lapsus_sle (interna rsws kelompok 2)

47
LAPORAN KASUS MANAJEMEN FISIOTERAPI TERHADAP GANGGUAN AKTIVITAS FUNGSIONAL AKIBAT SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE) DI LONTARA 1 RUMAH SAKIT WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR OLEH: NURLINDA NUR M. AKBAR JAILANI IDIAWATI NURLIM YUDI HARDIANTO HARVINA MUKRIM NURUL ISTIQAMAH

Upload: yudi-hardianto

Post on 27-Oct-2015

96 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS

MANAJEMEN FISIOTERAPI TERHADAP GANGGUAN AKTIVITAS

FUNGSIONAL AKIBAT SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

(SLE) DI LONTARA 1 RUMAH SAKIT WAHIDIN

SUDIROHUSODO MAKASSAR

OLEH:

NURLINDA NUR

M. AKBAR JAILANI

IDIAWATI NURLIM

YUDI HARDIANTO

HARVINA MUKRIM

NURUL ISTIQAMAH

PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI PROFESI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2013

HALAMAN PERSETUJUAN

Laporan kasus dengan judul :

MANAJEMEN FISIOTERAPI TERHADAP GANGGUAN AKTIVITAS

FUNGSIONAL AKIBAT SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

(SLE) DI LONTARA 1 RUMAH SAKIT WAHIDIN

SUDIROHUSODO MAKASSAR

Oleh :

NURLINDA NUR

M. AKBAR JAILANI

IDIAWATI NURLIM

YUDI HARDIANTO

HARVINA MUKRIM

NURUL ISTIQAMAH

Telah diterima dan disetujui untuk dipresentasikan dalam studi kasus profesi Fisioterapi.

Makassar, 18 Juni 2013

Pembimbing:

1. dr. Ivan Virnanda Amu, M.Kes (……………………)

2. Nur Kamar, S. Kep.Ns (………………...….)

BAB I

LATAR BELAKANG

Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE)

merupakan penyakit in lamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum

diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat

beragam.1 Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka

kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta

lingkungan diduga berperan dalam pato isiologi SLE.1

Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa,

sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun.

Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun,

manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam

malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik

19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai

adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi

subkutaneus akut 6,7%. 2

Mengingat manifestasi klinis, perjalanan penyakit SLE sangat beragam

dan risiko kematian yang tinggi maka diperlukan upaya pengenalan dini serta

penatalaksanaan yang tepat. Penanganan pasien dengan SLE dibutuhkan

kolaborasi antar profesi kesehatan.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Defenisi SLE (Sistematic Lupus Erimatosis)

SLE (Sistematic Lupus Erimatosis) adalah penyakit reumatik autoimun

yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ

atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi

dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Penyakit ini

menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia 15-40 tahun selama masa

reproduktif dengan ratio wanita dan pria 5:1.3

B. Epidemiologi SLE (Sistematic Lupus Erimatosis)

Penyakit ini menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia 15-40

tahun selama masa reproduktif dengan ratio wanita dan pria 5:1. Dalam 30 tahun

terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit penyakit reumatik utama di dunia.

Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi antara 2,9/100.000-

400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro,

Cina, dan mungkin saja Filipina.4

C. Etiologi SLE (Sistematic Lupus Erimatosis)

SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yangmenyebabkan

peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini

ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana

terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadiselama usia reproduktif) dan

lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal).5

Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor genetik,

infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh

kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen darisel dan jaringan tubuh

sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara

terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun

sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan

multiorgan. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi

mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit

autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana

Antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini

menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit

menahun. Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum

sepenuhnya dimengerti tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan

keturunan.5,6

D. Manifestasi Klinis SLE.

Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang

terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan

perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan

akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak

dikenali sebagai SLE. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit SLE

ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama

beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya

keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti

fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria SLE.

1. Manifestasi Konstitusional.3

Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita SLE

dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini

agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan

kelelahan seperti anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta

pemakaian obat seperti prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas

penyakit SLE, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum

yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap

pemberian steroid atau latihan. Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian

penderita SLE dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan.

Penurunan berat badan ini

2. Manifestasi Muskuloskeletal7.

Pada penderita SLE, manifestasi pada muskuloskeletal ditemukan

poliartritis, biasanya simetris dengan episode artralgia pada 90% kasus. Pada

50% kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendonitis juga sering terjadi dengan

akibat subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan

berupa osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya

berhubungan dengan terapi steroid.

Selain itu, ditemukan juga mialgia yang terjadi pada 60% kasus, tetapi

miositis timbul pada penderita SLE< 5% kasus. Miopati juga dapat ditemukan,

biasanya berhubungan dengan terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis sering

didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid.

3. Manifestasi Kulit.7

Kelainan kulit yang sering didapatkan pada SLE adalah fotosensitivitas,

butterfly rash, ruam malar, SLEi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, SLEi

psoriaform dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan

tanda-tanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis,

ulkus jari, gangren.

4. Manifestasi Kardiovaskular.7

Kelainan kardiovaskular pada SLE antara lain penyakit perikardial, dapat

berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial.

Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia,

interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.

Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik,

tapi data autopsi mendapatkan 50% SLE disertai endokarditis Libman-Sachs.

