judul tesis untuk s2 teknik elektro (s2 te) ft...

264

Upload: lamhuong

Post on 09-Mar-2019

291 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi
Page 2: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - i

PROSIDING EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN BP2LHK MANOKWARI TAHUN 2015

“HASIL – HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN UNTUK MENDUKUNG SEKTOR

KEHUTANAN DI TANAH PAPUA”

Manokwari, 04 Juni 2015

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari

2015

Page 3: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

ii - BPK Manokwari

PROSIDING EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN KEHUTANAN BP2LHK MANOKWARI TAHUN 2015 “HASIL-HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN UNTUK MENDUKUNG SEKTOR KEHUTANAN DI TANAH PAPUA” Manokwari, 04 Juni 2015 Terbit Tahun 2016 ISBN 978-979-1280-05-1 Penanggung Jawab: Bagus Novianto, S.Hut, MP. (Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari) Editor: Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MP Ir. Max J. Tokede, MS Sarah Yuliana, S.Hut., M.App.Sc Sekretariat: Ir. Edwin Lodewiyk Yoroh (Kepala Seksi Data Informasi dan Sarana Prasarana Penelitian) Yobo Endra Prananta, S.Si, M.Eng Cover: Yobo Endra Prananta, S.Si, M.Eng Diterbitkan dan dicetak oleh: Balai Penelitian dan Kehutanan Manokwari Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari

Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Kementerian Kehutanan

Jl. Inamberi Susweni Manokwari 98313-Provinsi Papua Barat

Telepon : 0986-213437, 213440, Fax : 0986-213441 Website : http://www.balithutmanokwari.or.id

Dicetak dengan Pembiayaan DIPA BP2LHK Manokwari Tahun 2016

Page 4: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan

hidayah-Nya Balai Penelitian Kehutanan Manokwari (BPKM) telah berhasil

menyelenggarakan kegiatan Ekpose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 04 Juni

2015 di Manokwari. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari sebagai salah satu

Unit Pelaksana Tugas (UPT) Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi

mempunyai tugas pokok melaksanakan penelitian dan menyebarluaskan hasil

penelitian di wilayah kerjanya sesuai dengan peraturan dan perundangan yang

berlaku.

Untuk menyebarluaskan hasil penelitian, pada tahun 2015 BPK Manokwari

melaksanakan Ekpose dengan tema “HASIL – HASIL PENELITIAN DAN

PENGEMBANGAN UNTUK MENDUKUNG SEKTOR KEHUTANAN DI TANAH PAPUA”.

Melalui ekpose hasil-hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi dan

mensinergiskan kebijakan yang dibuat para stakeholders kepada masyarakat

khususnya di wilayah kerja BPK Manokwari yang meliputi Provinsi Papua dan

Papua Barat.

Penerbitan prosiding ini tidak terlepas dari bantuan dan kerjasama semua

pihak baik Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Civitas Akademika UNIPA. Oleh

karena itu, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-

tingginya kepada semua pihak atas partisipasi, saran dan pemikiran yang

diberikan.

Semoga prosiding ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Manokwari, 04 Juni 2015

Kepala Balai,

Bagus Novianto, S.Hut., MP

NIP. 19691120 199803 1 002

Page 5: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

iv - BPK Manokwari

Page 6: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iiiI

DAFTAR ISI v

SAMBUTAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA BARAT 9

RUMUSAN 13

KEYNOTE SPEECH 17

KEPALA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN PROVINSI PAPUA BARAT 19

MAKALAH UTAMA 23

ANALISIS KELAYAKAN TEKNIS SISTEM SILVIKULTUR TPTI TERHADAP KELESTARIAN PRODUKSI HUTAN DI PAPUA (Studi Kasus di IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari di Boven Digul dan PT. Manokwari Mandiri Lestari di Teluk Bintuni) (Baharinawati W H dan Julanda N) 25

KOPI KASUARI “Upaya Konservasi Kasuari Melalui Komoditas Kopi di Papua Barat” (Hadi Warsito) 47

PENUNJUKAN TEGAKAN BENIH TERIDENTIFIKASI (TBT) DI SIMEI- WASIOR DAN AROBA-BABO (Pudja Mardi U) 57

KEANEKARAGAMAN FLORA DAN KOEFISIEN KOMUNITAS PADA TIGA TAMAN WISATA ALAM DI PAPUA BARAT (Krisma L) 71

KONDISI SOSIAL EKONOMI DAN PERSEPSI MASYARAKAT DALAM KEGIATAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI TAMAN NASIONAL KEPULAUAN TOGEAN (Rini Purwanti) 81

PERTUMBUHAN TANAMAN PENGAYAAN MERBAU PADA AREAL JALAN SARAD (Relawan K) 93

PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN SEBAGAI ALTERNATIF PENGHASIL PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KABUPATEN PEGUNUNGAN ARFAK (Abdullah Tuharea) 103

Page 7: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

vi – BP2LHK Manokwari

PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PENGGUNAAN KAYU ENERGI UNTUK INDUSTRI RUMAH TANGGA : STUDI KASUS KABUPATEN SOPPENG DAN PANGKEP SULAWESI SELATAN (Achmad Rizal HB, Nurhaedah M, Nur Hayati) 113

PEMETAAN BIOMASSA HUTAN HUJAN TROPIS DENGAN LIDAR (Jarot Pandu P A) 123

ANALISIS KELAYAKAN EKONOMI SISTEM SILVIKULTUR TPTI (TEBANG PILIH TANAM INDONESIA) (Studi Kasus pada Areal IUPHHK PT. Mamberamo Alas Mandiri, Kabupaten Mamberamo Raya dan PT. Tunas Timber Lestari Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua) (Baharinawati W H dan Julanda N) 139

POTENSI BIODIVERSITAS JENIS FLORA MANGROVE DI KLALIN 6 KABUPATEN SORONG (Ezrom B dan Krisma L) 149

PENGAMATAN HAMA PENTING PENYEBAB KERUSAKAN PADA TANAMAN Metroxylon sp DI KOYANI SP- 6 PRAFI MANOKWARI (Absalom K) 159

PELESTARIAN MERBAU (Intsia spp.) BERBASIS POLA SEBARAN SPASIAL DI HUTAN TAMAN WISATA ALAM GUNUNG MEJA MANOKWARI PAPUA BARAT (Ezrom B; Krisma L; Permenas A D) 167

PEMANFAATAN TUMBUHAN SEBAGAI BAHAN BAKU BENDA SENI BUDAYA MASYARAKAT MINYAMBOW DI PEGUNUNGAN ARFAK, MANOKWARI, PAPUA BARAT (Julanda N dan Hadi W) 177

PENGELOMPOKAN JENIS-JENIS KAYU KOMERSIL DI TANAH PAPUA BERDASARKAN SK.MENTERI KEHUTANAN NO.163/KPTS-II/2003 (Krisma L) 187

PENUNJUKAN TEGAKAN BENIH TERIDENTIFIKASI (TBT) DI TERASAI, BINTUNI DAN BONGGO, SARMI (Pudja Mardi U) 201

Page 8: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - vii

KUANTIFIKASI EMPULUR SAGU UNTUK BIOETANOL DI SEGET (Batseba A. Suripatty) 213

PEMODELAN PENDUGA VOLUME POHON KELOMPOK JENIS KOMERSIAL PADA AREAL IUPHHK PT. TUNAS TIMBER LESTARI, PAPUA (Relawan K) 227

POTENSI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN KAWASAN KONSERVASI DI PAPUA (Hadi Warsito) 235

HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNGGULAN PAPUA DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA (Herman F Sauri) 243

LAMPIRAN 257

Lampiran 1 Jadwal Kegiatan Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari 2015 259

Lampiran 2. Daftar Hadir Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 261

Page 9: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

viii – BP2LHK Manokwari

Page 10: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 9

SAMBUTAN GUBERNUR PROVINSI PAPUA BARAT

PADA ACARA PEMBUKAAN EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN

BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANOKWARI

“ Hasil - hasil Penelitian dan Pengembangan Untuk Mendukung Sektor Kehutanan di Tanah Papua “

Manokwari, 04 Juni 2015

Yang terhormat:

Bapak Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Ke-hutanan.

Bapak Rektor Universitas Papua.

Para Kepala Dinas/Badan lingkup Provinsi, Kabupaten, dan Kota di Papua dan Papua Barat.

Koordinator Wilayah Kementrian Lingkungan dan Kehutanan dan Para Kepala UPT Papua Barat.

Pimpinan NGO dan Lembaga Masyarakat Adat.

Mitra kerja Kementrian Lingkungan dan Kehutanan.

Insan pers, serta

Hadirin para undangan dan peserta ekspose hasil-hasil penelitian. Assalamu’alaykum Warohmatullahi Wabarokatuh Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua, Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat rahmat, anugerah dan kasih sayang-Nya maka kita dapat berkumpul di tempat ini da-lam rangka mengikuti acara Ekspose Hasil-Hasil Penelitian yang dilaksanakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Selanjutnya saya juga ingin mengucapkan selamat datang kepada seluruh peserta terutama dari luar Kota Ma-nokwari atas kesediannya hadir pada acara ekspose hari ini. Hadirin yang saya hormati,

Dewasa ini, perhatian bangsa Indonesia terhadap fungsi, pe-ran, dan potensi hutan semakin meningkat sejalan dengan terus bertambahnya degradasi lingkungan khususnya hutan yang mengakibatkan terjadinya banjir, kekeringan, dan erosi. Sumberdaya hutan mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan manusia, di antaranya untuk menyediakan kebutuhan bahan baku untuk industri perkayuan, sebagai cadangan pangan dunia, dan fungsi-fungsi lainnya seperti khususnya pengaruh hutan terhadap isu perubahan iklim global dan peningkatan kapasitas fungsi hutan bagi masya-rakat dewasa ini. Di Indonesia, pada saat ini telah terjadi ke-senjangan antara produksi kayu bulat dari hutan alam de-ngan kehutuhan bahan baku untuk industri kayu. Produksi kayu yang berasal dari hutan alam cenderung menurun dari tahun ke tahun, sedangkan kapasitas terpasang industri pri-mer meningkat dan melebihi kemampuan suplay bahan baku kayu. Selain persoalan yang bersifat nasional tersebut di atas, persoalan kehutanan di Tanah Papua pun semakin kompleks. Papua adalah The World’s Tropical Biodiversity Hotspots, dengan potensi kayu komersial rata-rata ± 35,98 m3/ha, luas lahan kritis 3,6 juta ha,

Page 11: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

10 – BP2LHK Manokwari

sekitar 80% penduduk berada di pedesaan dan 69,9% berada di dalam kawasan hutan dikategorikan miskin. Para Undangan dan hadirin sekalian, Saya melihat bahwa antara kemiskinan dan degradasi hutan/lahan terdapat hubungan yang saling menguatkan. Kemiskinan adalah salah satu faktor pendorong keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan secara illegalkayu di hutan negara. Kemiskinan juga menjadi penghambat penerapan praktek pemanfaatan lahan sesuai dengan kaidah ekologi-konservasi. Sebaliknya, degradasi hutan/lahan yang berujung pada rendahnya produktifitas lahan akan mempersulit sebuah komunitas lepas dari kemiskinan. Oleh sebab itu, membebaskan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dari himpitan kemiskinan adalah salah satu prasyarat untuk mewujudkan hutan lestari. Di masa lalu upaya program, membagi manfaat pengelolaan hutan dengan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dilakukan dalam bentuk charity yang dijalankan secara ala-kadarnya sebagai pemenuhan kewajiban. Kenyataan membuktikan bahwa hal ini tidak efektif untuk mensejahterakan masyarakat. Pendekatan tersebut perlu dirubah menjadi adalah menempatkan masyarakat sebagai bagian dari subyek (pelaku), bukan sebagai obyek pengelolaan hutan. Akses masyarakat terhadap manfaat hutan yang dulu dimarginalkan kini harus diberikan akses seluas-luasnya secara bertanggung jawab. Dengan demikian di kalangan masyarakat akan tumbuh rasa memiliki sehingga turut menjaga kelestarian hutan, dan di sisi lain masyarakat mendapat manfaat yang lebih tinggi dari pengelolaan sumberdaya hutan. Para Undangan dan hadirin sekalian,

Sehubungan dengan hal tersebut, maka upaya pengelolaan hutan yang mantap seyogyanya dilakukan melalui suatu ke-bijakan dan upaya nyata, baik oleh pemerintah pusat mau-pun pemerintah daerah, dalam hal ini khususnya di Tanah Papua. Untuk mendorong pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya hutan dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil-hasil penelitian, di mana kegiatan ini dapat mengung-kap potensi sumberdaya alam sehingga untuk ke depan po-tensi tersebut dapat dijadikan sebagai daya tarik bagi ma-syarakat dunia, khususnya scientist untuk datang ke Tanah Papua.

Selain itu, kegiatan penelitian dan pengkajian ini diharapkan dapat meningkatkan sinergitas informasi yang bermuatan il-miah bagi para peneliti. Sinergitas tersebut merupakan inter-koneksi yang sangat efektif dalam rangka menghasilkan su-atu informasi yang berguna bagi proses pengambilan kepu-tusan dan perencanaan pembangunan kehutanan terutama di daerah. Hadirin yang saya hormati,

Ekspose ini merupakan kelanjutan dari kegiatan yang sama yang diprakarsai oleh BPK Manokwari, di mana tema yang dipilih saat ini yaitu “Hasil-Hasil Penelitian dan Pengembangan Untuk Mendukung Sektor Kehutanan di Tanah Papua”. Disadari

Page 12: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 11

bahwa hasil-hasil penelitian yang selama ini dilaksanakan masih belum banyak menyentuh para user selain dari praktisi kehutanan. Penelitian mengenai teknologi terapan masih minim dilaksanakan mengingat tema-tema penelitian BPK Manokwari harus mengacu pada program-program penelitian yang ditetapkan Badan Litbang Kehutanan. Dengan adanya perubah-an paradigma pada Road Map penelitian kehutanan tahun 2010-2025 yang telah diterbitkan Badan Litbang Kehutanan diharapkan kelemahan-kelemahan yang selama terjadi dapat dikurangi.

Dengan banyaknya tema/topik penelitian yang telah dilaksa-nakan BPK Manokwari, baik penelitian yang bersifat tahunan maupun multi years, diakui bahwa masing-masing aspek pe-nelitian cenderung masih parsial untuk masing-masing as-pek dan masing-masing tahun. Oleh karena itu diperlukan suatu kegiatan yang dapat menyatukan masing-masing as-pek pada masing-masing tema sehingga didapatkan data dan informasi spasial yang menghasilkan suatu rekomendasi ataupun teknologi yang spesifik mengenai pengelolaan eko-sistem hutan Australasia maupun teknologi lain di luar pe-ngelolaan hutan.

Berdasarkan tujuan dan harapan-harapan di atas, maka eks-pose hasil-hasil penelitian BPK Manokwari Tahun Anggaran 2015 akan difokuskan pada hasil-hasil penelitian dengan masing-masing judul, sehingga diperoleh rekomendasi yang lebih nyata dalam mendukung pengelolaan ekosistem hutan Australasia. Hal ini mengingat tahun 2015 adalah tahap ke dua pelaksanaan Roadmap Badan Litbang Kehutanan yang ditetapkan sampai tahun 2025. Hadirin yang saya hormati,

Pada kesempatan ini juga saya ingin menyampaikan peng-hargaan yang tinggi dan berterimakasih kepada seluruh ha-dirin yang bersedia hadir sehingga dapat berpartisipasi dan membantu suksesnya acara ini. Demikian sambutan saya, semoga kegiatan Ekspose Hasil- Hasil Penelitian yang diprakarsai oleh BPK Manokwari dapat berlangsung dengan baik dan lancar. Sekian dan terimakasih. Semoga Tuhan memberkati kita se-kalian.

