newest prescil chf dm ht 'puput sesia fadlan' (dr.heppy)
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah suatu
keadaan saat terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme
kompensatoriknya. Gagal jantung adalah komplikasi tersering dari segala jenis
penyakit jantung kongenital maupun didapat. Penyebab dari gagal jantung
adalah disfungsi miokard, endokard, perikardium, pembuluh darah besar,
aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa dan Amerika, disfungsi
miokard yang paling sering terjadi akibat hipertensi dan diabetes. (Elliott M.
Antman, Chair; Sidney C. Smith, FAHA, Vice Chair, 2005)
Di Eropa kejadian gagal jantung kronik berkisar 0,4% - 2% dan meningkat
pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal
jantung di Amerika Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus baru
per tahunnya.Setiap tahunnya angka kematiannya mencapai satu juta orang.
(Donald M. Lloyd-Jones,Martin.Larson,Daniel Levy,Ramachandran S. Vasan,
and William B. Kannel, 2002) Di Indonesia belum ada angka pasti tentang
prevalensi penyakit gagal jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada
sekitar 400-500 pasien berobat jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal
jantung. Meskipun terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat,
angka kematian dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien
penyakit gagal jantung lanjut dan 5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung
yang ringan. Prognosa dari gagal jantung tidak begitu baik bila penyebabnya
tidak dapat diperbaiki. Setengah dari populasi pasien gagal jantung akan
meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan gagal
jantung berat lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun pertama. (Ghanie,
2006).
Hipertensi dan diabetes melitus merupakan permasalahan kesehatan di
Indonesia dengan prevalensi yang tinggi, angka kejadian hipertensi mencapai
32,2% pada penduduk dewasa, sedangkan prevalensi diabetes mellitus
mencapai 14,7%. Kedua faktor tersebut meningkatkan risiko terjadinya
atheroklorosis yang berhubungan dengan iskemia heart desease dan dapat
berkembang menjadi gagal jantung kronik. (Ghanie, 2006)
1
Mengingat komplikasi dan dampak dari penyakit jantung kronik, peru
dipelajari mengenai manifestasi klinis, penegakkan diagnose, tatalaksana dan
penyebab khusunya yang terkait dengan hipertensi dan diabetes mellitus.
B. Tujuan
Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat Kepaniteraan Interna
RSMS, di mana di dalamnya berisi tentang definisi, etiologi, patofisiologi,
diagnosis, terapi dan prognosis dari congestive heart failure dengan penyerta
chronic kidney disease, diabetes melitus, dan hipertensi.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. T
Umur : 53 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status perkawinan : Sudah menikah
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat : Dayeuhluhur RT. 05 RW. 10 Dayeuhluhur, Cilacap
Tanggal Masuk : 18 Januari 2013 (IGD)
Autoanamnesis : Tanggal 19 Januari 2013 (Bangsal Mawar Kamar 9)
B. Anamnesis
Keluhan Utama : sesak napas
Keluhan Tambahan : mudah lelah, lemas, pusing, ujung jari tangan dan
kaki dingin, kedua kaki bengkak, perut membesar dan sebah, BAK sedikit, nafsu
makan berkurang.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit dan memberat pada hari masuk rumah sakit. Sesak napas dirasakan seperti
tertindih beban berat dan berlangsung terus menerus. Sesak napas dirasakan saat
berbaring terlentang dan berkurang bila pasien beristirahat dengan posisi
setengah duduk. Sesak napas bertambah dengan aktifitas. Pasien menggunakan 3
bantal saat tidur. Pada malam hari, pasien sering terbangun dari tidur karena
merasakan sesak napas. Sesak napas tidak disertai bunyi ngik-ngik. Pasien tidak
mengeluhkan batuk yang disertai dahak berbuih dan berwarna merah jambon.
Sejak ± 8 bulan yang lalu, pasien mengeluh cepat lelah dan badan terasa lemas.
Ujung-ujung jari tangan dan kaki sering terasa dingin. Pasien juga mengeluhkan
pusing terutama saat bangun dari posisi tidur menjadi berdiri atau duduk. Buang
air kecil pasien juga semakin berkurang, sehari ± 3 gelas belimbing. Pasien juga
3
mengeluh dada berdebar-debar terutama saat kelelahan dan berkurang saat
istirahat.
Pasien mengeluh kedua kakinya bengkak, bertambah berat saat berjalan. Keluhan
ini timbul sejak ± 8 bulan yang secara perlahan-lahan dan sekarang pasien sulit
untuk berjalan. Bila kaki yang bengkak ditekan, maka timbul cekungan yang
membutuhkan beberapa waktu untuk kembali.
Pasien juga mengeluh perut bertambah besar. Keluhan tersebut dirasakan secara
perlahan-lahan, yang semakin lama semakin membesar seperti ada cairan di
dalam perutnya. Bila pasien berbaring, pasien merasakan perutnya melebar ke
samping seperti perut kodok dan bila pasien berdiri, pasien merasa perutnya
turun ke bawah. Ia juga mengeluh perutnya terasa sebah dan nafsu makan
menjadi berkurang.
Riwayat Penyakit dahulu :
1. Riwayat keluhan yang sama : Diakui (sesak napas) sejak 2 tahun yang lalu
2. Riwayat hipertensi : Diakui sejak ± 10 tahun yang lalu (baru kon-
trol rutin dalam 2 tahun terakhir)
3. Riwayat DM : Diakui sejak ± 10 tahun yang lalu
4. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
5. Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
6. Riwayat asam urat : Disangkal
7. Riwayat alergi : Disangkal
8. Riwayat mondok : Diakui (selama 2 tahun terakhir pasien sering
mondok di rumah sakit, 5x di RSMS, di luar
RSMS tidak terhitung)
9. Riwayat transfusi : Diakui (3x dalam 2 tahun terakhir)
Riwayat Penyakit Keluarga :
1. Riwayat keluhan yang sama : Disangkal
2. Riwayat hipertensi : Disangkal
3. Riwayat DM : Disangkal
4. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
5. Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
4
Riwayat Sosial dan Exposure
1. Community
Pasien tinggal bersama suami, dan kedua anaknya di lingkungan pedesaan
yang cukup padat penduduknya. Pasien berasal dari keluarga dengan sosial
ekonomi menengah ke bawah. Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari
Jamkesmas.
2. Home
Pasien tinggal di sebuah rumah berempat dengan keluarganya. Rumah yang
dihuni terdiri dari 2 kamar dan masing-masing dihuni oleh 2 orang. Tidak
memiliki kamar mandi dan jamban di dalam rumah. Atapnya memakai
genteng dan lantai terbuat dari keramik.
3. Occupational
Pasien merupakan seorang petani. Namun, ia berhenti dari pekerjaannya sejak
menderita penyakit ini.
4. Personal habit
Pasien tidak mempunyai kebiasaan merokok.
5. Drugs and Diet
Pasien sedang mengonsumsi obat-obatan jantung, hipertensi, dan diabetes
melitus. Sebelum sakit, menu makan pasien tidak seimbang. Pasien jarang
mengonsumsi sayuran, ia lebih suka mengonsumsi yang asin-asin serta lebih
banyak makanan pokoknya (singkong). Setelah sakit, pasien membatasi
konsumsi garam dan air.
C. Pemeriksaan Fisik
KU/Kes : Tampak sesak/Compos mentis
Vital Sign : T : 180/100 mmHg R : 28 x/menit
N : 84 x/menit S : 35,4 °C
BB: 49 kg TB: 153 cm
Status Generalis
Kepala : Venektasi temporal (+/+)
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Napas cuping hidung (+)
Mulut : Bibir sianosis (+), Lidah sianosis (+)
5
Leher : Deviasi trakea (-), JVP 5+4 cmH2O
Status Lokalis
PULMO
Inspeksi : Dinding dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi interkostal (+)
Palpasi : Vocal Fremitus simetris (apex dan basal)
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Batas paru hepar di SIC V LMCD
Auskultasi : Suara dasar vesikuler, wheezing (-)
ronki basah halus (+/+) di basal, ronki basah kasar (-)
COR
Inspeksi : IC terlihat di SIC VI 2 jari lateral LMCS
Pulsasi Parasternal (-), Pulsasi Epigastrium (-)
Palpasi : IC teraba di SIC VI 2 jari lateral LMCS, kuat angkat (-)
Perkusi : Kanan atas di SIC II LPSD
Kiri atas di SIC II LPSS
Kanan bawah di SIC IV LPSD
Kiri bawah di SIC VI 2 jari lateral LMCS
Auskultasi : S1 > S2, reguler, gallop (-), murmur (+) pansistolik, punctum
maximum di apex cor, menjalar ke axilla, derajat III, tidak
dipengaruhi inspirasi
ABDOMEN
Inspeksi : Cembung, venektasi abdomen (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+)
Palpasi : Supel, nyeri tekan hipokondriaka dextra (+), undulasi (+)
HEPAR : teraba 2 jari BACD, tepi tumpul, permukaan rata, konsistensi kenyal
LIEN : tidak teraba
EKSTREMITAS
Superior : Edema (-/-), akral dingin (+/+), sianosis (+/+), clubbing finger (-/-)
Inferior : Edema (+/+), akral dingin (+/+), sianosis (+/+), clubbing finger (-/-)
6
D. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium tanggal 1 8 Januari 2013
• Hb : 8,3 gr/dl ↓ Normal : 12 - 16 gr/dl
• Leukosit : 7120/ml N Normal : 4.800 – 10.800/ml
• Hematokrit : 25 % ↓ Normal : 37%-47%
• Eritrosit : 2,9 juta/ml ↓ Normal : 4,2-5,4 juta/ml
• Trombosit : 213.000/ml N Normal :150.000– 450.000/ml
• MCV : 87,2 fL N Normal : 79 -99fL
• MCH : 28,6 pg N Normal : 27-31 pg
• MCHC : 32,8 gr/dl ↓ Normal : 33– 37gr/dl
• Hitung Jenis
– Eosinofil : 0,7 % ↓ Normal : 2 – 4 %
– Basofil : 0,1 % N Normal : 0 – 1 %
– Batang : 0,00 % ↓ Normal : 2 – 5 %
– Segmen : 74,7 % ↑ Normal : 40 – 70%
– Limfosit : 14,7 % ↓ Normal : 25-40%
– Monosit : 9,8% ↑ Normal : 2 – 8%
• Ureum : 167,8 mg/dl ↑ Normal : 14,98 – 38,52 mg/dl
• Kreatinin : 6,39 mg/dl ↑ Normal : 0,6-1,0 mg/dl
• GDS : 232 mg/dl ↑ Normal : <= 200 mg/dl
• Kalium : 4,8 mmol/L N Normal : 3,5-5,1 mmol/L
EKG tanggal 1 8 Januari 2013 : NSR
E. Resume
1. Anamnesis
a. Keluhan utama sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit dan
memberat pada hari masuk rumah sakit.
