klasifikasi konjunctivitis alergi

13
2.7. Klasifikasi konjungtivitis alergi Konjungtivitis alergi merupakan reaksi antibody humoral yang dimediasi oleh IgE terhadap alergen, biasanya terjadi pada individu dengan riwayat atopi. Semua gejala pada konjungtiva akibat dari konjungtiva bersifat rentan terhadap benda asing. Terdapat beberapa jenis konjungtivitis yakni : a. Rhinokonjungtivitis alergi Rhinokonjungtivitis alergi musiman (Hayfever) Alergi Perennial Konjungtiva adalah permukaan mukosa yang sama dengan mukosa nasal. Oleh karena itu, allergen yang bisa mencetuskan rhinitis allergi juga dapat menyebabkan konjuntivitis alergi. Alergen airborne seperti serbuk sari, rumput, bulu hewan dan lain-lain dapat memprovokasi terjadinya gejala pada serangan akut konjuntivitis alergi. Perbedaan konjungtivitis alergi sesonal dan perennial adalah waktu timbulnya gejala. Gejala pada individu dengan konjungtivitis alergi seasonal timbul pada waktu tertentu seperti pada musim bunga di mana serbuk sari merupakan allergen utama. Pada musim panas, allergen yang dominan adalah rumput dan pada musim dingin tidak ada gejala karena menurunnya tranmisi allergen airborne. Sedangkan individu dengan konjungtivitis alergi perennial akan menunjukkan gejala sepanjang tahun.

Upload: yanuar-yudha-sudrajat

Post on 19-Jan-2016

32 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

klasifikasi konjunctivitis alergi

TRANSCRIPT

Page 1: klasifikasi konjunctivitis alergi

2.7. Klasifikasi konjungtivitis alergi

Konjungtivitis alergi merupakan reaksi antibody humoral yang dimediasi oleh

IgE terhadap alergen, biasanya terjadi pada individu dengan riwayat atopi. Semua

gejala pada konjungtiva akibat dari konjungtiva bersifat rentan terhadap benda asing.

Terdapat beberapa jenis konjungtivitis yakni :

a. Rhinokonjungtivitis alergi

Rhinokonjungtivitis alergi musiman (Hayfever)

Alergi Perennial

Konjungtiva adalah permukaan mukosa yang sama dengan mukosa nasal.

Oleh karena itu, allergen yang bisa mencetuskan rhinitis allergi juga dapat

menyebabkan konjuntivitis alergi. Alergen airborne seperti serbuk sari, rumput, bulu

hewan dan lain-lain dapat memprovokasi terjadinya gejala pada serangan akut

konjuntivitis alergi.

Perbedaan konjungtivitis alergi sesonal dan perennial adalah waktu

timbulnya gejala. Gejala pada individu dengan konjungtivitis alergi seasonal timbul

pada waktu tertentu seperti pada musim bunga di mana serbuk sari merupakan

allergen utama. Pada musim panas, allergen yang dominan adalah rumput dan pada

musim dingin tidak ada gejala karena menurunnya tranmisi allergen airborne.

Sedangkan individu dengan konjungtivitis alergi perennial akan menunjukkan gejala

sepanjang tahun. Alergen utama yang berperan adalah debu rumah, asap rokok, dan

bulu hewan.

Gambaran patologi pada konjunktivitis hay fever berupa:

1) respon vascular di mana terjadi vasodilatasi dan meningkatnya

permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan terjadinya eksudasi.

2) respon seluler berupa infiltrasi konjungtiva dan eksudasi eosinofil, sel

plasma dan mediator lain.

3) respon konjungtiva berupa pembengkakan konjungtiva, diikuti dengan

meningkatnya pembentukan jaringan ikat.5

b. Keratokonjunctivitis Vernalis

Konjungtivitis vernal adalah peradangan konjungtiva bilateral dan berulang

(recurrence) yang khas, dan merupakan suatu reaksi alergi. Penyakit ini juga

Page 2: klasifikasi konjunctivitis alergi

dikenal sebagai “konjungtivitis musiman” atau “konjungtivitis musim kemarau”.

Sering terdapat pada musim panas di negeri dengan empat musim, atau sepanjang

tahun di negeri tropis (panas).1,2

Etiologi dan Predisposisi

Konjungtivitis vernal terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe I yang

mengenai kedua mata, sering terjadi pada orang dengan riwayat keluarga yang kuat

alergi.1,2,7

Mengenai pasien usia muda 3-25 tahun dan kedua jenis kelamin sama.

