lapsus interna 2015 kris

22
LAPORAN KASUS SEORANG PENDERITA DENGAN CBD STONE A.A. Krisna Wiryanata SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Sanjiwani Giamyar Pendahuluan Penyakit batu empedu atau kolelitiasis adalah salah satu penyakit abdomen yang paling sering dijumpai. Batu empedu merupakan suatu massa inorganik yang dapat terbentuk di dalam kandung empedu atau terkadang di dalam duktus koledokus maupun duktus hepatikus. 1 Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, namun batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu dan menjadi batu saluran empedu sekunder. 2 Jika terdapat satu atau lebih batu empedu pada saluran empedu atau duktus koledokus (common bile duct) maka disebut sebagai koledokolitiasis. Kondisi sekunder ini dapat dialami oleh sekitar 15% penderita dengan batu empedu. 3 Pada beberapa kondisi, batu saluran empedu juga dapat terbentuk secara primer di dalam saluran empedu intra atau ekstra hepatik tanpa melibatkan kandung empedu. 2 Angka kejadian batu empedu di setiap negara berbeda-beda. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan batu empedu diantaranya ras, pola hidup, genetik, dan infeksi. 1 Prevalensi batu empedu di Amerika Serikat berkisar antara 10%-20% dari populasi total. Terdapat kurang lebih sekitar 600.000 kasus batu

Upload: pujanawiakta

Post on 03-Dec-2015

10 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Laporan Kasus

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus Interna 2015 Kris

LAPORAN KASUS

SEORANG PENDERITA DENGAN CBD STONE

A.A. Krisna Wiryanata

SMF Ilmu Penyakit Dalam

RSUD Sanjiwani Giamyar

Pendahuluan

Penyakit batu empedu atau kolelitiasis adalah salah satu penyakit abdomen yang paling sering

dijumpai. Batu empedu merupakan suatu massa inorganik yang dapat terbentuk di dalam

kandung empedu atau terkadang di dalam duktus koledokus maupun duktus hepatikus.1 Batu

empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, namun batu tersebut dapat bermigrasi

melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu dan menjadi batu saluran empedu sekunder.2

Jika terdapat satu atau lebih batu empedu pada saluran empedu atau duktus koledokus (common

bile duct) maka disebut sebagai koledokolitiasis. Kondisi sekunder ini dapat dialami oleh sekitar

15% penderita dengan batu empedu.3 Pada beberapa kondisi, batu saluran empedu juga dapat

terbentuk secara primer di dalam saluran empedu intra atau ekstra hepatik tanpa melibatkan

kandung empedu.2

Angka kejadian batu empedu di setiap negara berbeda-beda. Terdapat banyak faktor yang

mempengaruhi pembentukan batu empedu diantaranya ras, pola hidup, genetik, dan infeksi.1

Prevalensi batu empedu di Amerika Serikat berkisar antara 10%-20% dari populasi total.

Terdapat kurang lebih sekitar 600.000 kasus batu empedu dengan tindakan kolesistektomi yang

dilakukan di Amerika Serikat setiap tahunnya dengan 10%-15% kasus disertai dengan

koledokolitiasis.3 Untuk di Indonesia, sampai saat ini belum ada penelitian epidemiologis

terhadap kasus batu empedu, namun diduga insidensi batu empedu masih lebih rendah bila

dibandingkan dengan di negara barat. Seiring dengan berkembangnya pola hidup modern, maka

mungkin saja di masa mendatang kasus batu empedu di Indonesia dapat menjadi suatu masalah

kesehatan yang perlu diperhatikan.1

Batu empedu memiliki berbagai macam bentuk, ukuran, dan warna berdasarkan pada

komposisi zat-zat yang menyusunnya. Klasifikasi batu empedu dapat ditentukan berdasarkan

pada gambaran arsitektur dan komposisi utama yang menyusun batu tersebut. Terdapat 2 jenis

batu empedu yang sering ditemui, diantaranya adalah batu kolesterol dan batu pigmen. 1 Batu

Page 2: Lapsus Interna 2015 Kris

kolesterol merupakan jenis batu terbanyak yang ditemui dan mengandung lebih dari 50%

kolesterol. Sedangkan batu pigmen cenderung memiliki kadar kolesterol yang lebih rendah, yaitu

kurang dari 30%.1 Di masyarakat barat, komposisi utama batu empedu adalah kolesterol,

sedangkan penelitian di Jakarta pada 51 pasien menemukan bahwa sebanyak 73% pasien

menderita batu pigmen dan 27% pasien menderita batu kolesterol.

Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak menunjukkan gejala klinis dan sering kali

ditemukan secara tidak sengaja pada saat pemeriksaan dengan USG. Pasien umumnya akan

mengeluh nyeri abdomen (kolik biliaris) atau pada saat pemeriksaan ditemukan gejala-gejala lain

yang disebabkan adanya komplikasi akibat obstruksi oleh batu atau akibat proses inflamasi,

seperti kolesistitis, kolangitis, koledokolitiasis, dan lain-lain.1

Tidak semua batu empedu memerlukan tindakan untuk mengeluarkannya. Ada beberapa

faktor yang menentukan penatalaksanaan terhadap batu empedu, diantaranya adalah lokasi batu,

ukuran batu, dan manifestasi klinis yang ditimbulkannya. Adanya kemajuan yang pesat dalam

bidang pencitraan (imaging), endoskopi diagnostik, dan endoskopi terapetik dalam beberapa

dekade terakhir membawa perubahan yang sangat mendasar dalam penatalaksanaan batu

empedu.4

Selanjutnya, pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai seorang penderita dengan CBD

stone dan perkembangannya selama dirawat di ruang nakula RSUD Sanjiwani Gianyar.

Page 3: Lapsus Interna 2015 Kris

Kasus

Seorang pasien laki – laki dengan inisial IWA, usia 43 tahun, asal Gianyar, agama Hindu,

pekerjaan sebagai petugas kebersihan, berperawakan kurus dengan berat badan kira – kira 70 kg

dan tinggi badan 165 cm, datang ke Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah

Sanjiwani Gianyar pada tanggal 6 Agustus 2015 dengan keluhan utama nyeri ulu hati. Pasien

mengeluhkan nyeri ulu hati sejak 3 hari yang lalu. Awalnya pasien mengatakan, seminggu yang

lalu sebelum ke poliklinik penyakit dalam dirinya sempat mengalami mual tanpa disertai dengan

muntah. Keluhan mual pada saat itu hampir dirasakan sepanjang hari oleh pasien. Kemudian, 3

hari yang lalu keluhan mual dirasakan kembali dan makin memberat setelah pasien makan

malam. Selang beberapa jam kemudian, pasien mengeluhkan adanya rasa nyeri pada ulu hati

yang muncul secara mendadak. Nyeri yang dirasakan pasien dikatakan perih, panas, dan

terkadang terasa seperti tertusuk-tusuk. Rasa nyeri juga dikatakan menjalar ke seluruh perut,

terutama pada bagian perut kanan atas sampai ke pinggang sebelah kanan dan punggung dengan

durasi nyeri dikatakan lebih dari 15 menit. Rasa nyeri yang dialami oleh pasien dikatakan sedikit

membaik pada saat pasien beristirahat dan akan bertambah nyeri terutama pada saat malam hari

atau pada saat pasien bekerja berat. Hal tersebut menyebabkan nafsu makan pasien berkurang,

sulit tidur di malam hari, dan menyebabkan pekerjaan pasien menjadi terganggu di pagi harinya.

Keluhan lain yang dirasakan oleh pasien adalah demam. Keluhan demam dialami 4 hari yang

lalu oleh pasien. Keluhan demam dikatakan hilang timbul dan dirasakan di seluruh tubuh. Untuk

mengatasi keluhan demam dan nyeri perut yang dialaminya, pasien sudah sempat berobat ke

bidan, namun keluhan tidak kunjung membaik dan hanya keluhan demamnya saja yang mulai

menurun. Dari keterangan pasien diketahui juga bahwa sejak 12 hari yang lalu telah muncul

warna kekuningan pada hampir seluruh bagian permukaan kulit pasien. Pada awalnya warna

kuning muncul pada kedua mata, namun lama-kelamaan mulai menyebar ke seluruh permukaan

tubuh. Seiring dengan munculnya warna kekuningan pada tubuhnya, pasien juga mengeluh gatal

pada bagian dada dan perut, namun keluhan dikatakan tidak begitu mengganggu aktivitasnya.

Untuk BAK dikatakan lancar dan tidak ada keluhan nyeri, tetapi warna kencing dikatakan mulai

berubah menjadi kecoklatan seperti teh sejak 6 hari yang lalu. Sedangkan untuk BAB awalnya

dikatakan normal berwarna kecoklatan dengan konsistensi padat, namun sejak 4 hari yang lalu

warna BAB pasien dikatakan berubah menjadi putih. Keluhan BAB putih ini dialami selama 4

Page 4: Lapsus Interna 2015 Kris

hari oleh pasien dan pada saat kunjungan ke poliklinik, keluhan ini dikatakan sudah tidak

dirasakan lagi.

