makalah ph
DESCRIPTION
PHTRANSCRIPT
Makalah
Epidemiologi Gizi
Pembimbing:
Sri Lestari, SP, M.Kes
Disusun oleh:
Nurma Sheila
100100146
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT/
ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN/
ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2015
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat penulis selesaikan tepat pada
waktunya.
Pada kesempatan ini, penulis menyajikan makalah mengenai kendala yang
sering dihadapi dalam sosialisasi program kesehatan di Indonesia. Adapun tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan pula terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Sri Lestari, SP, M.Kes atas kesediaan beliau sebagai
pembimbing dalam penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna,
baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan makalah ini. Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai
pihak baik secara moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima kasih. Semoga
makalah ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya di bidang kesehatan.
Medan, 11 November 2015
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar.............................................................................................i
Daftar Isi.......................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................1
1.1. Latar Belakang............................................................................1
1.2. Tujuan..........................................................................................2
1.3. Manfaat........................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...................................................................3
2.1.Epidemiologi Gizi........................................................................3
2.2.Masalah Gizi di Indonesia............................................................3
2.2.1.Kekurangan Energi Protein (KEP).....................................3
2.2.1.1.Definisi...................................................................3
2.2.1.2.Klasifikasi..............................................................3
2.2.1.3.Etiologi...................................................................4
2.2.1.4.Prevalensi...............................................................5
2.2.2.Anemia Gizi........................................................................6
2.2.2.1.Prevalensi...............................................................6
2.2.2.2.Etiologi...................................................................7
2.2.2.3.Dampak..................................................................7
2.2.3.Kekurangan Vitamin A.......................................................9
2.2.3.1.Definisi...................................................................9
2.2.3.2.Prevalensi...............................................................9
2.2.3.4.Etiologi...................................................................10
2.2.4.Gangguan Akibat Kekurangan Yodium.............................10
2.2.4.1.Definisi...................................................................10
2.2.4.2.Prevalensi...............................................................10
iii
2.2.4.3.Etiologi...................................................................12
2.2.4.4.Dampak..................................................................12
2.2.5.Obesitas..............................................................................13
2.2.5.1.Prevalensi...............................................................13
2.2.5.2.Faktor Risiko..........................................................13
2.2.5.1.Dampak..................................................................15
2.3.Gizi dan Kualitas Sumber Daya Manusia....................................15
2.4.Penanggulangan Masalah Gizi.....................................................18
BAB 3 KESIMPULAN.................................................................................22
Daftar Pustaka..............................................................................................23
1
BAB 1
LATAR BELAKANG
1.1 Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu dari 113 negara yang sedang berkembang,
yang masih mempunyai masalah umum seperti masalah kecukupan pangan,
masalah ketersediaan layanan kesehatan, masalah pendidikan, dan masalah
ketersediaan air bersih. Ditambah lagi, Indonesia masih belum terbebas dari
masalah ekonomi, masalah kepadaan penduduk dan masalah politik yang akan
berdampak pada status kesehatan dan usia harapan hidup penduduk. (Brown,
2008)
Kekurangan gizi pada umumnya terjadi pada balita karena pada umur
tersebut anak mengalami pertumbuhan yang pesat. Balita termasuk kelompok
yang rentan gizi di suatu kelompok masyarakat di mana masa itu merupakan masa
peralihan antara saat disapih dan mulai mengikuti pola makan orang dewasa
(Adisasmito, 2007). Demikian pula kondisi kelompok rentan ibu dan anak masih
mengalami berbagai masalah kesehatan dan gizi, yang ditandai dengan masih
tingginya angka kematian ibu dan angka kematian neonatal, prevalensi gizi
kurang (BB/U) dan pendek (TB/U) pada anak balita, prevalensi anemia gizi
kurang zat besi pada ibu hamil, gangguan akibat kurang yodium pada ibu hamil
dan bayi serta kurang vitamin A pada anak balita. Pada tahun 2007 prevalensi
anak balita yang mengalami gizi kurang dan pendek masing-masing 18,4 persen
dan 36,8 persen sehingga Indonesia termasuk di antara 36 negara di dunia yang
memberi 90 persen kontribusi masalah gizi dunia (UN-SC on Nutrition, 2008).
Walaupun pada tahun 2010 prevalensi gizi kurang dan pendek menurun menjadi
masing-masing 17,9 persen dan 35,6 persen, tetapi masih terjadi disparitas antar
provinsi yang perlu mendapat penanganan masalah yang sifatnya spesifik di
wilayah rawan (Balitbang, 2010)
Pemerintah terus berupaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
khususnya menangani masalah gizi balita karena hal itu berpengaruh terhadap
pencapaian salah satu tujuan Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun
2
2015 yaitu mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di bawah
lima tahun. Prevalensi kekurangan gizi pada anak balita menurun dari 25,8 %
pada Tahun 2004 menjadi 18,4 % pada Tahun 2007, sedangkan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014
menargetkan penurunan prevalensi kekurangan gizi (gizi kurang dan gizi buruk)
pada anak balita adalah <15,0% pada Tahun 2014 (Sarjunani, 2009).
1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan malalah ini adalah untuk meningkatkan pengertian
dan pemahaman tentang epidemiologi gizi di Indonesia serta sebagai salah satu
persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di
Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas
Sumatera Utara.
1.3. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara
umumnya agar dapat lebih mengetahui dan memahami lebih baik lagi mengenai
epidemiologi gizi di Indonesia.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Epidemiologi Gizi
Epidemiologi gizi adalah ilmu yang mempelajari sebaran, besar, dan
determinan masalah gizi dan penyakit yang berhubungan dengan masalah gizi,
serta penerapannya dalam kebijakan dan program pangan dan gizi untuk mencapai
kesehatan penduduk yang lebih baik (Siagian, 2010).
