keganasan pada anak (repaired)-1

40
KEGANASAN PADA ANAK TUGAS HEMATOLOGI - ONKOLOGI Oleh : dr. Kurnia Dwi Astuti dr. Indah Nurhayati dr. Nenden Nursyamsi A. dr. M. Saifulhaq M. PPDS-1 ILMU KESEHATAN ANAK i

Upload: domiko-widyanto

Post on 11-Aug-2015

108 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

KEGANASAN PADA ANAK

TUGAS HEMATOLOGI - ONKOLOGI

Oleh :

dr. Kurnia Dwi Astuti

dr. Indah Nurhayati

dr. Nenden Nursyamsi A.

dr. M. Saifulhaq M.

PPDS-1 ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

i

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................................i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ix

DAFTAR TABEL ...............................................................................................xiii

DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................xv

DAFTAR SINGKATAN.....................................................................................xvii

BAB I: PENDAHULUAN ...................................................................................1

A. Latar Belakang ...........................................................................................1

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................6

A. Leukemia ...................................................................................................6

1. Leukemia Limfositik Akut ..................................................................6

2. Leukemia Mieloid Akut ......................................................................9

3. Leukemia Mieloid Kronik ..................................................................15

BAB III: KESIMPULAN......................................................................................77

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................79

LAMPIRAN .........................................................................................................89

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4. Abnormalitas Kromosom pada LLA.....................................................37

Tabel 5. Abnormalitas Kromosom pada LMA....................................................38

Tabel 6. Abnormalitas Kromosom pada LMK....................................................38

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Skema Transisi pada Kelainan Mieloproliferatif Kronik...................17

Gambar 2. Mekanisme Terbentuknya Variasi Gen Fusi Abnormal BCR-

ABL pada Kromosom Ph.................................................................34

DAFTAR SINGKATAN

1. LLA : Leukemia Limfositik Akut

2. LLK : Leukemia Limfositik Kronik

3. LMA : Leukemia Mieloid Akut

4. LMK : Leukemia Mieloid Kronik

5. LMMK : Leukemia Mielomonositik Kronik

6. LB : Leukemia Bilineal

7. AR : Anemia Refrakter

8. ARRS : Anemia Refrakter dengan Ringed Sideroblasts

9. AREB : Anemia Refrakter dengan Ekses Blast

10. AREB-t : Anemia Refrakter dengan Ekses Blast dalam transformasi

11. DIC : Disseminated Intravascular Coagulation

12. Ph(+) : Kromosom Philadelphia positif

13. MPK : Mieloproliferatif Kronik

14. CMPD : Chronic Myeloproliferative Disease

15. APL : Acute Promielocytic Leukemia

16. MMA : Metaplasia Mieloid Agnogenic

17. TE : Trombositemia Essential

18. PV : Polisitemia Vera

19. LNK : Leukemia Neutrofilik Kronik

20. LMgA : Leukemia Megakaryositik Akut

21. CLLD : Chronic Lymphoproliferative Leukemic Disease

22. LPL : Leukemia Prolimfositik

23. HCL : Hairy Cell Leukemia

24. MLL : Mixed Lineage Leukemia

25. PCD : Premature Centromere Division

26. BMP : Bone Marrow Punction

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keganasan hematologi atau leukemia memiliki angka kejadian yang cukup

tinggi. Angka kejadian LMK (leukemia mieloid kronik) adalah sekitar 1 kasus per

100.000 penduduk per tahun. Kejadian LMK tersebut sebesar 15-20 persen dari

semua kasus leukemia di negara Barat.1 Insidensi leukemia akut sebesar 4 per

100.000 penduduk per tahun. Angka kejadian leukemia mieloid akut (LMA)

adalah sekitar 70 persen dari leukemia akut, yang kebanyakan terjadi pada orang

dewasa. Leukemia limfositik akut (LLA) terutama terjadi pada anak-anak.

Kejadian LLA di Amerika Serikat sekitar 1,4 per 100.000 penduduk dan sekitar

4000 kasus baru per tahun yang berusia di bawah 15 tahun.2,3

Keganasan yang paling sering pada anak-anak, khususnya usia antara 2 -

10 tahun adalah leukemia limfositik akut (LLA).4 LLA mencakup sekitar 30 persen

dari keganasan pada anak, dan sebagian besar (75 persen) berada di bawah usia 15

tahun.3 LMA mencakup 15 persen dari kasus leukemia anak-anak di bawah 10

tahun, dan sekitar 25-30 persen pada anak antara usia 10 dan 15 tahun.5

Insidensi leukemia adalah sekitar 7.000 kasus per tahun di Indonesia.6

Jumlah pasien leukemia yang diperiksa di laboratorium sitogenetika RS

Telogorejo Semarang sejak tahun 2003 hingga bulan September 2009 tercatat

sebanyak 165 pasien.7

Diketahui adanya berbagai temuan abnormal dari pemeriksaan sitogenetika

pada penderita leukemia. Sebagian dari abnormalitas tersebut spesifik untuk jenis

leukemia tertentu dan masing-masing mengarah pada prognosis yang berbeda.8

Kromosom Philadelphia (Ph) adalah kromosom 22 abnormal yang dihasilkan oleh

translokasi timbal balik t(9,22)(q34;q11) yang menjadi ciri secara genetik dari

penyakit leukemia mieloid kronik (LMK).9,10

Hasil pemeriksaan sitogenetika dan hematologi dapat digunakan untuk

memperkirakan tingkat keparahan, prognosis penyakit, dan respon selama terapi.11

Pemeriksaan sitogenetika sangat penting pada leukemia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Jenis Leukemia

Keganasan hematologi terdiri dari leukemia akut dan leukemia kronik.

Etiologi leukemia diperkirakan adalah radiasi, infeksi virus, obat-obatan dan zat

kimia yang berefek kegagalan sumsum tulang, serta genetik. Pasien leukemia

biasanya merasa demam, berkeringat, dan juga badan terasa lemah. Pemeriksaan

fisik pasien leukemia umumnya ditemukan hepatosplenomegali dan limfadenopati.