Pasien mengaku tidak pernah mengalami keluhan atau menderita penyakit yang sama

sebelumnya. Riwayat penyakit hati dan penyakit kronis lainnya juga disangkal oleh pasien.

Selanjutnya dari riwayat penyakit keluarga, diketahui tidak ada anggota keluarga pasien yang

mengalami keluhan yang serupa. Riwayat penyakit hati dan penyakit kronis lainnya di keluarga

pasien juga disangkal. Pasien saat ini tinggal bersama dengan istri dan ketiga orang anaknya.

Aktivitas pasien sehari-hari adalah bekerja sebagai petugas kebersihan. Sejak keluhan ini

muncul, pasien memilih untuk beristirahat di rumah. Pasien memiliki kebiasaan merokok 3

batang perhari, namun semenjak sakit pasien mulai menghentikan kebiasaannya tersebut. Untuk

kebiasaan minum-minuman beralkohol, penggunaan jarum suntik secara bergantian, maupun

riwayat transfusi darah sebelumnya disangkal oleh pasien.

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien. Pada pemeriksaan vital sign

didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 88 kali/menit, laju napas 18 kali/menit, dan

temperatur aksila 36,50C. Kepala dalam keadaan normocephali. Tampak adanya ikterus pada

kedua mata, tidak tampak adanya anemis, dan reflek pupil kedua mata positif isokor. Pada leher

tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening, JVP +2cm H2O dari PR. Bentuk dada

simetris kanan-kiri, tidak tampak adanya tanda - tanda jejas ataupun kelainan pada kulit, iktus

kordis tidak terlihat. Saat dipalpasi, gerakan dada simetris dengan vokal fremitus ditemukan

sama kanan-kiri, tidak ditemukan nodul atau benjolan pada kulit,dan iktus kordis dapat diraba di

mid clavicula line ICS 5 kiri. Pada perkusi ditemukan suara redup. Ditemukan pula batas jantung

kiri pada mid clavicula line ICS 5 kiri, batas kanan pada parasternal line ICS 4 kanan, dan batas

atas pada sternal line ICS 2 kiri. Pada pemeriksaan auskultasi, ditemukan suara jantung S1 S2

tunggal reguler tanpa murmur. Dari suara nafas didapatkan suara nafas vesikuler pada kedua

lapang paru tanpa disertai suara napas tambahan seperti rhonki atau wheezing. Pada pemeriksaan

abdomen tidak tampak adanya distensi, jejas, ataupun massa. Saat auskultasi, ditemukan suara

peristaltik usus dalam batas normal. Pada perkusi didapatkan bunyi timpani pada keempat

kuadran abdomen. Pada palpasi hepar dan lien tidak teraba, didapatkan nyeri tekan pada

epigastrium, perut kanan atas, sampai ke pinggang kanan dan punggung. Murphy’s sign negatif.

Pada pemeriksaan keempat ekstremitas ditemukan adanya ikterus dan tidak ditemukan adanya

edema.

Page 5: Lapsus Interna 2015 Kris

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain darah lengkap (DL) dan LFT. Pada DL

(6/8/2015) ditemukan WBC 11,1 103/µL, RBC 4,49 106/µL, Hb 13,6 g/dL, MCV 83,0 fl, MCH

30.3 pg, HCT 37,3 %, dan PLT 437 103/µL. Pemeriksaan fungsi hepar (6/8/2015) didapatkan

SGOT 26 U/L, SGPT 44 U/L, Bil. Total 16,69 mg/dL, Bil. Direk 12,14 mg/dL, Bil. Indirek 4,55

mg/dL, dan ALP 165 U/L.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis

dengan obs. ikterus ec. susp. hepatitis. Pasien disarankan MRS dan diberikan terapi IVFD NaCl

0,9% : D5% (1:1) 20 tpm, omeprazole 1x20 mg, ondansetron 3x4 mg, antasida sirup 3xCI, dan

curcuma 3x1 tab dengan planning HBsAg, USG abdomen, dan albumin/TP.

Pada perawatan hari pertama di ruangan didapatkan keluhan mual sudah berkurang, namun

keluhan nyeri perut sampai ke pinggang kanan masih dirasakan oleh pasien. Pada pemeriksaan

abdomen ditemukan nyeri tekan pada daerah kuadran kanan atas sampai ke pinggang kanan.

