lapsus interna ckd

61
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Insiden dan prevalensinya semakin meningkat dan sudah merupakan masalah kesehatan global. 1 Di negara-negara barat CKD merupakan sebuah epidemi dengan angka pertumbuhan dialisis pertahun 6-8%. Di Amerika Serikat dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan prevalensi gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal terminal yang memerlukan terapi pengganti ginjal Tidak hanya itu, prevalensi CKD stadium awal juga turut mengalami peningkatatan. Diperkirakan satu dari sembilan orang Amerika Serikat mengidap CKD dan sebagian besar tidak menyadari hal ini. 2 Tiga strategi yang dapat membantu untuk memperlambat progresifitas CKD meliputi: identifikasi dini penderita, modifikasi faktor risiko dan manajemen secara paripurna. Beberapa faktor risiko untuk terjadinya CKD adalah umur diatas 60 tahun, diabetes melitus, hipertensi atau penyakit kardiovaskular, adanya riwayat keluarga yang menderita sakit ginjal, infeksi saluran kemih yang berulang, penggunaan obat nefrotoksik berulang (NSAID, antibiotik, zat kontras) dan kontak dengan bahan kimia yang berulang. 2 1

Upload: gzz-ripp

Post on 22-Oct-2015

93 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

free to download

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus Interna CKD

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses

patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang

progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Insiden dan prevalensinya semakin

meningkat dan sudah merupakan masalah kesehatan global.1

Di negara-negara barat CKD merupakan sebuah epidemi dengan angka pertumbuhan

dialisis pertahun 6-8%. Di Amerika Serikat dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan

prevalensi gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal terminal yang memerlukan terapi

pengganti ginjal Tidak hanya itu, prevalensi CKD stadium awal juga turut mengalami

peningkatatan. Diperkirakan satu dari sembilan orang Amerika Serikat mengidap CKD dan

sebagian besar tidak menyadari hal ini.2

Tiga strategi yang dapat membantu untuk memperlambat progresifitas CKD meliputi:

identifikasi dini penderita, modifikasi faktor risiko dan manajemen secara paripurna.

Beberapa faktor risiko untuk terjadinya CKD adalah umur diatas 60 tahun, diabetes melitus,

hipertensi atau penyakit kardiovaskular, adanya riwayat keluarga yang menderita sakit ginjal,

infeksi saluran kemih yang berulang, penggunaan obat nefrotoksik berulang (NSAID,

antibiotik, zat kontras) dan kontak dengan bahan kimia yang berulang.2

Pada stadium dini CKD dapat didiagnosis dengan melakukan pemeriksaan penunjang dan

terbukti dengan pengobatan dini dapat mencegah terjadinya gagal ginjal, penyakit kardiovaskular

dan dapat mencegah kematian sebelum waktunya.2

CKD merupakan penyakit yang kronis, sehingga diperlukan kerjasama tim medis,

pasien, serta keluarga dan lingkungan dalam pengelolaan penyakit ini. Edukasi terhadap

pasien dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan akan sangat

membantu memperbaiki hasil pengobatan, serta diharapkan dapat membantu memperbaiki

kualitas hidup penderita.2

1

Page 2: Lapsus Interna CKD

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendahuluan

Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang terletak di belakang rongga

abdomen, satu di setiap sisi kolumna vertebralis sedikit di atas garis pinggang. Ginjal

mengolah plasma yang mengalir masuk ke dalamnya untuk menghasilkan urin, menahan

bahan – bahan tertentu dan mengeliminasi bahan – bahan yang tidak diperlukan ke dalam

urin. Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta satuan fungsional berukuran mikroskopik yang

dikenal sebagai nefron, yang disatukan satu sama lain oleh jaringan ikat. Setiap nefron terdiri

dari komponen vaskuler dan komponen tubulus, yang keduanya secara struktural dan

fungsional berkaitan erat.

Bagian dominan pada komponen vaskuler adalah glomerulus, suatu berkas kapiler

berbentuk bola tempat filtrasi sebagian air dan zat terlarut dari darah yang melewatinya.

Sedangkan komponen tubulus dari setiap neuron adalah suatu saluran berongga berisi cairan

yang terbentuk oleh satu lapisan sel epitel. Cairan yang sudah terfiltrasi di glomerulus, yang

komposisinya nyaris identik dengan plasma, kemudian mengalir ke komponen tubulus

nefron, tempat cairan tersebut dimodifikasi oleh berbagai sistem transportasi yang

mengubahnya menjadi urin.

Keadaan dimana ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume

dan komposisi cairan tubuh yang berlangsung progresif, lambat, samar dan bersifat

irreversible (biasanya berlangsung beberapa tahun) di sebut dengan gagal ginjal kronik.

Gagal ginjal kronik bersifat samar karena hampir 75% jaringan ginjal dapat dihancurkan

sebelum gangguan fungsi ginjal terdeteksi. Karena besarnya cadangan fungsi ginjal, 25% dari

jaringan ginjal sudah cukup untuk menjalankan semua fungsi regulatorik dan eksretorik

ginjal. Namun dengan kurang dari 25% jaringan fungsional ginjal yang tersisa, insufisiensi

ginjal akan tampak. (1)

2

Page 3: Lapsus Interna CKD

2.2 Definisi

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang

beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir

dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai

dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan

terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Dan ditandai

dengan adanya uremia ( retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam darah). (2)

2.3 Kriteria (2)

Kriteria Penyakit Ginjal Kronik (NKF-KDOQI, 2002)

1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau

fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan

manifestasi:

Kelainan patologis

Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin,

atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)

2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan

atau tanpa kerusakan ginjal.

2.4 Klasifikasi (2)

3

Page 4: Lapsus Interna CKD

Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan

mempergunakan rumus Kockcroft – Gault sebagai berikut :

2.5 Etiologi (3)

Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe 1 dan

tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Diabetes melitus adalah suatu keadaan dimana terjadi

peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga menyebabkan kerusakan pada organ-

organ vital tubuh seperti ginjal dan jantung serta pembuluh darah, saraf dan mata.

Sedangkan hipertensi merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah yang

jika tidak terkontrol akan menyebabkan serangan jantung, stroke, dan penyakit ginjal

kronik. Gagal ginjal kronik juga dapat menyebabkan hipertensi. Kondisi lain yang dapat

menyebabkan gangguan pada ginjal antara lain :

4

Page 5: Lapsus Interna CKD

1. Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%), dapat menyebabkan

inflamasi dan kerusakan pada unit filtrasi ginjal. Merupakan penyakit ketiga

tersering penyebab gagal ginjal kronik

2. Penyakit keturunan seperti penyakit ginjal polikistik (3%) menyebabkan

pembesaran kista di ginjal dan merusak jaringan sekitar, dan asidosis tubulus.

3. Malformasi yang didapatkan oleh bayi pada saat berada di dalam rahim si ibu.

Contohnya, penyempitan aliran urin normal sehingga terjadi aliran balik urin ke

ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan kerusakan pada ginjal.

4. Lupus dan penyakit lain yang memiliki efek pada sistem imun (2%)

5. Penyakit ginjal obstruktif seperti batu saluran kemih, tumor, pembesaran glandula

prostat pada pria dan refluks ureter.

6. Infeksi traktus urinarius berulang kali seperti pielonefritis kronik.

7. Penggunaan analgesik seperti acetaminophen (Tylenol) dan ibuprofen (Motrin,

Advil) untuk waktu yang lama dapat menyebabkan neuropati analgesik sehingga

berakibat pada kerusakan ginjal.

8. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis arteri renalis.

9. Penyebab lainnya adalah infeksi HIV, penyakit sickle cell, penyalahgunaan

heroin, amyloidosis, gout, hiperparatiroidisme dan kanker.

