alergi obat
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan
suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan
tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat. Erupsi obat alergi
atau allergic drug eruption itu sendiri ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah
mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik.1
Pemberian dengan cara sistemik di sini berarti obat tersebut masuk melalui
mulut, hidung, rektum, vagina, dan dengan suntikan atau infus. Sedangkan reaksi
alergi yang disebabkan oleh penggunaan obat dengan cara topikal, yaitu obat yang
digunakan pada permukaan tubuh mempunyai istilah sendiri yang disebut dermatitis
kontak alergi.1
Tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi alergi ini. Hanya beberapa
golongan obat yang mengakibatkan erupsi obat alergi atau erupsi obat. Obat-obatan
tersebut yaitu; obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik; misalnya penisilin
dan derivatnya, sulfonamid, dan obat-obatan antikonvulsan.1
Menurut WHO, sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang timbul
tergolong ‘serius’ karena reaksi alergi obat yang timbul tersebut memerlukan
perawatan di rumah sakit bahkan mengakibatkan kematian. Sindrom Steven-Johnson
(SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksis (NET) adalah beberapa bentuk reaksi serius
tersebut.6
1
Perlu ditegakkan diagnosa yang tepat dari gangguan ini memberikan
manifestasi yang serupa dengan gangguan kulit lain pada umumnya. Identifikasi dan
anamnesa yang tepat dari penyebab timbulnya reaksi obat adalah salah satu hal
penting untuk memberikan tatalaksana yang cepat dan tepat bagi penderita dengan
tujuan membantu meningkatkan prognosis serta menurunkan angka morbiditas.
2
BAB II
ERUPSI OBAT ALERGIK
2.1. DEFINISI
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit
atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya
sistemik.1
2.2. EPIDEMIOLOGI
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi
obat, tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi, uji
klinis terapeutik obat dan laporan dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat
adalah 2% dari total pemakaian obat-obatan atau sebesar 15-20% dari keseluruhan
efek samping pemakaian obat-obatan.6
Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative
Drug Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul terhadap
pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari 48.000 pasien yang dirawat pada bagian
penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993. Sekitar 3% seluruh pasien yang
dirawat di rumah sakit ternyata mengalami erupsi kulit setelah mengkonsumsi obat-
obatan. Selain itu, data di Amerika Serikat menunjukkan lebih dari 100.000 jiwa
meninggal setiap tahunnya disebabkan erupsi obat yang serius. Beberapa jenis erupsi
obat yang sering timbul adalah:7
3
• eksantem makulopapuler sebanyak 91,2%,
• urtikaria sebanyak 5,9%, dan
• vaskulitis sebanyak 1,4%
Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah:
1. Jenis kelamin4,6
Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi
jika dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun ahli yang
mampu menjelaskan mekanisme ini.
2. Sistem imunitas4,6
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami
penurunan sistem imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat
sulfametoksazol justru meningkatkan risiko timbulnya erupsi eksantematosa 10
sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi normal.
3. Usia4,6
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anak-
anak dan orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena perkembangan
sistim immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa
disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa berkontak dengan bahan antigenik.
Umur yang lebih tua akan memperlambat munculnya onset erupsi obat tetapi
menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena reaksi yang berat.
4
4. Dosis4,6
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan
timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil
sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering obat digunakan,
Semakin besar pula kemungkinan timbulnya reaksi alergi pada penderita yang peka.
5. Infeksi dan keganasan4,6
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat
yang disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten dengan human
herpes virus (HHV) umumnya ditemukan pada mereka yang mengalami sindrom
hipersensitifitas obat.
6. Atopik4,6
Faktor risiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan.
Walaupun demikian, berdasarkan studi komprehensif terhadap pasien yang
dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa timbulnya reaksi obat ini ternyata tidak
menunjukkan angka yang signifikan bila dihubungkan dengan umur, penyakit
penyebab, atau kadar urea nitrogen dalam darah saat menyelesaikan perawatannya.
