makalah epilepsi

46
FARMAKOTERAPI II MAKALAH EPILEPSI ANONIM FAKULTAS FARMASI 1

Upload: prasetyo-hendy-kurniawan

Post on 05-Nov-2015

201 views

Category:

Documents


45 download

DESCRIPTION

Farmasi, makalah epilepsi lengkap

TRANSCRIPT

FARMAKOTERAPI IIMAKALAH EPILEPSI

ANONIM

FAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA2014

EPILEPSII. PengertianEpilepsi adalah setiap kelompok sindrom yang ditandai dengan gangguan otak sementara yang bersifat paroksismal yang dimanifestasikan berupa gangguan atau penurunan kesadaran yang episodic, fenomena motorik yang abnormal, gangguan psikis, sensorik, dan system otonom; gejala-gejalanya disebabkan oleh aktivitas listrik otak (Kumala et al, 1998)Gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam bentuk serangan berulang yang disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak yang bersifat reversible. Serangan ini dapat timbul secara tiba-tiba dan dapat menghilang secara tiba-tiba pula.Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya serangan: 1. Faktor sensoris : cahaya berkedip-kedip,bunyi-bunyi yang mengejutkan dan air panas,2. Faktor sistemis : demam, penyakit infeksi,obat-bat tertentu misalnya golongan fenotiazin, chlorpropamid, hipoglikemi, kelelahan fisik,3. Faktor mental : stress dan gangguan emosi. (Mansjoer, 2000).Pemeriksaan Diagnostika. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit neurologik yang jelasb. Elektroensefalogram (EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu seranganc. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah. mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah menilai fungsi hati dan ginjal menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan adanya infeksi). fungsi lumbal untuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak(Rahza, 2010).II. Insidensi, Prevalensi dan EpidemiologiRata-rata 10% populasi pernah mengalami kejang di saat tertentu. Lebih dari 30% dari semua kejang diperantarai oleh gangguan sistem saraf pusat. Kejang yang terjadi secara berkala/berulang membutuhkan pengobatan dengan obat antiepilepsi. Kondisi reversibel seperti penghentian alkohol, demam, gangguan metabolisme dapat memperantarai kejang akut. Kejang ini tidak termasuk epilepsi dan tidak membutuhkan terapi obat antiepilepsi. Secara umum, 1% populasi umum terkena epilepsi (Mary,2009).Insiden epilepsi adalah 44/100000 orang/tahun. Setiap tahun, kira-kira 125.000 kasus epilepsi baru ditemukan di USA. Hanya 30% yang berumur 65 tahun (Dipiro,2008).

III. EtiologiSemua hal yang mengganggu homeostasis normal neuron dan stabilitasnya dapat mengakibatkan hipereksitabilitas dan kejang. Ada banyak penyebab epilepsi, antara lain :1. Faktor genetis2. Pasien dengan gangguan mental, trauma di kepala (head injury) atau stroke memiliki faktor risiko yang lebih tinggi terkena kejang atau epilepsi.3. Gangguan tidur, sensor stimulus dan stress dapat meningkatkan frekuensi kejang.4. Perubahan hormonal (mens, puber,kehamilan) juga dapat meningkatkanfrekuensi kejang.5. Obat-obatan (teofilin, alkohol, fenotiazin dosis tinggi, antidepresan) dapat meningkatkan risiko kejang.6. Trauma lahir juga merupakan faktor risiko perkembangan kejang parsial (Dipiro,2008).

IV. Gambaran KlinisBerdasarkan International Classification of Epileptic Seizures, kejang dibagi menjadi dua yaitu, kejang parsial/focal dan kejang umum (generalized seizures).

Kejang parsialKejang berasal dari 1 daerah fokus lalu menyebar ke daerah lain. Jika menyebar hingga bagian lain otak, maka menjadi secondory generalization seizures

Secondory generalization seizuresFokus kejang berasal dari daerah yang berbeda, lalu menyerang thalamus dan merusak bagian otak di sisi lain

Primary generalized seizureFokus kejang berasal dari talamus itu sendiri. Terjadi pada kedua bagian otak pada waktu yang bersamaan.

Kejang umum terbagi atas: Tonic-clonic convulsion = grand mal merupakan bentuk paling banyak terjadi pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, keluar air liur bisa terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit lidah terjadi beberapa menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala atau tidur Abscense attacks = petit mal jenis yang jarang umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip, dengan kepala terkulai kejadiannya cuma beberapa detik, dan bahkan sering tidak disadari Myoclonic seizure biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba jenis yang sama (tapi non-epileptik) bisa terjadi pada pasien normal Atonic seizure jarang terjadi pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot jatuh, tapi bisa segera recovered

Kejang parsial terbagi menjadi : Simple partial seizures pasien tidak kehilangan kesadaran terjadi sentakan-sentakan pada bagian tertentu dari tubuh Complex partial seizures pasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali: gerakan mengunyah, meringis, dll tanpa kesadaran V. Gejala1. Kehilangan kesadaran (pingsan)2. Lidah menjulur3. Keluar air liur4. Mulut mengeluarkan buih atau busa5. Kejang bersifat kontinu, berulang dan disertai gangguan kesadaran pada periode interiktal.6. Durasi kejang secara klinis yaitu 4-5 menit

Komplikasi1. Kerusakan otak akibat hipoksia dan retardasi mental dapat terjadi setelah kejang yang berulang2. Depresi dan ansietas dapat terjadi.

