makalah aik (hadits)
TRANSCRIPT
Makalah AIK
HADITS
(Sejarah Hadits, Fungsi Hadits, dan Macam-Macam Hadits)
Disusun Oleh :
1. Abdul Wahed
2. Ardy Kurniawan
3. Arlis Ikhla Afrina
4. Rina Widiyanti Saputri
Teknik Informatika / A1
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Jl. Raya Gelam 250 Candi – Sidoarjo, Kampus II
Tahun Ajaran 2013-2014
Kata Pengantar
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah berkat Rahmat dan Hidayah-Nya kami dari kelompok 6 berhasil
menyusun sebuah makalah ini. Kami membuat dan menyusun makalah ini memiliki
tujuan yang jelas, selain sebagai tugas mata kuliah AIK, di sini kami juga ingin
menjelaskan apa itu hadits yang mungkin kebanyakan orang sudah familiar tapi
belum mengerti apa sebenarnya hadits itu, bagaimana sejarahnya, apa fungsinya serta
apa saja macam macam hadits itu.
Berangkat dari permasalahan inilah kami akan mencoba menjelaskannya lewat
makalah ini dan juga dalam bentuk soft copy yang dapat kami sajikan kepada rekan
rekan mahasiswa yang lain dengan tujuan agar kita sebagai umat muslim tidak salah
lagi memahami hadits. Disini kami akan berusaha mengupas tentang hadits yang
mungkin belum bnyak diketahui oleh orang lain. Masalah yang coba kami angkat
adalah bagaimana sejarah hadits dan macam macam hadits yang lebih mendetail.
Kami sadar kalau makalah ataupun soft copy kami memiliki banyak kekurangan
dalam segi structural maupun isinya. Hal ini tidak terlepas dari ilmu kami yang masih
terbatas. Sebagaimana penyusun hanya manusia biasa. Untuk itu penyusun mohon
kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya pengetahuan kita tentang
Hadits. Semoga dengan makalah ini dapat menambah khasanah pengetahuan kita
tentang hadits.
Sidoarjo, Oktober 2013
Penyusun
Daftar Isi
Kata Pengantar ......................................................................................................... ii
Daftar Isi .................................................................................................................... iii
BAB 1 (Pendahuluan)
A. Latar Belakang ................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 5
BAB 2 (Pembahasan)
A. Pengertian Hadits ............................................................................................ 6
B. Sejarah Hadits ................................................................................................. 7
C. Fungsi Hadits .................................................................................................. 9
D. Struktur Hadits ................................................................................................ 14
E. Klasifikasi Hadits ........................................................................................... 16
BAB 3 (Penutup)
Kesimpulan ............................................................................................................ 20
Daftar Pustaka .......................................................................................................... 21
BAB 1
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi ini sebagai pemelihara
kelangsungan mahluk hidup dan dunia seisinya. Dalam rangka itulah Allah membuat
sebuah undang-undang yang nantinya manusia bisa menjalankan tugasnya dengan baik,
manakala ia bias mematuhi perundang-undangan yang telah dituangkan-Nya dalam kitab
suci Al-Qur‟an.
Pada kitab suci orang muslim ini, telah dicakup semua aspek kehidupan, hanya
saja, berwujud teks yang sangat global sekali, sehingga dibutuhkan penjelas sekaligus
penyempurnaan eksistensinya. Maka, Allah mengutus seorang nabi untuk
menyampaikannya, sekaligus menyampaikan risalah yang ia emban. Dari sang Nabi
inilah yang selanjutnya lahir yang namanya hadits, yang mana kedudukan dan fungsinya
amat sangat lahurgen sekali.
Terkadang, banyak yang memahami agama setengah setengah, dengan dalih
kembali pada ajaran islam yang murni, yang hanya berpegang teguh pada sunnatulloh
atau Al-Qur‟an, lebih-lebih mengesampingkan peranan al Hadits, sehingga banyak yang
terjerumus pada jalan yang sesat, dan yang lebih parah lagi, mereka tidak hanya sesat
melainkan juga menyesatkan yang lain.
