prescil tetanus dr rachmad

47
PRESENTASI KASUS TETANUS Diajukan kepada: dr. Rachmad Aji Saksana, M.Sc., Sp.PD Disusun oleh: Hesti Putri Anggraeni G4A014089 Zafir Jehan Andika G4A014091 Indrasti Banjaransari G4A014092

Upload: hesti-putri-anggraeni

Post on 03-Sep-2015

250 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

tetanus

TRANSCRIPT

PRESENTASI KASUS

TETANUS

Diajukan kepada:dr. Rachmad Aji Saksana, M.Sc., Sp.PD

Disusun oleh:Hesti Putri AnggraeniG4A014089Zafir Jehan AndikaG4A014091Indrasti BanjaransariG4A014092

SMF ILMU PENYAKIT DALAMFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANRSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJOPURWOKERTO2015LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

TETANUS

Disusun oleh :Hesti Putri AnggraeniG4A014089Zafir Jehan AndikaG4A014091Indrasti BanjaransariG4A014092

Telah dipresentasikan padaTanggal, Juli 2015

Pembimbing,

dr. Rachmad Aji Saksana, M.Sc., Sp.PD

BAB IPENDAHULUAN

Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%. Selama 30 tahun terakhir, hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai pencegahan dan tata laksana tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO. Berdasarkan data dari WHO, data dari Vietnam diperkirakan insidens tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000 1.000.000 kasus per tahun.(Dire, 2009).Di Indonesia, tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar penyebab kematian pada anak, meskipun insidens tetanus saat ini sudah menurun, namun kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai angka 60%. Selain itu, meskipun angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun penyakit ini masih belum dapat dimusnahkan meskipun pencegahan dengan imunisasi (Ritawan, 2004).Pencegahan tetanus dapat difokuskan pada imunisasi awal, imunisasi diulang setiap 10 tahun atau pada saat berumur 40 sampai 50 tahun untuk menghindari kejadian tetanus pada saat tua. (Miranda, 2003).

BAB IILAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITANama : Tn. MUmur : 46 tahunJenis kelamin : Laki-lakiAgama : IslamPekerjaan : Wiraswasta (pedagang)Status : MenikahAlamat : Berta 4/5 Susukan, BanjarnegaraTanggal masuk RSMS: 19 Juni 2015Tanggal periksa : 23 Juni 2015Ruang Rawat: Asoka No. CM : 00951531

B. ANAMNESIS1. Keluhan utamaKaku seluruh badan.2. Keluhan tambahanPasien mengalami kejang berulang kali, sulit menelan, nyeri tenggorokan, sulit membuka mulut, leher terasa kaku, nyeri dan kaku perut3. Riwayat penyakit sekarangPasien merupakan rujukan dari Puskesmas Susukan ke IGD RSUD Margono Soekarjo. Pasien mengeluhkan kaku di seluruh badan, kejang berulang kali di seluruh badan, sulit menelan, sulit membuka mulut, nyeri dan kaku di perut. Sehari sebelum dibawa ke puskesmas pasien tertusuk paku pada tangan kirinya. Setelah itu pasien merasa seluruh badannya kaku, sering kejang dan demam, pasien sangat sensitif terhadap rangsangan sentuhan sehingga kejang menjadi sering dan semakin lama terjadi. Kaku dan kejang menyebabkan pasien tidak dapat beraktivitas total, dan bergantung kepada anggota keluarga yang lain. Kaku seluruh badan terjadi sepanjang hari dan kejang dapat terjadi setiap 30 menit sekali. Pasien tidak dapat makan dan minum dikarenakan kaku pada rahang serta nyeri saat menelan.4. Riwayat penyakit dahulua. Riwayat penyakit yang sama:disangkalb. Riwayat hipertensi:diakuic. Riwayat DM:disangkald. Riwayat asma:disangkale. Riwayat keganasan:disangkalf. Riwayat epilepsi:disangkalg. Riwayat operasi:disangkal5. Riwayat penyakit keluargaa. Riwayat hipertensi:diakuib. Riwayat DM:disangkalc. Riwayat asma:disangkald. Riwayat alergi:disangkal6. Riwayat sosial dan exposurea. CommunityPasien tinggal di lingkungan padat penduduk. Rumah satu dengan yang lain berdekatan. Hubungan antara pasien dengan tetangga dan keluarga dekat baik.b. HomeSehari hari pasien tinggal bersama istri dan anak anaknya. Rumah yang dihuni terdiri dari 3 kamar, ruang tamu, dapur dan ruang makan. Memiliki kamar mandi dan jamban di dalam rumah. Atapnya memakai genteng dan lantai terbuat dari keramik. Ventilasi pencahayaan setiap ruangan memiliki jendela yang selalu dibuka pada pagi hari.c. OccupationalPasien bekerja sebagai wiraswasta (pedagang), dan biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS.d. Personal HabitKeseharian pasien adalah bekerja sebagai pedagang di pasar, dan juga melakukan pekerjaan rumah.e. DietPasien mengakui menyukai semua jenis makanan, pola makan sehari hari 3 kali sehari dengan menu nasi, sayur sayuran dan lauk pauk.