Pada pemeriksaan albumin (7/8/2015) didapatkan hasil 4,77 g/dL, globulin 2,00 g/dL, dan

protein total 6,73 g/dL. Sedangkan untuk pemeriksaan HBsAg (7/8/2015) didapatkan hasil

negatif. Diagnosis pasien yang sebelumnya obs. ikterus ec. susp. hepatitis diubah menjadi susp.

ikterus obstruktif. Selanjutnya, terapi yang diberikan pada saat di poliklinik penyakit dalam

ditambah dengan UDCA 3x250 mg dan vitamin B complex 2x1 tab serta direncanakan untuk

dilakukan pemeriksaan urinalisis (UL) dan USG abdomen.

Pada perawatan hari ke-2 pasien mengeluh sempat muntah sebanyak 2 kali. Muntah berisi

makanan yang dimakan sebelumnya oleh pasien tanpa adanya darah. Untuk keluhan nyeri perut

sampai ke pinggang kanan masih dirasakan oleh pasien. Dari pemeriksaan UL (8/8/2015)

didapatkan hasil warna kemerahan, BJ 1020, pH 6,0, protein (-), glukosa (-), bilirubin (+2),

urobilinogen (+3), nitrit (-), darah/Hb (-), lekosit (-), sedimen eritrosit 0-5, sedimen lekosit 1-3,

dan sedimen epitel 2-4. Terapi sebelumnya dilanjutkan kembali.

Pada perawatan hari ke-4 pasien mengeluh gatal pada seluruh tubuh. Keluhan gatal dikatakan

lebih berat dibandingkan sebelumnya. Terapi yang telah diberikan selanjutnya di tambah dengan

cetirizine 2x10 mg. Dari hasil pemeriksaan USG abdomen (10/8/2015) didapatkan kesan hidrops

vesica fellea, kolestasis intra dan ekstra hepatik, serta batu CBD. Selanjutnya diagnosis pasien

yang sebelumnya susp. ikterus obstruktif berubah menjadi ikterus obstruktif ec. CBD stone.

Pada perawatan hari ke-6 pasien masih mengeluh gatal pada seluruh tubuh, namun tidak

seberat sebelumnya. Untuk keluhan nyeri perut sampai ke pinggang kanan dikatakan sudah

Page 6: Lapsus Interna 2015 Kris

mulai membaik. Pasien direncanakan untuk dikonsulkan ke bagian bedah guna mendapatkan

penanganan selanjutnya.

Pada hari ke-8 pasien mengatakan sudah tidak ada keluhan. Pasien dan keluarganya menolak

untuk dikonsulkan ke bagian bedah. Akhirnya pasien dipulangkan dan diberikan obat untuk di

minum di rumah.

Page 7: Lapsus Interna 2015 Kris

Pembahasan

Penyakit batu empedu dapat ditemukan di dalam kandung empedu, dalam duktus koledokus, atau

campuran keduanya. Sebagian besar batu empedu terbentuk di dalam kandung empedu

(kolelitiasis). Jika batu kandung empedu tersebut berpindah ke dalam saluran empedu, maka

disebut dengan batu saluran empedu sekunder. Sebagian besar batu pada duktus koledokus

(koledokolitiasis) berasal dari batu kandung empedu, namun ada juga yang terbentuk secara

primer di dalam saluran empedu..2 Batu empedu mempunyai berbagai macam bentuk, ukuran,

warna, dan corak tergantung pada komposisi yang menyusunnya. Terdapat 2 jenis batu empedu

yang paling sering ditemui, yaitu batu kolesterol dan batu pigmen. Batu kolesterol merupakan

jenis batu terbanyak dan mengandung lebih dari 50% kolesterol. Batu jenis ini sebagian besar

bersifat radiolusen dan biasanya soliter. Sedangkan batu pigmen terdiri dari 2 jenis, yaitu batu

pigmen coklat dan batu pigmen hitam. Komponen utama batu pigmen ini adalah kalsium

bilirubinat (40-60%), sedangkan kadar kolesterolnya kurang dari 30%.1

Terdapat beberapa faktor yang diduga menjadi pemicu terbentuknya batu empedu,

diantaranya adalah usia, jenis kelamin, berat badan, makanan, serta aktivitas fisik. Pada pasien

faktor-faktor yang diduga berperan dalam terbentuknya batu empedu adalah usia serta berat

badan. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik diketahui bahwa usia pasien adalah 43

tahun dengan BMI 25,71 yang termasuk ke dalam kelompok overweight. Hal tersebut telah

sesuai, dimana berdasarkan teori diketahui bahwa, risiko seseorang untuk menderita batu

empedu semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Hal tersebut diduga disebabkan

oleh karena adanya peningkatan sekresi kolesterol ke dalam empedu seiring dengan

bertambahnya usia.1,6 Selain itu, faktor berat badan juga memegang peranan penting dalam

terbentuknya batu empedu. Hal tersebut terkait dengan semakin tingginya body mass index