b. Sesak napas dirasakan seperti tertindih beban berat dan berlangsung terus
menerus.
c. Sesak napas dirasakan saat berbaring terlentang dan berkurang bila pasien
beristirahat dengan posisi setengah duduk. Sesak napas bertambah dengan
aktifitas. Pasien menggunakan 3 bantal saat tidur. Pada malam hari,
pasien sering terbangun dari tidur karena merasakan sesak napas.
7
d. Sesak napas tidak disertai bunyi ngik-ngik. Pasien tidak mengeluhkan
batuk yang disertai dahak berbuih dan berwarna merah jambon.
e. Keluhan tambahan mudah lelah, lemas, pusing, ujung jari tangan dan kaki
dingin, kedua kaki bengkak, perut membesar dan sebah, BAK sedikit, dan
nafsu makan menjadi berkurang.
f. Pasien menderita keluhan yang sama (sesak napas) sejak 2 tahun yang
lalu.
g. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak ± 10 tahun yang lalu (baru
kontrol rutin dalam 2 tahun terakhir).
h. Pasien memiliki riwayat diabetes melitus sejak ± 10 tahun yang lalu.
i. Pasien mengatakan sering mondok di rumah sakit selama 2 tahun terakhir,
5x di RSMS, di luar RSMS tidak terhitung.
j. Pasien ditransfusi 3 kali dalam 2 tahun terakhir ini.
k. Pasien mempunyai kebiasaan jarang mengonsumsi sayuran, ia lebih suka
mengonsumsi yang asin-asin serta lebih banyak makanan pokoknya
(singkong). Namun, setelah sakit, pasien membatasi konsumsi garam dan
air.
2. Pemeriksaan Fisik
KU/Kesadaran : Tampak sesak/Compos mentis
Vital sign
Tekanan darah : 180/100 mmHg
Nadi : 84 ×/menit reguler-reguler, isi cukup
Pernapasan : 28 ×/menit
Suhu : 35,4 °C
Status generalis
Kepala : Venektasi temporal (+/+)
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Napas cuping hidung (+)
Mulut : Bibir sianosis (+), Lidah sianosis (+)
Leher : Deviasi trakea (-), JVP 5+4 cmH2O
Status lokalis
a. Pemeriksaan pulmo
8
Inspeksi : Dinding dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi
interkostal (+), ronki basah halus (+/+) di basal
b. Pemeriksaan cor
Inspeksi : IC terlihat di SIC VI 2 jari lateral LMCS
Pulsasi Parasternal (-), Pulsasi Epigastrium (-)
Palpasi : IC teraba di SIC VI 2 jari lateral LMCS, kuat angkat (-)
Perkusi : Kanan atas di SIC II LPSD
Kiri atas di SIC II LPSS
Kanan bawah di SIC IV LPSD
Kiri bawah di SIC VI 2 jari lateral LMCS
Auskultasi : S1 > S2, reguler, gallop (-), murmur (+) pansistolik, punctum
maximum di apex cor, menjalar ke axilla, derajat III, tidak
dipengaruhi inspirasi
c. Pemeriksaan abdomen: asites
Inspeksi : cembung
Perkusi : timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+)
Palpasi : Supel, undulasi (+)
Hepar : teraba 2 jari BACD, tepi tumpul, permukaan rata, konsistensi
kenyal
d. Pemeriksaan ekstremitas
Superior: edema(-/-), akral dingin(+/+), sianosis(+/+), clubbing finger(-/-)
Inferior: edema(+/+), akral dingin(+/+), sianosis(+/+), clubbing finger(-/-)
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
a. Anemia ringan
b. Hiperglikemia
c. LFG = 7,88 ml/menit/1,73 m2
F. Diagnosis Kerja
a. Congestive Heart Failure
1) Diagnosis etiologi : hipertensi dan diabetes melitus
2) Diagnosis anatomi : LVH
3) Diagnosis fungsional : NYHA IV
9
b. Hipertensi Grade II
c. Diabetes Melitus Tipe II
d. Chronic Kidney Disease Grade V
e. Edema Pulmo
G. Usulan Pemeriksaan Penunjang
1. GDP, GD2PP, HbA1c
2. Profil lipid
3. Röntgen thorax
4. Penilaian fungsi LV
5. USG Abdomen
H. Penatalaksanaan
1. Farmakologi :
a. O2 3 lpm
b. IVFD RL 10 tpm
c. Inj. Furosemid 3 × 1 ampul iv
d. Inj. Levemir 1x15 unit sc
e. p.o. Digoxin 1x0,125 mg
f. p.o. ISDN 3x5 mg
g. p.o. Valsartan 1x8 mg
h. p.o. Aminoral 3x1 capl
i. p.o. CaCO3 3x1 capl
j. p.o. Asam Folat 3x1 mg
k. pro Transfusi PRC 2 kolf
2. Non farmakologi :
a. Istirahat untuk mengurangi kebutuhan oksigen dan menurunkan beban
kerja jantung.
b. Posisi setengah duduk untuk mengurangi venous return dan
meningkatkan volume udara paru oksigen.
c. Pengaturan diet
1) Diet jantung II dengan Diet Garam Rendah I
10
2) Kalori 1223 kkal/hari
3) Asupan protein 29,4-39,2 g/hari
4) Asupan fosfat ≤490 g/hari
5) Kadar K 40-70 mEq
6) Pembatasan cairan, yaitu sebanyak jumlah urin sehari ditambah
pengeluaran cairan melalui keringat dan pernapasan (±500 ml).
d. Cegah infeksi
e. Edukasi penyakit kepada pasien meliputi terapi, komplikasi penyakit,
prognosis penyakit dan cara pencegahan perburukan penyakit.
f. Monitoring
1) Keadaan klinis pasien vital sign, berat badan dan urine output 24 jam
2) Harus diperhatikan dan dicatat keseimbangan cairan pasien
3) Dilakukan pengawasan terhadap kalium plasma, natrium plasma,
ureum dan kreatinin
4) Efek samping obat
I. Prognosis
Ad fungsional : ad malam
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : ad malam
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. CONGESTIVE HEART FAILURE
1. DEFINISI
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah suatu
keadaan saat terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme
kompensatoriknya. (Brainwauld, 2009). Gagal jantung adalah keadaan
patofisiologis ketika jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan
darah untuk metabolisme jaringan. (ROUNDS, 2002)
Beberapa istilah dalam gagal jantung :
a. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari
pemeriksaan fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan
dengan echocardiography.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung
memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan,
kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.
(Brainwauld, 2009) (McMurray, 2002)
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan
pengisian ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal
jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Ada 3 macam gangguan fungsi
diastolik ; Gangguan relaksasi, pseudo-normal, tipe restriktif. (Brainwauld,
2009).
b. Low Output dan High Output Heart Failure
Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati
dilatasi, kelainan katup dan perikard. High output heart failure ditemukan
pada penurunan resistensi vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia,
kehamilan, fistula A – V, beri-beri, dan Penyakit Paget. Secara praktis,
kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan. (Brainwauld, 2009)
c. Gagal Jantung Kiri dan Kanan
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan
vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea.
12
Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan
seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru
kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema
perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan
biokimia gagal jantung terjadi pada miokard ke-2 ventrikel, maka retensi
cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak
lagi berbeda. (Brainwauld, 2009)
d. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba
akibat endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang
menurun secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa
disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan
multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat
menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.
(Brainwauld, 2009)
Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure,
hampir selalu disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena
(backward failure), karena ventrikel yang lemah tidak mampu memompa
darah dalam jumlah normal, hal ini menyebabkan peningkatan volume
darah di ventrikel pada waktu diastol, peningkatan tekanan diastolik akhir di
dalam jantung dan akhirnya peningkatan tekanan vena . Gagal jantung
kongestif mungkin mengenai sisi kiri dan kanan jantung atau seluruh rongga
jantung. (Brainwauld, 2009)
2. ETIOLOGI
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi
aorta dan defek septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan
dimana terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas
miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati.
Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui
penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik,
13
infeksi paru-paru dan emboli paru. (Donald M. Lloyd-
Jones,Martin.Larson,Daniel Levy,Ramachandran S. Vasan, and William B.
Kannel, 2002)
Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit
katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit miokardium
primer. Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri,
yang menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria pulmonalis.
Gagal jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri pada
pasien dengan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh paru (kor
polmunale) dan pada pasien dengan penyakit katup arteri pulmonalis atau
trikuspid. (Donald;Mercedes;Bruce;Todd, 2010)
3. PATOFISIOLOGI
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai
terpacu dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut
mencakup peningkatan aktivitas adrenergik simpatik, peningkatan beban awal
akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel.
Mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada
tingkat normal atau hampir normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan
pada keadaan istirahat. Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah
jantung biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung,
kompensasi menjadi semakin kurang efektif. (Margaret Jean Hall, Shaleah
Levant , and Mand Carol J. DeFrances., 2010)
a. Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis :
Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah jantung
adalah peningkatan aktivitas sistem adrenergik simpatis. Meningkatnya
aktivitas adrenergik simpatis merangsang pengeluaran katekolamin dari
saraf-saraf adrenergik jantung dan medulla adrenal. Katekolamin ini akan
menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung (efek inotropik positif) dan
peningkatan kecepatan jantung. Selain itu juga terjadi vasokontriksi arteri
perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah
dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya
rendah misal kulit dan ginjal untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan
otak. (Brainwauld, 2009)
14
Vasokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan
jantung, untuk selanjutnya menambah kekuatan kontraksi sesuai dengan
hukum Starling. Kadar katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal
jantung, terutama selama latihan. Jantung akan semakin bergantung pada
katekolamin yang beredar dalam darah untuk mempertahankan kerja
ventrikel.namun pada akhirnya respons miokardium terhadap rangsangan
simpatis akan menurun; katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap
kerja ventrikel. (Gautam V. Ramani, Patricia A. Uber, Pharm D, and
Mandeep R. Mehra, 2010)
Gambar 2.1. Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan
parasimpatik pada gagal jantung.
b. Peningkatan beban awal melalui aktivasi sistem Renin-Angiotensin-
Aldosteron :
Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi
natrium dan air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel. Mekanisme
yang mengakibatkan aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron pada
gagal jantung masih belum jelas. (Kart, 2002). Namun apapun
mekanisme pastinya, penurunan curah jantung akan memulai serangkaian
peristiwa berikut:
a) Penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus
b) Pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerulus
15
c) Interaksi renin dan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan
angiotensinI
d) Konversi angotensin I menjadi angiotensin II
e) Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.
f) Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus.
Angiotensin II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang
meningkatkan tekanan darah.
Gambar 2.2. Sistem Renin - Angiotensin- Aldosteron
c. Hipertrofi ventrikel :
Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau
bertambah tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan
peningkatan kekuatan kontraksi ventrikel. (ROUNDS, 2002)
Awalnya, respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang
menguntungkan; namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat
menimbulkan gejala, meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk
derajat gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan untuk meningkatkan
kekuatan kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan kongesti
vena paru dan sistemik. Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban
akhir dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban
akhir juga meningkat karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja
jantung dan kebutuhan oksigen miokardium juga meningkat. Hipertrofi
miokardium dan rangsangan simpatis lebih lanjut akan meningkatkan
16
kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan kebutuhan oksigen
tidak dapat dipenuhi akan terjadi iskemia miokardium dan gangguan
miokardium lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang saling berkaitan ini
adalah meningkatnya beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal
jantung. (Walter, 2002) (Ghanie, 2006)
Gambar 2.3. Pola remodelling jantung yang terjadi karena respon
terhadap hemodinamik berlebih. (Ghanie, 2006)
4. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap
derajat latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara
khas gejala hanya muncul saat beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah
beratnya gagal jantung, toleransi terhadap latihan semakin menurun dan gejala-
gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang lebih ringan. (Ghanie, 2006)
Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu
sesuai dengan sistem organ yang terlibat dan juga tergantung pada derajat
penyakit. (Ghanie, 2006)
a. Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun
kelelahan adalah gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi
gejala kelelahan merupakan gejala yang tidak spesifik yang mungkin
disebabkan oleh banyak kondisi-kondisi lain. Kemampuan seseorang
untuk berolahraga juga berkurang. Beberapa pasien bahkan tidak
17
merasakan keluhan ini dan mereka tanpa sadar membatasi aktivitas fisik
mereka untuk memenuhi kebutuhan oksigen.
b. Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung
yang paling umum. Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja
pernapasan akibat kongesti vaskular paru yang mengurangi kelenturan
paru.meningkatnya tahanan aliran udara juga menimbulkan dispnea.
Seperti juga spektrum kongesti paru yang berkisar dari kongesti vena paru
sampai edema interstisial dan akhirnya menjadi edema alveolar, maka
dispnea juga berkembang progresif. Dispnea saat beraktivitas
menunjukkan gejala awal dari gagal jantung kiri. Ortopnea (dispnea saat
berbaring) terutama disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagian-
bagian tubuh yang di bawah ke arah sirkulasi sentral.reabsorpsi cairan
interstisial dari ekstremitas bawah juga akan menyebabkan kongesti
vaskular paru-paru lebih lanjut. Paroxysmal Nocturnal Dispnea (PND)
dipicu oleh timbulnya edema paru intertisial. PND merupakan manifestasi
yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri dibandingkan dengan dispnea
atau ortopnea.
c. Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada
posisi berbaring.
d. Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri
khas dari gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah
paru-paru karena pengaruh gaya gravitasi.
e. Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi
akibat distensi vena.
f. Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti
vena sistemik. Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-
vena leher mengalami bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat
meningkat secara paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang gagal
tidak dapat menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik vena ke
jantung selama inspirasi.
g. Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat
peregangan kapsula hati.
18
h. Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual
dapat disebabkan kongesti hati dan usus.
i. Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial.
Edema mula-mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan
terutama pada malam hari; dapat terjadi nokturia (diuresis malam hari)
yang mengurangi retensi cairan.nokturia disebabkan oleh redistribusi
cairan dan reabsorpsi pada waktu berbaring, dan juga berkurangnya
vasokontriksi ginjal pada waktu istirahat.
j. Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema
anasarka. Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena
sistemik secara klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun
manifestasi paling dini dari bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh
retensi cairan daripada gagal jantung kanan yang nyata.
k. Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat
mengalami sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan.
Aritmia ventrikel akibat iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan
sietem saraf simpatis sering terjadi dan merupakan penyebab penting
kematian mendadak dalam situasi ini.
5. DIAGNOSIS
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang
ada dan penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain
foto thorax, EKG, ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan
pemeriksaan biomarker.
Kriteria Diagnosis : (Brainwauld, 2009)
Kriteria Framingham dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif
Kriteria Major :
a. Paroksismal nokturnal dispnea
b. Distensi vena leher
c. Ronki paru
d. Kardiomegali
e. Edema paru akut
f. Gallop S3
19
g. Peninggian tekana vena jugularis
h. Refluks hepatojugular
Kriteria Minor :
a. Edema eksremitas
b. Batuk malam hari
c. Dispnea d’effort
d. Hepatomegali
e. Efusi pleura
f. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
g. Takikardi(>120/menit)
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2
kriteria minor.
Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan
pedoman untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif
berdasarkan tingkat aktivitas fisik, antara lain:
a. NYHA class I, penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam
kegiatan fisik serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung
seperti cepat lelah, sesak napas atau berdebar-debar, apabila melakukan
kegiatan biasa.
b. NYHA class II, penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik.
Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik
yang biasa dapat menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti
kelelahan, jantung berdebar, sesak napas atau nyeri dada.
c. NYHA class III, penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih banyak
dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan
tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan
gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang tersebut di atas.
d. NYHA class IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun
tanpa menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka melakukan
kegiatan fisik meskipun sangat ringan.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan
penunjang sebaiknya dilakukan.
20
a. Pemeriksaan Laboratorium Rutin
Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN),
kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan
gula darah, profil lipid (Ghanie, 2006).
b. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG
adalah untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy
(LVH) atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal
biasanya menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi diastolik pada
LV. (Ghanie, 2006)
c. Radiologi :
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung
dan bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-
kadang efusi pleura, begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat
mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien (Ghanie, 2006)
d. Penilaian fungsi LV
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis,
mengevaluasi, dan menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna
adalah echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat memberikan penilaian
semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi LV begitu pula dengan
menentukan keberadaan abnormalitas pada katup dan/atau pergerakan
dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan dilatasi
atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada
pengisian diastolic pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna
untuk menilai gagal jantung dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-
D/Doppler juga bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan
pulmoner, dimana sangat penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor
pulmonale. MRI juga memberikan analisis komprehensif terhadap anatomi
jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa dan
volume LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF
(stroke volume dibagi dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah
diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan.
Pemeriksaan ini diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF
21
memiliki beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena
EF dipengaruhi oleh perubahan pada afterload dan/atau preload. Sebagai
contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral sebagai akibat ejeksi
darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah. Walaupun demikan,
dengan pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi sistolik biasanya
adekuat, dan jika EF berkurang secara bermakna (<30-40%). (Ghanie,
2006) (Elliott M. Antman, Chair; Sidney C. Smith, FAHA, Vice Chair,
2005)
7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan
secara non farmakologis dan secara farmakologis. Penatalaksanaan gagal
jantung baik akut maupun kronik ditujukan untuk mengurangi gejala dan
memperbaiki prognosis, meskipun penatalaksanaan secara individual
tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi.
