lapsus interna 2015 kris
DESCRIPTION
Laporan KasusTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
SEORANG PENDERITA DENGAN CBD STONE
A.A. Krisna Wiryanata
SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Sanjiwani Giamyar
Pendahuluan
Penyakit batu empedu atau kolelitiasis adalah salah satu penyakit abdomen yang paling sering
dijumpai. Batu empedu merupakan suatu massa inorganik yang dapat terbentuk di dalam
kandung empedu atau terkadang di dalam duktus koledokus maupun duktus hepatikus.1 Batu
empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, namun batu tersebut dapat bermigrasi
melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu dan menjadi batu saluran empedu sekunder.2
Jika terdapat satu atau lebih batu empedu pada saluran empedu atau duktus koledokus (common
bile duct) maka disebut sebagai koledokolitiasis. Kondisi sekunder ini dapat dialami oleh sekitar
15% penderita dengan batu empedu.3 Pada beberapa kondisi, batu saluran empedu juga dapat
terbentuk secara primer di dalam saluran empedu intra atau ekstra hepatik tanpa melibatkan
kandung empedu.2
Angka kejadian batu empedu di setiap negara berbeda-beda. Terdapat banyak faktor yang
mempengaruhi pembentukan batu empedu diantaranya ras, pola hidup, genetik, dan infeksi.1
Prevalensi batu empedu di Amerika Serikat berkisar antara 10%-20% dari populasi total.
Terdapat kurang lebih sekitar 600.000 kasus batu empedu dengan tindakan kolesistektomi yang
dilakukan di Amerika Serikat setiap tahunnya dengan 10%-15% kasus disertai dengan
koledokolitiasis.3 Untuk di Indonesia, sampai saat ini belum ada penelitian epidemiologis
terhadap kasus batu empedu, namun diduga insidensi batu empedu masih lebih rendah bila
dibandingkan dengan di negara barat. Seiring dengan berkembangnya pola hidup modern, maka
mungkin saja di masa mendatang kasus batu empedu di Indonesia dapat menjadi suatu masalah
kesehatan yang perlu diperhatikan.1
Batu empedu memiliki berbagai macam bentuk, ukuran, dan warna berdasarkan pada
komposisi zat-zat yang menyusunnya. Klasifikasi batu empedu dapat ditentukan berdasarkan
pada gambaran arsitektur dan komposisi utama yang menyusun batu tersebut. Terdapat 2 jenis
batu empedu yang sering ditemui, diantaranya adalah batu kolesterol dan batu pigmen. 1 Batu
kolesterol merupakan jenis batu terbanyak yang ditemui dan mengandung lebih dari 50%
kolesterol. Sedangkan batu pigmen cenderung memiliki kadar kolesterol yang lebih rendah, yaitu
kurang dari 30%.1 Di masyarakat barat, komposisi utama batu empedu adalah kolesterol,
sedangkan penelitian di Jakarta pada 51 pasien menemukan bahwa sebanyak 73% pasien
menderita batu pigmen dan 27% pasien menderita batu kolesterol.
Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak menunjukkan gejala klinis dan sering kali
ditemukan secara tidak sengaja pada saat pemeriksaan dengan USG. Pasien umumnya akan
mengeluh nyeri abdomen (kolik biliaris) atau pada saat pemeriksaan ditemukan gejala-gejala lain
yang disebabkan adanya komplikasi akibat obstruksi oleh batu atau akibat proses inflamasi,
seperti kolesistitis, kolangitis, koledokolitiasis, dan lain-lain.1
Tidak semua batu empedu memerlukan tindakan untuk mengeluarkannya. Ada beberapa
faktor yang menentukan penatalaksanaan terhadap batu empedu, diantaranya adalah lokasi batu,
ukuran batu, dan manifestasi klinis yang ditimbulkannya. Adanya kemajuan yang pesat dalam
bidang pencitraan (imaging), endoskopi diagnostik, dan endoskopi terapetik dalam beberapa
dekade terakhir membawa perubahan yang sangat mendasar dalam penatalaksanaan batu
empedu.4
Selanjutnya, pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai seorang penderita dengan CBD
stone dan perkembangannya selama dirawat di ruang nakula RSUD Sanjiwani Gianyar.