(BMI) maka kadar kolesterol dalam kandung empedu juga semakin tinggi sehingga

mengakibatkan berkurangnya kontraksi atau pengosongan kandung empedu.1,6

Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pasien dengan batu

empedu asimtomatik, pasien dengan batu empedu simtomatik, dan pasien dengan komplikasi

batu empedu. Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tidak menunjukkan gejala.

Pasien dengan batu empedu simtomatik cenderung mengalami episode kolik bilier, yaitu nyeri

yang terutama dirasakan di daerah epigastrium setelah makan atau di daerah kuadran kanan atas

abdomen, kadang-kadang menjalar ke belakang (interskapula) atau sampai ke bahu kanan. Nyeri

Page 8: Lapsus Interna 2015 Kris

dapat dirasakan beberapa menit sampai beberapa jam. Nyeri yang hebat sering disertai dengan

rasa mual dan muntah. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri epigastrium pada palpasi atau

nyeri di daerah kuadran kanan atas.1 Komplikasi batu empedu yang paling sering dialami oleh

pasien diantaranya adalah kolesistitis akut dan batu pada duktus koledokus. Pada kolesistitis akut

biasanya pasien akan mengalami nyeri yang hebat dan dirasakan terus menerus selama beberapa

jam. Hal tersebut dapat disebabkan oleh karena adanya obstruksi duktus sistikus yang menetap

oleh adanya batu dan disertai dengan iritasi kimia oleh empedu yang menyebabkan inflamasi dan

edema dari dinding kandung empedu. Pada pemeriksaan fisik biasanya akan didapatkan rasa

nyeri dan rasa penuh pada daerah kuadran kanan atas. Selain itu, pada palpasi di daerah kuadran

kanan atas selama pasien inspirasi akan sering menyebabkan rasa nyeri sehingga pasien

menghentikan napas sejenak (Murphy’s sign positif).1 Sedangkan batu pada duktus koledokus

(koledokolitiasis) dapat terjadi bila batu berpindah tempat dari kandung empedu dan menyumbat

duktus koledokus. Sumbatan batu ini dapat menyebabkan kolangitis atau pankreatitis akut.

Pasien dengan batu pada duktus koledokus sering menunjukkan gejala jaundice atau ikterus,

demam, dan rasa nyeri pada kuadran kanan atas.1

Berdasarkan hasil anamnesis pada kasus diatas dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami

batu empedu simtomatik dan telah mengalami komplikasi akibat batu empedu tersebut. Hal ini

dapat diketahui berdasarkan keterangan pasien pada saat anamnesis yang menyatakan bahwa

pasien mengalami kolik bilier dilihat dari adanya nyeri pada ulu hati (epigastrium) yang muncul

secara mendadak dan menjalar ke bagian perut kanan atas sampai ke pinggang kanan disertai

keluhan mual dengan durasi nyeri dikatakan lebih dari 15 menit. Hasil anamnesis tersebut

didukung oleh hasil pemeriksaan fisik dengan ditemukannya nyeri epigastrium dan nyeri pada

perut kuadran kanan atas pada saat palpasi. Komplikasi yang terjadi pada pasien mengarah pada

batu duktus koledokus (koledokolitiasis) akibat batu yang berpindah tempat dari kandung

empedu sehingga menyumbat duktus koledokus dan menyebabkan timbulnya ikterus. Hal ini

terlihat dari keluhan pasien pada saat datang yaitu muncul warna kekuningan pada kedua mata

yang selanjutnya mulai menyebar ke seluruh permukaan kulit dan disertai dengan kencing yang

berubah warna menjadi kecoklatan seperti teh serta BAB yang berubah menjadi putih. Selain itu,

pada pasien juga didapatkan riwayat demam 4 hari yang lalu sebelum MRS disertai dengan rasa

nyeri menjalar sampai ke perut kanan atas.