Terapi :
a. Non Farmakalogi :
- Anjuran umum :
Terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.
Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan
seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang
masih bisa dilakukan.
Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.
- Tindakan Umum :
Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung
ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter
pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
Hentikan rokok
Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada
yang lainnya.
Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-
30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit
dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal
jantung ringan dan sedang).
22
Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi
akut.
b. Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas ; panghambat ACE, Antagonis
Angiotensin II, diuretik, Antagonis aldosteron, β-blocker, vasodilator
lain, digoksin, obat inotropik lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia.
a) Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan
paling sedikit diuretik reguler dosis rendah. Permulaan dapat
digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik,
dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena, atau
kombinasi loop diuretik dengan tiazid. Diuretik hemat kalium,
spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi
mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat
(klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik.
b) Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas
neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi
sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis rendah,
dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.
c) Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE.
Pemberian dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa
minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya
diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas
fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol,
bisoprolol atau metaprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan
penghambat ACE dan diuretik.
d) Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada
intoleransi terhadap ACE ihibitor.
e) Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal
jantung disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan
fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor,
beta blocker.
f) Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk
pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial
23
dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan
pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli,
trombosis dan Trancient Ischemic Attacks, trombus intrakardiak
dan aneurisma ventrikel.
g) Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang
asimptomatik atau aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia
klas I harus dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam
nyawa. Antiaritmia klas III terutama amiodaron dapat digunakan
untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk terapi aritmia
atrial dan tidak dapat digunakan untuk mencegah kematian
mendadak.
h) Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium
antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal
jantung.
Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 – 2
l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring
jangka pendek dapat membantu perbaikan gejala karena mengurangi
metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian heparin subkutan
perlu diberikan pada penderita dengan imobilitas. Pemberian antikoagulan
diberikan pada penderita dengan fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik
berat dengan dilatasi ventrikel.
8. PROGNOSIS
Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat
berkembang, tetapi prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka mortalitas
setahun bervariasi dari 5% pada pasien stabil dengan gejala ringan, sampai
30-50% pada pasien dengan gejala berat dan progresif. Prognosisnya lebih
buruk jika disertai dengan disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi ejeksi< 20%),
gejala menonjol, dan kapasitas latihan sangat terbatas (konsumsi oksigen
maksimal < 10 ml/kg/menit), insufisiensi ginjal sekunder, hiponatremia, dan
katekolamin plasma yang meningkat. Sekitar 40-50% kematian akibat gagal
jantung adalah mendadak. Meskipun beberapa kematian ini akibat aritmia
ventrikuler, beberapa diantaranya merupakan akibat infark miokard akut atau
bradiaritmia yang tidak terdiagnosis. Kematian lainnya adalah akibat gagal
24
jantung progresif atau penyakit lainnya. Pasien-pasien yang mengalami gagal
jantung stadium lanjut dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan
terapi paliatif yang sangat cermat.
B. CHRONIC KIDNEY DISEASE
1. Definisi
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama
lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan
ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal diagnosis
penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang
dari 60 ml/menit/1,73m².
Pada pasien dengan penyakit GGK, klasifikasi stadium ditentukan oleh
nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan
nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi
penyakit ginjal kronik dalam lima stadium, yaitu :
Tabel 3.1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan LFG
Derajat PenjelasanLFG
(mL/menit/1,73m2)
1Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑
≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-893 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-594 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-295 Gagal ginjal <15 atau dialisis
2. Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi
(20%) dan ginjal polikistik (10%).
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis akut merupakan penyakit ginjal dimana mekanisme
imun memicu peradangan dan proliferasi jaringan glomerular yang
mengakibatkan kerusakan pada membran basal, mesangium atau
endotelium kapiler. Hippocrates awalnya menggambarkan manifestasi
nyeri punggung dan hematuria, lalu juga oliguria atau anuria. Dengan
berkembangnya mikroskop, Langhans mampu menggambarkan perubahan
25
pathophysiologic glomerular ini. Sebagian besar penelitian asli berfokus
pada pasien pasca-streptococcus.. Glomerulonefritis akut didefinisikan
sebagai serangan yang tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria,
proteinuria, dan silinder sel darah merah. Gambaran klinis ini sering
disertai dengan hipertensi, edema, dan fungsi ginjal terganggu.
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan
primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya
berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila
kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes
melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis. Kebanyakan kasus terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun.
Hanya 10% terjadi pada pasien yang lebih tua dari 40 tahun. Gejala
glomerulonefritis akut yaitu dapat terjadi hematurim oligouri, edema
preorbital yang biasanya pada pagi hari, hipertensi, sesak napas, dan nyeri
pinggang karena peregangan kapsul ginjal.
b. Diabetes Melitus (DM)
Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua duanya. DM sering disebut sebagai the great imitator, karena
penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan
berbagai macam keluhan. DM dapat timbul secara perlahan-lahan
sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum
yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat
badan yang menurun. Terjadinya DM ditandai dengan gangguan
metabolisme dan hemodinamik yang meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah sistemik, dan mengubah
pengaturan tekanan intrakapiler. Di ginjal, perubahan ini mungkin
menyebabkan munculnya protein dalam urin. Kehadiran protein urin tidak
hanya tanda awal penyakit ginjal diabetes, tetapi dapat menyebabkan
kerusakan dan tubulointerstitial glomerular yang pada akhirnya mengarah
ke glomerulosclerosis diabetes. Hubungan yang kuat antara proteinuria
dan komplikasi diabetes lainnya mendukung pandangan bahwa
26
peningkatan ekskresi protein urin mencerminkan gangguan vaskular
umum yang mempengaruhi banyak organ, termasuk mata, jantung, dan
sistem saraf .
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan
darah diastolik ≥ 90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti
hipertensi. Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua
golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak
diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut
juga hipertensi renal.
Tabel 3.2. Klasifikasi tekanan darah sistolik, diastolik, modifikasi gaya hidup, serta terapi obat berdasarkan Joint National Committee (JNC) VII
Target tekanan darah pada pasien dengan CKD atau DM adalah <130/80 mmHg.
3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat menyatakan insidens penyakit GGK diperkitakan
100 juta kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar
8% setiap tahunnya. Di Malaysia diperkirakan terdapat 1800 kasus baru GGK
pertahunnya. Di Negara berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan
sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun. Penyebab GGK yang
menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000:
a. Glomerulonefritis (46,39%)
27
Klasifikasi Tekanan
Darah
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Modifikasi Gaya Hidup
Terapi
Normal < 120 < 80 EdukasiTidak perlu obat antihipertensiPrehipertensi
120 – 139
80 – 89 Ya
Stage 1 HT140 – 159
90 – 99 Ya
Thiazid tipe diuretik. Dapat juga ACEI, ARB, BB, CCB/kombinasi
Stage 2 HT > 160 > 100 Ya
Kombinasi 2 jenis obat (misalnya thiazid tipe diuretik dan ACEI/ARB/BB/ CCB)
b. Diabetes Mellitus (18,65%)
c. Obstruksi dan infeksi (12,85%)
d. Hipertensi (8,46%)
e. Sebab lain (13,65%)
Penyakit GGK lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya pun
lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih.2
4. Faktor risiko
Faktor risiko GGK, yaitu pada pasien dengan DM atau hipertensi,
penyakit autoimun, batu ginjal, sembuh dari gagal ginjal akut, infeksi saluran
kemih, berat badan lahir rendah, dan faktor sosial dan lingkungan seperti
obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan
riwayat penyakit DM, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga,
berpendidikan rendah, dan terekspos dengan bahan kimia dan lingkungan
tertentu.
5. Patogenesis dan Patofisiologi
Pada gagal ginjal kronis, terjadi volume yang berlebihan dan perubahan
konsentrasi elektrolit. Keadaan ini menimbulkan edema, hipertensi,
osteomalasia, asidosis, pruritus, dan artritis, baik secara langsung maupun
melalui pengaktifan hormon. Di samping itu, juga terjadi gangguan pada sel
eksitatorik (polineuropati, kehilangan kesadaran, koma, kejang), fungsi
pencernaan (mual, tukak lambung, diare), dan sel darah (hemolisis, gangguan
fungsi leukosit, gangguan pembekuan darah).
Pada konsentrasi yang tinggi asam urat dapat mengendap terutama di
sendi, sehingga menyebabkan gout. Namun, konsentrasi asam urat yang
sangat tinggi jarang terjadi pada gagal ginjal. Peranan berkurangnya
pembuangan zat, yang disebut toksin uremia (misal, aseton, 2-3
butileneglikol, asam guanidinoksuksinat, metilguanidin, indol, fenol, amin
aromatik dan alifiatik) dan molekul berukuran sedang (lipid atau peptida
dengan berat molekul antara 300-2000Da), dalam menimbulkan gejala gagal
ginjal masih menjadi perdebatan.
Pembentukan renin dan prostaglandin di ginjal dapat meningkat atau
menurun (kematian sel penghasil renin atau prostaglandin), bergantung pada
penyebab dan lama penyakitnya. Peningkatan pembentukan renin mendorong
28
terjadinya hipertensi. Sebaliknya, prostaglandin menyebabkan vasodilatasi
dan penurunan tekanan darah.