Anemia, trombositopenia, leukositosis, gangguan pembekuan darah, juga biasanya

terjadi peningkatan kadar LDH dan asam urat darah pada hasil tes laboratorium.12

Patogenetik Leukemia

Paparan zat genotoxic, seperti: pestisida, DNA topoisomerase II inhibitor,

alkylating agent, benzene, dan radiasi, diduga dapat memicu terjadinya

abnormalitas di tingkat kromosom. Faktor intrinsik (host) yang juga berperan pada

terjadinya kerusakan kromosom adalah instabilitas kromosom pada individu.13

Teori mutasi somatik menyebutkan bahwa keganasan berasal dari sel

somatik tunggal yang mengalami akumulasi mutasi DNA. Kanker, termasuk

leukemia, merupakan penyakit akibat proliferasi sel yang tidak terkontrol. Hal ini

disebabkan oleh mutasi dari gen-gen yang mengatur proliferasi dan siklus sel.

Mutasi gen-gen tersebut kemudian akan diturunkan secara somatik kepada sel-sel

anakannya melalui mitosis.14,15

Abnormalitas kromosom dapat dihasilkan melalui adanya proses non-

disjunction dan gangguan crossing-over pada saat mitosis. Abnormalitas

kromosom, seperti translokasi resiprokal, juga dapat terjadi akibat kegagalan

proses repair gen. Berbagai kejadian rearrangement kromosom tersebut

mengakibatkan perubahan materi genetik tertentu. Materi-materi genetik dapat

bertambah, hilang, atau berubah susunannya. Hal ini dapat bersifat karsinogenik

apabila yang hilang adalah gen-gen suppressor tumor, atau yang bertambah adalah

onkogen aktif. Tumor suppressor gen yang saat ini sudah diidentifikasi sebanyak

30 gen, sedangkan onkogen sebanyak 100 gen. Abnormalitas kromosom juga

dapat mengakibatkan terbentuknya gen fusi abnormal, atau gangguan pada bagian

yang mengontrol (regulatory) gen.13,14,16

1. Leukemia Limfositik Akut

Keganasan yang paling sering pada anak-anak, khususnya usia antara 2 -

10 tahun adalah leukemia limfositik akut (LLA).4 LLA mencakup sekitar 30

persen dari keganasan pada anak, dan sebagian besar (75 persen) berada di bawah

usia 15 tahun. Anak-anak dengan LLA, sekitar 70 - 80 persen dari mereka

memiliki survival rate selama lebih dari 5 tahun. LLA dapat terjadi pada semua

kelompok umur, namun paling banyak pada usia 3 - 4 tahun. Populasi laki-laki dan

kulit putih mempunyai risiko lebih tinggi untuk LLA.3

Kelebihan sel blast (lebih dari 30 persen dari sel-sel sumsum tulang dapat

ditemukan pada leukemia akut. Sel-sel blast ini tidak hanya di sumsum tulang,

tetapi juga menyebar ke dalam darah. Kondisi ini menyebabkan kegagalan

sumsum tulang. Gejala yang timbul adalah anemia, infeksi, dan sering juga

terdapat memar/pendarahan abnormal. Gejala klinis tersebut berkembang pada

periode waktu yang singkat (kurang dari tiga bulan).12

Gejala LLA bervariasi, tergantung pada perkembangan penyakit. Gejala

yang muncul bisa akut dan hebat, tetapi juga dapat berkembang lambat selama

beberapa minggu bahkan berbulan-bulan. Gejala LLA terkait dengan anemia

sepert kelelahan, pucat, dan malaise. Infeksi yang terjadi disebabkan oleh

granulocytopenia, dan perdarahan abnormal yang sering timbul berhubungan

dengan trombositopenia.4

Demam biasanya muncul karena leukemia itu sendiri. Keterlibatan

periosteum dan erosi tulang pada leukemia dapat menyebabkan nyeri tulang dan

sendi, bahkan gangguan hingga ketidakmampuan untuk berjalan pada anak-anak.

Keterlibatan sistem saraf pusat dapat terjadi pada LLA yang menyebabkan sakit

kepala, muntah, dan defisit neurologis. Kelelahan, penurunan berat badan, dan

purpura ditemukan di lebih dari setengah pasien. Pemeriksaan fisik pasien LLA

ditemukan splenomegali, hepatomegali, dan limfadenopati pada sekitar 75 persen

cases.3,4

FAB mengklasifikasikan LLA menjadi 3 tipe, yakni4 :

a. Tipe L1: Tipe ini memiliki karakteristik predominan sel blas kecil (ukuran 2 kali

diameter limfosit kecil) dan homogen. Kromatin biasanya menggerombol, dan

inti sel berbentuk teratur. Nucleolus sering tidak tampak atau hanya tampak

kecil. Rasio inti sitoplasmanya tinggi, dan sitoplasmanya hanya sedikit

basofilik. Tipe ini paling banyak pada anak di bawah 15 tahun, dan memiliki

prognosis paling baik dibandingkan tipe lainnya.

b. Tipe L2 LLA memiliki karakteristik sel-sel imatur berukuran besar dan

heterogen (baik ukuran sel, kromatin, bentuk inti, dan sitoplasma yang

basofilik). Kebanyakan pasien berusia lebih tua dari 15 tahun. Nukleus biasanya

irregular. Nukleolus biasanya tampak dan besar. Sitoplasma biasanya cukup

banyak.

c. Tipe Burkitt atau tipe L3 mencakup 3 - 5 persen kasus. Karakteristiknya adalah

sel-sel berukuran besar dan homogen. Bentuk inti teratur (oval hingga bulat),

nukleolus dan vakuola juga tampak. Rasio inti sitoplasmanya rendah. Tipe ini

memiliki respon yang buruk terhadap kemoterapi.

