koma-edit
TRANSCRIPT
![Page 1: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/1.jpg)
REFARAT ILMU PENYAKIT SARAF
KOMA
Disusun Oleh :
Putri Ajeng Ayu Larasati
05-039
Pembimbing :
Dr. Tumpal A. Siagian, SpS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAFPERIODE 30 MEI - 25 JUNI 2011
FAKULTAS KEDOKTERAN
![Page 2: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/2.jpg)
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA
2011DEFINISI
Koma ialah kesadaran yang menurun sampai derajat yang paling rendah, yang
berarti bahwa jawaban dalam bentuk apapun tidak akan didapatkan atas perangsangan
dengan jenis apapun. Stimulus yang digunakan untuk penilaian derajat kesadaran
berupa wawancara dan rangsang adekuat terhadap reseptor perasaan protopatik,
proprioseptif dan pancaindera. Pemeriksaan refleks kornea dan reaksi pupil
merupakan tindakan rutin yang sangat penting, terutama pada keadaan dimana
kesadaran sudah menurun sehingga komunikasi bahasa tidak dapat digunakan lagi
untuk penilaian derajat kesadaran.
Jika seseorang tidak bisa mengadakan hubungan lagi dengan kita, dan ia
hanya menggerakkan badannya saja pada pemberian rangsang nyeri, keadaan
demikian bisa dinamakan stupor.
ETIOLOGI
Koma dapat berasal intracranial atau extracranial. Contoh-contohnya
diberikan dibawah ini
A. Intracranial: Cedera kepala, cerebrovaskuler accident, infeksi SSP, tumor,
penyakit-penyakit konvulsi, penyakit degeneratif, meningkatnya tekanan intracranial,
kelainan psikiatri.
B. Extracranial: kelainan vascular (shock atau hipotensi, seperti pada
perdarahan hebat, infark myocardium, hipertensi arterial): kelainan metabolisme
(diabetic acidosis, hipoglikemia, uremia, coma hepaticum, krisis addison, gangguan
keseimbangan elektrolit): intoksikasi (alkohol, barbiturat, narkotik, bromida,
analgesik, ataractic, carbon monoxida, logam-logam berat): lain-lain (hiperthermia
hipothermia, cicatric shock, anaphylaxis, infeksi sistemik yang berat)
![Page 3: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/3.jpg)
FISIOLOGI
Kesadaran dapat didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan
pengintegrasian semua impuls aferen dan impuls aferen. Penyelidikan telah
mengungkapkan bahwa jumlah (kwantitasi) impuls aferen menentukan derajat
kesadaran. Cara pengolahan impuls aferen yang menelurkan pola-pola impuls aferen
menentukan kwalitas kesadaran.
Alat-alat reseptor berikut pancaindra mengirim impuls aferen melalui lintasan
spino-talamik, trigemino-talami lemniskus medialis dan lemnikus lateralis ke inti-inti
talamik yang kemudian memancarkan impuls aferen yang diterimanya ke daerah
korteks tertentu. Daerah korteks penerima impuls aferan itu dikenal sebagai daerah
reseptif primer. Penghantaran impuls aferen tersebut berlangsung dari titik-ke-titik,
yang berarti bahwa suatu titik pada kulit yang dirangsang mengirimkan impuls yang
akan diterima oleh sekelompok neuron di titik tertentu daerah reseptif somatosensorik
primer. Demikian juga suatu titik pada retina, pada kohklea dan sebagainya akan
mengirimkan impuls yang akan diterima oleh sekelompok neuron di satu titik tertentu
di korteks optik, korteks auditorik dan sebagainya. Pengolahan impuls-impuls yang
dihantarkan melalui lintasan penghantaran dari titik ke titik itu, sebagian besar
menentukan kwalitas kesadaran. Lintasan aferen ini dapat dinamakan lintasan
sensorik spesifik.
Disamping lintasan sensorik spesifik dikenal juga lintasan sensorik non
spesifik. Setiap impuls yang dihantarkan oleh lintasan sensorik spesifik disalurkan ke
neuron-neuron di subtansia retikularis melalui kolateral lin-tasan sensorik spesifik.
Neuron-neuron substansia retikularis itu menyusun lintasan sensorik non-spesifik,
yang menghantarkan setiap impuls aferen ke seluruh korteks serebri kedua
hemisferium. Sistema asendens ini, yang di-bentuk oleh neuron-neuron substansia
retikularis sepanjang medula spinal is dan batang otak, berakhir di inti intralaminar
talami. Kasus-kasus klinis dan penyelidikan pada binatang percobaan
mengungkapkan bahwa sistema sensorik non-spesifik itu merupakan 'susunan
penggalak kewaspadaan'. Se-cara anatomik lintasan sensorik non-spesifik dinamakan
![Page 4: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/4.jpg)
'diffuse ascending reticular system'. Melalui sistema tersebut, setiap impuls aferen
dari sisi mana pun dihantarkan ke ujung substansia retikularis talami kedua sisi, yakni
ke nukleus intralaminaris talami kedua sisi. Inti tersebut terakhir memancar-kan
aktivitasnya ke seluruh korteks serebri ipsilateral. Maka dari itu, setiap impuls aferen
yang disalurkan melalui 'diffuse ascending reticular system' akan tiba di seluruh
korteks serebri kedua belah sisi.