Page 9: Lapsus Interna 2015 Kris

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita dengan batu empedu

diantaranya adalah pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan

laboratorium terdiri dari hitung sel darah lengkap, urinalisis, pemeriksaan feses, serta tes fungsi

hati.1 Pada kasus ini, pemeriksaan laboratorium yang dilakukan diantaranya adalah darah

lengkap, urinalisis, LFT, albumin/TP, dan HBsAg. Berdasarkan teori, pada episode kolik biliaris,

sebagian besar penderita memiliki hasil laboratorium yang normal. Namun bila disertai dengan

komplikasi maka akan didapatkan leukositosis, peningkatan kadar enzim hati (aspartate

aminotransferase, alanine aminotransferase, dan alkali fosfatase), gamma glutamyl transferase,

dan bilirubin serum terutama jika terdapat batu pada duktus koledokus.1 Hal ini sesuai dengan

teori yang mengarah pada batu duktus koledokus, dimana pada pemeriksaan darah lengkap pada

pasien didapatkan hasil leukositosis. Sedangkan pada pemeriksaan LFT didapatkan peningkatan

kadar bilirubin total, direk, indirek, SGPT, serta ALP. Namun, untuk pemeriksaan gamma

glutamyl transferase pada kasus ini tidak dilakukan. Secara teori, peningkatan serum bilirubin

dan alkali fosfatase menunjukkan adanya obstruksi bilier, namun kedua pemeriksaan tersebut

tidak spesifik untuk batu pada duktus koledokus (CBD). Bila ikterus sangat jelas, maka

pemeriksaan gamma glutamyl transferase sangat disarankan untuk dilakukan karena merupakan

indikator yang paling spesifik pada kasus batu duktus koledokus (CBD).5 Selanjutnya dari

pemeriksaan UL didapatkan hasil warna kemerahan dengan bilirubin +2 dan urobilinogen +3.

Untuk pemeriksaan HBsAg diperoleh hasil negatif dan pada pemeriksaan albumin/TP didapatkan

hasil normal. Bagaimanapun, hasil pemeriksaan laboratorium mungkin saja normal pada

sepertiga pasien dengan koledokolitiasis, oleh karena itu diperlukan pemeriksaan radiologis

untuk membantu memperjelas diagnosis.

Diagnosis batu empedu dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan radiologis terutama

pemeriksaan USG. Hanya sekitar 10% dari kasus batu empedu adalah radioopak oleh karena

batu empedu tersebut mengandung kalsium dan dapat terdeteksi hanya dengan pemeriksaan foto

polos abdomen. Berdasarkan teori, USG merupakan pemeriksaan pilihan pertama pada pasien

dengan kecurigaan kolik biliaris. USG diketahui memiliki spesifisitas 90% dan sensitivitas 95%

dalam mendeteksi adanya batu empedu. Pemeriksaan radiologis pada kasus ini telah sesuai

dengan teori, dimana telah dilakukan pemeriksaan radiologis berupa USG dan didapatkan hasil

berupa CBD yang tampak melebar dengan lesi hiperekhoik ukuran 2,3x1,5 cm dan akustik post

shadow (+). Pada USG tampak kesan kolestasis intra dan ekstra hepatik dengan batu CBD. Dari

Page 10: Lapsus Interna 2015 Kris

hasil USG tersebut diagnosis selanjutnya mengarah kepada batu CBD (koledokolitiasis) karena

tampak adanya bayangan batu pada daerah common bile duct (CBD). Selain pemeriksaan foto

polos abdomen dan USG, masih ada beberapa jenis pemeriksaan radiologis lain yang dapat

digunakan untuk membantu dalam mendiagnosis batu empedu, diantaranya MRCP, EUS, dan

ERCP. Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) merupakan modalitas

diagnostik non-invasif untuk menyelidiki adanya obstruksi pada saluran empedu dan pankreas

serta telah direkomendasikan dibeberapa kalangan sebagai prosedur pra-operasi pilihan untuk

mendeteksi batu CBD. MRCP memiliki sensitivitas 81%-100% dan spesifisitas 92%-100%

dalam mendeteksi koledokolitiasis.1,5 Endoscopic ultrasonography (EUS) merupakan suatu

prosedur diagnostik dengan menggunakan ultrasound frekuensi tinggi untuk mengevaluasi dan

mendiagnosis kelainan traktus digestivus. EUS menggunakan duodenoskopi dengan probe

ultrasound pada bagian distal yang dapat menggambarkan organ, pembuluh darah, nodus

limfatikus dan duktus empedu. EUS dapat mendiagnosis secara akurat adanya batu empedu di

dalam duktus koledokus dengan sensitivitas 88%-97% dan spesifisitas 96%-100%, namun tidak

mempunyai nilai terapeutik seperti ERCP.1,5 Endoscopic retrograde cholangiopancreatography