Adanya vegetasi katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan

endokarditis bakterialis. Wanita dengan SLE memiliki risiko penyakit jantung

koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang

berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.

5. Manifestasi Paru-paru.7

Kelainan paru-paru pada SLE seringkali bersifat subklinik sehingga foto

toraks dan spirometri harus dilakukan pada pasien SLE dengan batuk, sesak

nafas atau kelainan respirasi lainnya. Pleuritis dan nyeri pleuritik dapat

ditemukan pada 60% kasus. Efusi pleura dapat ditemukan pada 30% kasus,

tetapi biasanya ringan dan secara klinik tidak bermakna. Fibrosis interstitial,

vaskulitis paru dan pneumonitis dapat ditemukan pada 20% kasus, tetapi secara

klinis seringkali sulit dibedakan dengan pneumonia dan gagal jantung

kongestif. Hipertensi pulmonal sering didapatkan pada pasien dengan sindrom

antifosfolipid. Pasien dengan nyeri pleuritik dan hipertensi pulmonal harus

dievaluasi terhadap kemungkinan sindrom antifosfolipid dan emboli paru.

6. Manifestasi Ginjal.7

Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien SLE harus dilakukan dengan

menilai ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan

silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin.

Secara histologik, WHO membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE

dengan hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria dengan penurunan GFR

harus dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.

7. Manifestasi Hemopoetik7

Pada SLE, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai

dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat

penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan

anemia hemolitik autoimun.

Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus.

Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia

pada SLE ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-mula menunjukkan

gambaran trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang

menjadi SLE setelah ditemukan gambaran SLE yang lain.

8. Manifestasi Susunan Saraf7

Keterlibatan Neuropsikiatri SLE sangat bervariasi, dapat berupa migrain,

neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan

antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan

serebrovaskular pada SLE. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan

pada 10% kasus.

Ketelibatan saraf otak, jarang ditemukan.Kelainan psikiatrik sering

ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik

juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali

tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan

kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan

gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk

membedakan adanya infark atau perdarahan.

9. Manifestasi Gastrointestinal7

Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik,

splenomegali, peritonitis aseptik, vaskulitis mesenterial, pankreatitis. Selain itu,

ditemukan juga peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap

kemungkinan hepatitis autoimun.

E. Diagnosis SLE

Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan

laboratorium. American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1997,

mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE, dimana apabila didapatkan 4

kriteria, diagnosis SLE dapat ditegakkan.8

Kriteria tersebut adalah :

Kriteria BatasanRuam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah

malar dan cenderung dak melibatkan lipat nasolabial.Ruam diskoid. Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan

folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofi Fotosensitivitas. Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap

sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang

dilihat oleh dokter pemeriksa.Ulkus di mulut. Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan

dilihat oleh dokter pemeriksa.Arthritis non erosif. Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi

perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.Pleuritis atau perikarditis.

a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.

b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial fricton rub atau terdapat bukti efusi perikardium.

Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif

b. Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran.

Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).

b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).

Gangguan hematologi

a. Anemia hemolitik dengan retikulosisb. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan

atau lebihc. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan

atau lebihd. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan

oleh obat-obatanGangguan imunologik

a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal

b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap anti gen nuklear Sm

c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid yang didasarkan atas:1) Kadar serum antibodi anti kardiolipin abnormal

baik IgG atau IgM,2) Tes lupus anti koagulan positif menggunakan

metoda standard, atau3) Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis

sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema.

Antibodi antinuklear (Antinuclear antibody, ANA)

Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan

dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.

F. Pemeriksaan Penunjang SLE

1. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus

Eritematosus Sistemik ( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin dan

pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE menunjukkan

adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia;

erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs

test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik,

dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada

penderita SLE menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan

kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada

urin.

2. Pemeriksaan Autoantibodi.9

Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan

berbagai proses imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan

tersebut tentunya terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun

termasuk di dalamnya SLE, Arthritis Reumatoid, sindroma Sjogren dan

sebagainya. Adanya antibodi termasuk autoantibodi sering dipakai dalam

upaya membantu penegakkan diagnosis maupun evaluasi perkembangan

penyakit dan terapi yang diberikan.

Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian

yang mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya. Demikian

pula halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir,

dikatakan terdapat kekacauan dalam sistim toleransi imun dengan sentralnya

pada T-helper dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi

autoantigen, kemiripan atau mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T,

cross reactive peptide terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass idiotipik,

aktivasi poliklonal dan sebaginya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut

adanya gangguan mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke

peripher. Kekacauan ini semakin besar kesempatan terjadinya sejalan dengan

semakin bertambahnya usia seseorang.

Umumnya, autoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit.

Oleh karenanya, lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (markers)

proses patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik

atau turun dapat berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil

intervensi terapi. Kompleks autoantigen dan autoantibodilah yang akan

memulai rangkaian penyakit autotoimun. Hingga saat ini hipotesis yang dianut

adalah autoantibodi baru dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu

penyakit reumatik autoimun apabila ia berperan dalam proses patologiknya.

a. Antibodi Antinuklear.

Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi

yang spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada

connective tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective

Tissue Disease (MCTD) dan sindrom sjogren’s primer. ANA pertama kali

ditemukan oleh Hargreaves pada tahun 1948 pada sumsum tulang penderita

SLE. Dengan perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan

spesifisitas ANA yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP),

Ro/SS-A dan La/SS-B.

ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi.

ANA digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue

disease. Dengan pemeriksaan yang baik, 99% penderita SLE menunjukkan

pemeriksaan yang positif, 68% pada penderita sindrom Sjogrens dan 40%

pada penderita skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang

berusia > 70 tahun.

b. Antibodi terhadap DNA.

Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam

antibodi yang reaktif terhadap DNA natif ( double stranded-DNA). Anti ds-

DNA positif dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan

mempunyai arti diagnostik dan prognostik. Kadar anti ds-DNA yang rendah

ditemukan pada sindrom Sjogrens, arthritis reumatoid. Peningkatan kadar

anti ds-DNA menunjukkan peningkatan aktifitas penyakit. Pada SLE,anti

ds-DNA mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktifitas

penyakit SLE. Pemeriksaan anti ds-DNA dilakukan dengan metode

radioimmunoassay, ELISA dan C.luciliae immunofluoresens.

G. Peranan Fisioterapi terhadap Pasien SLE

Gangguan muskuloskeletal pada pasien SLE yang paling sering ditemui

adalah arthtritis. Paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal

diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpo phalangeal, siku dan

pergelangan kaki8.

Berikut merupakan mekanisme arthritis pada SLE.10

Gambar 1. Reaksi Imunologi pada SLE

Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% pasien, umumnya simetris,terjadi

pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangatresponsif terhadap terapi

dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada SLE Arthritis pada tangan

dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang berat.

Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan setelah dalam

pengobatan kortikosteroid danvaskulopati. arthritis SLE umumnya sangat nyeri,

dannyeri ini tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi.Pemeriksaan

radiologis menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan pada tulang sendi.8

Tujuan terapi, baik terapi medikamendimentosa maupun terapi

konvensional mencakup upaya untuk mencegah hilangnya fungsi organ yang

progresif, mengurangi kemungkinan terjadinya penyakit akut, meminimalkan

diasbilitas yang berhubungan dengan penyakit dan mencegah komplikasi akibat

terapi.11

Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan

SLE tergantung maksud dan tujuan yang ingin dicapai. Salah satu hal penting

adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan

SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping

itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi

imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi.

Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi

rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas

lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan

manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.12

H. Jenis Exercise Fisioterapi yang dapat diberikan pada pasien SLE

1. Mencegah Stiffness Joint

1. Passive Movement

Passive movement adalah gerakan yang ditimbulkan oleh adanya

kekuatan dari luar sementara itu otot pasien lemas. Passive movement ada 2,

yaitu :13

a. Relaxed Passive Movement

Gerakan pasif hanya dilakukan sebatas timbul rasa nyeri. Bila pasien

sudah merasa nyeri pada batas lingkup gerak sendi tertentu, maka gerakan

dihentikan.

b. Forced Passive Movement

Forced passive movement bertujuan untuk menambah lingkup gerak sendi.

Tekniknya hampir sama dengan relaxed passive movement, namun di sini

pada akhir gerakan diberikan penekanan sampai pasien mampu menahan

rasa nyeri.

2. Active Movement

Merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot anggota gerak tubuh

pasien itu sendiri (Kisner,1996). Pada kondisi oedem, gerakan aktif ini dapat

menimbulkan “pumping action” yang akan mendorong cairan bengkak

mengikuti aliran darah ke proksimal. Latihan ini juga dapat digunakan untuk

tujuan mempertahankan kekuatan otot, latihan koordinasi dan

mempertahankan mobilitas sendi. 13

Active Movement terdiri dari :

a. Free Active Movement

Gerakan dilakukan sendiri oleh pasien, hal ini dapat meningkatkan

sirkulasi darah sehingga oedem akan berkurang, jika oedem berkurang

maka nyeri juga dapat berkurang. Gerakan ini dapat menjaga lingkup

gerak sendi dan memelihara kekuatan otot. 13

b. Assisted Active Movement

Gerakan ini berasal dari pasien sendiri, sedangkan terapis memfasilitasi

gerakan dengan alat bantu, seperti sling, papan licin ataupun tangan terapis

sendiri. Latihan ini dapat mengurangi nyeri karena merangsang relaksasi

propioseptif. 13

c. Ressisted Active Movement

Ressisted active movement merupakan gerakan yang dilakukan oleh pasien

sendiri, namun ada penahanan saat otot berkontraksi. Tahanan yang

diberikan bertahap mulai dari minimal sampai maksimal. Latihan ini dapat

meningkatkan kekuatan otot. 13

2. Gangguan Respirasi (Sesak Nafas)

Untuk membantu mengatasi gangguan pernafasan, fisioterapi

melakukan teknik breathing exercise, yang bertujuan untuk memperbaiki

ventilasi, meningkatkan kapasitas paru dan mencegah kerusakan paru.14

Jenis-jenis Breathing Exercise terdiri beberapa macam:

1. Diafragma Breathing14

Diberikan pada penderita gangguan respirasi yang sedang mengalami

serangan sesak nafas, misalnya pada penderita asma yang sedang kambuh.

prosedurnya:

a. Bernafas dengan perut

b. Dada dan bahu harus rileks

c. Saat inspirasi, kembungkan perut

d. Saat ekspirasi, kempiskan perut

e. Terapis mengontrol dengan memegang perut dan dada pasien. Yang

bergerak adalah perut, dada harus diam.