Gubernur Provinsi Papua Barat

Page 13: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

12 – BP2LHK Manokwari

Page 14: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 13

RUMUSAN

EKSPOSE HASIL PENELITIAN BPK MANOKWARI ” Hasil - hasil Penelitian dan Pengembangan Untuk Mendukung Sektor

Kehutanan di Tanah Papua” Manokwari, 04 Juni 2015

Memperhatikan arahan Gubernur Provinsi Papua Barat dalam Pidato pembukaan acara ekspose hasil penelitian BPK Manokwari tahun 2015, Materi arahan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Koordinator Wilayah UPT Provinsi Papua Barat, dan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manokwari tentang ”Dukungan Litbang Kehutanan Dalam Kebijakan Pemerintah Daerah, Kebijakan Kementerian Kehutanan, dan Optimalisasi Peran dan Fungsi Litbang Kehutanan Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan dan Lahan di Papua, serta hasil diskusi selama Ekspose hasil penelitian BPK Manokwari Tahun 2015 dirumuskan hasil sebagai berikut :

A. Arahan Kebijakan Dukungan Litbang Kehutanan

1. Pengelolaan sumberdaya hutan dewasa ini telah menjadi isu global, bahwa hutan tidak hanya memiliki fungsi ekonomi dan ekologis semata, tetapi juga fungsi sosial dan budaya yang berperan vital dalam sistem penyangga kehidupan. Model pengelolaan hutan yang harus diimplementasikan adalah pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat guna mewujudkan motto “ Hutan Lestari Rakyat Sejahtera”

2. Program gerakan menanam yang telah dicanangkan oleh pemerintah pusat maupun daerah sejak tahun 2008, harus mendapat perhatian yang serius dari semua kalangan, karena hal tersebut merupakan upaya yang wajib dilakukan untuk menekan efek pemanasan global dan perubahan iklim yang melanda wilayah Indonesia pada khususnya, dan dunia pada umumnya. Dukungan teknik silvikultur jenis dan petunjuk teknik rehabilitasi hutan dan lahan untuk jenis endemik Papua sangat dibutuhkan.

3. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan hendaknya menjadi agenda utama di setiap program pembangunan sektor kehutanan sehingga terjadi proses kemandirian untuk mengelola dan memanfaatkan hutan secara lestari baik ekologis, ekonomis, maupun sosial budaya.

4. Optimalisasi peran dan fungsi litbang kehutanan untuk mendorong tercapainya tujuan kelestarian hutan dan kesejahteraan rakyat, diupayakan melalui pengembangan pelaksana fungsi litbanghut, membangun forum Litbanghut, dan mendorong pembagian peran antara pemerintah dan swasta dalam melaksanakan Litbanghut.

5. Optimalisasi peran litbang kehutanan dalam mendukung percepatan pembangunan kawasan hutan dan lahan di Papua diarahkan pada pencapaian hasil-hasil Litbanghut yang implementatif, akomodatif dan diseminatif – kolaboratif yang diwujudkan melalui penciptakan paket teknologi tepat guna, peranti dan warta kebijakan kehutanan yang sesuai dengan kebutuhan lokal Papua.

Page 15: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

14 – BP2LHK Manokwari

B. Arah Pengembangan Program Litbanghut

1. Konservasi dan Rehabilitasi

a. Pola pendekatan pemanfaatan sumberdaya hutan secara tradisional pada umumnya telah dimiliki oleh masyarakat di Tanah Papua. Kesadaran tersebut merupakan kearifan lokal yang sangat diharapkan guna kelangsungan konservasi bagi kelestarian kawasan hutan di Tanah Papua. Oleh karena itu hasil kajian terhadap kearifan lokal perlu ditingkatkan menjadi teknologi tepatguna yang dapat diimplementasikan dalam pengelolaan di setiap fungsi kawasan.

b. Invasi tumbuhan pada lahan basah berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi suatu ekosistem, invasi tersebut mencakup tahapan migrasi, eksistensi dan kompetisi, dan terkait dengan aspek ruang dan waktu, dan hal ini terus menggeser jenis-jenis endemik yang sudah mapan. Oleh karena itu perlu mencari metoda pencegahan untuk membatasi penyebaran jenis invasif terutama jenis-jenis alien yang bukan jenis asli.

c. Kajian etno-zoologi perlu dilakukan antara lain dengan mengkaji perilaku sosial dan budaya masyarakat terkait dengan pemanfaatan satwa tertentu khususnya yang dilindungi. Dalam pemanfaatan satwa tersebut perlu teknik pengelolaan populasi berbeda untuk setiap habitat.

d. Kajian biofisik kawasan terdegradasi perlu diikuti dengan analisis tipe vegetasi bawah yang berperan untuk proses rehabilitasi dan suksesi vegetasi, misalnya nilai vegetasi semak belukar terutama untuk penanaman dan daya tahan dari tanaman rehabilitasi. Pemilihan jenis yang sesuai kondisi lahan, merupakan keharusan untuk rehabilitasi kawasan terdegradasi.

2. Silvikultur dan Hasil Hutan

a. Kelestarian pengelolaan hutan dapat terwujud apabila adanya sinkronisasi antara pelaksanaan dan kebijakan/aturan yang telah ditetapkan. Dalam penetapan kebijakan sebaiknya berdasarkan hasil-hasil riset yang telah dilakukan baik oleh lembaga riset pemerintah maupun perguruan tinggi. Hal ini untuk menghindari kelestarian pengelolaan hutan yang tidak terwujud akibat dari kebijakan/aturan yang ada.

b. Kajian HHBK di Papua perlu dikaji secara kuantitatif untuk mengungkapkan potensi dan keunggulan jenis HHBK yang sangat tinggi di setiap wilayah. Untuk itu kegiatan penelitian HHBK di Papua perlu mengacu kepada Roadmap Badan Litbang Kehutanan, yang mencakup antara lain potensi, budidaya, pemanenan, pengolahan (pasca panen), tata niaga dan regulasi khususnya ditingkat lokal.

c. Dalam rangka mendukung salah satu program kebijakan Kementerian Kehutanan yaitu rehabilitasi hutan dan lahan dengan kegiatan utama yang dilaksanakan adalah penanaman dengan berbagai jenis tanaman hutan. Untuk memberikan jaminan keberhasilan pertumbuhan di lapangan yang baik, maka dibutuhkan bibit yang bermutu dan tehnik penanaman yang tepat.

C. Sosial Budaya dan Perubahan Iklim

1. Penelitian untuk pembentukan model persamaan allometrik pendugaan stok karbon di hutan perlu mempertimbangkan persyaratan-persyaratan metodologis yang tepat serta teknik analisis statistik yang sesuai dengan karakteristik populasi dan objek

Page 16: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 15

penelitian. Pengesahan model persamaan allometrik yang dihasilkan selain didasarkan pada keabsahan secara statistika, juga harus mempertimbangkan aspek kepraktisan penggunaan model bersangkutan.

2. Penelitian adaptasi masyarakat adat terhadap perubahan iklim perlu dilakukan dengan metode dan teknik analisis yang lebih tepat, terutama untuk menjawab bagaimana bentuk adaptasi oleh masyarakat terhadap perubahan iklim dan bagaimana intervensi yang perlu dilakukan guna meningkatkan daya adaptasi masyarakat dalam mengantisipasi perubahan iklim yang sedang terjadi.

3. Kajian sistem penguasaan dan pemanfaatan hutan dan lahan masyarakat adat serta kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap kelompok masyarakat adat masih diperlukan dalam rangka melakukan rekayasa sosial untuk menangani konflik sektor kehutanan, baik untuk hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Hasil kajian tersebut dapat menjadi dasar untuk merancang model partisipasi dan model pemberdayaan masyarakat adat di dalam pengelolaan hutan.

Manokwari, 04 Juni 2015

TIM PERUMUS

1. Ir. Max J. Tokede, MS (Ketua) 2. Ir. Silvia Makabori, M.Si (Sekretaris) 3. Prof. Dr. Charlie Danny Heatubun, S.Hut, M.Si (Anggota) 4. Ir. Yunus Abdullah, MSi (Anggota) 5. Ir. Bambang Hariadi, MP (Anggota) 6. Ir. Relawan Kuswandi, M.Sc (Anggota) 7. Ir. M. St. E. Kilmaskossu, M.Sc (Anggota) 8. Ir. Hendra Gunawan, MP (anggota)

Page 17: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

16 – BP2LHK Manokwari

Page 18: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 17

KEYNOTE SPEECH

Page 19: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

18 – BP2LHK Manokwari

Page 20: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 19

KEPALA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN PROVINSI PAPUA BARAT

PADA ACARA PEMBUKAAN EKSPOSE HASIL-HASIL

PENELITIAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANOKWARI

SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEMUA

Yang saya hormati : Kepala Badan Litbang Kehutanan Kementrian Kehutanan, atau yang mewakili; Koordinator Wilayah UPT Kementrian Kehutanan; Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota se Provinsi Papua Barat; Para Kepala UPT Kementrian Kehutanan di Provinsi Papua Barat atau Yang Mewakili ; Para Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi kemasyarakatan di Sumsel; Tokoh Masyarakat, akademisi, insan pers, stakeholders, mitra usaha, peserta ekspose dan

hadirin yang berbahagia,

Pada kesempatan yang berbahagia ini marilah kita panjatkan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat rahmat dan bimbingan-Nya kita semua masih dikaruniai kekuatan lahir dan batin, tuntunan dan perlindungan, utamanya kesehatan dan kesempatan sehingga kita dapat bersama-sama hadir dalam acara Espose Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manokwari .

Saya menyambut baik dan gembira dilaksanakannya ekspose hasil-hasil penelitian yang diarahkan untuk percepatan pembangunan kawasann hutan dan lahan yang lestari di Papua Barat, dengan diiringi doa dan harapan, semoga acara ini mendapat karunia dan berkat Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga dapat diperoleh manfaat dan sumbangsihnya dalam pembangunan kehutanan di Provinsi Papua Barat.

Hadirin yang saya hormati,

Pemilihan tema ekspose sehari “Hasil - hasil Penelitian dan Pengembangan Untuk Mendukung Sektor Kehutanan di Tanah Papua “ sangat relevan dengan upaya pemerintah pusat maupun daerah untuk mengatasi kondisi sumberdaya hutan yang semakin memprihatinkan akibat maraknya kerusakan hutan dimana-mana.

Kelestarian sumberdaya hutan dewasa ini telah menjadi isu global. Umat manusia di seluruh dunia, bahwa hutan tidak hanya memiliki fungsi sosial ekonomi dan sosial budaya, tetapi juga fungsi ekologis yang peranannya sangat vital bagi sistem penyangga kehidupan. Terjadinya fenomena di muka bumi saat ini berupa pemanasan global dan perubahan iklim, merupakan suatu tantangan bagi kita semua untuk segera bertindak sesuai profesi dan proporsinya masing-masing.

Terkait dengan fungsi hutan sebagai penyedia jasa lingkungan, sejatinya sudah diketahui dan disadari oleh semua pihak, akan tetapi selama ini peranan hutan dalam bidang ini seperti terabaikan oleh kepentingan lain. Seiring dengan kemajuan peradaban umat manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, muncul berbagai implikasi buruk dari kemajuan yang dicapai tersebut. Kemajuan dalam teknologi yang menempatkan minyak bumi sebagai sumber energi utama penggerak roda kehidupan umat manusia telah mengakibatkan terjadinya emisi gas buang berlebihan yang mengotori lingkungan. Keadaan ini diperparah lagi dengan kerusakan sumber daya hutan yang terus terjadi sehingga emisi gas buang yang meningkat tidak dapat sepenuhnya terserap oleh tanaman hutan. Sebagai

Page 21: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

20 – BP2LHK Manokwari

akibat dari keterkaitan tersebut di atas muncul berbagai perubahan terhadap iklim global, yang sangat tidak menguntungkan bagi kehidupan di bumi, berupa kenaikan suhu muka bumi oleh pengaruh gas Karbon yang dikenal sebagai efek rumah kaca.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi efek pemanasan global dan perubahan iklim ditinjau dari kacamata kehutanan adalah dengan memperbanyak pohon dan tanam-tanaman. Oleh karena itu diperlukan upaya mempertahankan keutuhan ekosistem hutan, dan melakukan penanaman pohon secara besar-besaran.

Hadirin yang saya hormati,

Saat ini, Kementerian Kehutanan sedang mengupayakan tercapainya pelaksanaan tiga agenda pokok kebijakan revitalisasi sektor kehutanan. Agenda pertama, tercapainya pertumbuhan sektor kehutanan rata-rata 2-3% per tahun, sebagai bagian dari pertumbuhan ekonomi nasional, yang ditargetkan mencapai 5-6% pada tahun 2009. Kedua, bergeraknya sektor riil kehutanan yang berbasis usaha kecil menengah di perkotaan dalam sentra-sentra bisnis perkayuan khususnya di Indonesia Wilayah Timur. Ketiga, memberdayakan ekonomi masyarakat setempat, baik di sekitar maupun di dalam hutan. Dengan tercapainya keberhasilan penerapan kebijakan prioritas dan ketiga agenda tersebut di atas, maka kelestarian hutan akan terjaga, kelangsungan pasokan bahan baku industri terjamin, dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Keberhasilan tersebut antara lain harus didukung dengan hasil-hasil penelitian yang berkualitas di bidang kehutanan. Untuk itu, Litbang Kehutanan baik di pusat maupun didaerah sebagai leading the way, dituntut untuk mampu melaksanakan tugas-tugas penelitian dan pengembangan yang inovatif dan integrative, sehingga dapat memberikan masukan-masukan yang akurat dan terpercaya dalam pengambilan kebijakan di daerah.

Ekspose hasil-hasil penelitian bertujuan untuk memperkenalkan, menyebarluaskan, dan mempromosikan hasil-hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan kepada pengguna; mendekatkan IPTEK hasil litbang kehutanan kepada para pengguna dengan harapan agar IPTEK yang dihasilkan dapat diketahui, diterapkan secara berdaya guna dan berhasil guna bagi para pemangku kepentingan; mendorong terjalinnya interaksi dan kerjasama kemitraan, baik antar komunitas iptek, maupun dengan pengambil kebijakan, kalangan dunia usaha, dan kelompok masyarakat, memberikan kontribusi dalam menjawab kebutuhan IPTEK kehutanan dan dalam upaya penyelesaian masalah-masalah kehutanan yang ada, serta mendorong percepatan pencapaian tujuan pembangunan kehutanan daerah.

Hadirin yang saya hormati,

Berangkat dari permasalahan yang dihadapi saat ini, Kementrian Kehutanan telah menetapkan kebijakan dan langkah-langkah strategis yang berorientasi pada ,optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam dalam kerangka otonomi daerah serta memperlihatkan kepentingan nasional, maka 5 (lima) kebijakan prioritas Kementrian Kehutanan 2004 – 2009 perlu mendapat dukungan yang kuat dalam pelaksanaan dilapangan, yaitu pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu illegal, revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan, melanjutkan program rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan, pemberdayan ekonomi masyarakat di dalam dan disekitar kawasan hutan, serta memantapkan kawasan hutan.

Beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh untuk memotivasi minat masyarakat pada tanaman hutan adalah :

Mengembangkan jenis kayu tanaman yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan berorientasi pasar baik berupa hasil kayu maupun bukan kayu.

Meningkatkan swadaya/partisipasi masyarakat dalam membangun hutan milik/hutan hak dalam bentuk kebun maupun perkarangan.

Page 22: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 21

Memantapkan kebijakan mengembangkan tanaman kayu-kayuan dan tanaman serbaguna diluar kawasan hutan (lahan milik) berupa hutan rakyat untuk mengatasi luas kawasan hutan yang sedikit.

Menggali potensi jenis kayu langka dan tumbuh setempat (endemic) dan mempunyai prospek baik teknis maupun ekonomis untuk dijadikan jenis tanaman yang dapat dikembangkan .

Kami berharap agar ada tindak lanjut yang lebih operasional setelah selesainya kegiatan ekspose ini, sehingga terdapat dukungan yang kongkrit terhadap pelaksanaan program pembangunan sektor Kehutanan di Provinsi Papua Barat.

Selanjutnya kami berharap agar semua yang hadir di sini dapat berperan aktif dalam Ekspose hasil-hasil penelitian selama satu hari ini, baik dalam hal menyerap informasi hasil-hasil penelitian maupun dalam memberikan umpan balik.

Hadirin yang berbahagia,

Saya akhiri arahan saya ini, dengan satu harapan BPK Manokwari sebagai salah satu lembaga riset hutan di Papua Barat dapat menjadi pusat informasi IPTEK hutan khususnya penghasil kayu pertukangan dan non pertukangan serta aspek-aspek lainnya yang sangat diperlukan dalam mendukung keberhasilan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) serta pembangunan hutan berkelanjutan terutama di tanah Papua. Mengingat kondisi keuangan negara yang belum membaik, sedangkan tantangan tugas yang semakin berat maka lembaga riset Kehutanan di Manokwari (BPK Manokwari) perlu terus meningkatkan koordinasi program dengan Instansi teknis yang ada di Provinsi Papua Barat termasuk lembaga riset lainnya untuk sharing kegiatan, sehingga tidak terjadi adanya duplikasi risert. salah satunya adalah untuk mengoptimalkan peran IPTEK Kehutanan khususnya dalam mendukung peningkatan produktivitas hutan dan lahan di Papua.