Kasus
Seorang pasien laki – laki dengan inisial IWA, usia 43 tahun, asal Gianyar, agama Hindu,
pekerjaan sebagai petugas kebersihan, berperawakan kurus dengan berat badan kira – kira 70 kg
dan tinggi badan 165 cm, datang ke Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah
Sanjiwani Gianyar pada tanggal 6 Agustus 2015 dengan keluhan utama nyeri ulu hati. Pasien
mengeluhkan nyeri ulu hati sejak 3 hari yang lalu. Awalnya pasien mengatakan, seminggu yang
lalu sebelum ke poliklinik penyakit dalam dirinya sempat mengalami mual tanpa disertai dengan
muntah. Keluhan mual pada saat itu hampir dirasakan sepanjang hari oleh pasien. Kemudian, 3
hari yang lalu keluhan mual dirasakan kembali dan makin memberat setelah pasien makan
malam. Selang beberapa jam kemudian, pasien mengeluhkan adanya rasa nyeri pada ulu hati
yang muncul secara mendadak. Nyeri yang dirasakan pasien dikatakan perih, panas, dan
terkadang terasa seperti tertusuk-tusuk. Rasa nyeri juga dikatakan menjalar ke seluruh perut,
terutama pada bagian perut kanan atas sampai ke pinggang sebelah kanan dan punggung dengan
durasi nyeri dikatakan lebih dari 15 menit. Rasa nyeri yang dialami oleh pasien dikatakan sedikit
membaik pada saat pasien beristirahat dan akan bertambah nyeri terutama pada saat malam hari
atau pada saat pasien bekerja berat. Hal tersebut menyebabkan nafsu makan pasien berkurang,
sulit tidur di malam hari, dan menyebabkan pekerjaan pasien menjadi terganggu di pagi harinya.
Keluhan lain yang dirasakan oleh pasien adalah demam. Keluhan demam dialami 4 hari yang
lalu oleh pasien. Keluhan demam dikatakan hilang timbul dan dirasakan di seluruh tubuh. Untuk
mengatasi keluhan demam dan nyeri perut yang dialaminya, pasien sudah sempat berobat ke
bidan, namun keluhan tidak kunjung membaik dan hanya keluhan demamnya saja yang mulai
menurun. Dari keterangan pasien diketahui juga bahwa sejak 12 hari yang lalu telah muncul
warna kekuningan pada hampir seluruh bagian permukaan kulit pasien. Pada awalnya warna
kuning muncul pada kedua mata, namun lama-kelamaan mulai menyebar ke seluruh permukaan
tubuh. Seiring dengan munculnya warna kekuningan pada tubuhnya, pasien juga mengeluh gatal
pada bagian dada dan perut, namun keluhan dikatakan tidak begitu mengganggu aktivitasnya.
Untuk BAK dikatakan lancar dan tidak ada keluhan nyeri, tetapi warna kencing dikatakan mulai
berubah menjadi kecoklatan seperti teh sejak 6 hari yang lalu. Sedangkan untuk BAB awalnya
dikatakan normal berwarna kecoklatan dengan konsistensi padat, namun sejak 4 hari yang lalu
warna BAB pasien dikatakan berubah menjadi putih. Keluhan BAB putih ini dialami selama 4
hari oleh pasien dan pada saat kunjungan ke poliklinik, keluhan ini dikatakan sudah tidak
dirasakan lagi.
Pasien mengaku tidak pernah mengalami keluhan atau menderita penyakit yang sama
sebelumnya. Riwayat penyakit hati dan penyakit kronis lainnya juga disangkal oleh pasien.
Selanjutnya dari riwayat penyakit keluarga, diketahui tidak ada anggota keluarga pasien yang
mengalami keluhan yang serupa. Riwayat penyakit hati dan penyakit kronis lainnya di keluarga
pasien juga disangkal. Pasien saat ini tinggal bersama dengan istri dan ketiga orang anaknya.
