makalah job stress - newest
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Dunia perindustrian di masa globalisasi ini sedang mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Hal ini dapat terlihat dari meningkatnya jumlah industri-industri di
Indonesia, baik industri kecil, menengah, maupun industri besar. Perkembangan ini
meliputi semua jenis industri, seperti industri makanan, minuman, tekstil, pakaian
jadi dan kulit, industri kayu, industri bahan galian bukan logam, industri logam,
bahkan sampa industri jasa seperti properti, perbankan, asuransi dan sebagainya.
(http://www.indonesia.go.id/id/index.php?
option=com_content&task=view&id=3413&Itemid=1510)
Perkembangan dunia industri ini membawa banyak dampak, baik positif
maupun negatif. Salah satu dampak positif yang muncul dari berkembangnya industri
di Indonesia adalah bertambahnya lapangan pekerjaan yang dapat menampung para
pengangguran yang saat ini sedang menjamur di negara kita. Selain itu,
perkembangan ini juga membawa hawa positif bagi perekonomian Indonesia. Sektor
industri memegang peranan yang menentukan dalam perkembangan perekonomian.
Perekonomian di Indonesia tidak akan berkembang tanpa dukungan dari peningkatan
perindustrian sebagai salah satu sektor perekonomian yang sangat dominan di jaman
sekarang ini. (http://jelita249.blogspot.com/2009/08/dampak-perkembangan-industri-
terhadap.html)
Tidak hanya memberikan dampak positif, ternyata perkembangan industri ini
juga membawa dampak negatif. Dampak dari perkembangan industri ini yang paling
dirasakan oleh para pekerja adalah stress kerja. Dampak ini harus sangat diperhatikan
karena dapat mempengaruhi kinerja pegawai tersebut, dan akan memberikan
pengaruh kepada produktivitas industri tersebut.
Secara umum, stress didefinisikan sebagai suatu keadaan yang bersifat internal
yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial,
yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol. Selain itu, stress juga didefinisikan
sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat
ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan
subyek (Cooper, 1994). (http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/stres-kerja.html)
Sedangkan, stres dalam dunia kerja, atau yang biasa disebut dengan stress kerja
dapat didefinisikan sebagai: “Work stress is an individual’s response to work related
environmental stressors. Stress as the reaction of organism, which can be
physiological, psychological, or behavioural reaction” (Selye, dalam Beehr, et al.,
1978). Berdasarkan definisi tersebut, stres kerja dapat diartikan sebagai sumber
atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis,
psikologis, dan perilaku. Seperti yang telah diungkapkan di atas, lingkungan
pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja. Stressor kerja merupakan segala kondisi
pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat
menimbulkan stres kerja.
Banyak efek buruk dari stress kerja yang dialami oleh para pekerja. Untuk itu,
setiap perusahaan sebaiknya sangat memperhatikan kesejahteraan setiap pekerjanya
agar mereka terbebas dari stress kerja. Dengan terbebasnya pekerja dari stress kerja,
maka perusahan tersebut juga tidak akan mengalami kerugian di bidang apapun.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Stres Kerja
Menurut Morgan dan King, stres merupakan:
“…as an internal state which can be caused by physical demands on the body
(disease conditions, exercise, extremes of temperature, and the like) or by
environmental and social situations which are evaluated as potentially harmful,
uncontrollable, or exceeding our resources for coping” (Morgan & King, 1986).
Jadi stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan
oleh tuntutan fisik, atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak
dan tidak terkontrol. Stres juga didefinisikan sebagai tanggapan atau proses
internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis
sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subyek (Cooper, 1994).
Definisi stres kerja dapat dinyatakan sebagai berikut:
“Work stress is an individual’s response to work related environmental
stressors. Stress as the reaction of organism, which can be physiological,
psychological, or behavioural reaction” (Selye, dalam Beehr, et al., 1978).
Berdasarkan definisi di atas, stres kerja dapat diartikan sebagai sumber
atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis,
psikologis, dan perilaku. Seperti yang telah diungkapkan di atas, lingkungan
pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja. Stressor kerja merupakan segala
kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat
menimbulkan stres kerja.
B. Sumber-Sumber & Konsekuensi Stres Kerja
Sumber Stres Kerja
Luthans (1992) menyebutkan bahwa penyebab stres (stressor) terdiri atas
empat hal utama, yakni:
1. Extra organizational stressors, yang terdiri dari perubahan sosial/teknologi,
keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, dan keadaan
komunitas/tempat tinggal.