Hipervolemia menimbulkan pelepasan atrial natriuretic factor (ANF)
dan mungkin juga ouabain. Ouabain menghambat Na+/K+-ATPase. Vanadat
(VNO4) yang banyak diekskresikan oleh ginjal memiliki efek yang serupa.
Penghambatan Na+/K+-ATPase menyebabkan penurunan reabsorpsi Na+ di
ginjal. Selain itu, konsentrasi K+ intrasel menurun di berbagai jaringan dan sel
akan terdepolarisasi. Konsentrasi Na+ intrasel akan meningkat. Hal ini
mengganggu pertukaran 3Na+/Ca2+, sehingga konsentrasi Ca2+ intrasel juga
meningkat. Akibat depolarisasi terjadi gangguan eksitabilitas neuromuskular,
akumulasi Cl- di dalam sel, dan pembengkakan sel. Peningkatan Ca2+
menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan pelepasan hormon, seperti
gastrin, insulin, dan epinefrin.
29
Penyakit yang Mendasari/Etiologi
Penurunan Masa Ginjal
Hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephros)
Hiperfiltrasi
Peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus (berlangsung singkat)
Maladaptasi: sklerosis nefron yang masih tersisa
Hipertensi sistemik
Pemindahan tekanan ke glomerulusVolume rumbai glomerulus meningkat tanpa diiringi peningkatan jumlah sel epitel visera
Penurunan densitas dalam rumbai glomerulus yang membesar
Penyatuan pedikulus dan hilangnya sawar selektif terukur
Proteinuria
Akumulasi protein besar (misal fibrin, IgM, komplemen) dalam subendotel
Menumpuk bersama proliferasi matriks mesangial
Penyempitan lumen kapiler
Disfungsi endotel
Mikroaneurisma
Kapiler glomerulus kolaps
Penurunan fungsi nefron yang progresif
Keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan
Gagal Ginjal
Gambar 2.1. Patogenesis gagal ginjal16,17,18
30
Gagal Ginjal
LFG Pembentukan NH3 Gangguan ekskresi urinPerfusi ginjal Sel penghasil EPO Pemecahan FFA Glukoneo-genesis
Kreatinin plasma Fosfat plasma Retensi:VNO4NaClH2OMolekul berukuran sedangToksin uremiaAsam uratUreaH+K+Fosfat
IskemiaVolume urin EPO
HiperlipidemiaHipoglokemia
AnemiaFosfat bergabung dengan Ca2+
Kalsium fosfat
Terpresipitasi
Mengendap di sendi&kulit
Nyeri sendi &pruritus
Pembentukan kalsitriol
Hipokalsemia
Merangsang pelepasan PTH
Memobilisasai kalsium fosfat dari tulang
Demineralisasi tulang (osteomalasia)
Gangguan keseimbangan elektrolit dan air
Asidosis
Renin
Angiotensin
Hipertensi
Volume ekstrasel (H2O&NaCl )
Edema perifer&paru
VNO4
Hipervolemia
Ouabain
Volume intrasel
Edema serebri
Prostaglandin
Ganggu Na+/K+-ATPase
Poliuria&nokturia
Gangguan pemekatan urin
Reabsorpsi Na di ginjal
K intrasel di berbagai jaringan
Sel terdepolarisasi
Na intrasel
Ganggu pertukaran 3Na+/Ca2+
Ca2+
VasokonstriksiPelepasan hormon (gastrin, insulin, epinefrin)
Gangguan eksitabilitas neuromuskulker
Akumulasi Cl intrasel
Pembengkakan sel
Stimulasi terus meneruskelenjar paratiroid hipertrofilingkaran setanPTH
ANF
Gonad
Reseptor PTH di berbagai organ
Kelainan organ
Sistem saraf Gaster Sel darah
Neuropati, gastroenteropati, rentan infeksi, koagulopati, kehilangan kesadaran, koma, kejang
Keterangan:ANF: atrial natriuretic factorEPO: eritropoietinFFA: free fat acidLFG: laju filtrasi glomerulusVNO4: vanadat: menghambat
Gambar 3.2. Patofisiologi gagal ginjal
31
6. Gambaran Klinik
Gambaran klinik GGK berat disertai sindrom azotemia sangat
kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti:
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU),
sering ditemukan pada pasien GGK. Anemia terutama disebabkan oleh
defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia
adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna,
hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis,
defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik,
proses inflamasi akut ataupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat
kadar hemoglobin < 10 g/dL atau hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi
terhadap status besi (kadar besi serum / serum iron, kapasitas ikat besi total /
Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin serum), mencari sumber
perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan
sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya,
di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal
kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak
cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan
perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik
adalah 11-12 g/dL.
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian
pasien GGK terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah
masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh
flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan
iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan
saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet
protein dan antibiotika.
c. Kelainan mata
32
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian
kecil pasien GGK. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan GGK yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan
saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris.
Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia
yang sering dijumpai pada pasien GGK. Penimbunan atau deposit garam
kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat
iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada
beberapa pasien GGK akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau
tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas
dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan
gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit
biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea
pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
e. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia,
dan depresi sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental berat seperti
konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai.
Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan
atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya.
f. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada GGK sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis,
kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien GGK terutama pada
stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.
7. Pendekatan Diagnosis
Pendekatan diagnosis GGK dilihat dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan histopatologis.
a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
33
d. Menentukan strategi terapi rasional
e. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila
dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan
khusus.
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal
ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk
kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan
banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal. Gambaran
klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :
1) Sesuai dengan penyakit yang mendasari;
2) Sindrom uremia yang terdiri dari : lemah, letargi, anoreksia, mual,
muntah, nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati
perifer, pruritusm uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai
koma;
3) Gejala komplikasinya antara lain : hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan
elektrolit (sodium, kalium, chlorida).1
b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit GGK sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dapat dihitung mempergunakan
rumus Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya, seperti
penurunan kadar hemoglobin, hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi proteinuria, hematuri,
leukosuria, dan silinder.
c. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:
1) Foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak
34
2) Pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras sering
tidak bisa melewati filter glomerolus, selain itu dikhawatirkan terjadi
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan
3) Pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
4) Ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, mass
5) Pemeriksaan renografi dikerjakan bila ada indikasi.
8. Penatalaksanaan
a. Terapi konservatif
Tujuan terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan
cairan dan elektrolit.
1) Peranan diet Diet rendah protein menguntungkan untuk mencegah
atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat
merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi)
untuk GGK harus adekuat agar dapat mempertahankan keseimbangan
positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan
harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral Kebutuhan jumlah mineral dan
elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyebab dasar
penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease).
b. Terapi simptomatik
1) Asidosis metabolik Asidosis metabolik harus dikoreksi karena
meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan
mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali (sodium
bicarbonat) yang harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau
serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
35
2) Anemia Dapat diberikan eritropoetin pada pasien GGK. Dosis
inisial 50 u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL
kurangi dosis pemberian menjadi 2 kali seminggu. Maksimum
pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga kali dalam seminggu.8
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.
3) Keluhan gastrointestinal Anoreksi, cegukan, mual dan muntah,
merupakan keluhan utama yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan
lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan
yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-
obatan simtomatik.
4) Kelainan kulit Tindakan yang diberikan tergantung jenis keluhan di
kulit.
5) Kelainan neuromuskular Terapi yang dilakukan adalah hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa / operasi subtotal
paratiroidektomi.
6) Hipertensi Pemberian obat anti hipertensi terutama penghambat
Enzym Konverting Angiotensin (ACE inhibitor). Melalui berbagai
studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi
dan antiproteinuria.
7) Kelainan sistem kardiovaskular Pencegahan dan terapi terhadap
penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-50%
kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan
kardiovaskular yang diderita, termasuk pengendalian DM, hipertensi,
dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan
gangguan keseimbanagan elektrolit.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit GGK stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
36
1) Hemodialisis Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk
mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis
tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir
akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis,
yaitu indikasi absolut, yaitu : perikarditis, ensefalopati atau neuropati
azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif
dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Serta
indikasi elektif, yaitu LFG : antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual,
anoreksia, muntah, dan astenia berat.
2) Dialisis peritoneal (DP) Akhir-akhir ini sudah populer Continuous
Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri
dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan
orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis,
kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT
(gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-
medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
3) Transplantasi ginjal
9. Prognosis
Pasien dengan GGK umumnya akan menuju stadium terminal atau
stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari,
keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang
menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian
yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani
transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani dialisis
kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi
(14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%).
37
C. PATOFISIOLOGI HIPERTENSI MENYEBABKAN CHF
Patogenesis HHD di awali oleh terjadinya LVH yang menyebabkan disfungsi
diastolik, dilatasi ventrikel dan gagal jantung. Presentasi klinis HHD sangat
tergantung pada faktor demografi komorbid (seperti usia, jenis kelamin, ras),
penyakit (seperti obesitas, diabetes mellitus, atau penyakit arteri koroner), dan
jenis terapi obat selain durasi dan keparahan hipertensi. Sebuah rute paralel
penting untuk terjadinya gagal jantung melibatkan hilangnya miofibril jantung
akibat penyakit jantung iskemik, yang mengarah langsung ke kelainan dinding
yang berpengaruh terhadap gerak segmental dan disfungsi sistolik. Disfungsi
sistolik dan disfungsi diastolik dapat bersamaan dalam individu yang sama.
