keganasan darah

38
BAB I PENDAHULUAN Leukemia adalah penyakit keganasan pada jaringan hematopoietik yang ditandai dengan penggantian elemen sumsum tulang normal oleh sel darah abnormal atau sel leukemik. Hal ini disebabkan oleh proliferasi tidak terkontrol dari klon sel darah immatur yang berasal dari sel induk hematopoietik. Sel leukemik tersebut juga ditemukan dalam darah perifer dan sering menginvasi jaringan retikuloendotelial seperti limpa, hati dan kelenjar limfe. 1-3 Dalam tahun 2006 diperkirakan ada 35.000 orang di Amerika Serikat yang terdiagnosis menderita leukemia, 25% di antaranya berumur di atas 50 tahun dan sisanya menyerang anak-anak dan orang dewasa. Menurut WHO (2002) leukemia terjadi hampir di

Upload: simpati91

Post on 28-Nov-2015

30 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

onkology, hematologi

TRANSCRIPT

Page 1: keganasan darah

BAB I

PENDAHULUAN

Leukemia adalah penyakit keganasan pada jaringan hematopoietik yang ditandai dengan

penggantian elemen sumsum tulang normal oleh sel darah abnormal atau sel leukemik. Hal ini

disebabkan oleh proliferasi tidak terkontrol dari klon sel darah immatur yang berasal dari sel

induk hematopoietik. Sel leukemik tersebut juga ditemukan dalam darah perifer dan sering

menginvasi jaringan retikuloendotelial seperti limpa, hati dan kelenjar limfe.1-3

Dalam tahun 2006 diperkirakan ada 35.000 orang di Amerika Serikat yang terdiagnosis

menderita leukemia, 25% di antaranya berumur di atas 50 tahun dan sisanya menyerang anak-

anak dan orang dewasa. Menurut WHO (2002) leukemia terjadi hampir di seluruh dunia.

Registrasi kanker telah mencatat sekitar 250.000 kasus baru per tahun dengan CFR (Case

Fatality Rate) 76%. Dari 100.000 kasus baru kanker, Leukemia Mielositik Akut (LMA) sekitar

2,5%, sementara Leukemia Limfositik Akut (LMA) adalah sekitar 1,3% (WHO, 2002). Insiden

leukimia lebih sering pada laki-laki dibanding wanita. Data The Leukemia and Lymphoma

Society (2009) menyebutkan bahwa setiap 4 menit terdapat 1 orang meninggal karena kanker.

I.1 DEFINISI

Leukemia atau kanker darah adalah sekelompok penyakit neoplastik yang beragam,

ditandai oleh perbanyakan secara tak normal atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk

darah di sumsum tulang dan jaringan limfoid. Sel-sel normal di dalam sumsum tulang digantikan

oleh sel tak normal atau abnormal. Sel abnormal ini keluar dari sumsum dan dapat ditemukan di

dalam darah perifer atau darah tepi. Sel leukemia mempengaruhi hematopoiesis atau proses

pembentukan sel darah normal dan imunitas tubuh penderita.

Kata leukemia berarti darah putih, karena pada penderita ditemukan banyak sel darah

putih sebelum diberi terapi. Sel darah putih berasal dari sel stem di sumsum tulang.

Page 2: keganasan darah

Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih mengalami

gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Sel darah putih yang tampak banyak

merupakan sel yang muda, misalnya promielosit. Jumlah yang semakin meninggi ini dapat

mengganggu fungsi normal dari sel lainnya.

I.2 ETIOLOGI

Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti, namun diketahui beberapa faktor yang

dapat mempengaruhi frekuensi leukemia, seperti :

1. Radiasi

Radiasi dapat meningkatkan frekuensi LMA dan LMA. Tidak ada laporan mengenai

hubungan antara radiasi dengan LLK. Beberapa laporan yang mendukung :

  Para pegawai radiologi lebih sering menderita leukemia

  Penderita dengan radioterapi lebih sering menderita leukemia

  Leukemia ditemukan pada korban hidup kejadian Hiroshima dan Nagasaki.