Oleh karena itu, mau tidak mau peranan penting hadits terhadap Al-Qur‟an dalam
melahirkan hokum Syariat Islam tidak bisa di kesampingkan lagi, karena tidak mungkin
umat Islam memahami ajaran Islam dengan benar jika hanya merujuk pada Al-Qur‟an
saja, melainkan harus diimbangi dengan Hadits, lebih-lebih dapat disempurnakan lagi
dengan adanya sumber hukum Islam yang mayoritas ulama‟ mengakui akan
kehujahannya, yakni ijma‟ dan qiyas. Sehingga, seluruh halayak Islam secara umum
dapat menerima ajaran Islam secara utuh dan mempunyai aqidah yang benar, serta dapat
dipertangung jawabkan semua praktik peribadatannya kelak.
Di sisi lain Imam Syafi‟I telah “menanamkan fondasi efistemologis yang sangat
menghujam ketika mengeluarkan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: izaasaha al-
haditsfahuwamazhabi, bahwa ketika “sebuah hadits telah teruji kesahihannya, itulah
mazhabku” Berawal dari konteks ini ternyata perkembangan agama (hukum) Islam tidak
terlepas dari konteks kajian hadits.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hadits ?
2. Bagaimana sejarah Hadits itu ada hingga sekarang ?
3. Apa fungsi Hadits sebagai bayan (penjelas) dalam Al-Qur‟an ?
4. Bagaimana klasifikasi Hadits yang ada ?
BAB 2
Pembahasan
A. Pengertian Hadits
Hadits adalah perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi
Muhammad SAW yang dijadikan landasan syariat Islam. Hadits dijadikan sumber hukum
Islam selain al-Qur'an yang mana kedudukannya hadits merupakan sumber hukum kedua
setelah al-Qur'an. Kedudukannya yang lebih lengkap adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur'an,
2. Hadits,
3. Ijtihad:
Ijma (kesepakatan para ulama),
Qiyas (menetapkan suatu hukum atas perkara baru yang belum ada pada masa Nabi
Muhammad hidup).
Hadits secara harfiah berarti "berbicara", "perkataan" atau "percakapan". Dalam
terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan, mencatat sebuah pernyataan dan
tingkah laku dari Nabi Muhammad SAW.
Menurut istilah ulama ahli hadits, hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya, sifat jasmani atau sifat
akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi dan terkadang juga sebelumnya,
sehingga arti hadits di sini semakna dengan sunnah.
Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan
sunnah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan
maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun
hukum. Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif, maka kata tersebut adalah kata
benda.
B. Sejarah Hadits
Hadits sebagai kitab berisi berita tentang sabda, perbuatan dan sikap Nabi
Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat dari para sahabat pada saat bergaul
dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat lain yang tidak
mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya dan diteruskan kepada
murid-murid berikutnya lagi hingga sampai kepada pembuku hadits. Itulah pembentukan
hadits.
1. Masa pembentukan hadits
Masa pembentukan hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu sendiri,
ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini hadits belum ditulis, dan hanya berada
dalam benak atau hafalan para sahabat saja. perode ini disebut al wahyu wa at takwin.
Pada saat ini Nabi Muhammad sempat melarang penulisan hadits agar tidak tercampur
dengan periwayatan Al Qur'an, namun setelah beberapa waktu, beliau Shalallahu alaihi
wassallam membolehkan penulisan hadits dari beberapa orang sahabat yang mulia,
seperti Abdullah bin Mas'ud, Abu Bakar, Umar, Abu Hurairah, Zaid bin Tsabit, dllnya.
Periode ini dimulai sejak muhammad diangkat sebagai nabi dan rosul hingga wafatnya
(610M-632 M)
2. Masa Penggalian
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi'in, dimulai sejak wafatnya Nabi
Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini hadits belum ditulis ataupun
dibukukan, kecuali yang dilakukan oleh beberapa sahabat seperti Abu Hurairah, Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas'ud, dllnya. Seiring dengan perkembangan
dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para
sahabat saling bertukar hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.
3. Masa penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi'in yang mulai menolak
menerima hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan
yang bergeser ke bidang syari'at dan 'aqidah dengan munculnya hadits palsu. Para
sahabat dan tabi'in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan
yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada hadits baru yang belum
pernah dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi
sumber dan pembawa hadits itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin
'Abdul 'Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi'in memerintahkan penghimpunan
hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan hadits yang terhimpun belum dipisahkan
mana yang merupakan hadits marfu' dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu'.
4. Masa pendiwanan dan penyusunan
Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan hadits.
Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadits sebagai
prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan hadits dan
memisahkan kumpulan hadits yang termasuk marfu' (yang berisi perilaku Nabi
Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu'
(berisi prilaku tabi'in). Usaha pembukuan hadits pada masa ini selain telah
dikelompokkan (sebagaimana dimaksud di atas) juga dilakukan penelitian Sanad dan
Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi) atas hadits
yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan hadits
terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai melakukan
pembinaan maghligai hadits. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa
memperbaiki susunan kitab hadits seperti menghimpun yang terserakan atau
menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab
hadits abad ke-4 Hijriyah.
C. Fungsi Hadits
Fungsi Hadits sebagai penjelas (bayan) terhadap al-qur‟an ada 4 macam, yaitu:
a. Bayan Al-Taqrir
Bayan at-taqrir di sebut juga dengan bayan al-ta‟qid dan bayan al-isbat yaitu
menetapkan dan memperkuat apa yang telah di terangkan dalam al-qur‟an. Fungsi
hadits ini hanya memperkokoh isi kandungan al-qur‟an sekalipun dengan redaksi yang
berbeda namun ditinjau dari substansinya mempunyai makna yang sama. Untuk lebih
jelasnya, perhatikan contoh hadits yang di riwayatkan Muslim dari Ibnu Umar yang
berbunyi :
لم) س (رواه م
“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat
(ru’yah) itu maka berbukalah. (HR. Muslim)”
Hadits ini mentaqrir (menetapkan) ayat al-Quran Surah. Al-Baqoroh : 185 yang
berbunyi :
ا
“Maka barangsiapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia
berpuasa...”
Karena ayat al-quran dan hadist diatas mempunyai makna yang sama maka hadist
tersebut berfungsi sebagai bayan taqrir, mempertegas apa yang telah disebut dalam al-
quran.
b. Bayan Al-Tafsir
Bayan al-tafsir adalah fungsi hadits yang memberikan rincian dan tafsiran
terhadap ayat-ayat al-qur‟an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan
persyaratan atau batasan (taqyid) ayat-ayat al-qur‟an yang bersifat mutlak, dan
mengkhususkan (takhshish) ayat al-qur‟an yang masih bersifat umum.
Diantara contoh tentang ayat-ayat al-qur‟an yang masih mujmal adalah perintah
mengerjakan sholat. Banyak sekali ayat-ayat terkait perintah kewajiban sholat dalam al-
Quran. Salah satunya sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al-Baqoroh ayat : 43
“dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku.”
Ayat tersebut menjelaskan tentang kewajiban sholat tetapi tidak dirinci atau
dijelaskan bagaimana operasionalnya, berapa rokaatnya, serta apa yang harus dibaca
dalam setiap gerakan sholat. Kemudian Rasulullah memperagakan bagaimana
mendirikan sholat yang baik dan benar. Hingga beliau bersabda,
بخارى) (رواه ال
“Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat. (HR.Bukhori.)”
Sedangkan contoh hadits yang membatasi (taqyid) ayat-ayat al-qur‟an yang bersifat
mutlak adalah seperti sabda rasullullah,
لم س يه و ل هلل ع لي ا ص
“Rasullullah didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong
tangan pencuri dari pergelangan tangan.”
Hadits ini men-taqyid QS.Almaidah : 38 yang berbunyi :
و
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan, dan sebagai siksaan dari Allah
sesungguhnya Allah maha Mulia dan Maha Bijaksana.”
Dalam ayat diatas belum ditentukan batasan untuk memotong tangannya. Bisa jadi
dipotong sampai pergelangan tangan saja, atau sampai siku-siku, atau bahkan dipotong
hingga pangkal lengan karena semuanya itu termasuk dalam kategori tangan. Akan
tetapi, dari hadist nabi tersebut, kita dapat mengetahui ketetapan hukumnya secara pasti
yaitu memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.
Sedangkan contoh hadits yang berfungsi untuk mentakhshish keumuman ayat-ayat al-
Quran, adalah :
لم س يو ه و ال ل هلل ع لى ا ص بي ن ال ال ق
“Nabi SAW bersabda : “tidaklah seorang muslim mewarisi dari orang kafir , begitu
juga kafir tidak mewarisi dari orang muslim.”