Aktivitas pasien sehari-hari adalah bekerja sebagai petugas kebersihan. Sejak keluhan ini
muncul, pasien memilih untuk beristirahat di rumah. Pasien memiliki kebiasaan merokok 3
batang perhari, namun semenjak sakit pasien mulai menghentikan kebiasaannya tersebut. Untuk
kebiasaan minum-minuman beralkohol, penggunaan jarum suntik secara bergantian, maupun
riwayat transfusi darah sebelumnya disangkal oleh pasien.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien. Pada pemeriksaan vital sign
didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 88 kali/menit, laju napas 18 kali/menit, dan
temperatur aksila 36,50C. Kepala dalam keadaan normocephali. Tampak adanya ikterus pada
kedua mata, tidak tampak adanya anemis, dan reflek pupil kedua mata positif isokor. Pada leher
tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening, JVP +2cm H2O dari PR. Bentuk dada
simetris kanan-kiri, tidak tampak adanya tanda - tanda jejas ataupun kelainan pada kulit, iktus
kordis tidak terlihat. Saat dipalpasi, gerakan dada simetris dengan vokal fremitus ditemukan
sama kanan-kiri, tidak ditemukan nodul atau benjolan pada kulit,dan iktus kordis dapat diraba di
mid clavicula line ICS 5 kiri. Pada perkusi ditemukan suara redup. Ditemukan pula batas jantung
kiri pada mid clavicula line ICS 5 kiri, batas kanan pada parasternal line ICS 4 kanan, dan batas
atas pada sternal line ICS 2 kiri. Pada pemeriksaan auskultasi, ditemukan suara jantung S1 S2
tunggal reguler tanpa murmur. Dari suara nafas didapatkan suara nafas vesikuler pada kedua
lapang paru tanpa disertai suara napas tambahan seperti rhonki atau wheezing. Pada pemeriksaan
abdomen tidak tampak adanya distensi, jejas, ataupun massa. Saat auskultasi, ditemukan suara
peristaltik usus dalam batas normal. Pada perkusi didapatkan bunyi timpani pada keempat
kuadran abdomen. Pada palpasi hepar dan lien tidak teraba, didapatkan nyeri tekan pada
epigastrium, perut kanan atas, sampai ke pinggang kanan dan punggung. Murphy’s sign negatif.
Pada pemeriksaan keempat ekstremitas ditemukan adanya ikterus dan tidak ditemukan adanya
edema.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain darah lengkap (DL) dan LFT. Pada DL
(6/8/2015) ditemukan WBC 11,1 103/µL, RBC 4,49 106/µL, Hb 13,6 g/dL, MCV 83,0 fl, MCH
30.3 pg, HCT 37,3 %, dan PLT 437 103/µL. Pemeriksaan fungsi hepar (6/8/2015) didapatkan
SGOT 26 U/L, SGPT 44 U/L, Bil. Total 16,69 mg/dL, Bil. Direk 12,14 mg/dL, Bil. Indirek 4,55
mg/dL, dan ALP 165 U/L.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis
dengan obs. ikterus ec. susp. hepatitis. Pasien disarankan MRS dan diberikan terapi IVFD NaCl
0,9% : D5% (1:1) 20 tpm, omeprazole 1x20 mg, ondansetron 3x4 mg, antasida sirup 3xCI, dan
curcuma 3x1 tab dengan planning HBsAg, USG abdomen, dan albumin/TP.
Pada perawatan hari pertama di ruangan didapatkan keluhan mual sudah berkurang, namun
keluhan nyeri perut sampai ke pinggang kanan masih dirasakan oleh pasien. Pada pemeriksaan
abdomen ditemukan nyeri tekan pada daerah kuadran kanan atas sampai ke pinggang kanan.
Pada pemeriksaan albumin (7/8/2015) didapatkan hasil 4,77 g/dL, globulin 2,00 g/dL, dan
protein total 6,73 g/dL. Sedangkan untuk pemeriksaan HBsAg (7/8/2015) didapatkan hasil
negatif. Diagnosis pasien yang sebelumnya obs. ikterus ec. susp. hepatitis diubah menjadi susp.
ikterus obstruktif. Selanjutnya, terapi yang diberikan pada saat di poliklinik penyakit dalam
ditambah dengan UDCA 3x250 mg dan vitamin B complex 2x1 tab serta direncanakan untuk
dilakukan pemeriksaan urinalisis (UL) dan USG abdomen.