2.6 Faktor Resiko

Faktor resiko gagal ginjal kronik diantara lain : pasien dengan diabetes melitus

atau hipertensi, obesitas atau perokok, berusia lebih dari 50 tahun, individu dengan

riwayat diabetes melitus, hipertensi dan penyakit ginjal dalam keluarga serta kumpulan

populasi yang memiliki angka tinggi diabetes atau hipertensi seperti African Americans,

Hispanic Americans, Asian, Pacific Islanders, dan American Indians. (4)

2.7 Epidemiologi (2)

Di Amerika Serikat, data tahun 1995 – 1999 menyatakan insiden penyakit ginjal

kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat

sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta,

5

Page 6: Lapsus Interna CKD

diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara – negara

berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40 – 60 kasus perjuta penduduk

pertahun.

2.8 Anatomi Ginjal (1)

Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang terletak di belakang rongga

abdomen, satu di setiap sisi kolumna vertebralis sedikit diatas garis pinggang. Setiap

ginjal diperdarahi oleh arteri renalis dan vena renalis, yang masing – masing masuk dan

keluar ginjal dilekukan medial yang menyebabkan organ ini berbentuk seperti buncis.

Ginjal mengolah plasma yang mengalir masuk ke dalamnya untuk menghasilkan urin

yang kemudian mengalir ke sebuah rongga pengumpul sentral (pelvis renalis) yang

terletak pada bagian dalam sisi medial di pusat (inti) kedua ginjal. Lalu dari situ urin

disalurkan ke dalam ureter, sebuah duktus berdinding otot polos yang keluar dari batas

medial dekat dengan pangkal (bagian proksimal) arteri dan vena renalis. Terdapat dua

ureter, yang menyalurkan urin dari setiap ginjal ke sebuah kandung kemih. Kandung

kemih ( buli – buli) yang menyimpan urin secara temporer, adalah sebuah kantung

berongga yang dapat diregangkan dan volumenya disesuaikan dengan mengubah – ubah

status kontraktil otot polos di dindingnya. Secara berkala, urin dikosongkan dari kandung

kemih keluar tubuh melalui sebuah saluran, uretra. Bagian – bagian sistem kemih diluar

ginjal memiliki fungsi hanya sebagai saluran untuk memindahkan urin keluar tubuh.

Setelah terbentuk di ginjal, komposisi dan volume urin tidak berubah pada saat urin

mengalir ke hilir melintasi sisi sistem kemih.

Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta satuan fungsional berukuran mikroskopik

yang dikenal sebagai nefron, yang disatukan satu sama lain oleh jaringan ikat. Susunan

nefron di dalam ginjal membentuk dua daerah khusus : daerah sebelah luar yang tampak

granuler ( korteks ginjal) dan daerah bagian dalam yang berupa segitiga – segitiga

bergaris – garis, piramida ginjal, yang secara kolektif disebut medula ginjal. Setiap nefron

terdiri dari komponen vaskuler dan komponen tubulus, yang keduanya secara struktural

dan fungsional berkaitan erat.

6

Page 7: Lapsus Interna CKD

Komponen vaskuler dari nefron diantara lain :

a. Arteriol aferen

merupakan bagian dari arteri renalis yang sudah terbagi – bagi menjadi pembuluh –

pembuluh halus dan berfungsi menyalurkan darah ke kapiler glomerulus

b. Glomerulus

suatu berkas kapiler berbentuk bola tempat filtrasi sebagian air dan zat terlarut dari darah

yang melewatinya

c. Arteriol eferen

Tempat keluarnya darah yang tidak difiltrasi ke dalam komponen tubulus meninggalkan

glomerulus dan merupakan satu – satunya arteriol di dalam tubuh yang mendapat darah

dari kapiler

d. Kapiler peritubulus

Merupakan arteriol eferen yang terbagi – bagi menjadi serangkaian kapiler yang

kemudian membentuk jalinan mengelilingi sistem tubulus untuk memperdarahi jaringan

ginjal dan berperan dalam pertukaran cairan di lumen tubulus. Kapiler – kapiler

peritubulus menyatu membentuk venula yang akhirnya mengalir ke vena renalis, tempat

darah meninggalkan ginjal Komponen tubulus dari setiap nefron adalah saluran berrongga

berisis cairan yang terbentuk oleh satu lapisan sel epitel, di antara lain :

Kapsula Bowman

Suatu invaginasi berdinding rapat yang melingkupi glomerulus untuk mengumpulkan

cairan yang difiltrasi oleh kapiler glomerulus

Tubulus proksimal

Seluruhnya terletak di dalam korteks dan sangat bergelung (berliku – liku) atau berbelit si

sepanjang perjalanannya. Tubulus proksimal menerima cairan yang difiltrasi dari kapsula

bowman

Lengkung henle

Lengkung tajam atau berbentuk U atau yang terbenam ke dalam medula. Pars desendens

lengkung henle terbenam dari korteks ke dalam medula, pars assendens berjalan kembali

ke atas ke dalam korteks. Pars assendens kembali ke daerah glomerulus dari nefronnya

sendiri, tempat saluran tersebut melewati garpu yang dibentuk oleh arteriol aferen dan

arteriol eferen. Dititk ini sel – sel tubulus dan sel – sel vaskuler mengalami spesialisasi

membentuk aparatus jukstaglomerulus yang merupakan suatu struktur yang berperan

penting dalam mengatur fungsi ginjal.

7

Page 8: Lapsus Interna CKD

Tubulus distal

Seluruhnya terletak di korteks. Tubulus distal menerima cairan dari lengkung henle dan

mengalirkan ke dalam duktus atau tubulus pengumpul

Duktus atau tubulus pengumpul

Suatu duktus pengumpul yang menerima cairan dari beberapa nefron yang berlainan.

Setiap duktus pengumpul terbenam ke dalam medula untuk mengosongkan cairan yang

kini telah berubah menjadi urin ke dalam pelvis ginjal

Terdapat 2 jenis nefron yaitu nefron korteks dan nefron jukstamedula yang

dibedakan berdasarkan lokasi dan panjang sebagian strukturnya. Nefron korteks

merupakan jenis nefron yang paling banyak dijumpai dan lengkung tajam dari nefron

korteks hanya sedikit terbenam ke dalam medula. Sebaliknya, nefron jukstamedula

terletak di lapisan dalam korteks di dekat medula dan lengkungnya terbenam jauh ke

dalam medula. Selain itu, kapiler peritubulus nefron jukstamedula membentuk lengkung

vaskuler tajam yang dikenal sebagai vasa rekta, yang berjalan berdampingan erat dengan

lengkung henle. Susuna paralel dan karakteristik permeabilitas dan transportasi lengkung

henle dan vasa rekta berperan penting dalam kemampuan ginjal menghasilkan urin dalam

berbagai konsentrasi tergantung kebutuhan tubuh.

8

Page 9: Lapsus Interna CKD

2.9 Fisiologi Ginjal (1)

Ginjal melaksanakan tiga proses dasar dalam menjalankan fungsi regulatorik dan

ekskretorik yaitu :

1. filtrasi glomerulus

Terjadi filtrasi plasma bebas protein menembus kapiler glomerulus ke dalam kapsula

Bowman melalui tiga lapisan yang membentuk membran glomerulus yaitu dinding

kapiler glomerulus, lapisan gelatinosa aseluler yang dikenal sebagai membran basal dan

lapisan dalam kapsula bowman.

Dinding kapiler glomerulus, yang terdiri dari selapis sel endotel gepeng, memiliki

lubang – lubang dengan banyak pori – pori besar atau fenestra, yang membuatnya seratus

kali lebih permeabel terhadap H2O dan zat terlarut dibandingkan kapiler di tempat lain.