Dengan adanya dua lintasan sensorik, maka terdapatlah penghantaran aferen
yang pada pokoknya berbeda. Lintasan spesifik (jaras spino-talamikus), lemniskus
medialis, lemniskus lateralis, genikulo-kalkarina) menghantarkan impuls dari satu
titik pada alat reseptor ke satu titik pada korteks perseptif primer. Sebaliknya lintasan
aferen non-spesifik menghantarkan setiap impuls dari titik mana pun pada tubuh ke
titik-titik pada seluruh korteks serebri kedua sisi.
Kalau 'diffuse ascending reticular system' dapat dinamakan 'susunan
penggalak kewaspadaan', maka neuron-neuron korteks serebri kedua sisi yang
berhubungan dengan susunan tersebut, dapat dianggap sebagai 'pengemban
kewaspadaan'.
Penyelidikan mengungkapkan bahwa jumlah impuls yang disalurkan melalui,
'diffuse ascending reticular system' menentukan derajat kewaspadaan.
Jumlah impuls aferen di tingkat sakral adalah kecil dan di tingkat
mesensefalon-talamus adalah terbesar. Penyumbatan pada lintasan 'diffuse ascending
reticular system' pada tingkat diensefalon menimbulkan lenyap-nya kewaspadaan.
PATOLOGI DERAJAT KESADARAN
Sebagai lanjutan uraian tersebut di atas, maka gangguan kewaspadaan dapat
dianggap sebagai gangguan fungsi neuron-neuron kortikal pengemban kewaspadaan.
Menurunnya kewaspadaan berarti menurunnya derajat kesadaran.
Aktivitas neuron-neuron 'pengemban kewaspadaan' tentu saja tergantung pada
keadaan diri sendiri. Dalam keadaan sakit, mereka tidak giat Tetapi, kalau mereka
![Page 5: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/5.jpg)
tidak digiatkan (oleh susunan penggalak kewaspadaan), walaupun dalam keadaan
sehat, mereka tidak aktif.
Berdasarkan uraian di atas, maka lenyapnya kewaspadaan secara menyeluruh,
yakni koma, dapat dianggap sebagai manifestasi gangguan 'susunan penggalak
kewaspadaan' atau sebagai manifestasi gangguan terhadap 'neuron-neuron
pengemban kewaspadaan'.
Maka dari itu di dalam klinik, koma dapat dibedakan dalam:
(1) Koma kortikal bihemisferik
(2) Koma diensefalik.
GAMBARAN PENYAKIT
KOMA KORTIKAL BIHEMISFERIK DAN KOMA DIENSEFALIK
Dalam garis-garis besarnya, koma kortikal bihemisferik dan koma diensefalik
dapat dibedakan dengan mudah.
Bilamana kemunduran kewaspadaan timbul seiring dengan berkembangnya
manifestasi 'organic brain syndrome', maka kemunduran kesadaran yang menjurus ke
koma atau yang sudah menjadi koma, merupakan manifestasi gangguan metabolik
neuron-neuron kortikal kedua hemisferium. Dan koma yang dihadapi ialah koma
kortikal bihemisferik.
Bilamana kemunduran kewaspadaan timbul setelah terjadi trauma kapitis atau
setelah timbulnya defisit neurologik secara berangsur-angsur, maka gangguan
kesadaran yang menjurus ke koma atau yang sudah menjadi koma itu merupakan
manifestasi penyumbatan impuls aferen karena kerusakan di 'diffuse ascending
reticular system'. Dan koma yang dihadapi ialah koma diensefalik.
'Organic brain syndrome' adalah sindroma yang diwarnai oleh banyak segi
psikiatrik, tetapi menunjukkan juga ciri-ciri yang jelas neurologik. Segi psikiatriknya
dapat berupa, 'acute confusional state' atau delirium, dimana penderita dapat
![Page 6: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/6.jpg)
bertingkah laku seperti orang penyakit jiwa dengan halusinasi, perilaku paranoid,
maniakal dan depresif. Segi neurologiknya dapat berupa gangguan fungsi luhur,
dimana ingatan, orientasi dan pengertian sangat terganggu, dan desintegrasi gerakan
voluntar serta serangan epileptik. Gerakan involuntar yang menunjukkan ciri
desintegrasi ialah gerakan tangkas yang memperlihatkan tremor, kehilangan
kecepatan yang lincah dan ketepatan dalam merubah arah gerakan.
Walaupun pada 'organic brain syndrome' dijumpai juga gejala-gejala yang
bersifat neurologik, akan tetapi manifestasi neurologiknya merupakan manifestasi
gangguan bihemisferik, yang berarti bilateral dan tidak menunjukkan ciri-ciri
lateralisasi. Sebaliknya, semua manifestasi neurologik yang mengiringi koma
diensefalik selamanya menunjukkan ciri lateralisasi.
Manifestasi yang jelas menunjuk pada lesi supratentorial dapat berupa
serangan epileptik, 'sakit kepala' dan juga semacam 'organic brain syndrome', yang
lebih terkenal dengan julukan 'frontal lobe syndrome' atau 'temporal lobe syndrome'.
Gejala-gejala psikiatrik yang dapat diperlihatkan penderita dengan tumor di lobus
temporalis ialah 'dreamy state' yang dapat timbul sebagai manifestasi iktal, pre-iktal
dan post-iktal serangan epilepsi lobus temporalis. Sindroma lobus frontalis mencakup
juga gejala-gejala yang tampaknya seperti manifestasi psikiatrik, yaitu gangguan
watak seseorang.
