refarat trauma inhalasi luka bakar newest

21
TRAUMA INHALASI LUKA BAKAR A. PENDAHULUAN Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan oleh energi panas atau arus listrik atau bahan kimia yang menghasilkan efek memanaskan yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam. Trauma akibat api, sumber listrik, bahan kimia dan ledakan bermanifestasi sebagai luka bakar. Luka bakar akibat api merupakan luka bakar yang paling sering dihadapi oleh ahli patologi. Penyebab kebakaran paling sering yaitu merokok di tempat tidur, penggunaan alat pemanas yang salah, memasak, dan bermain dengan api. 1,2 Mortalitas luka bakar bergantung pada tiga faktor yaitu umur korban, dalam dan luas luka bakar, dan intensitas dan komposisi asap. Cedera luka bakar terutama pada luka bakar yang dalam dan luas masih merupakan penyebab utama kematian dan ketidakmampuan jangka panjang. Anak-anak dan orang tua beresiko untuk mengalami luka bakar yang lebih dalam karena lapisan kulit dermis mereka lebih tipis.6,7 Antara 1997-2002 terdapat 17.237 anak di bawah 5 tahun mendapat perawatan di gawat darurat di 100 rumah sakit di Amerika. Gejala yang dapat ditemukan pada luka bakar adalah edema, bula, syok dan dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap dan uap yang tersisa. Pada kebanyakan kasus kematian akibat api, penyebab kematian yang cepat adalah inhalasi karbon monoksida dan produk lainnya. 3 1

Upload: utami-murti-pratiwi

Post on 19-Nov-2015

106 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

REFARAT

TRANSCRIPT

TRAUMA INHALASI LUKA BAKAR

A. PENDAHULUANLuka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan oleh energi panas atau arus listrik atau bahan kimia yang menghasilkan efek memanaskan yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam. Trauma akibat api, sumber listrik, bahan kimia dan ledakan bermanifestasi sebagai luka bakar. Luka bakar akibat api merupakan luka bakar yang paling sering dihadapi oleh ahli patologi. Penyebab kebakaran paling sering yaitu merokok di tempat tidur, penggunaan alat pemanas yang salah, memasak, dan bermain dengan api.1,2Mortalitas luka bakar bergantung pada tiga faktor yaitu umur korban, dalam dan luas luka bakar, dan intensitas dan komposisi asap. Cedera luka bakar terutama pada luka bakar yang dalam dan luas masih merupakan penyebab utama kematian dan ketidakmampuan jangka panjang. Anak-anak dan orang tua beresiko untuk mengalami luka bakar yang lebih dalam karena lapisan kulit dermis mereka lebih tipis.6,7 Antara 1997-2002 terdapat 17.237 anak di bawah 5 tahun mendapat perawatan di gawat darurat di 100 rumah sakit di Amerika. Gejala yang dapat ditemukan pada luka bakar adalah edema, bula, syok dan dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap dan uap yang tersisa. Pada kebanyakan kasus kematian akibat api, penyebab kematian yang cepat adalah inhalasi karbon monoksida dan produk lainnya.3Trauma inhalasi adalah istilah umum dari inhalasi dari partikel dan gas yang dihasilkan dalam kebakaran pada ruang tertutup. Kebanyakan kematian trauma inhalasi disebabkan oleh hipoksia yang merupakan hasil dari kombinasi dari intoksikasi karbon monoksida, inspirasi oksigen yang rendah dan ketidakcocokan ventilasi dan perfusi. Sebanyak 15-30% pasien dirawat di pusat luka bakar akibat trauma inhalasi.4,5Aspek medikolegal menuntut seorang dokter untuk melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang mengalami luka bakar baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Pada kasus kematian akibat api, sangat penting untuk mengetahui apakah luka bakar terjadi pada saat korban masih hidup (antemortem) atau saat korban sudah meninggal (postmortem). Penentuan penyebab dan cara kematian membutuhkan pemeriksaan lokasi kejadian, latar belakang sosial dan riwayat medis korban, penemuan pada otopsi, laporan investigasi polisi, dan penemuan pemadam kebakaran.3

