klasifikasi konjunctivitis alergi
DESCRIPTION
klasifikasi konjunctivitis alergiTRANSCRIPT
2.7. Klasifikasi konjungtivitis alergi
Konjungtivitis alergi merupakan reaksi antibody humoral yang dimediasi oleh
IgE terhadap alergen, biasanya terjadi pada individu dengan riwayat atopi. Semua
gejala pada konjungtiva akibat dari konjungtiva bersifat rentan terhadap benda asing.
Terdapat beberapa jenis konjungtivitis yakni :
a. Rhinokonjungtivitis alergi
Rhinokonjungtivitis alergi musiman (Hayfever)
Alergi Perennial
Konjungtiva adalah permukaan mukosa yang sama dengan mukosa nasal.
Oleh karena itu, allergen yang bisa mencetuskan rhinitis allergi juga dapat
menyebabkan konjuntivitis alergi. Alergen airborne seperti serbuk sari, rumput, bulu
hewan dan lain-lain dapat memprovokasi terjadinya gejala pada serangan akut
konjuntivitis alergi.
Perbedaan konjungtivitis alergi sesonal dan perennial adalah waktu
timbulnya gejala. Gejala pada individu dengan konjungtivitis alergi seasonal timbul
pada waktu tertentu seperti pada musim bunga di mana serbuk sari merupakan
allergen utama. Pada musim panas, allergen yang dominan adalah rumput dan pada
musim dingin tidak ada gejala karena menurunnya tranmisi allergen airborne.
Sedangkan individu dengan konjungtivitis alergi perennial akan menunjukkan gejala
sepanjang tahun. Alergen utama yang berperan adalah debu rumah, asap rokok, dan
bulu hewan.
Gambaran patologi pada konjunktivitis hay fever berupa:
1) respon vascular di mana terjadi vasodilatasi dan meningkatnya
permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan terjadinya eksudasi.
2) respon seluler berupa infiltrasi konjungtiva dan eksudasi eosinofil, sel
plasma dan mediator lain.
3) respon konjungtiva berupa pembengkakan konjungtiva, diikuti dengan
meningkatnya pembentukan jaringan ikat.5
b. Keratokonjunctivitis Vernalis
Konjungtivitis vernal adalah peradangan konjungtiva bilateral dan berulang
(recurrence) yang khas, dan merupakan suatu reaksi alergi. Penyakit ini juga
dikenal sebagai “konjungtivitis musiman” atau “konjungtivitis musim kemarau”.
Sering terdapat pada musim panas di negeri dengan empat musim, atau sepanjang
tahun di negeri tropis (panas).1,2
Etiologi dan Predisposisi
Konjungtivitis vernal terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe I yang
mengenai kedua mata, sering terjadi pada orang dengan riwayat keluarga yang kuat
alergi.1,2,7
Mengenai pasien usia muda 3-25 tahun dan kedua jenis kelamin sama.
Biasanya pada laki-laki mulai pada usia dibawah 10 tahun. Penderita konjungtivitis
vernal sering menunjukkan gejala-gejala alergi terhadap tepung sari rumput-
rumputan.1
Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:
Tipe I : Reaksi Anafilaksi
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal
ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya
histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.
Tipe II : reaksi sitotoksik
Di sini antigen terikat pada sel sasaran. Antibodi dalam hal ini IgE dan IgM
dengan adanya komplemen akan diberikan dengan antigen, sehingga dapat
mengakibatkan hancurnya sel tersebut. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat
menurut Smolin (1986), reaksi allografi dan ulkus Mooren merupakan reaksi jenis
ini.
Tipe III : reaksi imun kompleks
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk
kompleks imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat
menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi
pada pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa keratitis
herpes simpleks, keratitis karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi
demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks.
Tipe IV : Reaksi tipe lambat
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi
(imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau
dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi
dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada
reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis Herpes
simpleks dan keratitis diskiformis.