2.3. PATOGENESIS1
Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme
imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat
timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan
metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi humoral. Reaksi
5
ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena
toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme.
Gambar 1. Reaksi imunologis dan non imunologis
6
2.3.1. Mekanisme Imunologis
Tipe I (Reaksi anafilaksis)
Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig E yang
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari
obat tidak menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang
sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang
pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin,
heparin dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-
macam efek, misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah
timbulnya syok.
Gambar 2. Reaksi Anafilaksis
7
Tipe II (Reaksi Autotoksis)
Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel.
Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan
lisis.
Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen
antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam
jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen
merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan
terjadi kerusakan jaringan.
Gambar 3. Reaksi Kompleks Imun
8
Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan
reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48
jam setelah pajanan terhadap antigen.
Gambar 4. Reaksi Alergi Seluluer Tipe Lambat
Terdapat 2 macam bentuk reaksi :1
1. Reaksi tipe Tuberkulin
Terjadi akibat limfosit yang tersensitisasi mengadakan reaksi dengan antigen
yang biasanya berlokasi di sekitar pembuluh darah dalam dermis. Melalui ikatan
khusus antigen di permukaan limfosit, terjadi reaksi dengan akibat pelepasan
bermacam-macam limfokin. Hal ini mengakibatkan reaksi radang dengan
vasodilatasi, permeabilitas vaskular meninggi, dan edema, yang secara klinis dapat
9
terlihat sebagai ruam-ruam morbiliformis, skarlatiniformis, eritema nodosum, atau
eksantema fikstum
2. Reaksi tipe kontak
Reaksi ini terutama melibatkan bagian epidermis kulit. Antigen yang masuk
melalui stratum korneum akan bertemu dengan limfosit yang elah tersensitisasi
sebelumnya dengan akibat dibebaskannya limfokin dan timbul reaksi berupa
dermatitis yang secara klinis terlihat sebagai dermatitis kontak.
2.3.2. Mekanisme Non Imunologis3
Reaksi "Pseudo-allergic" menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody-
dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras
media. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang
terlibat; pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari
sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam
arachidonat sel.
Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat
menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan kemoterapi
anti kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif ditimbun di bawah
kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti
hiperpigmentasi generalisata diffuse.
2.3.3. Unknown Mechanisms3
Selain dua mekanisme diatas, masih terdapat mekanisme lain yang belum
dapat dijelaskan.
10
2.4 MANIFESTASI KLINIK
2.4.1 Morfologi dan Distribusi
Perlu diketahui bahwa erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai
kemiripan dengan gangguan kulit lain pada umumnya, gangguan itu diantaranya;
a. Urtikaria3,5
Kelainan kulit terdiri atas urtika yang tampak eritem disertai edema akibat
tertimbunnya serum dan disertai rasa gatal. Bila dermis bagian dalam dan jaringan
subkutan mengalami edema, maka timbul reaksi yang disebut angioedema.
Angioedema ini biasanya unilateral dan nonpruritus, dapat hilang dalam jangka
waktu 1-2 jam. Tetapi kadang dapat bertahan selama dua sampai lima hari. Pelepasan
mediator inflamasi dari suatu aktifasi yang bersifat non imunologis juga dapat
menimbulkan reaksi urtikaria. Urtikaria dan angioedema sangat berhubungan dengan
Ig-E sebagai suatu respon cepat terhadap penisilin maupun antibiotik lainnya. Obat
lain misalnya angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dalam jangka waktu
satu jam juga dapat menimbulkan urtikaria.
11
Gambar 5. Urtikaria
b. Eritema1
Kemerahan pada kulit akibat melebarnya pembuluh darah. Warna merah akan
hilang pada penekanan. Ukuran eritema dapat bermacam-macam. Jika besarnya
lentikuler maka disebut eritema morbiliformis, dan bila besarnya numular disebut
eritema skarlatiniformis.
Gambaran klinisnya sering mirip morbili. Perbedaannya ialah pada morbili
tidak ada rasa gatal dan selalu ada febris yang tinggi.