B. EPIDEMIOLOGIKematian akibat api merupakan dampak langsung atau tidak langsung dari api dan atau panas pada otak yang sangat jarang terjadi. Pada kebanyakan kasus, kematian segera utamanya disebabkan oleh syok atau inhalasi gas beracun khususnya karbon monoksida., sebelum otak terpengaruh oleh api atau panas.6Kebakaaran rumah menyebabkan tiga per empat kematian akibat api di Carolina utara. Dua pertiga korban adalah laki-laki dah hampir sebagian besar berada dirumah sendirian. Banyak korban yang berumur kurang dari 5 tahun atau lebih tua dari 65 tahun. Penyebab kebakaran paling sering yaitu merokok di tempat tidur, penggunaan alat pemanas yang salah, memasak, dan bermain dengan api. Faktor predisposisi pada korban dewasa yaitu alkohol, pikun, gangguan psikiatrik dan gangguan neurologis.2Luka bakar merupakan penyebab tersering kelima kematian di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama nomor tiga penyebab kematian akibat cedera di rumah. Kurang lebih 2,5 juta orang mengalami luka bakar di Amerika Serikat setiap tahunnya. Dari kelompok ini, 200.000 pasien memerlukan penanganan rawat jalan dan 100.000 pasien dirawat di rumah sakit. Sekitar 12.000 meninggal setiap tahunnya. Anak kecil dan orang tua merupakan populasi yang beresiko tinggi untuk mengalami luka bakar. Kaum remaja laki-laki dan pria dalam usia kerja juga lebih sering menderita luka bakar (Smeltzer, 2001 : 1911). Di rumah sakit anak di Inggris, selama satu tahun terdapat sekitar 50.000 pasien luka bakar dimana 6400 diantaranya masuk ke perawatan khusus luka bakar2. Antara tahun 1997-2002 terdapat 17.237 anak di bawah usia 5 tahun mendapat perawatan di gawat darurat di 100 rumah sakit di Amerika. Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo Jakarta pada tahun 1998 di laporkan 107 kasus luka bakar yang dirawat, dengan angka kematian 37,38% sedangkan di Rumah Sakit Dr. Sutomo Surabaya pada tahun 2000 dirawat 106 kasus luka bakar, kematian 26, 41 %. Studi North-West England menemukan angka rata-rata yang datang ke rumah sakit dengan trauma inhalasi akibat luka bakar adalah 0,29 per 1000 populasi tiap tahun. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan yaitu 2:1. Referensi lain menyebutkan bahwa kurang lebih sepertiga (20-35%) pasien luka bakar yang dating ke Pusat Luka Bakar adalah dengan trauma inhalasi7