(ERCP) adalah pemeriksaan gold standard untuk mendeteksi batu empedu di dalam duktus

koledokus dan mempunyai keuntungan terapeutik untuk mengangkat batu empedu. Komplikasi

yang berhubungan dengan ERCP adalah sebesar 15% termasuk diantaranya pankreatitis,

kolangitis, perforasi duodenum atau saluran empedu, serta perdarahan. Komplikasi ini dapat

terjadi pada 5%-8% pasien dengan angka kematian akibat penggunaan ERCP sebesar 0,2%-

0,5%.1,5,6

Pasien dengan batu empedu asimtomatik tidak memerlukan penanganan apapun sampai

munculnya gejala. Sedangkan pada pasien dengan batu empedu simtomatik terdapat beberapa

pilihan penatalaksanaan yang dapat diberikan tergantung dari manifestasi klinis yang muncul

dengan tujuan untuk mengurangi gejala klinis dan mencegah berkembangnya komplikasi.1

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penatalaksanaan batu empedu, diantaranya lokasi,

ukuran, serta manifestasi klinis atau penyulit yang mungkin timbul. Batu empedu dapat

ditemukan di dalam kandung empedu, duktus sistikus, duktus koledokus, bahkan di dalam hati.

Batu empedu yang bermigrasi ke leher kandung empedu akan menyebabkan obstruksi duktus

sistikus. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya iritasi kimiawi pada mukosa kandung empedu

oleh cairan empedu sehingga terjadilah kolesistitis. Pada pasien dengan batu kandung empedu

Page 11: Lapsus Interna 2015 Kris

yang simtomatik ini dapat dilakukan kolesistektomi secara konvensional. Selanjutnya untuk batu

koledokus harus segera dikeluarkan karena dapat mengakibatkan obstruksi bilier sehingga

mengganggu fungsi hati sampai menimbulkan gagal hati. Selain itu, aliran bilier yang tidak

lancar juga dapat menimbulkan penyulit seperti kolangitis dan sepsis. Pengeluaran batu

koledokus ini dapat dilakukan dengan operasi secara konvensional atau dengan endoskopi.

Sedangkan pada batu empedu intrahepatik atau hepatolitiasis, penatalaksanaannya secara bedah

sangat sulit dan terkadang diperlukan operasi berulang karena sering kambuh dan cenderung

menyebabkan kerusakan hati akibat obstruktif yang lama, kolangitis, abses hati, dan sepsis.

Selanjutnya berdasarkan ukurannya, batu empedu dengan diameter lebih dari 1 cm harus dipecah

lebih dulu agar lebih mudah dikeluarkan dengan cara endoskopi. Salah satu cara untuk memecah

batu tersebut adalah dengan extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL). Salah satu penyulit

yang sering muncul pada kasus batu empedu adalah adanya batu koledokus. Pada pasien batu

empedu yang disertai dengan batu koledokus, bila kondisi kandung empedunya masih baik dan

batu kandung empedunya asimtomatik maka kandung empedu dapat dibiarkan tanpa perlu

dilakukan tindakan, sedangkan untuk batu koledokus dapat dikeluarkan dengan cara endoskopi.

Selanjutnya apabila kandung empedu menunjukkan tanda-tanda kolesistitis kronik, maka

dilakukan pengeluaran batu koledokus dengan endoskopi disusul dengan kolesistektomi pada

kesempatan berikutnya melalui laparoskopi.4

Secara umum, penatalaksanaan pada kasus batu empedu dapat dibedakan menjadi 2, yaitu

terapi operatif dan terapi non operatif. Pada terapi operatif, kolesistektomi merupakan satu-

satunya terapi definitif untuk penderita batu simtomatik, yaitu dengan mengangkat batu dan

kandung empedu sehingga dapat mencegah berulangnya penyakit. Kolesistektomi dapat

dilakukan dengan cara laparotomi atau dengan menggunakan laparoskopi. Untuk terapi non

operatif terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan diantaranya adalah pemberian obat pelarut

batu empedu (chenodeoxycholic dan ursodeoxycholic acid) dan menghancurkan batu dengan

extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL). Ursodeoxycholic acid berfungsi untuk

menghambat sintesis kolesterol oleh hati. Pengobatan dengan cara ini umumnya memerlukan

biaya lebih banyak karena pengobatannya lebih lama dan biasanya diberikan pada pasien dengan

batu empedu berukuran kecil dan batu kolesterol tanpa kalsifikasi. Terapi non operatif lainnya

adalah dengan ESWL yang memiliki kemampuan untuk memecah batu empedu dengan

menggunakan gelombang suara berenergi tinggi yang dapat menghasilkan shock wave.1,6

