kecap_ yeremia adi wijaya_12.70.0152_a1

22
1. HASIL PENGAMATAN Hasil pengamatan terhadap karakteristik sensori kecap manis dari berbagai perlakuan kadar inokulum dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Sensori Kecap Manis Pada Berbagai Tingkat Kadar Inokulum Kelompo k Bahan & Perlakuan Aroma Warna Ras a Kekental an A1 Kedelai hitam 0,5% inokulum ++ ++ +++ ++ A2 Kedelai hitam 0,75% inokulum ++ + ++ + A3 Kedelai hitam 0,75% inokulum + + ++ + A4 Kedelai hitam 1% inokulum + + ++ ++ A5 Kedelai hitam 1% inokulum ++ ++ +++ ++ Keterangan : Aroma : +++ : Sangat kuat Kekentalan : +++ : Sangat kental ++ : Kuat ++ : Kental + : Kurang kuat + : Kurang kental Warna : +++ : Sangat hitam Rasa : +++ : Sangat kuat ++ : Hitam ++ : Kuat + : Kurang hitam + : Kurang kuat 1

Upload: james-gomez

Post on 15-Sep-2015

26 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Menjelaskan mekanisme pembuatan kecap tradisional dan reaksi yang terjadi selama proses pengolahan

TRANSCRIPT

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan terhadap karakteristik sensori kecap manis dari berbagai perlakuan kadar inokulum dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Sensori Kecap Manis Pada Berbagai Tingkat Kadar InokulumKelompokBahan & PerlakuanAromaWarnaRasaKekentalan

A1Kedelai hitam 0,5% inokulum+++++++++

A2Kedelai hitam 0,75% inokulum++++++

A3Kedelai hitam 0,75% inokulum+++++

A4Kedelai hitam 1% inokulum++++++

A5Kedelai hitam 1% inokulum+++++++++

Keterangan :Aroma : +++: Sangat kuatKekentalan: +++ : Sangat kental ++: Kuat ++ : Kental +: Kurang kuat +: Kurang kental

Warna :+++: Sangat hitamRasa: +++: Sangat kuat++: Hitam ++: Kuat+: Kurang hitam +: Kurang kuat

Dari tabel 1, dapat diketahui bahwa penambahan konsentrasi inokulum yang berbeda pada tahap fermentasi koji akan berpengaruh terhadap karakteristik sensori kecap manis yang dihasilkan. Pengaruh konsentrasi inokulum terhadap karakteristik aroma, warna, rasa dan kekentalan tidak menunjukan perbedaan yang signifikan. Secara keseluruhan, kelompok A1 dan A5 menunjukan parameter sensori yang baik dibanding kelompok A2, A3 dan A4.

14

2. PEMBAHASAN

Fermentasi merupakan salah satu teknik pengolahan dan pengawetan bahan pangan yang sudah lama dikenal yang digunakan tidak hanya untuk memperpanjang umur simpan dari suatu produk pangan namun juga untuk meningkatkan cita rasa dan aroma dari suatu bahan pangan. Proses fermentasi merupakan proses dimana akan terjadi perubahan pada bahan pangan oleh karena aktivitas mikroorganisme (Kilinc et al, 2006). Kecap merupakan salah satu produk hasil fermentasi. Kecap merupakan produk berwarna hitam yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu masak. Berdasarkan rasanya, kecap dibedakan menjadi kecap asin dan kecap manis. Perbedaan diantara keduanya adalah bahan baku yang digunakan. Kecap asin umumnya memanfaatkan produk hewani seperti ikan sebagai bahan baku, sedangkan kecap manis umumnya memanfaatkan kedelai hitam sebagai bahan baku (Afrianto & Liviawaty, 1989).

