jurnal fix

Upload: kabhithra-thiayagarajan

Post on 14-Jan-2016

224 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

j

TRANSCRIPT

DASAR DISASTER VICTIM IDENTIFICATION (DVI)AbstrakInsiden Kematian Massal dapat disebabkan oleh kejadian yang meliputi faktor lingkungan, kesehatan, kendaraan, kegiatan industri ataupun terorisme. Insiden ini bisa digolongkan menjadi insiden mayor, massa atau bencana karena melibatkan sejumlah besar korban. Identifikasi pada korban insiden kematian massal penting untuk alasan hukum dan kemanusiaan. Sementara itu radiografi telah digunakan untuk identifikasi sejak tahun 1949 dan pemakaian Post-Mortem Computed Tomography (PMCT) telah disarankan karena dapat memberikan hasil lebih cepat dan lebih menguntungkan dari segi logistik dengan mengurangi jumlah personil yang diturunkan ke tempat kejadian dan meminimalkan jumlah modalitas pencitraan yang diperlukan. The International Society of Forensic Radiology and Imaging (ISFRI), yang memasukkan Disaster Victim Identification (DVI) sebagai salah satu dari enam bidang utama pengembangannya, mendukung ide penggunaan PMCT tersebut. Subgrup DVI pada ISFRI ini mendukung penggunaan radiologi termasuk PMCT dalam menangani Insiden Kematian Massal melalui laporan publikasi posisi kelompok DVI. Jurnal ini akan membahas dasar-dasar identifikasi korban bencana dan peranan radiologi, baik pada masa lampau dan masa yang akan datang.

Daftar isi1. Pendahuluan3

2. Disaster Victim Identification (DVI)5

3. Sejarah Singkat Pencitraan dalam Identifikasi8

4. Radiologi dalam insisden bencana missal yang berakibat fatal10

5. Jalur Proses13

5.1 Fluoroskopi13

5.2 Foto Polos14

5.3 Radiografi Gigi Geligi14

5.4 Mobile CT14

6. Peran Potensial PMCT pada DVI17

7. Pelaporan PMCT20

8. DVI pada Masa Depan22

Daftar Pustaka

1. PendahuluanPada setiap kejadian yang menimbulkan kematian, terlepas dari penyebab atau jumlah korban, identifikasi korban adalah hal yang sangat penting. Ahli identifikasi manusia mempunyai tanggung jawab kemanusiaan dan hukum untuk mengidentifikasi setiap korban kapanpun dan dimanapun sehingga korban dapat kembali ke keluarga mereka[1].Insiden Kematian Massal (IKM) menghasilkan korban dalam jumlah besar, sering terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga. Insiden tersebut digolongkan sebagai 'bencana' dan identifikasi korban umumnya dicapai dengan mengikuti protokol identifikasi korban bencana (DVI). Insiden Kematian Massal dapat dibagi menjadi insiden mayor, massal atau bencana, tergantung pada jumlah korban secara keseluruhan. Insiden ini dapat dibagi menjadi lokal, nasional atau internasional berdasarkan lokasi kejadian dan negara atau negara asal korban. Insiden ini juga dapat digolongkan sebagai bencana tertutup atau terbuka, tergantung pada apakah jumlah korban diketahui, dan apakah identitas kelompok yang terlibat diketahui. Sebagai contoh, sebuah insiden kecelakaan pesawat biasanya adalah bencana 'tertutup' karena hanya melibatkan orang-orang yang berada di dalam pesawat tersebut, sementara itu sebaliknya serangan terhadap World Trade Center di New York pada tahun 2001 dan tsunami di Asia pada tahun 2004, merupakan dua contoh bencana terbuka yang paling kompleks sampai saat ini, dengan jumlah pasti korban yang masih belum diketahui. Insiden Kematian Masal (IKM) dapat dikategorikan sebagai insiden pada lingkungan (misalnya gempa bumi, tsunami, angin topan), insisden medis (misalnya kelaparan, penyakit seperti wabah Ebola tahun 2014), kendaraan (misalnya pesawat, mobil, kereta api, kapal), industri (misalnya ledakan, kebakaran) atau terorisme (misalnya kimia, biologi, radiologi, nuklir, atau serangan peledak yang disebut sebagai CBRNE). Pelanggaran Hak Asasi Manusia juga dapat dianggap sebagai bencana massal, meskipun hal ini dapat meliputi di wilayah geografis yang lebih besar dan dalam waktu jangka panjang[2]. Pengelompokkan ini penting pada proses perencanaan tempat dan jenis kamar mayat sementara yang akan digunakan seperti kamar mayat permanen, sementara atau kamar mayat untuk korban akibat bencana bahaqn berbahaya (CBRN). Bervariasinya insiden tersebut akan secara langsung mempengaruhi pemilihan metode identifikasi korban yang[3]. Misalnya, insiden pesawat terbang dan industri, serangan teroris, dan bencana alam sering menyebabkan tubuh korban terpisah menjadi beberapa bagian, kerusakan akibat panas dan kebakaran memerlukan pengaturan kamar mayat sementara yang lebih luas.Kompleksitas identifikasi korban pasca IKM dapat sangat bervariasi dan tergantung pada jumlah korban jiwa, banyaknya kepingan tubuh, pembusukan dan ketersediaan bahan referensi antemortem yang berhubungan dengan hilangnya korban. Untuk memastikan tubuh korban teridentifikasi secara cepat dan efisien, tim multidisiplin umumnya dikerahkan untuk bekerja secara simultan untuk meningkatkan produktivitas proses identifikasi. Tim ini biasanya terdiri dari polisi, ahli patologi dan ahli odontologi, sesuai dengan perkembangan ilmu ahli radiologi PMCT juga menjadi bagian integral dari tim identifikasi mayat.