Demikian arahan ini semoga bisa menjadi bahan pertimbangan pada diskusi hari ini. Sekian dan Terima Kasih

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat

Page 23: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

22 – BP2LHK Manokwari

Page 24: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 23

MAKALAH UTAMA

Page 25: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

24 – BP2LHK Manokwari

Page 26: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 25

ANALISIS KELAYAKAN TEKNIS SISTEM SILVIKULTUR TPTI TERHADAP

KELESTARIAN PRODUKSI HUTAN DI PAPUA

(Studi Kasus di IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari di Boven Digul dan PT.

Manokwari Mandiri Lestari di Teluk Bintuni)

Oleh : Baharinawati Wilhan Hastanti dan Julanda Noya

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari

Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Kelestarian produksi hutan di Papua dalam beberapa tahun terakhir ini terus mengalami penyusutan secara kuantitatis maupun kualitatif. Salah satu penyebabnya adalah eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya hutan. Kondisi ini dapat dapat dikaitkan dengan keberadaan perusahaan pemegang konsesi IUPHHK di Tanah Papua. Untuk menjamin kelestarian produksi diperlukan sistem silvikultur yang efektif dalam pengelolaan hutan. Sistem silvikultur yang diterapkan untuk hutan tropis (tegakan tidak seumur) menurut aturan Kementerian Kehutanan RI adalah TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia), TPTJ (Tebang Pilih Tanam Jalur) dan TR (Tebang Rumpang). Pengelolaan hutan alam di Papua yang dilakukan perusahaan IUPHHK menerapkan sistem TPTI selama ini. Degradasi dan deforestasi hutan alam di Papua, akan mengancam kelestarian produksi dan berakibat terus menurunnya produksi kayu bulat setiap tahunnya.

Penelitian yang dilakukan di 2 lokasi (PT. Mamberamo Alas Mandiri dan PT. Tunas Timber Lestari) pada tahun 2011, menunjukkan bahwa TPTI masih layak dilakukan karena secara ekologis produktivitas hutan masih dapat dipertahankan, karena melimpahnya ketersediaan jenis komersial maupun non komersial baik di areal hutan primer maupun areal bekas tebangan (LoA).

Pada tahun 2012 hasil penelitian di kedua perusahaan yang sama menunjukkan bahwa secara finansial dengan discount rate 5.75 (Suku Bunga Bank Indonesia, 2012), implementasi TPTI menguntungkan dan layak dilanjutkan walaupun keuntungannya sangat terbatas, karena BCR yang diperoleh mendekati 1 dan beresiko tinggi terhadap gejolak ekonomi terkait dengan ketidakstabilan suku bunga, karena IRR yang diperoleh juga tidak terlalu tinggi.

Hasil penelitian tahun 2013 menunjukkan melalui analisis kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar areal kerja PT. Tunas Timber Lestari di Kabupaten Boven Digoel Provinsi Papua, sebagai refleksi dari implementasi TPTI yang diterapkan oleh perusahaan melalui peningkatan pendapatan masyarakat ,pembangunan fisik (pembukaan akses jalan), penyerapan tenaga kerja dan pemberdayaan masyarakat sekitar areal kerja, memberikan kontribusi yang nyata dengan penghormatan pada hak-hak masyarakat adat melalui kontribusi kubikasi kayu, pembangunan sarana dan prasarana kampung adat, pembayaran denda dan ganti rugi serta pemberian beasiswa pada anak-anak sekolah melalui program Bina Desa.

Sedangkan penelitian tahun 2014 meninjau aspek kelayakan teknis sistem silvikultur TPTI sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.9/VI-BHPA/2009. Penelitian di lakukan di 2 lokasi, yaitu di areal kerja PT. Tunas Timber Lestari (TTL) di Kabupaten Boven Digul, Provinsi Papua dan di areal kerja PT. Manokwari Mandiri Lestari di Kabupataen Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara teknis, sistem silvikultur TPTI masih layak dilakukan di 2 tempat, namun ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan tidak semua tahapan pelaksanaan TPTI dilakukan sesuai dengan pedoman pelaksanaan TPTI, karena butuh biaya yang besar, sehingga mengurangi keuntungan yang diperoleh perusahaan. Selain itu ada faktor-faktor lain seperti faktor alam yang tidak mendukung dan faktor SDM yang tidak memadai baik secara kuantitas maupun kualitas. Kata kunci : kelayakan, teknis, TPTI,

Page 27: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

26 – BP2LHK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kelestarian produksi hutan alam di Indonesia, semakin mengalami penyusutan baik secara kuntitas maupun kualitas akibat eksploitasi berlebihan, penjarahan, alih fungsi lahan dan kebakaran hutan. Untuk menjamin kelestarian produksi hutan dipelukan sistem silvikultur yang tepat untuk setiap areal hutan dengan pertimbangan aspek ekologis maupun aspek ekonomis. Berdasarkan aspek ekologis diharapkan terjadinya perubahan ekosistem yang sealami mungkin. Sedangkan pertimbangan aspek ekonomis lebih berorientasi pada keuntungan dari produksi.

Sistem silvikultur yang diterapkan menurut aturan Kementerian Kehutanan pada hutan tropis Indonesia atau hutan dengan tegakan tidak seumur adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Tebang Rumpang (TR). TPTI menurut Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.9/VI-BHPA/2009 bertujuan untuk meningkatkan produktivitas hutan tegakan tidak seumur melalui tebang pilih dan pembinaan tegakan tinggal dalam rangka memperoleh panenan yang lestari.

Papua sebagai benteng terakhir bagi keberlangsungan hutan alam tropika di Indonesia, mengalami kerusakan pada satu dasawarsa terakhir ini. Laju kerusakan hutan di Papua sejak tahun 2005 sampai 2009 mengalami peningkatan sampai seluas 1.017.841 hektar atau sekitar 254.460 hektar setiap tahunnya. Kerusakan hutan di Papua juga tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan konsesi hutan melalui IUPHHK yang mencapai 20 perusahaan.

Selama ini perusahaan IUPHHK di Papua, sesuai dengan tipe hutannya dalam formasi klimatis (hutan hujan tropis), sistem silvikultur yang diterapkan adalah TPTI dengan permudaan alam karena hutan yang dikelola merupakan hutan alam.

Kajian terakhir dalam menguji efektivitas sistem silvikultur TPTI adalah menguji kelayakan teknis sistem silvikultur TPTI terhadap kelestarian produksi hutan. Kajian ini dilaksanakan pada tahun 2014.

Selama ini perusahaan IUPHHK di Papua, sesuai dengan tipe hutannya dalam formasi klimatis (hutan hujan tropis), sistem silvikultur yang diterapkan adalah TPTI dengan permudaan alam karena hutan yang dikelola merupakan hutan alam. Penelitian yang dilakukan di 2 lokasi (PT. Mamberamo Alas Mandiri dan PT. Tunas Timber Lestari) pada tahun 2011, menunjukkan bahwa TPTI, masih layak dilakukan karena secara ekologis produktivitas hutan masih dapat dipertahankan berdasrkan keberadaan pohon inti dan kondisi permudaannya, karena melimpahnya ketersediaan jenis komersial maupun non komersial baik di areal hutan primer maupun areal bekas tebangan (LoA).

Pada tahun 2012 hasil penelitian di kedua perusahaan yang sama menunjukkan bahwa secara finansial dengan discount rate 5.75 (Suku Bunga Bank Indonesia, 2012), implementasi TPTI menguntungkan dan layak dilanjutkan walaupun keuntungannya sangat terbatas, karena BCR yang diperoleh mendekati 1 dan beresiko tinggi terhadap gejolak ekonomi terkait dengan ketidakstabilan suku bunga, karena IRR yang diperoleh juga tidak terlalu tinggi.

Pada tahun 2013 dilakukan penelitian tentang kondisi sosial masyarakat di sekitar areal TPTI IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari sebagai refleksi dari implementasi sistem silvikultur TPTI menunjukkan bahwa adanya peningkatan pendapatan masyarakat pada kisaran rata-rata Rp. 1.000.000,00 sampai dengan Rp. 5.000.000,00 per bulan. Implementasi TPTI yang diterapkan mendatangkan manfaat melalui pembangunan fisik (pembukaan akses jalan), penyerapan tenaga kerja dan pemberdayaan masyarakat sekitar

Page 28: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 27

areal kerja. Implementasi TPTI juga memberikan kontribusi yang nyata dengan penghormatan pada hak-hak masyarakat adat melalui kontribusi kubikasi kayu, pembangunan sarana dan prasarana kampung adat, pembayaran denda dan ganti rugi pemberian beasiswa pada anak-anak sekolah serta kontribusi sosial lainnya.

B. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kelayakan teknis sistem silvikultur TPTI yang diterapkan oleh perusahaan pemegang konsesi IUPHHK sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.09/VI-BHPA/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan TPTI.

Page 29: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

28 – BP2LHK Manokwari

II. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai dengan Nopember tahun 2014 pada areal kerja IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari Kabupaten Boven Digul Provinsi Papua dan PT. Manokwari Mandiri Lestari (MML) di Kabupaten Teluk Bintuni Provinsi Papua Barat .

B. Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : tally sheet, GPS, alat tulis menulis, kamera dan laptop. Bahan yang digunakan adalah Laporan Perusahaan (5 tahun terakhir), RKUIUPHHK dan RKT IUPHHK.

C. Prosedur Kerja

Penelitian dilakukan dengan cara mengevaluasi penerapan kegiatan-kegiatan TPTI menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomer 35/Kpts/DD/1/1972 tentang pedoman pelaksanaan TPTI dan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.9/VI-BHPA/2009 tentang pedoman pelaksanaan TPTI yang terdiri dari :

1) Penataan Areal Kerja (PAK), 2) Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP), 3) Pembukaan Wilayah Hutan (PWH), 4) Pemanenan, 5) Penanaman dan pemeliharaan tanaman pengayaan, 6) Pembebasan pohon binaan, dan 7) Perlindungan dan pengamanan hutan. D. Analisis Data

Data-data yang ada kemudian dideskripsikan secara kuantitatif dan kualitatif.

Page 30: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 29

III. PEMBAHASAN

A. PT. Tunas Timber Lestari (TTL)

1. Penataan Areal Kerja (PAK)

Kegiatan penataan areal kerja di areal PT. Tunas Timber Lestari (TTL) dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman TPTI, yaitu Et – 3 atau 3 tahun sebelum dilakukannya penebangan. Penataan areal kerja maksudnya adalah untuk memberikan kepastian batas areal kerja pada blok kerja tahunan dengan pembuatan blok kerja dan petak kerja tahunan. Tujuan dari penataan areal kerja adalah : 1) memudahkan pelaksanaan kerja pada blok kerja tahunan dan, 2) memudahkan pelaksanaan, pemantauan, pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kerja.

Bentuk blok kerja tahunan dan petak kerja disesuaikan dengan kondisi lapangan, kegunaan dan hasilnya secara optimal pada setiap kegiatan yang akan dilaksanakan. Jumlahnya sesuai dengan Rencana Kerja Usaha IUPHHK dan Rencana Kerja Tahunan (RKT). Adapun jumlah blok yang ada pada areal PT. TTL dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 1. Jumlah Blok Tebangan dan Luas Areal Kerja Efektif PT. TTL

Keterangan: VF : Virgin Forest, Hutan Primer LoA : Log over Area, Hutan Bekas Tebangan

Penataan areal kerja pada IUPHHK PT TTL ditandai dengan kegiatan penataan batas. Kegiatan ini adalah untuk memenuhi syarat terjaminnya kelestarian hutan. Tata batas yang dilakukan di areal IUPHHK PT. TTL tersaji dalam tabel di bawah ini :

Tabel 2. Tata Batas Kawasan Hutan Areal Kerja PT. TTL

No RKT KodeLuas Efektif (hektar)

VF LOA Jumlah

1 2011 I 1,268 1,145 2,413

2 2012 II 2,653 285 2,938

3 2013 III 2,685 1,204 3,889

4 2014 IV 148 3,493 3,641

5 2015 V 505 2,772 3,277

6 2016 VI 3,225 106 3,331

7 2017 VII 2,736 429 3,165

8 2018 VIII 2,569 1,486 4,055

9 2019 IX 2,543 1,047 3,590

10 2020 X 286 3,133 3,419

11 2021 XI 433 3,310 3,743

12 2022 XII 525 3,302 3,827

13 2023 XIII 0 3,800 3,800

14 2024 XIV 0 3,452 3,452

15 2025 XV 0 2,900 2,900

16 2026 XVI 104 3,427 3,531

17 2027 XVII 0 2,926 2,926

18 2028 XVIII 26 3,436 3,462

19 2029 XIX 63 3,337 3,400

20 2030 XX 0 3,636 3,636

21 2031 XXI 1 3,962 3,963

22 2032 XXII 0 3,655 3,655

23 2033 XXIII 0 3,643 3,643

24 2034 XXIV 49 3,648 3,697

25 2035 XXV 440 3,283 3,723

26 2036 XXVI 592 2,968 3,560

27 2037 XXVII 974 2,962 3,936

28 2038 XXVIII 4,469 438 4,907

29 2039 XXIX 0 3,980 3,980

30 2040 XXX 0 3,942 3,942

26,294 81,107 107,401

Page 31: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

30 – BP2LHK Manokwari

No. Batas Areal Panjang Batas

(km) Keterangan

I. Batas Sendiri

1. Sungai 95,45 TBT 1470/2008

2. Buatan 52,74 TBT 1469/2008

3. Pantai

4 Hutan Negara

- Hutan Lindung

- Hutan Suaka Alam

- Suaka Margasatwa

II Batas Persekutuan

1. Batas dg. PT BMO 187,87 TBT 1045/1995

2. Batas dg PT Prabu Alaska 34 TBT 1095/1996

3. Batas dg APL Sawit 28 TBT 1109/1996

Bedasarkan tabel diatas hanya 5 kawasan yang sudah ditata batas secara sah, yaitu :

Batas Sungai, buatan, batas dengan IUPHHK PT. Bade Makmur Orisa (BMO) dan PT. Prabu Alaska, serta batas dengan APL Sawit.

Penataan areal kerja IUPHHK diawali dengan kegiatan pembagian zonasi areal, yaitu kegiatan ini adalah pembagian areal ke dalam bagian-bagian hutan sesuai peruntukannya dengan melakukan delinasi makro. Zonasi bertujuan untuk menata areal kerja ke dalam zona-zona atau bagian areal untuk kepentingan produksi, lingkungan dan sosial agar dapat disusun rencana pengelolaan pada seluruh areal kerja dan untuk seluruh aspek pengelolaan hutan, baik menyangkut pengelolaan kawasan, kelola hutan dan kelola kelembagaan.

Penapisan pertama berdasar fungsi hutan, hutan produksi menurut SK No. 101/Menhut-II/2008 Tanggal 12 Maret 2009 merupakan kawasan hutan produksi tetap.

Penapisan kedua berdasar penutupan lahan, areal layak kelola untuk hutan produksi baik hutan primer maupun hutan bekas tebangan. Ada pun zona-zona yang ada pada areal kerja PT. TTL antara lain :

Kawasan lindung Areal tidak efektif untuk produksi Areal efektif untuk produksi Areal Non Hutan atau zona rehabilitasi.

Pembagian areal hutan pada areal kerja pada PT. TTL disajikan seperti pada tabel di bawah ini :

Tabel 3. Pembagian Areal Hutan Berdasarkan Penutupan Lahan PT. TTL

No. Uraian VF (ha) LOA (ha) NH (ha) Rawa (ha)

1. Luas areal IUPHHK 39.066 126.774 36.624 12.471

2. Luas Areal Hutan Produksi 39.066 126.774 36.624

Page 32: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 31

3. Areal Tidak Layak Kelola untuk HAP : a. Areal Non Hutan - Sempadan Sungai dan Perlindungan Rawa - Areal Okupasi Masyarakat - Areal Efektif Rehabilitasi b. Rawa

36.624 4.562

15.610

16.217

4. Areal Layak Kelola untuk HAP 39.394

128.163

5. Kawasan Lindung - KKI, KPPS dan Perlindungan Rawa - Sempadan Sungai - KKPN

9.958

266 250

6. Kawasan Tidak Efektif untuk Produksi - PUP - Tegakan Benih - Sarana Prasarana

200 200 859

400 400

1.413

7. Luas Areal Efektif untuk Produksi - Dikelola dg TPTJ - Dikelola dg TPTI

1.898 26.294

32.203 81.107

Daur tebangan untuk TPTI selama 30 tahun, sedangkan untuk TPTJ adalah 25 Tahun.

Etat luas dihitung berdasarkan luas areal efektif dibagi daur. Untuk TPTI diketahui etat luasnya adalah 3.580 hektar/tahun. Setelah diketahui etat luas rata-rata per tahun, disusun rencana kerja menurut waktu dan tempat dengan melakukan penataan areal ke dalam blok-blok kerja tahunan selama masa daur. Dengan tersusunnya rencana kegiatan penataan areal dalam bentuk blok-blok kerja tahunan tersebut, maka dapat diprediksi pula besarnya volume tebangan tahunan yang dihitung berdasar volume standing stock dalam masing-masing blok berdasar hasil IHMB dengan faktor koreksi (fk) dan faktor eksploitasi (fe).

2. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP)

Dalam melakukan kegiatan ISTP, prinsip yang digunakan oleh PT. TTL adalah : 1) risalah hutan dengan intensitas 100% untuk pohon niagawi dengan diameter diatas 40 cm dan pohon yang dilindungi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, 2) Kegiatan ISTP dilakukan sebelum penyusunan RKTUPHHK.

Sebelum dilakukan kegiatan ITSP maka dibuat perencanaan sebagai berikut : 1) rencana jalur inventarisasi dibuat pada petak kerja yang ada di dalam blok RKT berdasar peta hasil PAK, 2) semua jalur ukur petak dibuat searah misalnya Utara – Selatan, 3) daftar ukur untuk mencatat hasil ITSP harus disiapkan, 4) peta rencana ITSP dibuat dengan skala 1 : 5.000.

Pelaksanaan ITSP dilakukan berdasarkan Prosedur Operasi Standar (POS) kerja untuk ITSP sesuai dengan prinsip serta peta kontur dan sebaran pohon dengan skala 1 : 1.000.

Inventarisasi tegakan adalah kegiatan pengukuran, penandaan dan pencatatan pohon pada areal produksi untuk mendapatkan data jumalah, jenis, sebaran, diameter dan tinggi

Page 33: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

32 – BP2LHK Manokwari

pohon baik untuk kelompok pohon dilindungi maupun pohon yang akan ditebang serta kondisi lapangan lainnya.

Tujuan praktis kegiatan ini adalah untuk mengetahui potensi ekonomi dari hutan atau tegakan itu sendiri, sehingga dapat dilakukan proyeksi rugi laba dengan cepat dan tepat. Inventarisasi dilakukan dengan mencatat jenis pohon, mengukur dbh, tinggi bebas cabang serta memasang nomor pada pohon yang akan ditebang diameter 40 cm up dan 50 cm up dan pohon yang tidak ditebang.

3. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH)

Dalam melaksanakan kegiatan PWH pada areal kerja PT. TTL berprinsip efisien, efektif, tertib dan ramah lingkungan. Perencanaan kegiatan ini meliputi hal-hal sebagai berikut : 1) rencana PWH dibuat berdasar blok RKT, 2) Trase jalan angkutan dan jalan sarad dibuat berdasar peta kontur hasil ITSP, 3) lokasi base camp, TPK, Tpn, pondok kerja sesuai dengan kebutuhan lapangan. Pelaksaan PWH dilkaukan dengan menggunakan POS yang telah disusun oleh perusahaan.

PWH adalah kegiatan pembangunan sarana prasarana yang diperlukan dalam pengelolaan hutan yaitu base camp (kantor, gudang, bengkel, perumahan karyawan, fasilitas sosial, dan lain-lain), jalan hutan, camp kerja, Tpn, TPK dan persemaian.

Pembangunan Jalan Hutan Diawali dengan penentuan trase jalan di dalam peta areal kerja hasil overlay antara peta

topografi dan peta potensi. Survey dan verifikasi berdasar hasil overlay. Penentuan trase jalan angkutan yang digunakan dan penandaan sebagai pedoman

operator lapangan. Pembangunan jalan harus mengikuti kaidah teknik sipil. Tabel 4. Spesifikasi Jalan di Areal PT.TTL

No. Spesifikasi Jalan Jalan Utama Jalan Cabang

1. Umur Pakai 10 Tahun 5 tahun

2. Sifat terhadap Cuaca Segala cuaca Segala cuaca

3. Lebar Jalan Berikut Bahu 12 m 8 m

4. Lebar Bahu Jalan 2 m 1,5 m

5. Lebar Perkerasan 8 m 5 m

6. Tebal Perkerasan 20 – 30 cm 10 – 20 cm

7. Tanjakan Menguntungkan 10% 12%

8. Turunan Mergikan 8% 10%

9. Radius Belokan Maximum 60% 50%

10. Kapasitas Muatan Maximum 60 ton 50 ton

Perhitungan kerapatan jalan optimal di areal IUPHHK PT. TTL dihitung dengan cara

membagi jalan sarad optimal rata-rata dengan faktor efisiensi yang nilai skornya antara 5 – 9, yaitu 5 – 6 : datar – landai, 7 – 8 : gelombang dan 7 – 9 : curam. Menurut Peta Rupa Bumi Indonesia, topografi PT. TTL landai – curam sehingga nilai faktor efisiensinya adalah 6 dengan jarak sarad optimal rata-rata dengan traktor 330 m, maka kerapatan jalan optimal

Page 34: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 33

adalah 18,18 m/ha. Berdasarkan perhitungan diatas luas areal 33.718 ha, jalan yang dibangun sepanjang 612,99 m atau 61,30 km.

4. Pemanenan

Kegiatan pemanenan atau penebangan pada areal PT. TTL berprinsip : tidak melebihi riap, efesien, efektif, tertib dan ramah lingkungan dan perapihan tidak dilakukan pada areal HPT. Persiapan yang dilakukan dalam penebangan dilakukan berdasar peta sebaran pohon dengan skala 1 : 1.000, penebangan dilakukan pada petak tebang pada blok RKT yang sudah disahkan dan perapihan yang dilakukan setelah pelaksanaan penebangan sekaligus mengidentifikaso lokasi pengayaan. Pelaksanaan penebangan menggunakan Prosedur Operasi Standar (POS) yang telah disusun oleh perusahaan dan alat-alat pemanenan yang digunakan mengikuti aturan yang berlaku.

Penetapan AAC (Annual Allowable Cutting) Berdasar analisis Zonasi

Etat Luas dihitung berdasar analisis zonasi. Etat Luas diperoleh dengan cara membagi luas areal efektif berhutan dengan jumlah daur, yaitu 107.401 ha untuk 30 tahun sebesar 3.580 ha/tahun. Penentuan luas, lokasi dan urutan blok tebangan tahunan dilakukan dengan pertimbangan data sediaan tegakan (standing stock) hasil IHMB dengan prinsip dasar areal dengan standing stock tinggi dilakukan penebangan lebih dahulu dengan melihat aspek kelayakan teknis dan ekonomis dalam pelaksanaan operasionalnya.

Etat volume dihitung berdasar hasil IHMB. Berdasar hasil analisis BPK Manokwari diperoleh data riap volume jenis komersil berkisar antara 0,484 – 2,361 m3/ha/tahun atau rata-rata 1,479 m3/ha/tahun pada perhitungan jatah tebang tahunan (JPT) dipergunakan asumsi riap rata-rata 1 m3/ha/tahun dengan asumsi tersebut jumlah standing stock tegakan jenis komersil kelas diameter Masak Tebang (MT) pada areal efektif 7.223.317 m3 , sehingga perhitungan etat volume dan JPT adalah sebagai berikut :

etat volume dihitung dengan cara jumlah perkalian antara volume standing stock dengan faktor koreksi (fp) dibagi jumlah daur yakni (7.223.317 m3 x 0,8)/30 tahun, yaitu : 192.622 m3/tahun.

JPT dihitung dengan cara mengalikan etat volume dengan faktor eksploitasi ( 192.622 m3/tahun x 0,7) yaitu 134.835 m3/tahun.

Berdasar SK Menhut

AAC berdasar SK Menteri Kehutanan No. SK 101/Menhut-II/2009 perpanjangan IUPHHK PT. TTL ditetapkan besarnya etat luas dan JPT .

Etat Luas 2.408 ha Etat Volume 90.194 m3

Jatah tebang tahunan (AAC) diatur berdasar IHMB yang dilaksanakan setiap 10 tahun dituangkan dalam RKU IUPHHK yang sudah disahkan oleh pejabat berwenang berdasar UU yang berlaku. Data IHMB adalah berdasar taksiran standing stock hasil inventarisasi dengan menggunakan sampling, bukan sensus (cacah pohon).

Teknik Pemanenan Kayu Kegiatan penebangan dilakukan secara teknis dan menggunakan peralatan standar.

Penebangan dilakukan oleh operator tebang dengan menggunakan gergaji rantai (chain saw) dengan teknik penebangan mengacu pada POS yang dibuat oleh perusahaan.

Penebangan dilakukan pada pohon berdiameter 40 cm up jenis komersial yang sudah

Page 35: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

34 – BP2LHK Manokwari

ditandai dalam kegiatan ITSP. Sedang pohon yang tidak ditebang adalah pohon binaan dengan diameter 20 – 39 cm dan jenis-jenis yang dilindungi.

Pohon yang sudah ditebang dipotong bagian atas yakni pada batas batang bebas cabang, kemudian disarad secara mekanis menggunakan traktor sarad menuju Tpn yang berada di pinggir jalan hutan. Kayu log di Tpn selanjutnya dimuat ke atas logging truck untuk diangkut ke log yard yang terletak di pinggir sungai.

Pelaksanaan penebangan menggunakan teknik penebangan ramah lingkungan atau RIL (Reduce Impact Logging) untuk menekan dampak negatif penebangan terhadap kerusakan tegakan tinggal dan tanah. Teknik pemanenan dengan RIL memgutamakan perencanaan jalan sarad yang mempertimbangkan topografi areal dan sebaran pohon yang dapat dipanen . Dengan demikian maka pembuatan jalan sarad dapat ditekan baik panjang maupun lebar bukaannya sehingga dapat mengurangi kerusakan tanah dan tegakan tinggal akibat penyaradan. Disamping itu penentuan arah rebah juga menjadi salah satu elemen kunci dalam pelaksanaan teknik pemanenan dengan metode RIL.

Perapihan

Kegiatan ini dilakukan pada areal bekas tebangan dengan tujuan agar petak tebangan mudah dikenali kembali. Keberadaan permudaan dan tegakan tinggal serta areal terbuka dan kurang permudaan dapat diidentifikasi dan dipetakan sebagai dasar melakukan tindakan silvikultur berikutnya.

Kegiatan perapihan meliputi : pembebasan semak belukar pada areal bekas tebangan. pembersihan alur batas petak. Pemasangan kembali patok batas yang hilang atau rusak atau terganggu kegiatan

pemanenan. Identifikasi keberadaan dan kondisi permudaan dan tegakan tinggal serta areal yang

terbuka dan kurang permudaan. Pencatatan dan pelaporan hasil kegiatan untuk monitoring dan evaluasi. Kegiatan perapihan tidak dilakukan pada areal Hutan Produksi Terbatas (HPT).

5. Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Pengayaan

Kegiatan ini berprinsip pada pemulihan produktivitas areal kosong dan atau tidak produktif pada blok RKT dan penggunaan jenis lokal unggulan setempat. Kegiatan ini dilakukan dengan perencanaan yang matang dan persiapan-persiapan sebagai berikut : 1) persemaian dibuat dan dikelola dengan mengutamakan bibit jenis lokal, 2) peta rencana dibuat berdasar hasil identifikasi areal bekas tebangan yang perlu ditanami. Pelaksanaan penanaman berdasakan pada POS (Prosedur Operasi Standar) yan disusun oleh perusahaan yang berpegang pada prinsip penanaman.

Pengadaan Bibit Untuk menyediakan bibit dalam jumlah yang cukup banyak dan waktu yang tepat

perlu dibangun persemaian. Sumber bibit untuk perseaian berasal dari biji, cabutan alam dan stek dari kebun pangkas. Lokasi persemaian pada areal yang datar dengan akses pemeliharaan yang mudah dijangkau serta cukup air dan memiliki luasan yang cukup dan memenuhi kebutuhan setiap bibit sesuai yang direncanakan.

Kebutuhan bibit digunakan untuk :

kegiatan pengayaan rehabilitasi

Page 36: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 35

penanaman areal non hutan penanaman kanan kiri jalan, Kegiatan pengayaan dilakukan pada areal-areal yang kurang permudaan jenis komersil, untuk itu jenis komersil yang dikembangkan dalam persemaian adalah jenis nyatoh (Palaquium sp), meranti, keruing, agathis dan lain-lain.

Rehabilitasi dilakukan pada areal terbuak akibat kegiatan pembalakan seperti bekas Tpn dan jalan sarad. Pada areal non hutan serta areal kanan kiri jalan dilakukan penanaman dengan jenis-jenis pohon yang tahan terhadap penyinaran matahari langsung dan merupakan jenis-jenis pohon kehidupan MPTS.

Tahapan Pengadaan Bibit Membersihkan areal persemaian dari semak dan tegakan naungan atau tebang habis

jalur. Membersihkan lahan persemaian dari jamur, bakteri dengan herbisida. Membuat bedeng semai berupa bedengan persegi panjang setinggi 0,5 dari lantai hutan

dengan ukuran 1 X 5. Menyiapkan media semai berupa lapisan humus hutan (top soil) yang telah steril melalui

penggarangan dan penyemprotan herbisida. Mengumpulkan bibit semai berupa cabutan dan puteran yang berasal dari pohon induk

dan kebun benih. Bibit semai diambil dari jenisjenis dominan di hutan yang dikelola. Permbersihan dan sterilisasi lahan dengan herbisida dan dilanjutkan dengan fungisida

sebanyak 100 l/ha. Sterilisasi media semai dengan fungisida sebanyak 0,25 l/m3 .

Luas areal tebangan yang perlu dilakukan penanaman rehabilitasi sebesar kurang lebih 3% dari luas blok tebangan sedangkan luas areal penanaman pengayaan kurang lebih 7% dari luas tebangan. Sehingga diperlukan kebun bibit untuk penyulaman sebesar 20% dari kebutuhan bibitnya yaitu karet, jabon sengon.

Kebutuhan bibit pengayaan dan rehabilitasi Pengayaan : 7% x 400 bibit/ha + 20% penyulaman = 34 bibit/ha luas blok

tebangan. Rehabilitasi : 3% x 1110 bibit/ha + 20% penyulaman = 40 bibit/ha luas blok

tebangan. Penanaman kanan kiri hutan : 1110 bibit/ha + 20% penyulaman = 1332 bibit/ha Kanan kiri jalan : 400 bibit/ha + 20% penyulaman = 480 bibit/ha.

6. Pembebasan Pohon Binaan

Kegiatan ini berprinsip pada peningkatan riap pohon binaan yang berasal dari permudaan alam dan tanaman pengayaan serta tidak dilakukan pada areal HPT. Persiapan yang dilakukan antara lain : 1) Pohon terbaik ditetapkan sebagai pohon binaan di petak kerja, 2) pohon binaan dibebaskan dari tanaman pesaing, 3) dilakukan pembuatan peta sebaran pohon binaan hasil pembebasan. Pelaksanaannya berdasarkan pada Prosedur Operasi Standar (POS) yang dibuat oleh perusahaan dan menggunakan arborisida yang ramah lingkungan khusus pohon besar.

7. Perlindungan dan Pengamanan Hasil Hutan

Kegiatan ini bertujuan untuk pengendalian hama penyakit, perlindungan dari kebakaran hutan, perambahan hutan dan pencurian hasil hutan serta memberikan kepastian usaha dalam pengelolaan hutan produksi.

Hal-hal yang dilakukan perusahaan terkati dengan kegiatan tersebut di atas adalah :

perekrutan dan pembentukan satuan pengaman IUPHHK dan regu pemadam kebakaran.

Page 37: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

36 – BP2LHK Manokwari

Pembangunan sarana dan prasarana perlindungan hutan seperti : Menara pemantau kebakaran, kolam air dan embung-embung, papan larangan berburu, papan peringatan kebakaran hutan dan papan-papan tempat dilindungi dan keramat.

Penyuluhan pada masyarakat sekitar tentang kebakaran hutan, hukum dan sanksi hukum pelanggaran hutan seperti pencurian kayu, perburuan satwa dan perambahan hutan

Pembuatan sekat bakar pada petak-petak rawan kebakaran hutan.

B. PT. Manokwari Mandiri Lestari (MML)

1. Penataan Areal Kerja (PAK)

Penataan areal yang dilakukan oleh IUPHHK PT. MML merupakan kegiatan yang bertujuan untuk pengaturan pemanfaatan hasil hutan dengan memperhatikan aspek-aspek kepastian areal, potensi sumber daya hutan, kontinyuitas produksi, sosial ekonomi dan kebijakan penataan ruang setempat (RTRW Provinsi Papua Barat).

Kegiatan penataan areal kerja juga dilakukan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan sehingga dalam penentuan etat luas maupun etat volume diperhitungkan kawasan lindung yang terdiri dari buffer zone hutan lindung, sempadan sungai, kawasan pelestarian plasma nutfah dan kawasan sekitar mata air, areal tidak efektif untuk produksi yang terdiri dari petak ukur permanen, kebun bibit dan sarana prasarana.