2. Leukemogenik

Pewarna tekstil (rhodamin) digunakan mewarnai  jelly dan minuman agar menarik minat

anak-anak untuk dikonsumsi. Sayuran dan buah-buahan sudah tercemar bahan kimia, akibat

pemupukan dan insektisida, sebelum sampai ketangan konsumen.

  Hampir semua makanan saat ini menggunakan MSG, monosodium glutamat, perasa

yang berbahan kimia.

  Obat untuk kemoterapi

Page 3: keganasan darah

  Bahan bakar bensin

3. Genetic

Orang yang memiliki kelainan genetk tertentu (misalnya sindroma

Down dan sindroma Fanconi), juga lebih peka terhadap leukemia.

4. Virus

Virus HTLV-I (human T-cell lymphotropic virus type I), yang menyerupai virus

penyebab AIDS, diduga merupakan penyebab jenis leukemia yang jarang terjadi pada

manusia, yaitu leukemia sel-T dewasa.

1.3 KLASIFIKASI

Leukemia dapat diklasifikasikan berdasarkan :

1. Perjalanan alamiah penyakit: akut dan kronis

Leukemia akut ditandai dengan suatu perjalanan penyakit yang sangat cepat,

mematikan, dan memburuk. Apabila tidak diobati segera, maka penderita dapat

meninggal dalam hitungan minggu hingga hari.

Leukemia kronis memiliki perjalanan penyakit yang tidak begitu cepat sehingga

memiliki harapan hidup yang  lebih  lama, hingga  lebih dari 1  tahun bahkan ada yang

mencapai 5 tahun.

2. Tipe sel predominan yang terlibat: limfoid dan myeloid

Kemudian, penyakit diklasifikasikan dengan jenis sel yang ditemukan pada sediaan darah

tepi.

  Ketika leukemia mempengaruhi limfosit atau sel limfoid, maka disebut leukemia

Page 4: keganasan darah

limfositik.

  Ketika leukemia mempengaruhi sel mieloid seperti neutrofil, basofil,

dan eosinofil, maka disebut leukemia mielositik.

3. Jumlah leukosit dalam darah

Prevalensi empat tipe utama

  Leukemia leukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah lebih dari normal,

terdapat sel-sel abnormal

  Leukemia subleukemik, bila jumlah  leukosit di dalam darah kurang dari normal,

terdapat sel-sel abnormal

  Leukemia aleukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah kurang dari normal,

tidak terdapat sel-sel abnormal

Dengan mengkombinasikan dua klasifikasi pertama, maka leukemia dapat dibagi menjadi:

1. Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan tipe leukemia paling sering terjadi pada anak-

anak. Penyakit ini juga terdapat pada dewasa yang terutama telah berumur 65 tahun atau

lebih

2. Leukemia mieloblastik akut (LMA) lebih sering terjadi pada dewasa daripada anak-

anak. Tipe ini dahulunya disebut leukemia nonlimfositik akut.

3. Leukemia limfositik kronis (LLK) sering diderita oleh orang dewasa yang berumur lebih dari

55 tahun. Kadang-kadang  juga diderita oleh dewasa muda, dan hampir  tidak ada pada anak-

anak

4. Leukemia mielositik kronis (LMK) sering terjadi pada orang dewasa. Dapat juga terjadi pada

anak-anak, namun sangat sedikit

Page 5: keganasan darah

Tipe yang sering diderita orang dewasa adalah LMA dan LLK, sedangkan LLA sering terjadi

pada anak-anak.

3. Leukemia limfositik kronis (LLK) sering diderita oleh orang dewasa yang berumur lebih dari

55 tahun. Kadang-kadang  juga diderita oleh dewasa muda, dan hampir  tidak ada pada anak-

anak

4. Leukemia mielositik kronis (LMK) sering terjadi pada orang dewasa. Dapat juga terjadi pada

anak-anak, namun sangat sedikit

Tipe yang sering diderita orang dewasa adalah LMA dan LLK, tapi LLA sering pada anak.

