada kulit penderita atopi tanpa lesi, terjadi reaksi ekzematosa pada 30-50% penderita DA, sedangkan pada penderita alergi saluran napas dan relawan sehat jarang yang menunjukkan hasil positif. Jasil pemeriksaan laboratorium ditemukan pada sebagian besar penderita DA. IgE spesifik untuk alergen hirup. Juga pada 95% penderita DA mempunyai IgE spesifik terhadap TDR, sedangkan pada penderita asma bronkial hanya 42%. Derajat sensitisasi terhadap aeroalergen berhubungan langsung dengan tingkat keparahan DA. 1-5

Penderita DA cenderung mudah terinfeksi oleh bakteri, virus, dan jamur karena imunitas selular menurun (aktivitas TH1 berkurang). Pada lebih dari 90% lesi kulit penderita DA ditemukan S. Aureus, sedangkan pada orang normal hanya 5%. Jumlah kolono S.aureus pada lesi inflamasi kulit penderita DA dapat mencapai 107 per cm2, namun tidak ada tamda klinis superinfeksi. Akan tetapi bila diobati dengan kombinasi antibiotika dan kortikosteroid topikal, hasilnya lebih baik dibandingkan kalau hanya dengan kortikosteroid topikal saja. S.aureus melepaskan toksin yang bertindak sebagai superantigen (misalnya : enterotoksin A, B, dan toxic shock syndrome toxine -1) yang menstimulasi aktivasi sel T dan makrofag. Sebagian besar penderita DA membuat antibodi IgE spesifik terhadap superantigen stafilokokis yang ada di kulit. Apabila ada superantigen menembus sawar kulit yang terganggu, akan menginduksi IgE spesifik, dan degranulasi sel mast, kejadian ini akan memicu siklus gatal-garuk yang akan menimbulkan lesi dikulit penderita DA. Superantigen jug ameningkatkan sintesis IgE spesifik dan menginduksi resistensi kortikosteroid, sehingga memperparah DA. 1-5

Gambaran Klinis

Klinik penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari tangan teraba dingin. Penderita DA cenderung tipe astenik, dengan inteligensia di atas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan. 1,3,4,6,7

Gejala utama DA ialah (pruritus), dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi dan krista. 1,3,4,6,7

Ada 3 fase klinis DA yaitu DA infantil (2 bulan 2 tahun), DA anak (2 10tahun) dan DA pada remaja dan dewasa. 1-4,6,7

DA infantil (2 bulan 2 tahun)DA paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan yaitu pada bulan kedua.Lesi mula-mula tampak didaerah muka (dahi-pipi) berupa eritema, papul-vesikelpecah karena garukan sehingga lesi menjadi eksudatif dan akhirnya terbentuk krusta. Lesi bisa meluas ke kepala, leher, pergelangan tangan dan tungkai. Bila anak mulaimerangkak, lesi bisa ditemukan didaerah ekstensor ekstremitas. Sebagian besar penderita sembuh setelah 2 tahun dan sebagian lagi berlanjut ke fase anak. 1-4,6,7

DA pada anak (2 10 tahun)Dapat merupakan lanjutan bentuk DA infantil ataupun timbul sendiri (de novo).Lokasi lesi di lipatan siku/lutut, bagian fleksor pergelangan tangan, kelopak mata danleher. Ruam berupa papul likenifikasi, sedikit skuama, erosi, hiperkeratosis dan mungkin infeksi sekunder. DA berat yang lebih dari 50% permukaan tubuh dapat mengganggu pertumbuhan. 1-4,6,7