Membran basal terdiri dari glikoprotein dan kolagen dan terselip di antara

glomerulus dan kapsula bowman. Kolagen menghasilkan kekuatan struktural, sedangkan

glikoprotein menghambat filtrasi protein plasma kecil. Walaupun protein plasma yang

lebih besar tidak dapat difiltrasi karena tidak dapat melewati pori – pori diatas, pori – pori

tersebut sebenarnya cukup besar untuk melewatkan albumin dan protein plasma terkecil.

Namun, glikoprotein karena bermuatan sangat negatif akan menolak albumin dan pritein

plasma lain, karena yang terakhir juga bermuatan negatif. Dengan demikian, protein

plasma hampir seluruhnya tidak dapat di filtrasi dan kurang dari 1% molekul albumin

yang berhasil lolos untuk masuk ke kapsula bowman.

Lapisan dalam kapsula bowman terdiri dari podosit, sel mirip gurita yang

mengelilingi berkas glomerulus. Setiap podosit memiliki banyak tonjolan memanjang

seperti kaki yang saling menjalin dengan tonjolan podosit di dekatnya. Celah sempit

antara tonjolan yang berdekatan dikenal sebagai celah filtrasi, membentuk jalan bagi

cairan untuk keluar dari kapiler glomerulus dan masuk ke dalam lumen kapsula bowman.

Tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus adalah tekanan darah

kapiler glomerulus, tekanan onkotik koloid plasma, dan tekanan hidrostatik kapsula

bowman. Tekanan kapiler glomerulus adalah tekanan cairan yang ditimbulkan oleh darah

di dalam kapiler glomerulus. Tekana darah glomerulus yang meningkat ini mendorong

cairan keluar dari glomerulus untuk masuk ke kapsula bowman di sepanjang kapiler

glomerulus dan merupakan gaya utama yang menghasilkan filtrasi glomerulus.

GFR dapat dipengaruhi oleh jumlah tekanan hidrostatik osmotik koloid yang

melintasi membran glomerulus. Tekanan onkotil plasma melawan filtrasi, penurunan

9

Page 10: Lapsus Interna CKD

konsentrasi protein plasma, sehingga menyebabkan peningkatan GFR. Sedangkan

tekanan hidrostatik dapat meningkat secara tidak terkontrol dan dapat mengurangi laju

filtrasi. Untuk mempertahankan GFR tetap konstan, maka dapat dikontrol oleh

otoregulasi dan kontrol simpatis ekstrinsik.

Mekanisme otoregulasi ini berhubungan dengan tekanan darah arteri, karena

tekanan tersebut adalah gaya yang mendorong darah ke dalam kapiler glomerulus. Jika

tekanan darah arteri meningkat, maka akan diikuti oleh peningkatan GFR. Untuk

menyesuaikan aliran darah glomerulus agar tetap konstan, maka ginjal melakukannya

dengan mengubah kaliber arterial aferen, sehingga resistensi terhadap aliran darah dapat

disesuaikan. Apabila GFR meningkat akibat peningkatan tekanan darah arteri, maka GFR

akan kembali menjadi normal oleh konstriksi arteriol aferen yang akan menurunkan aliran

darah ke dalam glomerulus.

Selain mekanisme otoregulasi, untuk menjaga GFR agar tetap konstan adalah

dengan kontrol simpatis ekstrinsik GFR. Diperantarai oleh masukan sistem saraf simpatis

ke arteriol aferen untuk mengatur tekanan darah arteri sehingga terjadi perubahan GFR

akibat refleks baroreseptor terhadap perubahan tekanan darah.

Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke glomerulus difiltrasi

dengan tekanan filtrasi 10 mmHg dan menghasilkan 180 L filtrat glomerulus setiap hari

untuk GFR rata – rata 125 ml/menit pada pria dan 160 liter filtrat per hari dengan GFR

115 ml/menit untuk wanita.

2. reabsorpsi tubulus

Merupakan proses perpindahan selektif zat – zat dari bagian dalam tubulus (lumen

tubulus) ke kapiler peritubulus agar dapat diangkut ke sistem vena kemudian ke jantung

untuk kembali diedarkan. Proses ini meupakan transport aktif dan pasif karena sel – sel

tubulus yang berdekatan dihubungkan oleh tight junction. Glukosa dan asam amino

dereabsorpsi seluruhnya disepanjang tubulus proksimal melalui transport aktif. Kalium

dan asam urat hampir seluruhnya direabsorpsi secara aktif dan di sekresi ke dalam tubulus

distal. Reabsorpsi natrium terjadi secara aktif di sepanjang tubulus kecuali pada ansa

henle pars descendens. H2O, Cl-, dan urea direabsorpsi ke dalam tubulus proksimal

melalui transpor pasif. Berikut ini merupakan zat – zat yang direabsorpsi di ginjal :

Reabsorpsi Glukosa

Glukosa direabsorpsi secara transpor altif di tubulus proksimal. Proses reabsorpsi glukosa

ini bergantung pada pompa Na ATP-ase, karena molekul Na tersebut berfungsi untuk

mengangkut glukosa menembus membran kapiler tubulus dengan menggunakan energi. 10

Page 11: Lapsus Interna CKD

Reabsorpsi Natrium

Natrium yang difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 98 – 99% akan direabsorpsi secara aktif

ditubulus. Sebagian natrium 67% direabsorpsi di tubulus proksimal, 25% dereabsorpsi di

lengkung henle dan 8% di tubulus distal dan tubulus pengumpul. Natrium yang

direabsorpsi sebagian ada yang kembali ke sirkulasi kapiler dan dapat juga berperan

penting untuk reabsorpsi glukosa, asam amino, air dan urea.

Reabsorpsi Air

Air secara apasif direabsorpsi melalui osmosis di sepanjang tubulus. Dari H2O yang

difiltrasi, 80% akan direabsorpsi di tubulus proksimal dan ansa henle. Kemudian sisa H2O

sebanyak 20% akan direabsorpsi di tubulus distal dan duktus pengumpul dengan kontrol

vasopressin.

Reabsorpsi Klorida

Ion klorida yang bermuatan negatif akan direabsorpsi secara pasif mengikuti penurunan

gradien reabsorpsi aktif dan natrium yang bermuatan positif. Jumlah Klorida yang

direabsorpsikan ditentukan oleh kecepatan reabsorpsi Na

Reabsorpsi Kalium

Kalium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi secara difusi

pasif di tubulus proksimal sebanyak 50%, 40% kalium akan dirabsorpsi di ansa henle pars

assendens tebal, dan sisanya direabsorpsi di duktus pengumpul

Reabsorpsi Urea

Urea merupakan produk akhir dari metabolisme protein. Ureum akan difiltrasi seluruhnya

di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi sebagian di kapiler peritubulus, dan urea tidak

mengalami proses sekresi. Sebagian ureum akan direabsorpsi di ujung tubulus proksimal

karena tubulus kontortus proksimal tidak permeabel terhadap urea. Saat mencapai duktus

pengumpul urea akan mulai direabsorpsi kembali.

Reabsorpsi Fosfat dan Kalsium

Ginjal secara langsung berperan mengatur kadar kedua ion fosfat dan kalsium dalam

plasma. Kalsium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 40% direabsorpsi di tubulus

kontortus proksimal dan 50% direabsorpsi di ansa henle pars assendens. Dalam reabsorpsi

kalsium dikendalikan oleh homon paratiroid. Ion fosfat ayng difiltrasi, akan direabsorpsi

sebanyak 80% di tubulus kontortus proksimal kemudian sisanya akan dieksresikan ke

dalam urin.