Pada perawatan hari ke-2 pasien mengeluh sempat muntah sebanyak 2 kali. Muntah berisi
makanan yang dimakan sebelumnya oleh pasien tanpa adanya darah. Untuk keluhan nyeri perut
sampai ke pinggang kanan masih dirasakan oleh pasien. Dari pemeriksaan UL (8/8/2015)
didapatkan hasil warna kemerahan, BJ 1020, pH 6,0, protein (-), glukosa (-), bilirubin (+2),
urobilinogen (+3), nitrit (-), darah/Hb (-), lekosit (-), sedimen eritrosit 0-5, sedimen lekosit 1-3,
dan sedimen epitel 2-4. Terapi sebelumnya dilanjutkan kembali.
Pada perawatan hari ke-4 pasien mengeluh gatal pada seluruh tubuh. Keluhan gatal dikatakan
lebih berat dibandingkan sebelumnya. Terapi yang telah diberikan selanjutnya di tambah dengan
cetirizine 2x10 mg. Dari hasil pemeriksaan USG abdomen (10/8/2015) didapatkan kesan hidrops
vesica fellea, kolestasis intra dan ekstra hepatik, serta batu CBD. Selanjutnya diagnosis pasien
yang sebelumnya susp. ikterus obstruktif berubah menjadi ikterus obstruktif ec. CBD stone.
Pada perawatan hari ke-6 pasien masih mengeluh gatal pada seluruh tubuh, namun tidak
seberat sebelumnya. Untuk keluhan nyeri perut sampai ke pinggang kanan dikatakan sudah
mulai membaik. Pasien direncanakan untuk dikonsulkan ke bagian bedah guna mendapatkan
penanganan selanjutnya.
Pada hari ke-8 pasien mengatakan sudah tidak ada keluhan. Pasien dan keluarganya menolak
untuk dikonsulkan ke bagian bedah. Akhirnya pasien dipulangkan dan diberikan obat untuk di
minum di rumah.
Pembahasan
Penyakit batu empedu dapat ditemukan di dalam kandung empedu, dalam duktus koledokus, atau
campuran keduanya. Sebagian besar batu empedu terbentuk di dalam kandung empedu
(kolelitiasis). Jika batu kandung empedu tersebut berpindah ke dalam saluran empedu, maka
disebut dengan batu saluran empedu sekunder. Sebagian besar batu pada duktus koledokus
(koledokolitiasis) berasal dari batu kandung empedu, namun ada juga yang terbentuk secara
primer di dalam saluran empedu..2 Batu empedu mempunyai berbagai macam bentuk, ukuran,
warna, dan corak tergantung pada komposisi yang menyusunnya. Terdapat 2 jenis batu empedu
yang paling sering ditemui, yaitu batu kolesterol dan batu pigmen. Batu kolesterol merupakan
jenis batu terbanyak dan mengandung lebih dari 50% kolesterol. Batu jenis ini sebagian besar
bersifat radiolusen dan biasanya soliter. Sedangkan batu pigmen terdiri dari 2 jenis, yaitu batu
pigmen coklat dan batu pigmen hitam. Komponen utama batu pigmen ini adalah kalsium
bilirubinat (40-60%), sedangkan kadar kolesterolnya kurang dari 30%.1
Terdapat beberapa faktor yang diduga menjadi pemicu terbentuknya batu empedu,
diantaranya adalah usia, jenis kelamin, berat badan, makanan, serta aktivitas fisik. Pada pasien
faktor-faktor yang diduga berperan dalam terbentuknya batu empedu adalah usia serta berat
badan. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik diketahui bahwa usia pasien adalah 43
tahun dengan BMI 25,71 yang termasuk ke dalam kelompok overweight. Hal tersebut telah
sesuai, dimana berdasarkan teori diketahui bahwa, risiko seseorang untuk menderita batu
empedu semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Hal tersebut diduga disebabkan
oleh karena adanya peningkatan sekresi kolesterol ke dalam empedu seiring dengan
bertambahnya usia.1,6 Selain itu, faktor berat badan juga memegang peranan penting dalam
terbentuknya batu empedu. Hal tersebut terkait dengan semakin tingginya body mass index
(BMI) maka kadar kolesterol dalam kandung empedu juga semakin tinggi sehingga
mengakibatkan berkurangnya kontraksi atau pengosongan kandung empedu.1,6
Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pasien dengan batu
empedu asimtomatik, pasien dengan batu empedu simtomatik, dan pasien dengan komplikasi
batu empedu. Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tidak menunjukkan gejala.