(Joseph L. Izzo, 2004)
Hipertrofi ventrikel kiri terjadi pada 15-20% penderita hipertensi. Hipertrofi
ventrikel kiri merupakan pertambahan massa pada ventrikel (bilik) kiri jantung.
Peningkatan tahanan vaskuler perifer penderita hipertensi menyebabkan
peningkatan stress pada dinding ventrikel kiri. Hal ini akan menstimulasi
sarkomer berproliferasi dengan cara meningkatkan sintesis protein yang pada
akhirnya menyebabkan hipertofi miosit. Selain itu, aktivasi sistem renin-
angiotensin juga akan menyebabkan pertumbuhan interstisium dan komponen sel
matriks yang juga akan mempengaruhi hipertrofi ventrikel kiri. (Joseph L. Izzo,
2004)
Seperti otot lainnya yang terkena beban kronis, respon miokardium untuk
peningkatan peregangan kronis (baik karena peningkatan preload atau afterload)
adalah hipertrofi. Pola hipertrofi relative berbeda dengan otot lainnya. Hipertrofi
eksentrik terjadi ketika preload jantung meningkat menyebabkan miofibril
memanjang sebagai hasil dari pengkondisian fisik dengan fungsi ventrikel yang
normal (jantung atletik), dalam menanggapi kronis Volume overload (penyakit
ginjal kronis atau obesitas), atau dengan berkurangnya fungsi ventrikel selama
38
dilatasi ventrikel. Dalam masing-masing situasi ini, peningkatan volume akhir
diastolik merupakan adaptasi yang awalnya menggunakan kekuatan Starling untuk
membuat pengeluaran energi yang menguntungkan yang bertujuan
mempertahankan stroke volume jantung dan fraksi ejeksi ventrikel yang normal.
Dengan volume overload terus menerus, bagaimanapun, akan ada serangkaian
perubahan maladaptif yang mengarah pada dilatasi ventrikel lanjut. (Joseph L.
Izzo, 2004)
Sebaliknya, hipertrofi konsentris terjadi ketika ada peningkatan diameter dari
miofibril karena peningkatan cardiac afterload, seperti yang terjadi akibat
hipertensi sistolik atau stenosis aorta. pada awal hipertrofi konsentris, penebalan
dinding miokard memungkinkan fungsi ventrikel dan fraksi ejeksi untuk
mengkompensasi dengan peningkatan afterload. Lama kelamaan penebalan
dinding intrinsik menjadi kurang efisien dan kekuatan kontraksi per gram otot
berkurang secara progresif. Akhirnya, tekanan enddiastolic mulai meningkat dan
dilatasi ventrikel mungkin terjadi. Hipertrofi eksentrik dan konsentris dapat terjadi
pada individu yang sama, Namun, dan LVH dan HF biasanya terjadi hipertrofi
konsentris. (Joseph L. Izzo, 2004)
Hipertrofi ventrikel kiri menyebabkan dinding ventrikel kiri menjadi kaku
secara kronik yang akan mempengaruhi fase awal relaksasi. Jika hipertrofi
ventrikel kiri juga diserati iskemik miokard juga akan menghambat hantaran
energi dan menghambat relaksasi diastolik. Kedua hal diatas akan menyebabkan
disfungsi diastolik pada penyakit jantung hipertensi. Namun selain faktor diatas,
disfungsi diastolik juga dipengarhi oleh penuaan, disfungsi sistolik dan fibrosis.
Disfungsi sistolik juga dapat terjadi pada penyakit jantung hipertensi. Pada
bagian akhir penyakit, hipertrofi ventrikel kiri gagal mengkompensasi dengan
meningkatkan cardiac output dalam menghadapi peningkatan tekanan darah,
kemudian ventrikel kiri mulai berdilatasi untuk mempertahankan cardiac output.
Saat penyakit ini memasuki tahap akhir, fungsi sistolik ventrikel kiri menurun.
Hal ini menyebabkan peningkatan lebih jauh pada aktivasi neurohormonal dan
sistem renin-angiotensin, yang menyebabkan peningkatan retensi garam dan
cairan serta meningkatkan vasokontriksi perifer. Apoptosis (kematian sel
terprogram), distimulasi oleh hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan antara
stimulan dan penghambat, disadari sebagai pemegang peranan penting dalam
39
transisi dari tahap kompensata menjadi dekompensata. Sebagai tambahan, selain
disfungsi ventrikel kiri, penebalan dan disfungsi diastolik ventrikel kanan dapat
juga terjadi sebagai hasil dari penebalan septum dan disfungsi ventrikel kiri.
(Joseph L. Izzo, 2004). Peran sitokin inflamasi dalam menyebabkan terjadinya
disfungsi miokard dijelaskan pada gambar
Percusor hormon seperti norepinefrin, angiotensin II, dan endotelin dapat
menyebabkan pertumbuha pada kardiomiosit. Ada banyak perdebatan atas
pentingnya faktor trofik seperti angiotensin II pada LVH. Meskipun hipertrofi
diyakini dimediasi terutama oleh AT1 reseptor, baru-baru ini
menunjukkan bahwa stimulasi AT2 reseptor juga diperlukan untuk
hipertrofi. Hal ini menguatkan dampak angiotensin II inhibitor sangat efektif
dalam mengind uksi regresi LVH, namun menurunkan tengah tekanan darah
sistolik adalah yang paling penting pertimbangan dalam memungkinkan regresi
LVH. Protein interstisial build-up dan fibrosis miokard semakin tampak menjadi
kontributor yang signifikan ke ventrikel, relaksasi kaku jantung terganggu,
pengisisan diastolic berkurang, hipertrofi atrium, dan pada akhirnya, peningkatan
tekanan end-diastolik. Aldosteron diyakini menjadi promotor penting dari LVH,
terutama karena tampaknya merangsang deposisi kolagen dan
interstisial protein lainnya. (Joseph L. Izzo, 2004)
40
Dua jalur utama yang menyebabkan kematian dini dari HF adalah disfungsi
diastolik dan disfungsi sistolik. Kedua kondisi ini sering secara bersamaan.
Disfungsi Sistolik sering terjadi sebagai akibat dari infark miokard atau difus
cardiomypathy. Disfungsi diastolik dapat terjadi tanpa adanya disfungsi sistolik,
tetapi ketika disfungsi sistolik sudah ada, hamper selalu ada gangguan fungsi
diastolik. Ketika diastolic disfungsi ada tanpa adanya disfungsi sistolik, biasanya
ditemukan pada pasien usia lanjut dengan hipertensi lama atau pada coronary
artery disease (biasanya perempuan). Klinis dari sistolik dan diastolik HF sangat
mirip termasuk aktivasi simpatik meningkat, kapasitas latihan sangat berkurang,
dan gangguan kualitas hidup [47]. Peningkatan tekanan pengisian ventrikel
ditransmisikan langsung ke kapiler paru dan diyakini berkontribusi terhadap
dyspnea. (Joseph L. Izzo, 2004)
Disfungsi sistolik dan diastolik seringkali dapat dibedakan hanya dengan
mengukur fungsi LV dengan ekokardiografi atau radionuklida angiografi.
Mekanisme yang menyebabkan dilatasi ventrikel pada individu dengan
decompensating LVH tidak sepenuhnya dipahami saat ini. Pada pasien dengan
disfungsi sistolik, aktivasi neurohormonal (saraf simpatis dan renin-angiotensin-
aldosteron system) menyebabkan vasokonstriksi, retensi air dan natrium. dilatasi
ventrikel progresif dan remodeling- yang semuanya merupakan respon maladaptif
yang menciptakan lingkaran setan yang memperburuk kinerja jantung. (Joseph L.
Izzo, 2004)
Penurunan fungsi jantung, menyebabkan peningkatan apoptosis. Dalam
miokardium, ekspresi gen diubah pola yang menyertai transisi dari LVH ke HF
meliputi penurunan secara keseluruhan dalam kontraktil protein. Pada saat yang
sama, sintesis protein interstisial berlanjut, menyebabkan kekakuan miokard,
relaksasi gangguan diastolik, dan berkurangnya toleransi latihan . Pada akhirnya,
terjadi pengurangan efisiensi myofibrillar, ventrikel dilatasi, dan HF. Berbagai
macam mekanisme genetik dan molekuler lainnya yang melibatkan miosit dan
protein interstisial masih pada penelitian. Seiring perubahan kardioaskuler akan
memperburuk perkembangan dari LVH ke HF. Aorta menjadi kaku dengan
penurunan ventrikel-vaskular kopling dan afterload jantung yang meningkat.