VI. PatofisiologiOtak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah: a. Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter b. GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brains inhibitory neurotransmitter. Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsy belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut. Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu: Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik. Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak. Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian yang saling terkait : Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk menimbulkan bangkitan. Hilangnya postsynaptic inhibitory controle sel neuron. Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul. (Meldrum,1988).Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain. Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya, subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya. Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion.Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik) depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus.

VII. Manejemen TerapiOutcome Terapi: Memperbaiki kualitas hidup pasienTujuan terapinya: Mencegah kekambuhan penyakit dan meminimalkan terjadinya kejangSasaran terapi : Penghantaran impuls pada membran saraf pusatStrategi terapi : Terapi non farmakologis dan terapi farmakologis. 1. Pengobatan kuratif (kausal)Selidiki adanya penyakit yang masih aktif (tumor otak, hematoma subdural kronis) pada lesi aktif atau progresif yang belum ada obatnya (penyakit degeneratif), lesi (idiopatik, kriptogenetik), atau lesi yang sudah inaktif (sequel karena trauma lahir, meningoensefalitis)2. Pengobatan preventif (rumat)Klien dengan epilepsy cenderung mengalami serangan kejang secara spontan, tanpa factor provokasi yang kuat atau nyata. Pengobatan kejang pada epilepsy perlu dilakukan untuk mencegah kejang (Battica, 2008).

Terapi non farmakologi a. Diet makanan tinggi lemak serta rendah karbohidrat dan protein. b. Pembedahan, tiga persyaratan mutlak untuk melakukan operasi yaitu adanya diagnosis mutlak epilepsi, kegagalan terapi obat adequate, dan sindrom elektroklinikal. c. Vagal Nerve Stimulation (VNS) yaitu implantasi dari perangsang saraf vagald. Hindari stresse. Istirahat yang cukup

Terapi farmakologiObat epilepsi terbagi dalam 8 golongan. 1. Golongan Hidantoin: Fenitoin, Mefenotoin, Etotoin.Fenitoin/Phenytoin biasa dalam bentuk garamnya yaitu Phenytoin Na dengan sediaan kapsul 50 mg dan 100 mg, serta ampul untuk suntik 100mg/2 ml.2. Golongan Barbiturat: Fenobarbital, Primidon.Fenobarbital atau Phenobarbital tersedia dalam bentuk garamnya untuk sediaan suntik dengan kemasan ampul 200 mg / 2 ml. Juga ada yang dikombinasi dengan golongan hidantoin (Diphenylhidantoin) tersedia dalam bentuk tablet.3. Golongan Oksazolidindion: Trimetadion. 4. Golongan Suksinimid: Etosuksimid, Karbamazepin, Ox Carbazepine 5. Golongan Benzodiazepin: Diazepam, Klonazepam, Nitrazepam, Levetiracetam 6. Golongan Asam Valproat dan garamnya (Divalproex Na) 7. Golongan Phenyltriazine: Lamotrigine Lamotrigine dapat menyebabakan ruam yang berakibat fatal sehingga menimbulkan cacat atau kematian. Beritahu dokter anda kalau anda minum juga obat golongan asam valproat, karena obat golongan ini dapat meningkatkan efek samping Lamotrigine. Selain sebagai obat epilepsi juga digunakan untuk memperpanjang periode serangan pada penderita depresi, mania dan perasaan yang abnormal lainnya pada penderita bipolar I.8. Golongan Gabapentin dan turunannya (Pregabalin)Pregabalin digunakan untuk mengontrol serangan epilepsi. Obat epilepsi ini tidak menyembuhkan epilepsi dan hanya akan bekerja untuk mengontrol serangan epilepsi sepanjang minum obat epilepsi ini. Obat ini juga digunakan untuk nyeri syaraf yang disebabkan penyakit herpes (post herpetic neuralgia) dan nyeri akibat kerusakan syaraf karena diabetes. Pregabalin baru tersedia dalam bentuk kapsul 75 mg.9. Lainnya: Fenasemid, TopiramateTopiramate merupakan obat epilepsi baru dengan sediaan tablet 25 mg, 50 mg dan 100 mg juga dalam bentuk kapsul sprinkle 15 mg, 25 mg dan 50 mg. Diminum sebelum atau sesudah makan dengan air segelas penuh.