Epidemiologi dalam ilmu gizi bertujuan untuk menguraikan distribusi,
pola, dan luas penyakit pada populasi manusia, memahami mengapa penyakit
lebih sering terjadi pada sebagian kelompok atau orang, memberikan informasi
yang diperlukan untuk mengelola dan merencanakan pelayanan bagi pencegahan,
pengendalian, dan penanganan penyakit. (Gibney, 2008)
2.2. Masalah Gizi di Indonesia
2.2.1 Kurang Energi Protein (KEP)
2.2.1.1 Definisi
Kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan
rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari sehingga tidak
memenuhi angka kecukupan gizi (Pudjiani, 2000). Sedangkan menurut Depkes RI
(1999) Kurang Energi Protein (KEP) adalah masalah gizi kurang akibat konsumsi
pangan tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan
kesehatan. KEP sendiri lebih sering dijumpai pada anak prasekolah (Soekirman,
2000)
2.2.1.2. Klasifikasi
Penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat
beratnya KEP. Tingkat KEP I dan KEP II disebut tingkat KEP ringan dan sedang
dan KEP III disebut KEP berat. KEP berat ini terdiri dari marasmus, kwashiorkor
dan gabungan keduanya. Maksud utama penggolongan ini adalah untuk keperluan
perawatan dan pengobatan. Untuk menentukan klasifikasi diperlukan batasan-
4
batasan yang disebut dengan ambang batas. Batasan ini di setiap negara relatif
berbeda, hal ini tergantung dari kesepakatan para ahli gizi di negara tersebut,
berdasarkan hasil penelitian empiris dan keadaan klinis. Klasifikasi KEP menurut
Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI Tahun 1999 dapat diklasifikasikan
menjadi 3 kategori, yaitu KEP I(ringan), KEP II (sedang) dan KEP III (berat).
Baku rujukan yang digunakan adalah WHO-NCHS, dengan indeks berat badan
menurut umur. (Depkes RI, 1999)
Kategori Status BB/UKEP I KEP Ringan) Gizi Sedang 70% - 79,9% Median
BB/UKEP II (KEP Sedang)
Gizi Kurang 60-69,9% Median BB/U
KEP III (KEP Berat)
Gizi Buruk <60% Median BB/U
Tabel 1. Klasifikasi KEP (Depkes RI, 1999)2.2.1.3. Etiologi
Penyebab Langsung
Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi sangat erat kaitannya dengan status gizi yang rendah.
Hal ini dapat dijelaskan melalui meknaisme pertahanan tubuh yaitu pada balita
yang KEP terjadi kekurangan masukan energi dan protein ke dalam tubuh
sehingga kemampuan tubuh untuk membentuk protein baru berkurang. Hal ini
kemudian menyebabkan pembentukan kekebalan tubuh seluler terganggu,
sehingga tubuh menderita rawan serangan infeksi (Jellifee, 1989).
Konsumsi Energi Dan Protein
Konsumsi energi dan protein yang rendah secara otomatis akan
menyebabkan kekurangan energi protein baik ringan, sedang ataupun berat
(Jellifee, 1989).
5
Penyebab Tidak Langsung
Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi status gizi pada
anak maupun keluarga. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan
melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang memiliki pendidikan lebih
tinggi cenderung memilih bahan makanan yang lebih baik dalam kualitas maupun
kuantitas. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka kemungkinan anak berstatus
gizi baik semakin besar (Berg, 1986).
Pendapatan Orang Tua
Di negara berkembang, termasuk Indonesia masih banyak penduduk
yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan merupakan akar masalah
kesehatan dan gizi. Dikatakan bahwa rata-rata persen BB/U pada kelompok
ekonomi rendah selalu lebih rendah daripada kelompok ekonomi tinggi. Hal ini
karena pedapatan mereka tidak cukup untuk membeli makanan yang bergizi
(Budiningsari, 1999).
Jumlah Anggota Keluarga
Semakin tinggi pendapatan dan semakin rendah jumlah anggota keluarga
maka semakin baik pertumbuhan anaknya, dengan jumlah anggota keluarga yang
besar dan dibarengi dengan distribusi makanan yang tidak merata akan
menyebabkan balita dalam keluarga tersebut menderita KEP. Rumah tangga yang
mempunyai anggota keluarga besar beresiko mengalami kelaparan 4 kali lebih
besar dibandingkan dengan rumah tangga yang anggotanya kecil, dan beresiko
pula mengalami kurang gizi sebanyak 5 kali lebih besar dari keluarga yang
mempunyai jumlah anggota keluarga kecil (Berg, 1986).
2.2.1.4. Prevalensi
6
Menurut Riskesdas (2010), di Indonesia prevalensi balita gizi buruk
adalah 4,9% dan gizi kurang sebesar 13,0% atau secara nasional prevalensi balita
gizi buruk dan gizi kurang adalah sebesar 17,9%, keduanya menunjukkan bahwa
baik target Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk pencapaian program
perbaikan gizi 20%, maupun target Millenium Development Goals pada 2015
18,5% telah tercapai. Namun masih terjadi disparitas antar provinsi yang perlu
mendapat penanganan masalah yang sifatnya spesifik di wilayah rawan
(Riskesdas, 2010). Sedangkan menurut hasil Riskesdas 2013, jumlah balita gizi
buruk dan kurang masih sebesar 19,6% (bandingkan dengan target RJPMN
sebesar 15% pada tahun 2014) dan terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010.
(PUSDATIN, 2015)
Gambar 1. Presentase gizi buruk dan gizi kurang menurut BB/U
di Indonesia (PUSDATIN, 2015)
2.2.2 Anemia Gizi
2.2.2.1 Prevalensi
Anemia gizi pada umumnya dijumpai pada golongan rawan gizi yaitu
ibu hamil, ibu menyusui, anak balita, anak sekolah, anak pekerja atau buruh yang
berpenghasilan rendah. Berdasarkan hasil–hasil penelitian terpisah yang dilakukan
dibeberapa tempat di Indonesia pada tahun 1980-an, prevalensi anemia pada
wanita hamil 50-70%, anak balita 30-40%, anak sekolah 25-35% dan pekerja fisik
berpenghasilan rendah 30-40% (Wahyuni, 2004).
