keganasan kepala dan leher

58
KEGANASAN DI BIDANG TELINGA HIDUNG TENGGOROK Merupakan keganasan pada membran mukosa dan jaringan pembentuk daerah kepala dan leher, termasuk kulit. Perokok berat dan peminum alkohol, mempunyai resiko timbulnya karsinoma sel skuamosa pada rongga mulut, faring, dan laring. Sinar matahari sangat memperngaruhi resiko timbulnya kanker tiroid dan kelenjar liur. Dua per tiga dari seluruh keganasan kepala dan leher terdapat pada rongga mulut dan laring. Distribusi keganasan di bidang teling hidung dan tenggorok terdapat kira-kira 42% tumor ganas rongga mulut, 25% laring, 15% orofaring dan hipofaring, 7% kelenjar liur besar, 4% nasofaring, 4% hidung dan sinus paranasal, dan 3% tiroid serta jaringan ikat lainnya. 1 Sehubungan dengan terdapatnya tumor primer pada oragan telinga, hidung tenggorok, tumor primer ini akan memberikan gejala-gejala pada tempat tersebut seperti odinofagia, disfagia, trismus, fetor ex ore, ganggguan bentuk muka, neuropatia, sumbatan hidung, mimisan, gejala aspirasi, sumbatan jalan napas, kerusakan pda mukosa dan kulit, perdarahan serta pembesaran kelenjar di daerah leher dan sekitarnya. 1 1

Upload: rizka-rahmanita

Post on 21-Nov-2015

67 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

ssssewefdw

TRANSCRIPT

KEGANASAN DI BIDANG TELINGA HIDUNG TENGGOROK

Merupakan keganasan pada membran mukosa dan jaringan pembentuk daerah kepala dan leher, termasuk kulit. Perokok berat dan peminum alkohol, mempunyai resiko timbulnya karsinoma sel skuamosa pada rongga mulut, faring, dan laring. Sinar matahari sangat memperngaruhi resiko timbulnya kanker tiroid dan kelenjar liur. Dua per tiga dari seluruh keganasan kepala dan leher terdapat pada rongga mulut dan laring. Distribusi keganasan di bidang teling hidung dan tenggorok terdapat kira-kira 42% tumor ganas rongga mulut, 25% laring, 15% orofaring dan hipofaring, 7% kelenjar liur besar, 4% nasofaring, 4% hidung dan sinus paranasal, dan 3% tiroid serta jaringan ikat lainnya.1Sehubungan dengan terdapatnya tumor primer pada oragan telinga, hidung tenggorok, tumor primer ini akan memberikan gejala-gejala pada tempat tersebut seperti odinofagia, disfagia, trismus, fetor ex ore, ganggguan bentuk muka, neuropatia, sumbatan hidung, mimisan, gejala aspirasi, sumbatan jalan napas, kerusakan pda mukosa dan kulit, perdarahan serta pembesaran kelenjar di daerah leher dan sekitarnya. 1Untuk klasifikasi tumor dipakai sistem TNM, digunakan sebagai sistem klasifikasi sebelum terapi. Sistem ini diitujukan untuk menegtahui perluasan tumor secara anatomi dengan pengertian:T: perluasan dari tumor primerN:status terdapatnya kelenjar limfe rgionalM: ada atau tidaknya metastasis jauh.

KLASIFIKASI KLINIS SISTEM TNMT (Tumor Primer)

TxTumor primer tidak dapat ditemukan

T0Tidak ada tumor primer

TisTumor primer in situ

T1,T2,T3,T4Besarnya tumor primer

N (Kelenjar Limfa regional)

NxTidak dapat ditemukan pada kelenjar limfe regional

N0Tidak ada metastasis kelejar limfe regional

N1,N2,N3Besarnya kelenjar limfa regional

M (metastasis jauh)

MxTidak ditemukan metastasis jauh

MoTidak ada metastasis jauh

M1Terdapat metastasis jauh

Tabel 1. Klasifikasi Klinis TNMNxKelenjar limfa reional tidak ditemukan

N0Tidak ada metastasis kelenjar limfe regional

N1Metastasis pada satu sisi, tunggal, ukuran 3 cm, atau kurang.

N2Metastasis pada satu sisi, tunggal, ukuran lebih dari 3 cm, kurang dari 6 cm atau multipel, pada satu sisi dan tidak lebih dari 6 cm atau bilateral/ kontralateral juga tidak lebih dari 6 cm.

N2aMetastasis pada satu sisi, tunggal lebih dari 3 cm tidak lebih dari 6 cm.

N2bMetastasis pada satu sisi, multipel tidak lebih dari 6 cm.

N2cMetastasis bilateral/kontralateral tidak lebih dari 6 cm

N3Metastasis, ukuran lebih dari 6 cm

Tabel 2. Klasifikasi Kelenjar Limfe regional (UICC)Stadium IT1N0M0

Stadium IIT2N0M0

Stadium IIIT3N0M0,atau T1 atau T2 atau T3N1M0

Stadium IVT4N0 atau N1M0Tiap TN2 atau N3 M0Tiap T tiap N M1

Tabel 3. Stadium Tumor Ganas Leher dan Kepala (UICC dan AJCC) kecuali Tumor kelenjar Liur dan TiroidALIRAN LIMFA LEHER