Pasien dengan batu empedu simtomatik cenderung mengalami episode kolik bilier, yaitu nyeri
yang terutama dirasakan di daerah epigastrium setelah makan atau di daerah kuadran kanan atas
abdomen, kadang-kadang menjalar ke belakang (interskapula) atau sampai ke bahu kanan. Nyeri
dapat dirasakan beberapa menit sampai beberapa jam. Nyeri yang hebat sering disertai dengan
rasa mual dan muntah. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri epigastrium pada palpasi atau
nyeri di daerah kuadran kanan atas.1 Komplikasi batu empedu yang paling sering dialami oleh
pasien diantaranya adalah kolesistitis akut dan batu pada duktus koledokus. Pada kolesistitis akut
biasanya pasien akan mengalami nyeri yang hebat dan dirasakan terus menerus selama beberapa
jam. Hal tersebut dapat disebabkan oleh karena adanya obstruksi duktus sistikus yang menetap
oleh adanya batu dan disertai dengan iritasi kimia oleh empedu yang menyebabkan inflamasi dan
edema dari dinding kandung empedu. Pada pemeriksaan fisik biasanya akan didapatkan rasa
nyeri dan rasa penuh pada daerah kuadran kanan atas. Selain itu, pada palpasi di daerah kuadran
kanan atas selama pasien inspirasi akan sering menyebabkan rasa nyeri sehingga pasien
menghentikan napas sejenak (Murphy’s sign positif).1 Sedangkan batu pada duktus koledokus
(koledokolitiasis) dapat terjadi bila batu berpindah tempat dari kandung empedu dan menyumbat
duktus koledokus. Sumbatan batu ini dapat menyebabkan kolangitis atau pankreatitis akut.
Pasien dengan batu pada duktus koledokus sering menunjukkan gejala jaundice atau ikterus,
demam, dan rasa nyeri pada kuadran kanan atas.1
Berdasarkan hasil anamnesis pada kasus diatas dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami
batu empedu simtomatik dan telah mengalami komplikasi akibat batu empedu tersebut. Hal ini
dapat diketahui berdasarkan keterangan pasien pada saat anamnesis yang menyatakan bahwa
pasien mengalami kolik bilier dilihat dari adanya nyeri pada ulu hati (epigastrium) yang muncul
secara mendadak dan menjalar ke bagian perut kanan atas sampai ke pinggang kanan disertai
keluhan mual dengan durasi nyeri dikatakan lebih dari 15 menit. Hasil anamnesis tersebut
didukung oleh hasil pemeriksaan fisik dengan ditemukannya nyeri epigastrium dan nyeri pada
perut kuadran kanan atas pada saat palpasi. Komplikasi yang terjadi pada pasien mengarah pada
batu duktus koledokus (koledokolitiasis) akibat batu yang berpindah tempat dari kandung
empedu sehingga menyumbat duktus koledokus dan menyebabkan timbulnya ikterus. Hal ini
terlihat dari keluhan pasien pada saat datang yaitu muncul warna kekuningan pada kedua mata
yang selanjutnya mulai menyebar ke seluruh permukaan kulit dan disertai dengan kencing yang
berubah warna menjadi kecoklatan seperti teh serta BAB yang berubah menjadi putih. Selain itu,
pada pasien juga didapatkan riwayat demam 4 hari yang lalu sebelum MRS disertai dengan rasa
nyeri menjalar sampai ke perut kanan atas.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita dengan batu empedu
diantaranya adalah pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan
laboratorium terdiri dari hitung sel darah lengkap, urinalisis, pemeriksaan feses, serta tes fungsi
hati.1 Pada kasus ini, pemeriksaan laboratorium yang dilakukan diantaranya adalah darah
lengkap, urinalisis, LFT, albumin/TP, dan HBsAg. Berdasarkan teori, pada episode kolik biliaris,
sebagian besar penderita memiliki hasil laboratorium yang normal. Namun bila disertai dengan
komplikasi maka akan didapatkan leukositosis, peningkatan kadar enzim hati (aspartate
aminotransferase, alanine aminotransferase, dan alkali fosfatase), gamma glutamyl transferase,
dan bilirubin serum terutama jika terdapat batu pada duktus koledokus.1 Hal ini sesuai dengan
teori yang mengarah pada batu duktus koledokus, dimana pada pemeriksaan darah lengkap pada
pasien didapatkan hasil leukositosis. Sedangkan pada pemeriksaan LFT didapatkan peningkatan
kadar bilirubin total, direk, indirek, SGPT, serta ALP. Namun, untuk pemeriksaan gamma
glutamyl transferase pada kasus ini tidak dilakukan. Secara teori, peningkatan serum bilirubin
dan alkali fosfatase menunjukkan adanya obstruksi bilier, namun kedua pemeriksaan tersebut
tidak spesifik untuk batu pada duktus koledokus (CBD). Bila ikterus sangat jelas, maka
pemeriksaan gamma glutamyl transferase sangat disarankan untuk dilakukan karena merupakan
indikator yang paling spesifik pada kasus batu duktus koledokus (CBD).5 Selanjutnya dari
pemeriksaan UL didapatkan hasil warna kemerahan dengan bilirubin +2 dan urobilinogen +3.