Berdasarkan mekanismenya, obat antiepilepsi dikelompokkan sebagai berikut: Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+Dengan menginaktivasi kanal Na sehingga akan menurunkan kemampuan syaraf untuk menghantarkan muatan listrik. Sebagai contoh: fenitoin, carbamazepine, lamotrigin, okskarbazepin, valproat Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitori GABAergik: Agonis reseptor GABA: bekerja dengan meningkatkan transmisi penghambatan/inhibitori dengan mengaktifkan kerja resptor GABA. Sebagai contoh: benzodiazepine, barbiturate Menghambat GABA transaminase sehingga akan meningkatkan konsentrasi GABA di system saraf pusat. Sebagai contoh: Vigabatrin Menghambat GABA transposter sehingga menghasilkan efek memperlama aksi GABA. Contoh: Tiagabin. Meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan serebrospinal pasien sehingga mungkin dengan menstimulasi pelepasan GABA dari nonvesikular pool. Contoh: gabapentin.VIII. Obat-obat Antiepilepsi1. CARBAMAZEPINE Farmakologi dan mekanisme aksiMekanisme aksi carbamazepine adalah menekan terjadinya serangan yang hebat, dengan mempengaruhi kanal ion Na tervoltasi. Carbamazepine harus dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien pasien dengan diagnosis partial seizures dan untuk pasien dengan kejang pada saat serangan yang tidak membutuhkan penanganan emergensi. Efek sampingBiasanya tidak terjadi, jika terjadi efek samping berupa aritmia, edema, hiper/hipotensi, tromboembolis, tromboplebitis, amnesia, anxietas, depresi, kejang, lelah, sakit kepala, rash, konstipasi, diare, dispepsia, mual, muntah, retensi urin, hepatitis, dll. Interaksi Obat Karena efek terapi dan efek samping yang muncul tergantung konsentrasi, maka interaksi obat dengan carbamazepine menjadi hal yang sinifikan secara klinis. Valproic acid meningkatkan metabolit 10,11-epoxide. Tanpa mempengaruhi konsentrasi carbamazepine dengan penghambatan epoxide hydrolase. Obat yang menhambat CYP3A4 memiliki potensial dapat meningkatkan konsentrasi carbamazepine dalam darah. Dosis dan penggunaanDosis awal peroral 100-200 mg 1-2 kali sehari dinaikan bertahap sampai 800-1200 mg/hari dalam dosis terbagiDosis anak 1 th 100-200 mg dalam dosis terbagiDosis anak 1-5 th 200-400 mg dalam dosis terbagiDosis anak 5-10 th 400-600 mg dalam dosis terbagiDosis anak 10-15 th 600-1000 mg dalam dosis terbagi2. GABAPENTIN Farmakologi and Mekanisme AksiGabapentin disebut juga sebagai GABA agonis tetapi tidak bekerja pada reseptor GABA, namun mempengaruhi uptake GABA dan GABA transaminase. Gabapentin mengikat asam amino carrier protein dan beraksi pada reseptor yang unik. Gabapentin juga mengatur specific voltage-sensitive Ca2+ channels. Obat ini akan meningkatkan level GABA di otak, yang kemungkinan akan mempengaruhi sintesis GABA atau pembalikan neuronal GABA transpoter menghasilkan pelepasan GABA nonvesicular. Efek SampingFatigue, somnolence, dizziness, and ataxia merupakan efek samping yang sering terjadi. Efek samping yang lain adalah nystagmus, tremor, dan diplopia. Pada anak-anak dilaporkan menyebabkan perilaku yang agrasive. Interaksi ObatGabapentin tidak menginduksi atau menghambat enzim hepar. Pada pasien yang menggunakan simetidine, klirens gabapentin menurun hingga 10% dan bioavailabilitasnya akan menurun sebesar 20% jika diminum bersamaan dengan antacid. Dosis dan Cara Pemberian Dosis gabapentin dimulai pada 300mg sebelum tidur pada hari pertama, ditingkatkan hingga 900mg/hari selama 3 hari. Dosis maintenance 1800-2400mg/hari tetapi dosis maksimal yang digunakan secara aman 5000-10000 mg/hari. Gabapentin tidak menunjukkan absorpsi melalui rectal. Pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir yang menjalani hemodialisis menerima dosis inisial 300-400 mg dengan 200-300 mg gabapentin diberikan setelah 4 jam hemodialisis.3. LAMOTRIGINE Farmakologi dan Mekanisme AksiMekanisme utama lamotrigine adalah memblok kanal natrium yang merupakan kerjanya tergantung pada tegangan listrik dan penggunaan. Lamotrigin menghasilkan inhibisi dose-dependent dengan aktivasi tegangan tinggi Ca2+, yang malalui inhibisi pada presinaptik N tipe Ca2+, dan menghambat pelepasan eksitatori neurotransmitter asam amino seperti glutamate dan aspartat. Terapi ini biasa digunakan dan berguna sebagai perawatan baik untuk pasien partial seizure dan monoterapi. Lamotrigine memiliki keefektifan yang seimbang dengan obat antiepilepsi tradisional seperti carbamazepin dan fenitoin pada pasien yang menggunakannya sebagai monoterapi. Lamotrigin mungkin berguna sebagai alternative pada pasien yang didagnosis dengan tipe primary generalized seizure. Efek SampingYang sering dilaporkan adalah diplopia, drowsiness, ataksia, dan sakit kepala. Efek samping yang mungkin muncul ketika lamotrigin dikombinasikan dengan obat antiepilepsi lain adalah diplopia ketika dikombinasikan dengan carbamazepin, dan tremor ketika dikombinasikan dnegan asam vaproat. Lamotrigin dapat menyebabkan kulit memerah yang biasanya muncul 3-4 minggu setelah penggunaan. Interaksi obatLamotrigin tidak menghambat atau menginduksi enzim hati dan memiliki potensial rendah untuk mengalami interkasi farmakokinetik. Lamotrigine tidak terganggu dengan adanya penggunaan kontrasepsi oral. Metabolisme lamotrigin ebrvariasi pada setiap pasiennya dan klirens plasma dipengaruhi oleh terapi obat yang lain. Eliminisai waktu paruh lamotrigin menurun kira-kira 50% karena adanay keberadaan obat yang menginduksi antara lain carbamazepin, fenobarbital, pirimidon dan fenitoin. Asam valproat menghambat klirens lamotrigin, inhibisi ini substansial dan terjadi walaupun dalam dosis yang sangat rendah. Secara klinis, untuk dapat menncapai konsentrasi serum yang dibutuhkan, maka dibutuhkan pengaturan dosis yang lebih besar ketika menjadi inducer ketika dibandingkan dengan monoterapi, sedangkan dibutuhkan dosis yang lebih rendah ketika dikombinasikan dnegan asam valproat. Ada kemungkinan terjadi interaksi farmakodinamik ketika diberikan dengan terapi carbamazepin, dapat memicu peningkatan efek samping di system saraf pusat. Dosis dan cara pemberianDosis awal :25 mg dua kali sehari ketika dalam keadaan VPA; 50mg/hari jika dalam keadaan tidak VPADosis harian : 100-150 mg jika dalam keadaan VPA; 300-500 jika tidak VPAAdanya perbedaan dosis karena keterkaitan antara kulit yang memerah, dan tingkat kenaikan dosis. 4. VALPROIC ACID/DIVALPROEX SODIUM (ASAM VALPROAT/NATRIUM DIVALPROEX) Farmakologi dan mekanisme aksi Mekanisme asam valproat adalah meningkatkan GABA dengan cara menghambat degradasinya atau dengan mengaktivasi sintesisnya. Walaupun ini menjelaskan bagian dari efek asam valproat, waktu untuk peningkatan pada GABA dibandingkan dengan onset efek antikonvulsan yang mengindikasikan adanya pengaruh pada sintesis dan degragdasi GABA tidak sepenuhnya menjelaskan aktivitas antiseizure asam vaproat. Asam valproat mungkin mempotensiasi respon GABA, dan memiliki efek langsung stabilisasi membrane, dan mempengaruhi kanal kalium. Asam valproat merupakan terapi lini pertama unutk generalized seizure seperti myoclonic, atonic, dan absence seizures. Dapat digunakan sebagai monoterapi dan terapi tambahan untuk partial seixure, dan dapat sangat berguna pada pasien gangguan mixed seizure. Efek SampingMual, muntah, anoreksia, dan peningkatan berat badan. Efek samping ini dapat diminimalisir dengan formulasi salut, atau dengan memberikanny abersamaan makanan. Peningkatan berat badan terjadi secara signifikan dan dapat menstimulasi nafsu makan dan atau menghambat oksidasi asam lemak yang memicu penurunan kecepatan metabolism. Asam valproat meyebabkan kerusakan kognitif yang minimal. Efek samping yang paling serius adalah hepatotoksisitas.