2. Pursed Lip Breathing14

Diberikan pada pasien yang sedang tidak mengalami serangan sesak

nafas. Prosedurnya:

a. Posisi pasien rileks

b. Pasien tarik nafas melalui hidung dan tahan 2-3 detik

c. Pasien diminta menghembuskan nafas melalui mulut selama 6-8 detik.

3. Segmental Breathing14

Latihan nafas pada segmen paru tertentu dengan tujuan melatih

pengembangan paru persegmen. Prosedurnya: saat ingin memberikan

pengembangan segmen paru tertentu, maka terapis memberikan tekanan saat

inspirasi dan ekspirasi pada segmen paru yang dimaksud.

3. Menurunkan Oedem

1. Manual Lymphatetic Drainage Vodder (MLDV)15

MLDV adalah metode terbaru dari massage. Prinsipnya adalah dengan

membuka pembuluh limfe, kelenjar, dan cairan interstitiel, yang bertujuan

untuk stimulasi penurunan cairan yang terjebak dalam jaringan (edema)

dengan cara meningkatkan kecepatan dari aliran cairan tubuh.

4. Positioning16

Imobilisasi pada pasien akan berdampak pada Muskuloskeletal, Sirkulasi,

Respiratori, Integumen, Abdominal, Renal, Psikologi.

Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut di atas, maka perlu dilakukan

mobilisasi setiap 2 jam sekali selama 24 jam dengan posisi yaitu :

a.       Miring kanan

b.      Miring kiri, dilakukan pada jam 04.00 pagi, dengan tujuan memudahkan

BAB

c.       Terlentang

d.      Tengkurap

5. PNF17

PNF adalah fasilitasi respon neuromuskular melalui propriosensor.

Fasilitasi ditujukan pada reaksi atau respon neuromuscular dengan jalan

memberikan suatu stimulus dari luar/perifer terhadap saraf aferen khusus yang

propriosensor.

Adapun prinsip dasar PNF adalah :

1. Optimal resisten

2. Manual kontak

3. Stimulasi verbal

4. Timbal balik visual

5. Body mekanik

6. Traksi dan aproksimasi

7. Irradiasi

8. Reinforcement

9. Komponen gerak

BAB III

ANAMNESIS FISIOTERAPI

A. PENGUMPULAN DATA IDENTITAS PASIEN

Nama : NY.R

No.RM : 009878

Umur : 23 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Pattiroang Jeneponto

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Diagnosa : sindrom SLE

Tgl. Pemeriksaan Fisio : 16 Juli 2013

B. PHYSIOTHERAPY ASSESSMENT (CHARTS)18,19

1. Chief of Complain

Lemah seluruh badan

2. History

Pasien masuk ke RS dengan keluhan perut membesar sejak 1 bulan yang

lalu pasca melahirkan KJDR (Kematian janin dalam rahim) yang ditolong

oleh bidan, setelah itu pasien merasa perutnya semakin membesar disertai

dengan bengkak pada kaki dan tangan. Keluhan lain rambut rontok, nyeri

pada sendi, lemah seluruh badan, dan ruam merah pada wajah saat terkena

matahari, pasien merasa nyaman saat tidur miring dan sesak saat tidur

terlentang. BAB dan BAK lancar.

Riwayat Penyakit sebelumnya: HT (-), DM (-), Kolesterol (-), Penyakit

Jantung (-)

3. Asimetris

a. Pemeriksaan Umum

Kesadaran : CM Kooperatif

Tekanan Darah : 110/80 mmHg

Nadi : 78 x/ menit

Pernapasan : 30 x/menit

Suhu : 360 C

b. Observasi

1) Statis

a) Pasien tidur miring.

b) Tampak wajah pucat dan bintik-bintik kecoklatan di wajah,

leher, dan dada.

c) Tampak perut membesar dan kedua kaki bengkak.

2) Dinamis

a) Pasien sedikit merasa kesulitan untuk miring ke kanan-kiri.

b) Pasien mampu menggerakkan kedua tangan dan tungkai, tetapi

terasa ngilu.

c. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar 20,21

GerakanRegio

Dekstra Sinistra

Aktif

Extremitas atas:

untuk smua gerakan lemah

Extremitas bawah:

untuk semua gerakan lemah

Extremitas atas:

untuk smua gerakan lemah

Extremitas bawah:

untuk semua gerakan lemah

Pasif Extremitas atas:

untuk smua gerakan lemah

Extremitas bawah:

untuk semua gerakan lemah

Extremitas atas:

untuk smua gerakan lemah

Extremitas bawah:

untuk semua gerakan lemah

Endfeel: soft endfell

Tidak ada nyeri

Endfeel: soft endfell

Tidak ada nyeri

TIMT

Extremitas atas:

untuk smua gerakan lemah

Extremitas bawah:

untuk semua gerakan lemah

Extremitas atas:

untuk smua gerakan lemah

Extremitas bawah:

untuk semua gerakan lemah

d. Palpasi20

a. Oedem : (+) dikedua tungkai

b. Spasme : m. Erector spine, m. Upper trapezius

c. Kontur kulit :

d. Suhu : normal

4. Restrictive

ROM : terbatas pada ekstremitas bawah dan trunk

Pekerjaan : terganggu

ADL : ADL terganggu (self care, toiletting, dressing)