Lesi infratentorial mencirikan dirinya dengan adanya tanda-tanda proses
desak ruang tanpa 'organik brain syndrome'. Manifestasi neurologiknya menunjukkan
ciri lateralisasi. Dari semula sampai pada tahap lanjut, lesi infratentorial
menimbulkan gangguan derajat kesadaran pada seseorang yang sudah menunjukkan
kelumpuhan saraf otak dan defisit lain neurologik secara ipsilateral atau kontralateral.
KOMA KORTIKAL BIHEMISFERIK
Gangguan kehidupan neuron-neuron sehingga tidak berfungsi lagi, dapat
ditinjau secara menyeluruh bilamana struktur dan metabolismanya dipahami.
![Page 7: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/7.jpg)
Neuron merupakan satuan fungsional susunan saraf. Neuron berbeda dalam
struktur, metabolisme dan fungsinya dengan set-sel tubuh lainnya.
Pertama, neuron tidak bermitosis. Ini berarti bahwa struktur neuron sepanjang
masa hidup seseorang harus terpelihara baik secara sinambung. Kedua, neuron
menggunakan untuk metabolismanya hanya O2 dan glukosa saja. Protein, lipid dan
polysaccharide dan lain-lain zat yang diperlukan untuk metabolisma sel tidak dapat
disampaikan kepada neuron-neuron oleh karena penghantaran bahan baku tersebut
terhalang oleh adanya 'Blood brain barrier'.
Dengan O2 dan glukosa saja sebagai sumber bahan metabolisma, neuron dapat
melakukan fungsi sebagai pencetus dan penghantar impuls serta pemelihara diri
sendiri sepanjang masa hidup seseorang. Untuk memberikan kesan betapa besarnya
pemakaian glukosa dan O2. maka angka pemakaian glukosa ialah 5% mg/100 gram
jaringan otak/menit dan angka pumakaian O2 ialah 3.3 cc/100 gram jaringan
otak/menit.
Jumlah glukosa yang digunakan oleh neuron, 35% dipakai untuk proses
oksidasi, 50% dipakai untuk sintesis lipid, protein, polysaccharide dan lain-lain zat
yang membentuk infrastruktur neuron dan 15% dipakai untuk fungsi transmisi.
Kemampuan neuron untuk sintesis berbagai macam zat yang diperlukan untuk
memelihara strukturnya dan melakukan tugasnya, diemban oleh sejumlah besar
susunan enzim. Setiap susunan enzim dapat berfungsi pada kondisi tertentu.
Suhu dan pH lingkungan. konsentrasi enzim, konsentrasi substrat dan
elektrolit menentukan efek buruk/baik fungsi suatu susunan enzim. Jelaslah, bahwa
kehidupan dan fungsi neuron mudah terganggu jika terdapat gangguan peredaran
darah yang menimbulkan iskhemia; jika terdapat gangguan di paru yang
menimbulkan hipoksemia/anoksemia; bilamana terdapat gangguan keseimbangan
elektrolit yang mengacaukan fungsi susunan enzim; bilamana terdapat demam yang
merubah suhu lingkungan kerja enzim; bilamana terdapat toksemia atau intoksikasi
yang menurunkan konsentrasi enzim dan konsentrasi substrat lainnya.
![Page 8: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/8.jpg)
Dengan diganggunya metabolisme neuron, maka infrastruktur dan fungsi
neuron akan lenyap, bilamana tidak ada perubahan yang dapat memperbaiki
metabolisma.
Koma yang bangkit akibat gangguan metabolisma neuron-neuron kortikal
kedua hemisferium, yang merupakan 'pengemban kewaspadaan', dikenal juga sebagai
koma metabolik.
Koma kortikal bihemisferik dalam arti bahwa koma timbul karena neuron-
neuron kortikal kedua hemisferium tidak dapat bekerja, dapat dibedakan dalam dua
kelompok, yaitu kelompok primer dan sekunder.
Metabolisme neural dapat terganggu karena faktor-faktor intrinsik, yang
ditentukan oleh gene, sehingga merupakan "inborn error of metabolism”. Dan
penyakitnya dikenal sebagai ensefalopatia metabolik primer.
Sebagai tandingnya ialah ensefalopatia metabolik sekunder, oleh karena
neuron-neuron kortikal kedua hemisferium berdegenerasi akibat komplikasi
intoksikasi, gangguan keseimbangan elektrolit, defisiensi makanan dan sebagainya.
Dalam praktek, kebanyakan koma kortikal bihemisferik ialah kasus koma
karena ensefalopatia metabolik sekunder. Walaupun demikian, untuk lengkapnya,
maka di bawah ini disediakan daftar dimana kedua faktor etiologik koma kortikal
bihemisferik dicantumkan.
Stupor/koma yang disebabkan oleh gangguan metabolik
Ensefalopatia metabolik primer Ensefalopatia metabolik sekunder
Penyakit:
Jakob Creutzfeldt.
Pick.
Huntington.
Penimbunan lipid.
Schilder.