Interaksi ObatObat yang mempengaruhi enzim hati dapat mempengaruhi kinetik asam dengan cara meningkatkan atau menurunkan klirens. Missal : fenitoin, fenobarbital, pirimidon, dan carbamazepin, smeuanya meningkatkan klirens asam valproat. Topiramat dapat menurunkan konsentrasi serum asam valproat. Karena ini terikat banyak dengan protein, obat terikay kuat dnegan protein bisa menggantikan asam valproat. Sama lemak bebas dan aspirin dapat mempengaurhi ikatan asam valproat oleh adanya displacement. Felbamat dapat mengganggu klirensi valproat melalui inhibisi oksidasi . Asam valproat merupakan inhibitor enzim yang dapat menghambat cytochrome P450 isozymes, epoxide hydrolase, and UGT isozymes secara spesifik. Dosis dan cara pemberianDewasa dan anak : per oral 15 mg/kg/hari pada dosis terbagi apabila total dosis lebih dari 250mg/hari. Ditingkatkan pada interval per minggu dengan 5-10 mg/kg/hari sampai kejang dapat terkontrol. Asam valproat tersedia dalam soft gelatin kapsul, tablet salut-enterik, sirup, sprinkle, dan formulasi pelepasan perlahan. (Anonim, 2008).IX. ALGORITMA TERAPISebelum dilakukan terapi harus dipastikan dahulu tipe kejang yang dialami oleh pasien. Berikut adalah algoritmanya(Octaviana, 2008).Setelah diketahui jenis kejang yang dialami, dapat dilakukan pemilihan obat berdasarkan kejang yang terjadi. Berikut tabel yang berisi pilihan obat untuk tipe kejang :

(Octaviana, 2008).