DA pada remaja dan dewasaLokasi lesi pada remaja adalah di lipatan siku/lutut, samping leher, dahi, sekitarmata. Pada dewasa, distribusi lesi kurang karakteristik, sering mengenai tangan danpergelangan tangan, dapat pula berlokasi setempat misalnya pada bibir (kering, pecah,bersisik), vulva, puting susu atau skalp. Kadang-kadang lesi meluas dan paling parah di daerah lipatan, mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datarcenderung berkonfluens menjadi plak likenifikasi dan sedikit skuama. Bisa didapatiekskoriasi dan eksudasi akibat garukan dan akhirnya menjadi hiperpigmentasi.Pruritus adalah gejala subjektif yang paling dominan dan terutama dirasakan padamalam hari. Bagaimana mekanisme timbulnya pruritus masih belum jelas. Histamin yang keluar akibat degranulasi sel mas bukanlah satu-satunya penyebab pruritus. Disangkakan sel peradangan, ambang rasa gatal yang rendah akibat kekeringan kulit, perubahan kelembaban udara, keringat berlebihan, bahan iritan konsentrasi rendah serta stres juga terkait dengan timbulnya pruritus.Umumnya DA remaja dan dewasa berlangsung lama kemudian cenderungmembaik setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan dan sebagian kecilsampai tua. Berbagai kelainan kulit dapat menyertai DA (termasuk dalam kriteria minor). 1-4,6,7

Imunohistologi

Gambaran histopatologi DA tidak spesifik. Lesi akut atau awal ditandai dengan spongiosis eksositosis limfosit T, jumlah SL meningkat. Dermis : edema, bersebukan sel radang terutama limfosit T, makrofag, sel mas jumlahnya masih dalam batas normal, tetapi dalam keadaan degranulasi. Sebagian besar limfosit adalah T-CD4+, dan hanya sedikit sel T-CD8+. Kebanyakan sel T di kulit mengekspresi CLA, penting untuk homing sel T di kulit. Sebagian besar sel T pada kulit DA juga mengekspresi CD45RO pada permukaanya, menandakan bahwa sel tersebut adalah sel memori yang sebelumnya pernah bertemu antigen. Pembuluh darah kulit pada DA menunjukkan peningkatan ekspresi molekul adesi E-selektin, VCAM-1, dan ICAM-1 pada sel endotel. Molekul ini penting untuk memfasilitasi masuknya sel radang yang berasal dari sumsum tulang di dalam sirkulasi masuk ke kulit. 1-4,6,7

Lesi kronis DA menunjukkan hiper keratosis dan akantosis. Dermis bersebukan sel radang, terutama makrofag dan eosinofil. Eosinofil melepaskan major basic protein dan eosinofil cationic protein ke dalam kulit dan sirkulasi. 1-4,6,7

DiagnosisBerbagai kriteria diagnosis DA disusun oleh berbagai ahli ; Hanifin dan Rajkatelah menyusun kriteria dan kemudian diperbaharui oleh kelompok kerja Inggris dikoordinasi oleh William (1994). 1-4,6,7

Diagnosis DA ditegakkan bila mempunyai minimal 3 kriteria mayor dan 3 kriteriaMinor.1-4,6,7

Kriteria Mayor- Pruritus- Dermatitis di muka atau ekstensor bayi dan anak- Dermatitis di fleksura pada dewasa- Dermatitis kronis atau residif- Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya. 1,2

Kriteria Minor- Xerosis- Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus H. simpleks)- Dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki- Iktiosis/hiperlinearis palmaris/keratosis pilaris- Pitiriasis alba- Dermatitis di papila mame- White dermatografism dan delayed blanched response- Keilitis- Lipatan infra orbital Dennie Morgan- Konjungtivitis berulang- Keratokonus- Katarak subkapsular anterior- Orbita menjadi gelap- Muka pucat dan eritema- Gatal bila berkeringat- Intolerans perifolikular- Hipersensitif terhadap makanan- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi- Tes alergi kulit tipe dadakan positif- Kadar IgE dalam serum meningkat- Awitan pada usia dini. 1,2

Diagnosis DA harus mempunyai tiga kriteria mayor dan kriteria minor. 1

Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu :Tiga kriteria mayor berupa : Riwayat atopi pada keluarga Dermatitis di muka atau ekstensor Pruritus. 1,2

Ditambah tiga kriteria minor : Xerosis/ iktiosis/ hiperliniaris palmaris Aksentuasi perfolikular Fisura belakang telinga Skuama di skalp kronis. 1,2