Untuk pemeriksaan HBsAg diperoleh hasil negatif dan pada pemeriksaan albumin/TP didapatkan
hasil normal. Bagaimanapun, hasil pemeriksaan laboratorium mungkin saja normal pada
sepertiga pasien dengan koledokolitiasis, oleh karena itu diperlukan pemeriksaan radiologis
untuk membantu memperjelas diagnosis.
Diagnosis batu empedu dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan radiologis terutama
pemeriksaan USG. Hanya sekitar 10% dari kasus batu empedu adalah radioopak oleh karena
batu empedu tersebut mengandung kalsium dan dapat terdeteksi hanya dengan pemeriksaan foto
polos abdomen. Berdasarkan teori, USG merupakan pemeriksaan pilihan pertama pada pasien
dengan kecurigaan kolik biliaris. USG diketahui memiliki spesifisitas 90% dan sensitivitas 95%
dalam mendeteksi adanya batu empedu. Pemeriksaan radiologis pada kasus ini telah sesuai
dengan teori, dimana telah dilakukan pemeriksaan radiologis berupa USG dan didapatkan hasil
berupa CBD yang tampak melebar dengan lesi hiperekhoik ukuran 2,3x1,5 cm dan akustik post
shadow (+). Pada USG tampak kesan kolestasis intra dan ekstra hepatik dengan batu CBD. Dari
hasil USG tersebut diagnosis selanjutnya mengarah kepada batu CBD (koledokolitiasis) karena
tampak adanya bayangan batu pada daerah common bile duct (CBD). Selain pemeriksaan foto
polos abdomen dan USG, masih ada beberapa jenis pemeriksaan radiologis lain yang dapat
digunakan untuk membantu dalam mendiagnosis batu empedu, diantaranya MRCP, EUS, dan
ERCP. Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) merupakan modalitas
diagnostik non-invasif untuk menyelidiki adanya obstruksi pada saluran empedu dan pankreas
serta telah direkomendasikan dibeberapa kalangan sebagai prosedur pra-operasi pilihan untuk
mendeteksi batu CBD. MRCP memiliki sensitivitas 81%-100% dan spesifisitas 92%-100%
dalam mendeteksi koledokolitiasis.1,5 Endoscopic ultrasonography (EUS) merupakan suatu
prosedur diagnostik dengan menggunakan ultrasound frekuensi tinggi untuk mengevaluasi dan
mendiagnosis kelainan traktus digestivus. EUS menggunakan duodenoskopi dengan probe
ultrasound pada bagian distal yang dapat menggambarkan organ, pembuluh darah, nodus
limfatikus dan duktus empedu. EUS dapat mendiagnosis secara akurat adanya batu empedu di
dalam duktus koledokus dengan sensitivitas 88%-97% dan spesifisitas 96%-100%, namun tidak
mempunyai nilai terapeutik seperti ERCP.1,5 Endoscopic retrograde cholangiopancreatography
(ERCP) adalah pemeriksaan gold standard untuk mendeteksi batu empedu di dalam duktus
koledokus dan mempunyai keuntungan terapeutik untuk mengangkat batu empedu. Komplikasi
yang berhubungan dengan ERCP adalah sebesar 15% termasuk diantaranya pankreatitis,
kolangitis, perforasi duodenum atau saluran empedu, serta perdarahan. Komplikasi ini dapat
terjadi pada 5%-8% pasien dengan angka kematian akibat penggunaan ERCP sebesar 0,2%-
0,5%.1,5,6
Pasien dengan batu empedu asimtomatik tidak memerlukan penanganan apapun sampai
munculnya gejala. Sedangkan pada pasien dengan batu empedu simtomatik terdapat beberapa
pilihan penatalaksanaan yang dapat diberikan tergantung dari manifestasi klinis yang muncul
dengan tujuan untuk mengurangi gejala klinis dan mencegah berkembangnya komplikasi.1
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penatalaksanaan batu empedu, diantaranya lokasi,
ukuran, serta manifestasi klinis atau penyulit yang mungkin timbul. Batu empedu dapat
ditemukan di dalam kandung empedu, duktus sistikus, duktus koledokus, bahkan di dalam hati.