Berdasarkan bagan penataan areal peruntukan lahan untuk kawasan, kawasan lindung dan saran prasarana diberi batas agar masing-masing fungsinya berjalan dengan baik. Mengingat kondisi areal yang kompak maka pengelolaannya dikonsentrasikan dalam satu unit kegiatan.

Dengan daur selama 30 tahun, maka seluruh areal efektif untuk produksi akan dibagi masa daur. Dari hasil perhitungan pada bagan penataan areal kerja diperoleh rata-rata luas tebangan pertahun adalah 1.907 ha/tahun.

Kegiatan penataan dimaksudkan untuk memberi tanda batas di lapangan pada blok kerja tahunan sehingga pelaksanaan setiap pengusahaan hutan dapat dilaksanakan dengan baik. Disamping itu untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan pemantauan, pengendalian dan pengawasan dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatan pengusahaan hutan.

Untuk memudahkan dalam pengaturan rencana kegiatan pemungutan hasil hutan dan pembinaan areal bekas tebangan maka blok kerja tahunan (blok RKT) yang luasnya disesuaikan dengan target tebangan tahunan. Selanjutnya tiap blok RKT akan dibagi dalam petak-petak kerja permanen dengan luas kurang lebih 100 Ha, diusahakan dengan menggunakan batas alam.

Di bawah ini adalah tabel peruntukan lahan di areal PT. MML Tabel. 5. Peruntukan Lahan di Areal Kerja PT. MML

No. Uraian Luas (ha)

I LUAS AREAL KERJA IUPHHK 90.980

A. Hutan Produksi Terbatas (HPT) 44.965

1. Hutan Primer 18.656

a. Kawasan Lindung 4.757

- Kawasan Lindung Gambut 200

- Buffer Zone HL dan CA 4.957

- Sempadan Sungai dan Badan Sungai 275

Page 38: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 37

No. Uraian Luas (ha)

b. Areal Tidak Efektif Untuk Produksi 400

- Areal Tegakan Benih (Kebun Bibit) 100

- Sarana dan Prasarana 300

2. Hutan Bekas Tebangan 24.324

a. Kawasan Lindung 3.840

- Kawasan Lindung Gambut 3.230

- Buffer Zone HL dan CA 610

b. Areal Tidak Efektif untuk Produksi 950

- Areal Tegakan Benih (Kebun Bibit) 100

- Areal Petak Ukur Permanen (PUP) 400

Sarana dan Prasarana 450

3 Non Hutan 1.985

B. Hutan Produksi Tetap (HP) 25.030

1. Hutan Bekas Tebangan 20.423

a. Kawasan Lindung 1.520

- Kawasan Lindung Gambut 200

- Buffer Zone HL dan CA 470

- Sempadan Sungai dan Badan Sungai 850

b Areal Tidak Efektif Untuk Produksi 1.262

- Areal Tegakan Benih (Kebun Bibit) 300

- Areal Petak Ukur Permanen (PUP) 100

- Sarana dan Prasarana 862

2. Non Hutan 4.607

C. Hutan Produksi Konversi 20.985

1 Hutan Primer 15.189

a Kawasan Lindung 6.340

- Kawasan Lindung Gambut 2.700

- Buffer Zone HL dan CA 711

- Sempadan Sungai dan Badan Sungai 429

- Kawasan Lindung Plasma Nutfah 2.500

b. Areal Tidak Efektif Untuk Produksi 3.502

- Areal Tegakan Benih (Kebun Bibit) 100

- Sarana dan Prasarana 3.402

2. Hutan Bekas Tebangan 4.408

a Kawasan Lindung 1.490

- Kawasan Lindung Gambut 350

Page 39: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

38 – BP2LHK Manokwari

No. Uraian Luas (ha)

- Buffer Zone HL dan CA 711

- Sempadan Sungai dan Badan Sungai 429

3. Non Hutan 956

- Buffer Zone HL dan CA 432

II Jumlah Areal Hutan Efektf 57.210

III Jumlah Kawasan Lindung 20.008

IV Jumlah Areal Tidak Efektif 6.214

V Jumlah Areal Non Hutan Efektif 7.548

VI Jumlah Seluruh Areal 90.980

2. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP)

Kegiatan Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) yang dilakukan PT. MML bertujuan mengetahui potensi hutan, sebaran jenis tertentu dan kondisi mikro terutama topografi. Data yang dikumpulkan dari kegiatan ini adalah informasi tentang pohon yang meliputi jenis, diameter, tinggi, letak dan kondisi tumbuhan bawah yang dilakukan secara sampling. Selain itu juga perlu dirisalah mengenai fauna dan hasil hutan non kayu yang terdapat pada lokasi tersebut. Intensitas sampling yang digunakan untuk perencanaan jangka pendek (RKT) mnggunakan intensitas 100% dilengkapi dengan denah/peta pohon yang akan ditebang. Kegiatan inventarisasi dilakukan dengan sistem jalur dengan menggunakan plot ukur gabungan (combined sample plot), dengan pertimbangan pada tahun berikutnya dapat dilakukan pembangunan jalan, Tpn dan TPK. Selain itu data hasil ITSP sangat diperlukan untuk merencanakan arah jalan sarad dan kebutuhan peralatan.

3. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH)

Kegiatan pembukaan wilayah hutan merupakan rangkaian penyediaan sarana dan prasarana untuk memperlancar dalam kegiatan pemanenan hasil hutan, pembinaan, dan perlindungan hutan, meliputi pengadaan jalan, base camp dan TPK, Tpn dan fasilitas lainnya.

Kegiatan pemanfaatan hasil hutan memerlukan sarana transportasi sehingga pembangunan jalan merupakan faktor yang amat menentukan terhadap produksi kayu. Dalam pembangunan jalan harus memperhatikan faktor kerapatan jalan (Intensitas Pembukaan Wilayah Hutan), yaitu perbandingan antara panjang jalan dengan luas areal suatu unit kerja produksi. Kerapatan jalan akan optimal apabila biaya penyaradan sama dengan biaya pembuatan jalan dan pemeliharaannya.

Untuk menghitung kerapatan jalan optimal maka menggunakan rumus Bendz (1970), yaitu :

Dimana : D = Kerapatan jalan/Intensitas PWH (m/ha) = Faktor efisiensi jalan (3-4 untuk daerah datar s/d landai)

S = Jarak sarad rata-rata (km) Berdasarkan pengalaman dengan kondisi topografi dilapangan, untuk membuat petak

tebangan seluas 100 ha maka diperlukan jarak sarad (S) 300-400 m, dengan menggunakan

Page 40: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 39

faktor efisiensi jala (a) sebesar 4 (daerah landai) maka didapat kerapatan jalan (D) sebesar 15 m/ha.

Dari hasil perhitungan dibangun jalan sepanjang 100 km. Pelaksanaan pembangunan jalan meliputi jalan utama (Main road) dibangun dengan lebar jalan 12 m dengan panjang 30 km dan jalan caban dengan lebar 8 meter dengan panjang 70 Km. Selain jalan pada kegiatan pembukaan wilayah hutan juga telah dibangun Tpn dimana setiap Tpn seluas 0,1 ha yang mampu menampung sekitar 1.500 m3 kayu, sehingga untuk proyeksi produksi sebesar 95.415 m3/tahun di perlukan Tpn sekitar 64 buah.

4. Pemanenan

Pemanenan hasil hutan pada areal PT. MML meliputi pekerjaan penentuan arah rebah, penebangan, pembagiaan batang, penyaradan, pengupasan, dan pengangkutan dari tempat pengumpulan ke log pond. Kegiatan pemanenan hasil hutan dilaksanakan dengan sistem tebang pilih dimana pohon yang ditebang adalah pohon yang telah memenuhi limit diameter. Jenis pohon yang ditebang meliputi kelompok jenis kelompok meranti, kelompok kayu rimba campuran. Jenis yang ditebang suatu saat dapat berubah disesuaikan dengan permintaan pasar. Jadi ada kemungkinan salah satu jenis yang saat ini belum termasuk dalam kelompok jenis komersil pada saat tertentu dapat memiliki nilai ekonomi tinggi.

Untuk menjamin kelestarian produksi diadakaan pengaturan hasil yang benar-benar sesuai dengan potensi sumberdaya kemampuan lahan. Tolok ukur atau batas maksimal yang boleh ditebang dalam suatu luasan dan waktu tertentu disebut dengan etat. Etat tebangan yang ditentukan pada PT. MML adalah kombinasi antara luas tebangan per tahun (etat luas) dengan volume tebangan per tahun (etat volume). Artinya apabila etat volume pada suatu periode (1 tahun) berjalan telah tercapai padahal etat luasnya belum maka penebangan dihentikan dan dianggap telah memenuhi target (100%). Namun demikian untuk hal sebaliknya tidak berlaku.

Dalam penentuan etat luas dan volume IUPHHK PT. MML mengacu pada “Peraturan Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2009 tanggal 9 Pebruari 2009 tentang Sistem Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi'. Dimana daur atau siklus tebangan yang digunakan adalah 30 tahun, dengan menggunakan limit diameter kurang lebih 40 cm pada hutan produksi tetap (HP) atau hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dan kurang lebih 50 cm pada hutan produksi terbatas (HPT).

Sistem Pemanenan Hasil Hutan Sistem pemanenan hasil hutan yang akan digunakan oleh PT. MML adalah sistem

mekanis yang meliputi kegiatan penebangan, penyaradan sampai kegiatan pengangkutannya. Tahapan kegiatan pemanenan kayu ini dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Penebangan

Pemanenan kayu secara tebang pilih (selective cutting) yakni penebangan hanya pada jenis kayu komersil dari pohon-pohon berdiameter sama dengan 40 cm atau lebih bagi yang berada di HP/HPK dan 50 cm atau lebih untuk yang berada di HPT. Dalam kegiatan ini IUPHHK PT. MML menerapkan sistem pemanenan hasil hutan kayu yang ramah lingkungan dengan menggunakan prosedur Reduced Impact Logging (RIL). Tahapan-tahapan kegiatan penebangan meliputi penentuan arah rebah pohon, penebangan dan pembagian batang.

b. Penyaradan

Meliputi kegiatan pengangkutan kayu dari tempat tebangan ke tempat pengumpulan kayu. Penyaradan kayu meggunakan traktor sarad. Prestasi kerja penyaradan dengan sistem traktor dipengaruhi oleh ukuran kayu, topografi, cuaca, jarak sarad, keterampilan tenaga kerja dan keadaan tanah. Prestasi kerja traktor sarad jenis Caterpilar D7G dengan kondisi

Page 41: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

40 – BP2LHK Manokwari

topografi agak berat rata-rata 50 m3/hari. Dengan hari kerja 20 hari/bulan atau 240 hari/tahun, maka prestasi kerja traktor sarad per tahun adalah 12.000 m3/tahun.

c. Pengangkutan

Pengangkutan kayu dari lokasi tempat pengumpulan kayu (TPn) sampai ke tempat penimbunan kayu (TPK) dilakukan melalui jalan darat menggunakan logging truck. Sesuai dengan kondisi lapangan di areal kerja PT. MML dimana jarak antara TPn sampai ke TPK relatif jauh, maka volume muatan rata-rata 45 m3/trip, dengan kecepatan rata-rata 20 km/jam.

Apabila jam kerja efektif 10 jm/hri availability alat 70% maka jumlah trip dalam sehari adalah 1 trip. Dengan hari kerja 20 hari/bulan maka kapasitas pengangkutan mencapai 1.800 m3/tahun atau 7.200 m3/tahun. d. Muat Bongkat

Kegiatan muat bongkar dilakukan dengan menggunakan alat Wheel loader 966.F yang mampu melakukan muat bongkar 15.000 m3/bulan. Muat bongkar dilakukan di lokasi pemuatan TPn dan lokasi TPK atau logpond.

Peralatan Pemanenan Kayu di IUPHHK PT. MML

Komponen dan jumlah peralatan yang diperlukan untuk kegiatan pengelolaan hutan ditentukan berdasar prestasi standar kerja peralatan, regu kerja dan target/volume penebangan yang telah ditentukan. Berdasar etat luas dan etat volume, maka penebangan tahunan yang dilakukan yaitu etat luas 1.907 ha/tahun dan etat volume 95.415 m3/tahun.

Kapasitas Peralatan. a. Pembuatan dan Pemeliharaan Jalan

Pembuatan jalan angkutan baik jalan utama maupun jalan cabang dilakukan dengan traktor dan dibantu alat grader, eksavator untuk pengerasan jalan. Kemampuan alat-alat tersebut secara terperinci dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 6. Kapasitas Kerja Peralatan Pembuatan Jalan

No. Jenis/Tipe Alat Kapasitas Kerja per Unit Keterangan

Jalan Utama (km/bl)

Jalan Cabang (km/bl)

Jalan Sarad (km/bl)

1. Traktor Cat D7G 0.7 1,0 1,3

2. Motor Grader 20 20 20

3. Dump Truck 2.000 2.000 2.000

4. Exavator 20.000 20.000 20.000

b. Penebangan

Kapasitas Kerja chain saw (merk STIHL) untuk penebangan yang digunakan oleh

operator dan helper dapat menghasilkan tebangan rata-rata per hari sekitar 10 pohon (= 45 m3). Dengan 20 hari kerja per bulan atau 240 hari kerja per tahun, maka standar kapasitas satu unit chain saw adalah 45 m3/hari x 240 hari sebesar 10.800 m3/tahun, dengan asumsi

Page 42: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 41

tersebut, maka kebutuhan alat chain saw yang diperlukan adalah 9 unit untuk etat volume 95.415 m3/tahun.

c. Penyaradan

Penyaradan kayu pada hutan mekanik memerlukan alat berupa traktor sarad dengan jenis pekerjaan pembuatan saradan, menyarad kayu. Kapasitas kerja traktor sarad (merk Cat D7G) rata-rata 50 m3/hari dengan jarak sarad 650 m, maka kapasitas penyaradan adalah 50 m3/hari x 240 hari adalah 12.000 m3/tahun, traktor sarad yang dibutuhkan 8 unit.

d. Pengangkutan Kayu

Pengangkutan Kayu dari TPn dan TPK dengan menggunakan logging truck jenis Renault CBH 385 dengan masa umur 10 tahun. Mengingat jarak angkut pada saat ini relatif dekat sekitar 10 – 20 km, maka dengan kapasitas angkutan logging rata-rata 45 m3/trip maka dalam 1 hari (=10 jam kerja efektif ). Dengan menggunakan waktu jam kerja 20 hari/bulan (8 bulan efektif atau 160 hari/tahun), maka kapasitas angkutan sebesar 1.800 m3/bulan atau 7.200 m3/tahun, dibutuhkan logging truck 18 buah.

e. Muat Bongkar dan Perakitan Kayu

Standar kapasitas kerja peralatan muat bongkar (loader-unloader) dan perakitan (floater) dapat disajikan pada tabel di bawah ini :

Tabel 7. Kapasitas Peralatan Muat Bongkar dan Perakitan Kayu

No. Jenis Alat Produktivitas/Unit/Bulan Keterangan

1. 2.

Bongkar Muat Loader Perakitan Kayu Loader Crane

15.000 m3/bulan

6.000 m3/bulan

12.000 m3/bulan

Proyeksi Kebutuhan Peralatan

Kebutuhan peralatan berdasarkan kapasitas standar alat dan rata-rata volume produksi tahunan PT MML yaitu 95.415 m3/tahun maka kebutuhan alat eksploitasi disajikan pada tabel di bawah ini :

Tabel 8. Kebutuhan Alat pada Kegiatan Pemanenan Hasil PT. MML

No. Jenis Kegiatan/Peralatan Kebutuhan (unit)

Keterangan

A. Pembuatan Jalan

1. Traktor 4

2. Motor Grader 2

3. Dump Truck 2

4. Excavator 1

Penebangan dan Pembagian Batang

Page 43: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

42 – BP2LHK Manokwari

1. Chain saw untuk penebangan 9

2.Chain saw untuk pembagian batang 4

Penyaradan

1. Skidding tractor 8

Bongkar Muat dan Perakitan

1. Logging Truck Trailler 13

2. Logging Truck 7

3. Log Loader 2

4. Crane 1

Lain-lain (Peralatan Penunjang)

1. Toyota Pick up 4

2. Jeep Hiline 4

3. Tanki Truck 2

4. Tug Boat/Speed boat 2

5. Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Pengayaan

Dalam mendukung kegiatan pemanfaatan hutan yang lestari, setiap penebangan pohon harus diikuti dengan pemudaan alam maupun buatan atau keduanya. Kegiatan ini dapat ditempuh dengan melaksanakan penanaman. Penanaman pengayaan adalah kegiatan penanaman pada areal bekas tebangan yang tidak memiliki cukup permudaan dari jenis niagawi dengan tujuan untuk memperbaiki struktur dan komposisi tegakan perlu dikayakan baik jenis maupun jumlahnya. Pengayaan dilakukan pada areal yang kurang permudaannya dengan luasan lebih dari 25 petak ukur. Penanaman rehabilitasi adalah kegiatan penanaman tanah kosong di dalam kawasan hutan agar memiliki nilai ekonomis maupun ekologis. Areal yang perlu direhabilitasi adalah tanah kosong, bekas TPn, TPK dan areal terbuka lainnya.