7
Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), prevalensi anemia
gizi besi mengalami penurunan dari 50,9% pada tahun 1995 menjadi 40% pada
tahun 2001. Begitupun pada wanita usia 14-44 tahun mengalami penurunan dari
39,5% pada tahun 1995 menjadi 27,9% pada tahun 2001. Akan tetapi, untuk anak
dibawah usia lima tahun angka anemia gizi besi meningkat dari 40,0% pada tahun
1995 menjadi 48,1% pada tahun 2001. (Soekirman, 2003)
2.2.2.2 Etiologi
Penyebab anemia gizi antara lain: (Wahyuni, 2004)
a. Pengadaan zat besi yang tidak cukup
1) Cadangan zat besi pada waktu lahir tidak cukup.
a) Berat lahir rendah, lahir kurang bulan, lahir kembar
b) Ibu waktu mengandung menderita anemia kekurangan zat besi yang berat
c) Pada masa fetus kehilangan darah pada saat atau sebelum persalinan
seperti adanya sirkulasi fetus ibu dan perdarahan retroplasesta
2) Asupan zat besi kurang cukup
b. Absorbsi kurang
1) Diare menahun
2) Sindrom malabsorbsi
3) Kelainan saluran pencernaan
c. Kebutuhan akan zat besi meningkat untuk pertumbuhan, terutama pada lahir
kurang bulan dan pada saat akil balik.
d. Kehilangan darah
1) Perdarahan yang bersifat akut maupun menahun, misalnya pada poliposis
rektum, divertkel Meckel
2) Infestasi parasit, misalnya cacing tambang.
e. Faktor budaya juga berperanan penting, bapak mendapat prioritas pertama
mengkonsumsi bahan makanan hewani, sedangkan anak dan ibu mendapat
kesempatan yang belakangan.
2.2.2.3 Dampak
8
Dampak yang ditimbulkan akibat anemia gizi besi sangat kompleks.
Anemia Gizi Besi berdampak pada menurunnya kemampuan motorik anak,
menurunnya skor IQ, menurunnya kemampuan kognitif, menurunnya kemampuan
mental anak, menurunnya produktivitas kerja pada orang dewasa, yang akhirnya
berdampak pada keadaan ekonomi, dan pada wanita hamil akan menyebabkan
buruknya persalinan, berat bayi lahir rendah, bayi lahir premature, serta dampak
negatif lainnya seperti komplikasi kehamilan dan kelahiran. Akibat lainnya dari
anemia gizi besi adalah gangguan pertumbuhan, gangguan imunitas serta rentan
terhadap pengaruh racun dari logam-logam berat. (Ross, 1998)
Besi juga memegang peranan dalam sistem kekebalan tubuh. Respon
kekebalan sel oleh limfosit-T terganggu karena berkurangnya pembentukan sel-sel
tersebut, yang kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya sintesis DNA.
Berkurangnya sintesis DNA ini disebabkan oleh gangguan enzim reduktase
ribonukleotide yang membutuhkan besi untuk dapat berfungsi. Disamping itu, sel
darah putih yang menghancurkan bakteri tidak dapat bekerja secara efektif dalam
keadaan tubuh kekurangan besi. Enzim lain yang berperan dalam sistem
kekebalan tubuh yaitu mieloperoksidase juga akan terganggu fungsinya akibat
defisiensi besi (Soekirman, 2000)
Dilihat dari dampak fisik, anemia gizi besi dapat menyebabkan rasa
cepat lelah. Rasa cepat lelah terjadi karena pada penderita anemia gizi besi
pengolahan (metabolisme) energi oleh otot tidak berjalan sempurna karena otot
kekurangan oksigen, dimana oksigen yang dibutuhkan oleh sel-sel otot ini
diangkut oleh zat besi dalam darah (hemoglobin). Untuk menyesuaikan dengan
berkurangnya jatah oksigen, maka otot membatasi produksi energi. Akibatnya,
mereka yang menderita anemia gizi besi akan cepat lelah bila bekerja karena cepat
kehabisan energi. Cepatnya rasa lelah yang dialami oleh para pekerja yang
menderita anemia gizi besi akan menurunkan produktivitas kerja (Soekirman,
2000).
Selain menurunkan produktivitas kerja yang umumnya terjadi pada
penderita usia dewasa, anemia gizi besi juga mengakibatkan dampak negatif
terhadap anak usia sekolah. Anak usia sekolah yang menderita anemia gizi besi
9
akan mengalami penurunan kemampuan kognitif, penurunan kemampuan belajar,
dan pada akhirnya akan menurunkan prestasi belajar (Soekirman, 2000).
2.2.3 Kekurangan Vitamin A (KVA)
2.2.3.1 Definisi
Kekurangan vitamin A adalah suatu keadaan di mana simpanan vitamin
A dalam tubuh berkurang. Pada tahap awal ditandai dengan gejala rabun senja,
atau kurang dapat melihat pada malam hari. Nama penyakit tersebut adalah
hemeralopia (rabun senja/ rabun ayam). Gejala tersebut juga ditandai dengan
menurunnya kadar serum retinol dalam darah (kurang dari 20 μg/dl). Pada tahap
selanjutnya terjadi kelainan jaringan epitel dari organ tubuh seperti paru-paru,
usus, kulit dan mata. Gambaran yang khas dari kekurangan vitamin A dapat
langsung terlihat pada mata (Depkes RI, 2005).
Penyakit mata lain yang dapat terjadi bila kekurangan vitamin A adalah
seroftalmia (xeropthalmia). Seroftalmia adalah adalah keadaan bila orang
mengalami kekurangan vitamin A, mula-mula konjungtiva mata mengalami
keratinisasi kemudian korneanya juga terpengaruh. Bila tidak diobati, mata akan
menjadi buta.