(Dipiro, 2008).

\Berikut adalah algorima terapi epilepsi menurut Dipiro(2008) :

Berikut algoritma terapi epilepsi pada anak menurut Nia Kania (2007) dalam jurnal berjudul Kejang pada Anak:

(Kania,2007).X. Epilepsi dan KehamilanMenurut International League Againts Epilepsy, epilepsy pada kehamilan dinagi menjadi 3 kelompok yaitu epilepsy yang telah diderita sebelum kehamilan, termed gestational epilepsy, dan gestational onset epilepsy.Wanita yang menderita epilepsy sebelum kehamilan dapat mengalami bangkitan pada saat hamil. Hal ini disebabkan karena pengaruh perubahan hormonal, metabolic, psikis, dan farmakokinetik OAE. Termed gestational epilepsy adalah epilepsy yang terjadi pertama kali sewaktu masa kehamilan dan berlanjut pada kehamilan berikutnya dengan masa bebas bangkitan diantara kehamilan.Gestational onset epilepsy adalah epilepsy yang terjadi pertama kali pada masa kehamilan dan berlanjut diluar masa kehamilan.Pengaruh epilepsy pada kehamilan Pengaruh selama masa kehamilanKebanyakan kehamilan pada wanita penderita epilepsy adalah normal dan tidak ada kelainan dalam proses persalinan Pengaruh pada janinEfek epilepsy dan OAE pada janin dapat dibagi menjadi perubahan antropometrik, anomaly minor, malformasi mayor, dan gangguan fisiologik dan kematian janin Pengaruh pada saat persalinan Risiko kesulitan saat partus pada penderita epilepsy lebih tinggi dari populasi umum, seperti partus prematurus. Penggunaan OAE mengakibatkan melemahnya kontraksi uterus dan rupture membrane yang terlalu dini.XI. Penatalaksanaan Epilepsi Pada KehamilanPenanganan kehamilan yang baik sangat diperlukan oleh wanita yang menderita epilepsy. Proses ini diawali dengan konseling kehamilan yang efektif, control kehamilan, dan edukasi tentang pentingya kehamilan yang terencana dengan optimalisasi penggunaan OAE dan suplementasi asam folat sebelum konsepsi, perbandingan antara teratogenisitas OAE dan risiko bangkitan pada saat kehamilan.

Politerapi obat antiepilepsiRisiko terjadinya malformasi mayor pada janin cenderung lebih tinggi pada penggunaan OAE politerapi daripada monoterapi. Kombinasi asam valproat-karbamaszepin-fenobarbital lebih teratogenik daripada kombinasi jenis lainnya Monoterapi obat antiepilepsiMalformasi congenital yan terjadi pada bayi terpejan OAE berhubungan dengan konsentrasi serum folat yang rendah Teratogenisitas OAE vs Efek bangkitan terhadap fetusFaktor yang paling mempengaruhi keamanan dalam kehamilan adalah usia kehamilan pada saat mulai terpejan obat. Pejanan yang terjadi 2 minggu pertama setelah konsepsi biasanya tidak mengakibatkan malformasi karena sel konseptus pada saat ini masih pluripoten sehingga sel yang mati karena pejanan obat dapat segera diganti dengan sel yang baru. Tetapi bila banyak sel mati karena pejanan obat, embrio tidak dapat bertahan hidup. Masa ini disebut masa all or none saat embrio dapat mati atau hidup tanpa malformasi.Dari penelitian didapat bahwa bayi yang lahir dari ibu dengan riwayat epilepsy tetapi tidak mengkonsumsi OAE saat hamil memiliki frekuensi abnormalitas yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu yang menggunakan OAE. Namun, efek kehamilan terhadap frekuensi bangkitan sangat bervariasi dan tidak bisa diramalkan. OAE pada ASILetargi perinatal, iritabilitas, dan kesukaran menyusui berhubungan dengan pejanan benzodiazepine dan barbiturate intrauterine. Penggunaannya selama menyusui dapat memperberat sedasi dan mengganggu proses menyusui. (Dewanto, 2007)