Sistem aliran limfa leher penting untuk dipelajari karena hampir semua bentuk radang atau keganasan kepala dan leher akan bermanifestasi ke kelenjar limfa dan leher.Sekitar 75 buah kelenjar limfa terdapat pada setiap sisi leher, kebanyakan berada pada rangkaian jugularis interna dan spinalis asesorius. Kelenjar limfa yang ha,pir selau terlibat dalam metastasis tumor adalah kelenjar limfa pad arangkaian jugularis interna, yang terbentang antara clavicula hingga dasar tengkorak.Kelenjar limfa jugularis interna superior menerima aliran yang berasal dari daerah palatum mole, tonsil, bagian posterior lidah, dasar lidah, sinus piriformis, dan supraglotik laring. Juga menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar limfa retrofaring, spinalis asesorius, parotis, servikalis superfisialis, dan kelenjar limfa submandibula. Kelenjar limfa jugularis interna media menerima aliran limfa yang berasal langsung dari subglotik laring, sinus pririformis bagian inferior dan daerah krikoid posterior. Juga menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar jugularis interna superior dan kelenjar limfa retrofaring bawah. Kelenjar limfa jugularis interna inferior menerima aliran limfa yang berasal langsung dari galndula tiroid, trakea, esofagus bagian servikal. Juga menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjatr limfa jugularis interna superior dan kelenjar limfa paratrakea.Kelenjar limfa submental, terletak pada segitiga submental diantara platisma dan m.omohioid didalam jaringan lunak. Pembuluh aferen menerima aliran limfa yang berasal dari dagu, bibir bawah bagian tengah, pipi,gusi, dasar mulut bagian depan dan 1/3 bagian bawah lidah. Pembuluh eferen membawa aliran limfa ke kelenjar mandibula sisi homolateral atau kontralateral, kadang-kadang dapat langsung ke rangkaian kelenjar limfa jugularis interna.Kelenjar limfa submandibula terletak disekitar kelenjar liur submandibula dan didalam kelenjar liurnya sendiri. Pembuluh aferen menrima aliran limfa yang berasal dari kelenjar liur submandibula, bibir atas, bagian lateral bibir bawah, rongga hidung, bagian anterior rongga mulut, bagian medial kelopak mata, palatum mole, 2/3 depan lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar jugularis interna superior.Kelenjar limfa servikal superfisialis erletak di sepanjang vena jugularis eksterna, menerima aliran limfa yangg berasal dari kulit muka, sekitar kelenjar pasrotis dan kelenjar limfa oksipital. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugularis interna superior.Kelenjar limfa retrofaring terletak diantara faring dan fasia prevertebra, mulai leher dari dasar tengkorak sampai ke perbatasan leher dan toraks. Pembuluh aferen menerima aliran kelenjar limfa dari nasofaring, hipofaring, telinga tengah, dan tuba eustachius. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugularis interna dan kelenjar limfa spinalis asesorius bagian superior.Metastasis dariu tumor ganas yang primernya berada dikepala dan leher lebih dari 90% primernya dapat ditentukan dengan pemeriksaan fisik. Insiden tertinggi metastasis dari karsinoma sel skuamosa di rongga mulut, orofaring, hipofaring, laring, dan nasofaring adalah rangkaian kelenjar limfa jugularis interna superior.Adanya massa tumor di preaurikula umumnya disebabkan oleh tumor primer dari kelenjar parotis atau metastasis tumor ganas kulit muka, kepala, dan telinga homolateral. Masssa tumor pada kelenjar yang berada di bawah m. sternokleidomastoideus bagian atas dan atau pada kelenjar servikal superior posterior biasanya berasal dari tumor ganas di nasofaring, orofaring, dan bagain posterior sinus maksila.Pada kelenjar submental dapat berasal dari tumor ganas di kulit hidung, atau bibir dan dasar mulut bagian anterior. Pada segitiga submandibula dappat berasal dari tumor primer pada kelenjar submandibula atau metastasis tumor yang berasal dari kulit muka homoateral, bibir, rongga mulut, atau sinus paranasal.Pada daerah jugularis interna su[erior, dapat berasal dari tumor ganas di rongga mulut, orofaring posterior, nasofaring, dasar lidah atau laring. Tumor yang tunggal pada daerah jugularis media biasanya berupa tumor primer pada laring, hipofaring, atau tiroid.21. TUMOR HIDUNG DAN SINONASALKanker rongga hidung dan sinus paranasal adalah tumor ganas yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal disekitar hidung. Rongga hidung merupakan sebuah ruang dibelakang hidung dimana udara melewatinya masuk ke tenggorokan. Sinus paranasal adalah daerah yang dipenuhi-udara yang mengelilingi rongga hidung pada pipi (sinus maksila), diatas dan diantara mata (sinus etmoid dan sinus frontal), dan dibelakang etmoid (sinus sfenoid). Kanker sinus maksila merupakan tipe paling sering kanker sinus paranasal. Tumor jinak pada hidung dan sinus paranasal sering ditemukan, tetapi tumor yang ganas termasuk jarang, hanya 3% dari tumor kepala dan leher atau kurang dari 1% seluruh tumor ganas. Gejala-gejala dan tanda klinis semua tumor hidung dan sinus paranasal hampir mirip, sehingga seringkali hanya pemeriksaan histopatologi saja yang dapat menentukan jenisnya. Hidung dan sinus paranasal merupakan rongga yang saling berhubungan dan seringkali tumor ditemukan pertamakali pada stadium yang sudah lanjut, sehingga tidak dapat ditentukan lagi asal tumor primernya. Tumor ganas hidung dan sinus paranasal termasuk tumor yang sukar diobati secara tuntas dan angka kesembuhannya masih sangat rendah. Rongga hidung dikelilingi oleh 7 sampai 8 rongga sinus paranasal yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan posterior, frontal dan sfenoid. Kedelapan sinus ini bermuara ke meatus medius rongga hidung. Oleh sebab itu pembicaraan mengenai tumor ganas hidung tidak dapat dipisahkan dari tumor ganas sinus paranasal karena keduanya saling mempengaruhi kecuali jika ditemukan masing-masing dalam keadaan dini. Faktor resiko, yang jika muncul, dapat meningkatkan resiko antara lain: tembakau, infeksi, imunitas rendah, riwayat kanker, terhirup sebuk gergaji. Gejala dan tanda yang paling umum adalah: obstruksi hidung, masalah pernafasan, nyeri lokal, pembengkakan leher dan wajah, masalah persarafan, dan tanda metastasis. ANATOMI HIDUNG HIDUNG LUAR Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian seperti puncak hidung, dorsum nasi, pangkal hidung (bridge), kolumela, ala nasi dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis) dan prosesus frontalis maksila, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa buah tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung. RONGGA HIDUNG (KAVUM NASI)Rongga hidung mempunyai bentuk sebagai sebuah terowongan dari depan ke belakang dan di tengah-tengah dipisahkan oleh septum nasi. Lubang bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkannya dengan nasofaring.

Bagian dari rongga hidung yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang (vibrissae).