Page 6: keganasan darah

BAB II

LEUKIMIA LIMFOBLASTIK AKUT

II.1 DEFINISI

Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan

transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari sel myeloid. Bila tidak

diobati,penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa minggu

sampai bulan sesudah diagnosis. Di Negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32%

dari seluruh kasus leukemia. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada

anak(15%). Insidens LMA umumnya tidak berbeda dari masa anak-anak hingga masa dewasa

muda. Sesudah usia 30 tahun, insidensi LMA meningkat secara eksponensial sejalan dengan

meningkatnya usia. LMA pada orang yang berusia 30 tahun adalah 0,8%, pada orang

yangberusia 50 tahun 2,7%, sedang pada orang yang berusia di atas 65 tahun adalah sebesar

13,7%.Secara tidak umum  tidak didapatkan adanya variasi antar etnik tentang insidensi LMA,

meskipunpernah dilaporkan adanya insidens LMA tipa M3 yang 2,9 hingga 5,8 kali besar pada

ras Hispanik yang tinggal di Amerika Serikat dibandingkan dengan ras Kaukasia.

II.2 ETIOLOGI

Etiologi LMA  tidak diketahui. Meskipun demikian, ada beberapa faktor yang diketahui

dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor predisposisi LMA pada populasi tertentu.

Benzene merupakan zat leukomogenik untuk LMA. Selain itu, radiasi ionik juga diketahui

Dapat menyebabkan LMA. Terdapat penelitian pada orang-orang yang selamat dari serangan bom

Page 7: keganasan darah

atom Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Efek leukomogenik dari paparan ion radiasi

tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun sesudah pengeboman dan mencapai puncak 6 atau 7 tahun

sesudah pengeboman. Faktor lain yang merupakan predisposisi untuk LMA adalah trisomi

kromosom 21 yang dijumpai pada penyakit herediter sindrom Down. Pasien sindrom Down

mempunyai risiko10 hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe

M7. Selain itu pasien beberapa sindrom genetik seperti sindrom Bloom dan anemia Fanconi juga

diketahui mempunyai risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal untuk

menderita LMA. Faktor lain yang memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan

kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor padat. LMA akibat terapi adalah komplikasi jangka

panjang yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma multipel, kanker payudara, kanker

ovarium dan kanker testis. Jenis kemoterapi yang paling sering memicu timbulnya LMA adalah

golongan alkalyting agent dan topoisomerase II inhibitor. LMA akibat terapi mempunyai

prognosis yang  lebih buruk dibandingkan LMA de novo sehingga di dalam klasifikasi leukemia

versi WHO dikelompokkan tersendiri.

II.3 PATOGENESIS

Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan proses

diferensiasisel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi

blast disumsum  tulang. Akumulasi blast di dalam sumsum  tulang akan menyebabkan gangguan

hematopoesis normal dan pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum

tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia

(anemia, leukopenia dan trombositopenia). Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah

lelah dan pada kasus yang lebih berat sesak nafas, adanya trombositopenia akan menyebabkan

Page 8: keganasan darah

 tanda-tanda perdarahan, sedang adanya leukopenia akan menyebabkan pasien rentan terhadap

infeksi,termasuk infeksi oportunistis dari flora bakteri normal yang ada di dalam tubuh manusia.

Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar sumsum

tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem syaraf

pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.

II.4 TANDA-TANDA DAN GEJALA

Tidak selalu dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA,

sedang15% pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35% pasien mengalami

netropenia. Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan

ditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu sangat penting untuk memeriksa rincian jenis

sel-sel  leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis

pada orang yang diduga menderita LMA.

Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang disebabkan

oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana disebutkan di atas. Perdarahan biasanya

terjadi adalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah atau

berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi

kecualipada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini paling sering dijumpai di

tenggorokan,paru-paru, kulit dan daerah perirektal, sehingga organ-organ tersebut harus

diperiksa secara teliti pada pasien LMA dengan demam.

Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (>100 ribu/mm3), sering terjadi

leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena

maupun arteri. Gejala leukostasis, yaitu terjadinya gumpalan leukosit yang menyumbat aliran

Page 9: keganasan darah

pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukostasis sangat bervariasi, tergantung lokasi

sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada

dan priapismus. Angka leukosit yang sangat tinggi juga sering menimbulkan gangguan

metabolisme berupa hiperurisemia dan hipoglikemia. Hiperurisemia terjadi akibat sel-sel leukosit

yang berproliferasi secara cepat dalam jumlah yang besar. Hipoglikemia terjadi karena

konsumsi gula in vitro dari sampel darah yang akan diperiksa, sehingga akan dijumpai

hipoglikemia yang asimptomatik karena hipoglikemia tersebut hanya terjadi in vitro tetapi

tidak in vivo pada tubuh pasien.

Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi tergantung organ yang

diinfiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa

benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan

lunak akan menyebabkan nodul di bawah kulit (lkoroma).  Infiltrasi sel-sel blast ke dalam gusi.

Meskipun  jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah menings dan

untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebro spinal yang

diambil melalui prosedur pungsi lumbal.

II.5 DIAGNOSIS

LMA khas menunjukkan tanda dan gejala yang berkaitan dengan kegagalan sumsum tulang.

LMA harus dipertimbangkan dalam evaluasi setiap penderita dengan pucat, demam, infeksi, atau

perdarahan. Hepatosplenomegali sering, limfadenopati mungkin ada. Hipertrofi gingiva atau

pembengkakan kelenjar parotis  jarang  tetapi merupakan temuan yang sugestif. Massa  lokal dari

sel leukemia (kloroma), mungkin timbul di tempat manapun, tetapi daerah retro orbital dan

epidural paling sering. Kloroma dapat mendahului infiltrasi sel leukemia sumsum tulang. Hitung

Page 10: keganasan darah

darah biasanya abnormal. Anemia dan trombositopenia sering mencolok. Hitung leukosit

mungkin tinggi, rendah, atau normal. Blas leukemia mungkin nyata pada preparat apus darah.

LMA mungkin  timbul pada anak yang mula-mula hanya menunjukkan anemia,  leokopenia atau

trombositopenia saja. Keadaan  ini, yang  lebih sering  terjadi pada dewasa, khas disebut sindrom

mielodisplasia. Sindrom mielodisplasia mempunyai beberapa kesamaan dengan LMA, tetapi

sumsum tulang mengandung persentase sel blas yang lebih rendah dan mempunyai gambaran

displasia yang khas, termasuk megaloblastosis. Penderita mungkin tidak tampak sakit pada

waktu diperiksa dan hanya anemia dan leukopenia yang mendorong mereka untuk memeriksakan

diri ke dokter. Gambaran khasnya meliputi kelainan morfologi sel darah dan sumsum  tulang.

Perjalanan alamiah sindrom mielodisplasia pada anak tidak begitu jelas, tetapi dapat timbul pada

anak yang mendapat terapi keganasan sebelumnya.

Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, morfologi sel dan

pewarnaan sitokimia. Sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu berkembang 2 teknik

pemeriksaan terbaru: immunoserotyping dan analisis sitogenetik. Berdasarkan pemeriksaan

morfologi sel dan pengecatan sitokimia, klasifikasi LMA terdiri dari 8 subtipe (M0 sampai

M7).Klasifikasi ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French American British). Klasifikasi

FAB saat  ini masih menjadi dasar LMA. Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien LMA

adalah Sudan Black B (SBB) dan mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut

akan memberikan hasil positif pada pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4 dan M6.

Klasifikasi menurut FAB

LMA-M0 : Leukemia mielositik akut : Diferensiasi minimal

LMA-M1 : leukemia mieloblasti akut : tanpa maturasi

Page 11: keganasan darah

LMA-M2 : Leukemia mieloblastik akut : dengan maturasi

LMA-M3 : leukemia promielositik akut

LMA-M4 : leukemia mielomonositik akut

LMA-M5 : leukemia monositik akut

LMA-M6 : Eritroleukemia

LMA-M7 : Leukemia megakariositik akut

Di antara anak, jumlah kasus dengan subtipe M0, M1, dan M2 kira-kira sama dengan jumlah

penderita dengan M4 dan M5, tipe FAB ini bertanggung jawab atas 80% dari LMA masa kanak-

kanak. Subtipe M3 dan M7 lebih jarang, dan M6 langka. Sistem klasifikasi ini memudahkan

penelitian mengenai perjalanan klinis dan memungkinkan pembandingan berbagai terapi.