2. Organizational stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur
organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam
organisasi.
3. Group stressors, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup,
kurangnya dukungan sosial, serta adanya konflik intraindividu, interpersonal,
dan intergrup.
4. Individual stressors, yang terdiri dari terjadinya konflik dan ketidakjelasan
peran, serta disposisi individu seperti pola kepribadian Tipe A, kontrol
personal, learned helplessness, self-efficacy, dan daya tahan psikologis.
Sedangkan Cooper dan Davidson (Cooper, et al., 1991) membagi penyebab
stres dalam pekerjaan menjadi dua, yakni:
1. Group stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari situasi maupun
keadaan di dalam perusahaan, misalnya kurangnya kerjasama antara karyawan,
konflik antara individu dalam suatu kelompok, maupun kurangnya dukungan
sosial dari sesama karyawan di dalam perusahaan.
2. Individual stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari dalam diri
individu, misalnya tipe kepribadian seseorang, kontrol personal dan tingkat
kepasrahan seseorang, persepsi terhadap diri sendiri, tingkat ketabahan dalam
menghadapi konflik peran serta ketidakjelasan peran.
Robbins (2007) menjelaskan model stres sebagai berikut:
Potensi Sumber
Konsekuensi
Faktor lingkungan Ketidakpastian ekonomi Ketidakpastian politik Ketidakpastian teknologi
Faktor organisasi Tuntutan tugas Tuntutan sarana Tuntutan antar-pribadi Struktur organisasi Kepemimpinan
organisasi Tahap perkembangan
organisasiFaktor individu Masalah keluarga Masalah ekonomi Kepribadian
Perbedaan individu Persepsi Pengalaman kerja Dukungan sosial Keyakinan terhadap
locus of control Permusuhan
Stress yang dialami
Gejala fisiologis Sakit kepala Tekanan darah tinggi Sakit hati
Gejala psikologis Gelisah Depresi Penurunan kepuasan
kerja
Gejala perilaku Produktivitas Absensi Keluar kerja
Dampak Stres Kerja
Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun
perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya
gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustrasi dan sebagainya (Rice, 1999).
Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan dengan aktivitas kerja
saja, tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur
dengan tenang, selera makan berkurang, kurang mampu berkonsentrasi, dan
sebagainya. Sedangkan Arnold (1986) menyebutkan bahwa ada empat konsekuensi
yang dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami oleh individu, yaitu terganggunya
kesehatan fisik, kesehatan psikologis, performance, serta mempengaruhi individu
dalam pengambilan keputusan.
Bagi perusahaan, konsekuensi yang timbul dan bersifat tidak langsung adalah
meningkatnya tingkat absensi, menurunnya tingkat produktivitas, dan secara
psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, memicu perasaan teralienasi,
hingga turnover (Robbins, 2007).
Terry Beehr dan John Newman (dalam Rice, 1999) mengkaji ulang beberapa
kasus stres pekerjaan dan menyimpulkan tiga gejala dari stres pada individu, yaitu:
1. Gejala psikologis
Berikut ini adalah gejala-gejala psikologis yang sering ditemui pada hasil
penelitian mengenai stres pekerjaan:
Kecemasan, ketegangan, kebingungan dan mudah tersinggung
Perasaan frustrasi, rasa marah, dan dendam (kebencian)
Sensitif dan hyperreactivity
Memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi
Komunikasi yang tidak efektif
Perasaan terkucil dan terasing
Kebosanan dan ketidakpuasan kerja
Kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kehilangan konsentrasi
Kehilangan spontanitas dan kreativitas
Menurunnya rasa percaya diri
2. Gejala fisiologis
Gejala-gejala fisiologis yang utama dari stres kerja adalah:
Meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kecenderungan mengalami
penyakit kardiovaskular
Meningkatnya sekresi dari hormon stres (contoh: adrenalin dan noradrenalin)
Gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung)
Meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan
Kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami sindrom kelelahan yang
kronis (chronic fatigue syndrome)
Gangguan pernapasan, termasuk gangguan dari kondisi yang ada
Gangguan pada kulit
Sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah, ketegangan otot
Gangguan tidur
Rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk risiko tinggi kemungkinan terkena
kanker
3. Gejala perilaku
Gejala-gejala perilaku yang utama dari stres kerja adalah:
Menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan
Menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas
Meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan
Perilaku sabotase dalam pekerjaan
Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan) sebagai pelampiasan,
mengarah ke obesitas
Perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk penarikan
diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba, kemungkinan berkombinasi
dengan tanda-tanda depresi
Meningkatnya kecenderungan berperilaku beresiko tinggi, seperti menyetir
dengan tidak hati-hati dan berjudi
Meningkatnya agresivitas, vandalisme, dan kriminalitas
Menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman
Kecenderungan untuk melakukan bunuh diri
BAB III
KASUS & PEMBAHASAN
1. Kasus
Perampingan karyawan akan dilakukan oleh PT. Telekomunikasi
Indonesia Tbk (Telkom). Sekitar 1.156 karyawan PT. Telkom akan pensiun dini
pada tahun 2009. PT. Telkom menyediakan dana sebesar Rp750 miliar untuk
pelaksanaan program ini.