Manifestasi Klinis
Gejala yang mendasar adalah rasa gatal, manifestasi lain yang menyertai
meliputi mata berair, sensitif pada cahaya, rasa pedih terbakar, dan perasaan seolah
ada benda asing yang masuk. Penyakit ini cukup menyusahkan, muncul berulang,
dan sangat membebani aktivitas penderita sehingga menyebabkan ia tidak dapat
beraktivitas normal.1,2,7
Terdapat dua bentuk klinik, yaitu :
Bentuk palpebra, terutama mengenai konjungtiva tarsal superior. Terdapat
pertumbuhan papil yang besar (cobble stone) yang diliputi sekret yang mukoid.
Konjungtiva tarsal bawah hiperemi dan edema, dengan kelainan kornea lebih berat
dibanding bentuk limbal. Secara klinik papil besar ini tampak sebagai tonjolan
bersegi banyak (polygonal) dengan permukaan yang rata dan dengan kapiler
ditengahnya.1,2
Gambar 2. Konjungtivitis vernal bentuk palpebral
Bentuk limbal, hipertrofi papil pada limbus superior yang dapat membentuk
jaringan hiperplastik gelatin (nodul mukoid), dengan Trantas dot yang merupakan
degenerasi epitel kornea atau eosinofil di bagian epitel limbus kornea,
terbentuknya pannus, dengan sedikit eosinofil.1,2
Gambar 3. Konjungtivitis vernal bentuk limbal
Patofisiologi
Pada bentuk palpebral, perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya
dengan timbulnya radang insterstitial yang banyak didominasi oleh reaksi
hipersensitivitas tipe I. Pada konjungtiva akan dijumpai hiperemia dan vasodilatasi
difus, yang dengan cepat akan diikuti dengan hiperplasi akibat proliferasi jaringan
yang menghasilkan pembentukan jaringan ikat yang tidak terkendali. Kondisi ini
akan diikuti oleh hyalinisasi dan menimbulkan deposit pada konjungtiva sehingga
terbentuklah gambaran cobbles tone. Jaringan ikat yang berlebihan ini akan
memberikan warna putih susu kebiruan sehingga konjungtiva tampak buram dan
tidak berkilau. Proliferasi yang spesifik pada konjungtiva tarsal, oleh von Graefe
disebut pavement like granulations. Hipertrofi papil pada konjungtiva tarsal tidak
jarang mengakibatkan ptosis mekanik dan dalam kasus yang berat akan disertai
keratitis serta erosi epitel kornea.
Pada bentuk limbal terdapat perubahan yang sama, yaitu:
perkembangbiakan jaringan ikat, peningkatan jumlah kolagen, dan infiltrasi sel
plasma, limfosit, eosinofil dan basofil ke dalam stroma. Limbus konjungtiva juga
memperlihatkan perubahan akibat vasodilatasi dan hipertropi yang menghasilkan
lesi fokal. Penggunaan jaringan yang dilapisi plastik yang ditampilkan melalui
mikroskopi cahaya dan elektron dapat memungkinkan beberapa observasi
tambahan. Basofil sebagai ciri tetap dari penyakit ini, tampak dalam jaringan epitel
sebagaimana juga pada substansi propria. Walaupun sebagian besar sel merupakan
komponen normal dari substansi propia, namun tidak terdapat jaringan epitel
konjungtiva normal.
Walaupun karakteristik klinis dan patologi konjungtivitis vernal telah
digambarkan secara luas, namun patogenesis spesifik masih belum dikenali.2,5
Gambaran Histopatologik
Tahap awal konjungtivitis vernalis ditandai oleh fase prehipertrofi. Dala
m kaitan ini, akan tampak pembentukan neovaskularisasi dan pembentukan papil
yang ditutup oleh satu lapis sel epitel dengan degenerasi mukoid dalam kripta di
antara papil serta pseudomembran milky white. Pembentukan papil ini berhubungan
dengan infiltrasi stroma oleh sel-sel PMN, eosinofil, basofil, dan sel mast.Hasil
penelitian histopatologik terhadap 675 konjungtivitis vernalis mata yang dilakukan
oleh Wang dan Yang menunjukkan infiltrasi limfosit dan sel plasma pada
konjungtiva. Prolifertasi limfosit akan membentuk beberapa nodul limfoid. Sementara
itu, beberapa granula eosinofilik dilepaskan dari sel eosinofil, menghasilkan bahan
sitotoksik yang berperan dalam kekambuhan konjungtivitis.