Rekreasi : terganggu

5. Tissue Impairment dan Psikogen Prediktif

Mukulotendinogen : general muscle weakness

Psikogen : rasa cemas

6. Specific Test

a. Hammilton Depression Scale (Modified) 22

No Kemampuan Penilaian Skor1. Keadaan perasaan sedih

(sedih, putus asa, tak berdaya, tak berguna)

0 : Tidak ada1 : Perasaan ini hanya ada bila ditanya2 : perasaan ini ditanyakan secara verbal spontan3: perasaan yang nyata tanpa komunikasi verbal,

misalnya ekspresi muka, bentuk, suara, dan kecenderungan menangis

4 : pasien menyatakan perasaan yang sesungguhnya ini dalam komunikasi baik verbal maupun non verbal secara spontan

3

2. Perasaan Bersalah 0 : Tidak ada1 : menyalahkan diri sendiri dan merasa sebagai

penyebab penderitaan orang lain2 : ada ide-ide bersalah atau renungan tentang

kesalahan masa lalu3: sakit ini sebagai hukuman, waham bersalah dan

berdosa4 : ada suara-suara kejaran atau tuduhan dan

halusinasi penglihatan tentang hal-hal yang mengancamnya

1

3. Kerja dan kegiatan-kegiatannya

0 : Tidak ada1 : berfikir tidak mampu, keletihan/kelemahan

yang berkaitan dengan kegiatan kerja/hobi2 : hilangnya minat terhadap pekerjaan/hobi3: berkurangnya waktu untuk aktivitas sehari-hari

atau produktivitas menurun4 : tidak bekerja karena sakitnya

4

4. Kelambanan (lambat dalam berfikir, berbicara gagal berkonsentrasi, dan aktivitas motorik menurun)

0 : Normal1 : sedikit lamban dalam wawancara2 : jelas lamban dalam wawancara3: sukar diwawancarai; stupor (diam sama sekali)

1

5. kegelisahan 0 : Tidak ada1 : kegelisahan ringan2 : memainkan tangan jari-jari, rambut, dan lain-

lain3: bergerak terus tidak dapat duduk dengan tenang4 : meremas-remas tangan, menggigit kuku,

menarik-narik rambut, menggigit bibir

1

6. Gejala Somatik (umum) 0 : Tidak ada1 : anggota gerak, punggung atau kepala terasa

berat2 : sakit punggung, kepala dan otot-otot, hilangnya

kekuatan dan kemampuan

1

7. Kehilangan berat badan 0 : Tidak ada1 : berat badan berkurang berhubungan dengan

penyakitnya sekarang2 : jelas penurunan berat badan3: tak terjelaskan lagi penurunan berat badan

2

8. Insight (pemahaman diri) 0 : mengetahui dirinya sakit dan cemas1 : mengetahui sakit tapi berhubungan dengan

penyebab iklim, makanan, kerja berlebihan, virus, perlu istirahat, dll

2 : menyangkal bahwa ia sakit

0

9. Variasi harian Adakah perubahan keadaan yang memburuk pada waktu malam atau pagi0 : Tidak ada1 : buruk saat pagi2 : buruk saat malam

2

10 Depersonalisasi (perasaan diri berubah) dan derelisiasi (perasaan tidak nyata tidak realistis)

0 : Tidak ada1 : ringan2 : sedang3: berat4 : ketidakmampuan

3

11 Gejala Paranoid 0 : Tidak ada1 : kecurigaan

0

2 : pikiran dirinya menjadi pusat perhatian peristiwa kejadian diluar tertuju pada dirinya (ideas refence)

3: waham (delusi) dikejar/diburu12 Gejala obsesi dan kompulsi 0 : Tidak ada

1 : ringan2 : berat

0

TOTAL SKOR 18

Kriteria Penilaian (HAM-D Scoring Instruction) :

0 - 7 : Normal 8 - 13 : Mild Depression 14 - 18 : Moderate Depression 19 - 22 : Severe Depression > 23 : Very Severe Depression

Interpretasi : tingkat kecemasan pasien Moderate Depression

b. VAS 20,21

Nyeri Dinamis : 5

Interpretasi : nyeri sedang

c. Auskultasi Paru 23,24

Bunyi paru : Bising vesikuler

Wheezing : (-)

Ronkhi : (-)

Interpretasi : normal

d. Fremitus 24 :

Pasien diminta untuk menyebut sembilan-sembilan dan terapis

merasakan getarannya dengan meletakkan kedua tangan di punggung

pasien dari lobus upper, middle dan lower.