2.2.3.2 Prevalensi
Survei Nasional Xeropthalmia 1978 menemukan prevalensi X1b (bitot
spot). pada anak balita 1,34%, dan pada tahun 1992 turun menjadi 0,35%. Angka
tersebut masih di bawah kriteria yang ditetapkan WHO sebagai masalah kesehatan
masyarakat (0,5%). (WHO, 2005)
Hasil Studi Masalah Gizi Mikro di 10 propinsi yang dilakukan
Puslitbang Gizi dan Makanan Departemen Kesehatan RI pada Tahun 2006
memperlihatkan balita dengan Serum Retinol kurang dari 20μg/dl adalah sebesar
14,6%. Hasil studi tersebut menggambarkan terjadinya penurunan bila
dibandingkan dengan Survei Vitamin A Tahun 1992 yang menunjukkan 50%
balita mempunyai serum retinol kurang dari 20 μg/dl.
10
2.2.3.3 Etiologi
Penyebab kekurangan antara lain: (Depkes, 2005)
- Konsumsi vitamin A dalam makanan sehari-hari tidak mencukupi
kebutuhan tubuh dalam jangka waktu lama (keadaan sosial ekonomi,
ketidaktahuan, kekurangan ASI)
- Proses penyerapan makanan dalam tubuh terganggu karena infestasi
cacing, diare, rendahnya konsumsi lemak, protein dan seng.
- Adanya penyakit ISPA, campak , dan diare
2.2.4 Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)
2.2.4.1 Definisi
Gangguan akibat kekurangan yodium adalah rangkaian efek kekurangan
yodium pada tumbuh kembang manusia. Spektrum seluruhnya terdiri dari gondok
dalam berbagai stadium, kretin endemik yang ditandai terutama oleh gangguan
mental, gangguan pendengaran, gangguan pertumbuhan pada anak dan orang
dewasa. (Supariasa, 2002).
2.2.4.2 Prevalensi
Survei prevalensi dan pemetaan GAKY pada awal pelaksanaan Proyek
IP-GAKY (1997/1998) menunjukkan bahwa secara nasional angka rata-rata Total
Goiter Rate (TGR) – atau lebih dikenal sebagai angka gondok total adalah 9,8%
dan proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi garam beryodium dengan kadar
cukup hanya 62,1%. Hasil survei tahun 2003 menunjukkan bahwa prevalensi
TGR ini masih cukup besar yaitu sekitar 11,1%, namun konsumsi garam
beryodium telah mengalami peningkatan menjadi 73,26% (Bappenas RI, 2004).
Untuk mengetahui masalah kurang yodium, pemantauan besaran
masalah dilakukan berdasarkan survei nasional. Pada tahun 1980, prevalensi
(GAKY) pada anak usia sekolah adalah 27,7%, prevalensi ini menurun menjadi
11
9,8% pada tahun 1998. Walaupun terjadi perubahan yang berarti, GAKY masih
dianggap masalah kesehatan masyarakat, karena secara umum prevalensi masih di
atas 5%. Prevalensi tersebut bervariasi antar kecamatan dan masih dijumpai
kecamatan dengan prevalensi GAKY di atas 30% (daerah endemik berat)
(Bappenas RI, 2004).
Dilaporkan dalam hasil survai pemetaan gondok 1998 yang telah
dipublikasikan WHO tahun 2000, bahwa 18,8% penduduk hidup di daerah
endemik ringan, 4,2% penduduk hidup di daerah endemik sedang, dan 4,5%
penduduk hidup di daerah endemik berat. Diperkirakan pula sekitar 18,2 juta
penduduk hidup di wilayah endemik sedang dan berat; dan 39,2 juta penduduk
hidup di wilayah endemik ringan (Bappenas RI, 2004).
Menurut jumlah kabupaten di Indonesia, maka diklasifikasikan 40,2%
kabupaten termasuk endemik ringan, 13,5% kabupaten endemik sedang, dan 5,1%
kabupaten endemik berat. Tahun 2003 dilakukan lagi survei nasional, yang
dibiayai melalui Proyek IP-GAKY, untuk mengetahui dampak dari intervensi
program penanggulangan GAKY. Dari hasil survei ini diketahui secara umum
bahwa TGR (Total Goiter Rate) pada anak sekolah masih berkisar 11,1%. Survei
nasional evaluasi IP-GAKY ini menunjukkan bahwa 35,8% kabupaten adalah
endemik ringan, 13,1% kabupaten endemik sedang, dan 8,2% kabupaten endemik
berat (Bappenas RI, 2004).
12
Gambar 2. Total Goiter Rate (TGR) pada Anak Sekolah di Indonesia
Tahun 2003 (Bappenas RI, 2004)
2.2.4.3 Etiologi
Kekurangan yodium merupakan penyebab utama gondok endemik dan
terdapat di daerah-daerah dimana tanahnya tidak mengandung banyak yodium,
hingga produk yang dihasilkannya juga miskin akan yodium. Kekurangan yodium
menyebabkan hiperplasia tiroid sebagai adaptasi terhadap kekurangan tersebut.
Zat goitrogen seperti yang ditemukan pada kubis dapat menyebabkan pembesaran
kelenjar gondok, begitu pula dengan beberapa bahan makanan lain misalnya
kacang tanah, kacang kedele, singkong, bawang merah, bawang putih (Pudjiadi,
2002).
Flour dan kalsium menghambat penggunaan yodium oleh tiroid hingga
merupakan goitrogen juga. Air minum yang kotor diduga terdapat zat goitrogen
yang dapat dihilangkan jika dimasak. Faktor keturunan dapat mengurangi
kapasitas fungsi tiroid atau gangguan pada reabsorbsi iodium oleh tubulus ginjal
(Pudjiadi, 2002).