2. Disaster Victim Identification (DVI)Insiden Kematian Masal (IKM) yang telah disebutkan di atas, bisa mencakup lingkup internasional. Sehingga diperlukan tim DVI baik nasional maupun internasional dalam identifikasi korban. Saat ini, resolusi Organisasi Internasional Kepolisian (Interpol) terhadap DVI adalah dengan membuat undang-undang yang hanya diakui secara internasional, yang berfungsi di bawah hukum internasional, untuk secara khusus menangani kasus insisden kematian massal. Undang-undang ini merekomendasikan bahwa semua 187 negara anggota harus mengadopsi prosedur umum untuk mengidentifikasi korban dalam semua jenis bencana, tanpa memandang penyebab atau skala bencananya[4].Pada tahun 1984, Interpol mempublikasikan DVI manual pertama. Tujuannya adalah untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan penanganan bencana massal secara umum, dan proses identifikasi pada khususnya, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas DVI[4]. Dalam rangka mencapai, mempertahankan dan meningkatkan standar, dan untuk memfasilitasi hubungan internasional Interpol merekomendasikan bahwa setiap negara anggota harus memiliki satu atau lebih tim DVI permanen. Mereka harus memiliki tanggung jawab tidak hanya untuk tanggap bencana, tetapi juga untuk fungsi-fungsi vital pra-perencanaan dan pelatihan personil. Panduan DVI Interpol mengasumsikan bahwa intervensi post-mortem akan diatur dan proses DVI akan dideskripsikan meliputi 3 langkah utama, yaitu penemuan dan pemeriksaan tubuh untuk menetapkan bukti post-mortem dari korban, mencari informasi ante-mortem dari individu yang mungkin menjadi korban bencana dan membandingkan data ante-mortem dan post-mortem[5].Dalam rangka untuk memastikan bahwa pencarian dilakukan secara menyeluruh dan fotografi didokumentasikan, tim penemuan dan tim identifikasi korban harus memperoleh peta yang akurat dari lokasi bencana. Idealnya, peta ini sebaiknya dibuat dengan grid untuk memfasilitasi operasi pencarian yang logis. Grid dan area pencarian dicocokkan dengan pink form (yang dilengkapi oleh tim post mortem) oleh tim rekonsiliasi, tujuannya adalah untuk identifikasi yang tepat. Jika memungkinkan pencarian sistematis terhadap tubuh korban, pengumpulan barang bukti, dan identifikasi dilakukan pada seluruh area bencana. Pencocokan lokasi grid jenazah dengan identitas dan menggunakan hasil pencocokan tersebut sebagai sebuah pendekatan rekonstruksi untuk membuat pemahaman kartografi kejadian adalah salah satu elemen kunci dari DVI forensik. Interpol telah menemukan bentuk-bentuk khusus untuk merekam informasi ante-mortem (AM) dan post-mortem (PM) untuk membantu proses ini[1] dan juga telah menyediakan 'Laporan Identifikasi Korban' resmi, Laporan identifikasi korban ini biasanya digunakan sebagai prasyarat untuk mengeluarkan sertifikat kematian dan kesimpulan akhir dari proses identifikasi. Tim AM mengumpulkan data seseorang yang diduga sebagai korban, mempersiapkan sesuai data orang hilang dan memberitahukan otoritas terkait mengenai kesuksesan identifikasi. Tim PM mengumpulkan semua data yang relevan seperti gigi, medis, dan forensik dari tubuh jenazah untuk tujuan identifikasi korban. Data AM dan PM kemudian diolah oleh tim rekonsiliasi dengan mencocokkan informasi yang dikumpulkan oleh kedua tim dan mengidentifikasi para korban.