Jenis yang akan ditanam adalah jenis-jenis niagawi terutama jenis yang memiliki prospek pasar bagus dan merupakan tanaman endemik setempat seperti matoa (Pometia sp) dan merbau (Intsia sp) . Jarak tanam untuk pengayaan adalah 5 x 5 m, sedangkan untuk penanaman tanah kosong bekas TPn dan sarana prasarana lainnya 3 x 3 m. Luas efektif untuk penanaman pengayaan sekitar 2.775 hektar selama 10 tahun dan untuk penanaman rehabilitasi sekitar 925 hektar selama 10 tahun.

Kegiatan pemeliharaan tanaman adalah kegiatan pemeliharaan tanaman yang baru ditanam, meliputi tindakan penyiangan, pendangiran, penyulaman dan pencegahan gangguan oleh hama penyakit pada tanaman muda. Pemeliharaan ini bertujuan untuk menigkatkan persentasi keberhasilan tanaman.

Pendangiran adalah kegiatan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan cara memperbaiki sifat fisik tanah. Dengan demikian penfagiran disebut juga penggemburan tanah. Penyiangan untuk pembebasan tanaman dari persaingan dengan tumbuhan pengganggu dengan cara pembersihan rumput gulma dan pengganggu lainnya.

Penyulaman untuk meningkatkan persentase tumbuh tanaman dengan cara mengganti tanaman yang mati. Penyulaman dilakukan pada bulan ketiga setelah penanaman. Jenis bibit yang digunakan sesuai dengan jenis yang mati atau jenis niagawi lainnya (jenis unggulan setempat).

Page 44: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 43

6. Pembebasan Pohon Binaan

Pembebasan adalah kegiatan pemeliharaan tegakan tinggal lanjutan yang berupa pekerjaan membebaskan tajuk jenis niagawi (pohon inti dan permudaan) dari desakan dan naungan pohon lain atau tanaman pengganggu/pesaing. Tujuan pembebasan adalah untuk memberi ruang tumbuh yang cukup kepada pohon agar dapat meningkatkan riap pohon sehingga meningkatkan produktivitas tegakan tinggal yang diharapkan memberi hasil yang optimal pada rotasi tebang berikutnya.

Untuk areal di Hutan Produksi Terbatas (HPT) tidak dillaksanakan pembebasan karena umumnya areal HPT memiliki tingkat bahaya erosi yang tinggi, dengan demikian pembebasan hanya dilakukan di Hutan Produksi Tetap (HT).

Penanaman Tanah Kosong dan Kanan Kiri Jalan Penanaman pada areal terbuka atau kurang produktif dengan prioritas pada daerah-

daerah rawan dan berbatasan dengan lahan penduduk. Berdasar hasil penafsiran Citra Landsat tahun 2014 dengan skala 1 : 100.000 dan hasil penataan alur areal IUPHHK PT. MML memiliki luas non hutan efektif sebesar 7.548 hektar, dimana areal ini telah ditanami ditanami jenis-jenis tanaman yang cepat tumbuh yang sesuai dengan kondisi setempat, seperti matoa, binuang dan bintangur. Sedangkan penanaman pada kanan kiri jalan angkutan atau kanan kiri koridor. Jenis yang ditanam adalah jenis MPTS (tanaman buah) yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat setempat.

7. Perlindungan dan Pengamanan Hasil Hutan

Kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan yang dilakukan di IUPHHK PT MML utamanya adalah perkrutan anggota satpam. Adapun gangguan hutan yang ada adalah pencurian kayu, kebakaran hutan dan peladangan berpindah serta gangguan terhadap flora dan fauna di kawasan.

Kebakaran Hutan

Kegiatan yang dilakukan untuk pencegahan kebakaran hutan antara lain :

penyuluhan pada masyarakat setempat tentang pencegahan dan bahaya kebakaran hutan

pemasangan plang-plang peringatan tentang pencegahan kebakaran hutan membuat skat bakar sekaligus tanda batas blok pada daerah rawan kebakaran menyiapkan alat pemadam kebakaran hutan pembentukan regu pemadam kebakaran hutan membangun menara pengawasan api/kebakaran membangun embung-embung/kantong air Pencurian Kayu

Untuk mencegah pencurian kayu, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan adalah :

penyuluhan hukum tentang hukum dan sanksi pencurian kayu pemantauan kegiatan ilegal loging membentuk regu pengamanan hutan melakukan operasi terpadu Peladangan Berpindah

Kegiatan yang dilakukan perusahaan untuk mencegah peladangan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat setempat adalah :

Page 45: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

44 – BP2LHK Manokwari

penyuluhan tentang pola sistem pertanian menetap dan akibat-akibat peladangan berpindah

transfer teknologi pertanian melalui tranformasi pertanian menetap pemasangan papan larangan perladangan berpindah

Page 46: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 45

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Beberapa penyimpangan pelaksanaan tahapan sistem TPTI diantaranya adalah , tidak semua kawasan hutan telah ditata batas secara resmi, tidak semua batas-batas kawasan diberi tanda atau plang nama, kurangnya tanaman yang harus ditanam di setiap kawasan hutan yang harusnya dilakukan oleh perusahaan, tingginya tingkat kegagalan tanaman, kurangnya persediaan benih di persemaian baik dalam jenis maupun jumlah.

2. Penyimpangan dalam pelaksanaan TPTI menurut perusahaan karena : pelaksanaan TPTI yang ideal menurut aturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.09/VI-BHPA/2009 membutuhkan biaya yang sangat tinggi, sedangkan banyak sekali kewajiban-kewajiban lain yang harus dipenuhi oleh pemegang IUPHHK, termasuk PSDP, pajak dan lain-lain, disamping itu SDM yang dimiliki oleh perusahaan juga terbatas baik secara kuantitas maupun kualitas dan adanya faktor-faktor alam yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman baik iklim maupun tanah. Secara garis besar pelaksanaan sistem silvikultur TPTI di 2 lokasi penelitian sesuai dengan pedoman pelaksanaan TPTI menurut aturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.09/VI-BHPA/2009, walaupun ada beberapa tahapan yang dilakukan tidak maksimal.

3. Pelaksanaan sistem silvikultur TPTI yang sesuai dengan peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.09/VI-BHPA/2009 menunjukkan kelayakan teknis pelaksanaan Sistem Silvikultur TPTI.

B. Saran

1. Pelaksanaan Sistem Silvikultur TPTI secara teknis layak apabila dilaksanakan sesuai dengan peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.09/VI-BHPA/2009 .

2. Perlu monitoring dan evaluasi secara berkala oleh instansi terkait pada tahapan pelaksanaan TPTI.

Page 47: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

46 – BP2LHK Manokwari

DAFTAR PUSTAKA

Daniel, T.W, J.A. Helms dan F.S Baker. 1992. Prinsip-prinsip Silvikultur (terjemahan). Gadjah

Mada University Press. Yogyakarta. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, 1990. Pedoman dan petunjuk Teknis Pelaksanaan

Sistem Silvikultur TPTI. Ditjen Pengusahaan Hutan. Departemen Kehutanan. Jakarta

Departemen Kehutanan, 1972. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomer 35/Kpts/DD/1/1972 tentang pedoman pelaksanaan TPTI. Jakarta.

Departemen Kehutanan, 1992. Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan Republik

Indonesia. Jakarta. Departemen Kehutanan, 2009. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor

: P.9/VI-BHPA/2009 tentang pedoman pelaksanaan TPTI. Jakarta Manan. S. Silvikultur Umum. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Page 48: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 47

KOPI KASUARI

“Upaya Konservasi Kasuari Melalui Komoditas Kopi di Papua Barat”

Oleh : Hadi Warsito

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari

Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Kopi merupakan salah satu hasil komoditi perkebunan yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi di antara tanaman perkebunan lainnya dan berperan penting sebagai sumber devisa negara. Papua merupakan salah satu wilayah yang memiliki potensi yang dapat meningkat dalam hal pengembangan kopi. Terdapat sebagian wilayah di Papua Barat yang telah menjadi daerah perkebunan kopi, komoditas kopi dari jenis Robusta sp., telah lama mereka tanam, namun hasil yang diperoleh belum memuaskan. Kendala yang dihadapi adalah penangganan/pemeliharaan tanaman hingga proses penjualan. Tujuan dari adanya produk kopi olahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan, diharapkan adanya pelibatan masyarakat sekitar hutan dalam memanfaatkan sumberdaya alam, adanya upaya konservasi jenis dan menjadi sentra kopi kasuari. Sehingga akan berdampak pada peningkatan sumber pendapatan dari tanaman kopi dan terbentuknya konservasi bagi kasuari.

Kata kunci : Komoditas, potesial, pelibatan masyarakat, kopi kasuari dan Papua Barat.

Page 49: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

48 – BP2LHK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kopi merupakan sejenis minuman yang berasal dari proses pengolahan biji tanaman kopi. Kopi digolongkan ke dalam famili Rubiaceae dengan genus Coffea. Secara umum kopi hanya memiliki dua spesies yaitu Coffea arabica dan Coffea robusta (Saputra 2008).

Tanaman kopi (Coffea spp.) merupakan komoditas ekspor unggulan yang dikembangkan di Indonesia karena mempunyai nilai ekonomis yang relatif tinggi di pasaran dunia (Mulato 2002). Permintaan kopi Indonesia dari waktu ke waktu terus meningkat karena seperti kopi Robusta mempunyai keunggulan bentuk yang cukup kuat serta kopi Arabika mempunyai karakteristik cita rasa (acidity, aroma, flavour) yang unik dan excellent (Anonim 2013).

Kopi merupakan salah satu hasil komoditi perkebunan yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi di antara tanaman perkebunan lainnya dan berperan penting sebagai sumber devisa negara. Kopi tidak hanya berperan penting sebagai sumber devisa melainkan juga merupakan sumber penghasilan bagi tidak kurang dari satu setengah juta jiwa petani kopi di Indonesia (Rahardjo 2012). Dalam hal perkopian di Indonesia , kopi rakyat memegang peranan yang penting, mengingat sebagian besar (93%) produksi kopi merupakan kopi rakyat (Anonim 2013). Namun demikian kondisi pengelolaan usaha tani pada kopi rakyat relatif masih kurang baik dibanding kondisi perkebunan besar Negara (PBN).

Papua merupakan salah satu wilayah yang memiliki potensi dalam hal pengembangan kopi yang dapat dilakukan peningkatan, namun data dan informasi yang pasti mengenai perkembangan tentang perkopian di daerah ini masih belum terdokumentasikan dengan jelas. Informasi yang terhimpun dari masyarakat sekitar daerah Anggi dan Myambow (salah satu wilayah pemekaran Manokwari), komoditas kopi dari jenis Robusta sp., telah lama mereka tanam, namun hasil yang diperoleh belum memuaskan (Hasan 2000). Kendala yang dihadapi adalah penangganan/pemeliharaan tanaman hingga proses penjualan.

Saat ini banyak produk kopi yang beredar di masyarakat merupakan varian-varian dari berbagai jenis kopi. Produk-produk unggulan yang beredar tentunya memiliki pangsa pasar tersendiri (Najiyati dan Danarti 2004). Produk kopi olahan pabrik banyak beredar dari mulai toko kelontong hingga di swalayan. Demikian pula kopi produk olahan rumah tangga dapat ditemukan tempat-tempat tersebut. Produk kopi yang beredar, sebagian besar merupakan hasil dari perkebunan kopi yang hanya diperuntukan mendapatkan keuntungan dari penjualan hasil kopi. Sebetulnya produk olahan kopi yang ada, dapat dikombain dengan melakukan terobosan yang kreatif, yaitu memadukan unsur komoditas unggulan (kopi) dengan unsur konservasi pada jenis satwa kasuari. Dimana pada akhirnya akan terbentuk produk olahan berupa kopi kasuari yang kemungkinan dapat menjadi tren bagi kopi jenis varian yang baru. Tujuan dari adanya produk kopi olahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan, diharapkan adanya pelibatan masyarakat sekitar hutan dalam memanfaatkan sumberdaya alam, adanya upaya konservasi jenis dan menjadi sentra kopi kasuari. Sehingga akan berdampak pada peningkatan sumber pendapatan dari tanaman kopi dan terbentuknya konservasi bagi kasuari. Dimana kasuari sebagai faktor produksi akan terlindungi dan kemungkinan dapat berkembangbiak guna menunjang produksi kopi olahan oleh masyarakat.

Page 50: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 49

B. Permasalahan

Dengan memiliki wilayah yang sangat luas, Papua Barat dapat dijadikan sentra produk kopi olahan yang cukup menjanjikan. Dimana, beberapa daerah telah mengupayakan kegiatan penananam kopi yang telah dilakukan sejak lama (sekitar tahun 90-an).

Beberapa daerah tersebut, sedikitnya telah menyumbang devisa dari sektor tanaman perkebunan yang ada di Papua Barat. Berdasarkan data yang dihimpun Dinas Perkebunan provinsi Papua Barat, beberapa lokasi perkebunan kopi yang menjadi andalan (Gambar 1.) terletak di 6 (enam) kabupaten dari 9 (sembilan kabupaten yang ada di Papua Barat. Demikian pula dengan luasan (ha) sebagai tempat perkebunan (Tabel 1.), yang memungkinkan hasil kopi yang cukup melimpah. Namun permasalahan timbul, sebagai akibat dari kurangnya pengetahuan akan penanganan tanaman kopi (pemeliharaan hingga pasca panen) yang terjadi dilapangan, yang berdampak pada masih dirasakan kurang dalam produksinya (Tabel 1.). Secara ekonomis pertumbuhan dan produksi tanaman kopi sangat tergantung pada atau dipengaruhi oleh keadaan iklim dan tanah. Kebutuhan pokok lainnya yang tak dapat diabaikan adalah mencari bibit unggul yang produksinya tinggi dan tahan terhadap hama dan penyakit. Setelah persyaratan tersebut dapat dipenuhi, suatu hal yang juga penting adalah pemeliharaan, seperti: pemupukan, pemangkasan, pohon peneduh, dan pemberantasan hama dan penyakit.

Pada kabupaten Manokwari (Tabel 1.) yang memiliki luasan lebih dari 300 ha tidak kurang hanya dapat memproduksi 93 ton per tahun, sementara bila dibandingkan kabupaten Bintuni yang hanya memiliki luas 4 ha, namun dapat memproduksi sebanyak 3 ton per tahun. Hal ini kemungkinan sebagai akibat dari kurangnya pengetahuan akan penanganan tanaman kopi (pemeliharaan hingga pasca panen), yang berdampak pada rendahnya produksi kopi di perkebunan tersebut.

Sumber;papuabaratprov.go.id/perkebunan

Gambar 1. Lokasi Perkebunan Kopi

Page 51: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

50 – BP2LHK Manokwari

Tabel 1. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Rakyat Tanaman Kopi Menurut Kabupaten / Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2003 – 2007

Kabupaten / Kota Luas Areal (ha) Produksi (ton)

1. Kab. Fakfak 42 7

2. Kab. Kaimana 110 65

3. Kab. Teluk Wondama 54 6

4. Kab. Teluk Bintuni 4 3

5. Kab. Manokwari 317 93

6. Kab. Sorong Selatan 102 70

7. Kab. Sorong 79 24

8. Kab. Raja Ampat – –

9. Kota Sorong – – Sumber: www.papuabaratprov.go.id/perkebunan

Terkadang masyarakat sekitar kawasan hutan dalam memanfaatkan sumberdaya alam disekitarnya masih rendah. Hal ini ditandai masih banyaknya masyarakat yang hanya mengambil hasil dialam tanpa harus memikirkan bagaimana pengolahan ataw melalui tahapan dalam mendapatkan hasil. Permasalahan akan timbul bila sumberdaya alam tersebut telah menipis atau berkurang, sehingga upaya dalam mencari alaternatif lain baru dilakukan.