Batu empedu yang bermigrasi ke leher kandung empedu akan menyebabkan obstruksi duktus
sistikus. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya iritasi kimiawi pada mukosa kandung empedu
oleh cairan empedu sehingga terjadilah kolesistitis. Pada pasien dengan batu kandung empedu
yang simtomatik ini dapat dilakukan kolesistektomi secara konvensional. Selanjutnya untuk batu
koledokus harus segera dikeluarkan karena dapat mengakibatkan obstruksi bilier sehingga
mengganggu fungsi hati sampai menimbulkan gagal hati. Selain itu, aliran bilier yang tidak
lancar juga dapat menimbulkan penyulit seperti kolangitis dan sepsis. Pengeluaran batu
koledokus ini dapat dilakukan dengan operasi secara konvensional atau dengan endoskopi.
Sedangkan pada batu empedu intrahepatik atau hepatolitiasis, penatalaksanaannya secara bedah
sangat sulit dan terkadang diperlukan operasi berulang karena sering kambuh dan cenderung
menyebabkan kerusakan hati akibat obstruktif yang lama, kolangitis, abses hati, dan sepsis.
Selanjutnya berdasarkan ukurannya, batu empedu dengan diameter lebih dari 1 cm harus dipecah
lebih dulu agar lebih mudah dikeluarkan dengan cara endoskopi. Salah satu cara untuk memecah
batu tersebut adalah dengan extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL). Salah satu penyulit
yang sering muncul pada kasus batu empedu adalah adanya batu koledokus. Pada pasien batu
empedu yang disertai dengan batu koledokus, bila kondisi kandung empedunya masih baik dan
batu kandung empedunya asimtomatik maka kandung empedu dapat dibiarkan tanpa perlu
dilakukan tindakan, sedangkan untuk batu koledokus dapat dikeluarkan dengan cara endoskopi.
Selanjutnya apabila kandung empedu menunjukkan tanda-tanda kolesistitis kronik, maka
dilakukan pengeluaran batu koledokus dengan endoskopi disusul dengan kolesistektomi pada
kesempatan berikutnya melalui laparoskopi.4
Secara umum, penatalaksanaan pada kasus batu empedu dapat dibedakan menjadi 2, yaitu
terapi operatif dan terapi non operatif. Pada terapi operatif, kolesistektomi merupakan satu-
satunya terapi definitif untuk penderita batu simtomatik, yaitu dengan mengangkat batu dan
kandung empedu sehingga dapat mencegah berulangnya penyakit. Kolesistektomi dapat
dilakukan dengan cara laparotomi atau dengan menggunakan laparoskopi. Untuk terapi non
operatif terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan diantaranya adalah pemberian obat pelarut
batu empedu (chenodeoxycholic dan ursodeoxycholic acid) dan menghancurkan batu dengan
extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL). Ursodeoxycholic acid berfungsi untuk
menghambat sintesis kolesterol oleh hati. Pengobatan dengan cara ini umumnya memerlukan
biaya lebih banyak karena pengobatannya lebih lama dan biasanya diberikan pada pasien dengan
batu empedu berukuran kecil dan batu kolesterol tanpa kalsifikasi. Terapi non operatif lainnya
adalah dengan ESWL yang memiliki kemampuan untuk memecah batu empedu dengan
menggunakan gelombang suara berenergi tinggi yang dapat menghasilkan shock wave.1,6
Penatalaksanaan pada kasus ini telah sesuai dengan teori. Pasien telah diberikan penanganan
barupa pemberian farmakoterapi dengan obat-obatan sesuai dengan keluhan dan manifestasi
klinis yang muncul serta untuk mencegah terjadinya komplikasi. Pada pasien juga telah
diberikan UDCA yang berguna untuk menekan pembentukan batu dan memperbaiki gangguan
pada aliran asam empedu sebelum dilakukannya tindakan operatif. Pasien dan keluarganya telah
diberikan KIE dan direncanakan konsul ke bagian bedah untuk mendapatkan penanganan
selanjutnya, namun karena suatu alasan akhirnya pasien menolak dan memilih untuk rawat jalan.