(Joseph L. Izzo, 2004)
41
D. PATOGENESIS DIABETES MELLITUS MENYEBABKAN CHF
Kerentanan peningkatan pasien diabetes untuk gagal jantung telah sering
dikaitkan dengan penyakit diabetes-spesifik miokard disebut sebagai
'kardiomiopati diabetes'. Meskipun penyebab kematian paling umum pada
pasien diabetes bukan kardiomiopati, tetapi penyakit arteri koroner, gagal
jantung lebih sering pada diabetes daripada pasien non-diabetes. Hal ini
tampaknya tidak disebabkan oleh infark miokard, karena banyak laporan
bahwa angka kejadian infark miokard di diabetes tidak lebih besar bila
dibandingkan pasien non-diabetes. (Ryde´n, 1999)
Banyak penelitian telah dilakukan untuk morfologi perubahan jantung
akibat diabetes. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar temuan yang
konsisten adalah hipertrofi miosit, interstisial fibrosis, peningkatan PAS-
positif material dan intramyocardial microangiopathy. Tidak ada karakteristik
lesi khas untuk diabetes, hal ini menunjukkan bahwa alasan untuk
kardiomiopati diabetes mungkin ditemukan pada tingkat fungsional atau
biokimia. Hal ini menjadi sinergi dengan perubahan structural yang
dihubungkan dengan hipertensi. (Ryde´n, 1999)
Fraksi ejeksi pasien diabetes non-infarct miokard dilaporkan menurun .
gagal jantung kongestif hampir dua kali lebih banyak pada pasien diabetes
dibanding kelompok non-diabetes. Temuan ini mungkin mencerminkan
gangguan fungsi diastolik, merupakan karakteristik dari diabetes yang terkait
penyakit miokard. (Ryde´n, 1999)
Pada pasien diabetes meliitus tidak terkontrol akan menyebabkan aliran
miokard berkurang, atau terjadi ketidak mampuan untuk meningkatkan aliran
ini ketika diperlukan, berkaitan dengan gangguan vasodilatasi endotel.
Mekanisme di balik endotel disfungsi pada pasien diabetes yang tidak
sepenuhnya dipahami. Disfungsi ini telah diverifikasi baik dalam tipe 1
[mencapai 38,39%] dan diabetes tipe 2 [40,41%]. Pasien Diabetes memiliki
aliran miokard yang berkurang dibandingkan dengan kontrol bahkan dalam
ketiadaan penyakit jantung yang jelas. (Ryde´n, 1999)
Hiperglikemia akut dapat merusak endotel yang menurukan vasodilatasi
pembuluh darah. Ketidakmampuan untuk meningkatkan aliran darah miokard
secara independen terkait dengan kontrol glukosa darah, usia, tekanan darah
42
atau kadar lipid. Oleh karena itu mungkin diasumsikan bahwa peningkatan
glukosa sangat berpengaruh dalam respon perubahan pembuluh darah. Hal ini
dapat menyebabkan berkurangnya hyperkinetic respon dan disfungsi diastolik
terlihat pada diabetes mellitus. Hal ini dapat berfungsi sebagai alasan untuk
Pengobatan ditujukan untuk kontrol glukosa yang ketat untuk mengurangi
kejadian kardiovaskular pada populasi diabetes. (Ryde´n, 1999)
Faktor metabolik berhubungan dengan disfungsi miokard sebagaimana
Selain hiperglikemia, diabetes dicirikan oleh peningkatan asam lemak bebas.
Peningkatan asam lemak bebas memprovokasi peningkatan penggunaan
oksigen miokard menyebabkan beberapa efek tak diinginkan. Efek ini
meliputi gangguan konduksi intracardiac dan aritmia, gangguan tergantung
dengan pompa ion adenosin trifosfat, dan peningkatan respon mobilisasi
alpha-1- yang menyebabkan meningkatnya kalsium intraseluler dan disfungsi
kontraktil. Selain efek dari defisiensi insulin, peningkatan asam lemak bebas
menghambat transportasi dan metabolisme glukosa.
Peningkatan kadar sitrat, diproduksi oleh oksidasi asam lemak bebas, hal
ini menghambat fosfofruktokinase. Ini menyebabkan glikolisis menurun dan
mempromosikan sintesis glikogen. Oksidasi glukosa juga menyebabkan
akumulasi asam laktat yang selanjutnya mendorong degradasi asam lemak
bebas. Singkatnya, terkait diabetes disfungsi miokard -diabetes
cardiomyopathy terjadi signifikan secara klinis. (Ryde´n, 1999)
Hal ini ditandai dengan kurangnya respon terhadap terjadinya iskemia
miokard atau cedera dan termasuk penurunan awal fungsi diastolik.
mekanisme patofisiologis, meskipun tidak sepenuhnya dipahami merupakan
faktor multifaktorial dan termasuk komponen metabolik dan vaskular. Hal
ini menunjukkan bahwa intervensi terhadap hiperglikemia dan oksidasi asam
lemak bebas meningkat, misalnya penggunaan ketat insulin, mungkin
bermanfaat. Selain itu, tampaknya ada suatu sinergi antara diabetes dan
hipertensi dalam pengembangan struktural perubahan miokard. Hal ini
mungkin menjelaskan mengapa Pengobatan yang kuat hipertensi akan
memiliki dampak yang signifikan pada pasien diabetes. (Ryde´n, 1999)
Ketidakseimbangan otonom pada jantung adalah konsekuensi umum dari
diabetes. Salah satu efeknya adalah penurunan atau bahkan hilangnya
43
persepsi nyeri iskemik. Silent iskemia dapat menyebabkan cedera miokard
tanpa tanda-tanda klinis yang menyebabkan gagal jantung di masa depan .
Bahkan lebih penting mungkin efek dari penurunan tonus vagal. Penderita
diabetes dengan gangguan fungsi otonom memiliki jantung dengan gangguan
vagal yang lebih tinggi dibandingkan pasien non-diabetes. Hal ini berkaitan
dengan disfungsi parasimpatik yang lebih dominan dibanding keterlibatan
sistem simpatik. Takikardia meningkatkan kebutuhan oksigen miokard
bersamaan dengan penurunan waktu untuk relaksasi miokard karena
singkatnya aliran diastole darah. Penurunan variabilitas detak jantung karena
gangguan vagal adalah faktor prognostik penting. Ketika hal tersebut terjadi
akan meningkatkan risiko kematian mendadak akibat jantung. (Ryde´n, 1999)
44
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien pada kasus ini menderita penyakit yang kompleks, yaitu congestive
heart failure, hipertensi, diabetes melitus, dan chronic kidney disease. Diagnosis ini
dibuktikan dengan:
1. Anamnesis
a. Keluhan utama sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit dan
memberat pada hari masuk rumah sakit.
b. Sesak napas dirasakan seperti tertindih beban berat dan berlangsung terus
menerus.
c. Sesak napas dirasakan saat berbaring terlentang dan berkurang bila pasien
beristirahat dengan posisi setengah duduk. Sesak napas bertambah dengan
aktifitas. Pasien menggunakan 3 bantal saat tidur. Pada malam hari, pasien
sering terbangun dari tidur karena merasakan sesak napas.
d. Sesak napas tidak disertai bunyi ngik-ngik. Pasien tidak mengeluhkan batuk
yang disertai dahak berbuih dan berwarna merah jambon.
e. Keluhan tambahan mudah lelah, lemas, pusing, ujung jari tangan dan kaki
dingin, kedua kaki bengkak, perut membesar dan sebah, BAK sedikit, dan
nafsu makan menjadi berkurang.
f. Pasien menderita keluhan yang sama (sesak napas) sejak 2 tahun yang lalu.
g. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak ± 10 tahun yang lalu (baru kontrol
rutin dalam 2 tahun terakhir).
h. Pasien memiliki riwayat diabetes melitus sejak ± 10 tahun yang lalu.
i. Pasien mengatakan sering mondok di rumah sakit selama 2 tahun terakhir, 5x
di RSMS, di luar RSMS tidak terhitung.
j. Pasien ditransfusi 3 kali dalam 2 tahun terakhir ini.
k. Pasien mempunyai kebiasaan jarang mengonsumsi sayuran, ia lebih suka
mengonsumsi yang asin-asin serta lebih banyak makanan pokoknya
(singkong). Namun, setelah sakit, pasien membatasi konsumsi garam dan air.
2. Pemeriksaan Fisik
KU/Kesadaran : Tampak sesak/Compos mentis
Vital sign
45
Tekanan darah: 180/100 mmHg
Nadi : 84 ×/menit reguler-reguler, isi cukup
Pernapasan : 28 ×/menit
Suhu : 35,4 °C
Status generalis
Kepala : Venektasi temporal (+/+)
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Napas cuping hidung (+)
Mulut : Bibir sianosis (+), Lidah sianosis (+)
Leher : Deviasi trakea (-), JVP 5+4 cmH2O
Status lokalis
e. Pemeriksaan pulmo
Inspeksi : Dinding dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi
interkostal (+)
f. Pemeriksaan cor
Inspeksi : IC terlihat di SIC VI 2 jari lateral LMCS
Pulsasi Parasternal (-), Pulsasi Epigastrium (-)
Palpasi : IC teraba di SIC VI 2 jari lateral LMCS, kuat angkat (-)
Perkusi : Kanan atas di SIC II LPSD
Kiri atas di SIC II LPSS
Kanan bawah di SIC IV LPSD
Kiri bawah di SIC VI 2 jari lateral LMCS
Auskultasi : S1 > S2, reguler, gallop (-), murmur (+) pansistolik, punctum
maximum di apex cor, menjalar ke axilla, derajat III, tidak
dipengaruhi inspirasi
g. Pemeriksaan abdomen: asites
Inspeksi : cembung
Perkusi : timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+)
Palpasi : Supel, undulasi (+)
Hepar : teraba 2 jari BACD, tepi tumpul, permukaan rata, konsistensi
kenyal
46
h. Pemeriksaan ekstremitas
Superior: edema(-/-), akral dingin(+/+), sianosis(+/+), clubbing finger(-/-)
Inferior: edema(+/+), akral dingin(+/+), sianosis(+/+), clubbing finger(-/-)
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
d. Anemia ringan
e. Hiperglikemia
f. LFG = 7,88 ml/menit/1,73 m2
Berdasarkan, penilaian singkat status hemodinamik, pasien pada kasus ini
termasuk dalam kelas C (wet and cold), yaitu adanya tanda-tanda kongesti dan
penurunan perfusi.