Tiap rongga hidung mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, dinding lateral, dinding inferior dan dinding superior. Dinding medialDinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina perpendikularis tulang etmoid, (2) vomer, (3) krista nasalis maksila dan (4) krista nasalis os palatum. Bagian tulang rawan adalah (1) kartilago septum (lamina kuadran-gularis) dan (2) kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. (6)Dinding lateralBagian depan dari dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka yang merupakan bagian terbesar dari dinding lateral hidung. Terdapat 4 buah konka didalam hidung. Yang terbesar ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang paling kecill disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri dan melekat pada maksila dan labirin etmoid. Konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Ruang yang terletak diantara konka inferior dan dinding lateral rongga hidung disebut meatus inferior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus media ialah ruang yang terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Di sekitar hiatus semilunaris yang merupakan celah terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan dinding lateral rongga hidung terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. (6)Dinding inferiorDinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superiorDinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. SINUS PARANASALAda empat pasang sinus paranasal, yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kiri dan kanan. Sinus paranasal berbentuk rongga didalam tulang yang sesuai dengan namanya dan semuanya mempunyai muara (ostium) didalam rongga hidung. Perkembangan dimulai pada fetus yang berusia 3-4 bulan (kecuali sinus frontal dan sinus sfenoid), berupa invaginasi dari mukosa rongga hidung. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada pada waktu anak lahir, dan hanya sinus ini yang dapat terkena infeksi pada anak. Sinus frontal mulai berkembang dari sinus etmoid anterior pada usia kurang lebih 8 tahun. Pseumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.Angka kejadianDi Indonesia keganasan hidung dan sinus paranasal merupakan 1,76% dari seluruh keganasan organ manusia atau 10% dari seluruh keganasan Telinga, Hidung dan Tenggorok dimana nasofaring merupakan keganasan terbanyak dengan 57%. Dari kelompok keganasan hidung dan sinus paranasal ini 20% merupakan keganasan sinus maksila (di Jepang lebih tinggi lagi yaitu 91,4% (2)), 24% keganasan hidung dan sinus etmoid, sedangkan keganasan sinus sfenoid dan frontal hanya 1%. (4) Keganasan pada hidung dan sinus paranasal ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 2 : 1. EtiologiRahang atas merupakan satu dari sedikit lokasi di kepala dan leher dimana etiologi pasti telah ditetapkan untuk beberapa jenis tumor (Lund. 1991). Adenokarsinoma rongga hidung dan sinus dikenal umum diantara tukang kayu (Acheson dkk, 1962). Barton (1977) mendiskusikan peranan nikel sebagai karsinogen pada karsinoma sel skuamosa pada pekerja nikel. Di Norwegia, modifikasi proses industri dan program penyaringan diantara pekerja menghasilkan penurunan insiden. Di Inggris karsinoma sel skuamosa sinus paranasal pada pekerja nikel juga penyakit yang menentukan. (3) Pekerja nikel memiliki peningkatan 100-870 kali angka normal karsinoma sel skuamosa. Kanker ini mungkin akan berkembang setelah 10 tahun atau lebih setelah pemaparan dan setelah 20 tahun masa laten. Serbuk kayu, kimiawi penyamak-kulit dan pembuat perabot secara khusus berhubungan dengan adenokarsinoma. Inhalan lain yang berhubungan dengan malignansi termasuk pigmen krom, radium, gas mustar dan hidrokarbon. Tembakau tidak memperlihatkan hubungan dengan kanker hidung dan sinus paranasal.

PatologiBerbagai jenis tipe tumor berbeda telah dijelaskan terdapat pada rahang atas. Jenis histologis yang paling umum adalah karsinoma sel skuamosa, mewakili sekitar 80% kasus. Lokasi primer tidak selalu mudah untuk ditentukan dengan sejumlah sinus berbeda yang secara umum terlibat seiring waktu munculnya pasien. Mayoritas (60%) tumor tampaknya berasal dari antrum, 30% muncul dalam rongga hidung, dan sisa 10% muncul dari etmoid. Tumor primer frontal dan sfenoid sangat jarang. Limfadenopati servikal teraba muncul pada sekitar 15% pasien pada presentasi. Gambaran kecil ini disebabkan drainase limfatik sinus paranasal ke nodus retrofaring dan dari sana ke rantai servikal dalam bawah. Sebagai akibatnya, nodus yang terlibat diawal tidak mudah dipalpasi di bagian leher manapun Gambaran KlinisGambaran klinis masing-masing pasien tertentu bergantung pada lokasi primer dan arah dan perluasan penyebaran. Tumor rongga hidung muncul dengan gejala hidung berupa obstruksi dan epiataksis. Tumor etmoid juga muncul dengan gejala hidung, namun juga bisa memiliki gejala orbita seperti proptosis dan epifora, dengan diplopia menjadi gejala akhir. Tumor sinus frontalis cenderung muncul semata-mata dengam gejala orbita. Tumor sinus sfenoid umumnya muncul terlambat pada spesialis neurologi dengan gejala neurologis. Merupakan sebuah instruktif untuk melihat presentasi potensial tumor antrum. Tumor didalam rongga antrum tidak mungkin muncul dini kecuali secara kebetulan melibatkan nervus infraorbita memberi perubahan pada sensasi wajah, atau perdarahan secara alternatif menimbulkan epistaksis. Epistaksis apapun pada pasien dewasa yang tidak hipertensif membutuhkan investigasi radiologis, namun radiografi sinus terbaik ditunda selama 7-14 hari untuk memberi resolusi inflamasi apapun sehubungan dengan pembungkusan hidung atau masih lebih baik CT-scan harus diperoleh. Ketika tumor melanggar dinding antral, tanda-tanda dan gejala pasti menjadi lebih jelas, sifat sebenarnya bergantung pada dinding tertentu yang terkikis. Invasi ke rongga hidung menyebabkan obstruksi hidung dan epistaksis dan tumor selalu terlihat jelas. Jarang, tumor menyebabkan poliposis etmoid dan tampaknya polip nasal normal terlihat; dengan demikian penting untuk memeriksa secara histologis semua bahan yang diangkat dari hidung. Penyebaran inferior melibatkan palatum dan alveolus dapat mengakibatkan presentasi ke dokter gigi baik dengan gigi tiruan atau gigi ompong. Ulserasi palatum frank merupakan gejala akhir. Penyebaran anterolateral kedalam jaringan lunak wajah dapat mengakibatkan epifora dengan melibatkan sakus lakrimalis. Pembengkakan wajah, gangguan sensasi dan nyeri lebih sering. Penyebaran anterior lebih mungkin mengakibatkan limfadenopati servikal teraba. Penyebaran posterior kedalam fossa infratemporal dan basis cranii bisa menyebabkan simtomatologi kurang jelas, hilangnya fungsi trigeminal dan trismus terjadi akibat keterlibatan otot pterigoid. Penyebaran ke nasofaring dapat mengkibatkan tuli sebagai akibat dari disfungsi tuba eustachius. Penyebaran superior ke orbita menyebabkan proptosis dini dengan meningkatkan volume isi orbita, keterlibatan langsung saraf dan otot terjadi lambat. DiagnosisJarangnya tumor ini, yang merupakan < 1% dari keseluruhan malignansi (3% tumor kepala-leher), berarti bahwa banyak dokter umum yang tidak akan melihat pasien dengan penyakit ini sepanjang karir profesional ini. Ketidaksadaran mereka akan kondisi dan kemiripan gejala dengan kondisi peradangan yang lebih umum lainnya pada saluran pernafasan atas mengakibatkan kegagalan dalam menentukan diagnosis yang tepat sebelum tumor meluas melebihi batas tulang sinus. Rata-rata penundaan antara gejala yang pertama kali terlihat dan diagnosisnya adalah 6 bulan. Harapan terbaik untuk diagnosis awal terletak pada penggunaan besar-besaran pencitraan CT untuk penilaian rinosinusitis kronis dimana gambaran radiologis akan menunjukkan diagnosis yang benar. Penggunaan pencitraan CT dan MRI memungkinkan penggambaran yang tepat dari perluasan tumor, dan perencanaan terinci radioterapi dan reseksi bedah selanjutnya. Diagnosis suatu tumor dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi biopsi tumor. Jenis tumorRongga hidung dan sinus paranasal dibatasi oleh sebuah lapisan jaringan penghasil-mukosa dengan jenis-jenis sel sebagai berikut: sel epitel skuamosa, sel kelenjar saliva kecil, sel saraf, sel yang melawan-infeksi, dan sel pembuluh darah. Beberapa jenis tumor pada sel dan jaringan ini adalah: Karsinoma Sel SkuamosaMerupakan bentuk paling sering kanker rongga hidung dan sinus paranasal yang mengenai sinus maksila dan etmoid. Dikatakan mencapai 20% tumor pada daerah ini. (1,7) Sel skuamosa merupakan sel datar yang membuat lapisan permukaan pipih struktur kepala dan leher. (1) Sinus maksila terlibat 70% diikuti keterlibatan rongga hidung dalam 20% dengan sisanya berupa etmoid. Lesi primer yang berasal dari sinus frontal dan sfenoid jarang dijumpai. Kelainan ini terutama mengenai laki-laki dan muncul paling sering pada dekade keenam. Menyebar keluar dari sinus hampir merupakan kebiasaan presentasinya. Ketika ditemukan lebih dari 90% akan menginvasi ke setidaknya satu dinding sinus yang terlibat. Jika terdapat metastase, drainase nodus tingkat pertama adalah melalui pleksus pra-tube kedalam nodus retrofaring dan kemudian kedalam nodus subdigastrik. Kebanyakan kanker ini muncul pada stadium lanjut (22% T3/T4). Reseksi bedah diikuti radiasi paska operasi direkomendasikan sebagai penatalaksanaan kasus-kasus yang dapat direseksi. AdenokarsinomaDimulai di sel kelenjar, merupakan bentuk kedua tersering kanker rongga hidung dan sinus paranasal pada sinus maksila dan etmoid diperkirakan 5-20% kasus. Lesi ini cenderung lebih berlokasi superior dengan sinus etmoid yang paling banyak terlibat. Kebanyakan berhubungan dengan pemaparan pekerjaan. Lesi ini muncul mirip dengan karsinoma sel skuamosa dan dibagi secara histologis menjadi tingkat tinggi dan rendah. Melanoma malignaBerkembang dari sel yang disebut melanosit yang memberi warna pada kulit, merupakan kanker yang agresif, namun hanya membuat sekitar 1% tumor di area tubuh. Antara 0,5-1% dari seluruh melanoma dikatakan berasal dari rongga hidung dan sinus paranasal, dimana merupakan 3,5% keseluruhan neoplasma sinonasal. Insiden tertinggi pada pasien pada dekade kelima sampai kedelapan. Rongga hidung paling sering terlibat dengan septum anterior merupakan lokasi tersering. Antrum maksila merupakan yang paling sering terlihat pada lokasi sinus. Biasanya terlihat sebagai massa berdaging polipoid dan pigmentasinya beragam. Pengobatan utamanya reseksi bedah dengan atau tanpa terapi radiasi paska operasi. Diseksi leher elektif saat ini tidak direkomendasikan disebabkan insiden rendah metastase leher tersembunyi. Untuk lesi rekuren, penyelamatan pembedahan, radiasi, kemoterapi atau kombinasi mungkin diperlukan. Keseluruhan prognosisnya buruk. EstesioneuroblastomaEstesioneuroblastoma adalah tumor ganas elemen penunjang epitel olfaktorius yang jarang terjadi. Tumor ini tumbuhnya lambat dan mampu bermetastasis ke paru-paru dan servikal. Gejala-gejala dini adalah epistaksis dan obstruksi hidung. CT-scan penting untuk menetapkan apakah terdapat perluasan pada intrakranial.