Marchiafava—Bignami
I. Gangguan metabolisma umum:
a. hipoksia
b. iskhemia
c. hipoglikemia
d. defisiensi kofaktor
II. Penyakit-penyakit di luar otak:
a. penyakit non-endokrin: hepar,
![Page 9: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/9.jpg)
Leukodistrofia ginjal, paru.
b. penyakit endokrin: adenohipofisis
tiroid paratiroid adrenal pankreas
III. Penyakit-penyakit lain: karsinomatosis
porfiria
IV. Toksin eksogen/autotoksin
a. sedativa, 'tranquilliser' dan obat-
obat lain
b. logam berat, cyanide, fosfat.
c. eklampsia
V. Gangguan keseimbangan elektrolit
Mengingat bahwa koma kortikal bihemisferik merupakan komplikasi penyakit
lain, maka gambaran penyakit sebelum koma adalah sesuai dengan penyakit
primernya.
Dalam masa peralihan dari letargia ke stupor dapat dijumpai dua macam
gangguan kesadaran, yaitu apatia atau delirium. Dengan lambat, secara berangsur-
angsur atau secara cepat dan tiba-tiba, keadaan tersebut dapat berkembang menjadi
koma. Jadi, prodroma koma kortikal bihemisferik adalah gambaran 'organic brain
syndrome' dengan penyakit primer yang jelas atau tanpa adanya tanda-tanda yang
menunjuk kepada penyakit primer yang khas.
Observasi klinis yang penting dalam masa peralihan dari menurunnya
kewaspadaan sampai koma ialah observasi jenis pernafasan. Dalam keadaan
demikian orang sakit dapat memperlihatkan pola pernafasan yang spesifik dan 'non-
spesifik'.
Pola pernafasan 'non-spesifik' akibat
gangguan metabolik
![Page 10: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/10.jpg)
Para penderita letargik memperlihatkan apne post-hiperventilasi. Yang sudah
berada dalam stupor atau koma, pada umumnya memperlihatkan pernafasan jenis
Cheyne-Stokes.
Pola pernafasan tersebut di atas adalah pola gangguan pernafasan karena
depresi substansia retikularis batang otak, akibat hipoksia, hipoglikemia dan obat-
obat yang merupakan depresan kimiawi terhadap pusat pernafasan.
Pola pernafasan 'spesifik' akibat gangguan
metabolik
Pernafasan merupakan manifestasi daya ketahanan tubuh, yang pertama
bereaksi jika terdapat goncangan keseimbangan 'asam-basa'. Khemoreseptor di
dinding arteria karotis dan aorta dan juga khemoreseptor yang berada di fosa serebri
posterior di sekitar cairan serebro-spinal langsung memberikan tanggapan terhadap
perubahan ion H atau PCO2 di dalam darah. Pola pernafasan yang bangkit ialah
hiperventilasi atau hipoventilasi.
Hiperventilasi
Hiperventilasi pada orang sakit dalam koma, berarti tanda bahaya yang
mengandung 2 hal, yaitu kompensasi terhadap asidosis metabolik atau suatu
tanggapan paru karena dirangsang (alkalosis respiratorik). Asidosis metabolik dan
alkalosis respiratorik dapat dibedakan dengan penganalisaan pH darah. Pada asidosis
metabolik, pH darah arterial adalah lebih rendah dari 7.30 (jika hiperventilasi
disebabkan oleh asidosis), dengan jumlah bikarbonas serum yang menurun (sampai di
bawah 5 mEq /L). Pada alkalosis respiratorik, pH arterial adalah tinggi (Iebih tinggi
dari 7.45) dengan jumlah bikarbonas yang sedikit berkurang atau normal.
Asidosis metabolik yang cukup serius sehingga membangkitkan koma dan
hiperventilasi disebabkan oleh hanya 4 penyakit penting, yaitu: uremia, diabetes,
asidosis laktik dan keracunan racun yang asam atau yang katabolit-nya bersifat asam.
Alkalosis respiratorik yang berlangsung cukup lama sehingga dapat
membangkitkan koma mempunyai 4 sebab yang penting di antara gangguan-
![Page 11: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/11.jpg)
gangguan yang mengakibatkan timbulnya koma metabolik, yaitu: koma hepatik,
penyakit paru, intoksikasi salicylat dan hiperventilasi psikogenik
Hipoventilasi
Pada orang sakit dalam koma, hipoventilasi berarti pernafasan kompensatorik
bagi alkalosis metabolik atau depresi pusat pernafasan yang dikenal sebagai asidosis
respiratorik. Pada alkalosis metabolik didapat pH yang Iebih dari 7.45 dengan
bikarbonas serum yang lebih tinggi dari 35 mEq/L.
Alkalosis metabolik jarang menimbulkan stupor/koma. Pada penggunaan
alkali atau penghanyutan terlampau banyak asam melalui ginjal dan saluran
pencernaan dapat timbul alkalosis metabolik.
Asidosis respiratorik merupakan keadaan gawat yang diakibatkan oleh
penyakit paru atau penyakit neuromuskulus (sindroma Guillain Barre-Strohl) atau
akibat kegagalan respiratorik karena pusat respirasi tertekan. Hipoventilasi yang
berlangsung lama dapat mengakibatkan timbulnya koma.
Keadaan pupil
Dalam keadaan koma, hanyalah keadaan pupil yang merupakan diagnostikum
banding terpenting yang dapat ditentukan secara klinis antara koma diensefalik dan
koma kortikal bihemisferik (metabolik).