LLA, berdasarkan klasifikasi WHO tahun 2008, dibagi menjadi beberapa

subbagian, yaitu17:

a. Leukemia/limfoma limfoblastik B dengan abnormalitas genetik recurrent:

1) Leukemia/limfoma limfoblastik B dengan high-hiperdiploidi

2) Leukemia/limfoma limfoblastik B dengan t(12;21)(p13;q22);

3) Leukemia/limfoma limfoblastik B dengan t(9;22)(q34;q11.2);

4) Leukemia/limfoma limfoblastik B dengan t(4;11)(q21;q23);

5) Leukemia/limfoma limfoblastik B dengan t(11;v)(q23;v);

6) Leukemia/limfoma limfoblastik B dengan t(1;19)(q23;p13);

7) Leukemia/limfoma limfoblastik B dengan t(5;14)(q31;q32);

8) Leukemia/limfoma limfoblastik B dengan hipodiploidi.

b. Leukemia/limfoma limfoblastik T;

c. Leukemia/limfoma limfoblastik sel NK (natural killer);

d. Leukemia/limfoma limfoblastik therapy-related.

Faktor-faktor prognosis LLA antara lain dipengaruhi oleh ras, usia, dan

jenis kelamin. Prognosis lebih baik terjadi pada: wanita dibandingkan laki-laki,

usia antara 3 dan 7 tahun, populasi kulit putih, dan pasien dengan waktu remisi

kurang dari 14 hari. Pembesaran organ, adanya massa mediastinum, dan

keterlibatan sistem saraf pusat memiliki prognosis tidak baik.3

Hematologi dan Immunofenotipik LLA

Leukositosis dan trombositopenia terjadi pada mayoritas pasien LLA, di

samping anemia. Terdapat 40 persen pasien memiliki jumlah leukosit di bawah 10

x 103/mm3. Jumlah leukosit lebih dari 50 x 103/mm3 ditemukan pada 26 persen

kasus, dan biasanya terkait dengan limfadenopati yang menyolok,

hepatosplenomegali dan imunofenotipe T-sel. Leukopeni (< 4 x 103/mm3)

ditemukan pada 25 persen pasien LLA. Sebanyak 15 persen pasien memiliki

jumlah leukosit lebih dari 100 x 103/mm3. Mayoritas kasus terjadi neutropenia dan

hanya sekitar 27 persen dengan jumlah neutrofil lebih dari 1 x 103/mm3. Anemia

dan trombositopenia hampir selalu tampak pada saat diagnosis LLA ditegakkan.

Trombositopenia ditemukan pada sekitar 92 persen kasus, dan 62 persen dari

semua kasus memiliki trombosit kurang dari 50 x 103/mm3.3,4

Pemeriksaan sumsum tulang harus dilakukan untuk menetapkan diagnosis

leukemia. Pada pasien LLA, sumsum tulang selalu hiperselular. Berkebalikan

dengan LMA, residu eritroid dan prekursor mieloid tampak normal secara

morphologi.3 Pemeriksaan sumsum tulang biasanya hiperselular dan didominasi

sel limfoid. Mielofibrosis sering ditemukan pada 10-15 persen kasus, terutama

pasien dengan nyeri tulang.4 Gangguan metabolik sering terlihat karena

meningkatnya kerusakan sel disebabkan terapi yang diberikan, seperti

hiperuricemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan kadar laktat dehidrogenase

(LDH).3

Hasil pemeriksaan laboratorium, hemoglobin kurang dari 7 g/dL, jumlah

trombosit lebih dari 100 x 103/mm3, dan immunoglobulin serum yang normal

mempengaruhi prognosis menjadi lebih baik. Prognosis yang kurang baik ketika

hemoglobin lebih dari 10 g/dL, trombosit di bawah 30 x 103/mm3, dan ada

penurunan kadar immunoglobulin serum.3

2. Leukemia Mieloid Akut

Leukemia mieloid akut (LMA) merupakan keganasan hematopoietik

progresif yang dicirikan oleh dominasi sel imatur sumsum tulang selain limfosit.

Faktor-faktor yang diperkirakan menyebabkan penyakit ini adalah radiasi pada

sumsum tulang, bahan kimia atau obat-obatan yang menyebabkan kegagalan

sumsum tulang seperti sulfonamida, benzen, dan fenilbutazon, serta faktor

genetik.18

Insiden LMA adalah sekitar 2,25 per 100.000 per tahun. Insiden LMA

meningkat seiring dengan usia. Laki-laki memiliki risiko yang lebih tinggi. LMA

mencakup 15 persen dari kasus leukemia anak-anak di bawah 10 tahun, dan sekitar

25-30 persen pada anak antara usia 10 dan 15 tahun. Kasus leukemia akut pada

orang dewasa, sekitar 80-90 persennya merupakan kasus LMA.5

LMA diklasifikasikan menjadi tujuh subtipe oleh kelompok FAB (French

American British), berdasarkan morfologi, imunologi, dan perbedaan sitokimia2,5:

a. Leukemia mieloblastik akut dengan diferensiasi minimal (M0)

Subtipe ini terutama terjadi pada orang dewasa dan merupakan 5 persen

dari kasus LMA. Sel blas berukuran medium, Nukleus terlihat bulat atau sedikit

ada lekukan dengan nukleolus satu atau dua buah, memiliki sitoplasma agranular

yang basofilik, serta kromatin yang tersebar.

b. Leukemia mieloblastik akut tanpa maturasi (M1)

LMA subtipe M1 terjadi pada 10 persen kasus, dan biasanya terjadi pada

dewasa. Terdapat granula azurofilik dan Auer rods pada sitoplasma sel blas, yang

merupakan ciri khasnya.

c. Leukemia mieloblastik akut dengan maturasi (M2)

Subtipe ini dijumpai sekitar 30 persen kasus LMA, dan dapat terjadi pada

semua usia. Sel blas mungkin dijumpai granula azurofilik dan Auer rods, serta

terdapat bukti adanya maturasi, dengan >10 persen sel sumsum tulang menjadi

promyelosit, myelosit, dan neutrofil matur, serta <20% menjadi monosit. Kelainan

kromosom yang sering dijumpai pada subtipe ini adalah t(8;21).

d. Leukemia promieloid akut (M3)

Subtipe ini dijumpai pada 5 – 10 persen pasien LMA, dan banyak pada

usia relatif muda. Karakteristiknya adalah sel promieloid ini memiliki banyak

granula yang menonjol, yang dapat menutupi nucleus bersama dengan auer rods.