MetastasisKe nodus servikal atau retrofaringeal. Insiden metastase servikal pada presentasi berkisar 10%, meskipun hingga 44% kasus akan secara nyata bermetatase ke area servikal. Hanya 10% pasien yang pernah mengalami metastase jauh. PrognosisPada umumnya prognosis kurang baik. Beberapa hal yang mempengaruhi prognosis antara lain adalah 1) diagnosis terlambat dan tumor sudah meluas sehingga sulit mengangkat tumor secara en bloc; 2) sulit evaluasi paska terapi karena tumor berada dalam rongga; 3) sifat tumor yang agresif dan mudah kambuh. Untuk stadium dini, angka kesembuhan 5 tahun lebih dari 70%, sedangkan untuk stadium lanjut berkisar antara 20-30% saja. Paska operasi dengan pemasangan obturator pengganti palatum sangat bermanfaat untuk memperbaiki kualitas hidup penderita terutama untuk proses menelan dan berbicara yang tidak terlalu banyak mendapat kesulitan. PENATALAKSANAANYang penting dalam penatalaksanaan tumor ialah, pertama menegakkan diagnosis. Kedua menentukan batas-batas tumor. Ketiga merencanakan terapi. Menegakkan diagnosis dengan biopsi dan pemeriksaan histopatologi, sedangkan untuk menentukan batas tumor dengan pemeriksaan radiologis. Rencana terapi dibuat berdasarkan diagnosis histopatologi dan stadium tumor. Klasifikasi dan cara menentukan stadium tumor ganasUntuk membuat suatu sistem klasifikasi tumor ganas yang dapat diterima oleh seluruh negara di dunia, rupanya agak sukar bagi tumor ganas hidung dan sinus paranasal karena susunan anatominya yang rumit dan penyakitnya seringkali ditemukan sudah dalam stadium lanjut. Pembuatan sistem klasifikasi gunanya adalah pertama, untuk merencanakan terapi. Kedua, untuk meramalkan prognosisnya. Ketiga, untuk mengevaluasi hasil pengobatan. Keempat, untuk keseragaman informasi antra sentra sedunia. Kelima, untuk membantu penelitian mengenai tumor ganas. Biasanya klasifikasi untuk menentukan stadium tumor ganas dipakai sistem TNM, yaitu T = Tumor, sampai dimana perluasannya, N = Nodul, kelenjar limfe regional yang terkena dan M = Metastasis. Sudah banyak pakar dari berbagai sentra yang mengajukan usul sistem TNM, tetapi selama ini belum ada yang diterima secara menyeluruh. Sub bagian onkologi di bagian THT FK-UI/RSCM biasanya mengikuti penentuan stadium TNM yang dibuat oleh Sakai dari Jepang. Sistem TNM ini pernah diajukan pada rapat gabungan UICC dan AJCC pada tahun 1925 dan rupanya usulan tersebut dapat diterima karena pada tahun 1927 UICC dan AJCC telah sepakat akan meresmikan satu sistem yang dapat diterima semua pihak dan sistem ini sama dengan yang diajukan oleh Sakai. Sistem TNM yang dibuat ini hanya berlaku untuk karsinoma sel skuamosa dan baru ada untuk tumor sinus maksila saja. Untuk hidung dan sinus etmoid masih harus dipelajari lagi sedangkan untuk sinus frontal dan sinus sfenoid tidak perlu, karena sangat jarang. GARIS OHNGRENOhngren pada tahun 1933 membuat teori tentang adanya suatu bidang imaginer yang melalui kantus medius dan angulus mandibula. Bidang itu membagi rahang atas menjadi struktur supero-posterior (= suprastruktur) dan struktur infero-anterior (= infrastruktur). Yang termasuk suprastruktur adalah dinding tulang sinus maksila bagian posterior dan separuh bagian posterior dinding atas. Sisanya termasuk infrastruktur. Tumor di daerah infrastruktur mempunyai prognosis yang jauh lebih baik daripada tumor di suprastruktur.