12
Gambar 6. Eritema
c. Dermatitis medikamentosa1
Gambaran klinisnya memberikan gambaran serupa dermatitis akut, yaitu
efloresensi yang polimorf, membasah, berbatas tegas. Kelainan kulit menyeluruh dan
simetris.
Gambar 6. Dermatitis Medikamentosa
13
d. Purpura1
Purpura ialah perbedaan di dalam kulit berupa kemerahan pada kulit yang
tidak hilang bila ditekan. Purpura dapat terjadi bersama – sama dengan eritema.
Timbulnya serentak dan biasanya disebabkan permeabilitas kapiler yang meninggi.
Purpura dapat juga disebabkan oleh penyakit yang menyebabkan faktor pembekuan
darah terganggu.
Gambar 7. Purpura
14
e. Erupsi eksantematosa5
Lebih dari 90% erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi eksantematosa.
Erupsi yang muncul dapat berbentuk morbiliformis atau makulopapuler. Pada
mulanya akan terjadi perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa
didahului blister ataupun pustulasi. Erupsi bermula pada daerah leher dan menyebar
ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu disertai pruritus. Erupsi
baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian obat dan dapat sembuh sendiri
dalam jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ini ditandai dengan perubahan
warna kullit dari merah terang ke warna coklat kemerahan, yang disertai dengan
adanya deskuamasi kulit.
Erupsi eksantematosa dapat disebabkan oleh banyak obat termasuk penisilin,
sulfonamid, dan obat antiepiletikum. Dari hasil data laboratorium diketahui bahwa T
sel juga ikut terlibat dalam reaksi ini karena sel T dapat menangkap jenis obat tanpa
perlu memodifikasi protein dari hapten. Jika kelainan ini timbul berkali-kali ditempat
yang sama maka disebut eksantema fikstum.
Gambar 8. Beberapa obat yang dapat menimbulkan erupsi eksantematosa
15
Tempat predileksi disekitar mulut, terutama di daerah bibir dan daerah penis
pada laki-laki, sehingga sering disangka penyakit kelamin. Apabila adanya residif di
tempat yang sama maka disebut dengan eksantema fikstum.
Gambar 9. Sejumlah papul berwarna pink pada daerah dada disebabkan oleh
penggunaan obat golongan sefalosporin.
f. Eritema nodosum1
Kelainan kulit berupa eritema dan nodus-nodus yang nyeri disertai gejala
umum berupa demam, dan malaise. Tempat perdileksi ialah di regio ekstensor
tungkai bawah. Eritema nodosum dapat pula disebabkan oleh beberapa penyakit lain,
misalnya : tuberculosis, infeksi streptokokus, dan lepra.
16
Gambar 10. Eritema Nodosum
g. Eritroderma1
Eritroderma ialah terdapatnya eritema di seluru tubuh atau hampir seluruh
tubuh yang biasanya disertai skuama.
Eritroderma dapat disebabkan oleh bermacam-macam penyakit lain di
samping alergi karena obat, yaitu meluasnya dermatosis yang sudah ada, misalnya
psoriasis, penyakit sistemik termasuk keganasan pada sistem limforetikular( penyakit
Hodgkin, leukemia). Eritroderma pada penderita alergi obat berbeda dengan
eritroderma pada umumnya yang biasanya disertai eritem dan skuama. Pada
17
penderita alergi obat terlihat adanya eritema tanpa skuama, skuama justru baru akan
timbul pada stadium penyembuhan.
Gambar 11. Erytroderma
h. Erupsi pustuler3,5
Ada jenis erupsi, pertama erupsi akneiformis dan kedua Pustulosis
Eksantematosa Generalisata Akut (PEGA).
i. Erupsi Akneiformis dihubungkan dengan penggunaan obat seperti iodida, bromida,
ACTH, glukokortikoid, isoniazid, androgen, litium dan actinomisin. Erupsi timbul
pada daerah-daerah yang atipikal seperti lengan dan kaki berbentuk monomorf
berbentuk akne tanpa disertai komedo.