D. ANATOMI DAN FISIOLOGIMenurut Price SA, Wilson LM, 1946, anatomi pernafasan agar udara bisa mencapai paru-paru adalah hidung, laring, trakhea, bronkhus dan bronkhiolus. Fungsi masing-masing bagian ini sebagai berikut:1. Hidung : Bulu-bulu hidung berguna untuk menyaring udara yang masuk, debu dengan diameter > 5 mikron akan tertangkap, selaput lendir hidung berguna untuk menangkap debu dengan diameter lebih besar, kemudian melekat pada dinding rongga hidung. Anyaman vena (Plexus venosus) berguna untuk menyamakan kondisi udara yang akan masuk paru dengan kondisi udara yang ada di dalam paru. Konka (tonjolan dari tulang rawan hidung) untuk memperluas permukaan, agar proses penyaringan, pelembaban berjalan dalam suatu bidang yang luas, sehingga proses diatas menjadi lebih efisien. 2. Pharing, terdapat persimpangan antara saluran napas dan saluran pencernaan. Bila menelan makanan, glotis dan epiglotis menutup saluran napas untuk mencegah terjadinya aspirasi. Pada pemasangan endotrakeal tube glotis tidak dapat menutup sempurna, sehingga mudah terjadi aspirasi laring. Terdapat pita suara / plika vokalis, bisa menutup dan membuka saluran napas, serta melebar dan menyempit. Gunanya adalah membantu dalam proses mengejan, membuka dan menutup saluran napas secara intermitten pada waktu batuk. Pada waktu mau batuk plika vokalis menutup, saat batuk membuka, sehingga benda asing keluar. Secara reflektoris menutup saluran napas pada saat menghirup udara yang tidak dikehendaki dan untuk proses bicara.3. Trakea. Dikelilingi tulang rawan berbentuk tapal kuda (otot polos dan bergaris) sehingga bisa mengembang dan menyempit. Trakea bercabang menjadi 2 bronkus utama. 4. Bronkus. Merupakan percabangan trakea, terdiri dari bronkus kanan dan kiri. Antara percabangan ini terdapat karina yang memiliki banyak saraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika dirangsang. Bronkus kiri dan kanan tak simetris. Yang kanan lebih pendek, lebih lebar dan arahnya hampir vertikal. Yang kiri lebih panjang dan lebih sempit dengan sudut lebih tajam. Bronkus ini kemudian bercabang menjadi bronkus lobaris, bronkus segmentasi, bronkus terminalis, asinus yang terdiri dari bronkus respiratorius yang terkadang mengandung alveoli, duktus alveolaris dan sakus alveolaris terminalis.5. Paru. Terdiri dari paru kanan dan kiri yang kanan terdiri dari 3 lobus, kiri 2 lobus. Dibungkus oleh selaput yang disebut pleura visceralis sebelah dalam dan pleura parietalis sebelah luar yang menempel pada rongga dada. Diantara kedua pleura terdapat kavum interpleura yang berisi cairan. Di dalam saluran napas selain terdapat lendir, juga bulu-bulu getar / silia yang berguna untuk menggerakkan lendir dan kotoran ke atas.9,10