Kelainan sitogenetika yang sering dijumpai pada subtype ini adalah t(15;17) yang

menghasilkan gen fusi abnormal PML/RAR-a.

e. Leukemia mielomonositik akut (M4)

Subtipe ini dijumpai pada 15 – 25 dari LMA. Penderita lebih banyak

berusia tua. Sebagian pasien ini, sebelumnya menderita leukemia mielomonositik

kronik (LMMK). Sel neutrofilik dan monositik (juga prekursornya) dapat

dijumpai, masing-masing meliputi 20 persen dari sel sumsum tulang. Sel

monoblas berukuran besar berinti bulat dengan 1 atau lebih nukleolus. Sitoplasma

basofilik dan banyak, kadang ditemukan granula azurofilik halus, vacuola, dan

formasi pseudopod.

f. Leukemia monositik akut (M5)

Leukemia monositik akut dan monoblastik akut (M5a, M5b), masing-

masing meliputi sekitar 5 persen kasus LMA. Galur monositik meliputi 80 persen

sel leukemia pada kedua subtipe tersebut. Leukemia monoblastik akut bercirikan

adanya monoblas sekitar 80 persen dari sel monositik tersebut, sedangkan

sebagian besar sel pada leukemia monositik akut adalah promonosit.

g. Eritroleukemia akut (M6)

Leukemia eritroid akut (M6a, M6b) dibagi menjadi dua subtipe, yakni:

eritroleukemia (eritroid/mieloid) yang meliputi 5 persen kasus LMA, dan leukemia

eritroid murni yang sangat jarang. Setidaknya 50 persen dari sel berinti di sumsum

tulang pasien eritroleukemia adalah sel eritroid, dan 20 persen dari sel non-eritroid

merupakan mieloblas. Sel eritroid bersifat displastik, memiliki nukleus yang

banyak dan megaloblastoid, sitoplasma sering terdapat vacuola-vacuola yang

bersatu namun tidak jelas terlihat. Leukemia eritroid murni, memiliki >80 persen

dari sel sumsum tulang merupakan sel eritroid. Sel eritroblas memiliki sitoplasma

yang sangat basofilik, seringkali agranular, dan dapat ditemukan gabungan

vacuola yang tidak jelas terlihat. Nukleus bulat dan memiliki kromatin yang halus,

serta satu atau lebih nucleolus.

h. Leukemia megakaryositik akut (M7)

Subtipe ini dapat terjadi pada semua usia dan merupakan 5 persen dari

kasus LMA. Setidaknya 50 persen dari sel blas adalah berasal dari galur

megakaryosit. Megakaryoblas seringkali pleomorfik dan memiliki sitoplasma

basofilik, agranular, dan mungkin menunjukkan formasi pseudopod dan bleb,

mengindikasikan tumbuh dan berkembangnya trombosit. Nukleus memiliki

kromatin yang halus dan satu hingga tiga nukleolus. Trombosit displastik dapat

terlihat dalam darah, begitu pula mikromegakaryosit dan fragmen megakaryosit.

Klasifikasi WHO tahun 2008, membagi leukemia mieloid akut menjadi18:

a. LMA dengan abnormalitas genetik recurrent:

1) LMA dengan t(8;21)(q22;q22)

2) LMA dengan inv(16)(p13.1;q22) atau t(16;16)(p13;q22)

3) LMA dengan t(15;17)(q22;q12)

4) LMA dengan t(9;11)(p22;q23)

5) LMA dengan t(6;9)(p23;q34)

6) LMA dengan inv(3)(q21;q26.2) atau t(3;3)(q21;q26.2)

7) LMA dengan t(1;22)(p13;q13)

8) LMA dengan mutasi NPM1;

9) LMA dengan mutasi CEBPA.

b. LMA dengan myelodysplasia-related changes,

c. Neoplasma mieloid therapy-related,

d. LMA not otherwise categorized,

1) LMA dengan diferensiasi minimal

2) LMA without maturation

3) LMA with maturation

4) Leukemia myelomonositik akut

5) Leukemia monositik/monoblastik akut

6) Leukemia eritroid akut

7) Leukemia megakarioblastik akut

8) Leukemia basofilik akut

9) Panmielosis akut dengan mielofibrosis

e. Sarkoma mieloid,

f. Proliferasi mieloid related to sindrom Down,

g. Keganasan sel dendritik plasmasitoid blastik.

Gejala timbul sebagai akibat anemia yakni pucat, lesu, sesak, letih, dan

lemah. Anemia disebabkan oleh diseritropoiesis yang menyebabkan kelainan pada

sel eritropoietik. Transfusi seringkali harus diberikan pada kondisi anemia cukup

berat. DIC (disseminated intravascular coagulation) sering ditemukan pada

subtipe M3, di samping waktu PT dan PTT yang berkepanjangan, serta rendahnya

kadar fibrinogen. Neutropenia dapat menyebabkan demam, malaise, dan infeksi.

Dismielopoiesis yang menyebabkan neutropenia bisa diketahui dari abnormalitas

sel yang tampak, seperti hiatus leukemikus, tidak sinkronnya inti dan sitoplasma,

perubahan pseudo-Pelger-Huet, hipersegmentasi, dan kelainan granula (batang

Auer).18

Kondisi perdarahan, seperti petechiae, purpura, memar, epistaksis,

perdarahan gusi, dan menorrhagia, dapat terjadi sebagai akibat trombositopenia.