Kecap manis atau kecap kedelai merupakan produk fermentasi tradisional yang sudah sangat lama dikenal. Kecap manis merupakan produk berwarna hitam, kental dan manis. Menurut Suprapti (2005), sifat kental dan manis pada kecap manis disebabkan oleh adanya penambahan gula dalam proses pengolahan. Dalam Judiamidjojo (1987) diketahui bahwa kecap manis memiliki kadar gula berkisar 26% - 61%. Secara tradisional, kecap manis umum digunakan di china, jepang dan korea sebagai bumbu masak cair. Sekarang ini, pemanfaatan kecap manis sebagai bumbu masak telah banyak dimanfaatkan disejumlah negara di Asia (Kataoka, 2005). Berdasarkan metode pengolahannya terdapat tiga jenis kecap manis yaitu kecap manis hasil fermentasi, kecap manis hasil hidrolisis asam dan kecap manis hasil fisis atau pencampuran (Goblitz, 1995). Tahap fermentasi kecap merupakan tahap yang kompleks, dimana didalam terdapat sakarifikasi pati, degradasi gula, fermentasi alkohol, reaksi proteolisis, pembentukan aroma, reaksi asam pantotenat, reaksi maillard dan lain sebagainya (Mao et al, 2013).

Dalam praktikum ini, pengolahan kecap dilakukan melalui proses fermentasi. Proses fermentasi dikatakan oleh Goblitz (1995) bahwa akan menghasilkan produk dengan cita rasa dan aroma yang khas. Secara umum, proses fermentasi kecap manis melalui dua tahap yaitu fermentasi koji dan fermentasi moromi (Kataoka, 2005). Pada praktikum, fermentasi koji tampak pada saat penambahan inokulum hingga pengeringan dalam dehumidifier. Tahap moromi tampak pada tahap penambahan larutan garam 20%. Koji disebut juga kabitachi yang berarti kumpulan jamur. Secara ilmiah, koji merupakan tahapan dimana kultur baik berupa jamur Aspergillus oryzae atau Monascus purpureus ditumbuhkan pada kedelai dalam kondisi lingkungan yang hangat dan lembab. Pada tahap ini, koji berperan sebagai sumber enzim yang akan memecah sejumlah konstituen pada bahan menjadi sederhana (Shurtleff & Aoyagi, 2012). Amilase, protease, amino peptidase, lipase adalah beberapa jenis enzim yang dihasilkan. Namun, amilase dan protease adalah yang dominan (Steinkraus et al, 1983). Berdasarkan Suprapti (2005), maka proses fermentasi koji dibedakan menjadi proses secara modern dan tradisional. Proses modern cenderung lebih terkontrol kondisi lingkungannya, sedangkan tradisional mengandalkan kondisi lingkungan sekitar secara alami. Berdasarkan penjelasan Suprapti (2005), maka fermentasi yang dilakukan dalam praktikum merupakan fermentasi koji tradisional.

Dalam praktikum, kedelai hitam digunakan sebagai bahan baku pengolahan. Suprapti (2005) menyatakan bahwa salah satu faktor penentu kualitas kecap manis adalah kadar protein yang dihasilkan, dimana semakin tinggi kadarnya maka akan semakin baik kualitas kecap yang dihasilkan. Kedelai merupakan bahan baku yang tinggi akan karbohidrat dan protein, oleh karenanya banyak dimanfaatkan dalam pengolahan kecap. Kedelai hitam merupakan jenis yang umum digunakan. Hal ini terkait warna kulit yang mendukung pembentukan warna produk kecap secara alami (Judiamidjojo, 1980). Tahap awal pengolahan adalah perendaman, pencucian, penyortiran, penirisan dan perebusan kedelai. Perendaman, pencucian dan perebusan merupakan tahap untuk mengeliminasi mikroba patogen, menginaktivasi enzim dalam bahan serta membersihkan bahan yang digunakan dari bahan pengotor. Penyortiran secara komersial dilakukan untuk memiliki bahan baku yang berkualitas. Pada tingkat industri umumnya penyortiran dipilih berdasarkan usia bahan baku dan tingkat kerusakan. Hal ini terkait kandungan protein dalam bahan, dimana semakin tua dan semakin baik fisik bahan, maka semakin tinggi kualitas protein. Penirisan dilakukan untuk meminimalisir pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan (Suprapti, 2005).