Menurut Vice President Public and Marketing Communication Telkom
Eddy Kurnia, program pensiun dini dilakukan agar perusahaan lebih lincah
bergerak menghadapi kompetisi yang semakin ketat. Perusahaan juga
memberikan kesempatan pada karyawan untuk mengembangkan potensi diri di
luar perusahaan. Secara lugas, Eddy mengatakan Telkom harus melakukan
efisiensi dan efektivitas operasionalnya agar mampu bersaing.
Edi mengatakan bahwa program ini ditawarkan secara sukarela kepada
karyawan. Selain itu, Edi mengatakan bahwa dana itu (Rp750 miliar) untuk
membayar kompensasi karyawan yang mengambil program pensiun dini.
Rencananya, program pensiun dini akan dilakukan lagi dan berlanjut
hingga tahun 2011. Saat ini, jumlah karyawan PT. Telkom yang tersebar di
seluruh Indonesia sekitar 25.000 orang.
Selain rencana pensiun dini ini, pensiun reguler pada tahun ini akan
mempensiunkan karyawan yang telah memasuki masa pensiun sebanyak 700
orang.
Menurutnya, tidak sedikit karyawan yang umurnya sudah mendekati
masa pensiun ikut mengambil pensiun dini.
2. Pembahasan
Adanya perkembangan ekonomi yang cepat, perampingan perusahaan,
PHK, merger dan bangkrutnya beberapa perusahaan sebagai akibat dari krisis
yang berkepanjangan telah menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi
ribuan bahkan jutaan tenaga kerja. Mereka harus rela dipindahkan kebagian yang
tidak mereka kuasai dan tidak tahu berapa lama lagi mereka akan dapat bertahan
atau dipekerjakan. Selain itu mereka harus menghadapi boss baru, pengawasan
yang ketat, tunjangan kesejahteraan berkurang dari sebelumnya, dan harus
bekerja lebih lama dan lebih giat demi mempertahankan status sosial ekonomi
keluarga. Para pekerja di setiap level mengalami tekanan dan ketidakpastian.
Situasi inilah yang seringkali memicu terjadinya stress kerja. Stress yang dialami
oleh seseorang akan merubah cara kerja sistem kekebalan tubuh. Stress akan
menurunkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit dengan cara
menurunkan jumlah fighting disease cells (sel-sel kekebalan tubuh). Akibatnya,
orang tersebut cenderung sering dan mudah terserang penyakit yang cenderung
lama masa penyembuhannya karena tubuh tidak banyak memproduksi sel-sel
kekebalan tubuh, ataupun sel-sel antibodi banyak yang kalah.
Stress kerja ternyata sangat berhubungan dengan kesehatan. Stress sangat
berpotensi mempertinggi peluang seseorang untuk terinfeksi penyakit, terkena
alergi serta menurunkan sistem autoimmune-nya. Selain itu ditemukan pula bukti
penurunan respon antibodi tubuh di saat mood seseorang sedang negatif, dan
akan meningkat naik pada saat mood seseorang sedang positif. Stress
berhubungan dengan daya tahan tubuh. Menurutnya, pengaruh stress terhadap
daya tahan tubuh ditentukan pula oleh jenis, lamanya, dan frekuensi stress yang
dialami seseorang. Mereka mengungkapkan, jika stress yang dialami seseorang
itu sudah berjalan sangat lama, akan membuat letih health promoting respons dan
akhirnya melemahkan penyediaan hormon adrenalin dan daya tahan tubuh.