Gambar 1 : Anatomi Saluran Pernapasan 9Respirasi meliputi 2 bidang yakni respirasi eksterna dan respirasi interna. Respirasi eksterna adalah pengangkutan oksigen dari atmosfer sampai ke jaringan tubuh dan pengangkutan karbon dioksida dari jaringan sampai ke atmosfer. Sementara bagaimana oksigen digunakan oleh jaringan dan bagaimana karbon dioksida dibebaskan oleh jaringan disebut respirasi internal. Proses respirasi merupakan proses yang dapat dibagi menjadi 5 tahap yaitu : Ventilasi. Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik dari otot-otot. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga. Toraks membesar ke tiga arah : anteroposterior, lateral dan vertikal. Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan intrapleura, dari sekitar -4 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfer) menjadi sekitar -8 mmHg bila paru-paru mengembang pada waktu inspirasi. Tekanan saluran udara menurun sampai sekitar -2 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfer) dari 0 mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfer menyebabkan udara mengalir ke dalam paru-paru sampai tekanan saluran udara pada akhir inspirasi sama lagi dengan tekanan atmosfer. Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru-paru atau saat ekspirasi dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru sampai tekanan saluran udara dan tekanan atmosfer menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi. Difusi Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membran alveolus-kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 m). Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. Pada waktu oksigen diinspirasi dan sampai di alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami penurunan sampai sekitar 103 mmHg.8,9,10,11 Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi tercampur dengan udara dalam ruang sepi anatomik saluran udara dan dengan uap air. Ruang sepi anatomik ini dalam keadaan normal mempunyai volume sekitar 1 ml udara per pound berat badan. Hanya udara bersih yang mencapai alveolus yang merupakan ventilasi efektif, tekanan parsial oksigen dalam darah vena campuran (PVO2) di kapiler paru kira-kira sebesar 40 mmHg. Karena tekanan parsial oksigen dalam kapiler lebih rendah daripada tekanan dalam alveolus (PAO2 = 103 mmHg), maka oksigen dapat dengan mudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan tekanan CO2 antara darah dan alveolus yang jauh lebih rendah (6 mm Hg) menyebabkan karbon dioksida berdifusi ke dalam alveolus. Karbon dioksida ini kemudian dikeluarkan ke atmosfer, dimana konsentrasinya pada hakekatnya nol kendatipun selisih CO2 antara darah dan alveolus amat kecil. Hubungan antara ventilasi-perfusi. Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru-paru membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru-paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler. Dengan perkataan lain, ventilasi dan perfusi dari unit pulmonar harus sesuai. Nilai rata-rata rasio antara ventilasi terhadap perfusi (V/Q) adalah 0,8. Angka ini didapatkan dari rasio rata-rata laju ventilasi alveolar normal (4 L/menit). Ketidak-seimbangan antara proses ventilasi-perfusi terjadi pada kebanyakan penyakit pernapasan.8 Tiga unit pernapasan abnormal secara teoritis menggambarkan unit ruang sepi yang mempunyai ventilasi normal, tetapi tanpa perfusi, sehingga ventilasi terbuang percuma (V/Q = tidak terhingga). Unit pernapasan abnormal yang kedua merupakan unit pirau, dimana tidak ada ventilasi tetapi perfusi normal, sehingga perfusi terbuang sia-sia (V/Q = 0). Unit yang terakhir merupakan unit diam, dimana tidak ada ventilasi dan perfusi. Transpor oksigen dalam darah Oksigen dapat diangkut dari paru-paru ke jaringan-jaringan melalui dua jalan: secara fisik larut dalam plasma atau secara kimia berikatan dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin (HbO2). Ikatan kimia oksigen dengan hemoglobin ini bersifat reversibel. Dalam keadaan normal jumlah O2 yang larut secara fisik sangat kecil karena daya larut oksigen dalam plasma yang rendah. Hanya sekitar 1% dari jumlah oksigen total yang diangkut. Cara transpor seperti ini tidak memadai untuk mempertahankan hidup.8 Sebagian besar oksigen diangkut oleh hemoglobin yang terdapat dalam sel-sel darah merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya : keracunan karbon monoksida atau hemolisis masif dimana terjadi insufisiensi hemoglobin) maka oksigen yang cukup untuk mempertahankan hidup dapat ditranspor dalam bentuk larutan fisik dengan memberikan oksigen dengan tekanan yang lebih tinggi dari tekanan atmosfer (ruang oksigen hiperbarik). Satu gram hemoglobin dapat mengikat 1,34 ml oksigen. 8 Pada tingkat jaringan, oksigen akan berdisosiasi dari hemoglobin dan berdifusi ke dalam plasma. Dari plasma, oksigen berdifusi ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan bervariasi, namun sekitar 75% dari hemoglobin masih berikatan dengan oksigen pada waktu hemoglobin kembali ke paru-paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi sesungguhnya hanya sekitar 25% oksigen dalam darah arteria yang digunakan untuk keperluan jaringan. Pengendalian Pernapasan. Yang disebut pusat pernapasan adalah suatu kelompok neuron yang terletak bilateral di dalam substansia retikularis medula oblongata dan pons. Dibagi menjadi 3 daerah utama yaitu : Kelompok neuron medula oblongata dorsalis, yang merupakan area inspirasi. Letak neuronnya sangat dekat dan berhubungan rapat dengan traktus solitarius yang merupakan ujung sensorik nervus vagus dan glosofaringeus. Sebaliknya masing-masing saraf ini menghantarkan isyarat-isyarat sensorik dari kemoreseptor perifer, dengan cara ini membantu ventilasi paru. Kelompok neuron medula oblongata ventralis, yang merupakan area ekspirasi. Merupakan kelompok neuron respirasi ventralis yang bila terangsang merangsang otot-otot ekspirasi. Area ekspirasi selama pernapasan tenang dan normal bersifat pasif. Bila dorongan ekspirasi menjadi jauh lebih besar dari normal maka isyarat-isyarat tertumpah ke area ekspirasi dari mekanisme osilasi dasar area inspirasi, meningkatkan tenaga kontraktil yang kuat ke proses ventilasi paru. Area di dalam pons yang membantu kecepatan pernapasan yang disebut area pneumotaksis. Pusat pneumotaksis menghantarkan isyarat penghambat ke area inspirasi, yang mempunyai efek membatasi isyarat inspirasi. Efek sekundernya terjadi bila pembatasan inspirasi memperpendek masa pernapasan, maka siklus pernapasan berikut akan terjadi lebih dini. Jadi isyarat pneumotaksis yang kuat dapat meningkatkan kecepatan pernapasan 30-40 x per menit. Sementara yang lemah hanya beberapa kali per menit. 8,9