Peristiwa molekuler spesifik mendasar beberapa tipe FAB.

Meskipun diatesis hemoragi (DIC pada waktu pertama diperiksa atau kemudian) dapat terjadi

pada semua kelompok FAB, penderita dengan  leukemia promielositik akut  (M3) yang  terutama

beriksiko. Penemuan yang hampir selalu tetap pada subtipe ini adalah translokasi materi genetik

antara kromosom 15 dan 17, ini menghasilkan gena fusi yang meliputi gena yang menyandi

reseptor asam retinoat- . Asam retinoat dapat secara efektif menginduksi remisi pada penderita

ini. Translokasi antara kromosom 8 dan 21, khas terdapat pada M2, berkaitan erat dengan

kloroma. Inversi material genetik di kromosom 16 dapat dijumpai pada M4, di mana eosinofilia

merupakan gambaran yang menonjol.

Page 12: keganasan darah

Perubahan kromosom,  termasuk  trisomi 8 dan delesi sempurna atau sebagian dari kromosom 5

atau 7, mungkin ada, Delesi kromosom 5 atau 7 terutama sering pada sindrom mielodisplasia

sekunder dan LMA sekunder.

Leukemia mielogenik kronis juvenil (juvenile chronic myelogenous leukemia (JCML)) tidak

seperti leukemia myeloid kronis (chronic myeloid leukemia (CML)) tipe dewasa, tetapi

mempunyai gambaran yang serupa dengan gambaran LMA dan sindrom mielodsiplasia.

Kromosom Philadelphia tidak ada pada JCML. Gejala dan tanda nonspesifik meliputi demam,

lesu, pembesaran hati dan  limpa, dan adenopati. Erupsi kulit makulopapular desquamatif kronis

sering mengaburkan diagnosis. Kenaikan Hb-F yang mencolok, yang dapat mencapai 50%, dan

leukositosis (terutama monositosis darah dan sumsum tulang) merupakan temuan yang

mencolok. JCML jarang ditemukan pada umur lebih dari 5 tahun dan mungkin lebih sering pada

anak dengan neurofibromatosis tipe 1, kasus-kasus familier atau herediter pernah dilaporkan.

Klasifikasi WHO Untuk LMA

I. I.LMA dengan translokasi sitogenetik rekuren

LMA dengan t (8;21) (q22;q22),AML 1 (CBF )/ETO APL dengan t(15;17)

(q22;q11-12) dan varian-variannya, PML/RAR

LMA dengan eosinofil sumsum tulang abnormal dengan  inv (16) (p13q22) atau t

(16;16) (p13;q11) CBF /MHY11

LMA dengan abnormalitas 11q23 (MLL)

II. LMA dengan multilineage dysplasia dengan sindrom myelodisplasia tanpa sindrom

myelodisplasia

III. LMA dan sindrom myelodisplastik yang berkaitan dengan terapi akibat obat alkilasi

akibat epipodofilotoksin (beberapa merupakan kelainan limpfoid) tipe lain.

Page 13: keganasan darah

IV. LMA yang tidak terspesifikasi

LMA diferensiasi minimal

LMA tanpa maturasi

LMA dengan diferensiasi monositik

Leukemia monositik akut

Leukemia eritroid akut

Leukemia megakariositik akut

Leukemia basofilik akut Panmielosis akut dengan mielofibrosis

II.6 TERAPI

Terapi LMA direncanakan untuk tujuan kuratif. Penderita yang mempunyai peluang besar untuk

mencapai  tujuan kuratif adalah mereka yang berusia <60 tahun,  tanpa komorbiditas yang berat

serta mempunyai profil sitogenik yang favorable. Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang

maksimal, sangat penting untuk melakukan skrining awal dengan teliti sebelum pengobatan

dimulai. Skrining awal ini, terutama ditujukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya infeksi,