C. OBJEKTIF1. Keadaan Umum:sedang2. Kesadaran:compos mentis3. Vital Sign Tanggal 19 Juni 2015TD:160/110 mmHgN:84 x/menitRR:24 x/menitS:360C4. Status GeneralisBentuk kepala:Mesocephal, simetris, tanda radang (-)Rambut :Warna rambut hitam, pendek, tidak mudah dicabut,Terdistribusi merataMata:Simetris, edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+), normal isokor 3 mm, ujung alis tertarik ke atas (+)Telinga:Discharge (-/-), deformitas (-/-), nafas cuping hidung(-)Hidung:Discharge (-/-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)Mulut:Bibir pucat (-), sianosis (-), lidah sianosis (-), atrofi papil lidah (-), trismus (+), ujung bibir tertarik keluar dan bawah (+)Leher :Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP 5+2 cm5. Status LokalisPulmoInspeksi :Dinding dada simetris, retraksi interkostal (-), ketinggalan gerak (-), jejas (-)Palpasi:Vokal fremitus hemithoraks kanan sama dengan hemithoraks kiriPerkusi:Sonor di kedua lapang paruAuskultasi:Suara dasar vesikuler (+) normal, RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing (-/-), ekspirasi memanjang (-)CorInspeksi:Ictus cordis tampak di SIC V LMCSPalpasi:Ictus cordis teraba pada SIC V 2 jari medial LMCS, kuat angkat (-)Perkusi:Batas jantungKanan atas SIC II LPSDKiri atas SIC II LPSSKanan bawah SIC IV LPSDKiri bawah SIC V 2 jari medial LMCSAuskultasi: S1 > S2, regular, murmur (-), gallop (-)Abdomen Inspeksi:DatarAuskultasi:Bising usus (+) NormalPerkusi :Timpani, tes pekak alih (-), pekak sisi (-)Palpasi:Teraba keras seperti papan, tegang (+) supel (-), undulasi (-), nyeri tekan (+)Hepar: Tidak terabaLien:Tidak terabaEkstremitas Superior:edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ptekie (-/-), vulnus laseratum 1 cm x 2 cm di manus sinistralengan kanan dan kiri kaku dan fleksi

Inferior :edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ptekie(-/-), tungkai kanan dan kiri kaku dan ekstensi

D. DIAGNOSISTetanus grade III

E. TERAPIA. Perawatan di Ruang IsolasiB. Farmakologi O2 4 lpm NK IVFD D5% + diazepam 3 amp 16 tpm Inf Aminofluid 16 tpm Inj Diazepam 1 amp (jika kejang) Inj Ceftriaxon 1 gram / 12 jam Inj Ranitidin 1 amp / 12 jam Inj Metronidazole 500mg / 6 jam Inj Tetagram 3000 IU IMC. Non Farmakologi Fisioterapi Diet bubur

F. PROGNOSISAd vitam:dubia ad bonamAd fungsionam:dubia ad bonamAd sanamtionam :dubia ad bonam

BAB IIITINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus dan spasme otot, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini disebabkan oleh Clostridium tetani, merupakan basil gram positif anaerob. Bakteri ini termasuk bakteri nonencapsulated dan berbentuk spora, yang tahan panas, pengeringan dan desinfektan. Spora berada di mana-mana dan ditemukan di tanah, debu rumah, usus hewan dan kotoran manusia. Spora ini akan memasuki tubuh penderita, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin. Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease". Pada tahun 1890, ditemukan toksin seperti strichnine, yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri dan kemudian dikenal dengan tetanospasmin. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus. Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong, tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum) (Lubis, 2003).

B. EtiologiKuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman berbentuk batang ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 m dan mempunyai sifat:1. Basil gram positif dengan spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.2. Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella.3. Menghasilkan eksotoksin yang kuat.4. Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi, kekeringan dan desinfektan.5. Kuman hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di daerah pertanian/peternakan. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun, dalam lingkungan yang anaerob dapat berubah menjadi bentuk vegetatif yang akan menghasilkan eksotoksin.6. Kuman ini memiliki toksin yang dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot7. Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Tetanospamin dapat menyebabkan penyakit tetanus. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tetanospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk 70 kilogram manusia. 8. Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif. 9. Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap antiseptis. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8F (121C) selama 1015 menit. Juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya.

Gambar 1. Mikroskopik Clostridium tetani

C. Patogenesis dan PatofisiologiClostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen.Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani. Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli dalam 20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan pada hewan.C. tetani merupakan mikroorganisme yang relatif non-invasif yang kehadirannya di jaringan sulit dibuktikan. Pada kondisi yang jarang, C. tetani dapat dikultur dari darah. Bakteri ini menimbulkan reaksi lokal yang minimal pada luka yang biasanya tanpa supurasi. Spora yang mengalami transformasi ke bentuk vegetatif melepaskan toksin solubel tetanospasmin yang bertanggung jawab terhadap manifestasi klinis tetanus. Tetanospasmin dapat mencapai lima persen dari berat bakteri. Tetanospasmin awalnya terdiri dari rantai polipeptida tunggal dengan berat molekul 150-kDa yang tidak aktif. Toksin tersebut kemudian terbagi menjadi dua subunit oleh enzim protease jaringan yaitu rantai berat dengan berat molekul 100-kDa dan rantai ringan dengan berat molekul 50-kDa yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Ujung karboksil dari rantai berat berikatan dengan membran neural dan ujung amino menciptakan pori untuk masuknya rantai ringan ke dalam sitosol. Faktor genetik yang mengontrol produksi tetanospasmin terdapat pada plasmid bakteri (Edlich,2003).Setelah rantai ringan memasuki motorneuron, senyawa tersebut ditranspor melalui akson secara intraaksonal dan retrograd dari tempat infeksi ke korda spinalis dalam 2-14 hari. Transpor awalnya terjadi pada neuron motorik kemudian pada neuron sensorik dan autonom. Ketika mencapai badan sel toksin dapat berdifusi keluar dan mempengaruhi neuron-neuron lain. Apabila terdapat toksin dalam jumlah besar sebagian toksin akan masuk ke dalam sirkulasi dan berikatan dengan ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Ketika mencapai korda spinalis, rantai ringan memasuki neuron inhibitori sentral kemudian memecah sinaptobrevin, senyawa yang penting dalam pengikatan vesikel neurotransmiter ke membran sel. Tetanospasmin memiliki efek predominan terhadap neuron inhibitori dan yang pertama terkena adalah neuron yang menginhibisi alfa motor neuron. Setelahnya neuron simpatetik preganglionik di kornu lateralis dan pusat parasimpatetik juga terkena. Akibatnya vesikel yang mengandung gamma amino-butyric acid (GABA) dan glisin tidak dilepaskan dan terjadi hilangnya aksi inhibitori pada neuron motorik dan autonomik. Hilangnya inhibisi sentral menimbulkan kontraksi otot yang terus menerus (spasme) yang terjadi sebagai respon terhadap stimuli normal seperti suara atau cahaya dan hiperaktivitas autonomik. Transpor intraneural retrograd yang lebih lanjut terjadi dan toksin mencapai batang otak dan diensefalon. Efek fisiologis tetanospasmin serupa dengan striknin (Edlich,2003).Motor neuron juga dipengaruhi oleh tetanospasmin dan pelepasan asetilkolin ke celah neuromuskular menurun. Efek ini serupa dengan efek toksin botulinum yang menimbulkan gejala paralisis flasid. Meskipun demikian, pada tetanus efek disinhibitori motoneuron melampaui penurunan fungsi pada sambungan neuromuskular sehingga yang tampak adalah akibat dari gangguan inhibisi. Efek pre-junctional pada sambungan neuromuskular dapat menyebabkan terjadinya kelemahan diantara spasme dan dapat merupakan penyebab paralisis nervus kranialis yang ditemukan pada tetanus sefalik dan miopati yang ditemukan setelah penyembuhan (Cook, 2001).Pelepasan impuls eferen yang tidak terkontrol dan tanpa inhibisi dari motoneuron pada medula spinalis dan batang otak menyebabkan rigiditas muskuler dan spasme yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang sehingga otot-otot agonis dan antagonis berkontraksi secara bersamaan. Spasme otot sangat nyeri dan dapat menyebabkan fraktur serta ruptur tendon. Otot-otot rahang, wajah, dan kepala merupakan yang pertama kali terpengaruh karena jalur aksonal yang lebih pendek kemudian diikuti otot-otot tubuh dan ekstremitas tetapi otot perifer pada tangan dan kaki sering tidak terpengaruh. Pelepasan impuls autonom tanpa inhibisi menyebabkan gangguan kontrol autonomik dengan overaktivitas simpatetik dan kadar katekolamin plasma meningkat. Toksin yang telah terikat pada neuron tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Pengikatan toksin terhadap neuron bersifat ireversibel dan proses penyembuhan memerlukan pertumbuhan ujung saraf yang baru sehingga perbaikan klinis baru terlihat 2-3 minggu setelah terapi dimulai (Bhatia, 2002).1. Penyebaran toksinToksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara, sebagai berikut:a. Masuk ke dalam ototToksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf pusat.b. Penyebaran melalui sistem limfatikToksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.c. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena.Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan saraf pusat. d. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom.Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.2. Mekanisme kerja toksin tetanusa. Jenis toksinClostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebutb. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan sarafToksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas belum diketahui secara jelas.Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun tetap mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan dengan sel saraf. Tetanus toxinNormal: Inhibitory interneuron glycine Blocks excitation & acetylcholine release muscle relaxation