11

Page 12: Lapsus Interna CKD

3. sekresi tubulus

Proses perpindahan selektif zat – zat dari darah kapiler peritubulus ke dalam

lumen tubulus. Proses sekresi terpenting adalah sekresi H+, K+ dan ion – ion

organik. Proses sekresi ini melibatkan transportasi transepitel. Di sepanjang

tubulus, ion H+ akan disekresi ke dalam cairan tubulus sehingga dapat tercapai

keseimbangan asam basa. Asam urat dan K+ disekresi ke dalam tubulus distal.

Sekitar 5% dari kalium yang terfiltrasi akan dieksresikan ke dalam urin dan kontrol

sekresi ion K+ tersebut diatur oleh hormon antidiuretik. Kemudian hasil dari ketiga

proses tersebut adalah terjadinya eksresi urin, dimana semua konstituen plasma

yang mencapai tubulus, yaitu yang difiltrasi atau disekresi tetapi tidak direabsorpsi,

akan tetap berada di dalam tubulus dan mengalir ke pelvis ginjal untuk eksresikan

sebagai urin.

Fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang sebagian besar ditujukan untuk

mempertahankan kestabilan lingkungan cairan eksternal :

Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh

Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES termasuk Na+, Cl-, K+, HCO3-,

Ca++, Mg++, SO4=, PO4

= dan H+

Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan dalam

pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui peran

12

Page 13: Lapsus Interna CKD

ginjal sebagai pengatur keseimbangan garam dan H2O

Membantu memelihara keseimbangan asam – basa tubuh, dengan menyesuaikan

pengeluaran H+ dan HCO3- melalui urin

Memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlarut) berbagai cairan tubuh, terutama

melalui pengaturan keseimbangan H2O

Mengeksresikan (eliminasi) produk – produk sisa (buangan) dari metabolisme tubuh.

Misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk, zat – zat sisa tersebut

bersifat toksik, terutama bagi otak

Mengeksresikan banyak senyawa asing. Misalnya obat, zat penambah pada makanan,

pestisida, dan bahan – bahan eksogen non-nutrisi lainnya yang berhasil masuk ke dalam

tubuh

Mensekresikan eritropoietin, suatu hormon yang dapat merangsang pembentukan sel

darah merah

Mensekresikan renin, suatu hormon enzimatik yang memicu reaksi berantai yang penting

dalam proses konservasi garam oleh ginjal

Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya

2.10 Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit

yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang

lebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa ginjal

mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal

ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan

kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat,

akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih

tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif.

Perubahan fungsi neuron yang tersisa setelah kerusakan ginjal menyebabkan

pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih utuh akan mengalami

peningkatan beban eksresi sehingga terjadi lingkaran setan hiperfiltrasi dan

peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian seterusnya, keadaan ini berlanjut

menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau

End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-

angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksin dan hipoperfusi

13

Page 14: Lapsus Interna CKD

ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya

hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. (2)

Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi : (5)

1. Anemia

Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan produksi

eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit menimbulkan

anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan kadar Hb dan

diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu GGK dapat

menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum) yang sering

menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik pada GGK akan

mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi pendek, pada keadaan

normal 120 hari menjadi 70 – 80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunya efek

inhibisi eritropoiesis

2. Sesak nafas

Menurut saya disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga

menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal

tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus

juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu

oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin

II merangsang pelepasan aldosteron dan ADH ssehingga menyebabkan retensi

NaCl dan air → volume ekstrasel meningkat (hipervolemia)→ volume cairan

berlebihan→ ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer→LVH→

peningkatan tekanan atrium kiri→ peningkatan tekanan vena pulmonalis

→peningkatan tekanan di kapiler paru→ edema paru→ sesak nafas

3. Asidosis

Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat penurunan

kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan penurunan kadar

bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis metabolik pada gagal

ginjal kronik meliputi penurunan eksresi amonia karena kehilangan sejumlah

nefron, penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonat melalui urin.

Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah. Apabila penurunan pH darah

kurang dari 7,35 dapat dikatakan asidosis metabolik. Asidosis metabolik dpaat

14

Page 15: Lapsus Interna CKD

menyebabkan gejala saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia dan lelah. Salah

satu gejala khas akibat asidosis metabolik adalah pernapasan kussmaul yang timbul

karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi karbon dioksida untuk mengurangi

keparahan asidosis

4. Hipertensi

Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan

penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut

menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus

sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting

enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki efek

vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan tekanan darah.

5. Hiperlipidemia

Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas oleh ginjal

sehingga menyebabkan hiperlipidemia.

6. Hiperurikemia

Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam darah

(hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan pengendapan

kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat membengkak, meradang dan

nyeri

7. Hiponatremia

Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon peptida

natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus ginjal. Bila

fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah nefron, natriuresis

akan meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensi air yang berlebihan

akan menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler. Keadaan hiponetremia

ditandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa kram, diare dan muntah.

8. Hiperfosfatemia

Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga fosfat

banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya terlampaui, fosfat

akan bergabung deng Ca2+ untuk membentuk kalsium fosfat yang sukar larut.

Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di sendi dan kulit ( berturut-

turut menyebabkan nyeri sendi dan pruritus)

9. Hipokalsemia

15

Page 16: Lapsus Interna CKD

Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan

hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga

memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi tulang

(osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di dalam plasma

tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi meskipun terjadi

mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma tidak berlebihan dan

konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada insufisiensi ginjal, eksresinya

melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi fosfat di plasma

meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di

plasma tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH tetap

berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terus-menerus ini, kelenjar

paratiroid mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH.

Kelaina yang berkaitan dengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi

renal dan hiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH selain terdapat di

ginjal dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel

darah dan gonad), diduga PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di

organ tersebut. Pembentukan kalsitriol berkurang pada gahal ginjal juga berperan

dalam menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon ini

merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi penurunan

kalsitriol, maka menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di usus, hal ini

memperberat keadaan hipokalsemia

10. Hiperkalemia

Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma meningkat, maka ion

hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –sel ginjal sehingga mengakibatkan

kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan

menyebabkan peningkatan sekresi hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan

berkurang sehingga menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan kalium ini

berkaitan dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka dan polos sehingga dapat

menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon dalam, gangguan motilitas

saluran cerna dan kelainan mental.

11. Proteinuria

Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari kerusakan ginjal

16

Page 17: Lapsus Interna CKD

pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi. Proteinuria glomerular

berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang melibatkan glomerulus. Beberapa

mekanisme menyebabkan kenaikan permeabilitas glomerulus dan memicu

terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga molekul protein berukuran besar seperti

albumin dan immunoglobulin akan bebas melewati membran filtrasi. Pada keadaan

proteinuria berat akan terjadi pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang disebu

dengan sindrom nefrotik.

12. Uremia

Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari uremia pada

GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga dapat terjadi

akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat berdifusi ke aliran darah dan

menyebabkan toksisitas yang mempengaruhi glomerulus dan mikrovaskularisasi

ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang dari 10% dari normal,

maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan menunjukkan gejala iritasi

traktus gastrointestinal, gangguan neurologis, nafas seperti amonia (fetor

uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis uremik. Gangguan pada serebral

adapat terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggi dan menyebabkan koma

uremikum.

2.11 Diagnosis

Gejala Klinis

Pada gagal ginjal kronik, gejala – gejalanya berkembang secara perlahan. Pada

awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat diketahui

dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit, maka

lama kelamaan akan terjadi peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi

(uremia). Pada stadium ini, penderita menunjukkan gejala – gejala fisik yang

melibatkan kelainan berbagai organ seperti :

1. Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor uremik

2. Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit

3. Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya konsentrasi

menurun, insomnia, gelisah

4. Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema

5. Gangguan kelamin : libido menurun, nokturia, oligouria

Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya 17

Page 18: Lapsus Interna CKD

cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.

Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang

progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.

Sampai pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan

(asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.

Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan

lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG

kurang 30 % pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti

anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,

pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi

seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna.

Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia,

gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di

bawah 15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah

memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis

atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium

gagal ginjal. (2)

Gambaran Laboratorium (2)

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :

1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya

2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan

penurunan LFG

3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan

kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,

hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik

4. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria

Gambaran Radiologis (2)

Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :

1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio – opak

2. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati

filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras

18

Page 19: Lapsus Interna CKD

terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan

3. Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi

4. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks

yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi

5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi

Biopsi dan pemeriksaan Histopatologi ginjal (2)

Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal,

dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan dan bertujuan untuk

mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi

yang sudah diberikan. Kontraindikasi pada ukuran ginjal yang mengecil, ginjal

polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan

darah, gagal nafas, dan obesitas.

2.12 Komplikasi (2)

Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai berikut :

1. Hiperkalemia

2. Asidosis metabolik

3. Komplikasi kardiovaskuler ( hipertensi dan CHF )

4. Kelainan hematologi (anemia)

5. Osteodistrofi renal

6. Gangguan neurologi ( neuropati perifer dan ensefalopati)

7. tanpa pengobatan akan terjadi koma uremik

2.13 Penatalaksanaan(2)

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :

1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya

penurunan LFG. Bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi

terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.

2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG untuk

mngetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. 19

Page 20: Lapsus Interna CKD

3. Memperlambat perburukan fungsi ginjal

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi

glomerulus. Cara untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah :

a. Pembatasan asupan protein

Karena kelebihan protein tidak dapat disimpan didalam tubuh tetapi di pecah

menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan melalui

ginjal selain itu makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat,

sulfat, dan ion anorganik lainnya juga dieksresikan melalui ginjal. Oleh karena itu,

pemberian diet tinggi protein pada penderita gagal ginjal kronik akan

mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lainnya dan

mengakibatkan sindrom uremia. Pembatasan asupan protein juga berkaitan

dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari

sumber yang sama dan untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia

b. Terapi farmakologi

Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi

(ACE inhibitor) disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko kardiovaskular

juga sangat penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan

mengurangi hipertensi intraglomerular dan hipertrofi glomerulus

4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

Dengan cara pengendalian DM, pengendalian hipertensi, pengedalian

dislipidemia, pengedalian anemia, pengedalian hiperfosfatemia dan terapi

terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.

5. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi :

Anemia

Evaluasi terhadap anemia dimulai saaat kadar hemoglobin < 10 g% atau

hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi ( kadar besi serum/serum

iron, kapasitas ikat besi total/ total iron binding capacity, feritin serum), mencari

sumber perdarahan morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis,dll.

Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Sasaran

hemoglobin adalah 11 – 12 g/dl.

Osteodistrofi renal

Penatalaksaan osteodistrofi renal dapat dilakukan melalui :

Mengatasi hiperfosfatemia :

a. Pembatasan asupan fosfat 600 – 800 mg/hari

20

Page 21: Lapsus Interna CKD

b. Pemberian pengikat fosfat, seperti garam, kalsium, alluminium hidroksida, garam

magnesium. Diberikan secara oral untuk menghambat absorpsi fosfat yang berasal

dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat

(CaCO3) dan calcium acetate

c. Pemberian bahan kalsium memetik, yang dapat menghambta reseptor Ca pada

kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida.

Pemberian kalsitriol

Pemakaian dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar

hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal karena dapat meningkatkan absorpsi

fosfat dan kaliun di saluran cerna sehingga mengakibatkan penumpukan garam

calcium carbonate di jaringan yang disebut kalsifikasi metastatik, disamping itu

juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.

Pembatasan cairan dan elektrolit

Pembatasan asupan cairan untuk mencegah terjadinya edema dan kompikasi

kardiovaskular sangat perlu dilakukan. Maka air yang masuk dianjurkan 500 – 800

ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi asuapannya adalah kalium

dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemia dapat

mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat – obat

yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan

sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5 – 5,5 mEq/lt.

Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.

Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah

dan derajat edema yang terjadi.

6. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG < 15 ml/mnt.

Berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

2.14 Prognosis

Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya buruk,

kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini,

bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya

GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala

sehingga penanganannya seringkali terlambat. (3)

21

Page 22: Lapsus Interna CKD

22

Page 23: Lapsus Interna CKD

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn.I

Umur : 43 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Pendidikan : SMA

Status : Menikah

Pekerjaan : PNS

Alamat : Desa Krajan, Selo Godek, Wetan, Pajarakan

Tanggal MRS : 6 Januari 2014

3.2 ANAMNESIS

Keluhan utama :Sesak Nafas

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien mengatakan sesak nafas mulai 1 hari yang lalu,tiba-tiba saja pasien

sesak,padahal pasien sedang tidak melakukan suatu aktifitas,berlangsung sepanjang hari

dan tidak disertai suara ngik-ngik. Keluhan akan semakin memberat dalam posisi tidur,

dan sedikit membaik bila pasien duduk bersandar. Sesak nafas juga dirasakan bertambah

berat saat pasien beraktivitas, sehingga selama keluhan muncul pasien berusaha untuk

duduk bersandar.

Pasien juga mengalami batuk berdahak yang timbul bersamaan dengan keluhan sesak

nafas. Batuk dirasakan bertambah berat bila pasien sedang sesak dan agak membaik

setelah keluhan sesak berkurang. Batuk tidak disertai dengan panas badan maupun

berkeringat di malam hari.

Tiga hari SMRS , pasien mengalami muntah dengan frekuensi 3kali/hari.Muntah

bersamaan dengan batuk,tidak terdapat darah dan kadang disertai dengan perasaan mual.

Pasien juga mengeluhkan nyeri pinggang bagian belakang yang tembus ke depan

terutama pada pinggang bagian kanan.

Selain itu pasien juga mengeluhkan kedua kakinya bengkak. Kedua kaki tersebut

bengkak secara bersamaan. Bengkak pada kedua kaki tidak disertai oleh rasa nyeri

maupun kesemutan, hanya saja kedua kakinya dirasakan pasien lebih lemah bila

23

Page 24: Lapsus Interna CKD

digunakan untuk berjalan. Bengkak dikatakan tidak berkurang dengan beristirahat.

BAB tidak mengalami perubahan dalam hal frekuensi dan konsistensi. Adanya BAB

yang mengandung darah atau BAB kehitaman disangkal oleh pasien. BAK mengalami

perubahan mulai dari jumlah nya yang sedikit sekali,dikatakan oleh pasien dalam sehari

BAK kira-kira hanya 1 gelas tetapi warna nya masih kuning.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengatakan bahwa sebelumnya sudah pernah seperti ini, dan pasien

mengatakan kalau dirinya memiliki penyakit gagal ginjal dan sudah pernah melakukan

hemodialysis sebanyak 9x,yang dilakukan di rumah sakit malang setiap 2x dalam

seminggu. Pasien mengetahui dirinya memiliki penyakit gagal ginjal sejak kurang lebih 2

bulan yang lalu.Pasien melakukan hemodialysis terakhir tiga hari yang lalu.

Pasien memiliki hipertensi sejak 5 tahun yang lalu,dan sering kontrol kedokter secara

teratur. Pasien juga memiliki riwayat penyakit diabetes meilitus dan sering kontrol serta

teratur minum obat , Pasien tidak pernah merasa kesemutan pada tangan dan kaki selama

menderita penyakit diabetes meilitus tetapi pasien merasakan pandangan pada kedua mata

nya mulai terganggu.