Identifikasi korban yang terlibat dalam Insiden Kematian Massal tidak selalu dapat diandalkan, tetapi tergantung pada ketersediaan dan kualitas informasi ante-mortem pada setiap korban[6]. Interpol mengkategorikan informasi ini menjadi bukti situasional dan fisik. Bukti situasional berkaitan dengan barang-barang pribadi, seperti pakaian, perhiasan dan isi dompet[7], dan sebaiknya digunakan sendiri untuk bukti identitas. Bukti fisik diperoleh melalui pemeriksaan eksternal atau internal tubuh, dan dianggap sebagai bukti yang dapat diterima. Pemeriksaan luar diperoleh melalui karakteristik individu seperti tato, bekas luka, dan sidik jari, yang dapat sangat berguna ketika mengkonfirmasikan identitas[8]. Demikian juga, pemeriksaan dalam dapat memperlihatkan bukti prosedur pembedahan, termasuk penyakit alami, prostetik, atau bukti trauma sebelumnya dan semua ciri yang khas untuk individu[8]. Kredibilitas dari informasi yang didapatkan meningkatkan kemampuan ahli identifikasi korban dari bukti situasional ke bukti fisik[9]. Karena pentingnya informasi fisik tersebut Interpol telah memberlakukan prosedur standar operasi untuk pengumpulan informasi ini.3. Sejarah Singkat Pencitraan dalam Identifikasi Pencitraan dalam identifikasi korban pertama kali dilaporkan oleh Culbertland Lawin pada tahun 1927, ketika investigator membandingkan antara gambaran radiologi ante mortem dan post mortem sinus frontalis pada korban homicide[10]. Pada tahun 1918 telah dilaporkan kasus seorang pria yang pernah diterapi sinusitis kroniknya. Beberapa tahun kemudian, pria ini dicurigai dibunuh ketika melakukan pejalanan dari India ke Tibet. Di temukan badan manusia di sebuah sungai di India, dan keluarga korban meminta agar mengidentifikasi korban tersebut. Badan korban telah terceraiberai dan ketika diterbangkan ke New York, 260 hari setelah pelancong yang dikabarkan menghilang, identifikasi dengan cara biasa sudah sulit untuk dilakukan. Tetapi, dengan membandingkan aspek biologis yang unik pada sinus mastoid dan nasal accessory, yang terlihat pada rontgen x-ray pada saat pengobatan sebelumnya, akhirnya mereka dapat mengkonfirmasi identitas korban korban. Perbandingan antara gambaran radiologi antemortem dan postmortem masih dianggap sebagai salah satu teknik paling akurat dalam mengidentifikasi korban oleh ahli forensik. Pemeriksaan radiologi pernah diterapkan saat terjadi kecelakaan masal pada tahun 1949, dalam mengidentifikasi korban pada bencana Noronic The Great Lakesliner di Toronto, Canada. Ini adalah bencana pertama yang dilaporkan menggunakan pencitraan sebagai teknik dalam mengidentifikasi korban bencana massal. Api yang membakar kapal Noronic memakan korban sebanyak 119 orang korban mati. Banyak korban lain yang menderita luka bakar yang sangat parah yang membuat korban tersebut sulit diidentifikasi secara visual. Gambaran polos radiografi diambil pada 79 dari 199 karban mati, dan sebanyak 35 dari korban tersebut mempunyai gambaran pencitraan antemortem. Didapatkan gambaran tulang tengkorak antero-posterior dan lateral serta bagian ekstremitas sebagai pemeriksaan permulaan dalam mengidentifikasi korban. Setelah itu baru dicari gambaran radiologi lain yang lebih spesifik selama masa hidup korban untuk data pembanding. Hal ini akan memberikan dampak positif dalam mengidentifikasi 24 korban yang sudah tidak bisa lagi dikenali hanya dengan pemeriksaan radiologi [11]. Pada saat melakukan investigasi, korbankorban yang sulit sekali untuk dikenali, pemeriksa melaporkan bahwa temuan fraktur tidak begitu memiliki nilai sebagai bukti tetapi abnormalitas kongenital dan kondisi kronik korban memiliki peranan yang sangat penting dalam mengidentifikasi