Fermentasi koji dalam praktikum dilakukan menggunakan inokulum tempe, Aspergillus oryzae. Secara komersial, yeast Aspergillus oryzae adalah yang umum digunakan. Hal ini terkait kemampuannya didalam memproduksi protease dan amilase ekstraseluler, warna konidia, serta Gambar 1. Tahap Inokulasikemampuannya didalam menghasilkan aflatoksin serta mikotoksin yang rendah (Tanasupawat et al, 2002). Dalam praktikum, digunakan konsentrasi inokulum yang berbeda. Hal ini guna mengetahui pengaruhnya terhadap kualitas akhir dari kecap yang dihasilkan. Dalam praktikum, fermentasi koji dilakukan dalam besek beralaskan daun pisang dan diinkubasi selama 3 hari. Tahap fermentasi koji merupakan tahap krusial. Kontaminasi dan kondisi lingkungan yang tidak sesuai akan berdampak pada kualitas produk akhir (Suprapti, 2005). Pemanfaatan daun pisang merupakan alternatif dalam pengendalian oksigen selama fermentasi. Hal ini karena adanya stomata pada daun yang mampu dilewati oleh oksigen, oleh karenanya, jumlah oksigen yang masuk dapat diatur secara tepat (Sarwono, 2005). Bahan yang sudah diinokulasikan kemudian diinkubasikan selama 3 hari. Purwoko & Handayani (2007) dan Rosida et al (2013) menyatakan bahwa pada fermentasi koji akan ideal apabila dilakukan pada kisaran suhu 25C - 35C, RH berkisar 90% - 98% dan ketersediaan oksigen sebesar 22%. Fermentasi koji akan ideal bila dilakukan selama 2 4 minggu. Namun, terkait kendala waktu praktikum yang terbatas maka dilakukan fermentasi hanya selama 3 hari (Suprapti, 2005).

Gambar 2. Akhir Tahap Fermentasi Koji

Hasil koji pada tiap kelompok menunjukan adanya perbedaan sewaktu pengamatan. Hal ini terutama tampak pada jumlah miselia yang dihasilkan. Perbedaan ini terutama karena pengaruh banyaknya inokulum yang digunakan serta kondisi lingkungan yang berbeda selama proses fermentasi koji dilakukan (Suprapti, 2005). Perbedaan ini terkait juga karena proses yang dilakukan secara tradisional dan tidak dilakukan pada waktu yang sama antara satu kelompok dengan kelompok lain, oleh karenanya, memungkinkan kondisi lingkungan yang berbeda pada tiap kelompok (Suprapti, 2005). Pengaruh inokulum terhadap koji yang dihasilkan dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Pengaruh Kadar Inokulum Terhadap Koji yang Dihasilkan (Kiri ke Kanan A1 A5)

Gambar 4. Kedelai Pasca DehumidifierKedelai yang sudah mengalami fermentasi koji kemudian dilakukan penghilangan miselia yang melekat pada permukaan kedelai. Tahap ini tampak pada saat proses pemotongan kedelai yang sudah menjadi koji, didehumidifier dan kemudian dimasukan kedalam toples plastik. Nutrien yang terhidrolisis pada fermentasi koji akan dimanfaatkan oleh yeast dan bakteri pada tahap moromi (Wu et al, 2010). Dalam wu et al (2010) diketahui setidaknya ada tiga mikroorganisme yang berperan penting yaitu Zygosaccharomyces rouxii, Candida spp, dan Pediococcus halophilus. Selama fermentasi, etanol akan dihasilkan oleh Z.rouxii pada kondisi aerob dan anaerob. Candida spp merupakan khamir yang penting dalam pembentukan aroma pada kecap manis yang dihasilkan oleh senyawa fenolik seperti 4-etil guakol, 2-fenil etanol (Hamada et al, 1989). P.halophilus merupakan bakteri yang memetabolisme gula sederhana yang dihasilkan pada tahap koji menjadi asam laktat dan asam asetat (Iwasaki et al, 1993). Tahap fermentasi moromi merupakan tahap setelah fermentasi koji. Fermentasi moromi dalam praktikum dilakukan dengan penambahan garam 20% dan direndam selama 1 minggu dengan dilakukan penjemuran setiap siang hari dan diaduk.