Riwayat penyakit lain seperti penyakit asma, jantung dan alergi obat atau makanan

disangkal oleh pasien

Riwayat Penyakit dalam Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien. Tidak

ada anggota keluarga yang menderita penyakit ginjal, hipertensi, jantung, asma, maupun

diabetes mellitus.

Riwayat Sosial dan Personal

Sehari-hari pasien berprofesi sebagai PNS. Pasien mengaku jarang meluangkan waktu

secara khusus untuk berolahraga. Pasien tidak merokok maupun minum minuman

beralkohol.

24

Page 25: Lapsus Interna CKD

3.3 PEMERIKSAAN FISIK

a. Tanda-Tanda Vital:

Keadaan Umum : Lemah

Kesadaran : Compos Mentis

GCS : E4V5M6

Tekanan darah : 143/95 mmHg

Nadi : 100 kali/menit

Respirasi : 37kali/menit

Suhu aksila : 36,5oC

Berat badan : 71 kg

b. Pemeriksaan Umum

Mata : A/I/C/D : +/-/-/+

THT :

Telinga : Sekret -/- , Hiperemis -/-

Hidung : Sekret (-) , Hiperemis (-) , Nafas cuping hidung (+)

Mulut : Mukosa bibir kering (-) , Sianosis (-)

Lidah : Papil atrofi (-)

Tenggorokan : Tonsil T1/T2 , faring hiperemis (-)

Leher : Pembesaran KGB (-)

Pembesaran kelenjar tiroid (-)

Thoraks :

Cor : Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus kordis

Palpasi : Tidak teraba iktus kordis

Perkusi : Batas atas jantung : ICS II kiri

Batas kanan jantung : PSL kanan

Batas Kiri jantung : MCL kiri

Auskultasi : S1S2 tunggal, Reguler, murmur (-)

Pulmo : Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi dada sub costa (+)

Palpasi : Vokal fremitus normal

Perkusi : Sonor

Auskultasi : 25

Page 26: Lapsus Interna CKD

Abdomen

:

Inspeksi : Meteorismus (+)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba

Nyeri ketok sudut costo vertebral +/+

Pekusi : Redup

Ekstremitas :

Akral hangat +/+

+/+

Edema -/-

+/+

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Darah Lengkap (6/1/2014)

Parameter Result Unit Remark Reference range

GDA 203 Mg/dl High <140

HB 7,3 g/dl Low L:13-18

Lekosit 10.460 /cmm Normal 4000-11000

PCV 23 % Low L:40-50

Trombosit 354.000 /cmm Normal 150rb-450rb

Alkali Fosfatase 176 U/I High 60-170

Bil.Direct 0,29 Mg/dl Normal <0.5

Bil.Total 0,70 Mg/dl Normal <1

SGOT 53 U/I High <31

SGPT 85 U/I High <31

BUN 16.7 Mg/dl Normal 10-20

Creatinin 1 Mg/dl Normal 0.5-1.7

Uric Acid 8.9

3.5 DIAGNOSIS KERJA

26

vesikuler + + , ronki - - wheezing - -

+ + - - - -

+ + - - - -

Page 27: Lapsus Interna CKD

CKD stage V

Diabetes Mellitus tipe 2

Anemia Penyakit kronis

3.6 TERAPI

MRS

nfus NaCL 0,9%

asal 4 lpm

Inj. Ranitidin 2 x 1

Drip Aminophilin 3 x 1

Pro transfusi PRC 1 bag/hari

3.7 MONITORING

Keluhan dan tanda vital

Balance cairan

Darah Lengkap

3.8 PROGNOSIS

Ad Vitam : Dubia ad malam

Ad Fungsionam : Dubia ad malam

3.9 KIE

Keadaan pasien saat ini dan rencana penatalaksanaan

Rencana tindakan hemodialisis sebagai terapi pengganti ginjal pasien yang sudah

rusak.

Upaya mencegah perburukan kondisi ginjal secara cepat dengan pengaturan diet

tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam.

Pentingnya kepatuhan pengobatan penyakit dasar maupun komplikasi CKD.

3.10 FOLLOW UP

27

Page 28: Lapsus Interna CKD

1. Tanggal 7/01/14

S : - Sesak (+)

- Bengkak pada kedua kaki

- Mual (+)

- Muntah (-)

- Pusing (+)

- Makan/Minum normal

- BAK sedikit

- BAB normal

O :

KU : Cukup

Kes : CM

TD : 140/80 mmHg S : 36,5oC

N : 102 x/m RR : 35 x/m

K/L : A/I/C/D : +/-/-/+

Pem.KGB (-)

Thorax : Simetris kanan kiri

Retraksi subcostal (+)

Pulmo : Vesikuler +/+, Wh -/-, Rh -/-

Cor : S1S2 tunggal, Murmur (-)

Abdomen : Meteorismus (+)

Nyeri tekan (-)

Flank test +/+

Hepar tak teraba, Lien tak teraba

Ext : Akral hangat +/+

+/+

Edema -/-

+/+

A : CKD Stage V

P : - Diet TKRP

- Inj. Furosemide 1-1-0

- Amlodipine 5mg

- Asam folat 3x1

- Besok hemodialysis

28

Page 29: Lapsus Interna CKD

2. Tanggal 8/01/14

S : - Sesak (+)

- Bengkak pada kedua kaki

- Mual (-)

- Muntah (-)

- Pusing sudah berkurang

- Makan/Minum normal

- BAK masih sedikit

- BAB normal

O :

KU : Cukup

Kes : CM

TD : 130/90 mmHg S : 36,3oC

N : 100 x/m RR : 32 x/m

K/L : A/I/C/D : +/-/-/+

Pem.KGB (-)

Thorax : Simetris kanan kiri

Retraksi subcostal (+)

Pulmo : Vesikuler +/+, Wh -/-, Rh -/-

Cor : S1S2 tunggal, Murmur (-)

Abdomen : Meteorismus (+)

Nyeri tekan (-)

Flank test +/+

Hepar tak teraba, Lien tak teraba

Ext : Akral hangat +/+

+/+

Edema -/-

+/+

Hasil Lab 8/1/2014 :

29

Page 30: Lapsus Interna CKD

Parameter Result Unit Remark Reference range

HB 8.6 g/dl Low L:13-18

Lekosit 9.790 /cmm Normal 4000-11000

PCV 26 % Low L:40-50

Trombosit 349.000 /cmm Normal 150rb-450rb

A : CKD Stage V

P : - Diet TKRP

- Inj. Furosemide 1-1-0

- Amlodipine 5mg

- Asam folat 3x1

3. Tanggal 9/01/14

S : - Sesak (-)

- Bengkak pada kedua kaki

- Mual (-)

- Muntah (-)

- Pusing (-)

- Makan/Minum normal

- BAK masih sedikit

- BAB normal

O :

KU : Cukup

Kes : CM

TD : 130/90 mmHg S : 37,2oC

N : 98 x/m RR : 22 x/m

K/L : A/I/C/D : +/-/-/-

Pem.KGB (-)

Thorax : Simetris kanan kiri

Pulmo : Vesikuler +/+, Wh -/-, Rh -/-

Cor : S1S2 tunggal, Murmur (-)

Abdomen : Meteorismus (-)

Nyeri tekan (-)