2.2.4.4 Dampak
13
Pada kekurangan yodium, konsentrasi hormon tiroid menurun dan
hormon perangsang tiroid / TSH (Thyroid Stimulating Hormone) meningkat agar
kelenjar tiroid mampu menyerap lebih banyak yodium bila kekurangan berlanjut
sehingga sel kelenjar tiroid membesar dalam usaha meningkatkan pengambilan
yodium oleh kelenjar tersebut. Bila pembesaran ini menampak dinamakan gondok
sederhana, bila terdapat secara meluas di suatu daerah dinamakan gondok
endemik. Gondok dapat menampakkan dari dalam bentuk gejala yang sangat luas,
yaitu dalam bentuk kretinisme (cebol) di satu sisi dan pembesaran kelenjar tiroid
pada sisi lain. Gejala kekurangan yodium adalah malas dan lamban, kelenjar tiroid
membesar, pada ibu hamil dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan
janin, dan dalam keadaan berat bayi lahir dalam keadaan cacat mental yang
permanen serta hambatan pertumbuhan yang dikenal sebagai kretinisme. Seorang
anak yang menderita kretinisme mempunyai bentuk tubuh abnormal dan IQ
sekitar 20. Kekurangan yodium pada anak-anak menyebabkan kemampuan belajar
yang rendah (Almatsier, 2002).
2.2.5 Obesitas
2.2.5.1 Prevalensi
Prevalensi obesitas menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013
didapati meningkat jika dibandingkan dengan Riskesdas 2010. Angka obesitas
pria pada 2010 sekitar 15 persen dan meningkat menjadi 20 persen pada tahun
2013. Sedangkan pada wanita persentasenya dari 26 persen meningkat menjadi 35
persen pada tahun 2013.
Hasil penelitian survei Indeks Massa Tubuh (IMT) di 12 Kota di
Indonesia tahun 1995 mendapatkan prevalensi gizi lebih sebesar 10,3% dan
prevalensi obesitas sebesar 12,2% Prevalensi gizi lebih ini mengalami
peningkatan pada tahun 1999 sebesar 14% dan tahun 2000 sebesar 17,4%
(Kodyat, 1996; Depkes RI, 2003).
Di Indonesia, angka kejadian obesitas di beberapa SD khususnya di
Jakarta menunjukkan angka antara 10-30%. Menurut Survei Kesehatan Nasional
pada tahun 1989 sebanyak 0,77% anak mengalami obesitas. Pada tahun 1992
meningkat menjadi 1,26% dan 4, 58% pada tahun 1999 (Depkes RI, 2003).
14
2.2.5.2. Faktor Risiko
Genetik
Menurut penelitian , anak-anak dari orang tua yang mempunyai berat
badan normal ternyata mempunyai 10 % resiko kegemukan. Bila salah satu orang
tuanya menderita kegemukan , maka peluang itu meningkat menjadi 40 – 50 %.
Dan bila kedua orang tuanya menderita kegemukan maka peluang factor
keturunan menjadi 70–80% (Purwati, 2001).
Hormonal
Pada wanita yang telah mengalami menopause, fungsi hormone tiroid
didalam tubuhnya akan menurun. Oleh karena itu kemampuan untuk
menggunakan energi akan berkurang. Terlebih lagi pada usia ini juga terjadi
penurunan metabolisme basal tubuh, sehingga mempunyai kecenderungan untuk
meningkat berat badannya (Wirakusumah, 1997).
Obat-obatan
Saat ini sudah terdapat beberapa obat yang dapat merangsang pusat lapar
didalam tubuh. Dengan demikian orang yang mengkonsumsi obat-obatan tersebut,
nafsu makannya akan meningkat, apalagi jika dikonsumsi dalam waktu yang
relative lama, seperti dalam keadaan penyembuhan suatu penyakit, maka hal ini
akan memicu terjadinya kegemukan (Purwati, 2001).
Asupan Makan
Asupan makanan adalah banyaknya makanan yang dikonsumsi
seseorang. Asupan Energi yang berlebih secara kronis akan menimbulkan
kenaikan berat badan, berat badan lebih (over weight), dan obesitas. Makanan
dengan kepadatan Energi yang tinggi (banyak mengandung lemak dan gula yang
ditambahkan dan kurang mengandung serat) turut menyebabkan sebagian besar
keseimbangan energi yang positip ini (Gibney, 2009)
Perlu diyakini bahwa obesitas hanya mungkin terjadi jika terdapat
kelebihan makanan dalam tubuh, terutama bahan makanan sumber energi. Dan
15
kelebihan makanan itu sering tidak disadari oleh penderita obesitas (Moehyi,
1997). Ada tiga hal yang mempengaruhi asupan makan, yaitu kebiasaan makan,
pengetahuan, dan ketersediaan makanan dalam keluarga. (Soekirman,2000)
Aktifitas Fisik
Obesitas juga dapat terjadi bukan hanya karena makan yang berlebihan,
tetapi juga dikarenakan aktivitas fisik yang berkurang sehingga terjadi kelebihan
energi. Beberapa hal yang mempengaruhi berkurangnya aktivitas fisik antara lain
adanya berbagai fasilitas yang memberikan berbagai kemudahan yang
menyebabkan aktivitas fisik menurun. Faktor lainnya adalah adanya kemajuan
teknologi diberbagai bidang kehidupan yang mendorong masyarakat untuk
menempuh kehidupan yang tidak memerlukan kerja fisik yang berat. Hal ini
menjadikan jumlah penduduk yang melakukan pekerjaan fisik sangat terbatas
menjadi semakin banyak, sehingga obesitas menjadi lebih merupakan masalah
kesehatan (Soekirman, 2000).
