makalah klasifikasi hadits

25
MAKALAH KLASIFIKASI HADITS Oleh : Kelompok 1 Rifdah Adilah A. Sofyan / 50700114032 FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UIN ALAUDDIN MAKASSAR

Upload: ismu-nagh-x-trone

Post on 27-Sep-2015

276 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Klarifikasi hadis yang membagi hadits dalam beberapa jenis. dan akan di bahas bagaimana asal mulanya

TRANSCRIPT

MAKALAHKLASIFIKASI HADITS

Oleh:Kelompok 1Rifdah Adilah A. Sofyan / 50700114032

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASIUIN ALAUDDIN MAKASSAR2015

BAB IPENDAHULUAN1. Latar Belakang PadaawalnyaRasulullah S.A.W melarang sahabat untuk menulis hadits, karena dikhawatirkan bercampur baur penulisannya dengan Al-Qur'an. Perintah untuk menuliskan hadis yang pertama kali oleh khalifahUmar bin Abdul Azis. Beliau menulis surat kepada gubernur di madinah yaitu Abu Bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-Alsory untuk membukukan hadits. Sedangkan ulama yang pertama kali mengumpulkan hadis adalah Arroby bin Sobiy dan Said bin Abi Arobah. Akan tetapi pengumpulan hadits tersebut masih acak (tercampur antara yang sohih dengan dhoif, dan perkataan para sahabat). Sebagian orang bingungtermasuk kelompok kamimelihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam. Tetapi kebingungan itu kemudiansedikitmenjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan saja. Hadis memiliki beberapa cabang dan masing-masing memiliki pembahasan yang unik dan tersendiri diantaranya: Hadits dapat ditinjau dari segi jumlah perawinya (kuantitasnya), semakin banyak orang yang meriwayatkan suatu hadits maka semakin valid hadits tersebut dari segi kuantitas. Kuantitas perawinya mulai dari sahabat, tabiin sampai kepada perawi yang meriwayatkan suatu hadits dalam jumlah yang seimbang pada setiap tingkatan(thabaqat).Dengan jumlah yang banyak dan seimbang tersebut, maka mustahil mereka menurut kebiasaan akan berbohong, Namun ada juga hadits yang diriwayatkan oleh sedikit orang, sehingga mengurangi validitas hadits tersebut. Maka berdasarkan jumlah perawinya ini, hadits menjadi bertingkat- tingkat, mulai dari tingkat atas yang paling diterima sampai yang cukup hanya diterima. Hadits-hadits yang mutawattir yang tergolong hadits yang maqbul dan wajib diterima dan diamalkan, sedangkan hadits masyhur atau hadits Ahad, maka ia bisa saja berstatus shahih, hasan, ataupun dhaif, tergantung kualitas masing-masing hadits tersebut.

1. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah Bagaimanakah hadits ditinjau dari segi kuantitasnya, yaitu:1. Hadits Mutawatir 1. Hadits Ahad

1. Tujuan Penulisan Kita dapat memahami pengertian dan macam dari hadits Mutawatir dan hadits Ahad dan juga dapat mengetahui pembagian hadits ini, dengan itu kita bisa memilah dan memilih hadits yang dapat diterima dan sekaligus bisa dijadikan sebagai landasan suatu hukum. Bahkan ketika ada suatu hadits yang masuk dalam kategori mutawatir, kita dituntut untuk meyakini kebenarannya.

BAB IIPEMBAHASAN

A. Pembagian Hadits dari segi Kuantitas (Perawinya)

Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang membaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits ahad, ini dilandasi oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.

1. Hadits Mutawatira. Pengertian Hadits MutawatirSecara etimologi, kata mutawatir berarti Mutatabi (beriringan tanpa jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat terakhir. Seperti redaksi berikut: Artinya: Hadits yang didasarkan pada panca indra (dilihat atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat bohong.Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama mutaakhirin tentang syarat-syarat hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam hadits mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.

b. Syarat Hadits Mutawatir1. Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi dan dapat diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.2. Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya. Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.3. Berdasarkan tanggapan pancaindraBerita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan panca indera. Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.