Flank test +/+30

Page 31: Lapsus Interna CKD

Hepar tak teraba, Lien tak teraba

Ext : Akral hangat +/+

+/+

Edema -/-

+/+

A : CKD Stage V

P : - Diet TKRP

- Inj. Furosemide 1-1-0

- Amlodipine 5mg

- Asam folat 3x1

BAB IV

PEMBAHASAN

31

Page 32: Lapsus Interna CKD

The National Kidney Foundation- Kidney Dialysis Outcome Quality Iniatiative

(NKF-K/DOQI) mendefinisikan CKD sebagai (1) kerusakan ginjal yang terjadi selama

tiga bulan atau lebih, berupa kelainan struktural atau fungsional ginjal, dengan atau tanpa

penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi kelainan patologis atau

petanda (marker) kerusakan ginjal , termasuk kelainan dalam komposisi darah maupun

urin, atau kelainan dalam tes pencitraan ; atau (2) LFG < 60 ml/menit/1,73m 2 selama tiga

bulan atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Berdasarkan derajat penyakit, yang

ditentukan dari nilai laju filtrasi glomerulus, maka NKF-K/DOQI merekomendasikan

klasifikasi CKD menjadi 5 stadium. Menurut klasifikasi ini, CKD stage V ditegakkan bila

nilai LFG < 15 ml/menit/1,73 m2.3

Gejala klinik yang ditunjukkan oleh penderita CKD meliputi: (1) sesuai dengan

penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus

urinarius, hipertensi, hiperurisemi, Lupus Eritematosus Sistemik dan lain sebagainya. (2)

gejala-gejala Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,

nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded), neuropati perifer, pruritus,

uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. (3) Gejala komplikasinya antara

lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan

keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).4

Pada kasus ini, pasien laki-laki, 43 tahun, mengeluh sesak nafas sejak 1 hari yang

lalu, yang bertambah berat bila pasien berbaring atau beraktivitas, namun agak membaik

dengan perubahan posisi dan beristirahat. Pasien juga mengeluh batuk berdahak yang

muncul bersamaan dengan keluhan sesak. Tiga hari SMRS , pasien mengalami muntah

dengan frekuensi 3kali/hari.Muntah bersamaan dengan batuk,tidak terdapat darah dan

kadang disertai dengan perasaan mual. Pasien juga mengeluhkan nyeri pinggang bagian

belakang yang tembus ke depan terutama pada pinggang bagian kanan.Pasien mengeluh

kedua kakinya bengkak secara bersamaan.

Dalam kepustakaan disebutkan bahwa penyebab gagal ginjal yang menjalani

hemodialisis di Indonesia th. 2000 meliputi: Glomerulonefritis (46,39%), Diabetes

melitus (18,65%), Obstruksi dan infeksi (12,85%), Hipertensi (8,46%), Sebab lain

(13,65%).4

Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat penyakit diabetes meilitus dan sering

kontrol serta teratur minum obat. Pasien juga mempunyai riwayat hipertensi sejak 5 tahun 32

Page 33: Lapsus Interna CKD

yang lalu, Riwayat penyakit lain seperti penyakit asma, jantung dan alergi obat atau

makanan disangkal oleh pasien

Gambaran laboratorium CKD meliputi: (1) sesuai dengan penyakit yang

mendasarinya; (2) penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin

serum serta penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault; (3)

kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin (anemia), peningkatan

kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,

hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik dan (4) kelainan urinalisis yang

meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria.4

Dari hasil pemeriksaan darah lengkap pada kasus ini, dijumpai adanya

peningkatan GDA (203 mg/dl), penurunan HB (7,3 g/dl), penurunan PCV (23%)

sedangkan pada pemeriksaan LFT didapatkan peningkatan alkali fosfatase (176 U/I),

peningkatan SGOT (53 U/I), peningkatan SGPT (85 U/I) dan pada pemeriksaan RFT

didapatkan BUN (16,7 mg/dl) dan creatinin (1,0 mg/dl) dalam batas normal, serta

didapatkan peningkatan UA (8,9). Sedangkan pemeriksaan analisis gas darah dan

urinalisis tidak dilakukan.

Pemeriksaan radiologis pada CKD meliputi foto polos abdomen, pielografi

intravena, ultrasonografi, serta renografi. Pada foto polos abdomen bisa tampak adanya

batu radioopak. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa

melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh

kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. Pielografi antegrad atau

retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan

ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,

kista, massa, kalsifikasi. Sedangkan pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi

dikerjakan bila ada indikasi.4

Pada pasien ini pemeriksaan radiologis tidak dilakukan,baik itu foto polos

abdomen, pielografi intravena, ultrasonografi, serta renografi.

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, maka pasien ini

didiagnosis dengan CKD Stage V karena berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien

sebelum nya memang mempunyai riwayat gagal ginjal dan sudah secara rutin melakukan

hemodialis, sedangkan secara klinis dijumpai gejala/tanda klasik CKD yaitu edema,

anemia, hipertensi dan diabetes meilitus,

Penatalaksanaan CKD meliputi: (1) terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, (2)

33

Page 34: Lapsus Interna CKD

pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (faktor komorbid tersebut antara lain

gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius,

obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya),

(3) memperlambat perburukan fungsi ginjal (restriksi protein dan terapi farmakologis),(4)

pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular (pengendalian diabetes,

hipertensi, dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan

dan gangguan keseimbangan elektrolit), (5) pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

(anemia, osteodistrofi renal, pembatasan cairan dan elektrolit) dan (6) terapi pengganti

ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.4

Terapi pengganti ginjal merupakan terapi definitif pada CKD stadium V. Terapi

pengganti ginjal tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis, dan transplantasi

ginjal. Hemodialisis emergensi adalah salah satu pilihan hemodialisis yang dikerjakan

pada pasien-pasien CKD dengan LFG < 5 ml/menit/1,73 m2 dan atau bila ditemukan

salah satu dari keadaan berikut: (1) adanya keadaan umum yang buruk dan kondisi klinis

yang nyata, (2) serum kalium > 6 meq/L, (3) ureum darah > 200 mg/dL,(4) pH darah <

7,1, (5) anuria berkepanjangan (> 5 hari), (6) serta adanya bukti fluid overload.4

Pada kasus ini, karena pasien menderita CKD stage V, maka telah terjadi

kegagalan fungsi ginjal. Sehingga penatalaksanaan utama pada pasien ini ialah terapi

pengganti ginjal berupa hemodialisis.

Anemia terjadi pada 80-90% pasien CKD. Mekanisme terjadinya anemia pada

CKD terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin akibat menurunnya fungsi ginjal.

Hal-hal yang lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah: defisiensi besi,

kehilangan darah (misalnya akibat perdarahan saluran cerna atau hematuria), massa hidup

eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan

sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi

terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10 gr % atau HCT ≤ 30% yang

meliputi evaluasi terhadap status besi (SI/TIBC/ferritin), mencari sumber perdarahan,

morfologi eritrosit, serta kemungkinan adanya hemolisis.4

Pada kasus ini, pasien mengalami anemia sedang (Hb 7,3 gr/dL) Penyebab anemia

masih ditelusuri, dimana salah satu pemeriksaan penunjang yang direncanakan ialah

pemeriksaan status besi (SI/TIBC/serum ferritin) untuk menyingkirkan kemungkinan

defisiensi besi sebagai penyebab anemia pada pasien ini

34

Page 35: Lapsus Interna CKD

Koreksi anemia pada penderita CKD dimulai pada kadar Hemoglobin < 10 gr/dL

dengan target terapi, tercapainya kadar hemoglobin antara 11-12 gr/dL. Pemberian

tranfusi pada CKD harus dilakukan dengan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan

pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat

mengakibatkan kelebihan cairan tubuh dan hyperkalemia yang kita ketahui menyebabkan

perburukan fungsi ginjal.4

Pada pasien ini, dilakukan tranfusi Packed Red Cells (PRC) sebanyak 1 kolf. Yang

diberikan saat menjalani hemodialisis. Setelah mendapatkan 1 kali tranfusi terjadi

kenaikan kadar hemoglobin.