Reaksi pupil terhadap cahaya yang tetap utuh pada seorang dalam koma,
kendatipun pernafasan terganggu, dengan kekakuan deserebrasi dan kelumpuhan
yang bersifat flaksida, senantiasa menunjuk pada koma metabolik.
Pemeriksaan pupil pada semua orang yang berada dalam koma harus sangat
teliti, yakni, sebaiknya diperiksa dengan kaca pembesar di bawah sinar yang terang,
mengingat peranan penelitian ini sebagai diagnostikum banding.
Keadaan bola mata
![Page 12: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/12.jpg)
Pada koma kortikal bihemisferik (metabolik), kedua bola mata bergerak
secara konyugat kian kemari secara lambat dan berhenti sama sekali bila koma sudah
dalam sekali. Sikap bola mata yang bersifat 'deviation conjugee' adalah sikap bola
mata yang khas untuk koma diensefalik. Pada koma kortikal bihemisferik tidak ada
tanda-tanda kelumpuhan okular dan tidak ada 'deviation conjugee'.
Keadaan motorik
Para penderita dengan koma kortikal bihemisferik (metabolik) pada umumnya
memperlihatkan 2 macam kelainan, yaitu: (a) kelainan non-spesifik kekuatan otot,
tonus dan refleks-refleksnya dan (b) kelainan motorik yang adakalanya timbul yang
bersifat spesifik.
Kelainan motorik nonspesifik yang dimaksud itu ialah paratonia atau
'gegenhalten' yaitu spastisitas seolah-olah karena tahanan yang diberikan oleh
penderita secara sengaja. Kemudian tanggapan motorik terhadap ketukan pada bibir
yang dikenal sebagai 'snout reflex' atau mengepal jari dokter yang diletakkan pada
telapak tangan penderita, suatu tanggapan yang dikenal sebagai 'grasp reflex'. Hal-hal
tersebut terakhir dikenal sebagai reaksi yang menandakan adanya demensia.
Kelainan motorik spesifik yang menunjuk pada gangguan metabolisma ialah
tremor, asteriksis dan mioklonus. Tentu saja, manifestasi motorik tersebut dapat
dijumpai sebelum penderita berada dalam koma. Secara anamnestik atau secara fakta
yang diketahui sebelumnya, adanya kelainan motorik spesifik itu sangat indikatif bagi
koma metabolik yang dihadapi.
Tremor yang dijumpai pada kebanyakan gangguan metabolik ialah tremor
kasar yang berfrekwensi 8— 10/detik. Tremor semacam itu timbul sewaktu bergerak,
dan berhenti sewaktu istirahat. Tremor itu terdapat pada jari-jari, lengan, kaki dan
wajah juga.
![Page 13: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/13.jpg)
Asteriksis ialah tremor kasar dimana tangan bergoyang-goyang di persendian
pergelangan tangan yang lebih dikenal sebagai 'flapping tremor'. Tidak saja pada
gangguan hepar, tetapi pada empiema subdural juga dapat dijumpai asteriksis.
Mioklonus yang tidak dapat dibedakan dari 'muscular twitching' kasar dapat
ditemukan di seluruh tubuh. Pada umumnya mioklonus itu bergandengan dengan
adanya uremia dan hipoksia.
KOMA DIENSEFALIK
Pada koma diensefalik, adalah 'susunan sistem kewaspadaan' (='diffuse
ascending reticular system') yang tidak berfungsi karena salah satu gangguan. Dalam
hal ini neuron-neuron kortikal 'pengemban kewaspadaan' tidak mengalami gangguan
apa pun, hanyalah mereka tidak 'aktif’.
Dalam garis-garis besarnya, gangguan pada susunan asendens retikularis difus
dapat timbul karena proses patologik supratentorial atau infra-tentorial.
Lesi supratentorial
Proses desak ruang supratentorial, lama kelamaan mendesak hemisferium ke
arah foramen magnum, yang merupakan satu-satunya jalan keluar untuk suatu proses
desak di dalam ruang tertutup seperti tengkorak itu. Karena itu batang otak bagian
depan (diensefalon) mengalami distorsi dan penekanan.
Saraf-saraf otak mengalami penarikan dan menjadi lumpuh dan substansia
retikularis mengalami gangguan. Oleh karena itu bangkitlah kelumpuhan sarafotak
yang disertai gangguan penurunan derajat kesadaran. Kelumpuhan sarafotak
okulomotorius dan trokhlearis merupakan ciri bagi proses desak ruang supratentorial
yang sedang menurun ke fosa oosterior serebri.
Contoh-contoh proses desak ruang supratentorial yang dapat menghasilkan
penurunan kesadaran sampai koma ialah tumor serebri, abses dan hematoma
![Page 14: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/14.jpg)
intrakranial. Sebelum derajat kesadaran menurun, manifestasi proses patologik
tersebut sudah merupakan sindroma tertentu.
Lesi infratentorial
Infark batang otak bagian rostral sering terjadi pada kontusio serebri berat.