Biasanya pada laki-laki mulai pada usia dibawah 10 tahun. Penderita konjungtivitis

vernal sering menunjukkan gejala-gejala alergi terhadap tepung sari rumput-

rumputan.1

Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:

Tipe I : Reaksi Anafilaksi

Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal

ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya

histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.

Tipe II : reaksi sitotoksik

Di sini antigen terikat pada sel sasaran. Antibodi dalam hal ini IgE dan IgM

dengan adanya komplemen akan diberikan dengan antigen, sehingga dapat

mengakibatkan hancurnya sel tersebut. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat

menurut Smolin (1986), reaksi allografi dan ulkus Mooren merupakan reaksi jenis

ini.

Tipe III : reaksi imun kompleks

Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk

kompleks imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat

menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi

pada pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa keratitis

herpes simpleks, keratitis karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi

demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks.

Tipe IV : Reaksi tipe lambat

Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi

(imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau

dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi

Page 3: klasifikasi konjunctivitis alergi

dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada

reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis Herpes

simpleks dan keratitis diskiformis.

Manifestasi Klinis

Gejala yang mendasar adalah rasa gatal, manifestasi lain yang menyertai

meliputi mata berair, sensitif pada cahaya, rasa pedih terbakar, dan perasaan seolah

ada benda asing yang masuk. Penyakit ini cukup menyusahkan, muncul berulang,

dan sangat membebani aktivitas penderita sehingga menyebabkan ia tidak dapat

beraktivitas normal.1,2,7

Terdapat dua bentuk klinik, yaitu :

Bentuk palpebra, terutama mengenai konjungtiva tarsal superior. Terdapat

pertumbuhan papil yang besar (cobble stone) yang diliputi sekret yang mukoid.

Konjungtiva tarsal bawah hiperemi dan edema, dengan kelainan kornea lebih berat

dibanding bentuk limbal. Secara klinik papil besar ini tampak sebagai tonjolan

bersegi banyak (polygonal) dengan permukaan yang rata dan dengan kapiler

ditengahnya.1,2

Gambar 2. Konjungtivitis vernal bentuk palpebral

Bentuk limbal, hipertrofi papil pada limbus superior yang dapat membentuk

jaringan hiperplastik gelatin (nodul mukoid), dengan Trantas dot yang merupakan

degenerasi epitel kornea atau eosinofil di bagian epitel limbus kornea,

terbentuknya pannus, dengan sedikit eosinofil.1,2

Page 4: klasifikasi konjunctivitis alergi

Gambar 3. Konjungtivitis vernal bentuk limbal

Patofisiologi

Pada bentuk palpebral, perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya

dengan timbulnya radang insterstitial yang banyak didominasi oleh reaksi

hipersensitivitas tipe I. Pada konjungtiva akan dijumpai hiperemia dan vasodilatasi

difus, yang dengan cepat akan diikuti dengan hiperplasi akibat proliferasi jaringan

yang menghasilkan pembentukan jaringan ikat yang tidak terkendali. Kondisi ini

akan diikuti oleh hyalinisasi dan menimbulkan deposit pada konjungtiva sehingga

terbentuklah gambaran cobbles tone. Jaringan ikat yang berlebihan ini akan

memberikan warna putih susu kebiruan sehingga konjungtiva tampak buram dan

tidak berkilau. Proliferasi yang spesifik pada konjungtiva tarsal, oleh von Graefe

disebut pavement like granulations. Hipertrofi papil pada konjungtiva tarsal tidak

jarang mengakibatkan ptosis mekanik dan dalam kasus yang berat akan disertai

keratitis serta erosi epitel kornea.

Pada bentuk limbal terdapat perubahan yang sama, yaitu:

perkembangbiakan jaringan ikat, peningkatan jumlah kolagen, dan infiltrasi sel

plasma, limfosit, eosinofil dan basofil ke dalam stroma. Limbus konjungtiva juga

memperlihatkan perubahan akibat vasodilatasi dan hipertropi yang menghasilkan

lesi fokal. Penggunaan jaringan yang dilapisi plastik yang ditampilkan melalui

mikroskopi cahaya dan elektron dapat memungkinkan beberapa observasi

tambahan. Basofil sebagai ciri tetap dari penyakit ini, tampak dalam jaringan epitel

sebagaimana juga pada substansi propria. Walaupun sebagian besar sel merupakan

Page 5: klasifikasi konjunctivitis alergi

komponen normal dari substansi propia, namun tidak terdapat jaringan epitel

konjungtiva normal.