Ringkasan
Penyakit batu empedu dapat ditemukan di dalam kandung empedu, dalam duktus koledokus, atau
campuran keduanya. Sebagian besar batu empedu terbentuk di dalam kandung empedu
(kolelitiasis). Jika batu kandung empedu tersebut berpindah ke dalam saluran empedu, maka
disebut dengan batu saluran empedu sekunder. Terdapat 2 jenis batu empedu yang paling sering
ditemui, yaitu batu kolesterol dan batu pigmen. Masing-masing dari batu tersebut memiliki
perbedaan yang dapat dilihat dari bentuk, ukuran, warna, dan corak tergantung pada komposisi
yang menyusunnya. Penegakkan diagnosis pada kasus batu empedu selain melalui anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang cermat, juga diperlukan bantuan dari pemeriksaan penunjang. Pada
kasus ini, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarah pada ikterus obstruktif oleh karena
batu empedu ditunjukkan oleh adanya kolik bilier yang muncul secara mendadak dan menjalar
ke bagian perut kanan atas sampai ke pinggang kanan disertai keluhan mual. Hasil anamnesis
tersebut didukung oleh hasil pemeriksaan fisik dengan ditemukannya nyeri epigastrium dan nyeri
pada perut kuadran kanan atas pada saat palpasi. Selain itu, dicurigai juga telah terjadi
komplikasi yang mengarah pada batu duktus koledokus (koledokolitiasis). Hal ini diketahui
berdasarkan keluhan pasien yaitu muncul warna kekuningan pada kedua mata kemudian mulai
menyebar ke seluruh permukaan kulit dan disertai dengan kencing yang berubah warna menjadi
kecoklatan seperti teh serta BAB yang berubah menjadi putih. Pemeriksaan penunjang yang
mendukung diagnosis pada kasus ini didapatkan dari hasil USG yang menyatakan kesan
kolestasis intra dan ekstra hepatik dengan batu CBD. Selama di rawat diruangan pasien telah
diberikan penanganan dengan obat-obatan untuk mengatasi keluhan yang muncul serta telah
diberikan KIE dan disarankan konsul ke bagian bedah untuk penanganan selanjutnya. Namun,
pada akhirnya pasien menolak dan memilih untuk rawat jalan.
Daftar Pustaka
1. Widiastuty AS. Patogenesis Batu Empedu. FKUM; 2010, Vol.1 (1); hal.40-54.
2. Lesmana LA. Penyakit Batu Empedu, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 5 th ed.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009, hal 481-483.
3. Gianawati I, Sulaiman A, Lesmana LA, Lalisang TJ, Abdullah AA. Diagnostic Approach
and Treatment of Choledocholithiasis. The Indonesian Journal of Gastroenterology
Hepatology and Digestive Endoscopy; 2004, Vol.5 (2); pp.71-75.
4. Nurman A. Penatalaksanaan Batu Empedu. Jurnal Kedokteran Trisakti; 1999, Vol.18 (1);
hal.1-9.
5. Freitas ML, Bell RL, Duffy AJ. Choledocholithiasis: Evolving Standards for Diagnosis
and Management. World Journal Gastroenterology; 2006, Vol.12 (20); pp.3162-3167.
6. Johnston DE, Kaplan MM. Pathogenesis and Treatment of Gallstones. The New England
Journal of Medicine; 1993, Vol.328 (6); pp.412-421.