Sehingga disimpulkan adanya kaitan sebab-akibat antara stress kerja dengan
penyakit, seperti jantung, gangguan pencernaan, darah tinggi, maag, alergi, dan
beberapa penyakit lainnya. Oleh karenanya, perlu kesadaran penuh setiap orang
untuk mempertahankan tidak hanya kesehatan dan keseimbangan fisik saja,
tetapi juga psikisnya sehingga fisik individu dapat berjalan normal dan
melaksanakan tugas pekerjaannya dengan baik.
Secara umum orang berpendapat bahwa jika seseorang dihadapkan pada
tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan individu tersebut, maka
dikatakan bahwa individu itu mengalami stress kerja. Namun apakah sebenarnya
yang dikategorikan sebagai stress kerja? Menurut Phillip L. Rice (Stress &
Health, 1999) seseorang dapat dikategorikan mengalami stress kerja jika urusan
stress yang dialami melibatkan juga pihak organisasi atau perusahaan tempat
individu bekerja. Namun penyebabnya tidak hanya di dalam perusahaan, karena
masalah rumah tangga yang terbawa ke pekerjaan dan masalah pekerjaan yang
terbawa ke rumah dapat juga menjadi penyebab stress kerja. Hal tersebut
mengakibatkan dampak negatif bagi perusahaan dan juga individu. Oleh
karenanya diperlukan kerja sama antara kedua belah pihak untuk menyelesaikan
persoalan stress tersebut.
Dampak terhadap perusahaan sebuah organisasi atau perusahaan dapat
dianalogikan sebagai tubuh manusia. Jika salah satu dari anggota tubuh itu
terganggu, maka akan menghambat keseluruhan gerak, menyebabkan seluruh
tubuh merasa sakit dan menyebabkan individunya tidak dapat berfungsi secara
normal. Demikian pula jika banyak di antara karyawan di dalam organisasi
mengalami stress kerja, maka produktivitas dan kesehatan organisasi itu akan
terganggu. Jika stress yang dialami oleh organisasi atau perusahaan tidak
kunjung selesai, maka sangat berpotensi mengundang penyakit yang lebih serius.
Bukan hanya individu yang bisa mengalami penyakit, organisasi pun
dapat memiliki apa yang dinamakan ”Penyakit Organisasi”. Ada beberapa
perilaku negatif karyawan yang berpengaruh terhadap organisasi. Stress yang
dihadapi oleh karyawan berkorelasi dengan penurunan prestasi kerja,
peningkatan ketidakhadiran kerja, serta tendensi mengalami kecelakaan. Secara
singkat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh stress kerja dapat
berupa: terjadinya kekacauan, hambatan baik dalam manajemen maupun
operasional kerja, mengganggu kenormalan aktivitas kerja,
menurunkan tingkat produktivitas, dan menurunkan pemasukan dan keuntungan
perusahaan. Kerugian finansial yang dialami perusahaan karena tidak imbangnya
antara produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji,
tunjangan, dan fasilitas lainnya. Banyak karyawan yang tidak masuk kerja
dengan berbagai alasan, atau pekerjaan tidak selesai pada waktunya entah karena
kelambanan atau pun karena banyaknya kesalahan yang berulang. Dampak
Terhadap Individu, Dampak stress kerja bagi individu adalah munculnya
masalah-masalah yang berhubungan dengan kesehatan, psikologis dan interaksi
interpersonal
Stress berkepanjangan akan menyebabkan ketegangan dan kekuatiran
yang terus-menerus. Menurut istilah psikologi, stress berkepanjangan ini disebut
stress kronis. Stress kronis sifatnya menggerogoti dan menghancurkan tubuh,
pikiran dan seluruh kehidupan penderitanya secara perlahan-lahan. Stress kronis
umumnya terjadi di seputar masalah kemiskinan, kekacauan keluarga, terjebak
dalam perkawinan yang tidak bahagia, atau masalah ketidakpuasan kerja.
Akibatnya, orang akan terus-menerus merasa tertekan dan kehilangan harapan.
Stress kronis berbahaya karena orang jadi terbiasa “membawa” stress ini
kemana saja, dimana saja dan dalam situasi apapun juga. Stress kronis ini
dianggap sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehingga tidak ada upaya
untuk mencari jalan keluarnya lagi. Singkatnya, orang yang menderita stress
kronis ini sudah hopeless and helpless. Tidak heran jika para penderita stress
kronis akhirnya mengambil keputusan untuk bunuh diri, atau meninggal karena
serangan jantung, stroke, kanker, atau tekanan darah tinggi.