2.2.5.3. Dampak
Kelebihan penimbunan lemak diatas 20% berat badan ideal, akan
menimbulkan permasalahan kesehatan hingga terjadi gangguan fungsi organ
tubuh . Orang dengan obesitas akan lebih mudah terserang penyakit-penyakit
antara lain: (Misnadierly, 2007)
- Hipertensi
- Penyakit jantung koroner
- Diabetes melitus
- Batu empedu
- Kanker
2.3. Gizi dan Kualitas Sumber Daya Manusia
Pembangunan suatu bangsa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
setiap warga negara. Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan bangsa sangat
tergantung pada kemampuan dan kualitas sumberdaya manusianya. Ukuran
kualitas sumberdaya manusia dapat dilihat pada Indeks Pembangunan Manusia
16
(IPM), sedangkan ukuran kesejahteraan masyarakat antara lain dapat dilihat pada
tingkat kemiskinan dan status gizi masyarakat. IPM merupakan indeks komposit
yang terdiri dari umur harapan hidup, tingkat melek huruf dan pendapatan
perkapita. Pada tahun 2003, IPM Indonesia sangat rendah, berada di peringkat 112
dari 174 negara, lebih rendah dibanding negara tetangga. Rendahnya IPM di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan kesehatan penduduk.
Hal ini terlihat dengan masih tingginya angka kematian bayi, angka kematian
balita serta angka kematian ibu (Depkes RI, 2005).
Gizi untuk Pertumbuhan dan Kecerdasan
Konsumsi makanan yang beragam, bergizi seimbang dan aman dapat
memenuhi kecukupan gizi individu untuk tumbuh dan berkembang. Gizi pada ibu
hamil sangat berpengaruh pada perkembangan otak janin, sejak dari minggu ke
empat pembuahan sampai lahir dan sampai anak berusia 2 tahun. Sejumlah
penelitian telah menunjukkan peran penting zat gizi tidak saja pada pertumbuhan
fisik tubuh tetapi juga dalam pertumbuhan otak, perkembangan perilaku, motorik,
dan kecerdasan (Jalal, 2009).
Data riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan pada tahun2007
dan 2010 secara konsisten menunjukkan bahwa rata-rata asupan kalori dan protein
anak balita masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG). Akibat dari keadaan
tersebut, anak balita perempuan dan anak balita laki-laki Indonesia mempunyai
rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek daripada
standar rujukan WHO 2005, bahkan pada kelompok usia 5- 19 tahun kondisi ini
lebih buruk karena anak perempuan pada kelompok ini tingginya 13,6 cm di
bawah standar dan anak laki-laki 10,4 cm di bawah standar WHO. Kelompok ibu
pendek juga terbukti melahirkan 46,7 persen bayi pendek. Karena itu jelas
masalah gizi intergenerasi ini harus mendapat perhatian serius karena telah
terbukti akan mempengaruhi kualitas bangsa. Anak yang memiliki status gizi
kurang atau buruk (underweight) berdasarkan pengukuran berat badan terhadap
umur (BB/U) dan pendek atau sangat pendek (stunting) berdasarkan pengukuran
tinggi badan terhadap umur (TB/U) yang sangat rendah dibanding standar WHO
17
mempunyai resiko kehilangan tingkat kecerdasan atau intelligence quotient (IQ)
sebesar 10-15 poin. (Depkes RI, 2005)
Kekurangan yodium pada saat janin yang berlanjut dengan gagal dalam
pertumbuhan anak sampai usia dua tahun dapat berdampak buruk pada kecerdasan
secara permanen. Anemia kurang zat besi pada ibu hamil dapat meningkatkan
resiko bayi yang dilahirkan menderita kurang zat besi, dan berdampak buruk pada
pertumbuhan sel-sel otak anak, sehingga secara konsisten dapat mengurangi
kecerdasan anak. Di Indonesia, telah lama dibuktikan bahwa kejadian anemia
pada anak berhubungan dengan berkurangnya prestasi kognitif sehingga berakibat
rendahnya pencapaian tingkat pendidikan pada anak sekolah. Bayi dengan berat
badan lahir rendah (BBLR) disertai dengan anemia, selain dapat mengakibatkan
gangguan pertumbuhan fisik dan mental anak, juga dapat mengakibatkan
penurunan kecerdasan sampai 12 poin. Selain itu BBLR meningkatkan resiko
pada usia dewasa menderita diabetes mellitus, penyakit jantung dan pembuluh
darah, kegemukan (obesity), kanker, dan stroke (James, 2000; Depkes RI, 2005).
Gizi untuk Kesehatan dan Produktivitas
Faktor makanan dan penyakit infeksi, sebagai penyebab langsung
masalah gizi, keduanya saling berkaitan. Anak balita yang tidak mendapat cukup
makanan bergizi seimbang memiliki daya tahan yang rendah terhadap penyakit
sehingga mudah terserang infeksi. Sebaliknya penyakit infeksi seperti diare dan
infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dapat mengakibatkan asupan gizi tidak
dapat diserap tubuh dengan baik sehingga berakibat gizi buruk. BBLR akibat
kurang energi kronik (KEK) pada ibu hamil, dapat meningkatkan angka kematian
bayi dan anak balita. Anemia kurang zat besi pada ibu hamil dapat meningkatkan
resiko kematian waktu melahirkan dan melahirkan bayi yang juga menderita
anemia. Anemia pada kelompok penduduk dewasa ternyata juga mengurangi
produktivitas kerjanya. Hal ini akan berakibat serius mengingat pada saat yang
sama, penderita anemia pada usia produktif yang berjumlah hampir 52 juta jiwa
akan menurunkan produktivitas kerja 20-30 persen. Kurang vitamin A (KVA)
pada bayi dan anak balita dapat menurunkan daya tahan tubuh, meningkatkan
18
resiko kebutaan, dan meningkatkan resiko kesakitan dan kematian akibat infeksi.
(Tarwotjo, 1989; Depkes RI, 2005).