Hadits tersebut mentakhshish keumuman ayat :
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian anak laki-laki sama dengan bahagian anak perempuan. (QS. An- Nisa : 11)”
c. Bayan At-Tasyri’
Bayan at-Tasyri‟ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak
didapati dalam al-Quran , atau dalam al-quran hanya terdapat pokok-pokoknya saja.
Seperti contoh berikut:
لم س يه و ل هلل ع لي ا ص ل سول هال ر أن ال
لم ) س م (رواه ال
“Bahwasahnya Rasulullah telah mewajibkan zakat fitroh kepada umat islam pada
bulan ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik
merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuam muslim. (HR. Muslim).”
Hadits Rasulullah yang termasuk bayan al-tasyri‟ ini, wajib diamalkan,
sebagaimana mengamalkan hadits-hadits lainnya.
Namun demikian, sebagian ulama membantah bahwa sunnah dapat membentuk hukum
baru yang tidak disebutkan dalam al-Quran. Karena menurut mereka, sunnah tidak
dapat berdiri sendiri dalam menetapkan hukum baru
d. Bayan Al-Nasakh
Nasakh menurut bahasa berarti (membatalkan dan menghilangkan), oleh para ahli
Ushul Fiqih diartikan dengan: “Penghapusan hukum Syar'i dengan suatu dalil syar'i
yang datang kemudian”.
Dalam menasakh al-Qur‟an dengan sunah/hadist ini terdapat dua macam pendapat di
antara para ahli Ushul tentang boleh tidaknya. Pendapat pertama menyatakan,
menasakh Alquran dengan Sunah diperkenankan, asalkan dengan Sunah Mutawatir
atau Sunah Masyhur, bukan sunah Ahad. Sedang pendapat kedua menyatakan,
menasakh Alquran dengan Sunah tidak dibolehkan, karena derajat al-quran lebih tinggi
dari pada Sunah. Padahal syarat nasikh itu adalah yang lebih tinggi derajatnya atau
sepadan.
Contoh hadist yang berfungsi sebagai bayan al-naskh :
“Tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
Hadist ini menaskh firman Allah :
قرة : 180) ب ( ا ل
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapa dan karib
kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. (QS.
Al-Baqoroh : 180).”
D. Struktur Hadits
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai
penutur) dan matan (redaksi).
1. Sanad
Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh
penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits)
hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat.
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi
bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thabaqah.
Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thabaqah sanad akan menentukan
derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi yang perlu dicermati dalam memahami hadits terkait dengan sanadnya ialah :
Keutuhan sanadnya
Jumlahnya
Perawi akhirnya
Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam.Hal ini
diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan
tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.
2. Matan
Matan dari segi bahasa artinya membelah, mengeluarkan, mengikat. Sedangkan
menurut istilah ahli hadis, matan yaitu: perkataan yang disebut pada akhir sanad,
yakni sabda Nabi SAW yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya .
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami
hadits ialah:
Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad
atau bukan,
Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat
sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya
dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).
Contoh :
Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari yang berbunyi :
“Musaddad mengabari bahwa Yahya sebagaimana diberitakan oleh Syu'bah, dari
Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: "Tidak sempurna
iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia
cinta untuk dirinya sendiri" (hadits riwayat Bukhari)
Dari hadits di atas maka sanad hadits tersebut adalah :
Al-Bukhari --> Musaddad --> Yahya --> Syu’bah --> Qatadah --> Anas --> Nabi
Muhammad SAW
Sedangkan matan dari hadits tersebut adalah :
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk
saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"
E. Klasifikasi Hadits
Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung
sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (periwayat) serta tingkat keaslian hadits
(dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan)
1. Berdasarkan penyandaran hadits
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 4 golongan yakni qudsi, marfu
(terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu:
a. Hadits Qudsi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam dari Rabbnya (Allah).
b. Hadits Marfu' adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi
Muhammad SAW (contoh: hadits sebelumnya)
c. Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa
ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan
derajat marfu'. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris)
menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan:
"Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah". Namun jika ekspresi yang digunakan
sahabat seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang untuk...", "Kami terbiasa...
jika sedang bersama rasulullah" maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf
melainkan setara dengan marfu'.
d. Hadits Maqtu' adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus).
Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya
bahwa Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka
berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu".
Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor
lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap
sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah
SAW dari ucapan para sahabat maupun tabi'in dimana hal ini sangat membantu dalam
area perkembangan dalam fikih (Suhaib Hasan, Science of Hadits).
2. Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni
Musnad, Munqati', Mu'allaq, Mu'dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya
ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk
mendengar dari penutur di atasnya.
Ilustrasi sanad:
Pencatat Hadits > perawi 4> perawi 3 > perawi 2 (tabi'in) > perawi 1(Para sahabat)
> Rasulullah SAW
a. Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang
dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur
memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi.
b. Hadits Mursal, bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in
menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi'in (perawi2)
mengatakan "Rasulullah berkata" tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang
menuturkan kepadanya).
c. Hadits Munqati', bila sanad putus pada salah satu perawi yakni perawi 4 atau 3
d. Hadits Mu'dal, bila sanad terputus pada dua generasi perawi berturut-turut.
e. Hadits Mu'allaq, bila sanad terputus pada penutur 4 hingga perawi 1 (Contoh:
"Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah
mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah).
3. Berdasarkan jumlah perawi/periwayat
Jumlah perawi yang dimaksud adalah jumlah perawi dalam tiap tingkatan dari
sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut.
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits mutawatir dan hadits ahad.
a. Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari
beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat
untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa
sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama
berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian
menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri
dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada
tiap riwayat) dan ma'nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna
sama pada tiap riwayat)
b. Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak
mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis
antara lain :
Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat
hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur)
Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan)
Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada
salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.
4. Berdasarkan tingkat keaslian hadits
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan
merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits
tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih,
hasan, da'if dan maudu'
a. Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits
shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Sanadnya bersambung;
Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak
baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada
sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits.
b. Hadits Hasan, bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh
rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta
cacat.
c. Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa
mursal, mu‟allaq, mudallas, munqati‟ atau mu‟dal)dan diriwayatkan oleh orang
yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
d. Hadits Maudu, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai
sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas
antara lain:
Hadits matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu hadits yang hanya
diriwayatkan oleh seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta.
Hadits mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang
lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
tepercaya/jujur.
Hadits mu'allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang
didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani
bahwa hadits Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki
ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut hadits Ma'lul (yang dicacati)
dan disebut hadits Mu'tal (hadits sakit atau cacat)
Hadits mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan
kontradiksi dengan yang dikompromikan
Hadits maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan ileh
perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau
sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi)
Hadits gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya
berubah
Hadits mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya
Hadits syadz, hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang
yang tepercaya yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari
perawi-perawi yang lain.
Hadits mudallas, disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya karena
diriwayatkan melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada
cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Jadi,
hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
BAB 3
Penutup
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Hadits merupakan segala perkataan (sabda), perbuatan dan
ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun
hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-
Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum
kedua setelah Al-Qur'an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan
perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya.
Hadits berkaitan erat dengan Al-Qur‟an, karena hadits menjadi penjelas dari hukum-
hukum yang ada di Al-Qur‟an. Biasanya di dalam Al-Qur‟an hanya dijelaskan dengan kata-
kata yang tidak semua orang dapat mengerti dan memahaminya. Hadits berfungsi untuk
memperjelas atau memperinci yang ada di dalam Al-Qur‟an.
Hadits terdiri dari dua komponen yaitu sanad dan matan. Berdasarkan ujung sanad
hadits dapat digologkan menjadi 3, yaitu hadits qudsi, marfu, mauquf, dan maqtu’.
Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad dapat digolongkan menjadi, hadits musnad, hadits
mursal, hadits munqathi’, hadits mu’dal, dan hadits mu’allaq. Berdasarkan jumlah penutur
dapat digolongkan menjadi 2 yaitu, hadits mutawatir dan hadits ahad. Berdasarkan tingkat
keaslian hadits dapat digolonhka menjadi, hadits shahih, hadits hasan ,hadits dhaif (lemah),
danhadits maudu.
Daftar Pustaka
Hassan,A. (2006). Tarjamah Bulughul Maram, Bandung : CV Penerbit Diponegoro.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hadits
http://sri-wiji-lestari.blogspot.com/2013/05/fungsi-hadits-dalam-ajaran-islam.html
http://ajaranislamyanghaq.wordpress.com/2013/11/08/