Orang yang sedang stress akan lebih sensitif dibandingkan orang yang
tidak dalam kondisi stress. Oleh karena itulah, sering terjadi salah persepsi dalam
membaca dan mengartikan suatu keadaan, pendapat atau penilaian, kritik,
nasihat, bahkan perilaku orang lain. Obyek yang sama bisa diartikan dan dinilai
secara berbeda oleh orang yang sedang stress. Selain itu, orang stress cenderung
mengkaitkan segala sesuatu dengan dirinya. Pada tingkat stress yang berat, orang
bisa menjadi depresi, kehilangan rasa percaya diri dan harga diri. Akibatnya, ia
lebih banyak menarik diri dari lingkungan, tidak lagi mengikuti kegiatan yang
biasa dilakukan, jarang berkumpul dengan sesamanya, lebih suka menyendiri,
mudah tersinggung, mudah marah, mudah emosi. Tidak heran kalau akibat dari
sikapnya ini mereka dijauhkan oleh rekan-rekannya. Respon negatif dari
lingkungan ini malah semakin menambah stress yang diderita karena persepsi
yang selama ini ia bayangkan ternyata benar, yaitu bahwa ia kurang berharga di
mata orang lain, kurang berguna, kurang disukai, kurang beruntung, dan kurang-
kurang yang lainnya.
Sekelompok karyawan yang bekerja di suatu organisasi menunjukkan,
bahwa stress kerja menyebabkan terjadinya ketegangan dan konflik antara pihak
karyawan dengan pihak manajemen. Tingginya sensitivitas emosi berpotensi
menyulut pertikaian dan menghambat kerja sama antara individu satu dengan
yang lain.
Untuk memahami sumber stress kerja, kita harus melihat stress kerja ini
sebagai interaksi dari beberapa faktor, yaitu stress di pekerjaan itu sendiri sebagai
faktor eksternal, dan faktor internal seperti karakter dan persepsi dari karyawan
itu sendiri. Dengan kata lain, stress kerja tidak semata-mata disebabkan masalah
internal, sebab reaksi terhadap stimulus akan sangat tergantung pada reaksi
subyektif individu masing-masing. Beberapa sumber stress yang dianggap
sebagai sumber stress kerja adalah stress karena kondisi pekerjaan, masalah
peran, hubungan interpersonal, kesempatan pengembangan karir, dan struktur
organisasi.
Kondisi kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab karyawan mudah
jatuh sakit, mudah stress, sulit berkonsentrasi dan menurunnya produktivitas
kerja. Bayangkan saja, jika ruangan kerja tidak nyaman, panas, sirkulasi udara
kurang memadai, ruangan kerja terlalu padat, lingkungan kerja kurang bersih,
berisik, tentu besar pengaruhnya pada kenyamanan kerja karyawan.
Stress kerja dapat menyebabkan overload. Overload terbagi menjadi 2
bagian overload kuantitatif dan kualitatif. Overload secara kuantitatif adalah jika
banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi kapasitas karyawan tersebut.
Akibatnya karyawan tersebut mudah lelah dan berada dalam “tegangan tinggi”.
Overload secara kualitatif bila pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit,
sehingga menyita kemampuan teknis dan kognitif karyawan.
Ada jenis pekerjaan yang beresiko tinggi, atau berbahaya bagi
keselamatan, seperti pekerjaan di pertambangan minyak lepas pantai, tentara,
pemadam kebakaran, pekerja tambang, bahkan pekerja cleaning service yang
biasa menggunakan gondola untuk membersihkan gedung-gedung bertingkat.
Pekerjaan-pekerjaan ini sangat berpotensi menimbulkan stress kerja karena
mereka setiap saat dihadapkan pada kemungkinan terjadinya kecelakaan.
Sebagian besar karyawan yang bekerja di perusahaan yang sangat besar,
atau yang kurang memiliki struktur yang jelas, mengalami stress karena konflik
peran. Mereka stress karena ketidakjelasan peran dalam bekerja dan tidak tahu
apa yang diharapkan oleh manajemen (Rice, 1999). Kenyataan seperti ini
mungkin banyak dialami pekerja di Indonesia, dimana perusahaan atau
organisasi tidak punya garis-garis haluan yang jelas, aturan main, visi dan misi
yang seringkali tidak dikomunikasikan pada seluruh karyawannya. Akibatnya,
sering muncul rasa ketidakpuasan kerja, ketegangan, menurunnya prestasi hingga
akhirnya timbul keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Para wanita yang
bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami stress lebih tinggi
dibandingkan dengan pria. Masalahnya, wanita bekerja ini menghadapi konflik
peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Terutama dalam alam
kebudayaan Indonesia, wanita sangat dituntut perannya sebagai ibu rumah tangga
yang baik dan benar sehingga banyak wanita karir yang merasa bersalah ketika
harus bekerja. Perasaan bersalah ditambah dengan tuntutan dari dua sisi, yaitu
pekerjaan dan ekonomi rumah tangga, sangat berpotensi menyebabkan wanita
bekerja mengalami stress.