Page 52: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 51

II. METODOLOGI PENELITIAN

A. PENGEMBANGAN KOMODITAS

1. Produk olahan

Kopi kasuari adalah seduhan kopi menggunakan biji kopi yang diambil dari sisa kotoran kasuari. Kopi tersebut merupakan salah satu alternatif dalam pengembangan komoditas (varian) kopi yang ada di Papua Barat. Terinspirasi dari adanya kopi luwak yang telah beredar, varian kopi kasuari ini dapat dijadikan komoditas andalan di daerah Papua Barat, selain guna mendukung adanya konservasi jenis dari kasuari itu sendiri.

Kasuari adalah salah satu dari jenis kelompok hewan burung yang banyak dijumpai di daerah Papua Barat. Buah-buahan maupun biji-bijan merupakan pakan alami bagi jenis hewani. Biji atau buah kopi merupakan salah satu jenis pakan yang dapat diberikan pada kasuari. Kasuari akan memilih buah kopi yang betul-betul masak (berwarna merah) untuk dimakanannya, karena kasuari memiliki kecenderungan tertarik dengan sesuatu yang berwarna mencolok. Dan selanjutnya, biji kopi yang dilindungi kulit keras dan tidak tercerna akan keluar bersama kotoran kasuari. Di dalam perut/lambung kasuari, sebelum menjadi kopi kasuari, terjadi fermentasi selama kurang lebih 6-8 jam (Warsito 2012).

Dalam sehari, seekor kasuari yang berumur kurang dari 6 (enam) bulan dapat menghabiskan sedikitnya 3 (tiga) kilogram buah pakan (Warsito 2012). Sedangkan untuk menghasilkan kopi kasuari, diperlukan perlakuan untuk mencampur/kombain antara buah kopi dengan buah pakan (pisang, pepaya dan beberapa jenis lainnya). Hal ini disebabkan buah kopi yang kecil agak merepotkan bagi kasuari untuk mengambilnya (memanggut).

Kopi kasuari merupakan salah satu upaya meningkatkan nilai tambah komoditas kopi, di samping komoditas kopi biasa seperti kopi reguler Arabika (Java coffee) dan kopi reguler Robusta, dan yang membedakan kopi kasuari dengan biji kopi biasa adalah dimakan oleh kasuari (sejenis burung) dan di keluarkan dalam bentuk biji kopi. Sehingga varian dari jenis ini dapat menjadi kopi khas/ trademark bagi Papua Barat

B. Bauran Pemasaran

1) Produk Produk utama yang dihasilkan kopi yaitu kopi bubuk, dari kopi bubuk ini dapat dibuat macam-macam kopi olahan, seperti kopi instan yang telah banyak dibuat baik skala kecil (rumah tangga) atau oleh skala menengah maupun besar.

2) Harga Harga kopi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga kopi internasional dan nilai tukar rupiah terhadap AS. Saat Indonesia dilanda krisis ekonomi dimana melalui tukar rupiah melemah terhadap dolar AS., menyebabkan harga kopi domestik melambung tinggi walaupun harga kopi Internasional merosot tajam.

3) Tempat Tempat yang menjadi tujuan ekspor kopi Indonesia adalah AS, Jerman dan Jepang. Daerah penghasil kopi terbesar di Indonesia adalah Lampung, Sumatra Utara, dan tidak menutup kemungkinan Papua sebagai sentra penghasil kopi.

4) Promosi/iklan Saat ini kopi produksi Indonesia menguasai 20% pasar Eropa, tetapi masyarakat di Eropa selama ini belum banyak yang mengetahui kopi yang dikonsumsi adalah produksi Indonesia karena kurangnya promosi. Mestinya pemerintah dan swasta lebih

Page 53: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

52 – BP2LHK Manokwari

giat melakukan promosi, sehingga penetrasi pasar lebih mudah, seperti yang dilakukan pemerintah dan kalangan swasta produsen kopi dunia lainnya.

5) Kualitas (rasa) Atribut kualitas kopi adalah cita rasa dan aromanya. Para konsumen dapat menilai apakah produk dari kopi itu bagus atau tidak, dapat dirasakan dari aromanya, kopi yang kualitasnya baik, aromanya wangi, dan mempunyai cita rasa yang khas.

C. Perencanaan dan konsep dalam SWOT

Pengembangan komoditas dalam pemasaran perlu dilakukan perencanaan dalam konsepnya, hal ini dapat dengan melakukan pendekatan Analisis SWOT (Rahardjo 2012);

1) Strengths Beberapa faktor yang menjadi KEKUATAN bagi pengembangan agribisnis kopi adalah:

a. Ketersediaan lahan yang didukung oleh keunggulan komparatif kondisi agroekologi b. Sifat unggul buah Kopi untuk pasar regional dan nasional c. Ketersediaan SDM dan masyarakat untuk mendukung hutan-rakyat Kopi yang

unggul d. Sarana /prasarana dan kelembagaan penunjang yang komitmennya tinggi terhadap

perhutanan Kopi dan industri pengolahannya e. Potensi pasar yang sangat besar.

2) Weaknesses Beberapa KELEMAHAN yang menonjol adalah:

a. Kesenjangan hasil-hasil penelitian dengan aplikasi secara komersial b. Posisi “lembaga pemasaran” sangat dominan c. Belum terbentuknya keterkaitan-kemitraan yang adil antar pelaku (cluster) kebun-

rakyat Kopi & sistem distribusi Kopi d. Produk yang dipasarkan masih terbatas pada buah segar. e. Tingginya komponen biaya transportasi dalam struktur biaya produksi

3) Opportunities Beberapa PELUANG yang dapat diidentifikasi adalah:

a. Pasar domestik (lokal, regional dan nasional) sangat terbuka b. Diversifikasi produk-produk olahan Kopi sangat potensial c. Kebutuhan pengembangan keterkaitan antara cluster produksi dan cluster distribusi

dalam kelembagaan KIMBUN Kopi terpadu d. Kebutuhan Pemberdayaan sistem kelembagaan produksi

4) Threats Ancaman yang dianggap serius adalah:

a. Hambatan-hambatan sistem distribusi /perdagangan buah Kopi b. Persaingan dengan produk impor buah Kopi c. Persaingan dengan komoditi lain dalam penggunaan lahan d. Hambatan-hambatan sistem industri pengolahan Kopi

Page 54: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 53

III. PEMBAHASAN

A. UPAYA KONSERVASI

Konservasi yang dimaksud adalah upaya penyelamatan kasuari dari perburuan oleh masyarakat sekitar hutan. Upaya konservasi dapat dilakukan baik secara langsung maupun tak langsung. Beberapa pendekatan yang mungkin dapat dilakukan kepada masyarakat sekitar hutan adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan kolaboratif Ketidakberhasilan program konservasi sering diakibatkan oleh tidak adanya peran serta

yang baik dari masyarakat. Padahal masyarakat, terutama yang berada disekitar kawasan hutan dapat diberdayakan sebagai unsur strategis dari pengelolaan konservasi. Pada masa yang lalu, pengelolaan konservasi sering sangat eksklusif dimana hanya Pemerintah yang bergerak melakukan ini. Masyarakat justru sering dianggap sebagai faktor yang dapat menghambat konservasi. Paradigma konservasi ke depan harus dirubah untuk memasukkan masyarakat sebagai unsur penting dalam pengelolaan konservasi. Kendala utama dalam masyarakat adalah rendahnya tingkat sosial ekonomi yang berimplikasi pada rendahnya pendidikan (Nandika 2005). Hal tersebut yang pertama-tama harus diatasi agar masyarakat dapat berperan secara lebih besar. Pola pendekatan atau konsep pengelolaan kolaboratif (Colaborative Management), perlu diimplementasikan dan mewarnai kebijakan konservasi species (Indrawan et al. 2007). Pendekatan yang dilakukan secara bersama-sama dalam menjaga dan melindungi kawasan konservasi.

2. Pendekatan sosial ekonomi Pendekatan yang dapat dilakukan secara berkelanjutan, misalnya adanya pemberian

bantuan ternak (ayam, kambing, babi dan lain-lain) bagi masyarakat lokal sekitar atau didalam kawasan konservasi sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap satwa liar dalam pemenuhan protein hewani (Warsito 2013). Selain itu, adanya pelatihan atau bimbingan pengetahuan dalam memanfaatkan sumber daya hutan, seperti: bimbingan masyarakat dalam penanaman tanaman obat atau empon-empon (sebagai bahan dasar pembuatan jamu), budidaya jamur ataw melibatkan masyarakat dalam pengolah kopi kasuari sebagai alternatif dalam menambah perkeonomian mereka. Sehingga masyarakat diajak lebih banyak melakukan kegiatan pemeliharaan dan perlindungan selain memanfaat sumber daya hutan yang ada disekitarnya.

Page 55: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

54 – BP2LHK Manokwari

IV. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Tanaman kopi merupakan komoditi ekspor yang cukup mempunyai nilai ekonomis yang relative tinggi di pasaran dunia, Namun kurangnya pengetahuan dalam pengelolaan kopi yang berdampak pada masih rendahnya produksi kopi di Papua Barat. Adanya varian baru berupa kopi kasuari, merupakan terobosan baru dari produk kopi di daerah ini. Terobosan ini, setidaknya dapat mengkonservasi jenis satwa (kasuari), dimana kasuari sebagai faktor produksi dari produk kopi yang dihasilkan.

B. Saran

Upaya konservasi kasuari dapat dilakukan dengan memadukan usaha perkebunan kopi dengan pemeliharaan kasuari oleh masyarakat sekitar hutan. Tentunya bantuan dan difasilitasi oleh pemerintah daerah, yang selanjutnya akan berdampak pada peningkatan perekonomian masyarakat dan adanya produk kopi olahan baru yang akan dihasilkan.

Page 56: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 55

DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2011. Petani dan Usahatani. http://www.ekonomirakyat. (Diases pada tangga 9

Agustus 2015). Hasan I, 2000. Analisis Produksi Kopi di desa Mbenti Kecamatan Minyambow Kabupaten

Manokwari. Program Studi Agrobisnis . Fakultas Pertanian, Universitas Cenderawasih .Manokwari

Indrawan, M., R.B. Primack. & J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan Obor

Indonesia. 2007. Mulato, Sri. 2002. Simposium Ksopi 2002 dengan tema Mewujudkan perkopian Nasional

Yang Tangguh melalui Diversifikasi Usaha Berwawasan Lingkungan dalam Pengembangan Industri Kopi Bubuk Skala Kecil Untuk Meningkatkan Nilai Tambah Usaha Tani Kopi Rakyat. Denpasar : 16 – 17 Oktober 2002. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia

Nandika D. 2005. Hutan Bagi Ketahanan Nasional. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Potensi Kopi di Papua Barat 2007. www.papuabarat.go.id/perkebunan. Diakses 16

September 2015. Rahardjo, Pudji. 2012. Panduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika dan Robusta.

Penebar Swadaya. Jakarta Sri Najiyati dan Danarti. 2004 . Budidaya Tanaman Kopi dan Penanganan Pasca Panen.

Penebar Swadaya. Jakarta Saputra, D. 2008. Kopi. Yogyakarta. Haomin. Warsito. 2011. Pendekatan pemanfaatan Sumberdaya Hutan di Kawasan Hutan Konservasi.

Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Warsito, H. dan Bismarck 2012. Komposisi dan Preferensi Pakan Burung Kasuari Gelambir

Ganda Di Penangkaran. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 9 No 1. 2012.

Page 57: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

56 – BP2LHK Manokwari

Page 58: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 57

PENUNJUKAN TEGAKAN BENIH TERIDENTIFIKASI (TBT)

DI SIMEI-WASIOR DAN AROBA-BABO

Oleh : Pudja Mardi Utomo

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari

Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Papua memiliki tutupan hutan terluas di Indonesia, sekitar ±35% total wilayah hutan Indonesia, dan wilayah hutannya termasuk dalam Paparan Sahul. Hutan Papua termasuk dengan diversitas tinggi karena 5% keragaman dunia bisa ditemukan di hutan ini. Dari keragaman tersebut terdapat beberapa jenis kayu unggulan yang memiliki nilai ekonomis tinggi yaitu merbau (Instia sp) dan matoa (Pometia sp) serta jenis-jenis lain pada areal demplot yang sama. Mengantisipasi kebutuhan akan jenis tersebut, BPK Manokwari merencanakan untuk mengkonservasi serta memuliakan jenis-jenis tersebut dengan membangun demplot sumber benih di beberapa lokasi. Pembangunan demplot ini selain bertujuan untuk memelihara keberadaan jenis-jenis dimaksud juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas benih serta kayu yang dihasilkan sehingga bias berkontribusi banyak dalam peningkatan kualitas hasil hutan kayu dari jenis tersebut secara ekonomi dalam waktu yang relatif singkat. Hasil yang dicapai pada tahun 2014 mencakup pembangunan demplot (penunjukan TBT) jenis merbau dan matoa di Kabupaten Teluk Bintuni (Aroba-Babo) dan Kabupaten Teluk Wondama (Simei). Pada tahun tersebut juga telah dilakukan penunjukan TBT di Terasai jenis dao (Dracontomelon sp), Aroba Babo dan Simei-Wasior jenis bintanggur (Callophylum sp) dan jenis kayu cina (Podocarpus sp) di Simei-Wasior Kabupaten Teluk Wondama. Berdasarkan penilaian, semua lokasi penunjukan di atas layak untuk disertifikasi sebagai TBT. Selanjutnya, diperlukan kerja sama dari pihak Balai Penelitian Kehutanan Manokwari dengan pihak pengelola hutan dalam bentuk MOU agar kejelasan tegakan benih yang ada di areal konsesi dapat dilakukan pemeliharaan dan evaluasi secara berkala.

Kata Kunci: merbau, matoa ,bintanggur, podocarpus, dao, benih, Aroba Babo, Simei Wasior

Page 59: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

58 – BP2LHK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Papua sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia juga dikenal dengan luas tutupan hutannya. Namun demikian seiring dengan pertumbuhan ekonomi, spesies tumbuhan penyusun hutan mengalami ancaman kepunahan. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah dan institusi lain yang berkepentingan telah berupaya menciptakan kebun koleksi dan konservasi, sayangnya sebagian besar kegiatan ini dilakukan dalam bentuk eksitu di luar wilayah Papua, sedangkan untuk di Papua sendiri belum ada yang dianggap cukup memadai terutama untuk pengadaan benih.

Kementerian kehutanan untuk menyukseskan program OBITnya (One billion Indonesian Trees) telah menjadikan Ditjen DASPS/ BPDAS untuk menjadi ujung tombak pelaksanaan kegiatan tersebut. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan secara umum dan Balai Penelitian kehutanan (BPK) Manokwari secara khusus berkewajiban menyediakan bantuan iptek untuk kegiatan tersebut.

Khusus untuk Tanah Papua (Papua dan Papua Barat), hingga saat ini, dalam pengadaan benih yang bermutu BPDAS seringkali mengalami kesulitan terutama dalam pengadaan benih karena kurang atau tidak adanya sumber benih yang bisa digunakan, terutama untuk jenis-jenis lokal. Untuk membantu permasalahan ini, BPK Manokwari melalui program pembangunan sumber benih di beberapa lokasi di Tanah Papua dapat membantu dalam memenuhi kebutuhan tersebut.

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah tersedianya demplot sumber benih merbau dan matoa serta jenis unggulan lain dengan klasifikasi TBT di beberapa lokasi Papua Barat.

Page 60: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 59

II. METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Dalam pembangunannya, Demplot sumber benih ini dibangun dengan cara survey, inventarisasi materi genetik dan ploting area pembangunan sumber benih pada tegakan alam. Data pohon benih yang berhasil dikumpulkan diukur dan dianalisis selain dipetakan posisinya.

B. Penunjukan TBT

Pemilihan lokasi pembangunan tegakan menitik beratkan pada kesediaan jenis tujuan (Merbau dan Matoa) pada suatu lokasi serta kemudahan akses untuk mengambil sumber benih setelah ditetapkan. Berdasarkan rencana tahun 2014, pembangunan TBT diprioritaskan dibangun pada lokasi kabupaten Simei-Wasior Teluk Wondama (merbau dan Matoa), dan Karang-Bongo Kabupaten Sarmi jenis merbau dan matoa dengan luasan tegakan 100 ha dengan mungupgrade kualitas tegakan yang ada. Adapun persyaratan umumTegakan Benih Teridentifikasi (TBT), yaitu sumber benih dengan kualitas tegakan rata-rata, yang ditunjuk dari hutan alam atau hutan tanaman dan lokasinya teridentifikasi dengan tepat, yaitu Assesibilitas, Pembungaan, Keamanan, Kesehatan, Batas Areal dan Terkelola dengan Baik. Sedangkan persyaratan khusus TBT adalah Asal tegakan berasal dari hutan alam atau hutan tanaman atau tegakan berasal dari hutan tanaman yang tidak direncanakan dari awal untuk dijadikan sebagai sumber benih, Asal-usul benihnya tidak diketahui, Jumlah pohon minimal 25 pohon induk dan diusahakan memiliki jarak pohon yang tetap {pohon benih|50m≤pohon benih≤100m}., Kualitas tegakan rata-rata, Jalur isolasi tidak diperlukan, Penjarangan tidak dilakukan, Lihat ilustrasi pada gambar 1.