Gizi sebagai Penentu Daya Saing Bangsa
The Global Competitiveness Report 2010-2011 yang dikeluarkan World
Economic Forum pada September 2010 menyebutkan, peringkat daya saing
Indonesia meningkat dengan sangat bermakna. Sementara pada 2009 daya saing
Indonesia menduduki peringkat ke- 54 dari 144 negara dan tahun 2010 peringkat
Indonesia naik 10 tingkat di posisi ke-44 dengan nilai 4,43 (Depkes RI, 2005)
Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pangan dalam rumah tangga
terutama pada ibu hamil dan anak balita akan berakibat pada kekurangan gizi
yang berdampak pada lahirnya generasi muda yang tidak berkualitas. Apabila
masalah ini tidak diatasi maka dalam jangka menengah dan panjang akan terjadi
kehilangan generasi (generation lost) yang dapat mengganggu kelangsungan
berbagai kepentingan bangsa dan negara. Investasi gizi berperan penting untuk
memutuskan lingkaran setan kemiskinan dan kurang gizi sebagai upaya
peningkatan kualitas SDM (Depkes RI, 2005).
2.4. Penanggulangan Masalah Gizi
Revitalisasi Posyandu
Revitalisasi Posyandu bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan kinerja
Posyandu terutama dalam pemantauan pertumbuhan balita (Depkes RI, 2005).
Pokok kegiatan revitalisasi Posyandu meliputi:
1. Pelatihan/orientasi petugas Puskesmas, petugas sektor lain dan kader
yang berasal dari masyarakat
2. Pelatihan ulang petugas dan kader
3. Pembinaan dan pendampingan kader
4. Penyediaan sarana terutama dacin, KMS/Buku KIA, panduan Posyandu,
media KIE, sarana pencatatan
5. Penyediaan biaya operasional
19
6. Penyediaan modal usaha kader melalui Usaha Kecil Menengah (UKM)
dan mendorong partisipasi swasta (Depkes RI, 2005)
Revitalisasi Puskesmas
Revitalisasi Puskesmas bertujuan meningkatkan fungsi dan kinerja
Puskesmas terutama dalam pengelolaan kegiatan gizi di Puskesmas, baik
penyelenggaraan upaya kesehatan perorangan maupun upaya kesehatan
masyarakat (Depkes RI, 2005).
Pokok kegiatan revitalisasi Puskesmas meliputi:
1. Pelatihan manajemen program gizi di puskesmas bagi pimpinan dan
bertugas puskesmas dan jaringannya
2. Penyediaan biaya operasional Puskesmas untuk pembinaan posyandu,
pelacakan kasus, kerjasama LS tingkat kecamatan, dan lain-lain
3. Pemenuhan sarana antropometri dan KIE bagi puskesmas dan jaringannya
4. Pelatihan tatalaksana gizi buruk bagi petugas rumah sakit dan puskesmas
perawatan (Depkes RI, 2005).
Intervensi Gizi dan Kesehatan
Intervensi gizi dan kesehatan bertujuan memberikan pelayanan langsung
kepada balita. Ada dua bentuk pelayanan gizi dan kesehatan, yaitu pelayanan
perorangan dalam rangka menyembuhkan dan memulihkan anak dari kondisi gizi
buruk, dan pelayanan masyarakat yaitu dalam rangka mencegah timbulnya gizi
buruk di masyarakat. Pokok kegiatan intervensi gizi dan kesehatan adalah sebagai
berikut: (Depkes RI, 2005)
1. Perawatan/pengobatan gratis di Rumah Sakit dan Puskesmas balita gizi
buruk dari keluarga miskin
2. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berupa MP-ASI bagi anak 6- 23
bulan dan PMT pemulihan pada anak 24-59 bulan kepada balita gizi
kurang dari keluarga miskin
20
3. Pemberian suplementasi gizi (kapsul vitamin A, tablet/sirup Fe)
Promosi Keluarga Sadar Gizi
Promosi keluarga sadar gizi bertujuan dipraktikannya norma keluarga
sadar gizi bagi seluruh keluarga di Indonesia, untuk mencegah terjadinya masalah
kurang gizi, khususnya gizi buruk. Kegiatan promosi keluarga sadar gizi
dilakukan dengan memperhatikan aspek-aspek sosial budaya (lokal spesifik).
Pokok kegiatan promosi keluarga sadar gizi meliputi:
1. Menyusun strategi (pedoman) promosi keluarga sadar gizi
2. Mengembangkan, menyediakan dan menyebarluaskan materi promosi
pada masyarakat, organisasi kemasyarakatan, institusi pendidikan, tempat
kerja, dan tempat-tempat umum
3. Melakukan kampanye secara bertahap, tematik menggunakan media
efektif terpilih
4. Menyelenggarakan diskusi kelompok terarah melalui dasawisma dengan
dukungan petugas (Depkes RI, 2005).
Pemberdayaan Keluarga
Pemberdayaan keluarga bertujuan meningkatkan kemampuan keluarga
untuk mengetahui potensi ekonomi keluarga dan mengembangkannya untuk
memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggota keluarga. Keluarga miskin yang
anaknya menderita kekurangan gizi perlu diprioritaskan sebagai sasaran
penanggulangan kemiskinan. Pokok kegiatan pemberdayaan keluarga adalah
sebagai berikut:
1. Pemberdayaan di bidang ekonomi;
a. Modal usaha, industri kecil
b. Upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga (UPPK)
c. Peningkatan Pendapatan Petani Kecil
2. Pemberdayaan di bidang pendidikan
a. Bea siswa
b. Kelompok belajar
c. Pendidikan anak dini usia
21
3. Pemberdayaan di bidang kesehatan
a. Penyelenggaraan pos gizi (Pos Pemulihan Gizi berbasis masyarakat)
b. Kader keluarga
c. Penyediaan percontohan sarana air minum dan jamban keluarga.
4. Pemberdayaan di bidang ketahanan pangan
a. Pemanfaatan pekarangan dan lahan tidur
b. Lumbung pangan
c. Padat karya untuk pangan
d. Beras untuk keluarga miskin (Depkes RI, 2005).
Advokasi dan Pendampingan
Ada 2 tujuan dari kegiatan advokasi dan pendampingan.