Gambar 12. Erupsi Akneiformis
18
ii. Penyakit Pustulosis Eksantema Generalisata Akut (PEGA) memberikan gambaran
pustul miliar non folikular yang eritematosa disertai purpura dan lesi menyerupai lesi
target. Kelainan kulit timbul bila seseorang mengalami demam tinggi (>380C). Pustul
tersebut cepat menghilang dalam jangka waktu kurang dari 7 hari kemudian diikuti
oleh deskuamasi kulit. Pada pemeriksaan histopatologis didapat pustul
intraepidermal atau subcorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat
polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinofil atau nekrosis fokal sel-sel
keratinosit. Walaupun demikian, penyakit ini sangat jarang terjadi.
Gambar 13. Pustulosis Eksantematosa Generalisata Akut
19
j. Erupsi bulosa1,3,5
Erupsi bulosa ini ditemukan pada; pemphigus foliaceus, fixed drug eruption
(FDE), erythema multiforme major (EM-major), SSJ dan TEN
i. Pemphigus.
Obat yang dapat menyebabkannya adalah golongan penisilin dan golongan
thiol. Drug-induced bullous pemphigoid dapat terlihat dalam beberapa bentuk.
Dimulai dari urtikaria hingga terbentuk bulla yang luas dengan melibatkan kavitas
mukosa mulut, dapat juga berupa beberapa bulla dalam ukuran sedang atau berupa
plak dan nodul yang disertai skar dan bulla. Gangguan ini dapat muncul kembali
pada 35-50 persen kasus sebagai pemphigus foliaceus
ii. Fixed Drug Eruption (FDE) .
Lesi baru akan timbul satu minggu sampai dua minggu setelah paparan
pertama kali dan akan diikuti timbul lesi berikutnya dalam jangka waktu 24 jam.
FDE ini akan terlihat sebagai makula yang soliter, eritematosa dan berwarna merah
terang dan dapat berakhir menjadi suatu plak edematosa. Lesi biasanya akan muncul
di daerah bibir, wajah, tangan, kaki dan genitalia. Apabila penderita memakan obat
yang sama, maka FDE akan muncul kembali ditempat yang sama. Histologisnya,
FDE serupa dengan erythema multiformis yang ditandai dengan adanya limfosit di
dermal-epidermal junction dan perubahan degeneratif dari epitel yang disertai
diskeratosis. FDE kronis memberikan gambaran acanthosis, hiperkeratosis, dan
hipergranulosis dan dapat ditemukan eosinofil dan neutrofil. Terdapat peningkatan
jumlah sel T helper dan sel T supresor pada tempat lesi.
20
.
Gambar 14. Fixed Drug Eruption
iii. Eritema multiformis
merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan/atau selaput lendir
dengan tanda khas berupa lesi iris (target lesion).
21
Gambar 15. Eritema Multiformis
iv. Sindrom Stevens-Johnson (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom
mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor,
eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula,
dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan
keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.1
22
Gambar 16. Sindrom Stevens-Johnson
v. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)
adalah penyakit kulit akut dan berat dengan gejala khas berupa epidermolisis yang
menyeluruh, disertai kelainan pada selaput lendir di orifisium genitalia eksterna dan
mata. Kelainan pada kulit dimulai dengan eritema generalisata kemudian timbul
banyak vesikel dan disertai purpura di wajah, ekstremitas, dan badan. Kelainan pada
kulit dapat disertai kelainan pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi dan
23
ekskoriasi. Lesi kulit dimulai dengan makula dan papul eritematosa kecil
(morbiliformis) disertai bula lunak (flaccid) yang dengan cepat meluas dan
bergabung. Pada NET yang penting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis
terlepas dari dasarnya dengan gambaran klinisnya menyerupai luka bakar.1,5
Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolsky positif pada kulit yang
eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser maka kulit akan terkelupas.
Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang sering terkena tekanan, yakni
punggung, aksila, dan bokong. Pada sebagian pasien kelainan kulit hanya berupa
epidermolisis dan purpura tanpa disertai erosi, vesikel, dan bula. Pada NET, kuku
dapat terlepas dan dapat terjadi bronkopneumonia. Kadang-kadang dapat terjadi
perdarahan di traktus gastrointestinal. Umumnya NET terjadi pada orang dewasa.
NET merupakan penyakit berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan
keseimbangan cairan/elektrolit atau sepsis. 1,5
24
Gambar 17. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)
2.5. Perjalanan Penyakit4
Penggolongan alergi obat dapat didasarkan pada selang waktu timbulnya
gejala-gejala alergik sesudah pemberian obat sebagai berikut:
Gambar 18. Pengelompokan erupsi yang timbul berdasarkan waktu
25
Reaksi alergik yang segera (immediate), terjadi dalam beberapa menit dan
ditandai dengan urtikaria, hipotensi dan shok. Bila reaksi itu membahayakan jiwa
maka disebut syok anafilaksis. Reaksi yang cepat (accelerated) timbul dari 1 sampai
72 jam sesudah pernberian obat dan kebanyakan bermanifestasi sebagai urtikaria.
Kadang-kadang berupa rash morbilliform atau edema laring. Reaksi yang lambat
(late) timbul lebih dari 3 hari. Diperkirakan reaksi jenis cepat dan lambat ini
ditimbulkan oleh antibodi IgG, tetapi beberapa reaksi hemolitik dan exanthem
dihubungkan dengan antibodi IgM.
2.6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan
penyebab erupsi obat alergi adalah: 2,8
1. Pemeriksaan in vivo
o Uji tempel (patch test)
• Uji tempel sering dipakai untuk membuktikan dermatitis kontak. Suatu seri
sediaan uji tempel yang mengandung berbagai obat ditempelkan pada kulit
(biasanya daerah punggung) untuk dinilai 48-72 jam kemudian.
• Uji tempel dikatakan positif bila terjadi erupsi pruritus, eritema, dan vesikular
yang serupa dengan reaksi. Klinis alergi sebelumnya, tetapi dengan intensitas
dan skala lebih ringan.
26
Gambar 19. Patch test
Persiapan
Pastikan bahwa kondisi antigen yang digunakan dalam keadaan layak pakai,
perhatikan cara penyimpanan dan tanggal kadaluarsanya Harus diingat bahwa
kortikosteroid dan obat imunosupresan dapat menekan reaksi ini sehingga memberi
hasil negatif palsu. Setelah itu lakukan anamnesis tentang apakah pernah berkontak
sebelumnya dengan antigen yang akan digunakan.
Melakukan uji
Kalau memungkinkan gunakan aplikator seperti di atas sehingga dapat
digunakan banyak antigen sekaligus. Hati-hati sewaktu melepas penutup antigen,
harus dengan posisi menghadap ke atas sehingga antigen tidak tumpah. Kalau tidak
ada aplikator seperti itu dapat digunakan antigen yang mudah didapat (tetanus,
tuberculin, dan sebagainya). Dengan menggunakan alat suntik tuberkulin, pastikan
bahwa sejumlah 0,1 ml antigen masuk secara intrakutan hingga berbentuk
27
gelembung dan tidak subkutan. Beri tanda dengan lingkaran masing-masing lokasi
antigen.
Hasil pemeriksaan
Hasil uji dibaca setelah 24-48 jam. Bila setelah 24 jam hasil tes tetap negatif
maka cukup aman untuk memberikan dosis antigen yang lebih kuat. Indurasi yang
terjadi harus diraba dengan jari dan ditandai ujungnya, diukur dalam mm dengan
diameter melintang (a) dan memanjang (b). Untuk setiap reaksi gunakan formula
(a+b):2. Suatu reaksi disebut positif bilamana (a+b):2=2 mm atau lebih.
Efek samping
Dapat terjadi suatu reaksi kemerahan yang persisten selama 3-10 hari tanpa
meninggalkan sikatriks. Pada orang yang sangat sensitif dapat timbul vesikel dan
ulserasi pada lebih dari satu lokasi antigen.