Hasil : - upper lobus : vocal fremitus menurun

- middle lobus : vokal fremitus menghilang

- lower lobus : vokal fremitus menghilang

e. Expansi toraks 21,23,24

Upper : 1 cm (normal: 1-3 cm)

Middle : 1 cm (normal: 3-5 cm)

Lower : 1 cm (normal: 5-7 cm)

Interpretasi : gangguan pengembangan thoraks

f. Skala Borg 25

Skala BORG untuk sesak napas/napas pendek

0 Tidak sama sekali

0.5 Sangat-sangat ringan

1 Sangat ringan

2 Ringan

3 Cukupan

4 Agak berat

5 Berat

6

7 Sangat berat

8

Test : Pasien dinilai besarnya beban, usaha, dan sesak nafas saat

berjalan ke kamar mandi. Jarak dari bed ke kamar mandi

adalah + 2 meter.

Hasil : Usaha : 7-8 (sangat berat)

Beban : 5-6 (berat)

Sesak Nafas : 5-6 (berat)

g. Palpasi Oedem

Skor Kriteria Penilaian

1+Pitting ringan, indentasi sedikit, pemeriksaan hanya

sedikit yang dirasakan

2+Pitting sedang, indentasi kurang dari 5 mm yang

menghilang dengan cepat

3+Pitting dalam, indentasi 5-10 mm yang menetap sejenak,

ekstremitas jelas terlihat membengkak

4+Pitting sangat dalam, indentasi lebih dari 10 mm yang

berlangsung lama, ekstremitas tampak sangat membengkak

Hasil : 4+

Interpretasi : Pitting sangat dalam, indentasi lebih dari 10 mm yang

berlangsung lama, ekstremitas tampak sangat membengkak

h. Manual Muscle Testing (MMT) 20,21,26

Nilai Kekuatan Otot

Nilai Interpretasi

0 Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi

1 Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak ada pergerakan

2 Didapatkan gerakan, tetapi tidak melawan gaya gravitasi

3 Dapat mengadakan gerakan melawan gravitasi

4 Dapat melawan gravitasi dengan sedikit tahanan

5 Tidak ada kelumpuhan (normal)

Hasil : Ektremitas Atas : Nilai 4

Ekstremitas Bawah : Nilai 3

i. Tes Circumferentia

Dekstra Sinistra

Lengan Atas 23 23

Lengan Bawah 20 22

Tungkai Atas 43 43

Tungkai Bawah 33 32

Interpretasi : Normal

j. Tes Sensorik 27

Tajam-tumpul : Normal

Kasar-halus : Normal

Rasa gerak : Normal

Rasa posisi : Normal

Arah gerak : Normal

Diskriminasi 2 titik : Normal

k. Tes ADL (Indeks Barthel) 28

No. Kemampuan Penilaian Skor1. Saya dapat mengendalikan

defekasi (buang air besar)0 : Tak pernah1 : Kadang-kadang2 : Selalu

2

2. Saya dapat mengendalikan kencing (kandung kencing)

0 : tak pernah (dikateter & tak dapat mengatur)

1 : Kadang-kadang2 : Selalu

2

3. Mengenai Pemeliharaan diri (muka, rambut, gigi, cukur), saya perlu bantuan

0 : Selalu1 : Tak pernah

0

4. Menggunakan toilet, saya 0 : Tergantung pada orang lain1 : Kalau perlu minta bantuan2 : Bebas

0

5. Mengenai Makan, saya 0 : Tergantung orang lain1 : Kalau perlu minta bantuan2 : Bebas

1

6. Naik & turun dari kursi dan tempat tidur, saya

0 : Tak mampu duduk dan tergantung pada orang lain untuk pindah

1 : Mampu duduk tapi perlu banyak bantuan

2 : Perlu sedikit bantuan untuk pindah

3 : Bebas

2

7. Mengenai jalan, saya 0 : Tidak dapat, saya terbatas pada kursi yang didorong orang lain

1 : Tidak dapat meskipun saya di kursi roda, saya dapat menjalankan sendiri

2 : Dapat tetapi hanya dengan bantuan fisik atau kata-kata dari orang lain

3 : Bebas penuh dan tak perlu bantuan oranglain

2

8. Berpakaian, saya 0 : Tergantung oranglain1 : Perlu bantuan2 : Bebas, saya dapat mengancing

baju, ritsleting, menalikan sepatu dll

1

9. Mengenai naik tangga, saya 0 : Tak mampu1 : Perlu bantuan2 : Bebas

0

10. Mandi, saya 0 : Tergantung pada oranglain1 : Bebas, saya tak perlu bantuan,

termasuk masuk dan keluar dari kamar mandi

0

TOTAL SKOR 10

Kriteria Penilaian :

0 – 4 : Sangat cacat berat (Ketergantungan sangat berat) 5 – 9 : Cacat berat (Ketergantungan berat) 10 – 14 : Cacat sedang (Ketergantungan sedang) 15 – 19 : Cacat ringan (Ketergantungan ringan) 20 : Bebas dan fungsional penuh (Mandiri)