Tetanus toxin: Blocks glycine release no inhibition at acetylcholine release irreversible contraction spastic paralysisc. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitterTempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.3. Perubahan akibat toksin tetanusa. Susunan saraf pusatEfek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation. Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang.Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten terhadap toksin. Rasa sakitRasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang.Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada kornu posterior dan interneuron. Fungsi LuhurKesadaran penderita pada umumnya baik.Pada mereka yang tidak sadar biasanya berhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan.b. Aktifitas neuromuskular periferToksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat. Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi.Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa:1) Neuropati perifer2) Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah sembuh.3) Denervasi parsial dari otot tertentu.c. Perubahan pada sistem saraf autonomPada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut.Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari otot (retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis medula spinalis torakal).Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum mengenai berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu dan kendali otot bronkus, namun dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu.d. Gangguan sistem pernafasanGangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat:1. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang tidak terkena efek toksin.1. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan menelan dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang dapat menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis.1. Kelainan paru akibat iatrogenik.1. Gangguan mikrosirkulasi pulmonalKelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi.Kelainan yang terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic pulmonal dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau infeksi sistemik seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.1. Gangguan pusat pernafasanObservaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat pernafasan dapat terkena oleh toksin tetanus.Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot dan henti jantung dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan percobaan.Selain itu ditemukan bahwa penderita mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia.Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada penderita tetanus adalah : Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai -1 jam. Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged respiratory arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal. Henti nafas akut dan mati mendadak.Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab sekunder seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama atau spasme laring, hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat gangguan keseimbangan asam basa.e. Gangguan hemodinamikaKetidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus berat masih sangat jarang dilakukan karena: Kendala etik Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa, yang kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit penilaian dari hasil penelitian.f. Gangguan metabolikMetabolic rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan hormonal.Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi dengan pemberian muscle relaxans.Berbagai percobaan memperlihatkan adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum protein terutama fraksi albumin.Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap toksin.g. Gangguan hormonalGangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi pada penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan adanya demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder.Peningkatan alertness dan awareness menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang berlebihan.Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang merangsang sekresi hormon.Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar endokrin.h. Gangguan pada sistem lainBerbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara langsung dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahan-ulserasi mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus gastrointestinal disebakan semata-mata karena efek toksin atau oleh karena efek sekunder dari hipovolemia, shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu.Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin dapat terjadi karena gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik di tingkat batang otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer simpatis, parasimpatis.Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas kapiler pada organ tertentu.D. Manifestasi KlinisVariasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar anatara 5-14 hari. Makin lama masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat penyakit selain berdasarkan gejala klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama masa inkubasi atau lama period of onset. Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua lengan dan ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai busur.Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan:1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris.2. Kaku kuduk sampai epistotonus (karena ketegangan otot-otot erector trunki)3. Ketegangan otot dinding perut (harus dibedakan dengan abdomen akut)4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin terdapat di kornu anterior.5. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas),sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi.6. Kesukaran menelan,gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan sering merupakan gejala dini.7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan epistotonus, ekstremitas inferior dalam keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat. Anak tetap sadar. Spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramusculus karena kontraksi yang kuat.8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi urine dapat terjadi karena spasme otot urethral. Fraktur kolumna vertebralis dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan cairan otak. Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:1. Tetanus lokalTetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka kematian sekitar 1%.Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka.Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga tetanus lokal ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah.Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.2. Tetanus CephalicTetanus cephalic adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1 2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.3. Tetanus umumBentuk tetanus yang paling sering ditemukan.Sering menyebabkan komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50%), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine,kompressi frak tur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.Cole dan Youngman (1969) membagi tetanus umum atas :Grade I: ringan-Masa inkubasi lebih dari 14 hari.-Period of onset > 6 hari-Ttrismus positif tapi tidak berat- Sukar makan dan minum tetapi disfagi tidak adaLokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme disekitar luka dan kekakuan umum terjadi beberapa jam atau hari.Grade II: sedang Masa inkubasi 10-14 hari Period of onset 3 hari atau kurang Trismus dan disfagi ada Kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispnoe dan sianosis tidak adaGrade III: berat Masa inkubasi < 10 hari Period of onset < 3 hari Trismus dan disfagia beratKekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat banyak dan takikardia.4. Tetanus neonatorumTetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.E. DiagnosisDiagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:- Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka.- Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap- Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.- Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek- Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan dimana kesadaran tetap baik.Temuan laboratorium:- Lekositosis ringan-Trombosit sedikit meningkat-Glukosa dan kalsium darah normal-Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat- Enzim otot serum mungkin meningkat-EKG dan EEG biasanya normal- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan- Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml).F. Diagnosis bandingBerikut ini Tabel yang memperlihatkan differential diagnosis Tetanus:PENYAKITGAMBARAN DIFFERENTIAL