Dismegakaryositopoiesis sering ditemukan, dimana karakteristiknya adalah

ditemukannya trombosit raksasa, lobulasi hiper atau hiponuklear,

mikromegakaryosit, dan granula yang abnormal. Kelainan metabolik yang sering

terjadi adalah hiperuricaemia yang disebabkan oleh lisisnya sel tumor,

hipokalcemia disebabkan oleh percepatan pembentukan tulang, dan hipokalemia

yang disebabkan oleh kerusakan tubulus proksimal ginjal.5,18

Pasien dengan prognosis yang baik yakni mereka yang berusia di bawah 45

tahun, dengan leukemia de novo dan belum pernah mendapat kemoterapi sebelum

diagnosis LMA, memiliki tingkat serum LDH normal, tidak adanya keterlibatan

SSP serta ekstrameduler. Presentasi Auer rods dan eosinofil, serta absennya

megaloblastik eritroid dan displastik megakaryosit juga dikaitkan dengan

prognosis yang lebih baik. Subtipe M2, M3, dan M4 memiliki prognosis lebih baik

daripada subtipe M0, M6, dan M7.5

Hematologi dan Immunofenotipik LMA

Studi di India melibatkan 260 kasus LMA, dimana 24 persen dari mereka

adalah anak-anak. Mereka terdiri dari 187 laki-laki dan 73 perempuan. LMA-M2

adalah subtipe FAB yang paling umum pada anak dan orang dewasa. Jumlah

tertinggi leukosit terlihat pada LMA-M1 dan terendah pada LMA-M3 (10 - 97 x

103/mm3, rata-rata 53,8 x 103/mm3). Nilai rata-rata dan interval untuk jumlah

trombosit adalah 63,3 x 103/mm3 (32 - 83 x 103/mm3), hemoglobin 6,8 g/dL (1.8

g/dL - 9,2 g/dL), blast sumsum tulang 57,6 persen (34 - 96 persen), dan blast darah

perifer 41,4 persen (5 - 77 persen). CD14 dan CD36 adalah yang paling sering

terlihat pada leukemia mielomonositik (44 persen), dan monositik (38 persen).

CD13 dan CD33 adalah marker paling berguna dalam diagnosis LMA. Ekspresi

antigen limfoid terlihat pada 15 persen kasus. Ekspresi CD7 adalah yang paling

umum (11 persen).19

Studi lain melaporkan leukositosis pada lebih dari 50 persen kasus LMA.

Jumlah leukosit bisa lebih dari 100 x 103/mm3 pada kurang dari 20 persen pasien.

Hiperleukositosis dengan jumlah leukosit lebih dari 100 x 103/mm3 memiliki

prognosis lebih buruk dari mereka dengan leukosit kurang dari 25 x 103/mm3. Hal

ini karena hiperleukositosis dikaitkan dengan perdarahan SSP, keterlibatan SSP,

kegagalan pernafasan, dan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi. Pemeriksaan

apusan darah dapat menemukan batang Auer dan badan Phi yang patognomonik

pada LMA.5

Mieloperoksidase positif tertinggi pada subtipe M1, M2 dan M3. Marker

yang paling berguna untuk membedakan antara LMA mieloperoxidase-negatif

subtipe M0 dan LLA adalah CD79a intrasitoplasmik, CD3 intrasitoplasmik,

CD10, dan CD2, yang khas untuk LLA sel B atau sel T sel. CD13, CD33, serta

CD117, khas untuk M0 .19,20

3. Leukemia Mieloid Kronik

Leukemia mieloid kronik (LMK) merupakan salah satu gangguan yang

termasuk dalam kelainan mieloproliferatif kronik (MPK). Kelainan lainnya yang

termasuk dalam MPK adalah polisitemia vera (PV), metaplasia mieloid agnogenik

(MMA), trombositemia esensial (TE), dan leukemia neutrofilik kronik (LNK).

Banyak dari gangguan ini berubah menjadi leukemia mieloid akut (LMA)

transformasi blastik.21

WHO, pada tahun 2008, mengklasifikasikan leukemia mieloid kronik

menjadi beberapa sub kelompok, yakni:

a. Neoplasma mieloproliferatif:

1) Leukemia myelogenous kronik (kromosom Philadelphia (Ph) positif)

2) Leukemia neutrofilik kronik

3) Leukemia eosinofilik kronik

b. Neoplasma mieloproliferatif / mielodisplastik

1) Leukemia mielomonositik kronik

2) Leukemia mieloid kronik atipikal (Ph negatif)

3) Leukemia mielomonositik juvenile

c. Neoplasma mieloid (dan limfoid) dengan eosinofilia dan abnormalitas dari

PDGFRA, PDGFRB, atau FGFR1.17

Insiden LMK yakni 1 per 100.000 penduduk tiap tahun, di negara-negara

Barat. Insiden tertinggi adalah pada usia 53 tahun, dan jarang terjadi pada anak-

anak. Pria memiliki resiko lebih tinggi daripada wanita. Waktu yang dibutuhkan

sejak timbulnya translokasi kromosom awal, sampai muncul gejala adalah sekitar

6 tahun. Tingkat kelangsungan hidup rata-rata pasien setelah diagnosis LMK

adalah sekitar 4-5 years.22

Gejala umum dari LMK adalah kelelahan (83 persen), penurunan berat

badan (61 persen), perut terasa penuh dan anoreksia (38 persen), nyeri perut (33

persen), mudah terjadi perdarahan atau memar (35 persen), purpura (27 persen),

perdarahan retina (21 persen), dan demam (11 persen).22 Gejala tidak langsung

tampak pada sekitar 40 persen pasien LMK. Diagnosis LMK asimtomatik hanya

didasarkan pada hasil pemeriksaan hitung jenis darah yang abnormal. Tidak

adanya hiatus leukemikus berarti semua seri granulosit ditemukan di apusan darah

tepi. Hiatus leukemikus merupakan kondisi dimana hanya sel-sel muda (mieloblas)

dan sel-sel matur dapat ditemukan pada gambaran darah tepi (sel-sel intermedia

dari seri granulosit tidak dijumpai). Pemeriksaan apusan sumsum tulang pasien

dapat ditemukan hiperselularitas, dan peningkatan ratio sel mieloid dan

erithroid.9,23

Splenomegali ditemukan pada sebagian besar pasien LMK (sekitar 95

persen), sementara hepatomegali terjadi pada sekitar 48 persen kasus.

Limfadenopati ditemukan pada 78 persen kasus, abnormalitas sterna dalam 78

kasus persen. Studi oleh Sokal et al menunjukkan bahwa blast di sirkulasi sekitar

0-1 persen dan ukuran limpa antara 0-6 cm memiliki prognosis yang baik dengan

tingkat kelangsungan hidup rata-rata sekitar 47 bulan.22

Patogenesis LMK dibagi tiga fase secara klinis. Tahap pertama adalah fase

preklinis. Proliferasi klonal dari sel pluripotent Ph(-) sumsum tulang ditemukan

pada fase ini. Sel-sel abnormal tersebut dapat tumbuh melebihi stem sel yang

normal, tetapi secara genetik tidak stabil. Tahap kedua adalah munculnya

kromosom Philadelphia yang mengarah produksi protein BCR-ABL abnormal.