korban. Sebanyak 4 korban diidentifikasi berdasarkan abnormalitas pad kolumna spinalis, dan 7 korban diidentifikasi dari arthritis pada tulang belakang korban, 1 dari arthritis pada lutut, dan 1 lagi dari arthritis pada kalkanus, di mana semuanya sangat terlihat perbedaannya pada gambaran x-ray dalam mengidentifikasi korban. Dr. Singleton, seorang professor di bagian radiologi Universitas Toronto, adalah pimpinan dalam pengidentifikasian korban pada bencana ini. Pada banyak kasus lain, x-ray dapat digunakan sebagai alat bukti tambahan atau dalam mengekslusi hasil identifikasi dengan menggunakan teknik lain. Sejak saat itu, ilmu radiologi dalam identifikasi korban bencana pada bencana massal semakin bekembang dan kini radiologi forensik menjadi salah komponen multidisiplin dalam mengidentifikasi korban bencana[12]. Sejarah singkat ini dirangkum dalam gambar 2.4. 4. Radiologi dalam insiden bencana massal yang berakibat fatalRadiologi dalam bencana masal telah digunakan dalam mengidentifikasi korban bencana masal. Radiologi dapat membantu menyediakan beberapa informasi dalam mendeteksi benda benda asing yang dapat menimbulkan kesulitan dalam melakukan investigasi pada korban, dan dapat menetukan dan menunjukkan lokasi tempat bukti ditemukan dan dalam menemukan korban. Keakuratan dan kecepatan pengidentifikasian dnegan menggunakan pencitraan mempunyai kepentingan utama baik untuk alasan judicial dan ketenangan keluarga korban. Hal ini biasanya didapatkan dengan membandingkan antara data antemortem dan postmortem, dengan asumsi setiap pribadi mempunyai fitur khas tersendiri[9]. Sementara badan korban dapat ditrasnsportasikan untuk menjalani pemeriksaan CT Scan berdasarkan MFI, mempunyai beberapa permasalahan, misalnya saja insiden bencana terjadi pada area terpencil, atau daerah yang tidak mempunyai fasilitas CT-Scan, atau bencana katastrofik yang sampai melumpuhkan infrastruktur medis di suatu negara. Sekitar tahun 2004, Rutty menyarankan dalam sebuah pertemuan di United Kingdom (UK) agar disediakan sebuah truk yang mempunyai alat CT Scan yang dapat dimanfaatkan saat bencana terjadi. Penggunaan PMCT Scanner mobil dalam ilmu forensic petama kali dilaporkan digunakan di Jepang [13]. Dua tahun kemudian pada bulan Februari 2006, Rutty dan kolega adalah yang pertama mengimplementasikan penggunan CT Scanner mobil pada pertemuan kecil MFI [14]. Hasil dari penelitian ini adalah dengan dikembangkannya sistem teleradiologi, yang mereka sebut sistem FIMAG [15]. Sistem ini akan mengiszinkan distribusi PMCT Scan secara global dan evaluasi gambaran secara internasional dalam identifikasi khususnya tim DVI. Sistem FIMAG secara umum diimplementasikan oleh penulis untuk menunjukkan risiko terkait daerah tempat bencana masal dan menyediakan pelayanan radiologi. CT scanner mobil dikembangkan oleh Fondasi Persatuan Eropa., multinasional CBRN dan Konvensi Pelatihan Pemakaman, Operasi Torchin pada thaun 2008 dan sistem FIMAG yang pertama kali diuji pada Operasi Hounswlin 2011. Pada saat pelatihan data PMCT dikirimkan untuk melapor ke tim di Eropa, Scandinavia, Jepang, Australia, dan Amerika Selatan. Potensi PMCT untuk tim DVI juga dipertimbangkan oleh grup Virtopsys, Swis, dalam dua referensi teorikal. Di sana di ilustrasikan keuntungan dari PMCT mobil sebagai alat skrining pada saat terjadi bencana masal, dan kemampuannya dalam mengumpulkan informasi agar formulir Interpol DVI terlengkapi [16,17]. PMCT juga digunakan saat terjadi Kebakaran Victorian, Australia [18-20]. Pada tahun 2012, International Society of Forensic Radiology and Imaging (ISFRI) didirikan, dengan tujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan lapangan