Dalam penelitian tersebut juga ditemukan adanya reaksi
hipersensitivitas. Tidak hanya di konjungtiva bulbi dan tarsal, tetapi juga di fornix,
serta pada beberapa kasus melibatkan reaksi radang pada iris dan badan siliar. Fase
vaskular dan selular dini akan segera diikuti dengan deposisi kolagen, hialuronidase,
peningkatan vaskularisasi yang lebih mencolok, serta reduksi sel radang secara
keseluruhan. Deposisi kolagen dan substansi dasar maupun seluler mengakibatkan
terbentuknya deposit stone yang terlihat secara nyata pada pemeriksaanklinis.
Hiperplasia jaringan ikat meluas ke atas membentuk giant papil bertangkai dengan
dasar perlekatan yang luas. Kolagen maupun pembuluh darah akan mengalami
hialinisasi. Epiteliumnya berproliferasi menjadi 5–10 lapis sel epitel yang edematous
dan tidak beraturan. Seiring dengan bertambah besarnya papil, lapisan epitel akan
mengalami atrofi di apeks sampai hanya tinggal satu lapis sel yang kemudian akan
mengalami keratinisasi.1,2,5
Pada limbus juga terjadi transformasi patologik yang sama berupa
pertumbuhan epitel yang hebat meluas, bahkan dapat terbentuk 30-40 lapis sel
(acanthosis). Horner-Trantas dot’s yang terdapat di daerah ini sebagian besar terdiri
atas eosinofil, debris selular yang terdeskuamasi, namun masih ada sel PMN dan
limfosit.
Gambar 4. Histologi Konjungtivitis Vernal Terlihat Banyak Sel Radang Terutama
Eosinofil
Pemeriksaan Penunjang
Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat banyak
eosinofil dan granula eosinofilik bebas. Pada pemeriksaan darah ditemukan
eosinofilia dan peningkatan kadar serum IgE.
Pada konjungtivitis vernal, terdapat sebagian besar sel yang secara rutin
tampak dalam jaringan epitel. Pengawetan yang lebih baik adalah menggunakan
glutaraldehyde, lapisan plastik, dan ditampilkan pada media sehingga dapat
memungkinkan untuk menghitung jumlah sel ukuran 1 berdasarkan jenis dan
lokasinya. Jumlah rata-rata sel per kubik milimeter tidak melampaui jumlah
normal. Diperkirakan bahwa peradangan sel secara maksimum seringkali berada
dalam kondisi konjungtiva normal. Jadi, untuk mengakomodasi lebih banyak sel
dalam proses peradangan konjungtivitis vernal, maka jaringan akan membesar
dengan cara peningkatan jumlah kolagen dan pembuluh darah.
Jaringan tarsal atas yang abnormal ditemukan dari empat pasien
konjungtivitis vernal yang terkontaminasi dengan zat imun, yaitu: dua dari empat
pasien mengandung spesimen IgA-, IgG-, dan IgE- secara berlebih yang akhirnya
membentuk sel plasma. Sel-sel tersebut tidak ditemukan pada konjungtiva normal
dari dua pasien lainnya.