E. ETIOPATOFISIOLOGICedera termal pada wajah dan saluran pernapasan atas sering terjadi pada luka bakar inhalasi tapi biasanya terbatas pada mulut, saluran hidung, glottis dan epiglottis, faring dan laring. Hal ini dapat terjadi pada ruangan tertutup yang terbakar dengan temperatur udara mencapai 15C. Udara yang sangat panas menyebabkan cedera hanya pada struktur pernapasan di atas Karina karena energi panas pada udara kering panas sangat rendah dan efisiensi pertukaran panas pada traktur respiratorius sangat tinggi sehingga bahkan udara yang sangat panas menjadi dingin sebelum melewati laring.10 Partikel asap bisa menyebabkan cedera saluran pernapasan disebabkan oleh cedera langsung dari panas dan uap, iritasi mukosa saluran napas oleh panas dan menyebabkan inflamasi sebagai hasil dari iritasi efek dari toksik kimia yang terserap pada permukaan mukosa. Partikel asap bisa menghasilkan edema pada daerah subglotis atau supraglotis. Obstruksi saluran pernapasan atas sebanyak 30 persen dari pasien luka bakar. Bisa timbul 4 jam setelah paparan. Dan dapat berkembang secara perlahan 12 sampai 24 jam setelah paparan. Edema saluran pernapasan atas bisa disebabkan oleh trauma langsung pada mukosa dan ulserasi dari uap panas dan super panas. Menyebabkan pelepasan mediator inflamasi dari mukosa yang mengalami trauma. 10,12Cedera pada struktur pernapasan atas ini dapat menyebabkan edema yang massif pada lidah, epiglottis, dan aryepiglottis terlipat dan menyebabkan obstruksi. Apabila terjadi obstruksi maka akan terjadi keadaan dimana terdapat gangguan dalam pertukaran udara pernapasan yang normal, mengakibatkan oksigen darah berkurang (asfiksia) disertai peningkatan kadar karbondioksida (hiperkapnea) dan dapat terjadi keadaan hipoksia yaitu suatu keadaan dimana tubuh sangat kekurangan oksigen sehingga sel gagal melakukaan metabolisme efektif. Pada obstruksi saluran napas atas, hipoksia yang dapat terjadi yaitu hipoksia hipoksik yaitu suatu keadaan hipoksia yang disebabkan karena kurangnya oksigen yang masuk paru-paru sehingga oksigen tidak dapat mencapai darah dan gagal untuk masuk dalam sirkulasi darah.11,13Terdapat empat fase pada asfiksia yang dapat terjadi pada keadaan ini. Yang pertama, Fase Dispneu.Pada fase ini terjadi penurunan kadar oksigen dalam sel darah merah dan penimbunan CO2 dalam plasma akan merangsang pusat pernapasan di medulla oblongata. Hal ini membuat amplitude dan frekuensi pernapasan meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi, danmulai tampak tanda-tanda sianosis terutama muka dan tangan. 14Fase konvulsi, akibat kadar co2 yang naik, maka timbul rangsang terhadap susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi, semula klonik, tetapi kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul kejang epistotonik (seperti kejang pada tetanus). Pupil dilatasi, bradikardi dan tekanan darah menurun oleh karena paralise pada pusat syaraf pusat yang letaknya tinggi. 14Kemudian Fase apneu, pusat pernapasan mengalami depresi yang berlebihan, dengan gejala napas sangat lemah atau berhenti, kesadaran menurun, dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran feses urin dan sperma14Dan stadium akhir yaitu terjadi paralisis total pusat pernapasan, jantung masih berdenyut beberapa saat postapneu . pernapasan berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Masa dari saat asfiksia sehingga terjadi kematian sangat bervariasi, tergantung dari tingkat penghalangan oksigen,14Jantungberusahamengkompensasikeadaantekananoksigenyangrendahdenganmempertinggioutputnya,akibatnyatekananarteridanvenameninggi.Karena oksigendalamdarahberkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung maka terjadi gagal jantung dan kematianberlangsung dengan cepat. 14