XII. FenitoinFenitoin adalah suatu obat antikejang yang paling sering diterapkan untuk mengendalikan gangguan kejangyang termasuk dalam golongan hidotoin . Variasi dalam metabolisme fenitoin antara individu yang berbeda dapat menghasilkan kadar serum (setelah dosis oral) yang sangat bervariasi. Karena itu, pemanfaatan terapeutik fenitoin sering dilakukan. Obat ini telah digunakan selama lebih dari 50 tahun sebagai obat antikejang pada eppilepsi tonik-klonik, serta pada kejang fokal dan kejang yang lebih kompleks misalnya kejang psikomotor. Obat ini sering digunakan dalam pengobatan status epileptikus (yaitu status akut kejang yang tidak terkontrol) untuk mencapai control secaar cepat. Obat ini tampaknya tidak efektif untuk mengatasi aktivitas kejang petit mal. Walaupun mekanisme kerja secara selular dan biokimiawi belum diketahui, fenitoin diketahui menekan ektivitas kejang, terutama di korteks motorik otak.Fenitoin umumnya dapat digunakan sebagai obat tunggal untuk mengobati pasien epilepsy. Mereka yang tetap refrakter terhadap fenitoin saja mungkin diterapi dengan obat antikejang tambahan. Kadar terapeutik fenitoin dalam serum adalah dalam rentang 10-20 mikrogram/mL, dengan toksisitas mungkin timbul pada konsentrasi diatas 20 Fenitoin merupakan obat pilihan atau generasi pertama untuk kejang umum, kejang tonik-klonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf (11). Fenitoin memiliki range terapetik sempit sehingga pada beberapa pasien dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam darah (12). Mekanisme aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na+) (13) yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang (11). dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron (4). Dosis awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6 jam (10). Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan penglihatan (penglihatan berganda), disfungsi korteks dan mengantuk. Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh dan nystagmus. Salah satu efek samping kronis yang mungkin terjadi adalah gingival hyperplasia (pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut dapat mengurangi resiko gingival hyperplasia (14).(Sacher, 2002)Struktur Fenitoin

IndikasiEfektif untuk epilepsy parsial dan tonik-klonik; tidak efektif untuk absens dan epilepsy mioklonik. Mekanisme kerjanya mirip dengan karbamazepin.Dosis dan pemberian:Dewasa : loading dose oral 2 dd 500 mg atau 3 dd 300 mg. loading dose IV 15 mg/kg (20 mg/kg untuk status epileptikus), maksimal 50 mg/menit. Rumatan : 300-400 mg/hari dibagi 2.Anak-anak: 4-5 mg/kg/hari, maksimal 8 mg/kgPemberian : biasanya 2 kali sehari, tetapi dapat juga 1 kali sehariKadar terapeutik : 10-20 mikrogram/L

Efek samping :Berkaitan dengan dosis : pusing, ataksia, diplopia, dan mual.Idiosinkratik : ruam (termasuk sindrom Stevens-Johnson), diskrasia darah, gagal hati, dan lupus-like syndrome.Kronis : hiperplasi gusi, hirsutisme, osteopenia, dan pseudolimfomaTeratogenik, pada ibu hamil dapat menimbulkan kelainan jantung dan bibir sumbing pada bayi.Interaksi :Fenitoin menurunkan efektifitas topiramat, karbazepin, fenobarbital, pirimidone, valproat, kontrasepsi oral, kortikosteroid, dan warfarin.Kadar fenitoin ditingkatkan oleh topiramat, kloramfenikol, simetidin, dikumarol, disulfiram, isoniazid, sulfonamide, dan trimetoprim. Kadar fenitoin diturunkan oleh asam folat dan konsumsi alcohol jangka panjangFenitoin, struktur kimia obat ini mirip barbital, tetapi dengan cincin-lima hidantoin (lihat rumus bangun di bawah ini). Senyawa hidantoin ini terutama digunakan pada grand mal. (Dewanto, 2007)

FarmakodinamikMekanisme kerja:Efek stabilisasi membrane pada neuron karena blokade kanal Na+ hambatan letuan yang berulang kali, hmabatan potensiasi pasca tetaniPada konsentrasi yang lebih tinggi, juga terjadi hambatan pembebasan neurotransmitter eksitatorik melalui efek antagonis Ca2+

Farmakokinetik

XIII. KasusPasien anak laki-laki berusia 7 tahun mengalami kejang berulang. Satu hari sebelum masuk rumah sakit anak tiba-tiba menjerit lalu jatuh dan mengalami kejang selama + 1 menit, kemudian anak tidak sadarkan diri. Setelah 15 menit, anak tersebut mengalami kejang lagi selama + 1 menit, kejang berulang hingga 4 kali dan anak tidak sadarkan diri. Anak tertidur selama + 1 jam dan kemudian terbangun. Menurut ibu, saat kejang anak tidak demam. Kejang berupa guncangan-guncangan di seluruh tubuh disertai dengan mengompol. Pada usia 3 tahun pasien pernah terjatuh dan mengalami trauma kepala. Setelah itu pasien sempat mengalami kejang dan pada usia 5 tahun mengalami kejang yang sama. Pasien tidak memiliki riwayat penggunaan obat-obatan. Pada keluarga tidak ada yang memiliki riwayat keluhan yang sama. Kemudian pasien dilarikan ke rumah sakit. Saat dirumah sakit, pasien diberikan terapi fenitoin Na 125 mg secara iv lambat. Selain itu, diketahui dari pemeriksaan fisik ditemukan pasien dengan keadaan umum baik, kesadaran compos mentis (sadar sepenuhnya), nadi 104 kali per menit, pernafasan 24 kali per menit dan suhu 37oC. Berat badan anak 25 kg. Pemeriksaan neurologis didapatkan reflek Babinski (-) pada tungkai kiri, lain-lain dalam batas normal.Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan data hemoglobin (12,3 g/dl), angka eritrosit (4,18 x 106/uL) dan netrofil (45,6 %) serta peningkatan pada laju endap darah 1 jam (33) dan 2 jam (52), lain-lain dalam batas normal. Akan tetapi tidak dilakukan pemeriksaan CT Scan, MRI maupun EEG karena pertimbangan usia.Pasien diberikan terapi pemeliharaan yaitu depaken 250 mg/5 ml 2 kali sehari dan rivotril 1 mg/hari, metil predinisolon 125 mg per hari.