Setiap orang pasti punya harapan-harapan ketika mulai bekerja di suatu
perusahaan atau organisasi. Bayangan akan kesuksesan karir, menjadi fokus
perhatian dan penantian dari hari ke hari. Namun pada kenyataannya, impian dan
cita-cita mereka untuk mencapai prestasi dan karir yang baik seringkali tidak
terlaksana. Alasannya bisa bermacam-macam seperti ketidakjelasan sistem
pengembangan karir dan penilaian prestasi kerja, budaya nepotisme dalam
manajemen perusahaan, atau karena sudah “mentok” alias tidak ada kesempatan
lagi untuk naik jabatan.
Gambaran perusahaan Asia dewasa ini masih diwarnai oleh kurangnya
struktur organisasi yang jelas. Salah satu sebabnya karena perusahaan di Asia
termasuk Indonesia, masih banyak yang berbentuk family business. Kebanyakan
(family) business dan bisnis-bisnis lain di Indonesia yang masih sangat
konvensional dan penuh dengan budaya nepotisme, minim akan kejelasan
struktur yang menjelaskan jabatan, peran, wewenang dan tanggung jawab. Tidak
hanya itu, aturan main yang terlalu kaku atau malah tidak jelas, iklim politik
perusahaan yang tidak sehat serta minimnya keterlibatan atasan membuat
karyawan jadi stress karena merasa seperti anak ayam kehilangan induk segala
sesuatu menjadi tidak jelas.
Stress kerja sekecil apapun juga harus ditangani dengan segera. Ada
delapan (8) cara dalam mengatasi stress yaitu:
Pertahankan kesehatan tubuh sebaik mungkin.
Usahakan berbagai cara agar tidak jatuh sakit.
Terimalah diri apa adanya, segala kekurangan dan kelebihan, kegagalan
maupun keberhasilan sebagai bagian dari kehidupan.
Tetaplah memelihara hubungan persahabatan yang indah dengan seseorang
yang dianggap paling bisa diajak sharing.
Lakukan tindakan positif dan konstruktif dalam mengatasi sumber stress di
dalam pekerjaan, misalnya segera mencari solusi atas permasalahan yang
dihadapi dalam pekerjaan.
Tetaplah memelihara hubungan sosial dengan orang-orang di luar lingkungan
pekerjaan, misalnya dengan tetangga atau kerabat dekat.
Berusahalah mempertahankan aktivitas yang kreatif di luar pekerjaan,
misalnya berolahraga atau berekreasi.
Melibatkan diri dalam pekerjaan-pekerjaan yang berguna, misalnya kegiatan
sosial dan keagamaan.
Gunakanlah metode analisa yang cukup ilmiah dan rasional dalam melihat
atau menganalisa masalah stress kerja yang dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Perindustrian. 16 April, 2010 [Online]. Diambil dari: http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=3413&Itemid=1510
_______. 2009. Dampak Perkembangan Industri terhadap Perekonomian di Indonesia. 16 April, 2010 [Online]. Diambil dari: http://jelita249.blogspot.com/2009/08/dampak-perkembangan-industri-terhadap.html
Beehr, T. A. (1978). Psychologycal Stress In The Workplace. London: Rotledge.
Cooper, C. L., Dewe, P. J., & O’Driscoll, M. P. (1991). Organizational Stress: A Review and Critique of Theory, Research, and Applications. California: Sage Publications, Inc.
Cooper, C. L., & Payne, R. (1994). Causes, Coping & Consequences of Stress at Work. USA: John Wiley & Sons, Ltd.
Luthans, F. (1992). Organizational Behavior (6th ed.). Singapore: McGraw-Hill, Inc.
Morgan, C. T., King, R. A, & Weisz, J. R. (1986). Introduction to Psychology (7th ed.). New York: McGraw-Hill Book.
Robbins, S.P. (2007). Perilaku Organisasi (edisi 10). Jakarta: PT Indeks
Rice, P. L. (1999). Stress and Health (3rd ed.). California: Brooks/Cole Publishing Company.