Kriteria mayor dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka didasarkan pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian berbasis rumah sakit (hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis populasi, karena kriteria minor umumnya ditemukan pula pada kelompok kontrol, disamping juga belum divalidasi terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk pengulangan (repeatability). Oleh karena itu kelompok kerja Inggris (UK working party) yang dikoordinasi oleh William memperbaiki dan menyederhanakan kriteria Hanifin dan Rajka menjadi satu set kriteria untuk pedoman diagnosis DA yang dapat diulang dan divalidasi. Pedoman ini sahih untuk orang dewasa, anak, berbagai ras, dan sudah dibalidasi dalam populasi, sehingga dapat membantu dokter Puskesmas membuat diagnosis. 1-4,6,7

Pedoman diagnosis DA yang diusulkan kelompok tersebut yaitu : Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau laporan dari orangtuanya bahwa ankanya suka menggaruk atau menggosok. Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut : Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut, bagian depan pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak usia di bawah 10 tahun) Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau riwayat penyakit atopi pada keluarga tingkat pertama dari anak di bawah 4 tahun). Riwayat kulit kering secara umum pada tahun terakhir. Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada pipi/dahi dan anggota badan bagian lkuar anak di bawah 4 tahun). Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak di bawah 4 tahun). 1-4,6,7

Diagnosis Banding

DA didiagnosis banding dengan dermatitis seboroik (terutama pada bayi), dermatitis kontak, dermatitis numularis, skabies, iktiosis, psoriasis (terutama di daerah palmoplantar), dematitis herpetiformis, sindrom Sezary dan penyakit Letterer-Siwe. Pada bayi, DA dapat pula didiagnosis banding dengan sindrom Wiskott-Aldrich dan sindrom hiper IgE. 1-4,6,7

Prognosis

Sulit meramalkannya karena adanya peran multifaktorial. Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik, adalah :- DA yang luas pada anak.- Menderita rinitis alergika dan asma bronkiale.- Riwayat DA pada orang tua atau saudaranya.- Awitan (onset) DA pada usia muda.- Anak tunggal.- Kadar IgE serum sangat tinggi. 1-4,6,7

Diperkirakan 30 35% penderita DA infantil akan berkembang menjadi asmabronkiale atau hay fever. Penderita DA mempunyai resiko tinggi untuk mendapatdermatitis kontak iritan akibat kerja di tangan. 1-4,6,7

Komplikasi

Penderita dermatitis atopik mudah mengalami komplikasi yang diakibatkan oleh disfungsi sel T dan efek metabolik. Pada semua tipe dermatitis atopik, komplikasi yang paling sering terjadi adalah infeksi sekunder yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus.

Penatalaksanaan Umum

Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering dan sangat peka terhadap berbagai rangsangan. Penderita merasa sangat gatal sehingga terpaksa menggaruk. Perjalanan dermatitis berlangsung kronis dan cenderung berulang (kambuh). Banyak faktor yang menyebabkan kambuhnya penyakit ini, misalnya infeksi kulit, iritasi, berkeringat atau kedinginan, stress. Oleh karena itu penatalaksanaannya pada dasarnya berupa menghindari atau menyingkirkan faktor-faktor tersebut1-4,6,7

Kulit yang sehat boleh disabun dengan sabun khusus untuk kulit kering, tetapi jangan terlalu sering agar lipid di kulit tidak banyak berkurang sehingga kulit tidak semakin kering. Kulit diolesi dengan krim emolien, maksudnya membuat kulit tidak kaku dan tidak terlalu kering. Pakaian jangan yang terbuat dari wol atau nilon karena dapat merangsang, pakailah katun karena selain tidak merangsang juga dapat menyerap keringat. Keringat akan menambah rasa gatal oleh karena itu pakaian jangan ketat; ventilasi yang baik akan mengurangi keringat. 1-4,6,7

Hindarkan dari perubahan suhu dan kelembaban mendadak. Sebaiknya mandi dengan air yang suhunya sama dengan suhu tubuh, akrena air panas maupun air dingin menambah rasa gatal. 1-4,6,7

Upayakan tidak terjadi kontak dengan aeroalergen misalnya debu rumah ( mengandung Dermatophagoides ptreonyssimus), bulu binatang dan serbuk sari karena dapat menyebabkan rasa gatal bertambah dan menyebabkan penyakit kambuh1-4,6,7