Tahap ketiga adalah fase akselerasi yang mengarah pada krisis blast. Fase kronik

LMK biasanya jinak. Fase kronik ini dapat berubah menjadi krisis blast yang fatal,

dalam 3-5 tahun. Krisis blast adalah suatu kondisi ketika sel-sel blast gagal

menjadi matang dan menghasilkan kondisi seperti pada leukemia akut.22

LLA

TE

LMK PV

LNK

LMA

MMA

LMgA

Bagan 1. Skema transisi pada kelainan mieloproliferatif kronik

(Gambar diambil dari ‘Chronic Mieloproliferative Disorders’ oleh Pereira IT, 1998).21

Keterangan Gambar:

- LMK : Leukemia Mieloid Kronik

- MMA : Metaplasia Mieloid Agnogenic

- TE : Trombositemia Esensial

- PV : Polisitemia Vera

- LNK : Leukemia Neutrofilik Kronik

- LMA : Leukemia Mieloid Akut

- LLA : Leukemia Limfoblastik Akut

- LMgA : Leukemia Megakaryositik Akut

: Sering

: Jarang

Gambar tersebut menunjukkan bahwa beberapa kelainan yang termasuk

dalam myeloproliferatif kronik dapat mengalami transisi menjadi kelainan akut.

Transisi menjadi leukemia mieloid akut (LMA) sering terjadi pada leukemia

mieloid kronik (LMK), polisitemia vera (PV), dan trombositemia esensial (TE).

Fase Akselerasi dan Krisis Blast LMK

Istilah fase transformasi atau akselerasi adalah untuk menjelaskan keadaan

transisi dari kondisi yang terkendali menjadi leukemia yang sulit dikendalikan.

Kondisi paling parah, disebut krisis blast, dapat terjadi setelah satu periode

perburukan kondisi atau mungkin timbul secara tiba-tiba. Tingkat kelangsungan

hidup untuk pasien dengan krisis blast limfoid adalah sekitar 12 bulan, sementara

pada krisis blast mieloid sekitar 6 bulan.24

Temuan Laboratorium pada LMK fase akselerasi adalah jumlah trombosit

kurang dari 100.000/mm3, basofil lebih dari 20 persen, dan jumlah mieloblast

dalam darah lebih dari 10 persen. Pemeriksaan sitogenetika sumsum tulang

biasanya ditemukan kelainan tambahan baru di samping kromosom Ph. Pemberian

terapi imatinib mesylate 600 mg/hari telah meningkatkan prognosis. Respon

hematologi lengkap dapat dicapai sekitar 30 persen pasien dengan fase akselerasi,

bahkan respon sitogenetika lengkap untuk 15 persen pasien, dengan terapi

tersebut.24

Hematologi dan Immunofenotipik LMK

Anemia jarang terjadi pada awal penyakit, tetapi biasanya ada

trombositosis. Limpa bisa teraba ketika jumlah leukosit meningkat melebihi 40 x

103/mm3. Leukositosis ini akan terus meningkat dan ketika mencapai 30 – 90 x

103/mm3, gejala akan muncul.11 Studi oleh Kamada dan Uchino menunjukkan

bahwa tidak ada gejala ketika jumlah leukosit adalah kurang dari 50 x 10 3/mm3.

Tingkat keparahan penyakit meningkat sesuai dengan dan level leukositosis.21

Diagnosis LMK didasarkan pada pemeriksaan darah tepi serta biopsi

sumsum tulang. Leukositosis neutrofilik dan basofilia merupakan temuan paling

penting pada pemeriksaan darah perifer. Jumlah leukosit lebih dari 20 x 103/mm3

sampai 500 x 103/mm3. Rerata leukosit adalah sekitar 134 – 225 x 103/mm3. Sel

darah putih jenis didominasi sel neutrofilik, dimana seluruh tahapan pematangan

sel neutrophilic ditemukan. Trombositosis umumnya terjadi dan ditemukan pada

lebih dari 50 persen kasus LMK. Jumlah trombosit bisa sampai 1.000 x 103/mm3.

Anemia normositik normokromik didapatkan pada sebagian besar pasien LMK

juga menderita. Tingkat keparahan anemia proporsional dengan tingkat

leukositosis.22

Diketahui ada beberapa faktor prognostik leukemia yang lain meskipun

masih belum jelas. Faktor-faktor tersebut yakni leukositosis (> 100 x 103/mm3),

basophilia (≥ 15 - 20 persen), jumlah blast (> 1 persen dalam darah perifer atau > 5

persen di sumsum tulang), hitung trombosit (> 700 x 103/mm3 atau < 150 x

103/mm3), anemia berat, splenomegali, dan abnormalitas kariotype (selain

kromosom Philadelphia).21

Kromosom Philadelphia

Kromosom Philadelphia (Ph) adalah ciri khas LMK. Hal ini terdeteksi oleh

Nowell dan Hungerford pada tahun 1960. Ini adalah kelainan kromosom konsisten

pertama yang bisa dikaitkan dengan peristiwa patogenesis kanker. Ph kromosom

dikenal oleh Rowley (1973) sebagai kromosom 22 yang lebih pendek. Ini adalah

hasil dari suatu translokasi timbal balik dari segmen 3' (terhadap telomer) ABL

pada kromosom 9, segmen untuk 5' BCR pada kromosom 22. Translokasi ini

terjadi antara lengan panjang kromosom 9 dan 22, t(9;22)(q34;q11). Kromosom

Philadelphia mengandung sebagian kecil dari kromosom 9 yang membentuk gen

fusi abnormal, gen BCR-ABL. Kromosom Ph juga terdeteksi dalam beberapa

pasien leukemia limfoblastik akut (20 persen orang dewasa dan 5 persen pada

LLA anak), dan leukemia mieloid akut (sekitar 2 persen).9,25,26,27,28 Kasus tanpa gen

fusi abnormal ini, sebagai penanda genotip, akan dirujuk pada diagnosa selain

LMK.13

Kromosom Ph sebagian besar ditemukan sebagai kelainan kromosom

tunggal dalam fase kronik LMK. Kelainan genetik tambahan ditemukan dalam

fase akselerasi dan krisis blas LMK (60-80 persen), terutama dalam krisis blast

mieloid.