Kandungan IgE pada air mata yang diambil dari sampel serum 11 pasien
konjungtivitis vernal dan 10 subjek kontrol telah menemukan bahwa terdapat
korelasi yang signifikan antara air mata dengan level kandungan serum pada kedua
mata. Kandungan IgE pada air mata diperkirakan muncul dari serum kedua mata,
kandungan IgE dalam serum (1031ng/ml) dan pada air mata (130ng/ml) dari pasien
konjungtivitis vernal melebihi kandungan IgE dalam serum (201ng/ml) dan pada
air mata (61ng/ml) dari orang normal. Butiran antibodi IgE secara spesifik
ditemukan pada air mata lebih banyak daripada butiran antibodi pada serum. Selain
itu, terdapat 18 dari 30 pasien yang memiliki level antibodi IgG yang signifikan
yang menjadi butiran pada air matanya. Orang normal tidak memiliki jenis
antibodi ini pada air matanya maupun serumnya. Hasil pengamatan ini
menyimpulkan bahwa baik IgE- dan IgG- akan menjadi perantara mekanisme imun
yang terlibat dalam patogenesis konjungtivitis vernal, dimana sistesis lokal
antibodi terjadi pada jaringan permukaan mata. Kondisi ini ditemukan negatif pada
orang-orang yang memiliki alergi udara, tetapi pada penderita konjungtivitis vernal
lebih banyak berhubungan dengan antibodi IgG dan mekanisme lainnya daripada
antibodi IgE.
Kandungan histamin pada air mata dari sembilan pasien konjungtivitis
vernal (38ng/ml) secara signifikan lebih tinggi daripada kandungan histamin air
mata pada 13 orang normal (10ng/ml, P<0.05). Hal ini sejalan dengan pengamatan
menggunakan mikroskopi elektron yang diperkirakan menemukan tujuh kali lipat
lebih banyak sel mastosit dalam substantia propia daripada dengan pengamatan
yang menggunakan mikroskopi cahaya. Sejumlah besar sel mastosit ini terdapat
pada air mata dengan level histamin yang lebih tinggi.
Kikisan konjungtiva pada daerah-daerah yang terinfeksi menunjukkan
adanya banyak eosinofil dan butiran eosinofilik. Ditemukan lebih dari dua
eosinofil tiap pembesaran 25x dengan sifat khas penyakit (pathognomonic)
konjungtivitis vernal. Tidak ditemukan adanya akumulasi eosinofil pada daerah
permukaan lain pada level ini.5,7
c. Delayed Hypersensitivity reaction : Keratokonjungtivitis flikten
Konjungtivitis flikten disebabkan oleh karena alergi (hipersensitivitas tipe IV)
terhadap bakteri atau antigen tertentu, seperti tuberkuloprotein pada penyakit
tuberkolosis, infeksi bakteri (stafilokok, pneumokok, streptokok, dan Koch Weeks),
virus (herpes simplek), toksin dari moluskum kontagiosum yang terdapat pada margo
palpebra, jamur (kandida albikan), cacing (askaris, tripanosomiasis), limfogranuloma
venereal, leismaniasis, infeksi parasit dan infeksi di tempat lain dalam tubuh.
Konjungtivitis flikten biassanya dimulai dengan munculnya lesi kecil berdiameter 1-3
mm yang keras, merah, menimbul dan dikelilingi zona hiperemis. Di limbus sering
berbentuk segitiga dengan apeks mengarah kornea.1,2
d. Keratokonjungtivitis Atopi
Konjungtivitis atopi sering diderita oleh pasien dermatitis atopi. Tanda dan
gejalanya berupa sensasi terbakar, kotoran mata berlendir, merah dan fotofobia.
Terdapat papil halus tetapi papil raksasa tidak ditemukan seperti pada konjungtivitis
vernal. Kerokan konjungtiva menampakan eosinofil meski tidak sebanyak terlihat
pada keratokonjungtivitis vernal.1
e. Giant papillary conjunctivitis
Giant papilary konjungtivitis dengan tanda dan gejala mirip dengan
konjungtivitis vernal dapat timbul pada pasien yang menggunakan mata buatan dari
plastik atau lensa kontak terutama jika memakainya melewati waktunya.
Konjungtivitis Giant Papillarry diperantarai reaksi imun yang mengenai konjungtiva
tarsalis superior. Konjungtivitis ini mungkin merupakan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat kaya basofil dan mungkin dimediasi oleh IgE. Keluhan berupa mata gatal dan
berair. Pada pemeriksaan fisik ditemukan hipertrofi papil. Pada awal penyakit,
papilnya kecil (sekitar 0,3 mm diameter). Bila iritasi terus berlangsung, papil kecil
akan menjadi besar ( giant) yaitu sekitar 1 mm diameter.1