Tumor serebeli atau meningioma serta arakhnoiditis yang menyumbat lintasan likwor
adalah contoh-contoh lain proses patologik infratentorial yang lama kelamaan dapat
menimbulkan koma, karena merusak lintasan 'penggalak kewaspadaan'
PENDEKATAN DAN TINDAKAN PEMERIKSAAN PADA
KOMA DIENSEFALIK
Sebagaimana sudah dinyatakan di muka, koma diensefalik dapat dibedakan
dalam koma supratentorial dan koma infratentorial. Baik anamnesa maupun
manifestasi neurologiknya mengungkapkan perbedaan yang secara klinis umum dapat
dikenal.
Untuk mempermudah uraian, maka di bawah ini diberi daftar sebab-sebab
koma menurut frekwensi yang paling sering sampai yang adakalanya dapat terjadi.
Koma diensefalik
Supratentorial Infratentorial
Ekstra-serebral Intra-serebral Ekstra-medular Intra-medular
Hemoragia epi-
dural
Hematoma sub-
dural
Empiema sub-
Hemoragia
serebri
Hemoragia intra-
ventrikular
Tumor intra-
Ruptur angioma Infark pontin
Ruptur aneuris- Infark mesense-
ma falon
Abses serebeli Infark serebelar
![Page 15: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/15.jpg)
dural serebri Tumor intrapontin
Tumor intra-
mesensefalon
Ditinjau dari sudut etiologi, maka koma diensefalik kebanyakan disebabkan
oleh perdarahan akibat trauma kapitis dan perdarahan akibat lesi vaskuler.
Laju perkembangan kemunduran kewaspadaan yang menjurus ke koma
menunjuk kepada faktor etiologik tertentu. Perdarahan intraserebral atau intramedular
langsung membangkitkan koma. Sebaliknya perdarahan epidural dan subdural
membangkitkan koma secara berangsur-angsur seiring dengan meningkatnya tekanan
intrakranial yang mendesak otak ke arah batang otak.
Tumor intrakranial, baik yang intraserebral maupun yang ekstraserebral atau
yang intramedular dan ekstramedular, kesemuanya menimbulkan manifestasi
neurologik tanpa gangguan kesadaran. Baru pada tahap lanjut, kesadaran dapat
memburuk secara berangsur-angsur atau secara progresif.
Usia penderita dapat dikorelasikan dengan faktor etiologik. Anak-anak dengan
gangguan sarafotak dan serebelum yang pada suatu tahap menunjukkan kemunduran
kewaspadaan, sangat mungkin mempunyai tumor serebeli atau abses otogenik.
Orang-orang dewasa dengan hemiparesis ringan dan kejang-kejang fokal yang dalam
beberapa hari atau minggu menunjukkan kemunduran kewaspadaan sangat mungkin
mempunyai tumor serebri supratentorial. Akan tetapi orang tua lanjut dengan
hemiparesis ringan yang dalam beberapa hari menjadi letargik dan menjurus ke
koma, mungkin mengidap perdarahan subarakhnoidal yang berkomplikasi dengan
spasmus salah satu cabang serebri media.
Segala macam trauma kapitis, baik yang tampaknya ringan maupun yang jelas
berat, yang dalam beberapa jam sampai beberapa hari disusul dengan timbulnya
![Page 16: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/16.jpg)
kemunduran kewaspadaan harus selalu dikorelasikan dengan perdarahan epidural
atau subdural.
Sindroma neurologik
Lesi supratentorial dan infratentorial yang menimbulkan gangguan kesadaran
bermanifestasi sebagai sindroma-sindroma yang khas. Hal ini dapat dimengerti oleh
karena proses desak ruang yang akhirnya menekan 'diffuse ascending reticular
system' pada tingkat diensefalik, sehingga membangkitkan koma, menuruti suatu pola
yang seragam. Dengan demikian dapat dibedakan 2 sindroma lesi supratentorial,
yaitu sindroma sentral pemburukan rostrokaudal dan sindroma herniasi
unkus/sindroma kompresi batang otak lateral.
Sindroma lesi infratentorial yang membangkitkan koma dapat dibedakan
dalam sindroma kompresi 'diffuse ascending reticular system' dan sindroma destruksi
'diffuse ascending reticular system'.
Sindroma lesi supratentorial dengan pemburukan rostro-kaudal
Proses desak ruang supra-tentorial jenis apapun, pertama meluas dari tempat
kedudukannya secara radial ke daerah sekitarnya. Kemudian desakan mengarah ke
fosa serebri posterior secara progresif dan sinambung. Juga, jika herniasi tentorial
atau pendesakan ke bawah menimbulkan kerusakan di batang otak, gangguan
patologik cenderung meluas secara teratur dari rostral ke kaudal, sehingga pada setiap
tahap timbul suatu sindroma yang sesuai dengan lesi transversal menurut tingkat-
tingkat batang otak, yaitu dari mesensefalon, pons sampai medula oblongata.
Sindroma yang mencerminkan pemburukan fungsi bagian sentral diensefalon secara
bertahap dan menuruti urutan rostrokaudal dinamakan sindroma sentral pemburukan
rostro-kaudal. Adapun manifestasinya adalah sebagai berikut.
Tahap diensefalik
![Page 17: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/17.jpg)
(1) Perubahan kewaspadaan dan perilaku: sukar berkonsentrasi, tidak ingat urutan
kejadian sehari-hari, bisa gelisah atau bisa juga menjadi apatik sampai letargik.
(2) Pernafasan sering diseling oleh 'tarikan nafas yang dalam sekali' atau
pernafasan terputus oleh kuapan atau berhenti sekali-sekali. Dalam keadaan
tidur kebanyakan penderita memperlihatkan pernafasan jenis Cheyne-Stokes.