Gambar 2. Mekanisme terbentuknya variasi gen fusi abnormal BCR-ABL pada kromosom

Ph (Gambar diambil dari ‘The Biology Of Chronic Mieloid Leukemia’ oleh Faderl S, et

al, 1999).9

Keterangan:

: Lokasi break-point pada kromosom

Bcr : Break-point cluster region

F. Sitogenetika Terkait dengan Terapi

Mengetahui diagnosis leukemia dan memberikan terapi yang sesuai lebih

dini akan meningkatkan angka kesembuhan dan prognosis. Anak-anak dengan

LLA, setidaknya memiliki tingkat kesembuhan 80 persen. Angka kesembuhan

mendekati 95 persen pada anak-anak (1-10 tahun) dengan subtipe LLA common

sel-B. Angka kesembuhan LLA sel-T, berlawanan dengan LLA sel-B, lebih baik

pada orang dewasa dibandingkan pada anak-anak.29

Penelitian di Rumania, yang melibatkan 100 pasien leukemia, melaporkan

satu kasus t(3;5)(q26.3;q21) dengan trombositemia esensial yang respon baik

terhadap terapi hydroxyurea. Studi ini juga melaporkan 3 kasus yang tidak respon

terhadap berbagai terapi yang diberikan. Mereka adalah leukemia limfoblastik akut

tipe L3 dengan del(3)(q26); del(5)(p13); t(8;14)(q24;q32); del(9)(p11;q11);

inv(15)(p12;qter), leukemia akut dengan hiperdiploidi (48 - 54 kromosom) yang

berdiferensiasi buruk, dan leukemia mieloid akut dengan trisomi 16 di samping

kromosom Philadelphia.30

Translokasi t(4;11) dikaitkan dengan MY + LLA (marker mieloid). Sel

MY + LLA dapat merespon baik dengan terapi standar leukemia mieloid jika

menggunakan agen induksi untuk terapi LLA.4,31 Translokasi t(15;17)(q21;q21)

yang melibatkan gen reseptor asam retinoat (RARα) sangat penting untuk

perawatan klinis, terutama jika menggunakan asam retinoat LLA-trans. Hal ini

ditemukan pada lebih dari 70 persen sub kelompok LMA M3 (APL).8 Pasien LLA

dewasa dengan temuan sitogenetika t(1;19) tampak memiliki prognosis yang baik

ketika mendapat hyper-CVAD (hyperfractionated cyclophosphamide, vincristine,

doxorubicin (adriamycin), dan deksametason bergantian dengan methotrexate dan

sitarabin dosis tinggi) regimen dalam studi di Texas, Amerika Serikat.29,32

Kromosom Philadelphia t(9;22) yang ditemukan pada 95 persen kasus LMK juga

memiliki respon yang baik untuk imatinib.22 Tingkat survival rate 7 sampai 10

tahun dari pasien LMK yang diterapi imatinib mencapai 80-85 persen.33

Penghambat tyrosine kinase, seperti imatinib mesylate, juga tampak memberikan

hasil yang menggembirakan pada pasien LLA dengan Philadelphia positif. Efek

samping dari obat-obat penghambat tyrosine kinase dapat menginduksi terjadinya

disfungsi trombosit, sehingga pada pasien LLA yang mengalami trombositopenia,

pemberiannya harus lebih hati-hati.34

DAFTAR PUSTAKA

1. Fioretos T, Johansson B. Chronic Mieloid Leukemia. Dalam: Heim S dan

Mitelman F, editor. Cancer Cytogenetics Third Edition. Hoboken: John Wiley

& Sons Inc; 2009: 179-208.

2. Johansson B, Harrison CJ. Acute Mieloid Leukemia. Dalam: Heim S dan

Mitelman F, editor. Cancer Cytogenetics Third Edition. Hoboken: John Wiley

& Sons, Inc; 2009: 45-140.

3. Cao TM, Coutre SE. Acute Lymphoblastic Leukemia in Adults. Dalam: Greer

JP, Foerster J, Lukens JN, editor. Wintrobe's Clinical Hematology 11th

Edition. Pennsylvania: William & Wilkins Publishers; 2003: 4163-201.

4. Hobson AS. Acute Lymphoblastic Leukemias. Dalam: Stiene-Martin EA,

Lotspeich-Steininger CA, Koepke JA, editor. Clinical Hematology:

Principles, Procedures, Correlations, Second Edition. Philadelphia:

Lippincott-Raven Publishers; 1998.

5. Greer JP, Baer MR, Kinney MC. Acute Myeloid Leukemia in Adults. Dalam:

Greer JP, Foerster J, Lukens JN, editor. Wintrobe's Clinical Hematology 11th

Edition. Pennsylvania: William & Wilkins Publishers; 2003: 4202-296.

6. Herningtyas EH. Deteksi Ekspresi Gen Fusi BCR-ABL dan PML-RARA

pada Kasus Leukemia Dewasa di RS dr Sardjito (tesis). Yogyakarta:

Universitas Gadjah Mada; 2004.

7. Faradz SMH. Chromosomal Abnormalities in Leukemia. Dalam:

Hematology-Oncology Update: From Bench to Bed. Semarang: Universitas

Diponegoro; 2010.

8. Head DR. Classification and Differentiation of the Acute Leukemias. Dalam:

Greer JP, Foerster J, Lukens JN, editor. Wintrobe's Clinical Hematology 11th

Edition. Pennsylvania: William & Wilkins Publishers; 2003: 4139-162.

9. Faderl S, Talpaz M, Estrov Z, O'Brien S, Kurzrock R, Kantarjian HM. The

Biology Of Chronic Mieloid Leukemia. Dalam: Epstein FH, editor.

Mechanisms Of Disease. N Eng J Med. 1999; 341: 164-172.

10. Johansson B, Fioretos T, Mitelman F. Cytogenetic and Molecular Genetic

Evolution Of Chronic Myeloid Leukemia. Acta Haematol. 2002; 107(2): 76-

94.