INFECTIONSMeningoencephalitis

Polio

Rabies

Lesi oropharyngeal

Peritonitis Demam, trismus tidak ada, sensorium depresi, abnormal CSFTrismus tidak ada, paralisa tipe flaccid, abnormal CSFGigitan binatang, trismus tidak ada, hanya oropharingeal spasmeHanya local, regiditas seluruh tubuh atau spasme tidak adaTrismus atau spasme seluruh tubuh tidak ada

KELAINAN METABOLIKTetany

Keracunan strychnineRelaksasi phenothiazine

Hanya carpopedal dan laryngeal spasme, hypocalcemiaRelaksasi komplet diantara spasmeDystonia, respons dengan diphenydramine

PENYAKIT CNSStastus epilepticusHemorrhage atau tumor Sensorium depressiTrismus tidak ada, sensorium depressi

KELAINAN PSYCHIATRICHysteria

Trismus inkonstan, relaksasi komplet diantara spasme

KELAINAN MUSCULOSKLETALTrauma

Hanya local

G. Penatalaksanaan1. Pencegahana. Mencegah terjadinya luka. b. Perawatan luka yang adekuat.c. Pemberian Anti Tetanus Serum (ATS), diberikan dalam beberapa jam setelah luka yaitu memberikan kekebalan pasif, sehingga dapat dicegah terjadinya tetanus atau masa inkubasi diperpanjang atau bila terjadi tetanus gejalanya ringan. Umumnya diberikan 1.500 U I.M dengan didahului uji kulit dan mata. d. Pemberian toksoid tetanus pada anak yang belum pernah mendapat imunisasi aktif pada minggu-minggu berikutnya setelah pemberian ATS kemudian diulangi lagi dengan jarak waktu 1 bulan 2 kali berturut-turut.e. Pemberian penisilin prokain selama 2-3 hari setelah mendapatkan luka berat (dosis 50.000 U/kgbb/hari).f. Imunisasi aktifToksoid tetanus diberikan agar anak membentuk kekebalan secara aktif.Vaksinasi dasar diberikan bersama vaksinasi terhadap pertusis dan difteri, dimulai umur 3 bulan. Vaksinasi ulangan (booster) diberikan 1 tahun kemudian dan pada usia 5 tahun serta selanjutnya setiap 5 tahun diberikan hanya bersama toksoid difteri (tanpa vaksin pertusis). 2. Pengobatana. Tetanus Imun Globulin (TIG) lebih dianjurkan pemakaiannya dibandingkan dengan Anti Tetanus Serum (ATS) dari hewan. Dosis inisial TIG yang dianjurkan adalah 5.00 U I.M, dilanjutkan dengan dosis harian 500 6.000 U. bila pemberian TIG tidak memungkinkan ATS dapat diberikan dengan dosis 5.000 U I.M dan 5.000 U I.V. Pemberian baru dilaksanakan setelah dipastikan tidak ada reaksi hypersensitivitas.b. Pengobatan spesifik dengan ATS 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut secara I.M dengan didahului uji kulit dan mata. Bila hasil positif, maka pemberian ATS harus dilakukan dengan disensitisasi