F. GAMBARAN KLINISOleh karena onset terjadinya tidak segera dan sering tidak ditangani sesegera mungkin, maka perlu diketahui tanda-tanda yang dapat mengarahkan kita untuk bertindak dan harus mencurigai bahwa seseorang telah mengalami trauma inhalasi antara lain : Luka bakar pada wajah Alis mata dan bulu hidung hangus Adanya timbunan karbon dan tanda-tanda inflamasi akut di dalam orofaring Sputum yang mengandung arang atau karbon Wheezing, sesak dan suara serak Adanya riwayat terkurung dalam kepungan api Ledakan yang menyebabkan trauma bakar pada kepala dan badan Tanda-tanda keracunan CO (karboksihemoglobin lebih dari 10% setelah berada dalam lingkungan api) seperti kulit berwarna pink sampai merah, takikardi, takipnea, sakit kepala, mual, pusing, pandangan kabur, halusinasi, ataksia, kolaps sampai koma. 7,11,15

G. PEMERIKSAAN PADA KASUS TRAUMA INHALASI Penemuan pada sesuatu trauma inhalasi tergantung kepada penyebab trauma inhalasi itu sendiri. Pemeriksaan LuarKeadaan tubuh yang ditemukan pada tempat kebakaran bias bervariasi. Tubuh bisa saja tidak rusak, area tubuh yang ditutupi oleh pakean biasanya terlindungi dan hanya area yang terbuka ditutupi oleh jelaga. Pada pemeriksaan luar bisa ditemukan kemerahan atau eritema dan bulla. 19,21Dapat pula ditemukan tanda-tanda asfiksia seperti sianosis pada kulit dan peteki pada subkonjungtiva. Gambaran perbendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbii dan palpebra akibat tekanan hidrostatik dalam pebuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu hipoksia dapat merusak endotel kapiler shingga timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieu spot. 14,2Sianosis pada kulit bias terjadi karena tingginya kadar CO2 dalam darah. Sianosis adalah warna kebiruan dari kulit dan membran mukosa yang merupakan akibat dari konsentrasi yang berlebihan dari deoksihemoglobin atau hemoglobin tereduksi pada pembuluh darah kecil. Sianosis terjadi jika kadar deoksihemoglobin sekitar 5 g/dL. Dapat dengan mudah terlihat pada daerah ujung-ujung jari, kuku dan bibir14,21