gangguan fungsi jantung (regimen terapi standar LMA mengandungi preparat golongan

antrasiklin yang bersifat kardiotoksik) dan adanya koagulopati yang sering ditemukan

padapenderita LMA. Selain itu, penderita yang mempunyai angka leukosit pra-terapi yang

sangattinggi (>100 ribu/mm3), mungkin memerlukan tindakan leukoparesis emergensi untuk

menghindari leukostaisi dan sindrom tumor lisis akibat terapi induksi, sangat penting untuk

mengingatkan agar terapi LMA sebaiknya dilakukan di rumah sakit yang mempunyai tim

leukemia yang bersifat multi-disiplin, sarana laboratorium mikrobiologi yang memadai, akses

Page 14: keganasan darah

untuk  transfusi darah yang  lengkap serta ruang steril/semi-steril untuk pelaksanaan pengobatan.

Tanpa prasarana tersebut angka kematian saat pengobatan akan sangat tinggi.

Untuk mencapai hasil pengobatan yang kuratid harus dilakukan eradikasi sel-sel klonal leukemik

dan memulihkan hematopoesis normal di dalam sumsum tulang. Survival jangka panjang hanya

didapatkan pada pasien yang mencapai remisi komplit. Dosis kemoterapi tidak perlu diturunkan

karena alasan adanya sitopenia, karena dosis yang diturunkan  ini  tetap akan menimbulkan efek

samping berat berupa supresi sumsum tulang, tanpa punya efek yang cukup untuk mengeradikasi

sel-sel leukemik maupun untuk mengembalikan fungsi sumsum tulang.

Eradikasi sel-sel leukemik yang maksimal, memerlukan strategi pengobatan yang

baik.Umumnya regimen kemoterapi untuk pasien LMA terdiri dari dua fase: fase induksi dan

fasekonsolidasi. Kemoterapi fase induksi adalah regimen kemoterapi yang intensif bertujuan

untuk mengeradikasikan sel-sel leukemik secara maksimal sehingga tercapai remisi komplit.

Istilah remisi komplit digunakan bila jumlah sel-sel darah di peredaran darah tepi kembali

normal sertapulihnya populasi sel di sumsum tulang termasuk tercapainya jumlah sel-sel blast

<5%. Perlu ditekankan disini, meskipun terjadi remisi komplit tidak berarti sel-sel klonal

leukemik telah tereradikasi seluruhnya, karena sel-sel leukemik akan terdeteksi secara klinik bila

jumlahnya lebih dari 109 log sel. Jadi pada kasus remisi komplit, masih tersisa sejumlah

signifikan sel-sel leukemik di dalam tubuh pasien tetapi tidak dapat dideteksi. Bila dibiarkan, sel-

sel  ini berpotensi menyebabkan kekambuhan di masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu,

meskipun pasien telah mencapai remisi komplit perlu ditindak lanjuti dengan program

pengobatan selanjutnya yaitu kemoterapi konsolidasi. Kemoterapi konsolidasi biasanya terdiri

dari beberapa siklus kemoterapi dan menggunakan obat dengan  jenis dan dosis yang sama atau

lebih besar dari dosis yang digunakan pada fase induksi. Pengobatan eradikasi sel-sel  tumor ini

Page 15: keganasan darah

sebenarnya dapat menyebabkan eradikasi sisa-sisa sel hematopoiesis normal yang ada di dalam

sumsum tulang, sehingga pasien LMA akan mengalami periode apalsia pasca terapi induksi.

Pada saat  tersebut pasien sangat rentan  terhadap infeksi dan perdarahan. Pada kasus yang berat

kedua komplikasi ini dapat berakibat fatal. Oleh karena itu terapi suportif berupa penggunaan

antibiotika dan transfusi komponen darah (khususnya sel darah merah dan trombosit) sangat

penting untukmenunjang keberhasilan terapi LMA. Terapi LMA dibedakan menjadi 2 yaitu

terapi untuk LMA pada umumnya dan terapi khusus untuk leukemia promielositik akut (LPA)

II.6.1. Terapi LMA pada Umumnya

Terapi standar 7+3 adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan daunorubisin

dengan protokol sitarabin 100mg/m2 diberikan secara infus kontinyu selama 7 hari dan

daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari. Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi

komplit dengan terapi sitarabin dan daunorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal, sedang

bila diberikan sebagai kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. Bila terdapat

residual disease pada hari ke-28 perlu dipertimbangkan adanya gagal terapi primer dan perlu

dimulai terapi alternatif dengan regimen lain.