XIV. PATIENT CARE PROSES(a) AssessmentPada kasus ini, pasien mengalami kejang sejak berusia 3 tahun, dan berulang beberapa kali hingga usia 7 tahun. Hal ini memenuhi kriteria untuk mendiagnosis kasus ini sebagai epilesi. Selain itu pasien juga memiliki riwayat trauma di kepalanya. Dari pemeriksaan neurologis didapatkan reflek Babinski (-) pada tungkai kiri. Nilai (-) pada test ini menunjukkan adanya kelainan saraf.

Pemeriksaan laboratorium darah rutin ditemukan:PemeriksaanHasilNilai NormalSatuanAssessment

Hemoglobin12,310-16g/dlNormal

Eritrosit4,18 x 106*4,2-5,4 x 106/uL

Netrofil45,632-61%Normal

LED33*0-15mm/jam

*nilai normal pada wanita dewasa, karena pada anak tidak diketahuiEritrosit merupakan sel darah merah yang mengandung hemoglobin yang bertugas untuk mengangkut oksigen dalam darah. Jika kadarnya turun maka perlu diperhatikan apakah kadar oksigen dalam tubuh pasien normal atau tidak. Jika kadar oksigen menurun dapat menyebabkan alkalosis respiratorik.Peningkatan LED biasanya terjadi akibat peningkatan kadar globulin dan fibrinogen karena infeksi akut local maupun sistemis atau trauma, kehamilan, infeksi kronik dan infeksi terselubung yang berubah menjadi akut. Selain itu juga biasa terjadi pada arthritis rheumatoid, infark miokard akut, kanker (lambung, colon, payudara, hepar, dan ginjal), penyakit Hodkins, myeloma multiple, limfosarkoma, infeksi bakteri, gout, SLE, eritoblastosis foetalis, kehamilan trimester II dan III, operasi, dan luka bakar.(nilai normal berdasar Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium. (Sutedjo, 2008))Dari hasil pemeriksaan serta keterangan keluarga pasien mengenai frekuensi dan tipe kejang yang dialami pasien, diagnosa kejang pasien adalah kejang tonik klonik menyeluruh.(b) Outcome KlinisMencegah kekambuhan (terjadinya kejang berulang) dan keparahan epilepsi.(c) DTPJenis DTPPenyebab

Ada indikasi tanpa obatTidak ada

Ada obat tanpa indikasiAda. Penggunaan metil prednisolon pada pemeliharaan dinilai kurang tepat karena menurut DIH 2009-2010 metil prednisolon biasanya digunakan sebagai agen anti inflamasi atau immunosuppressant pada pengobatan alergi, inflamasi, neoplastik, hematologic, dan autoimmune origin.

Pemilihan obat salahMenurut jurnal Kejang pada Anak Penggunaan terapi fenitoin Na pada pasien kondisi serangan kurang tepat karena dalam jurnal dikatakan untuk terapi epilepsy dengan kejang kurang dari 5 menit bisa digunakan diazepam (iv) 0,3-0,5 mg/kg (maks. 20 mg) atau diazepam (rectal) 5 mg (BB10kg

Dosis terlalu rendahTidak ada

Dosis terlalu tinggiMenurut MIMS 2008/2009 dosis depaken adalah 15 mg/kg BB/hari. Jika BB pasien adalah 25 kg maka dosis per harinya adalah 375 mg. Pasien diberikan 250 mg/5 ml 2 x sehari, berarti dalam satu hari pasien mendapatkan 500 mg, ini berarti terdapat kelebihan dosis sebesar 125 mg.Menurut MIMS 2008/2009 dosis rivotril untuk anak 6-16 tahun adalah 0,5 mg/hari untuk terapi awal. Dalam kasus ini pasien mendapatkan dosis 1 mg/ hari, jadi terdapat kelebihan dosis sebanyak 0,5 mg.