Interpretasi
Uji kulit ini saja tidak cukup untuk menyimpulkan status imunologik selular
seseorang karena untuk dapat disimpulkan hasil uji harus disesuaikan dengan
anamnesis dan keadaan klinik. Untuk menilai suatu uji kulit, seperti juga prosedur
diagnostik yang lain, sangat tergantung pada pemeriksanya. Bila disimpulkan bahwa
kemungkinan terdapat gangguan pada sistem imunitas selular, maka dapat
dipertimbangkan pemberian imunoterapi. Tetapi untuk memulai terapi sebaiknya
pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan secara in vivo.
28
o Uji tusuk (prick/scratch test)
Uji tusuk dapat dilakukan dalam waktu singkat dan lebih sesuai untuk anak.
Tempat uji kulit yang paling baik adalah pada daerah volar lengan bawah dengan
jarak sedikitnya 2 sentimeter dari lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak
alergen dalam gliserin (50% gliserol) diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan
superfisial kulit ditusuk dan dicungkil ke atas memakai lanset atau jarum yang
dimodifikasi, atau dengan menggunakan jarum khusus untuk uji tusuk.
Ekstrak alergen yang digunakan 1.000-10.000 kali lebih pekat daripada yang
digunakan untuk uji intradermal. Dengan menggunakan sekitar 5 ml ekstrak pada
kulit, diharapkan risiko terjadinya reaksi anafilaksis akan sangat rendah. Uji tusuk
mempunyai spesifitas lebih tinggi dibandingkan dengan uji intradermal, tetapi
sensitivitasnya lebih rendah pada konsentrasi dan potensi yang lebih rendah.
Gambar 20. Prick Test
29
Faktor yang mempengaruhi
• Antihistamin dapat mengurangi reaktivitas kulit. Oleh karena itu, obat yang
mengandung antihistamin harus dihentikan paling sedikit 3 hari sebelum uji
kulit.
• Pengobatan kortikosteroid sistemik mempunyai pengaruh yang lebih kecil,
cukup dihentikan 1 hari sebelum uji kulit dilakukan.
• Obat golongan agonis β juga mempunyai pengaruh, akan tetapi karena
pengaruhnya sangat kecil maka dapat diabaikan.
• Usia pasien juga mempengaruhi reaktivitas kulit walaupun pada usia yang
sama dapat saja terjadi reaksi berbeda. Makin muda usia biasanya
mempunyai reaktivitas yang lebih rendah. Uji kulit terhadap alergen yang
paling baik adalah dilakukan setelah usia 3 tahun.
o Uji provokasi (exposure test)
• Uji provokasi obat, yang dalam kepustakaan disebut rechallenge test,
adalah pemberian kembali obat yang sudah dihentikan beberapa waktu.
• Masa penghentian ini harus cukup untuk eliminasi komplit. Karena sulit
untuk menentukan eliminasi total maka ada penulis yang menganjurkan untuk
menghentikan obat sampai selama 5 kali masa paruh obat tersebut.
• Uji provokasi dikatakan positif bila reaksi yang timbul sama dengan gejala
dan tanda seperti pada pemberian obat sebelumnya, pada saat dicurigai alergi
obat. Bila tidak terjadi reaksi, atau reaksi yang timbul tidak sama dan tidak
30
berhubungan dengan gejala dan tanda alergi, maka uji provokasi dikatakan
negatif. Bila reaksi yang timbul tidak sama tetapi diperkirakan sebagai gejala
prodromal alergi obat maka hasil uji provokasi dikatakan sugestif.
Cara provokasi
• Uji provokasi biasanya dilakukan untuk pembuktian alergi obat dengan gejala
klinis tidak berat, misalnya demam obat atau erupsi obat fikstum. Bila gejala
klinisnya berat maka uji provokasi harus dilakukan dengan secara hati-hati.