11. Braziel RM, Launder TM, Druker BJ, Olson SB, Magenis RE, Mauro MJ,

Sawyers CL, Paquette RL, O'Dwyer ME. Hematopathologic and cytogenetic

findings in imatinib mesylate-treated chronic mielogenous leukemia patients:

14 months' experience. Blood. 2002; 100(2):435-441.

12. Mehta AB, Hoffbrand AV. At A Glance Hematology. Jakarta: Erlangga;

2008.

13. Heim S, Mitelman F. Nonrandom Chromosome Abnormalities in Cancer-An

Overview. Dalam: Cancer Cytogenetics Third Edition. John Wiley & Sons,

Inc; 2009: 25-38.

14. Soto AM, Sonnenschein C. The somatic mutation theory of cancer: growing

problems with the paradigm? BioEssays. 2004; 26: 1097-107.

doi: 10.1002/bies.20087. Dikutip dari: www.onlinelibrary.wiley.com

15. Blagosklonny MV . Molecular Theory of Cancer. Cancer Biol. Ther. 2005; 6:

621-7. Dikutip dari: www.ncbi.nlm.nih.gov

16. Moynahan ME, Jasin M. Mitotic Homologous Recombination Maintains

Genomic Stability And Suppresses Tumorigenesis. Nat. Rev. Mol. Cell Biol.

2010; 11: 196-206. Dikutip dari: www.nature.com.

17. Bain BJ. Leukaemia Diagnosis 4th Edition. Hoboken: Wiley-Blackwell; 2010.

18. Evans VJ. Acute Mieloproliferative Leukemia (Acute Nonlymphocytic

Leukemia). Dalam: Stiene-Martin EA, Lotspeich-Steininger CA, Koepke JA,

editor. Clinical Hematology: Principles, Procedures, Correlations, Second

Edition. Philadelphia: Lippincott-Raven Publishers; 1998.

19. Ghosh S, Shinde SC, Kumaran GS, Sapre RS, Dhond SR, Badrinath Y, et al.

Hematologic and immunophenotypic profile of acute mieloid leukemia: an

experience of Tata Memorial Hospital. Indian J Cancer. 2003; 40(2): 71-6.

20. Scherrer RT, Mitterbauer G, Simonitsch I, Jaeger U, Lechner K, Schneider B,

et al. The Immunophenotype of 325 Adult Acute Leukemias. American

Journal of Clinical Pathology; Hematopathol. 2002.

21. Pereira IT. Chronic Myeloproliferative Disorders. Dalam: Stiene-Martin EA,

Lotspeich-Steininger CA, Koepke JA, editor. Clinical Hematology:

Principles, Procedures, Correlations, Second Edition. Philadelphia:

Lippincott-Raven Publishers; 1998.

22. Rabinowitz I, Larson RS. Chronic Myeloid Leukemia. Dalam: Greer JP,

Foerster J, Lukens JN, editor. Wintrobe's Clinical Hematology 11th Edition.

Pennsylvania: William & Wilkins Publishers; 2003: 4441-472.

23. Sawyers Cl. Chronic Mieloid Leukemia. N Eng J Med. 1999; 340: 1330-340.

24. Lichtman MA, Beutler E, Seligsohn U, Kaushansky K, Kipps TO. Williams

Hematology Seventh Edition. McGraw-Hill Companies; 2007.

25. Sait SNJ, Baer MR. Cytogenetic. Dalam: Greer JP, Foerster J, Lukens JN,

editor. Wintrobe's Clinical Hematology 11th Edition. Pennsylvania: William

& Wilkins Publishers; 2003: 265-304.

26. Kurzrock R, Kantarjian HM, Druker BJ, Talpaz M. Philadelphia

Chromosome–Positive Leukemias, From Basic Mechanisms To Molecular

Therapeutics. Ann Intern Med. 2003; 138: 819-30.

27. Goldman JM, Melo JV. Mechanisms Of Disease: Chronic Mieloid Leukemia

—Advances In Biology And New Approaches To Treatment. N Eng J Med.

2003; 349: 1451-64.

28. Nussbaum RL, McInnes RR, Willard HF, Hamosh A. Thompson &

Thompson Genetics in Medicine 7th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier;

2007.

29. Hess CE. Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) L1 subtype. University of

Virginia Health System. 2008. Dikutip dari: www.healthsystem.virginia.edu.

30. Lungeanu A, Arghir A, Lupu A, Popescu DM, Berbec N. Relationship

between Chromosomal Changes Complexity and Disease Aggressiveness in

Mieloid and Lymphoid Disorders. J Cell Mol Med. 2002; 6(3): 389–98.

31. Chiaretti S, Li, Gentleman R, Vitale A, Wang KS, Franco M, et al. Gene

Expression Profiles of B-lineage Adult Acute Lymphocytic Leukemia Reveal

Genetic Patterns that Identify Lineage Derivation and Distinct Mechanisms of

Transformation. Clin Cancer Res. 2005; 11: 7209-19.

32. Garg R, Kantarjian H, Thomas D, Faderl S, Ravandi F, Lovshe D, et al.

Adults with Acute Lymphoblastic Leukemia and Translocation (1;19)

Abnormality Have A Favorable Outcome with Hyperfractionated

Cyclophosphamide, Vincristine, Doxorubicin, and Dexamethasone

Alternating with Methotrexate and High-Dose Cytarabine Chemotherapy.

Cancer. 2009 May 15; 115 (10): 2147-54.

33. Kantarjian H, Cortes J. Considerations in the Management of Patients with

Philadelphia Chromosome–Positive Chronic Myeloid Leukemia Receiving

Tyrosine Kinase Inhibitor Therapy. JCO April 20, 2011; 29 (12): 1512-16.

Doi: 10.1200/JCO.2010.33.9176. Dikutip dari : www.171.66.121.246

34. Patel SB, Gojo I, Tidwell ML, Sausville EA, Baer MR. Subdural Hematomas

in Patients with Philadelphia Chromosome-Positive Acute Lymphoblastic

Leukemia Receiving Imatinib Mesylate in Conjunction with Systemic and

Intrathecal Chemotherapy. Leukemia & Lymphoma. 2011; 52(7): 1211-214.