Pertama,meningkatkan komitmen para penentu kebijakan, termasuk legislatif,
tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuka adat dan media massa agar peduli dan
bertindak nyata di lingkungannya untuk memperbaiki status gizi anak. Kedua,
meningkatkan kemampuan teknis petugas dalam pengelolaan program Gizi.
Pokok kegiatan advokasi dan pendampingan adalah sebagai berikut:
1. Diskusi dan rapat kerja dengan DPR, DPD, dan DPRD secara berkala
2. Melakukan pendampingan di kabupaten (Depkes RI, 2005).
Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)
Revitalisasi SKPG bertujuan meningkatkan kemampuan masyarakat dan
pemerintah daerah melakukan pemantauan yang terus menerus terhadap situasi
pangan dan keadaan gizi masyarakat setempat, untuk dapat melakukan tindakan
dengan cepat dan tepat untuk mencegah timbulnya bahaya kelaparan dan kurang
gizi, khususnya gizi buruk pada tingkat desa, kecamatan dan kabupaten.
Memfungsikan sistem isyarat dini dan intervensi, serta pencegahan KLB dengan:
1. Memfungsikan sistem isyarat dini dan intervensi, serta pencegahan KLB
dengan memfungsikan sistem pelaporan, diseminasi informasi dan
pemanfaatannya
22
2. Penyediaan data gizi secara reguler (pemantauan status gizi, untuk semua
kelompok umur, pemantauan konsumsi gizi, analisis data Susenas)
(Depkes RI, 2005).
BAB 3
KESIMPULAN
Masalah gizi utama di Indonesia antara lain kekurangan energi protein,
anemia gizi, kekurangan vitamin A, gangguan akibat kekurangan yodium, dan
obesitas. Prevalensi masing-masing masalah tersebut masih didapatkan cukup
tinggi di Indonesia.
Terjadinya gizi buruk di Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor yang
saling terkait. Secara langsung dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu; anak tidak cukup
mendapat makanan bergizi seimbang, anak tidak mendapat asuhan gizi yang
memadai dan anak mungkin menderita penyakit infeksi.
Gizi mempunyai dimensi yang sangat luas, baik dari konsekuensinya
terhadap penurunan kualitas sumber daya manusia maupun faktor penyebab.
Masalah gizi dapat mempengaruhi baik dari pertumbuhan dan kecerdasan,
kesehatan dan produktivitas, maupun penentu daya saing bangsa.
23
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menanggulangi masalah gizi
yang terjadi di Indonesia, antara lain revitalisasi Posyandu, revitalisasi
Puskesmas,intervensi gizi dan kesehatan, promosi keluarga sadar gizi,
pemberdayaan keluarga, advokasi dan pendampingan, serta revitalisasi sistem
kewaspadaan pangan dan gizi.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmito, W., 2007. Sistem Kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Almatsier, S., 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2010. Riset Kesehatan Dasar.
Kementerian Kesehatan Republil Indonesia
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (BAPPENAS
RI), 2004.. Rencana Aksi Nasional Kesinambungan Program
Penanggulangan GAKY
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (BAPPENAS
RI), 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015.
Berg, A., 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan. Jakarta: Penerbit Rajawali.
Brown, J.E., 2008. Nutrition now. 5th ed. California: Thomson Wadsworth
24
Budiningsari, 1999. Konsumsi Pangan Keluarga dan Status Gizi Anak pada Balita
pada saat krisis Ekonomi (Kasus di Desa Balumbang Jaya, Kecamatan
Bogor Barat, Kotamadya Bogor). Institut Pertanian Bogor.
Departemen Kesehatan RI, 1999. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju
Indonesia Sehat 2010. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI, 2003. Petunjuk Teknis Pemantauan Status Gizi Orang
Dewasa dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Jakarta.
Departemen Kesehatan RI, 2005. Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan
Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009.
Departemen Kesehatan RI, 2005. Widyakarya Nasional Pangan dan gizi VIII
Tahun 2004.
Gibney, J.M., Margetts, B.M., Kerney J.M., Arab L., 2008. Gizi Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: EGC
Jellife, D.B. & Jellife, D.E.F., 1989. Community Nutritional Assesment. New
York: Oxford University
Kodyat et al, 1996. Survei Indeks Massa Tubuh (IMT) di 12 Kotamadya,
Indonesia, Gizi Indonesia, 21: 52-61.
Pudjiadi. S., 2000. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Edisi Keempat FKUI. Jakarta.
Purwati, S., 2001. Perencanaan Menu Untuk Penderita Kegemukan. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI., 2015 Situasi dan Analisis
Gizi. InfoDATIN.
Ross, J. & Horton, S., 1998. Economic Consequences of Iron Deficiency. Ottawa:
Micronutrien Initiative.
Sarjunani, N., 2009. Rancangan RPJMN 2010-2014 Kesehatan: Proses
Penyusunan & Materi Kebijakan. Available at:
http://www.litbang.depkes.go.id [Accessed 4 November 2014]
Siagian A., 2010. Epidemiologi Gizi. Jakarta: EGC
Soekirman, 2000. Besar dan karakteristik masalah gizi Di Indonesia. Jakarta :
Akademi Gizi.
25
Soekirman et al, 2003. Situational Analysis of Nutrition Problems in Indonesia :
Its Policy, Programs and Prospective Development. Directorate of Comunity
Nutrition, The Ministry of Health, World Bank.
Supariasa, Nyoman I.D., Bakri B., Fajar I., 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta:
EGC
United Nations System Standing Committe on Nutrition., 2008. Accelerating the
Reduction of Maternal and Child. SCN News: 36
Wahyuni, A.S., 2004. Anemia Defisiensi Besi pada Balita. Universitas Sumatera
Utara.
Wirakusumah, Emma S., 1997. Cara Aman Dan Efektif Menurunkan Berat
Badan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
World Health Organization, 2009. Global prevalence of vitamin A deficiency in
population at risk 1995-2005. WHO Global Database on Vitamin A
deficiency.