(3) Pupil isokor sempit (berdiameter 1—3 mm) yang masih bereaksi terhadap
cahaya dengan cepat, namun penyempitannya sedikit sekali.
(4) Kedudukan kedua bola mata divergensi, dimana kedua bola mala pelan-pelan
berkelana kian kemari secara konyugat.
(5) Pemutaran kepala menimbulkan gerakan okular konyugat yang mengarah ke
jurusan yang berlawanan dengan arah pemutaran kepala. Tanda ini dikenal
sebagai 'doll's eye movement'.
(6) Pada lesi supra-tentorial yang menimbulkan sindroma sentral pemburukan
rostro-kaudal, biasanya sudah ada hemiparesis sebelum kemunduran
kewaspadaan mulai timbul. Pada tahap diensefalik dini, hemiparesis yang sudah
ada memburuk dan anggota gerak ipsilateral menjadi kaku, tetapi masih dapat
bereaksi pada perangsangan. Refleks patologik Babinski dapat ditimbulkan
pada kedua sisi.
Tahap mesensefalon-pons
(1) Suhu badan mulai naik turun, sehingga episoda hiperpireksia dapat diseling
dengan hipotermia secara bergelombang.
(2) Diabetes insipidus dapat disaksikan.
(3) Pernafasan Cheyne-Stokes secara berangsur-angsur hilang dan diganti oleh
hiperventilasi yang terus menerus.
(4) Pupil yang tadinya sempit mulai melebar sehingga berdiameter 2—3 mm. yang
tidak bereaksi terhadap cahaya.
![Page 18: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/18.jpg)
(5) Gerakan bola mata mulai menunjukkan diskonyugasi. Pada tindakan 'doll's eye',
bola mata yang jatuh ke medial tidak bergerak sejauh bola mata yang jatuh ke
lateral.
(6) Tanggapan motorik bersifat ekstensor, baik pada sisi yang semula sudah
hemiparetik maupun pada sisi lainnya.
Tahap pons-medula oblongata
Hiperventilasi yang dalam dan terus menerus mulai mereda. Tetapi pernafasan
menjadi tidak teratur, dengan episode apnoe dan pernafasan yang dangkal dan cepat
(20—40/menit).
Tahap medula oblongata
(1) Tahap medula oblongata adalah tahap terminal. Pernafasan menjadi lambat, tak-
teratur dan dangkal, sering diseling dengan 'nafas dalam, lalu nafas keluar yang
panjang' seolah-olah hendak menghembuskan nafas terakhir, namun disusul
dengan 'nafas dalam yang terputus-putus'.
(2) Nadi tidak teratur dan lambat atau cepat.
(3) Tekanan darah menurun secara tiba-tiba.
(4) Akhirnya pernafasan berhenti dan tidak lama kemudian pupil melebar. Dengan
pernafasan buatan dan obat presor, tekanan darah dapat dinaikkan untuk
beberapa jam, tetapi kematian sudah tidak dapat dihindarkan.
Sindroma herniasi unkus/kompresi batang otak lateral
Proses desak ruang supra-tentorial yang berkedudukan di fosa serebri media
bagian lateral atau di lobus temporalis, biasanya mendesak tepi bawah bagian mesial
unkus dan girus hipokampus ke arah garis tengah batang otak dan juga ke tepi lateral
![Page 19: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/19.jpg)
tentorium. Akibatnya ialah penekanan pada batang otak dan mendesak samping
batang otak kontralateral ke arah tepi bebas daun tentorium. Karena itu N. III dan
arteria serebri posterior sisi proses desak ruang terjepit antara unkus yang sudah
bengkak itu dan tepi bebas daun tentorium.
Dalam keadaan terlukis di atas, fungsi diensefalon belum terganggu maka
manifestasi tahap dini herniasi unkus bukan kemunduran kewaspadaan, tetapi
manifestasi kelumpuhan nervus okulomotorius. Tahap-tahap sindroma herniasi unkus
dijuluki tahap dini dan lanjut nervus okulomotorius.
Tahap dini nervus oklumotorius
Anisokoria sedang dengan reaksi cahaya lambat pada pupil yang melebar.
Tanda ini dapat merupakan manifestasi satu-satunya pada tahap dini herniasi unkus.
Tahap lanjut nervus okulomotorius
(1) Anisokoria dengan pupil yang melebar pada sisi lesi.
(2) Paralisis N.III ipsilateral (baik internal maupun eksternal).
(3) Stupor atau koma.
(4) Sebelum atau sewaktu orang sakit menjurus ke stupor, hemiparesis ipsilateral
dapat ditemukan, sebagai akibat penekanan pedunkulus serebri sisi kontralateral
karena lesi desak ruang.
(5) Tidak lama kemudian kedua sisi tubuh bereaksi dengan gerakan ekstertsor pada
perangsangan.