Fermentasi moromi disebut juga fermentasi larutan garam. Hal ini terkait adanya perendaman dalam larutan garam selama prosesnya. Dalam Wu et al (2010) dikatakan bahwa fermentasi moromi umum menggunakan larutan garam berkisar 16% - 20%. Pada fermentasi moromi, akan terjadi perubahan tekanan osmotis secara drastis. Perubahan tekanan osmosis menyebabkan sebagian besar air pada sebagian besar mikroorganisme keluar menuju lingkungan hipertonik. Namun demikian, diketahui terdapat beberapa mikroorganisme yang mampu bertahan pada kondisi tersebut (Steinkraus, 2004). Zygosaccharomyces rouxii, Candida spp, dan Pediococcus halophilus merupakan mikroorganisme yang mampu bertahan dan berperan penting dalam fermentasi moromi. (Wu et al, 2010).

Gambar 5. Penjemuran Dibawah Matahari

Gambar 6. Perendaman Larutan GaramLama fermentasi, suhu lingkungan dan aerasi adalah faktor penting dalam fermentasi moromi. Aerasi merupakan tahap yang akan berpengaruh terhadap pembentukan flavor oleh mikroorganisme. Aerasi dilakukan dengan pengadukan. Hal ini guna memberikan suplai oksigen terhadap mikroorganisme dalam bahan (Suprapti, 2005). Dalam suprapti (2005) dikatakan bahwa secara standar, aerasi dilakukan setiap 3 5 menit selama 3 kali sehari. Durasi atau lamanya aerasi merupakan aspek penting. Aerasi yang terlalu sering diketahui akan membuat filtrat yang didapatkan menjadi terlalu kering, sehingga pembentukan senyawa etil guakol menjadi tidak optimal. Aerasi yang terlalu lambat justru akan memperlambat pembentukan senyawa flavor tersebut (Wu et al, 2010). Temperatur selama fermentasi merupakan faktor penting dalam pengolahan kecap. Hal ini merupakan alasan dilakukan penjemuran selama fermentasi moromi dalam praktikum. Temperatur merupakan aspek yang berperan penting dalam proses pemeraman dan dalam mempertahankan kualitas dari kecap yang dihasilkan. Pada praktikum, pengendalian suhu selama fermentasi sangat bergantung pada kondisi lingkungan, oleh karenanya, hal ini memungkinkan terjadinya perbedaan kualitas antara produk satu dengan produk yang lain (Wu et al, 2010). Chou & Ling (1998) menyatakan bahwa 3 bulan merupakan waktu fermentasi paling optimal. Waktu fermentasi dan suhu menunjukan adanya sinergisme. Dalam Gambar 7. Hasil Moromi yang Sudah Dipres dan DisaringChou & Ling (1998) dan Iwasaki et al (1993), diketahui bahwa fermentasi moromi akan efisien bila dilakukan pada suhu 15C pada bulan pertama dan 30C pada bulan berikutnya. Pada praktikum ini, lama fermentasi moromi hanya dilakukan selama 1 minggu. Hal ini terkait kendala waktu praktikum yang terbatas. Hasil fermentasi moromi setelah 1 minggu kemudian dipres dan dilakukan pengaringan. Hal ini merupakan tahapan untuk menghilangkan serta memisahkan padatan, pengotor serta kedelai yang digunakan (Suprapti, 2005).

Berdasarkan penjelasan Wu et al (2010) dan Hamada et al (1989) maka dapat disimpulkan bahwa kadar inokulum yang berbeda pada tahap fermentasi koji akan berpengaruh terhadap kualitas sensori dari produk akhir yang didapatkan. Didalam praktikum, pengaruh perbedaan kadar inokulum terhadap kualitas moromi tidak dianalisa secara signifikan. Namun, secara penampak warna perasan dan aroma, tidak nampak adanya perbedaan yang signifikan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain.