Pada pasien dengan gangguan fungsi  jantung pemakaian antrasiklin merupakan kontra  indikasi

terutama bila  terdapat riwayat miokard infark dan fraksi ejeksi kurang dari 50%. Pilihan  terapi

pada kondisi ini adalah high dose cytarabine (ara-C)/HDAC. Regimen terapi yang dipakai pada

HDAC adalah sitarabin 2-3 g/m2 infus iv selama 1-2 jam tiap 12 jam selama 12 dosis atau

sitarabin 2-3 g/m2 selama 2 jam setiap 12 jam pada hari 1,3 dan 5.

Pilihan untuk terapi post remisi dapat berupa kemoterapi konsolidasi, transplantasi sel stem

hematopoetik (Hematopoetic stem cell transplantion/HSCT) otolog, atau HSCT alogenik. Jenis

Page 16: keganasan darah

terapi pada pasca remisi ditentukan berdasarkan usia dan faktor prognostik, terutama

profilsitogenetik. Sebagian besar pasien usia muda memberikan respons yang lebih baik

dibanding pasien usia tua.

Bila terjadi relaps dapat diberikan lagi kemoterapi intensif dan/atau HSCT untuk mencapairemisi

komplit kedua atau hanya diberikan perawatan suportif. Pencapaian remisi komplit keduatidak

begitu dipengaruhi karakter sitegenetik, namun lebih dipengaruhi oleh durasi remisi komplit

pertama, usia, dan ada tidaknya komorbiditas aktif. Durasi median remisi komplit kedua

umumnya kurang dari 6 bulan bila tanpa HSCT dengan disease-free survival kurang dari 10

bulan. Survival meningkat bila sebelumnya pasien telah menjalani HSCT alogenik, namun donor

untuk prosedur tersebut umumnya terbatas.

II.6.2 Terapi Leukimia Promielositik Akut

Insidensi LPA sebesar 10-15% pasien LMA. Penyakit ini ditandai dengan kelainan sitogenetik

berupa t (15,17) yang dijumpai pada sekitar 90% kasus. Kelainan sitogenetik t (15;17) akan

menyebabkan fusi gen PML dan RAR, menjadi gen PML-RAR. Fusi gen PML-RAR

mengakbatkan blokade maturitas pada seri promielosit sehingga terjadi LPA. Kini

dikembangkan suatu obat yang disebut all-trans retinoic acid (ATRA) yang menjadikan fusi gen

PML-RAR sebagai target aksi kerjanya. Pengobatan LPA dengan ATRA menghasilkan angka

kesembuhan lebih dari 70%.

LPA merupakan predisposisi untuk  terjadinya koagulopati yang dalam hal  ini diakibatkan oleh

kombinasi antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien dengan manifestasi koagulopati yang

dalam hal ini diakibatkan oleh kombinasi antara DIC dan hiperfibrinolisis primer. Pasien dengan

manifestasi koagulopati harus segera mendapat terapi induksi (ATRA). Pada pasien

Page 17: keganasan darah

yangmengalami perdarahan yang tidak terkendali (setelah terapi transfusi) dapat diberikan e-

aminocaproic acid (EACA) dan trananexamid acid.

Terapi induksi LPA terdiri atas kombinasi ATRA plus kemoterapi berbasis antrasiklin.