Interpretasi : Ketergantungan sedang

l. Pemeriksaan Radiologi

Hasil pemeriksaan USG Abdomen

1. Hepar : ukuran dan echo parenkim dalam batas normal, tidak

tampak dilatasi duktus pankreatikum, tampak SOL

2. GB : kontraktil

3. Pankreas : ukuran dan echo parenkim dalam batas normal, tidal

Nampak dilatasi duktus pancreas, tampak SOL

4. Lien : ukuran dan echo parenkim dalam batas normal, tidak

tampak SOL

5. Kedua ginjal : ukuran dan echo parenkin dalam batas normal, tidak

Nampak dilatasi dan batu massa

6. Vesica urinaria : mukosa regular, tidak menebal, tidak n

7. tampak echo matu atau mass

8. Tampak echo cairan bebas pada cavum peritoneum dan cavum

pleura kiri

Kesan : ascites dengan efusi pleura kiri

m. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan

Anti-dsDNA-NcX 395 <100 IU/mL

Ureum 32 10-50 mg/dl

Kreatinin 0,8 L (<1,3) ; P (<1,1) mg/dl

GOT 23 < 38 µ/l

GPT 15 < 41 µ/l

Protein Total 4,1 6,6-8,7 gr/dl

Albumin 1.1 3.5-5.0 gr/dl

Kesan :

7. Diagnosa Fisioterapi

Gangguan aktivitas fungsional akibat Sistemik Lupus Eritematosis (SLE)

sejak 3 hari yang lalu

8. Problem fisioterapi

Primer : General Weakness

Sekunder : Sesak nafas, spasme m. erector spine dan m. upper trapezius

Kompleks : Gangguan ADL

9. Program Fisioterapi

a. Tujuan

1) Tujuan Jangka Panjang

Mengembalikan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional pasien

2) Tujuan Jangka Pendek

a) Meningkatan rasa percaya diri

b) Mengurangi sesak napas

c) Meningkatkan kemampuan pengembangan dada

d) Menurunkan oedem

e) Mencegah terjadinya stiffness joint

f) Mencegah terjadinya Kontraktur

g) Mencegah komplikasi yang akan timbul

h) Meningkatkan ADL

10. Intervensi Fisioterapi

No. Problematik Modalitas Dosis 29,30

1. Rasa cemasKomunikasi

terapeutik FT

F : 2 x/ hari

I : Pasien fokus

T : Motivasi

T : 2 menit

2. Sesak napasBreathing

Exercise21,23,24

F : 2 x/ hari

I : 3x repetisi

T: Push lip breathing posisi

supine lying 21,23,24

T : 2 menit

3.

Mengurangi

oedem di tangan

dan tungkai

MLDV 15

F : 2 x/ hari

I : 3-5 kali repetisi, 1 repetisi

5-8 hitungan

T: MLDV 15

T : 3 menit

3.

Mencegah

komplikasi

bedrest

(Decubitus)

Positioning

F : setiap hari

I : 12 kali

T: Positioning mika/miki

(Koordinasi dengan perawat

dan edukasi kepada keluarga

pasien)

T : setiap 2 jam

4. Mencegah

komplikasi

bedrest:

a. Stiffness joint

b. Kontraktur

Exercise F : 2 x/ hari

I : Zona Latihan

T: PROMEX 21, bila

memungkinkan ditingkatkan

menjadi AROMEX 21

T : 3 menit

6 Gangguan ADL Exercise

F : 2 x/ hari

I : 3x repetisi, 1 kali repetisi 8

hitungan

T: PNF 17

T : 5 menit

11. Evaluasi

ProblemParamet

er

Evaluasi

InterpretasiPre Test Post Test

16/5/13 16/5/13 17/5/13 18/5/13 19/5/13

DepresiHammi

lton 18 18 18

Pasien masih Depresi sedang

Sesak Nafas

Skala borg

Usaha:7-8

Beban:5-6

Sesak:5-6

Usaha:7-8

Beban:5-6

Sesak:5-6

Usaha:7-8

Beban:5-6

Sesak:5-6

Pasien masih sesak nafas berat

Kekuatan Otot

MMTEks Sup:4

Eks Inf:3

Eks Sup:4

Eks Inf:3

Eks Sup:4

Eks Inf:3

Tidak ada peningkatan

kekuatan otot

Ketergantungan

Barthel indeks

10 10 10Pasien masih

Ketergantungan sangat berat

OedemOedem scale rating

4 4 4

Oedem masih sangat jelas di

seluruh ekstremitas

11. Home Program

Untuk latihan secara mandiri, fisoterapi memberikan edukasi kepada pasien

dan keluarga pasien teknik:

1. Deep breathing exc. 21,23,24

2. Ankle pumping

13. Modifikasi dan Kemitraan

Kemitraan : bekerja sama dengan dokter spesialis interna dan perawat

mengenai jadwal pemberian obat NSAID. Exercise diberikan sebelum

pemberian obat NSAID.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tutuncu ZN, Kalunian KC. The Deinition and clasiication of systemic lupus erythematosus.In: Wallace DJ, Hahn BH, editors.Duboi’s lupus erythematosus. 7th ed. Philadelphia. Lippincott William & Wilkins;2007:16-19 dalam Rekomendasi Perhimpunan Dokter Rheumatologi. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosis Sistemik

2. Data dari poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin Bandung, 2010 dalam Rekomendasi Perhimpunan Dokter Rheumatologi. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosis Sistemik

3. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing, 2009 ; 2565-2579.