Tahap akhir dari pengolahan kecap adalah tahap pemasakan. Hal ini merupakan tahap untuk meningkatkan cita rasa, aroma serta untuk menginaktivasi mikroorganisme yang tidak diinginkan (Suprapti, 2005). Formulasi bahan yang digunakan secara umum berbeda-beda tergantung tujuan dan selera yang diinginkan. Dalam Wijayakusuma (1997) diketahui bahwa, bawang putih, kayu manis, serai, kemiri, lengkuas, pekak dan daun salam merupakan bahan yang umum digunakan. Pada praktikum, kelompok kami (A1) menggunakan bahan berupa kayu manis, ketumbar, laos, pekak, dan gula jawa. Bahan yang digunakan berbeda antara kelompok satu dengan kelompok lain. Gula jawa atau gula merah merupakan bahan pendukung yang berperan penting dalam membentuk cita rasa, warna dan viskositas produk akhir. Sebagai pembentuk cita rasa dan warna, gula jawa akan mengalami reaksi karamelisasi dan maillard selama proses pemasakan, sehingga didapatkan produk dengan warna dan cita rasa yang diinginkan. Gula jawa juga berperan sebagai pemberi rasa manis dan meningkatkan viskositas produk. Hal ini terkair tingginya kandungan gula dalam gula jawa. Glukosa, fruktosa, maltosa dan sukrosa merupakan gula yang dapat ditemukan pada gula jawa atau gula merah (Judoamidjojo et al, 1987).

Gambar 8. Pemasakan Flavor

Hasil pengamatan terhadap produk akhir kecap menunjukan tidak adanya pengaruh yang signifikan antara kadar inokulum yang ditambahkan terhadap kualitas produk akhir yang didapatkan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh karena adanya penambahan flavor pada tiap kelompok yang juga berbeda. Pengaruh inokulum pada dasarnya dapat dilihat dari hasil koji dan hasil moromi yang dihasilkan. Flavor yang ditambahkan pada pengolahan memiliki pengaruh dominan terhadap kualitas produk akhir yang didapat, oleh karenanya, perbedaan flavor inilah yang paling berpengaruh terhadap kualitas produk akhir (Suprapti, 2005). Kelompok A1 dan A5 menunjukan kualitas sensori yang lebih baik dibanding kelompok lain. Namun, meski menggunakan bahan flavor yang berbeda tapi menunjukan kualitas sensori yang setara. Hal ini dapat dipengaruhi oleh karena panelis yang tidak terlatih, kadar flavor yang sedikit berlebih, ataupun karena pengaruh kondisi lingkungan (panas selama penjemuran, suplai oksigen, nutrient dalam bahan) yang sedikit berbeda antara kelompok satu dengan kelompok lain selama proses fermentasi moromi dan proses fermentasi koji (Wu et al, 2010).

Gambar 9. Kecap yang Siap Analisa Sensori

13

3. KESIMPULAN

Pengolahan kecap dibedakan menjadi tiga cara yaitu fermentasi, hidrolisis atau kombinasi keduanya. Kedelai hitam umum digunakan karena memiliki kadar protein tinggi dan mendukung pembentukan warna produk akhir. Fermentasi kecap dilakukan melalui tahap fermentasi koji dan moromi. Fermentasi koji merupakan fermentasi oleh khamir, sedang fermentasi moromi merupakan fermentasi oleh mikroorganisme yang masih mampu bertahan pada kondisi tekanan osmosis tinggi. Kadar inokulum berpengaruh terhadap pembentukan koji, moromi dan kualitas produk akhir. Proses fermentasi koji dan moromi dipengaruhi oleh kelembaban, suhu lingkungan, suplai oksigen, lama fermentasi dan kadar inokulum. Pemberian flavor pada produk untuk meningkatkan kualitas produk akhir. Pemberian flavor yang dominan menutupi hasil yang didapat pada fermentasi moromi. Karakteristik sensori yang berbeda terhadap produk akhir disebabkan oleh karena panelis yang tidak terlatih, kadar bahan flavor yang berbeda dan pengaruh hasil fermentasi.