kerja radiologi forensic secara global. Kongres kedua diadakan di Zurich, Mei 2013. Pada saat terjadi konferensi, beberapa area yang perlu dikembangkan diidentifikasi. Sebagai hasil dari konferensi , dibentuk enam kelompok kerja untuk mendahasilkan beberapa rekomendasi mengenai : (a) akuisisi data, (b) membaca dan melaporkan data, (c) edukasi, (d) sertifikasi dan akreditasi, (e) networking, dan (f) identifikasi korban bencana. Pernyataan kemudian dikeluarkan oleh ISFRI sub grup DVI, yang menunjjukan isu terkait radilogi forensic dan kuci pada are yang sedang dalam perkembangan yang nantinya ndapat lebih difokusnkan lagi kinerja radiologi forensik[21]. Publikasi ini merekomendasikan kemungkinan pemeriksaan radiologi menjadi salah satu modalitas yang digunakan oleh tim DVI. Keanggotaan ISFRI menyarankan modalitas yang digunakan meliputi radiografs (foto polos, computed or digital radiography), fluoroscopy, CT, atau dental radiografi, baik hanya satu modalitas saja atau kombinasi.Lebih lanjut, mereka mempertimbangkan penggunaan MRI yang dipertimbangkan digunakan untuk data post mortem, kegunaanya b tim DVI memeliki keterbatasan diantaranya biaya yang mahal, yekstensi waktu scanning, dan mobilitasnya, sehingga penggunaanya tidak disarankan untuk tim DVI kecuali pada korban hanya ada data ante mortem berupa MRI. Pada bulan Mei 2014, sebuah konsensus yang dibuat oleh separuh anggota ISFRI dan didukung oleh International Association of Forensic Radigraphers (IAFR), menyangkut kegunaan PMCT dalam DVI , yang direkomendasikan untuk digunakan untuk : (1)identifikasi penyebab dan hal yang berkontribusi terhadap kematian; (2) identifikasi korban bencana (DVI); (3) Identifikasi potensi bahaya pada tubuh; (4) mengumpulkan bukti bukti untuk urusan peradilan[22] . Dokumen ini juga menyediakan deskripsi detail mengenai cara penanganan jadsad korban, scan PCT, cara mendapatkan gambaran foto , dan interpretassi. Protokol telah ditandatangani oleh grup tersebut agar dapat segera diimplemetasikan baik untuk mobil atau non mobil CT Scanner dan prosedur kegunaannya.Komitmen dari ISFRI membuat peran radiologi semakin penting pada kasus kasus forensic dan juga bencana masal yang berakibat fatal. Dedikasi tinggi para ahli dan peneliti pada lapangan kerja ini dalam menciptakan standar dan menjaga kualitas profesionalisme bidang radiologi forensik.5. Jalur ProsesPendekatan standar saat ini, seperti yang digunakan pada insiden sebelumnya pada kasus pemboman oleh teroris di London tahun 2005, melibatkan tiga station radiologi secara terpisah, yaitu: fluoroskopi untuk skrining kontaminasi potensial ataupun bukti sebelum dilakukan autopsi; radiografi standar, terutama digunakan untuk pemeriksaan antropologi dan patologi; radiografi gigi, untuk identifikasi gigi-geligi. Proses ini membutuhkan pengadaan dan pemasangan tiga modalitas pencitraan yang berbeda pada kamar mayat sementara, staff yang berkompeten untuk mengoperasikan pencitraan tersebut, dan keterlibatan sejumlah sarana kesehatan dan keamanan. 5.1. FluoroskopiMobile fluoroskopi membutuhkan operator untuk diposisikan di sebelah mayat selama proses pengambilan gambar, tujuannya adalah untuk mengambil gambar yang dibutuhkan dengan menggerakkan alat pencitraan secara sistematis di sepanjang mayat. Operator tersebut juga diperlukan untuk membuka kantong mayat dan manipulasi tubuh mayat untuk mendapatkan gambar yang baik, mengekspos kontaminasi potensial dan hal-hal yang dapat mengganggu pada saat pengambilan gambar. Proses investigasi luar ini mebutuhkan waktu 15 menit dan biasanya interpretasi terhadap gambar yang diambil dilakukan oleh ahli patologi yang tidak terlatih secara spesifik untuk menginterpretasi hasil gambar radiologi. 