Makanan dapat mempengaruhi terjadinya kekambuhan atau menambah rasa gatal. Alergi makanan lebih banyak di temukan pada bayi dan anak. Penelitian Kang dan Tan menemukan bentuk infantil 17,1%; anak 8,7%; dan dewasa 4,2%. Bahan makanan yang paling sering menyebabkan sensitivitas adalah susu sapi, terigu, telur, dan kacang-kacangan. 1-4,6,7

Berbagai faktor dapat menjadi pencetus DA dan tidak sama untuk setiap individu, karena itu perlu diidentifikasi dan dieliminasi berbagai faktor tersebut: Menghindarkan pemakaian bahan-bahan iritan (deterjen, alkohol, astringen, pemutih, dll) Menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin, kelembaban tinggi. Menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak keringat. Menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai dapat mencetuskan DA. Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah TDR/agen infeksi, seperti menghindari penggunaan kapuk/karpet/mainan berbulu. Menghindarkan stres emosi. Mengobati rasa gatal.Stress emosional akan emmudahkan penyakit menjadi kambuh, oleh karena itu hendaknya dihindari atau dikurangi. 1-4,6,7

Pengobatan Topikal

Hidrasi kulit.Kulit penderita DA kering dan fungsi sawarnya berkurang, mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikororganisme pathogen, bahan iritan dan allergen. Pada kulit yang demikian perlu diberikan pelembab, misalnya krim hidrofilik urea 10%; dapat pula ditambahkan hidrokortison 1% didalamnya. Bila memakai pelembab yang mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan lebih dari 5% karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif. Setelah mandi kulit di lap, kemudian memakai emolien agar kulit tetap lembab. Emolien dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja maksimum 6 jam. 1,2

Kortikosteroid topikal.Pengobatan DA dengan kortikosteroid topikal adalah yang paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun demikian harus waspada karena dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan. 1,2

Pada bayi digunakan salep steroid berpotensi rendah, misalnya hidrokortison 1-2,5%. Pada anak dan dewasa dipakai steroid berpotensi menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada muka digunakan steroid berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid berpotensi rendah juga dipakai daerah genitalia dan intertriginosa, jangan di gunakan yang berpotensi kuat, misalnya fluorinated glucocorticoid. Bila aktivitas penyakit telah terkontrol, dipakai secara intermiten, umumnya 2 kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh; sebaiknya dengan kortikosteroid yang potensinya paling rendah. 1,2

Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan teroid, misalnya dengan larutan Burowi atau dengan larutan permanganas kalikus 1:5000. 1,2

Imunomodulator Topikal

Takrolimus.Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat diberikan dalam bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun; untuk dewasa 0,03% dan 0,1%. Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam DA yaitu : sel langerhans, sel T, sel mast, dan keratinosit. Pada pengobatan jangka panjang dengan salep takrolimus, koloni S.aureus menurun. Tidak ditemukan efek samping kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi kulit seperti pada pemakaian kortikosteroid; dapat digunakan di muka dan kelopak mata. 1,2

Pimekrolimus.Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin yaitu imunomodulator golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil fermentasi Streptomyces hygroscopicus var. Ascomyceticus. Cara kerja sangat mirip siklosporin dan takrolimus yang dihasilkan dari streptomyces tsuku-baensis, walaupun ketiganya berbeda dalam struktur kimianya, yaitu bekerja sebagai pro-drug, yang baru menjadi aktif bila terikat pada reseptor sitostolik imunofilin. Reseptor imunofilin untuk askomisin ialah makrofilin-12. Ikatan askomisin pad amakrofilin-12 dalam sitoplasma sel T, yang menghambat calcineurin (suatu molekul yang dibutuhkan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin), sehingga produksi sitokin TH1 (IFN- dan IL-2) dan TH2 (IL-4 dan IL-10) dihambat. Askomisin juga menghambat aktivasi sel mast. Askomisin menghasilkan efek imunomodulator lebih selektif dalam menghambat fase elitasi dermatitis kontak alergik, tertapi respons imun primer tidak terganggu bila diberikan secara sistemik, tidak seperti takrolimus dan siklosporin. 1,2

Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM 981 konsentrasi 1%, mempunyai efektivitas sama dengan krim klobetasol-17-propionat 0,05% (steroid superpoten), tidak menyebabkan atrofi kulit (setidaknya selama 4 minggu), aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif misalnya pad amuka dan lipatan. Cara pemakaian dioleskan 2 kali sehari. 1,2

Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati untuk memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat tersebut berpotensi menimbulkan kanker kulit. 1,2

Preparat ter.Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi pada kulit. Dipakai pada lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk salep hidrofilik, misalnya yang mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai 10%, atau crude coal tar 1% sampai 5%.1,2

Antihistamin.Pengobatan DA dengan antihistamin topikal tidak dianjurkan karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan bahwa aplikasi topikal krim doksepin 5% dalam jangka pendek (satu minggu), dapat mengurangi gatal tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila dipakai pada area yang luas akan menimbulkan efek samping sedatif. 1,2

Pengobatan Sistemik

Kortikosteroid.Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengendalikan eksaserbasi akut, dalam jangka pendek, dan dosis rendah, diberikan berselang-seling (alternate), atau diturunkan bertahap (tapering), kemudian segera diganti dengan kortikosteroid topikal. Pemakaian jangka panjang menimbulkan berbagai efek samping dan bila di hentikan lesi yang lebih berat akan muncul kembali. 1,2

Antihistamin.Antihistamin digunakan untuk mengurangi rasa gatal yang hebat, terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena itu antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan doksepin hidroklorid yang mempunyai efek antidepresan dan memblokade reseptor histamin H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75mg secara oral malam hari pada orang dewasa. 1,2

Anti-infeksi.Pada DA ditemukan peningkatan koloni S,aureus. Untuk yang belum resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau, klaritomisin, sedang untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilim, oksasilin, atau generasi pertama sefalosporin.Bila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes ismpleks kortikosteroid dihentikan sementara dan pemberian per oral asiklovir 400mg 3 kali perhari selama 10 hari, atau 200mg 4 kali perhari selama 10 hari. 1,2

Interferon.IFN- diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel TH2. Pengobatan dengan IFN- rekombinan menghasilkan perbaikan klinis, karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi. 1-2

Siklosporin.DA yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional dapat diberikan pengobatan dengan siklosporin dalam jangka pendek. Dosis jangka pendek yang dianjurkan peroral : 5mg/kg berat badan. Siklosporin adalah obat imunosupresif kuat yang terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan cyclophilin (suatu protein intraselular) menjadi satu kompleks yang akan menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan, tetapi, bila pengobatan dengan siklosporin dihentikan umumnya penyakitnya akan segera kambuh lagi. Efek samping yang mungkin timbul yaitu peningkatan kreatinin dalam serun, atau bahkan terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi. 1-2

Terapi Sinar

Untuk DA yang berat dan luas dapat digunakan PUVA (photochemotheraphy) seperti yang dipakai pada psoriasis. Terapi UVB, atau Goeckerman dengan UVB dan ter juga efektif. Kombinasi UVB dan UVA lebih baik daripada hanya UVB. UVA bekerja pada sel langerhans dan eosinofil, sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif dengan cara memblokade fungsi sel langerhans dan mengubah produksi sitokin keratinosit. 1-2

Pencegahan

Cara yang paling baik dan juga paling mudah adalah dengan cara menghilangkan atau menghindari alergen.

BAB IIIPenutup

Kesimpulan

Hipotesis benar. Dermatitis atopik dapat ditimbulkan karena adanya faktor genetik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sularsito SA, Djuanda S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed 6. DERMATITIS. Jakarta: FKUI. 2010.2. Widodo Grace C. Skin & Integumen. DERMATITIS ATOPIK. Jakarta: UKRIDA. 2011.3. Brown Graham Robin, Burns Tony. Dermatologi. Ed 8. Jakarta: Erlangga. 2005.4. Siregar RS. Saripati Penyakit Kulit. Ed 2. Jakarta: EGC. 2004.5. Corwin EJ. Buku Saku Patofisiologi. Ed 3. Jakarta : EGC. 2007.6. Isselbacher, dkk. Harrison. Ed 13. Jakarta: EGC. 1999.7. Behman, Kliegman, Nelson Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Ed 15. Jakarta: EGC. 2000.

22