cara besredka.c. Antikonvulsan dan penenangBila kejang hebat diberikan fenobarbital dengan dosis awal : < 1 tahun 50 mg > 1 tahun 75 mgDilanjutkan dosis 5 mg/kgbb/hari, dibagi 6 dosis. Diazepam :4 mg/kgbb/hari, dibagi 6 dosis, bila perlu i.v. Largaktil :4 mg/kgbb/hari, dibagi 6 dosisBila kejang sukar diatasi dapat diberikan:Kloralhidrat 5% dengan dosis 50 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3-4 dosis, secara per rektal.d. Penisilin prokain 50.000 U/kgbb/hari I.M, diberikan sampai 3 hari panas turun.e. Diet harus cukup kalori dan proteinKonsistensi makanan tergantung kepada kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila terdapat trismus diberikan makanan cair melalui lambung. Bila perlu diberikan pemberian nutrisi secara parenteral.f. Isolasi untuk menghindari rangsangan (suara, tindakan terhadap penderita). Ruangan perawatan harus tenang.g. Bila perlu diberikan oksigen dan kadang-kadang diperlukan tindakan trakeostomi untuk menghindari akibat obstruksi jalan napas.Anak dianjurkan untuk dirawat di unit perawatan khusus bila didapatkan keadaan:1. Kejang-kejang yang sukar diatasi dengan obat-obatan anti konvulsan yang biasa.1. Spasme laring1. Komplikasi yang memerlukan perawatan intensif seperti sumbatan jalan napas, kegagalan pernapasan, hypertemi dan sebagainya.H. Komplikasi1. Gangguan pada ventilasi paru, akibat spasme otot-otot pernapasan dan spasme laring atau akibat dari penimbunan sekresi dapat menimbulkan aspirasi pneumonia, atelektasis, emfisema mediastinum atau pneumothoraks.1. Laserasi pada lidah atau mukosa pipi, hematoma intramuskuler dan fraktur-fraktur vertebra dapat terjadi setelah serangan kejang tetanik.1. Jika penyakit berlangsung lama, dapat terjadi malnutrisi dan dehidrasi koloid bisa diberikan perhatian yang memadai pada masalah keseimbangan cairan dan pemasukan kalori.1. Pada kasus yang berat sering terjadi komplikasi disfungsi autonomik yang ditandai oleh : Hipertensi yang labil dan menetap Takikardia Aritmia Hiperpireksia Berkeringat yang berlebihan Vasokonstriksi perifer Peningkatan kadar katekolamin plasma dan urin.I. Prognosis Faktor-faktor yang dapat memperburuk keadaan yaitu :1. Masa inkubasi yang pendek (< 7 hari)1. Frekuensi kejang yang sering1. Kenaikan suhu badan yang tinggi1. Pengobatan terlambat1. Periode trismus dan kejang yang semakin sering1. Adanya penyulit spasme otot pernapasan dan obstruksi jalan napas1. Usia yang sangat muda (neonatus) dan usia lanjut