Page 12: Lapsus Interna 2015 Kris

Penatalaksanaan pada kasus ini telah sesuai dengan teori. Pasien telah diberikan penanganan

barupa pemberian farmakoterapi dengan obat-obatan sesuai dengan keluhan dan manifestasi

klinis yang muncul serta untuk mencegah terjadinya komplikasi. Pada pasien juga telah

diberikan UDCA yang berguna untuk menekan pembentukan batu dan memperbaiki gangguan

pada aliran asam empedu sebelum dilakukannya tindakan operatif. Pasien dan keluarganya telah

diberikan KIE dan direncanakan konsul ke bagian bedah untuk mendapatkan penanganan

selanjutnya, namun karena suatu alasan akhirnya pasien menolak dan memilih untuk rawat jalan.

Page 13: Lapsus Interna 2015 Kris

Ringkasan

Penyakit batu empedu dapat ditemukan di dalam kandung empedu, dalam duktus koledokus, atau

campuran keduanya. Sebagian besar batu empedu terbentuk di dalam kandung empedu

(kolelitiasis). Jika batu kandung empedu tersebut berpindah ke dalam saluran empedu, maka

disebut dengan batu saluran empedu sekunder. Terdapat 2 jenis batu empedu yang paling sering

ditemui, yaitu batu kolesterol dan batu pigmen. Masing-masing dari batu tersebut memiliki

perbedaan yang dapat dilihat dari bentuk, ukuran, warna, dan corak tergantung pada komposisi

yang menyusunnya. Penegakkan diagnosis pada kasus batu empedu selain melalui anamnesis

dan pemeriksaan fisik yang cermat, juga diperlukan bantuan dari pemeriksaan penunjang. Pada

kasus ini, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarah pada ikterus obstruktif oleh karena

batu empedu ditunjukkan oleh adanya kolik bilier yang muncul secara mendadak dan menjalar

ke bagian perut kanan atas sampai ke pinggang kanan disertai keluhan mual. Hasil anamnesis

tersebut didukung oleh hasil pemeriksaan fisik dengan ditemukannya nyeri epigastrium dan nyeri

pada perut kuadran kanan atas pada saat palpasi. Selain itu, dicurigai juga telah terjadi

komplikasi yang mengarah pada batu duktus koledokus (koledokolitiasis). Hal ini diketahui

berdasarkan keluhan pasien yaitu muncul warna kekuningan pada kedua mata kemudian mulai

menyebar ke seluruh permukaan kulit dan disertai dengan kencing yang berubah warna menjadi

kecoklatan seperti teh serta BAB yang berubah menjadi putih. Pemeriksaan penunjang yang

mendukung diagnosis pada kasus ini didapatkan dari hasil USG yang menyatakan kesan

kolestasis intra dan ekstra hepatik dengan batu CBD. Selama di rawat diruangan pasien telah

diberikan penanganan dengan obat-obatan untuk mengatasi keluhan yang muncul serta telah

diberikan KIE dan disarankan konsul ke bagian bedah untuk penanganan selanjutnya. Namun,

pada akhirnya pasien menolak dan memilih untuk rawat jalan.

Page 14: Lapsus Interna 2015 Kris

Daftar Pustaka

1. Widiastuty AS. Patogenesis Batu Empedu. FKUM; 2010, Vol.1 (1); hal.40-54.

2. Lesmana LA. Penyakit Batu Empedu, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 5 th ed.

Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009, hal 481-483.

3. Gianawati I, Sulaiman A, Lesmana LA, Lalisang TJ, Abdullah AA. Diagnostic Approach

and Treatment of Choledocholithiasis. The Indonesian Journal of Gastroenterology

Hepatology and Digestive Endoscopy; 2004, Vol.5 (2); pp.71-75.

4. Nurman A. Penatalaksanaan Batu Empedu. Jurnal Kedokteran Trisakti; 1999, Vol.18 (1);

hal.1-9.

5. Freitas ML, Bell RL, Duffy AJ. Choledocholithiasis: Evolving Standards for Diagnosis

and Management. World Journal Gastroenterology; 2006, Vol.12 (20); pp.3162-3167.

6. Johnston DE, Kaplan MM. Pathogenesis and Treatment of Gallstones. The New England

Journal of Medicine; 1993, Vol.328 (6); pp.412-421.