c. Macam-Macam Hadits Mutawatir1. Hadits Mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang sama, serta kandungan hukum yang sama.Contoh Mutawatir Lafzhi: Artinya: Barang siapa yang mendustakan atas namaku, maka hendaklah bersiap-siap bertempat tinggal di neraka. (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Abu Dawud)

Menurut Ibnu Ash-Shalah hadits di atas diriwayatkan lebih 70 orang shahabat, 10 diantaranya para shahabat yang digembirakan Nabi masuk surga, bahkan An-Nawawi dalam Syarah Muslim memberitakan, bahwa jumlah perawi mencapai 200 orang shahabat, tetapi hal tersebut dibantah oleh Al-Iraqi karena jumlah itu termasuk hadits kemutlakan bohong. Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang pertama.

2. Hadits Mutawatir Manawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan mempunyai makna yang sama tetapi lafaznya tidak. Misalnya hadits tentang mengangkat kedua tangan dalam berdoa. Dalam penelitian As-Suyuthi terdapat 100 periwayatan yang menjelaskan bahwa Nabi mengangkat kedua tangannya ketika berdoa dalam beberapa kondisi yang berbeda, seperti dalam shalat istisqo, pada saat ada hujan angin ribut, dalam suatu pertempuran, dan lain-lain. Maka disimpulkan bahwa mengangkat kedua tangan dalam berdoa mutawatir melihat keseluruhan periwayatan dalam kondisi yang berbeda tersebut.3. Mutawatir Amali, yaitu amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para shahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabiin, dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Misalnya, berita-berita yang menjelaskan tentang shalat baik waktu dan rakaatnya, shalat jenazah, zakat, haji, dan lain-lain yang telah menjadi ijma para ulama.

Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits mutawatir lafzhi, maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir lafzhi tidak mungkin ada. Pendapat mereka dibantah oleh Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk yang lafzhi) memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar Al-Asqolani, Hadits mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya harus dengan cara menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat perawi, sehingga dapat diketahui dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta terhadap hadits yang diriwayatkannya.

d. Kitab-Kitab Hadits Mutawatir, antara lain sebagai berikut:1. Al-Azhaar Al-Mutanaatsirah fi Al-Akhbaar Al-Mutawaatirah, karya As-Suyuthi.2. Qathf Al-Azhaar, karya As-Suyuthi.3. Nazhm Al-Mutanaatsir min Al-Hadiits Al-Mutawaatir, karya Muhammad bin Jafar Al-Kattani.4. Al-Laaalii Al-Mutanaatsirah fi Al-Ahaadiits Al-Mutawaatirah, karya Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.

2. Hadits AhadKata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti satu jadi, karena ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yang diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.Pembagian hadits ahad ada 3 macam, yaitu hadits, masyhur, aziz, dan gharib.

a. Hadits MasyhurSecara bahasa, masyhur diartikan tenar, terkenal, dan menampakkan. Dalam istilah hadits masyhur terbagi dua macam, yaitu:1. Masyhur Ishthilahi, hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang lebih pada setiap tingkatan (thabaqah) pada beberapa tingkatan sanad tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir.2. Masyhur Ghayr Ishthilahi, hadits yang populer pada ungkapan lisan (para ulama) tanpa ada persyaratan yang definitif. Artinya hadits yang populer atau terkenal dikalangan golongan atau kelompok orang tertentu, sekalipun jumlah periwayat dalam sanad tidak mencapai 3 orang atau lebih.Contoh hadits yang populer (masyhur) dikalangan ulama fikih saja: Artinya: Halal yang dimurka Allah adalah talak. (HR. Al-Hakim)

b. Hadits AzizSecara bahasa, aziz diartikan langka, sedikit, dan kuat. Karena sedikit atau langkanya atau terkadang posisinya menjadi kuat ketika di datangkan sanad lain.Hadits aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi pada seluruh tingkatan (thabaqat) sanad atau walaupun dalam satu tingkatan sanad saja. Misalnya dikalangan shahabat hanya terdapat dua orang yang meriwayatkannya, atau hanya dikalangan tabiin saja yang terdapat dua orang perawi sementara dikalangan shahabat hanya terdapat satu orang saja. Jadi, pada salah satu tingkatan sanad hadits tersebut didapatkan tidak kurang dari dua orang perawi atau satu tingkatan sanad yang terdiri dari dua orang.

c. Hadits GharibSecara bahasa, berarti sendirian, terisolir, jauh dari kerabat, perantau asing, dan sulit dipahami. Dari segi istilah yaitu: hadits yang bersendiri seorang perawi dimana saja tingkatan (thabaqah) daripada beberapa tingkatan sanad.Hadits gharib terbagi dua, yaitu:1. Gharib Mutlak, yaitu: Hadits yang gharabah-nya (perawi satu orang) terletak pada pokok sanad. Pokok sanad adalah ujung sanad yaitu seorang shahabat.