5.2. Foto PolosStations radiografi pada foto polos membutuhkan tim yang diposisikan terpisah dari operator. Seperti pada fluoroskopi, kantong mayat perlu dibuka untuk mengoptimalkan pengambilan gambar pada mayat. Hasil gambar radiografi yang didapatkan biasanya dapat diperiksa oleh ahli radiologi maupun ahli forensik dan dapat disampaikan secara verbal saja, penjelasan tertulis dari hasil radiografi biasanya tidak dibuat. 5.3. Radiografi gigi-geligiX-ray gigi-geligi lebih sering dikerjakan oleh tim odontologi dibandingkan tim radiografi[23]. Tim odontologi juga menghadapi masalah yang sama pada manipulasi tubuh mayat, kontaminasi, dan staf untuk pengambilan gambar. Selain itu, semua modalitas radiografi ini membutuhkan suplai listrik spesifik untuk mereka sendiri dan lokasi kerja yang kering, yang mana hal tersebut menimbulkan masalah pada kamar mayat sementara. 5.4. Mobile-CTPenggunaan mobile post-mortem computed tomography (Mobile PMCT) memiliki potensi untuk menggantikan tiga modalitas radiografi yang telah digunakan sebelumnya, untuk itu dapat dilakukan perbaikan terhadap masalah yang berhubungan dengan sumber peralatan, tenaga profesional yang diperlukan, dan juga aspek kesehatan dan keselamatan dari proses pencitraan. Meskipun penggunaan mobile PMCT masih tergolong baru dalam praktek forensik, protokol yang digunakan pada praktek medis klinikpun telah bagus, sehingga untuk digunakan pada praktek forensik secara teoritis hanya membutuhkan adaptasi sederhana secara teoritis pada pencitraan post mortem. Mobile PMCT akan sangat berharga ketika dihadapkan dengan peristiwa kematian massal yang melibatkan bahan kimia, biologi, radiologi, ataupun nuklir (CBRN). Jenis insiden ini memerlukan prosedur tertentu dan peralatan khusus untuk meminimalkan kontaminasi potensial. Strategi manajemen risiko pada scenario ini menyatakan bahwa jumlah individu yang berpotensi untuk terpapar dengan bahan berbahaya tersebut harus seminimal mungkin. Oleh karena itu, sebagai bagian dalam latihan simulasi baru baru ini, yang didanai oleh European Commission untuk mengasah ketanggapan terhadap insiden besar yang melibatkan bahan-bahan berbahaya tersebut, sebuah proses telah dikembangkan untuk mengelola kondisi kematian yang terkontaminasi bahan berbahaya secara aman dan menurunkan jumlah ahli identifikasi yang dibutuhkan untuk hadir di tempat kejadian. Langkah pertama pada protocol ini adalah dengan mengamankan tubuh yang terkontaminasi bahan berbahaya dengan memasukkan ke dalam kantung mayat. Hal ini dilakukan untuk mencegah kontaminasi lebih lanjut. Pada skenario ini, pemeriksaan langsung di tempat kejadian dan penggunaan teknik radiologi pada penanganan mayat tidak mungkin untuk dilakukan karena adanya risiko tinggi terhadap kontaminasi pada operator yang telah terlatih. Dengan adanya unit pencitraan mobile akan menurunkan jumlah personil yang dibutuhkan pada tempat kejadian. Secara teori, seseorang dapat dilakukan pemindaian di tempat kejadian dengan menggunakan mobile PMCT yang dibawa dengan sebuah mobil truk, dan selanjutnya gambar yang didapatkan dapat dikirimkan kepada ahli identifikasi dimana saja di seluruh dunia (teleradiografi). Pelaporan radiologipun kemudian dapat dilakukan pada situs remote yang berbeda, tanpa perlu mengekspos ahli investigasi ke tempat kejadian yang terkontaminasi tersebut. PMCT mungkin di masa yang akan datang akan dikembangkan pada semua fasilitas radiologi, dimana semua data yang diperlukan dapat didapat dalam waktu yang lebih efisien. Tabel 1. Kesimpulan Persyaratan InterpolBagian yang dapat dilengkapi oleh PMCTBagian yang tidak dapat dilengkapi oleh PMCT