Penatalaksanaan pasien pada kasus ini berupa penatalaksanaan farmakologi
dan nonfarmakologi dengan prinsip:
1. Memperbaiki toleransi latihan
2. Mencegah atau memperlambat berkembangnya penyakit
3. Mengurangi komplikasi
47
Dry & Warm
Dry & ColdWet & Cold
Wet & Warm
No
No
Yes
Yes
Lowperfusion
at rest
Congestion at RestSigns/symptoms of congestion
Orthopnea / PND JV distension Ascites Edema Rales
Cool extremities Hypotension with ACE inhibitor Renal dysfunction (one cause)
Possible evidence of low perfusion Narrow pulse pressure Sleep/obtunded Low serum sodium
(Stevenson, 1999)
Fluid administrationNormal BP : VasodilatorsReduced BP: Inotropics or Vasopressor
DiureticVasodilators
4. Menurunkan lama rawat
5. Memperbaiki prognosis
1. Farmakologi :
Penatalaksanaan TujuanOksigenasi Membantu perfusi jaringan/mempertahankan Pa O2
IVFD RL 10 tpm Untuk memasukkan obat dan antisipasi gawat darurat. Pemilihan RL karena pasien juga menderita DM (tidak diberikan D5%)
Furosemid Untuk menurunkan preload sehingga pengisian ventrikel menurun → isi sekuncup meningkat → curah jantung meningkat.
Levemir Insulin basal untuk mengontrol glukosa darah. Dosis insulin yang digunakan 0,3 unit/kgBB/hari karena Cr darah pasien 6,39 mg/dl.
Digoxin Meningkatkan kontraksi jantungISDN VasodilatasiValsartan Vasodilatasi dan mengurangi retensi natrium dan airAminoral Elektrolit untuk insufisiensi renalCaCO3 Pengikat fosfatAsam Folat Membantu sintesis sel darah merahTransfusi PRC 2 kolf
Transfusi darah, dilakukan secara cermat dengan tidak menyebabkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran Hb: 11-12 g/dl.
2. Non farmakologi :
a. Istirahat untuk mengurangi kebutuhan oksigen dan menurunkan beban kerja
jantung.
b. Posisi setengah duduk untuk mengurangi venous return dan meningkatkan
volume udara paru oksigen.
c. Pengaturan diet
1) Diet jantung II dengan Diet Garam Rendah I
Diet jantung II diberikan sebagai perpindahan dari Diet Jantung I atau
setelah fase akit dapat diatasi. Diet Jantung II diberikan dalam bentuk
makanan saring atau lunak. Pada pasien terdapat hipertensi beart dan
edema, sehingga diberikan Diet Jantung II Garam Rendah I dengan
Natrium 200-400 mg.
2) Kalori 1223 kkal/hari
48
Prinsip Diet Jantung adalah energi cukup untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan normal. Nilai kalori pada Diet Jantung II
yaitu 1223 kkal/hari
3) Asupan protein 29,4-39,2 g/hari
Pembatasan protein pada gagal ginjal kronik bertujuan untuk mengurangi
hiperfiltrasi glomerulus. Pada pasien nilai LFG adalah 7,88 ml/menit/1,73
m2 sehingga diberikan protein 0,6-0,8 g/kgBB/hari.
4) Asupan fosfat ≤490 g/hari
Pembatasan asupan fosfat untuk mencegah hiperfosfatemia. Pada pasien
nilai LFG adalah 7,88 ml/menit/1,73 m2 sehingga diberikan prdilakukan
pembatasan fosfat ≤10 g/kgBB/hari.
5) Kadar K 40-70 mEq
Hiperkalemia dapat menyebabkan aritmia janung yang fatal, sehingga
pemberian obat-obatan yang mengandung K dan makanan yang tinggi K
(seperti buah dan sayuran) harus dibatasi
6) Pembatasan cairan, yaitu sebanyak jumlah urin sehari ditambah
pengeluaran cairan melalui keringat dan pernapasan (±500 ml).
d. Cegah infeksi untuk mengendalikan faktor presipitasi eksaserbasi akut pada
gagal jantung kronik
e. Edukasi penyakit kepada pasien meliputi terapi, komplikasi penyakit,
prognosis penyakit dan cara pencegahan perburukan penyakit
f. Monitoring
1) Keadaan klinis pasien vital sign, berat badan dan urine output 24 jam
2) Harus diperhatikan dan dicatat keseimbangan cairan pasien
3) Dilakukan pengawasan terhadap kalium plasma, natrium plasma, ureum
dan kreatinin
4) Efek samping obat
49
50
BAB V
KESIMPULAN
1. .
51
DAFTAR PUSTAKA
Brainwauld, E. (2009). Heart Failure and cor pulmonale. Dalam H. L. Kasper, Horrison's Principal Internal Medicine (hal. 216-230). New York: McGrewHill.
Donald M. Lloyd-Jones,Martin.Larson,Daniel Levy,Ramachandran S. Vasan, and William B. Kannel. (2002). Lifetime Risk for Developing Congestive Heart Failure. Circulation , 106, 3068-3072.
Donald;Mercedes;Bruce;Todd. (2010). Heart Disease. AIHA , 165, 121-128.
Elliott M. Antman, Chair; Sidney C. Smith, FAHA, Vice Chair. (2005). ACC/AHA 2005 Guideline Update for the. ACC/AHA Practice Guidelines , 155-185.
Gautam V. Ramani, Patricia A. Uber, Pharm D, and Mandeep R. Mehra. (2010). Chronic Heart Failure: Contemporary Diagnosis and Management. Mayo Clin Proc , 85, 180–195.
Ghanie, A. (2006). Gagal Jantung Kronik. Dalam B. S. Aryo Sudaryo, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (hal. 1511-1530). Jakarta: FK UI.
Joseph L. Izzo, J. H. (2004). Mechanisms and management of. Med Clin N Am , 88, 1257-1271.
Kart, W. (2002). Aldosterone in congestie heart failure. NEJM , 345, 1689-1697.
Margaret Jean Hall, Shaleah Levant , and Mand Carol J. DeFrances. (2010). Hospitalization for Congestive Heart Failure. NCHS , 108, 223-230.
McMurray, J. J. (2002). Systolic Heart Failure. NEJM , 362, 228-228.
ROUNDS, A. P. (2002). Congestive Heart Failure. Am. J. Respir. Crit. Care Med , 165, 4-8.
Ryde´n, L. (1999). Diabetes mellitus and congestive heart failure. European Heart Journal , 20, 789-795.
Walter, B. A. (2002). Heart failure with preserved ejection fraction: pathophysiology, diagnosis, and treatment. Eur Heart J , 32, 670-679.
Khalil, H.H. Hypertension in elderly Egyptians. 1996. Eastern Mediterranean Health Journal Vol 2 [serial online]: 206-10.
52
Hasan, R.2006. Hypertension Urgency and Emergency dan Abstract & Procceding
11 NCIHA and 15th ASHIMA. Departement of Cardiologi, Medical School USU Medan.
Vita Health. 2004. Hipertensi. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
Annemans, L., Nadia Demarteau, Shanlian Hu, Tae-Jin Lee, Zaher Morad, Thanom Supaporn, Wu-Chang Yang, Andrew J. Palmer (2008). "An Asian Regional Analysis of Cost-Effectiveness of Early Irbesartan Treatment versus Conventional Antihypertensive, Late Amlodipine, and Late Irbesartan Treatments in Patients with Type 2 Diabetes, Hypertension, and Nephropathy." Value In Health II Nomer 3: 354-364
Balakumar, P., Mandeep Kumar Arora, Manjeet Singh (2009). "Emerging role of PPAR ligands in the management of diabetic nephropathy." Pharmacological Research xxx: xxx–xxx.
Fauci, A. S., Braunwald Eugene, Kasper Dennis, Hauser Stephen, Longo, Larry Jameson, Joseph Loscalzo. (2008). Harrison's Principles Of Internal Medicine Seventeenth Edition. United States of America, The McGraw-Hill Companies.
Yamagishi, S., Nakamura, K., dan Telmisartan. 2006. Its Potential Therapeutic Implications in Cardiometabolic Disorders. Recent Patents on Cardiovascula Drug Discovery; 1: 79-83.
Schupp, M., et al. 2004. Angiotensin 1 receptor blockers induce peroxisome proliferators-activated receptor-gamma activity. Circulation: 2054-2056.
Kurtz, W.T. dan Prevenec, M. 2005. Antidiabetic mechansm of ACE Inhibitors and all receptor antagonist: Beyond the rennin angiotensin system. Journal of Hypertension; 22 (12):2253-2261.
Haffner, S.M. et al. 1998. N Engl J Med;339:229–234.
Benson, S. et al. 2004. Identification of temisartan as a unique angiotensin receptor antagonist with elective PPAR-g modulating activity. Hypertension 2004. 43: 93-1002.
Litosseliti, L. 2003. Using Focus Group in Research. Continuum London.
Krueger, Richard A. 1998. Focus Group A Practical Guide for Applied Research. SAGE Publication, Inc. Newbury Park, California.
53
54