Antrasiklin dapat menginduksi remisi pada 60-90% pasien bila digunakan sebagai obat

tunggal.Sel leukemik pasien LPA sensitif terhadap antarsiklin karena rendahnya ekspresi Pgp

dan petanda resistensi lainnya pada sel-sel LPA dibanding dengan subtipe LMA lainnya. ATRA

adalah suatu derivatif vitamin A yang mampu menginduksi remisi klinis dengan mengaktifkan

maturasi sel tanpa menyebabkan hipoplasia sumsum tulang. Sebagai obat tunggal ATRA

menginduksi remisi pada 72-81% pasien. Umumnya ATRA mulai diberikan dalam 2-3 hari

pertama pada pasien dengan perdarahan berat untuk mengatasi koagulopati pada LPA sebelum

mulai dengan terapi berbasis antrasiklin. Cara ini akan menyebabkan angka lekosit menjadi

tidakterlalu tinggi lagi. Selain  itu, cara ini menurunkan insidens sindrom asam retinoid (retinoid

acid syndrome/RAS)

Terapi induksi menggunakan ATRA 45mg/m2/hari per oral yang terbagi dalam 2 dosis setiap

hari sampai remisi komplit plus derivat antrasiklin, daunorubisin 50-60 mg/m2/hari selama 3 hari

atau idarubisin 12mg/m2/hari selama 4 hari. Terapi induksi dilanjutkan dengan terapi konsolidasi

dengan kemoterapi berbasis antarsiklin dan terapi pemeliharaan dengan menggunakan ATRA.

RAS dapat terjadi pada 10-15% pasien dan umumnya terjadi 7-14 hari setelah terap ATRA.

RAS jarang terjadi selama penyembuhan akibat aplasia setelah kemoterapi dan selama terapi

pemeliharaan. RAS adalah suatu sindrom kebocoran kapiler dengan manifestasi demam,

distresrespirasi, dan munculnya infiltrat pada paru. Dapat juga  terjadi peningkatan berat badan,

efusipleura atau efusi perikard, dan gagal ginjal. Lekositosis berat merupakan faktor prognostic

walaupun PAS sering juga terjadi pada lekopenia. Bila angka lekosit lebih dari 5000-

Page 18: keganasan darah

10000/uL,ATRA dan kemoterapi diberikan bersama-sama pada saat awal terapi. Bila saat

monoterapi ATRA terjadi lekositosis lebih dari 10000/uL induksi kemoterapi harus segera

dimulai. Tanpa melihat angka lekosit dan kemungkinan sepsis netropenia, bila terdapat sesak dan

infiltrat paru,dengan atau  tanpa demam,  terapi deksametason harus segera diberikan (10mg  iv 2

kali sehari).Terapi ATRA dapat dihentikan sampai RAS menunjukkan perbaikan.

Sekitar 20%-30% pasien LPA ang mencapai remisi komplit dengan terapi berbasis ATRA akan

mengalami relaps dan umumnya kelompok pasien  ini  juga resisten terhadap  terapi ATRA yang

berikutnya. Arsenik, suatu racun yang sudah digunakan sebagai obat pada pengobatan tradisional

Cina sejak beberapa abat yang lalu, diketahui mempunyai efek pengobatan yang positif pada

pasien ATRA yang relaps atau resisten terhadap terapi ATRA. Salah satu komponen arsen yang

sering digunakan di dalam klinik untuk terapi LPA yang relaps atau resisten terhadap ATRA

adalah arsenic trioxide (ATO). Sebagai terapi LPA, ATO mempunyai mekanisme kerja; memacu

degradasi fusi protein PML-RAR (khususnya protein PML, menginduksi apoptosis, memacu

diferensiasi sel-sel leukemik serta menghambat apoptosis. ATO umumnya diberikan dengan

dosis 0,15mg/kgBB melalui infus 3  jam hingga tercapai remisi komplit,maksimal pemberian 50

hari. Pada pasien LPA relaps, terapi ATO menghasilkan respon sebesar 70% - 100%.

II.7 PROGNOSIS

Dengan terapi agresif, 40-50% penderita yang mencapai remisi akan hidup  lama (30-40% angka

kesembuhan keseluruhan). Penderita yang mengalami  relaps setelah mendapat kemoterapi atau

transplantasi autolog dapat diterapi dengan transplantasi dengan CST allogenik sebagai terapi

penyelamatan. Beberapa subtipe morfologi atau genetik LMA mempunyai prognosis yang

semakin baik

Page 19: keganasan darah