B (22) Keadaan tubuhB (22A) Informasi identitas yang pentingC (24-25) pakaian dan sepatuC2+C3 (26-30) Barang pribadi D1 (31-55) Deskripsi fisikD4 (22/31/53) Sketsa tubuhE2 (71-75) Kesimpulan medisE3 : Sediaan keletalF1 (83-85) Temuan pada gigi-geligiF2 (86-91) Sediaan gigi-geligiG (92) Informasi lebih lanjutE1 (60-65) Pemeriksaan dalamB0 : Checklist operasi pada mayatD5 (1-4) Sidik jariE4 : Informasi DNA

6. Peran Potensial PMCT pada DVIFormulir Resmi DVI Interpol saat ini memberikan panduan mengenai pengelolaan yang tepat pada jenazah dan keberadaan barang bukti pada bencana. Formulir ini tidak memiliki bagian untuk hasil pemeriksaan PMCT. Meskipun demikian, bila dilihat pada formulir Interpol saat ini, terlihat bahwa beberapa aspek informasi yang diperlukan untuk mengisi formulir tersebut telah bias didapatkan dari data PMCT meskipun harus disadari bahwa inspeksi terhadap jenazah dan barang-barang korban tetap diperlukan karena PMCT tidak dapat memberikan informasi secara jelas pada label mayat, tulisan pada cincin, ataupun tato. Sebuah review mengenai teknik identifikasi antropologi[24] yang paling sering digunakan menyatakan bahwa semua fitur pengukuran dan morfologis pada metode ini dapat diperoleh dari data PMCT. Pada publikasi baru-baru ini[25], penulis yang sama juga menjelaskan bahwa dengan hanya menggunakan PMCT telah dimungkinkan bagi kita untuk melengkapi sebagian besar formulir DVI Interpol, yaitu: pemeriksaan luar (termasuk pemulihan dan barang-barang pribadi), sidik jari, dan DNA. Contohnya, deksripsi bagian luar tubuh dan hasil osteologi pada jenazah dapat dilakukan dari rekonstruksi 3D. barang pribadi, pakaian, dan implant ataupun intervensi medis dapat diketahui untuk inspeksi tambahan. Penyakit dalam alamiah dapat diketahui tanpa harus melakukan pemeriksaan dalam yang invasif. Untuk memastikan penyebab mati, PMCT memiliki peranan potensial dan dapat meniadakan kebutuhan terhadap pemeriksaan yang invasif. Rekonstruksi gigi-geligi PMCT dapat digunakan untuk Orthopantomography (OPT) dalam perkiraan usia jenazah dan bentuk-bentuk khas dari gigi, dengan keuntungan didapatkannya data 3D gigi. Penggunaan PMCT untuk identifikasi gigi dapat meminimalkan kebutuhan terhadap modalitas pencitraan yang lain di tempat kejadian. Meskipun demikian, tetap penting untuk dipahami bahwa ketika berurusan dengan jenazah dewasa, gambaran artefak yang dihasilkan pada penggunaan amalgam gigi dapat membatasi nilai bukti pada PMCT. Meskipun pemakaian metal pada gigi menyebabkan sedikit masalah dan hal ini juga jarang digunakan pada usia muda, tetap penting bagi kita untuk mempertimbangkan individu yang melakukan restorasi gigi ekstensif. Penggunaan CT pada gigi yang telah disrestorasi ataupun yang telah diimplant dapat menimbulkan adanya gambaran artefak dengan menggunakan teknologi yang sekarang ini. Morfologi dari distorsi gigi, oklusal plane, dan gambaran khas restorasi serta struktur anatomis di sekitarnya dapat terjadi. Hal ini dapat mempengaruhi presisi terhadap pengukuran untuk beberapa teknik identifikasi, seperti estimasi umur dan identifikasi perbandingan. Beam hardening dapat terjadi ketika energi rendah dari spektrum x-ray diabsorpsi melebihi dari energi tinggi, yang mana hal tersebut menghasilkan gambaran densitas sentral. Setelah itu, struktur perifer akan memberikan gambaran radiodensitas yang melebihi densitas sentral. Artefak yang muncul dari fenomena seperti beam hardening ini akan membatasi teknik ini, yang mana hal ini memperlihatkan butuhnya pengembangan lebih lanjut pada teknik PMCT. Sebagai contoh, beam hardening dapat diatasi dengan melakukan filter menggunakan x-ray, untuk mendekati monoenergetic x-ray beam. Tabel 2. Kelebihan dan Keterbatasan PMCTKelebihan PMCT : CT juga tersedia sebagai modalitas mobile CT tidak terbatas hanya pada satu area dari tubuh Tidak memerlukan prosedur yang lama untuk pemeriksaan tulang Tidak memerlukan prosedur yang lama untuk pemeriksaan gigi Data CT dapat diperoleh dan dikirimkan secara virtual tanpa harus menuliskan interpretasi ataupun translasi Penyimpanan data CT lebih mudah dibandingkan penyimpanan jenazah ataupun jaringan dari tubuh jenazah, dari segi etnis dan praktis Rendahnya kemungkinan terhadap hilangnya informasi dan barang bukti Waktu pemindaian dan analisis lebih cepat Analisis ahli dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja Tidak invasif , lebih dapat diterima di kalangan masyarakat Database PMCT yang mudah diakses dapat memberikan peningkatan terhadap teknik antropologi, odontologi, dan teknik forensic