Semarang, 17 Juni 2015Asisten Dosen :- Abigail Sharon- Frisca Melia

Yeremia Adi Wijaya12.70.0152

4. DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E & Liviawaty, E. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisisus. Jakarta.

Chou, C.C & M.Y, Ling. (1998). Biochemical Changes in Soy Sauced Prepared with Extruded and Traditional Raw Material. Food.Res.Int Vol 31:487-492.

Goblitz, P. (1995). Traditional Soyfood : Processing and Products. Journal of Nutrition Vol 125 : 570-572.

Hamada, T; Sugishita, M & H, Motai. (1989). Continuous Production of 4-ethylguaiacol by Immobilized Cells of Salt Tolerance Candida Versatilis in an Airlift Reactor. J.Ferment.Bioeng Vol 69-166-169

Iwasaki, K.I, Nakajima, M & H, Sasahara. (1993). Rapid Continuous Lactic Fermentation by Immobilized Lactic Acid Bacteria for Soysauce Production. Proc.Biochem Vol 28:39-45.

Judoamidjojo, R. M., Gumbira Said, E. dan Hartoto, L. (1989). Biokonversi. PusatAntar Universitas Bioteknologi IPB. Bogor.

Judoamidjojo, R.M. (1987). Studies on Chemical and Microbiological Aspect of Kecap as Fundamental to Improve ITS Quality.Kumpulan Seminar Bioteknologi Pertanian. PAU Bioteknologi, IPB. Bogor.

Kataoka, S. (2005). Functional Effect of Japanese Style Fermented Soy Sauce (Shoyu) and its Components. J.Biosci.Bioneng Vol 100:227-134.

Kilinc, B, Cakli, S, Tolasa, S & T, Dincer. (2006). Chemical, Microbiological and Sensory Changed Associated with Fish Sauce Processing. Eur.Food.Res.Technol Vol 222:604-613.

Mao, C, He, G, Du, X, Cui, M & S, Gao. (2013). Biochemical Changes in Fermentation of Soy Sauce Prepare with Bittern. Advanced Journal of Food Science and Technology Vol 5(2):144-147.

Purwoko, T & N.S, Handjajani. (2007). Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R.oligosporus. Biodiversitas Vol 8(2):223-227.

Rosida, D.F; Apriyantono, C.D.F; Apriyantono, A & F.R, Zakaria. (2010). Karakteristik Moromi dan Kecap Manis serta Kajian Aktivitas Antioksidanya. Rekapangan Vol 4(2):1-9

Sarwono, B. (2010). Usaha Membuat Tempe dan Oncom. Panebar Swadaya. Jakarta.

Steinkraus, K.H, Cullen R.E, Pederson C.S dan Nellills L.F. (1983). Handbook of Indigenous Fermented Foods. 2nd Edition. Marcel Dekker, Inc. New York and Basel.

Steinkraus, K.H. (2004). Industrialization of Indigenous Fermented Food, Revised and Expanded. CRC Press. New York.

Suprapti, M.S. (2005). Kecap Tradisional. Kanisius. Yogyakarta.

Shurtleff, W & A, Aoyagi. (2012). History of Koji Grains and/or Soybeans Enrobed with Mold Culture : Extensively Annoted Bibliography and Sourcebook. Soyinfo Center. Lafayette.

Tanasupawat, S., J. Thongsanit, S. Okada dan K. Komagata. (2002). Lactic Acid Bacteria Isolated from Soy Sauce Mash in Thailand. Appl. Environ. Microbiol. 39:430-435.

Wijayakusuma, M. (1997).Kecap dan Tauco Kedelai.Kanisius.Yogyakarta.

Wu, T.Y, Kan, M.S, Siow, L.F & Palniandy, L.K. (2010). Effect of Temperature on Moromi Fermentation of Soysauce with Intermittent Aeration. African Journal of Biotechnology vol 9(5):702-706.

5. LAMPIRAN