Dibawah ini adalah klasifikasi TNM untuk karsinoma sinus maksila:Kategori T untuk karsinoma sinus maksila T1 : Tumor terbatas pada mukosa antrum tanpa erosi atau destruksi tulang.T2 : Tumor dengan erosi atau destruksi pada infrastruktur, termasuk palatum durum dan/atau meatus medius.T3 : Tumor meluas sampai ke kulit pipi, dinding belakang sinus maksila, dasar orbita atau sinus etmoid anterior.T4 : Tumor mengenai isi orbita dan/atau invasi ke suprastruktur, salah satu dari: lamina kribriformis, sinus etmoid posterior atau sfenoid, nasofaring, palatum mole, fosa pterigomaksila atau temporal, dasar tengkorak.Kategori N untuk karsinoma sinus maksila N0 : Tidak ada metastasis ke kelenjar limfe regional.N1 : Metastasis tunggal pada kelenjar limfe ipsilateral dengan diameter terbesar 3 cm atau kurang.N2a : Metastasis tunggal pada kelenjar ipsilateral dengan diameter terbesar lebih dari 3 cm tetapi tidak lebih dari 6 cm.N2b : Metastasis ganda kelenjar ipsilateral, semua dengan diameter terbesar tidak lebih dari 6 cm.N2c : Metastasis kelenjar limfe bilateral atau kontralateral, semua dengan diameter terbesar tidak lebih dari 6 cm.N3 : Metastasis ke kelenjar limfe yang diameternya lebih dari 6 cm.Kategori M untuk karsinoma sinus maksila Mx : Adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai.M0 : Tidak ada metastasis jauh.M1 : Ada metastasis jauh.Penentuan stadium karsinoma sinus maksila Stadium I : T1, N0, M0Stadium II : T2, N0, M0Stadium III : T3, N0, M0 atau: T1, T2 atau T3, N1, M0Stadium IV : T4, N0 atau N1, M0 atau: semua T, N2 atau N3, M0 atau: semua T, semua N, M1PengobatanRencana pengobatan dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi dan stadium tumor bila tumor ganas. Sampai sekarang belum ada parameter pengobatan untuk tumor ganas hidung dan sinus paranasal. Hal ini antara lain karena kasusnya jarang sehingga belum ada yang berpengalaman untuk dapat membuat ketentuan yang dapat diikuti, juga karena standar klasifikasi dan penentuan stadium belum resmi ada. Untuk membuat rencana pengobatan harus dinilai kasus demi kasus karena respon tiap jenis tumor tidak sama terhadap suatu cara pengobatan dan juga harus dilihat sampai dimana perluasan tumornya. Kebanyakan pakar berpendapat bahwa satu macam cara pengobatan saja hasilnya buruk, sehingga mereka mengajukan cara terapi kombinasi antara operasi, radioterapi dan kemoterapi. Di bagian THT FK-UI/RSCM pengobatan tumor ganas hidung dan sinus paranasal adalah kombinasi operasi dan radiasi, kecuali untuk pasien yang sudah inoperable atau menolak tindakan operasi. Untuk pasien ini diberikan radioterapi sesudah dibuatkan antrostomi. Radioterapi dapat dilakukan sebelum atau sesudah operasi. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Untuk tumor yang sangat besar, radioterapi dilakukan lebih dulu untuk mengecilkan tumornya dan mengurangi pembuluh darah sehingga operasi akan lebih mudah. Tetapi bila telah dilakukan radiasi dulu, sesudah selesai banyak pasien yang kemudian tidak kembali untuk operasi karena merasa tumornya sudah mengecil atau ada yang tidak mau operasi karena efek samping radioterapi yang berkepanjangan. Sekarang lebih disukai radiasi paska operasi, karena sekaligus dimaksudkan untuk memberantas mikro-metastasis yang terjadi atau bila masih ada sisa tumor yang tidak terangkat pada waktu operasi. Luasnya operasi tergantung pada sampai dimana batas tumornya. Bila tumor di sinus maksila dan infrastruktur dilakukan maksilektomi parsial. Bila tumor sudah memenuhi maksila dilakukan maksilektomi radikal, yaitu mengangkat seluruh isi rongga sinus maksila, ginggivo-alveolaris dan palatum durum. Bila tumor sudah sampai ke mata dilakukan eksenterasi orbita. Bila sinus sfenoid terkena dilakukan operasi kranio-fasial dengan bantuan ahli bedah saraf. Bila tumor sudah meluas ke nasofaring dan fosa pterigopalatina kita anggap sudah inoperable dan hanya diberikan penyinaran saja. Operasi maksilektomi memerlukan prostesis untuk mengganti kedudukan maksila yang dibuang. Protesis ini dikerjakan oleh dokter gigi dan harus dipersiapkan sebelum operasi dan langsung dipasang pada waktu operasi karena kalau tidak, akan terjadi kontraksi jaringan yang akan sulit diperbaiki kemudian. Pada eksenterasi orbita, juga diperlukan protesis bola mata. Pada kebanyakan operasi tumor hidung dan sinus, sesudah operasi sering diperlukan perbaikan wajah dengan bedah plastik. 2. KARSINOMA NASOFARINGKarsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekwensi tertinggi, sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa. Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara pathology based mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia.Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakansuatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat. Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang dikombinasikan dengan radioterapiNasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakangdan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. Ke anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Ke arah posterior dinding nasofaring melengkung ke supero-anterior dan terletak di bawah os sfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre vertebralis dan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustakius dimana orifisium ini dibatasi superior dan posterior oleh torus tubarius, sehingga penyebaran tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius dan akan mengganggu pendengaran. Ke arah posterosuperior dari torus tubarius terdapat fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring. Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda dinding postero-superior nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid. Di nasofaring terdapat banyak saluran getah bening yang terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere).

Anatomi NasofaringETIOLOGIKaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagaipenyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring. Mediator di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinomanasofaring yaitu :1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin.2. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.3. Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogen, seperti :- benzopyrenen- benzoanthracene- gas kimia- asap industri- asap kayu- beberapa ekstrak tumbuhan4. Ras dan keturunan5. Radang kronis daerah nasofaring6. Profil HLA.

HISTOPATOLOGIKlasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh OrganisasiKesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :

1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.

2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma).Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi selSkuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma).Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler,Berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.

Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHOpada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma).Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.

GEJALA KLINIK1. Gejala Dini.Penting untuk mengetahui gejala dini karsinoma nasofaring dimana tumormasih terbatas di nasofaring, yaitu :a. Gejala telinga- Rasa penuh pada telinga- Tinitus- Gangguan pendengaranb. Gejala hidung- Epistaksis- Hidung tersumbatc. Gejala mata dan saraf- Diplopia- Gerakan bola mata terbatas2. Gejala lanjut- Limfadenopati servikal- Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar- Gejala akibat metastase jauh. DIAGNOSISJika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor :

1. Anamnesis / pemeriksaan fisik2. Pemeriksaan nasofaring3. Biopsi nasofaring4. Pemeriksaan Patologi Anatomi5. Pemeriksaan radiologi6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi7. Pemeriksaan serologi. STADIUMPenentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC(Union Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai berikut :T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.T0 : Tidak tampak tumorT1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaringT2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaringT3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaringT4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otakN = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regionalN0 : Tidak ada pembesaran kelenjarN1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkanN2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapatdigerakkanN3 : Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral,yang sudah melekat pada jaringan sekitar.M = Metastase, menggambarkan metastase jauhM0 : Tidak ada metastase jauhM1 : Terdapat metastase jauh.

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :Stadium I : T1 N0 M0Stadium II : T2 N0 M0Stadium III : T3 N0 M0T1,T2,T3 N1 M0Stadium IV : T4 N0,N1 M0Tiap T N2,N3 M0Tiap T Tiap N M12,3,9-13Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging darinasofaring diklasifikasikan sebagai berikut :Tis : Carcinoma in situT1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang takdapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dandindinglateral.T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf kranial(atau keduanya).

PENATALAKSANAANTerapi kanker nasofaring terutama meliputi radioterapi, operasi dan kemoterapi. Radioterapi merupakan terapi paling efektif, setiap pasien yang pada waktu diagnosis belum menunjukkan metastasis multipel harus terlebih dulu menerima radioterapi,atau radioterapi plus kemoterapi. Operasi bukan pilihan pertama pada karsinoma nasofaring, umumnya hanya digunakan terhadap lesi yang tersisa pasca kemoterapi atau radioterapi.Masalah dalam terapi karsinoma nasofaring sekarang ini adalah: efektivitas jangka pendek baik, efektivitas jangka panjang tidak ideal. Tindakan yang dapat dilakukan adalah 5:1. Kemoterapi: sebelum radioterapi, sebelum terjadi fibrosis akibat radioterapi, ketika vaskularisasi local masih baik, gunakan kemoterapi, dapat mengurangi jumlah sel kanker, meningkatkan sensitivitas radioterapi. Kemoterapi pasca radioterapi dapatmembasmi mikrokarsinoma yang tersisa, mengurangi metastasis jauh.2. Kemoterapi dan radioterapi serentak: dalam proses radioterapi ditambah kemoterapi, dapat menyusutkan tumor, memperbaiki pasokan darah, meningkatkan sensitivitas radioterapi. Banyak obat kemoterapiseperti DDP, MTX, FU, MMC dll. berefek meningkatkan sensitivitas terhadap radiasi, obat tertentu sepertihidroksilurea yang berefek terhadap fase sintesis DNA sel dapat menyeragamkan fase, sehingga kebanyakan sel kanker terhambat pada fase G1 hingga meningkatkan sensitivitas terhadap radioterapi.3. Kemoterapi dengan kateterisasi ke arteri setempat:Melalui arteri temporalis superfisialis dilakukan kateterisasi retrograd menginfuskan obat kemoterapi dapat mencapai konsentrasi obat setempat yang tinggi untuk membasmi kanker. Ini sesuai terutama pada kanker lokal yang tidak remisi pasca radioterapi, atau pada rekurensi lokal menginfiltrasi p arafaring dan basis kranial.4. Terapi fotodinamik: sel kanker dapat secara khusus mengikat zat fotosensitif, mula-mula disuntikkan zat fotosensitif, 48 jam kemudian dimasukkan serat optik hingga ke tepi kanker nasofaring, disalurkan laser merah 630nm. Di bawah penyinaran laser, zat fotosensitif mengatalisis molekul oksigen (O2) menjadioksigen tunggal yang berefek sitotoksik hingga membasmi sel kanker. Metode ini terutama sesuai bagi kanker yang tersisa di rongga nasofaring atau kasus yang sudah menginfiltrasi basis kranial. Untukpasien yang kambuh setelah terapi konvensional, metode ini dapat menjadi pilihan utama.5. Implantasi biji iodium-125: di bawah panduan CT atau endoskop, terhadap lesi yang tertinggal atau rekuren, ditanamkan biji iodium-125. Biji itu dapat melepaskan sinar gama jarak pendek yang menyinarisecara kontinu jaringan kanker sekitarnya. Metode ini sederhana, efek sampingnya kecil.6. Imunoterapi: dari pasien karsinoma nasofaring dikeluarkan darah tepinya, dipisahkan selmononukleusnya, ditambahkan interleukin-2 dandiinkubasi ekstrakorporal untuk menginduksi produksi sel dendritik. Kemudian dari pasien karsinomanasofaring dikeluarkan sel kankernya, dinonaktifkan,diinkubasikan bersama sel dendritik selama 7-10 hari,dapat dihasilkan vaksen sel dendritik anti karsinoma nasofaring. Vaksen ini lalu diinfuskan intravena atau diinjeksikan subkutis atau ke dalam kelenjar limfemetastasis. 3. ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIAAngiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharynx/ nasopharyngeal angiofibroma) adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas karena mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Jinak tetapi merupakan tumor pembuluh darah lokal yang agresif dari anak atau remaja laki-laki, pernah juga dilaporkan pada perempuan tetapi sangat jarang.Itulah sebabnya tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia (Juvenile nasopharyngealangiofibroma). Tetapi istilah juvenile ini kurang tepat karena neoplasma ini terdapat juga pada pasien yang lebih tua.ANATOMIRuang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.2. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus faringeus, yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.3. Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba eustachii yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti ibu jari ke dinding lateral nasofaring tepat diatas perlekatan palatum mole.4. Koana pada posterior rongga hidung.5. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan dari penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial glossofaringeus, vagus, dan spinal assesori.6. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksiput dan arteri faringea asendens, dan foramen hipoglossus yang dilalui saraf hipoglossus.7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat bagian lateral atap nasofaring.8. Ostium dari sinus-sinus sfenoid.INSIDENSInsiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan rata-rata setiap tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada Head and Neck Service of The Memorial Hospital, New York. Di London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per 15000 pasien pada Royal National Throat, Nose and Ear Hospital dimana satu kesimpulan bahwa lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New York.