Keterbatasan PMCT: Akses CT Scanner terbatas Peralatan yang diperlukan mahal Penggunaan alat scanner secara terus menerus dapat menimbulkan kerusakan yang sulit untuk diperbaiki Metal dapat menimbulkan terbentuknya metal artefak (terutama pada pemeriksaan gigi) Tidak semua data patologi dapat digunakan untuk identifikasi dari data rekam medis ante mortem

7. Pelaporan PMCTSelama dekade terakhir, frekuensi pemakaian teknik PMCT semakin meningkat dan perannya dalam DVI juga meningkat. Ini menimbulkan pertanyaan penting apakah pelaporan PMCT harus mengikuti format pelaporan terstruktur resmi, atau apakah format pelaporan bebas yang harus digunakan. Ini mungkin ditentukan oleh persyaratan hukum sebagaimana diatur oleh keputusan pengadilan hukum.Pemeriksaan inti dari setiap pemeriksaan post-mortem dari tubuh adalah untuk menemukan temuan yang relevan. Oleh karena itu, semua data yang dikumpulkan, serta kasus yang relevan ditemukan dari salah satu data (termasuk PMCT data dengan laporan kehadiran serta tidak adanya temuan yang relevan) telah secara eksplisit dilaporkan. Tanpa pelaporan terstruktur, para pembaca PMCT menggunakan penilaian mereka dalam apa yang mereka laporkan, dan bagaimana mereka ingin merumuskan laporan tersebut.Dalam sebuah laporan oleh Schweitzeretal[26] format laporan terstruktur dibandingkan dengan laporan format biasa. Dalam investigasi itu objek yang releven dengan forensik dihilangkan oleh pelapor dalam area subjek kritikal pada 25-79% dari formulir laporan bentuk PMCT. Dengan PMCT yang berkembang pesat diseluruh dunia penting untuk mempertimbangkan bagaimana pengukuran dan hasilnya dapat tepat direkam untuk memastikan bahwa bukti penting tidak hilang, dan tidak membuang-buang waktu dengan temuan tidak relevan. Pelaporan terstruktur di PMCT akan memberikan dasar teknis yang dapat diandalkan baik pada pelaporan PMCT. Dapat membantu para ahli yang melaporkan temuan PMCT untuk membuat laporan lengkap, dimana laporan merangkumi secara komprehensif. Laporan tersebut akan memiliki kredibilitas lebih, terutama jika dibuat dengan para ahli pakar undang-undang.Untuk memastikan PMCT dianggap untuk Interpol DVI berikutnya memperbarui sangat penting untuk mengembangkan rekaman PMCT memadai, yang mencakup pelaporan identifikasi. Dalam DVI, meskipun ada kemungkinan untuk mentransfer data PMCT antara negara yang berbeda[27], proses ini mengambil waktu kira-kira 20 menit untuk satu kasus (atau lebih lama jika ada masalah keamanan), membutuhkan jumlah memori komputer yang lebih besar dan kapisitas penyimpanan data yang lebih besar, dan post processing data tersebut bisa secara intensif (tergantung pada kasus). Walaupun bisa transfer data, namun tidak ada jaminan bahwa penerima dapat mengakses ke fasilitas post processing atau informasi yang adekuat tentang cara pemakaian sistem imaging ini. Dengan ini, sudah dibentuk persatuan global distribusi yang berkompetensi untuk membantu individu atau institusi yang memerlukan data CT post mortem.Misalnya ISFRI, serta badan-badan lokal yang lain, sekarang memprioritaskan pendidikan sebagai komponen kunci dalam pengembangan bidang imaging forensik. Namun dengan menggunakan bentuk rekaman 'minimum Data-set', diselesaikan oleh pusat penyidik, yang dapat dikirim ke berbagai praktisi untuk analisis independen, masih bermanfaat dalam skenario DVI di mana waktu adalah esensi dan korban harus diidentifikasi secara akurat. Suatu pelaporan PMCT yang standar juga akan memastikan cukup informasi tentang setiap kasus tercatat dalam format standar, untuk multipel praktitioner, menggunakan berbagai teknik identifikasi antropologi.8. DVI pada masa depanPMCT makin lama semakin diterapkan dalam praktek autopsi. Kebaikan dan keburukan pemakaian PMCT telah dimuatkan di Tabel 2. Seperti para ahli radiologi dan patologi lebih memakai PMCT dalam praktek autopsi, maka yang lain seperti polisi dan hakim akan mempelajari tentangnya karena memainkan peranan yang signifikan dalam proses MFI DVI. Namun seperti biasa, tetap dilakukan pemeriksaan luar dengan pemeriksaan gigi, namun karena sekarang sudah era terbaru teknologi DNA, dengan teknik sequencing yang baru (NGS), PMCT dan NGS akan menjadi prinsip yang penting pada era sekarang dalam investigasi MFI seperti dicanangkan oleh Rutty dan Sajantila pada pertemuan Interpol DVI,Lyon, 2014.

22