Walaupun karakteristik klinis dan patologi konjungtivitis vernal telah

digambarkan secara luas, namun patogenesis spesifik masih belum dikenali.2,5

Gambaran Histopatologik

Tahap awal konjungtivitis vernalis ditandai oleh fase prehipertrofi. Dala

m kaitan ini, akan tampak pembentukan neovaskularisasi dan pembentukan papil

yang ditutup oleh satu lapis sel epitel dengan degenerasi mukoid dalam kripta di

antara papil serta pseudomembran milky white. Pembentukan papil ini berhubungan

dengan infiltrasi stroma oleh sel-sel PMN, eosinofil, basofil, dan sel mast.Hasil

penelitian histopatologik terhadap 675 konjungtivitis vernalis mata yang dilakukan

oleh Wang dan Yang menunjukkan infiltrasi limfosit dan sel plasma pada

konjungtiva. Prolifertasi limfosit akan membentuk beberapa nodul limfoid. Sementara

itu, beberapa granula eosinofilik dilepaskan dari sel eosinofil, menghasilkan bahan

sitotoksik yang berperan dalam kekambuhan konjungtivitis.

Dalam penelitian tersebut juga ditemukan adanya reaksi

hipersensitivitas. Tidak hanya di konjungtiva bulbi dan tarsal, tetapi juga di fornix,

serta pada beberapa kasus melibatkan reaksi radang pada iris dan badan siliar. Fase

vaskular dan selular dini akan segera diikuti dengan deposisi kolagen, hialuronidase,

peningkatan vaskularisasi yang lebih mencolok, serta reduksi sel radang secara

keseluruhan. Deposisi kolagen dan substansi dasar maupun seluler mengakibatkan

terbentuknya deposit stone yang terlihat secara nyata pada pemeriksaanklinis.

Hiperplasia jaringan ikat meluas ke atas membentuk giant papil bertangkai dengan

dasar perlekatan yang luas. Kolagen maupun pembuluh darah akan mengalami

hialinisasi. Epiteliumnya berproliferasi menjadi 5–10 lapis sel epitel yang edematous

dan tidak beraturan. Seiring dengan bertambah besarnya papil, lapisan epitel akan

mengalami atrofi di apeks sampai hanya tinggal satu lapis sel yang kemudian akan

mengalami keratinisasi.1,2,5

Pada limbus juga terjadi transformasi patologik yang sama berupa

pertumbuhan epitel yang hebat meluas, bahkan dapat terbentuk 30-40 lapis sel

(acanthosis). Horner-Trantas dot’s yang terdapat di daerah ini sebagian besar terdiri

Page 6: klasifikasi konjunctivitis alergi

atas eosinofil, debris selular yang terdeskuamasi, namun masih ada sel PMN dan

limfosit.

Gambar 4. Histologi Konjungtivitis Vernal Terlihat Banyak Sel Radang Terutama

Eosinofil

Pemeriksaan Penunjang

Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat banyak

eosinofil dan granula eosinofilik bebas. Pada pemeriksaan darah ditemukan

eosinofilia dan peningkatan kadar serum IgE.

Pada konjungtivitis vernal, terdapat sebagian besar sel yang secara rutin

tampak dalam jaringan epitel. Pengawetan yang lebih baik adalah menggunakan

glutaraldehyde, lapisan plastik, dan ditampilkan pada media sehingga dapat

memungkinkan untuk menghitung jumlah sel ukuran 1 berdasarkan jenis dan

lokasinya. Jumlah rata-rata sel per kubik milimeter tidak melampaui jumlah

normal. Diperkirakan bahwa peradangan sel secara maksimum seringkali berada

dalam kondisi konjungtiva normal. Jadi, untuk mengakomodasi lebih banyak sel

dalam proses peradangan konjungtivitis vernal, maka jaringan akan membesar

dengan cara peningkatan jumlah kolagen dan pembuluh darah.

Jaringan tarsal atas yang abnormal ditemukan dari empat pasien

konjungtivitis vernal yang terkontaminasi dengan zat imun, yaitu: dua dari empat

pasien mengandung spesimen IgA-, IgG-, dan IgE- secara berlebih yang akhirnya

membentuk sel plasma. Sel-sel tersebut tidak ditemukan pada konjungtiva normal

dari dua pasien lainnya.