Hipertensi merupakan salah satu temuan klinis lain yang juga sering dijumpai

pada CKD. 3 Pada kasus ini, pasien didapatkan dengan hipertensi stage I.

Kontrol terhadap tekanan darah sangat penting, tidak hanya untuk menghambat

perburukan CKD, tetapi juga untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler.

Penatalaksanaan hipertensi pada pasien CKD berupa diet rendah garam dan pemberian

obat antihipertensi golongan ACE inhibitor dan atau Angiotensin Receptor Blocker

(ARB). ACE inhibitor dan ARB merupakan pilihan obat antihipertensi untuk pasien CKD

karena keduanya mengurangi hipertensi glomerulus melalui 2 mekanisme, yaitu: (1)

menurunkan tekanan darah sistemik dan menyebabkan vasodilatasi arteriol eferen; dan

(2) meningkatkan permeabilitas membran glomerulus dan menurunkan produksi sitokin

fibrogenik. ARB mempunyai efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ACE

inhibitor (seperti batuk atau hiperkalemia), akan tetapi karena harga ARB lebih mahal,

maka biasanya ARB direkomendasikan bagi pasien yang tidak memberikan respon positif

terhadap pengobatan dengan ACE inhibitor.3

Pada pasien ini, diberikan pengobatan berupa Amlodipine yang termasuk salah

satu anti hipertensi golongan calcium channel bloker.

Salah satu manifestasi klinis yang sering dijumpai pada penderita CKD ialah

edema paru. Berdasarkan mekanisme yang mendasarinya, edema paru pada pasien dengan

penyakit ginjal secara umum dibedakan menjadi: (1) edema paru renal primer dan (2)

edema paru sekunder sebagai konsekuensi renal dan jantung. Edema paru renal secara

klasik berkaitan dengan adanya kelebihan volume cairan ekstraseluler sebagai akibat dari

kegagalan eksresi air dan natrium. Edema paru mikrovaskular merupakan bentuk edema

paru renal primer lainnya, yang terjadi akibat adanya peningkatan permeabilitas kapiler

paru, yang mungkin disebabkan karena penurunan tekanan onkotik plasma. Sedangkan 35

Page 36: Lapsus Interna CKD

edema paru sekunder sebagai konsekuensi ginjal dan jantung biasanya merupakan

komplikasi dari kelainan jantung yang telah ada sebelumnya, misalnya akibat

kardiomiopati hipertensif, anemik, maupun uremikum.5

Pada CKD, mekanisme utama yang mendasari terjadinya edema paru ialah fluid

overload akibat retensi cairan dan natrium. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan

hidrostatik pada kapiler paru yang diikuti oleh terjadinya transudasi cairan dari kapiler

paru ke dalam ruang interstisial maupun alveolus paru. 5Adanya cairan yang mengisi

ruang alveolus mengakibatkan gangguan pada proses difusi gas, dari alveolus ke kapiler

paru. Secara klinis, keadasan ini ditandai oleh adanya keluhan sesak nafas, rhonki pada

pemeriksaan fisik, serta gambaran foto thorax yang mengarah pada kesan suatu edema

paru.6 Pada kasus ini, pasien mengeluh sesak nafas dan batu berdahak, tetapi ditemukan

rhonki.

Pembatasan asupan air pada pasien CKD sangat perlu dilakukan untuk mencegah

terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskuler. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat

seimbang dengan air yang keluar baik melalui urin maupun insesible water loss (IWL)

antara 500 sampai 800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang

masuk dianjurkan 500 sampai 800 ml ditambah jumlah urin per hari.4

Pada pasien ini juga seharusnya dilakukan pengaturan cairan masuk, guna

mencegah volume overload yang akan memperberat edema paru dan edema tungkai yang

telah terjadi sebelumnya.

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi

glomerulus. Salah satu cara untuk mengurangi keadaan tersebut adalah dengan

pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60

ml/menit/1,73m2. Jumlah protein yang dianjurkan ialah 0,6 – 0,8g/kgBB/hari, yang mana

0,35-0,50 gram diantaranya sebaiknya merupakan protein dengan nilai biologis tinggi.

Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Diet rendah garam (2-3

gr/hari) juga dianjurkan sebagai upaya untuk mencegah volume overload sekaligus

sebagai terapi nonfarmakologis untuk mengatasi hipertensi.3,4

Untuk mengatasi hiperfosfatemia dapat diberikan pengikat fosfat. Agen yang

banyak dipakai ialah garam kalsium, aluminium hidroksida, garam serta magnesium.

Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorpsi fosfat yang berasal

dari makanan. Garam kaslium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) 36

Page 37: Lapsus Interna CKD

dan kalsium asetat. 4

Pasien CKD mengalami peningkatan risiko athesklerosis karena tingginya

prevalensi faktor risiko “tradisional” dan non “tradisional”. 3 Peningkatan kadar

homosistein merupakan salah satu faktor risiko non tradisional yang sering terjadi pada

pasien CKD. Adapun mekanisme peningkatannya, hingga saat ini masih belum jelas.

Homosistein berperan dalam memicu proses atherogenesis melalui beberapa cara: (1)

menyebabkan kerusakan sel endotel pembuluh darah, (2) merangsang aktivasi trombosit,

(3) mempengaruhi beberapa faktor yang terlibat dalam kaskade pembekuan darah, seperti

menurunkan aktivitas anti thrombin, menghambat aktivitas kofaktor trombomodulin dan

aktivasi protein C, meningkatkan aktivitas faktor V dan faktor XII, mengganggu sekresi

faktor von Willebrand oleh endotel dan mengurangi sintesis prostasiklin.7

Pemberian asam folat merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya

hiperhomosisteinemia pada pasien CKD, karena asam folat merupakan salah satu

substansi penting yang diperlukan dalam metabolise homosistein Pada kasus ini, pasien

diberikan terapi asam folat.

37

Page 38: Lapsus Interna CKD

BAB V

KESIMPULAN

Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penyakit

ginjal yang ditandai adanya kerusakan dari struktur ginjal lebih dari 3 bulan yang dengan

atau tanpa penurunan LFG < 60 mL/min/1,73 m2, dyang bersifat progresif dan

irreversible. Adapun gejala klasik CKD diantaranya adalah edema, hipertensi dan anemia.

Berdasarkan derajat penyakitnya CKD dibagi menjadi 5 stage yang dinilai dari LFG.

Gejala klinis CKD meliputi gejala penyakit dasar, gejala sindrom uremikum serta gejala

komplikasi CKD. Penatalaksanaan CKD disesuaikan dengan derajat kerusakan fungsi

ginjal.

Pada kasus, pasien didiagnosis dengan CKD stage V, sehingga penatalaksanaan

utama pada pasien ini ialah terapi pengganti ginjal berupa hemodialisis. Disamping itu

pada pasien ini juga diberikan beberapa terapi penunjang lainnya, yang disesuaikan

dengan manifestasi klinis yang muncul. Penanganan etiologi, gejala dan komplikasi

penyakit dengan tepat, serta perubahan pola diet yang disesuaikan dengan fungsi ginjal

diharapkan akan membantu mencegah perburukan kondisi ginjal sehingga meningkatkan

kualitas hidup pasien.

38

Page 39: Lapsus Interna CKD

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood, Lauralee. Sistem Kemih. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2.

Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG ; 2001. p. 463 – 503.

2. Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.

Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009. p. 1035 – 1040.

3. Kamaludin Ameliana. 2010. Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : Bagian Ilmu Penyakit

Dalam UPH.

4. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification and

stratification, New York National Kidney Foundation, 2002.

5. Silbernagl, S dan Lang, F. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.

Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007. p. 110 – 115.

39

Page 40: Lapsus Interna CKD

40