• Sebelum dilakukan uji provokasi dibuat daftar urut obat yang akan diuji,
mulai dengan obat yang paling tidak dicurigai. Biasanya diberikan obat mulai
dengan dosis rendah secara oral. Dosis awal dapat sampai 1% dari dosis
terapeutik, tetapi untuk reaksi alergi obat hebat dosis awal harus 100-1000
kali lebih rendah. Dosis tersebut dinaikkan 10 kali setiap 15-60 menit
(tergantung dari cara pemberian obat). Bila terjadi reaksi maka uji provokasi
dihentikan, atau dilanjutkan dengan desensitisasi bila obat tersebut dianggap
sangat penting dan sulit digantikan. Pada uji provokasi dan desensitisasi harus
selalu tersedia peralatan resusitasi untuk mengatasi kedaruratan yang
mungkin terjadi.
2. Pemeriksaan in vitro
a. Yang diperantarai antibodi:
o Hemaglutinasi pasif
o Radio immunoassay
o Degranulasi basofil
31
o Tes fiksasi komplemen
b. Yang diperantarai sel:
o Tes transformasi limfosit
o Leucocyte migration inhibition test
Pemilihan pemeriksaan penunjang didasarkan atas mekanisme imunologis
yang mendasari erupsi obat.Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih
belum dapat dipercaya. Uji provokasi (exposure test) dengan melakukan pemaparan
kembali obat yang dicurigai adalah yang paling membantu untuk saat ini. Tetapi,
risiko dari timbulnya reaksi yang lebih berat membuat cara ini harus dilakukan
dengan cara hati-hati dan harus sesuai dengan etika maupun alasan mediko legalnya.
Sejumlah tes yang dilakukan dengan teknik invitro didesain untuk membantu
membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada individu tersebut disebabkan
karena obat atau bukan. Belum ditemukan uji fisik maupun laboratorium in-vitro
yang cukup reliabel untuk digunakan secara rutin. Derajat sensitifitas maupun
spesifitasnya cara ini masih dalam tahap penelitian. Oleh sebab itu, pemeriksaan ini
hanya sedikit sekali membantu dalam penegakkan diagnosis klinis. 2,3
Biopsi kulit boleh dilakukan pada penderita yang ditakutkan dapat mengalami
reaksi obat yang serius seperti pada penderita yang memiliki gejala awal seperti
eritroderma, blister, purpura dan pustulasi karena kasus SSJ baru akan timbul
beberapa setelah penggunaan obat. Perlu diketahui pula bahwa lebih dari 50% kasus
SSJ dan hampir 90% penderita NET terkait dengan penggunaan obat.2,3
32
2.7. DIAGNOSIS
Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah:1
1. Anamnesis yang teliti mengenai:
a. Obat-obatan yang dipakai
b. Kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari sesudah masuknya
obat
c. Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebris.
2. Kelainan kulit yang ditemukan:
a. Distribusi : menyeluruh dan simetris
b. Bentuk kelainan yang timbul
Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari
jenis lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data
mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis
mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian obat dengan
onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk
dievaluasi, terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat yang mempunyai
waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi reaksi obat yang bersifat persisten.
33
Gambar 21. Rangkuman penilaian yang harus dilakukan
Karakteristik klinis Tipe lesi primer
Distribusi dan jumlah lesi
Keterlibatan membran mukosa
Tanda dan gejala yang timbul: demam, pruritus,
perbesaran limfonodusFaktor kronologis Catat semua obat yang dipakai pasien dan waktu
pertama pemakaiannya
Waktu ketika timbulnya erupsi
Interval waktu saat pemberian obat dengan
munculnya erupsi kulit
Respon terhadap penghentian agen yang dicurigai
menjadi penyebab
Respon saat dilakukan pemaparan kembaliFaktor kronologis Data yang dikumpulkan oleh perusahaan obat
Daftar pemakaian obat dengan peringatan
Bibliografi obat
2.8. PENATALAKSANAAN
Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat adalah
dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh., epinephrine
adalah drug of choice pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis lainnya, dapat
digunakan pengobatan simptomatik dengan antihistamin dan kortikosteroid.
Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dihentikan secepat
mungkin. Tetapi, pada beberapa kasus adakalanya pemeriksa dihadapkan dua pilihan
antara risiko erupsi obat dengan manfaat dari obat tersebut.