Efek obat merugikanTidak diketahui karena tidak dilakukan home care

Ketaatan pasienTidak diketahui karena tidak dilakukan home care

(d) Care Plan Kejang pada serangan pertama berdasarkan guideline kurang tepat diberikan fenitoin Na 125 mg karena:1. First line pada kasus epilepsi menurut jurnal Kejang pada Anak digunakan Diazepam i.v 0,3-0,5 mg/kg BB.2. Adapun kasus ini, pasien bukan penderita dengan status epileptikus sehingga diketahui dosis Fenitoin terlalu tinggi bila ingin diberikan pada pasien Kejang pada pasien diatasi dengan pemberian diazepam 250 mg (BB>10 kg) secara rektal, jika setelahnya pasien mengalami kejang kembali, maka pemberian diazepam 10 mg dapat diulangi dengan interval 5 menit.(e) Follow Up Penentuan tipe kejang atau epilepsi sangat penting karena pengobatan penderita epilepsi salah satunya didasarkan pada tipe kejang atau jenis epilepsi. Anamnesis dapat dilakukan pada pasien atau saksi mata yang menyaksikan pasien kejang. Selain itu diperlukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium, pencitraan seperti CT Scan atau MRI dan pemeriksaan elektroensefalogram (EEG). Pada pasien ini, dapat diberikan terapi anti epilepsi secara rutin yaitu dengan memberikan fenitoin dosis terapi harian: 5 mg/kg/24jam dalam 2 kali dosis terbagi. Pemberian fenitoin dapat dimulai 12 jam setelah pemberian suppo diazepam 10 mg (pasien dalam kondisi tidak lagi mengalami kejang). Namun jika 10-15 menit setelah pemberian suppo diazepam 10 mg, pasien mengalami kejang kembali, maka dapat dilakukan treatment sesuai dengan algoritma kejang pada anak. Jika kondisi pasien tidak lagi kejang dan kondisi vitalnya baik, pasien diperkenankan untuk istirahat di rumah. Dan sebaiknya diberikan pula edukasi pada orang tua untuk mengamati keadaan psikologis pasien dan segera berkonsultasi ke dokter jika terdapat kejanggalan atau kelainan pada keadaan psikologis pasien.(f) Indikator Tidak terjadi kekambuhan kejang(g) Monitoring Dilihat apakah pasien masih mengalami kejang atau tidak. Terapi dinyatakan berhasil jika kekambuhan kejang pasien berkurang dan pasien dapat melakukan kegiatan normalnya kembali. Perlu dilakukan pengukuran suhu tubuh setiap hari sekali untuk mengantisipasi jika terjadi demam Dilakukan penilaian tumbuh kembang dan perilaku kognitifnya. Pantau kemungkinan terjadinya efek samping obat-obat yang diberikan, seperti : gangguan gastrointestinal, ataksia, bicara tidak jelas, kekacauan mental disertai sakit kepala, pusing akibat penggunaan fenitoin. Iritasi gastrointestinal, anoreksia, gangguan SSP, rambut rontok, ruam kulit, eritema multiforme, gangguan psikiatrik, hematologi, leukopenia, dan eosinofilia, anemia, gangguan fungsi hati dan sistem endokrin, pankreatritis pada penggunaan depakene. Lelah/letih, mengantuk, lemah otot, pusing, kepala terasa ringan, ataksia, gangguan konsentrasi, bingung, depresi, hipersalivasi atau sekresi bronkial pada bayi & anak akibat penggunaan rivotril. Lakukan pemantauan penggunaan fenitoin, dengan melakukan pengukuran kadar serum fenitoin secara berkala Pantau kadar elektrolit dan kalsium Pantau gas darah pasien(h) KIE Cara menanggulangi kejang epilepsi :a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahub) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkanc) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.d) Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.e) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.f) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda-tanda awal munculnya epilepsi atau yg biasa disebut aura. Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti perasaan bingung, melayang-layang, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.g) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.Edukasi: Anjurkan keluarga untuk memberi motivasi kepada pasien Keluarga sebagai orang terdekat pasien, sangat mempunyai pengaruh besar dalam keadaan psikologis pasien Memberi informasi pada keluarga dan teman dekat pasien bahwa penyakit epilepsi tidak menular. Menghilangkan stigma buruk terhadap penderita epilepsi (bahwa penyakit epilepsi tidak dapat menular)(Rahza, 2010).

DAFTAR PUSTAKAAnonim, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia(IONI), Badan POM RI, Jakarta.Battica, F., 2008 Asuhan keperawatan Klien dengan gangguan sistem persarafan, Salemba Medika, Jakarta, 118-121.Cotman CW, et. al., 1995, Excitatory Aminocid neurotransmission. In: Bloom, FE & Kupfer DJ: Psychopharmacology. The fourth generation of progress. Raven Press, New York, 75-85.Dr. Dewanto, G., S.pd, 2007 Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 85-90.Kania, N., 2007, Kejang pada Anak, Seminar Klinik Penanganan Kejang pada Anak di AMC Hospital Bandung, http://pustaka.unpad.ac.id/wp content/uploads/2010/02/kejang_pada_anak.pdf diakses tanggal 18 Maret 2011.Meldrum BS., 1988, Pathophysiology. A text book of epilepsy. Ed. by laidlaw J, 203-235.Octaviana, F., 2008, Epilepsi: Permasalahan di Reseptor atau Neurotransmitter, Medicinus Scientific Journal of Pharmaceutical Development and Medication Application, http://www.dexamedica.com/images/publication_upload090109170636001231472906MEDICINUS_NOV_DES%2708.pdf diakses 18 Maret 2011.Rahza, P., 2010, ASKEP Epilepsi, http://putrisayangbunda.blog.com/2010/02/10/askep-epilepsi/ diakses 20 Maret 2011.Sacher, A, Ronald, 2002, Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.Sutedjo, A.Y., 2008, Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Penerbit Amara Books, Yogyakarta.

32