Walaupun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada nasofaring, tetapi jumlahnya kurang dari 0,05% dari tumor kepala dan leher. Sekarang ada kesepakatan bersama bahwa ini semata-mata penyakit dari laki-laki dan umur rata-rata yang terkena sekitar 14 tahun (Harrison, 1976). Jaraknya, bagaimanapun bervariasi antara umur 7 dan 19 tahun (Martin, Ehrlich dan Abela, 1948). Angiofibroma Nasofaring jarang pada pasien lebih dari 25 tahun.ETIOLOGIEtiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor hormonaldikemukakan sebagai penyebabnya. Banyak bukti memperlihatkan secara langsung adanya reseptor seks-hormon, seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor progesteron (RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor seks-hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan penyimpanan, dan studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE. Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif andibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil menetapkan bukti langsung pertama adanya antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma.Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile.

LOKASILokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari akar nasofaring atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya muncul dari bagian posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen sphenopalatina. Dari sini tumor bertumbuh masuk kedalam kavum nasi, nasofaring dan kedalam fossa pterygopalatina, berjalan dibelakang dinding posterior dari sinus maksillaris dimana menekan kedepan dari pertumbuhan tumor.PATOLOGISecara makroskopik, angiofibroma nampak sebagai keras, berlobulasi membengkak agak lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya bervariasi dari merah muda sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring dan karena itu dibungkus oleh membran mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian yang keluar ke daerah yang berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau abu-abu. Secara histologik, angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa padat menyisipkan dengan pembuluh darah dari ukuran bervariasi dan konfigurasi. Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan dilapisi oleh lapisan tunggal dari endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik dan lapisan otot halus, pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika terjadi trauma, menyebabkan perdarahan yang berlimpah.Tumor yang berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari sinusoid, jadi batas endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel, sementara lainnya terjadi trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat dan seluler. Sel stromal, yang melambangkan fibroblas dan atau miofibroblas, mengelilingi pada nukleus stellata dan kadang-kadang, nekleolus prominent. Mitosis tidak ada. Mikroskop elektron memperlihatkan karakteristik dari granula kromatin padat terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas.PENYEBARANAngiofibroma nasofaring adalah tumor jinak tetapi invasif lokal dan merusak struktur sekitarnya. Dapat meluas kedalam :a. Cavum nasi menyebabkan obstruksi nasi, epistaksis dan pengeluaran cairan hidung.b. Sinus-sinus paranasalis. Sinus maksillaris, sfenoidales dan ethmoidales semua dapat diserang.c. Fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis dan pipi.d. Orbita memberikan gejala prodtosis dan deformitas face-frog. Masuk melalui fissura orbitalis inferior dan juga merusak apeks dari orbita. Dapat juga masuk ke orbita melalui fissura orbitalis superior.e. Cavum kranial. Fossa kranialis media yang paling sering.

Ada 2 jalan masuknya :i. Dengan pengrusakan lantai fossa kranialis media anterior ke foramen lacerum. Tumor berada dilateral dari arteri karotis dan sinus kavernosus.ii. Melalui sinus sfenoid, kedalam sella. Tumor berada dimedial dari arteri karotikus.GEJALA KLINIKGejala :1. Paling sering mengenai anak dan remaja laki-laki.2. Umumnya pada dekade ke-2, antara 7-19 tahun. Jarang pada pasien dengan umur lebih dari dua puluh lima tahun.3. Obstruksi nasal. Gejala yang paling sering, terutama pada tadium awal.4. Epistaksis. Kebanyakan unilateral dan rekuren; biasanya epistaksis berat memerlukan perhatian medis; diagnosis dari angiofibroma pada laki-laki remaja dipertimbangkan.5. Sakit kepala. Terutama jika sinus-sinus paranasalis tersumbat.6. Muka bengkak.7. Gejala lainnya termasuk rinore unilateral, anosmia, hiposmia, rinolalia, otalgia, pembengkakan dari palatum, dan deformitas pipi.Tanda-tanda :1. Massa di cavum nasi.2. Massa di Orbita.3. Proptosis.4. Tanda lainnya mungkin termasuk otitis serosa pada blokade tuba eustakhius. Pembengkakan zigomatikus dan trismus menandakan penyebaran dari tumor ke fossa infratemporal. Penuruan penglihatan mengenai nervus optik jarang dilaporkan.PEMERIKSAAN PENUNJANGLaboratoriumAnemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini.BiopsiKebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak dianjurkan untuk biopsi sebelum reseksi defenitif. Walaupun didapatkan gambaran radiologis yang klasik, bagaimanapun, tidak ada tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika gambaran klinik tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor direseksi. Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai angiofibroma dapat dilakukan di ruang operasi.Pemeriksaan RadiologisFOTO SINAR-XPada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring. Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral, yang tergantung pada lokasi tipikal dalam alur pterygomaksillaris. Ini dikenal sebagai tanda antral dan terdiri dari tulang anterior dari dinding posterior dari antrum maksillaris. Tanda ini sering sulit untuk dikenali.CT SCANMemperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang besar, atau invasif dari pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat.MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)Diindikasikan untuk menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama pada kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial.ANGIOGRAFIDengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada Angiografi ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris interna. Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana pada penanganan sebelumnya gagal.STADIUMSebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada daerah yang terlibat adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya. Different Staging System mengeluarkan untuk angiofibroma nasofaring, Chandler dan kawan-kawan merekomendasikan berdasarkan sistem stadium pada usulan sistem untuk kanker nasofaring oleh AJC : Stadium I : Tumor di nasofaring. Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid. Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi. Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.Sistem stadium lain yang diusulkan oleh Fisch : Stadium I : Tumor terbatas pada rongga hidung, nasofaring tanpa destruksi tulang. Stadium II : Tumor meluas ke fossa pterygomaksillaris, sinus-sinus paranasalis dengan destruksi tulang. Stadium III : Tumor meluas ke fossa infratemporalis, orbita dan atau regio parasellar menyisakan lateral ke sinus kavernosus. Stadium IV : Tumor meluas ke sinus kavernosus, regio khiasma optik dan atau fossa pituitary.Klasifikasi menurut Sessions :- Stadium IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring.- Stadium IB : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring dengan melibatkan sedikitnya satu sinus paranasalis.- Stadium IIA : Tumor meluas minimal lateral ke fossa pterygomaksillaris.- Stadium IIB : Tumor meluas penuh pada fossa pterygomaksillaris dengan atau tanpa erosi superior dari tulang orbita.- Stadium IIIA : Erosi dari dasar tengkorak (fossa cranii media/dasar pterygoid); perluasan minimal intrakranial.- Stadium IIIB : Tumor meluas kedalam intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke sinus kavernosus.PENGOBATANEMBOLISASIEmbolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi jaringan parut dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung aliran darah. Dengan embolisasi saja cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor.OPERASIDigunakan untuk tumor yang kecil (Fisch stadium I atau II).-Pendekatan fossa infratemporal digunakan bila tumor meluas ke lateral.-Pendekatan midfacial degloving, dengan atau tanpa LeFort osteotomy, memanfaatkan jalan masuk posterior ke tumor.-Pendekatan facial translocation dikombinasikan dengan Weber-Ferguson incision dan perluasan koronal untuk frontotemporal craniotomy dengan midface osteotomies untuk jalan masuk.-Operasi intranasal endoscopic disiapkan untuk tumor yang terbatas pada cavum nasi dan sinus-sinus paranasali.RADIOTERAPIBeberapa pusat melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi. Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi radiasi modalitas yang tidak berguna dalam banyak kasus. Radioterapi stereotaktik (seperti sinar Gamma) mengirim sedikit dosis dari radiasi ke jaringan sekitarnya. Bagaimanapun, kebanyakan penulis menyiapkan radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus rekuren.HORMONALPenghambat reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak digunakan secara rutin.