2. Gharib Nisbi (Relatif), yaitu: Hadits yang terjadi gharabah (perawinya satu orang) di tengah sanad.Kata nisbi memberikan makna bahwa gharabah terjadi secara relatif atau dinisbatkan pada sesuatu tertentu tidak secara mutlak. Ada 3 macam gharabah nisbi, yaitu:a. Muqayyad bi ats-tsiqah, yaitu ke-gharib-an perawi hadits dibatasi pada sifat ke-tsiqah-an seorang atau beberapa orang perawi saja.b. Muqayyad bi al-balad, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh suatu penduduk tertentu sedang penduduk yang lain tidak meriwayatkannya.

B. Pembagian Hadits dari segi Kualitas (Sanad dan Matan)Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadits muatawatir memberikan pengertian yang yaqin bi alqath, artinya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuan) dihadapan para shahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenaran sumbernya sungguh telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi, baik terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas, apakah diterima (maqbul) sebagai hujjah atau ditolak (mardud).Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.

1. Hadits shahihMenurut bahasa berarti sah, benar, sempurna, tiada celanya. Secara istilah, beberapa ahli memberikan definisi sebagai berikut: Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak berillat. Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak berillat.

Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah :1) sanadnya bersambung,2) perawinya bersifat adil,3) perawinya bersifat dhabith,4) matannya tidak syaz, dan5) matannya tidak mengandung illat.

Macam-macam hadits shahih, yaitu:a. Shahih lidzatihi (shahih dengan sendidirinya), karena telah memenuhi kriteria hadits shahih sebagaiman definisi di atas.b. Shahih lighayrihi (shahih karena yang lain), yaitu hadits semestinya sedikit tidak memenuhi persyaratan hadits shahih ia baru sampai tingkat hadits hasan, karena di antara perawi ada yang kurang sedikit hapalannya dibandingkan dalam hadits shahih, tetapi karena diperkuat dengan jalan/sanad lain. Kualitas sanad lain terkadang sama-sama hasan atau lebih kuat lagi yakni shahih.

2. Hadits HasanDari segi bahasa hasan dari kata al-husnu ( ) bermakna al-jamal () yang berarti keindahan. Menurut istilah para ulama memberikan definisi hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqalani dalam An-Nukbah, yaitu: . Artinya: Khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersambung sanadnya, tidak berillat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit ke-dhabit-annya disebut hasan lidztih.

Dengan kata lain hadist hasan adalah: Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit ke-dhabit-annya, tidak ada keganjilan (syaz), dan tidak illat.

Kriteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya. Hadits shahih ke-dhabit-an seluruh perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit ke-dhabit-annya jika dibanding dengan hadits shahih.

Macam-macam hadits hasan, yaitu:a. Hasan lidzatihi adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala kriteria dan persyaratan yang telah ditentukan. Sebagaimana definisi dan penjelasan di atas.b. Hasan lighayrihiHadits hasan lighayrihi, ada beberapa pendapat di antaranya adalah: Adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat.

Adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena fasik atau dustanya perawi.

Dari dua definisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bisa naik manjadi hasan lighayrihi dengan dua syarat yaitu:a. Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.b. Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti hapalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi.

3. Hadits DhaifHadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif () berarti lemah lawan dari Al-Qawi () yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi kriteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah.Jadi hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadits hasan dan shahih, misal sanadnya tidak bersambung (muttashil), para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad atau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (Illat) pada sanad atau matan.Dalam meriwayatkan hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu (hadits palsu). Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu:1. Tidak berkaitan dengan akidah, seperti sifat-sifat Allah.2. Tidak menjelaskan hukum syara yang berkaitan dengan halal dan haram tetapi, berkaitan dengan masalah mauizhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.