Page 7: klasifikasi konjunctivitis alergi

Kandungan IgE pada air mata yang diambil dari sampel serum 11 pasien

konjungtivitis vernal dan 10 subjek kontrol telah menemukan bahwa terdapat

korelasi yang signifikan antara air mata dengan level kandungan serum pada kedua

mata. Kandungan IgE pada air mata diperkirakan muncul dari serum kedua mata,

kandungan IgE dalam serum (1031ng/ml) dan pada air mata (130ng/ml) dari pasien

konjungtivitis vernal melebihi kandungan IgE dalam serum (201ng/ml) dan pada

air mata (61ng/ml) dari orang normal. Butiran antibodi IgE secara spesifik

ditemukan pada air mata lebih banyak daripada butiran antibodi pada serum. Selain

itu, terdapat 18 dari 30 pasien yang memiliki level antibodi IgG yang signifikan

yang menjadi butiran pada air matanya. Orang normal tidak memiliki jenis

antibodi ini pada air matanya maupun serumnya. Hasil pengamatan ini

menyimpulkan bahwa baik IgE- dan IgG- akan menjadi perantara mekanisme imun

yang terlibat dalam patogenesis konjungtivitis vernal, dimana sistesis lokal

antibodi terjadi pada jaringan permukaan mata. Kondisi ini ditemukan negatif pada

orang-orang yang memiliki alergi udara, tetapi pada penderita konjungtivitis vernal

lebih banyak berhubungan dengan antibodi IgG dan mekanisme lainnya daripada

antibodi IgE.

Kandungan histamin pada air mata dari sembilan pasien konjungtivitis

vernal (38ng/ml) secara signifikan lebih tinggi daripada kandungan histamin air

mata pada 13 orang normal (10ng/ml, P<0.05). Hal ini sejalan dengan pengamatan

menggunakan mikroskopi elektron yang diperkirakan menemukan tujuh kali lipat

lebih banyak sel mastosit dalam substantia propia daripada dengan pengamatan

yang menggunakan mikroskopi cahaya. Sejumlah besar sel mastosit ini terdapat

pada air mata dengan level histamin yang lebih tinggi.

Kikisan konjungtiva pada daerah-daerah yang terinfeksi menunjukkan

adanya banyak eosinofil dan butiran eosinofilik. Ditemukan lebih dari dua

eosinofil tiap pembesaran 25x dengan sifat khas penyakit (pathognomonic)

konjungtivitis vernal. Tidak ditemukan adanya akumulasi eosinofil pada daerah

permukaan lain pada level ini.5,7

c. Delayed Hypersensitivity reaction : Keratokonjungtivitis flikten

Konjungtivitis flikten disebabkan oleh karena alergi (hipersensitivitas tipe IV)

terhadap bakteri atau antigen tertentu, seperti tuberkuloprotein pada penyakit

Page 8: klasifikasi konjunctivitis alergi

tuberkolosis, infeksi bakteri (stafilokok, pneumokok, streptokok, dan Koch Weeks),

virus (herpes simplek), toksin dari moluskum kontagiosum yang terdapat pada margo

palpebra, jamur (kandida albikan), cacing (askaris, tripanosomiasis), limfogranuloma

venereal, leismaniasis, infeksi parasit dan infeksi di tempat lain dalam tubuh.

Konjungtivitis flikten biassanya dimulai dengan munculnya lesi kecil berdiameter 1-3

mm yang keras, merah, menimbul dan dikelilingi zona hiperemis. Di limbus sering

berbentuk segitiga dengan apeks mengarah kornea.1,2

d. Keratokonjungtivitis Atopi

Konjungtivitis atopi sering diderita oleh pasien dermatitis atopi. Tanda dan

gejalanya berupa sensasi terbakar, kotoran mata berlendir, merah dan fotofobia.

Terdapat papil halus tetapi papil raksasa tidak ditemukan seperti pada konjungtivitis

vernal. Kerokan konjungtiva menampakan eosinofil meski tidak sebanyak terlihat

pada keratokonjungtivitis vernal.1

e. Giant papillary conjunctivitis

Giant papilary konjungtivitis dengan tanda dan gejala mirip dengan

konjungtivitis vernal dapat timbul pada pasien yang menggunakan mata buatan dari

plastik atau lensa kontak terutama jika memakainya melewati waktunya.

Konjungtivitis Giant Papillarry diperantarai reaksi imun yang mengenai konjungtiva

tarsalis superior. Konjungtivitis ini mungkin merupakan reaksi hipersensitivitas tipe

lambat kaya basofil dan mungkin dimediasi oleh IgE. Keluhan berupa mata gatal dan

berair. Pada pemeriksaan fisik ditemukan hipertrofi papil. Pada awal penyakit,

papilnya kecil (sekitar 0,3 mm diameter). Bila iritasi terus berlangsung, papil kecil

akan menjadi besar ( giant) yaitu sekitar 1 mm diameter.1