Gambar 2. Luka bakar pada wajah dan leher18

Gambar 3. Petechie pada konjungtiva 23 Pemeriksaan DalamPada pemeriksaan dalam, yang cukup khas dari kematian karena trauma inhalasi pada kebakaran yakni ditemukannya jelaga pada daerah hidung (nostril) dan mulut, serta jelaga pada daerah laring, trakea serta bronkus yang menandakan korban masih bernapas pada saat kebakaran terjadi. Namun, tidak ditemukannya jelaga tidak menutup kemungkinan korban telah meninggal sebelum kebakaran terjadi. Cedera panas pada kasus kebakaran dapat pula menyebabkan edema pada larings/supraglotis yang menyebabkan obstuksi. Selain itu dapat pula ditemukan edema paru yang disebabkan karena cedera pada permukaan endothelial epitel, kolpasnya alveoli karena penurunan produksi surfaktan, serta cedera pada silia bronkus. Selain itu dapat ditemukan kongesti organ dalam. Perbendungan sirkulasi ada seluruh organ dalam tubuh berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah. 18,2,21

Gambar 4. Jelaga yang ditemukan pada saluran pernapasan sebagai salah satu bukti bahwa korban masih hidup pada saat kebakaran terjadi. 19

Gambar 5. Mukosa epiglottis yang kemerahan karena kongesti. Jelaga pada jalan napas. 20

Gambar 6. (A). Erosi pada lidah. (B). Laring-Trakea tertutup, erosi pada plica karena cedera suhu. 19Pada pemeriksaan selanjutnya, dapat pula dilakukan pemeriksaan darah yang berwarna lebih gelap dan lebih encer karena fibrinolisin darah yang meningkat pasca mati. untuk mengetahui adanya peningkatan konsentrasi dari CO serta pemeriksaan toksikologi untuk pemeriksaan adanya kandungan alcohol ataupun obat-obatan. 18,21

DAFTAR PUSTAKA1. Kartohatmodjo, Sunarso. Luka Bakar (Combustio). Available at http://elib.fk.uwks.ac.id 2. Shkrum, MJ. Ramsay, DA. Thermal injury. In Forensic Pathology of Trauma: Common Problem For The Pathologist. Humana Press. 20073. Ratna, Yulia. Luka Bakar : Konsep Umum Dan Investigasi Berbasis Klinis Luka Antemorterm Dan Postmorterm. Fakultas Kedokteran Undayana. 4. Cancio, LC. Pruitt, BA. Inhalation Injury. In Combat Medicine: Basic and Clinical Research. 5. Kaloudova Y, Brychta P, et al. Inhalation Injury. Available at www.medbc.com6. Oehmichen, Manfred. Special physical trauma in Forensic Neuropathology and Associated Neurology. Springer. 2006.7. Michael D Peck., Smoke Inhalation Injury, available at www.ameriburn.org , 20058. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. EGC. 20019. Waugh A, Grant A. The Respiratory System in Rose And Wilson : Anatomy and Physiology in Health and Illness. Elsevier Inc. Spain. 2004.10. Emily B Nazarian., Inhalation Injury, available at www.emedicine.com, Januari 201111. Craig Feied, Inhalation Injury, available at www.NCEMI.com, 200612. Pounder, Derrick J. Bodies From Fire. Department of Forensic Medicine University of Dundee. 199213. Budiyanto, Arief, et al. Ilmu Kedokteran Forensik. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.14. Dries, David J. Inhalation Injury: Epidemiology, Pathology, Treatment Strategies. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine. April 2013.15. Lafferty, KA, Kulkarni R. Smoke Inhalation, available at : www.emedicine.medscape.com. 201016. Rajpura A., Inhalation Injury, available at www.burncenter.com, Januari 201117. Dimaio,VJ. Dimaio,Dominick. Fire Deaths. In Forensic Pathology: Second edition. 2001 18. Dolinak, David. Matshes, EW. Lew, EO. Environmental injury. In Forensic Pathology Principle And Practice. Elsevier. 200519. Knight, Bernard. Injury Due To Heat, Cold And Electricity. In Simpsons Forensic Medicine : eleventh edition. London. 1997 20. Rao,D. Forensic Pathology. Available at : www.forensicpathologyonline.com 21. Asphyxial. Available at: www.medicinembbs.blogspot.deaths.com

4