2.8.1. Penatalaksanaan Umum2,3
34
• Melindungi kulit. Pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi kulit
harus dihentikan segera.
• Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk mendeteksi
kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada fase
pemulihan.
• Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya. Berikan
cairan via infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi
penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan
tenggorok serta kesadaran dapat
menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5% dan larutan
Darrow.
• Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari; khususnya
pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas
dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan
hemostatik.
2.8.2. Penatalaksanaan Khusus1
1. Sistemik
a. Kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik.
Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria,
eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum,
dan PEGA karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10
mg sampai 4 x 10 mg sehari. Pengobatan eryhema multiforme major, SSJ dan TEN
pertama kali adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi
35
yang bersifat suportif seperti perawatan luka dan perawatan gizi penderita.
Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan SSJ dan TEN masih kontroversial.
Pertama kali dilakukan pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG) terbukti
dapat menurunkan progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk
selanjutnya IVIG diberikan sebanyak 0.2-0.75 g/kg selama 4 hari pertama.
b. Antihistamin. Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat
rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan
kortikosteroid.
2. Topikal
Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering
atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah
dengan obat antipruritus seperti mentol ½-1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika
dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%.
Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan
topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim
kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% sampai 2 ½%.
Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan
mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-
sebagian.
erapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi
di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim sulfadiazin perak.
2.9. PROGNOSIS1
36
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat
penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa
bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven
Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang terkena.
Gambar 22. Algotritme dalam mendiagnosis dan menatalaksana erupsi alergi obat.
BAB III
37
KESIMPULAN
Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption ialah reaksi alergi pada kulit
atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara
sistemik. Hingga saat ini belum didapatkan angka kejadian yang tepat dari erupsi
alergi obat. Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah
jenis kelamin, orang dengan sistem imunitas, usia, dosis obat, infeksi dan keganasan.
Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme
imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Mekanisme imunologis
sesuai dengan konsep imunologis yang dikemukakan oleh Commbs dan Gell yaitu;
Tipe I (Reaksi anafilaksis), Tipe II (Reaksi Autotoksis), Tipe III (Reaksi Kompleks
Imun), Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat). Mekanisme Non Imunologis
dapat disebabkan pelepasan mediator sel mast secara langsung, aktivasi langsung
dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam
arachidonat sel.
Morfologi erupsi obat mempunyai kemiripan dengan gangguan kulit lain
pada umumnya, gangguan itu diantaranya; urtikaria, eritema, dermatitis
medikamentosa, purpura, erupsi eksantematosa, eritroderma, erupsi pustuler, dan
erupsi bulosa.
Pemeriksaan penunjang erupsi obat ini dapat dilakukan dengan teknik in
vivo. Belum ditemukan uji fisik maupun laboratorium maupun teknik in-vitro yang
cukup reliabel untuk digunakan secara rutin.
38
Penatalaksanaan penyakit ini terdiri dari penatalaksanaan umum dan
penatalaksanaan khusus. Penatalaksanaan umum dilakukan pemberian terapi yang
bersifat suportif sedangkan penatalaksanaan khusus diberikan terapi sesuai gejala
yang timbul terutama pemberian obat golongan kortikosteroid dan antihistamin.
Sedangkan prognosis erupsi alergi obat sangat tergantung pada luas kulit yang
terkena.
DAFTAR PUSTAKA
39
1. Prof DR Adhi Djuanda. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketiga. Jakarta :
FKUI 1999. Hal 126 – 138
2. Diunduh dari : http://www.childrenallergyclinic.wordpress.com//
3. Harry Wahyudhy Utama. Dedy Kurniawan. Erupsi Obat Alergik. Palembang. FK
Universitas Sriwijaya. 2007
4. Purwanto SL. Alergi Obat. In: Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 1976.
5. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd
edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2002. p:139-142
6. Diunduh dari : http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
7. Diunduh dari : http://www.aafp.org/afp
8. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In:
Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139
40