4. TUMOR LARINGGEJALA DAN TANDA Gejala dan tanda yang sering dijumpai adalah : Suara serak Sesak nafas dan stridor Rasa nyeri di tenggorok Disfagia Batuk dan haemoptisis Pembengkakan pada leher DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan : 1. Anamnese 2. Pemeriksaan THT rutin 3. Laringoskopi direk 4. Radiologi foto polos leher dan dada 5. Pemeriksaan radiologi khusus : politomografi, CT-Scan, MRI 6. Pemeriksaan hispatologi dari biopsi laring sebagai diagnosa pasti DIAGNOSA BANDING Tumor ganas faring dapat dibanding dengan : 1. TBC laring 2. Sifilis laring 3. Tumor jinak laring. 4. Penyakit kronis laring PENGOBATAN Secara umum ada 3 jenis penanggulangan karsinoma laring yaitu pembedahan, radiasi dan sitostatika, ataupun kombinasidaripadanya. I. PEMBEDAHAN Tindakan operasi untuk keganasan laring terdiri dari:

A. LARINGEKTOMI1. Laringektomi parsial Laringektomi parsial diindikasikan untuk karsinoma laring stadium I yang tidak memungkinkan dilakukan radiasi, dan tumor stadium II. 2. Laringektomi total Adalah tindakan pengangkatan seluruh struktur laring mulai dari batas atas (epiglotis dan os hioid) sampai batas bawah cincin trakea. B. DISEKSI LEHER RADIKAL Tidak dilakukan pada tumor glotis stadium dini (T1 T2) karena kemungkinan metastase ke kelenjar limfe leher sangat rendah. Sedangkan tumor supraglotis, subglotis dan tumor glotis stadium lanjut sering kali mengadakan metastase ke kelenjar limfe leher sehingga perlu dilakukan tindakan diseksi leher. Pembedahan ini tidak disarankan bila telah terdapat metastase jauh. II. RADIOTERAPI Radioterapi digunakan untuk mengobati tumor glotis dan supraglotis T1 dan T2 dengan hasil yang baik (angka kesembuhannya 90%). Keuntungan dengan cara ini adalah laring tidak cedera sehingga suara masih dapat dipertahankan. Dosis yang dianjurkan adalah 200 rad perhari sampai dosis total 6000 7000 rad. Radioterapi dengan dosis menengah telah pula dilakukan oleh Ogura, Som, Wang, dkk, untuk tumor-tumor tertentu. Konsepnya adalah untuk memperoleh kerusakan maksimal dari tumor tanpa kerusakan yang tidak dapat disembuhkan pada jaringan yang melapisinya. Wang dan Schulz memberikan 45005000 rad selama 46 minggu diikuti dengan laringektomi total. III. KEMOTERAPI Diberikan pada tumor stadium lanjut, sebagai terapi adjuvant ataupun paliativ. Obat yang diberikan adalah cisplatinum 80120 mg/m2 dan 5 FU 8001000 mg/m2. REHABILITASI Rehabilitasi setelah operasi sangat penting karena telah diketahui bahwa tumor ganas laring yang diterapi dengan seksama memiliki prognosis yang baik. rehabilitasi mencakup : Vocal Rehabilitation, Vocational Rehabilitation dan Social Rehabilitation. PROGNOSA Tergantung dari stadium tumor, pilihan pengobatan, lokasi tumor dan kecakapan tenaga ahli. Secara umum dikatakan five years survival pada karsinoma laring stadium I 90 98% stadium II 75 85%, stadium III 60 70% dan stadium IV 40 50%. Adanya metastase ke kelenjar limfe regional akan menurunkan 5 year survival rate sebesar 50%.

DAFTAR PUSTAKA1. Munir, Masrin. Keganasan di Bidang Telinga, Hidung, Tenggorok dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi ke-enam. Balai Penerbit FKUI. 20072. Roezin, Averdi. Sistem Aliran Limfa leher. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi ke-enam. Balai Penerbit FKUI. 20073. Nurtrisno,. Achadi. ML, Nietje. Samsudin. Soetomo. Tumor Hidung yang Berdarah di RS dr. Karyadi Semarang. Dalam CDK edisi 52 tahun 1988. Tumor-tumor di Kepala dan Leher . Diunduh dari www.kalbefarma.com4. Asroel,A.H. penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. 2002. Dari USU Digital Library. Diunduh dari www.usudigitallib.ac.id.5. Kartika, Henny. Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring. 2008. Dari http://en.wordpress.com.6. Referat Angiofibroma nasofaring Juvenil. Alhamsyah Blog. Diunduh dari www.alhamsyah.com

1