4. Bartels CM, Krause RS, Lakdawala VS, et al. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). 2011. [cited 2011 Oct 6]. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview dalam: Utomo, Wicaksono N. 2012. hubungan antara aktivitas penyakit dengan status kesehatan pada pasien ( lupus eritematosus sistemik ) di rsup dr. kariadi, semarang. Semarang: universitas diponegoro

5. Mok CC, Lau CS. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J Clin Pathol 2003;56:481-490.

6. A n o n i m .  Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak . Last update : 16 Mei, 2009.Available at htttp://www.childrenclinic.wordpress.com.

7. D’Cruz D, Espinoza G, Cervera R. Systemic lupus erythematosus: pathogenesis, clinical manifestations, and diagnosis. 2010 [ cited 2011 Dec 7 ]. Available from : http://www.eular.org/myuploaddata/files/Compendium_sample_chapter.pdf dalam: Utomo, Wicaksono N. 2012. hubungan antara aktivitas penyakit dengan status kesehatan pada pasien ( lupus eritematosus sistemik ) di rsup dr. kariadi, semarang. Semarang: universitas diponegoro

8. NN. 1997 Update of the 1982 American College of Rheumatology Revised Criteria for Classification of Systemic Lupus Erythematosus. 1997 [cited 2011 Dec 9]. Available from : http://www.rheumatology.org/practice/clinical/classification/SLE/1997_update_of_the_1982_acr_revised_criteria_for_classification_of_sle.pdf dalam: Utomo, Wicaksono N. 2012. hubungan antara aktivitas penyakit dengan

status kesehatan pada pasien ( lupus eritematosus sistemik ) di rsup dr. kariadi, semarang. Semarang: universitas diponegoro

9. Zvezdanovic L, Dordevic V, Cosic V, Cvetkovic T, Kundalic S, Stankovic A. The significance of cytokines in diagnosis of autoimmune diseases. Jugoslov Med Biohem 2006;25:363-372. dalam: Utomo, Wicaksono N. 2012. hubungan antara aktivitas penyakit dengan status kesehatan pada pasien ( lupus eritematosus sistemik ) di rsup dr. kariadi, semarang. Semarang: universitas diponegoro

10. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 – Systemic Lupus Erythematosus: Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders, Philadelphia. 2003. p810-813.

11. Brunner and suddart. Keperawatan Medikal Bedah.Volume 3 edisi 8. Jakarta: EGC

12. Rekomendasi Perhimpunan Dokter Rheumatologi. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosis Sistemik

13. Nugie, Nugroho. 2008. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pasca Orif p ada Fraktur Femur 1/3 Distal d engan Pemasangan Plate a nd Screw . Online. http://ortotik-prostetik.blogspot.com/2008/12/penatalaksanaan-terapi-latihan-pasca.html diakses pada tanggal 25 Mei 2013.

14. Dede Hidayat, SSt, FT. 2010. Breathing Teknik Fisioterapi. Disampaikan pada seminar dan Workshop Akfis UKI 15-17 Juli 2010.

15. MLDV

16. Baskoro, Bintang. 2010. Dampak Imobilisasi pada pasien dan penanggulangannya. Available at: http://binbask.blogspot.com/2013/06/dampak-pasien-immobilisasi.html

17. Susan, S. Alder, dkk. 2008. PNF in Practice An Illustrated Guide. Third Edition. USA. Springer

18. Raj, Glady Samuel. Physiotherapy in Neuro-conditions. New Delhi: Padmashree Institute of Physiotherapy, Bangalore; Medical Publisher (P) LTD, Jaypee Brothers.

19. Aras, Djohan. 2010. Whiplash Injury, [dibawakan dalam Acara Seminar dan Workshop : Bagaimana Berolah Raga dengan Sehat, Bugar dan Berprestasi, 20 – 21 Maret 2010]. Makassar.

20. Butterworth-Heinemann edited by Porter, Stuart B. 2003. Tidy's Physiotherapy, Thirteenth Edition. Elsevier Science.

21. Kisner, Carolyn dan Colby, Lynn Allen. 1996. Therapeutic Exercise Foundations And Techniques, Third Edition. F.A. Philadelphia: Davis Company.

22. Anonim. 2013. Depression Rating Scale (Ham-D). Psychiatric Times. http://www.psychiatrictimes.com/clinical-scales-depression/ham-d-hamilton-depression-rating-scale, (online), diakses pada tanggal 18 Juni 2013.

23. Basuki, Nur. 2008. Hand Out FT Kardiovaskulo Pulmonal. Makassar: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

24. Rusli M, Muthiah St, dan Hasbiah. Tanpa Tahun. Fisioterapi Respirasi. Makassar: Bakti Husada.

25. Anonim. 2011. Borg Scale. Rehabilitation and Sports Medicine Services. http://applications.spectrum-health.org/Education/Home/Download?filename=x12454.pdf (online), diakses pada tanggal 18 Juli 2013.

26. Reese, Nancy Berryman. 2005. Muscle and Sensory Testing, Second Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier.

27. Lumbantobing, S.M. 2008. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental (cetakan ke-11). Jakarta: Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin.

28. Pudjiastuti, Sri Surini. 2003. Fisioterapi pada Lansia. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

29. Aras, Djohan. 2002. Aplikasi FITT Pedoman Dosis Terapi. In House Training Fitness Therapy. Inco Soroako.

30. CK. Giam-Kc The. 2004. The FITT Formula, Sport Medicine Exercise and Fitness. A Guide for Every One. Singapore Council.