C. Pembagian Hadits dari segi Pengamalan Hadits

Dalam pengamalan hadits dhaif para ulama berbeda berpendapat. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu:1. Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (Fadhail al amal) atau dalam hukum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu Sayyid An-Nas dari Yahya bin Main. Pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu Hazam.2. Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-amal atau dalam masalah hukum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama.3. Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-amal, mauizhah, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, yaitu berikut:a. Tidak terlalu dhaif, seperti di antara perawinya pendusta (hadits mawdhu) atau dituduh dusta (hadits matruk), orang yang daya ingat hapalannya sangat kurang, dan berlaku fasiq dan bidah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits munkar).b. Masuk ke dalam kategori hadits yang diamalkan (mamul bih) seperti hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi pertentangan dengan hadits lain), nasikh (hadits yang membatalkan hukum pada hadits sebelumnya), dan rajih (hadits yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).c. Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.

Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah tidak terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk kedhaifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail al-amal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang terburuk adalah mawdhu, matruk, munkar, muallal, mudraj, maqlub, kemudian mudhtharib.

D. KesimpulanPembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu: mutawatir lafzhi, mutawatir manawi dan mutawatir amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi 3 macam, yaitu hadits masyhur (terbagi dua, yaitu: masyhur ishthilahi, masyhur ghayr ishthilahi), hadits aziz, dan hadits gharib [terbagi : gharib mutlak, gharib nisbi (terbagi lagi menjadi dua, yaitu: muqayyad bi ats-tsiqah dan muqayyad bi ats-tsiqah)].Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu hadits maqbul (diterima) dan hadits mardud (ditolak). Hadits maqbul terbagi menjadi dua macam yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad yang shahih (lidzatihi dan lighayrihi) dan hasan (lidzatihi dan lighayrihi), sedangkan hadits mardud adalah hadits yang dhaif.

BAB IIIPENUTUP1. KESIMPULANHadits dapat dibedakan menjadi tiga bagian berdasarkan kuantitasnya, yaitu : 1. Hadits Mutawatir, Masyhur, dan Ahad. Namun ada juga ulama yang hanya membagi dua : 1. Hadits Mutawatir, dan 2. Ahad. Hadits Masyhur dimasukkan kedalam hadits Ahad..Adapaun Hadits Mutawatir terbagi 3, yaitu : 1. Mutawatir Lafzi, Ma'nawi dan'amali. Sedangkan hadits ahad terbagi tiga pula, yaitu : 1. Masyhur, 2. 'Aziz dan 3. Gharib.Kemudian hadits masyhur dibagi menjadi shahih hasan dan dhaif dilihat dari segi kualitasnya. Begitu pula hadits dari segi kualitas juga terbagi menjadi shahih, hasan dan dhaif. Adapun hadits gharib dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu : 1. dari segi penyendirian perawinya, dan 2. dari segi kaitannya antara penyendirian pada sanad dan matan.Jika dilihat dari sudut pandang pertama, haidts gharib dibagi menjadi gharib muthlaq dan gharib nisbi, sedang bila dilihat dari sudut pandang kedua, hadits gharib dibedakan menjadi gharib pada sanad dan matan secara bersama-sama dan gharib pada sanadnya saja.1. SARANKita sebagai umat beragama islam yang bertaqwa kepada Allah SWT hendaknya kita mempelajari dan bisa mengerti tentang Hadits sebagai sumber hukum yang ke dua setelah Al Quran, agar Menambah rasa keimanan kita sebagai hamba yang butuh akan ilmu pengetahuan dan dengan kita berpegang pada keduanya Al Quran dan Hadits pasti kita akan selamat di dunia dan akhirat.

DAFTAR PUSTAKAIbnu Hajar, Al-Asqalani; (tt). MatnuNukhbatul Fikri Fi Mushthalah Ahli Atsar, Maktabah Daiilan, Bandung.Nur Ichwan, Muhammad. 2007.Studi Ilmu Hadits. Semarang: Rasail.Yuslem, Nawir. 2001.UlumulHadits. Jakarta: FT.MutiaraSumberWidya.