BAB IVKESIMPULAN

1. Penyakit Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus dan spasme otot, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.1. Tetanus disebabkan oleh kuman Clostridium tetani, suatu kuman gram positif.1. Patogenesis dimulai dengan dilepaskannya toksin tetanus ke dalam tubuh.1. Berdasarkan gejala klinis dapat dibagi 4 bentuk :1. Tetanus terlokalisasi1. Tetanus menyeluruh (generalisata)1. Tetanus sefalik1. Tetanus neonatus1. Diagnosis dapat ditegakkan dengan gejala klinis yang ditemukan, riwayat trauma dan biakan kuman.1. Penatalaksanaan dilakukan dengan cara pencegahan dan pengobatan.1. Komplikasi dapat mengenai sistem pernapasan, hematoma intramuskuler dan fraktur vertebra.1. Prognosis bergantung kepada faktor-faktor yang dapat memperburuk keadaan dan komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Behrman, Kligman, Arvin. 2000. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15.Vol. 2. Jakarta: EGC.Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurology India. 2002;50:398-407.Cook T, Protheroe R, Handel J. Tetanus: a review of the literature. British Journal of Anaesthesia. 2001;87(3):477-87.Dire, D.J. 2009. Tetanus & Medication diakses dari http://medicastore.com/penyakit/91/Tetanus.html di akses tanggal 10 Juli 2015.Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M, et al. Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term Effects of Medical Implants. 2003;13(3):139-54.Hasan R, Alatas Husein. 1985. Tetanus, Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Jakarta: FKUI.Hendarwanto. 2001. llmu Penyakit Dalam, Jilid 1.Jakarta: Balai Penerbit FK UI.Himawan, Sutisna. 1996. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.Horrison. 1995. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 2 Edisi 13.Jakarta: EGC.Lubis, CP. 2003. Management of Tetanus in Children, Pediatric Indonesiana,vol.33. Medan : Balai Penerbit FK USU.Mardjono, Mahar. 2004. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.Miranda Filho DB, Ximenes RAA, Benardino SN, Escariao AG.2003. Identification of risk factors of death from tetanus in Pernambuco, Brazil. A case control study. Rev Inst Med Trop Sao Paulo.Nelson, et al. 1996.Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 12 Bagian 2. Jakarta: EGC.Noer Sjaifoellah, HM. 1996.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.Prijanto M, Handayani S, Parwati D, et al. 2002. Status Kekebalan Terhadap Difteri dan Tetanus Pada Anak Usia 4-5 Tahun dan Siswa SD Kelas VI, Cermin Dunia Kedokteran No. 134.Rahim Abdulah, Lintang M, Suharto, J. Suharno. 1994. Batang Positif Gram.Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Bina Rupa Aksara.Ritawan, K. 2004. Tetanus, diakses dari library.usu.ac.id/download/fk/penysarafkiking2.pdf. diakses tanggal 11 Juli 2015.Soedarmo, Sumarmo P. Poorwo. Herry Garna, et al. 2002. Buku Ajar Infeksi & Pediatric Tropis. Edisi Kedua. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1986. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta: Infomedika.

2