Tahap terminal herniasi unkus
Manifestasi terminal karena herniasi unkus adalah sama dengan tahap
terminal sindroma sentral pemburukan rostro-kaudal
Sindroma lesi infratentorial dengan kompresi
'diffuse ascending reticular system'
![Page 20: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/20.jpg)
Lesi di fosa posterior serebri yang terletak di luar batang otak dapat
menimbulkan koma dengan 3 jalan: (1) penekanan langsung pada tegmentum pons,
(2) herniasi ke atas, dimana serebelum mendesak medio-rostral, sehingga
mensensefalon tertekan dan (3) herniasi ke bawah sehingga medula oblongata
mengalami penekanan. Manifestasi ketiga macam kompresi tersebut di atas tidak
selamanya dapat dibeda-bedakan secara tersendiri. Biasanya manifestasi ketiga jenis
kompresi berbauran, oleh karena mekanismenya berjalan serempak. Gambaran
gabungan ketiga jenis kompresi batang otak ialah sebagai berikut:
(1) Muntah-muntah.
(2) Kelumpuhan beberapa sarafotak.
(3) 'Deviation conjugee' ke bawah mulai berkembang, yang berarti bahwa kedua
bola mata tidak dapat digerakkan ke atas.
(4) Pupil sempit dan tidak bereaksi terhadap cahaya.
(5) Proptosis dapat timbul jika vena Galeni tersumbat.
(6) Kesadaran menurun yang menjurus ke koma
(7) Hiperventilasi.
Sindroma lesi infratentorial dengan destruksi
'diffuse ascending reticular system'
Destruksi 'diffuse ascending reticular system' langsung menimbulkan koma.
Koma ini diiringi tanda-tanda pola respirasi, pupil, gerakan yang khas, Tergantung
pada luas daerah yang terusak, maka tanda-tanda di bawah ini dapat dijumpai:
(1) Paralisis N.III atau oftalmoplegia internuklearis, yang terdiri dari gejala-
gejala:
(a) Paralisis salah satu atau kedua otot rektus internus.
(b) Gerakan konvergensi masih dapat dilakukan oleh kedua otot rektus
internus (jika orangsakit masih dapat melaksanakan perintah).
(c) Nistagmus terlihat pada mata yang berdeviasi ke samping.
(d) Kedudukan bola mata tidak sama tingginya.
![Page 21: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/21.jpg)
(2) Hemiparesis alternans atau tetraplegia.
(3) Hiperventilasi (lesi di tingkat pons-medula oblongata) atau pernafasan yang
tidak teratur, diseling dengan apne, nafas dangkal terputus-terputus (tahap
medula oblongata).
PENATALAKSANAAN
Prinsip pengobatan kesadaran dilakukan dengan cepat, tepat dan akurat,
pengobatan dilakukan bersamaan dalam saat pemeriksaan. Pengobatan meliputi dua
komponen utama yaitu umum dan khusus.
1. Umum
Tidurkan pasien dengan posisi lateral dekubitus dengan leher sedikit ekstensi
bila tidak ada kontraindikasi seperti fraktur servikal dan tekanan intrakranial
yang meningkat.
Posisi Trendelenburg baik sekali untuk mengeluarkan cairan trakeobronkhial,
pastikan jalan nafas lapang, keluarkan gigi palsu jika ada, lakukan suction di
daerah nasofaring jika diduga ada cairan.
Lakukan imobilisasi jika diduga ada trauma servikal, pasang infus sesuai
dengan kebutuhan bersamaan dengan sampel darah.
Pasang monitor jantung jika tersedia bersamaan dengan melakukan EKG
Pasang nasogastric tube, keluarkan isi cairan lambung untuk mencegah
aspirasi, lakukan bilas lambung jika diduga ada intoksikasi. Berikan thiamin
100 mg iv, berikan dekstrosan 100 mg/kgbb. Jika dicurigai adanya overdosis
opium/ morfin berikan nalokson 0,01 mg/kgbb setiap 5-10 menit sampai
kesadaran pulih (maksimal 2 mg).
2. Khusus
Pada herniasi:
Pasang ventilator lakukan hiperventilasi dengan target PCO2 : 25-30 mmHg.
Berikan manitol 20 %.dengan dosis 1 - 2 gr /kg bb atau 100 gr iv. selama 10-
20 menit kemudian dilanjutkan 0,25 - 0,5 gr/kg bb atau 25 gr setiap 6 jam
![Page 22: koma-edit](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022020101/5571fb874979599169951d9e/html5/thumbnails/22.jpg)
Edema serebri karena tumor atau abses dapat diberikan deksametason 10 mg
iv lanjutkan 4-6 mg setiap 6 jam
Jika pada CT scan kepala ditemukan adanya CT yang operabel seperti
epidural hematom, konsul bedah saraf untuk operasi dekompresi.
Pengobatan khusus tanpa herniasi:
Ulang pemeriksaan neurologi yang lebih teliti.
Jika pada CT scan tak ditemukan kelainan, lanjutkan dengan pemeriksaan
pungsi lumbal. Jika LP positif adanya infeksi berikan antibiotik yang sesuai.
Jika LP positif adanya perdarahan terapi sesuai dengan pengobatan
subarachnoid hemorragic.
DAFTAR PUSTAKA
Chusid, J. Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional, bagian satu, Gadjah
Mada University press, 1983, 715 – 29
Harris. S, Penatalaksanaan pada Kesadaran Menurun, updates in Neuroemergencies,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, 1 – 7
Lumbantobing. S.M, Neurologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
1998, 8 – 9
Mardjono. M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta. 2000, 192 – 200
Sidharta. P, Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, Dian Rakyat, Jakarta, 1999, 495
– 516