Gambar 1. Ilustrasi Penunjukan Tegakan Benih Teridentifikasi

C. Bahan dan Peralatan

Adapun peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah: GPS, Tallysheet, Skoring untuk jenis dan Software Arcview atau ArcGIS.

D. Analisis Data

Data sebaran jenis yang berhasil dikumpulkan dianalisis menggunakan program GIS untuk mengetahui pola distribusi dan sebaran tiap jenis di kandidat lokasi TBT, APB. Selain itu data skoring yang digunakan untuk memilih kandidat pohon benih dan dikalkulasi untuk menghitung nilai minimal pemilihan pohon benih.

TEGAKAN BENIH TERIDENTIFIKASI

HUTAN ALAM ATAU HUTANTANAMAN

IDENTIFIKASI DAN DESKRIPSI TEGAKAN

BENIH UNTUKPROGRAM PENANAMAN

TEGAKAN BENIH TERIDENTIFIKASI

DITE RIMA SE BAGAI S UMBER BENIHKARENA

AKSES SIBILITAS MUDAH

KUALITAS TEGAKAN RATA-RATA

Page 61: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

60 – BP2LHK Manokwari

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Simei-Wasior, Kabupaten Teluk Wondama

Areal IUPHHK pada hutan alam PT. Wijaya Sentosa termasuk ke dalam kelompok hutan S. Kuri – S. Teluk Umar.Berdasarkan wilayah administrasi areal IUPHHK sebagian besar berada di Distrik Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat. Berdasarkan letak geografisnya lokasi areal IUPHHK berada pada 134° 16' -134011' BT dan 3° 35' - 3° 11'LS.

Berdasarkan penutupan lahan, areal PT. Wijaya Sentosa, sebagian besar areal kerja PT. Wijaya Sentosa merupakan areal bekas tebangan yaitu seluas 67.301 ha (51,47 %). Dan sisanya merupakan hutan primer dan non hutan yang relatif sangat sedikit. Secara rinci penutupan areal kerja disajikan pada tabel berikut.

Areal IUPHHK PT. Wijaya Sentosa memiliki tingkat aksesibilitas yang cukup baik. Untuk menjangkau wilayah areal kerja dari Manokwari ditempuh dengan angkutan udara ke Wasior selama 50 menit dengan frekuensi penerbangan tiga kali seminggu, atau dengan angkutan laut ke Wasior atau Windesi yang ditempuh selama 7-14 jam dari Manokwari dengan frekuensi pelayaran 3 kali seminggu. Dari Windesi ke base camp / Log pond Simei ditempuh dengan dengan kapal kecil atau speed boat selama 1 – 2 jam.

Areal IUPHHK PT. Wijaya Sentosa termasuk dalam Daerah Aliran Sungai Jawarane. Di bagian barat terdapat wilayah Sub Das Muturi pada daerah aliran S. Wanimbar, di bagian tengah pada daerah aliran S. Awii – S. Jawarone – S. Kuri Nabi termasuk dalam wilayah Sub DAS Aramasa, dan di bagian timur pada daerah aliran S. Wosimi masuk dalam wilayah Sub Muru.

Penunjukan calon tegakan sumber benih merbau, matoa dan bintangur/nyamplung di Simei-Wasior ditetapkan di perbatasan antara Areal Sumber Daya Genetik (ASDG) dan buffer hutan lindung yang luasannya ± 100 ha.

Merbau Dari hasil pengamatan dan eksplorasi di Simei-Wasior diperoleh 151 kandidat pohon

sumber benih. Hasil pengamatan dan setelah dipetakan, bahwa penyebaran calon pohon induk untuk jenis merbau (Instia sp) pada demplot yang dibangun menyebar cukup merata kecuali pada bagian Tenggara dan Barat daya. Berdasarkan penilaian karakter pohon induk, pada demplot ini memiliki nilai tegakan pohon plus 87,50. Hasil analisis dengan program GIS pola sebar jenis merbau di Simei-Wasior dapat dilihat pada Gambar 2.

Matoa Untuk jenis matoa (Pometia sp.) di Simei-Wasior juga memiliki pola penyebaran yang

mirip dengan merbau, yaitu menyebar cukup merata kecuali pada bagian tengah Timur Laut. Berdasarkan letak, antar calon pohon induk memiliki jarak yang cukup baik sama halnya dengan merbau. Hasil pengamatan dan eksplorasi di Simei-Wasior diperoleh 290 kandidat pohon sumber benih. Berdasarkan penilaian karakter pohon induk matoa, pada demplot ini memiliki nilai tegakan pohon plus 85,96. Hasil analisis dengan program GIS pola sebar jenis merbau dan di Simei-Wasior dapat dilihat pada Gambar 3.

Page 62: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 61

Gambar 2. Peta Sebaran Calon Pohon Induk Merbau di Simei-Wasior, Kabupaten Teluk

Wondama.

Gambar 3. Peta Sebaran Calon Pohon Induk Matoa di Simei-Wasior, Kabupaten Teluk

Wondama.

Bintanggur/Nyamplung Selain kedua jenis di atas juga dilakukan eksplorasi dan pengamatan jenis lain, yaitu

jenis bintanggur atau nyamplung (Calophyllum sp). Nyamplung merupakan salah satu jenis biji yang dapat dimanfatkan sebagai bahan baku minyak disel. Walaupun hanya diperoleh 56 calon pohon induk, jenis ini memiliki profil calon pohon induk plus dengan nilai karakter calon pohon induk plus 84,93. Hasil analisis dengan program GIS pola sebar jenis merbau di Simei-Wasior dapat dilihat pada Gambar 4

Page 63: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

62 – BP2LHK Manokwari

Gambar 4. Peta Sebaran Calon Pohon Induk Bintanggur di Simei-Wasior, Kabupaten Teluk

Wondama

Bintanggur atau nyamplung merupakan salah satu jenis potensial untuk dikembangkan menjadi sumber penghasil biji pengasil minyak biodiesel. Berdasarkan pola sebar pohon induk nyamplung tidak tersebar merata seperti merbau atau matoa.

2. Babo, Kabupaten Teluk Bintuni.

Areal kerja IUPHHK-HA PT. TBMAK terletak dikelompok hutan Sungai Jarua, Kaitero dan Sekua. Berdasarkan geografis terletak pada koordinat 133º21´ s/d 134º52 BT dan 02º39´ s/d 03º08´19” LS.

Berdasarkan wilayah Administrasi Pemerintahan, termasuk ke dalam wilayah kerja Distrik Keitaro, Aroba dan Fafurwar, Kamimana dan Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat, sedangkan berdasarkan administrasi kehutanan masuk dalam wilayah kerja Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kaimana, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat.

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, areal PT. TBMAK mempunyai tipe iklim A dengan nilai Q = 10 % (tanpa bulan kering). Data curah hujan selama 2 tahun (2008-2009) hasil pengukuran oleh PT. TBMAK, yaitu curah hujan bulanan berkisar antara 230,5 mm sampai 315 mm, hari hujan bulanan berkisar antara 8 hari sampai 17 hari dan curah hujan tahunan mencapai 3.260 mm/th.

Jenis Tanah Komplek Latosol-Podsolik Merah Kuning di wilayah ini merupakan jenis tanah yang berkembang lanjut dan mengalami pencucian yang lebih lanjut, serta memliliki horizon argilik. Umumnya jenis tanah ini bersifat masam (pH 4,0 – 5,0) dan kejenuhan basa serta mineral terlapukan yang rendah, kedalaman solum sedang, tekstur lempung berpasir sampai liat, tingkat kesuburan rendah sampai sedang. Secara kimia, jenis tanah ini memiliki kesuburan rendah.

Jenis tanah regosol di wilayah ini merupakan jenis tanah yang berkembang lanjut. Umumnya jenis tanah ini mempunyai tekstur berpasir, pasir lempung dan mempunyai tingkat kesuburan yang rendah.

Jenis tanah Aluvial di wilayah ini merupakan jenis tanah yang baru berkembang. Bahan penyusun tanah ini berupa bahan lepas, tanpa atau dengan perkembangan tanah

Page 64: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 63

yang sangat lemah dan kemampuan menahan air yang rendah. Umumnya tanah ini terbentuk dari proses deposisi bahan dari bahan lainnya yang tererosi dan tersedimentasi di areal yang berlereng datar. Jenis tanah ini tergolong subur, dengan solum yang tergolong dalam, kandungan hara sedang sampai tinggi, tekstur lempung berpasir, pH tergolong agak masam sampai netral dan kurang peka terhadap erosi.

Penunjukan calon tegakan sumber benih merbau dan matoa di Babo ditetapkan di areal ASDG Petak 44 D areal IUPHHK PT Teluk Bintuni Mina Agro karya masing-masing seluas 100 ha dengan lebar jalur penyangga mengelilingi demplot.

Merbau Jenis merbau diperoleh 90 kandidat pohon sumber benih. Hasil pengamatandan

eksplorasi serta setelah dipetakan letak penyebaran calon pohon induk untuk jenis merbau (Instia sp), bahwa pohon induk pada demplot yang dibangun menyebar cukup merata kecuali pada bagian tenggara. Berdasarkan penilaian karakter pohon induk, pada demplot ini memiliki nilai tegakan pohon plus 84,04. Hasil analisis dengan program GIS pola sebar jenis merbau di Aroba-Babo dapat dilihat pada Gambar 5. Kandidat area ini setelah dilakukan dilineasi diketahui memiliki luas ± 100ha.

Gambar 5. Peta Sebaran Calon Pohon Induk Merbau di Babo, Kabupaten Teluk Bintuni. Matoa Untuk jenis matoa (Pometia sp) di Babo juga memiliki pola penyebaran yang mirip

dengan merbau, yaitu menyebar merata dan pada beberapa tempat berkelompok dalam kandidat areal kebun benih. Berdasarkan letak, antar calon pohon induk memiliki jarak yang cukup baik sama halnya dengan merbau. Hasil pengamatan dan eksplorasi di Bonggo diperoleh 128 kandidat pohon sumber benih. Berdasarkan penilaian karakter pohon induk, pada demplot ini memiliki nilai tegakan pohon plus 74,45. Hasil analisis dengan program GIS pola sebar jenis merbau di Babo dapat dilihat pada Gambar 6. Setelah dilakukan dilineasi diketahui kandidat area ini memiliki luas ± 100 ha.

Page 65: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

64 – BP2LHK Manokwari

Gambar 6. Peta Sebaran Calon Pohon Induk Matoa di Babo, Kabupaten Teluk Bintuni.

Bintanggur atau Nyamplung Selain merbau dan matoa juga dilakukan eksplorasi dan pengamatan jenis lain, yaitu

jenis nyamplung (Calophyllum sp) kayu cina (Podocarpus sp). kayu cina merupakan salah satu jenis kayu kelompok kayu mewah, sedang nyamplung penghasil minyak disel yang sedang dikembangkan. Walaupun hanya diperoleh 23 dan 56 calon pohon induk, jenis ini memiliki profil calon pohon induk plus dengan nilai karakter calon pohon induk plus cukup baik yaitu 73,22 dan 72,79. Hasil analisis dengan program GIS pola sebar jenis merbau di Babo dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8.

Hasil penilaian secara lengkap calon pohon induk bintanggur atau nyamplung di Babo, Kabupaten Teluk Bintuni disajikan pada Tabel 12.

Gambar 7. Peta Sebaran Calon Pohon Induk Bintanggur/Nyamplung di Babo, Kabupaten

Teluk Bintuni.

Page 66: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 65

Kayu Cina

Gambar 8. Peta Sebaran Calon Pohon Induk Kayu Cina di Babo, Kabupaten Teluk Bintuni

Asosiasi Kondisi vegetasi hutan di Simei-Wasior termasuk tipe hutan hujan tropika dengan di

dominasi jenis merbau (Intsia spp.), Matoa (Pometia spp.), pulai (Alstonia spp.), ketapang (Terminalia spp.), resak (Vatica rassak) dan vegetasi lainnya antara lain: rotan, bambu, semak dan sagu. Demikian juga kondisi vegetasi hutan di Babo termasuk tipe hutan hujan tropika dan sebagian mangrove, merbau dan matoa berasosiasi dengan Alstonia spp.,Suzygium sp, Myristica sp, Terminalia spp., Vatica sp dan vegetasi lainnya antara lain: rotan, bambu, semak dan sagu.

B. Pembahasan

Hasil pengamatan dan perngukuran dari 151 kandidat pohon pohon induk sumber benih jenis merbau (Instia spp) di Simei-Wasior dan Babo, menyebar cukup merata. Diameter setinggi dada (D1.3) berkisar antara 34 cm – 149 cm (rata-rata 76,35 cm) dan tinggi batang bebas cabang (TBBC) 12 m – 26 m (rata-rata 18,79 m). Sedangkan di Babo memiliki diameter rata-rata 69,96 cm (34 cm – 142 cm) dan Tinggi batang bebas cabang (TBBC) rata-rata 20, 64 m (10 m – 27 m).

Berdasarkan penilaian karakter pohon induk jenis merbau, pada demplot Simei-Wasior memiliki nilai tegakan pohon plus 87,50 dan di Babo memiliki nilai karakter calon pohon induk plus yang baik juga, yaitu 84,04. Berdasarkan penilaian karakter calon pohon induk dan luas tegakan kandidat area sumber benih Simei-Wasior memiliki luas ± 100 ha dan di Babo dengan luas 100 ha bisa dan layak dicalonkan sebagai kandidat TBT. Salah satu calon pohon induk benih merbau yang mempunyai karakter yang baik, seperti terlihat pada Gambar 9.

Page 67: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

66 – BP2LHK Manokwari

Gambar 9. Salah satu calon pohon induk benih merbau terpilih.

Untuk jenis matoa (Pometia sp) di Simei-Wasior dan Babo juga memiliki pola

penyebaran yang mirip dengan merbau, yaitu menyebar cukup merata. Berdasarkan letak, antar calon pohon induk memiliki jarak yang cukup baik. Hasil pengamatan dan eksplorasi di Simei-Wasior diperoleh 290 kandidat pohon sumber benih dan di Babo diperoleh 128 kandidat pohon sumber benih. Diameter setinggi dada (D1.3) berkisar antara 34 cm – 142 cm dan tinggi batang bebas cabang (TBBC) 10 m – 27 m. Sedangkan di Babo, diameter setinggi dada (D1.3) berkisar antara 23 cm – 83 cm dan tinggi batang bebas cabang (TBBC) 10 m – 22 m. Secara umum, tegakan matoa Simei-Wasior memiliki tampilan batang yang lebih baik dibanding di Babo.

Gambar 10. Tampilan calon pohon induk benih terpilih (a) matoa dan (b) bintanggur atau nyamplung.

Berdasarkan penilaian karakter pohon induk, pada demplot Simei-Wasior memiliki nilai

tegakan pohon plus 85,96, jauh lebih besar dibanding di Babo dengan nilai tegakan pohon plus 74,45. Setelah dilakukan dilineasi diketahui kandidat area baik Simei-Wasior maupun di Babo memiliki luas ± 100 ha dan layak dicalonkan sebagai kandidat TBT.

a b

Page 68: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 67

Selain kedua jenis di atas, Simei-Wasior dan Babo juga dilakukan eksplorasi dan pengamatan jenis lain, yaitu jenis bintanggur atau nyamplung (Callophylum sp). Jenis ini merupakan salah satu jenis kelompok penghasil biji yang bias digunakan bahan baku minyak disel (biodiesel). Walaupun hanya diperoleh 56 calon pohon induk, jenis ini di Simei-Wasior memiliki profil calon pohon induk dengan nilai karakter calon pohon induk plus yang baik yaitu 84,93, sedang di Babo memiliki nilai lebih kecil 73,22. Nilai yang lebih kecil dikarenakan diameter rata-rata hanya 37,48 cm disbanding di Simei-Wasior yang mencapai 66,57 cm. Berdasarkan peta persebaran, jenis ini memiliki jarak antar pohon induk yan cukup ideal dibanding jenis merbau dan matoa. Diameter setinggi dada (D1.3) di Simei-Wasior berkisar antara 34 cm – 117 cm dan tinggi batang bebas cabang (TBBC) 12 m – 26 m. Diameter setinggi dada (D1.3) bintanggur di Babo berkisar antara 21 cm – 67 cm dan tinggi batang bebas cabang (TBBC) 12 m – 20 m. Walaupun memiliki diameter rata-rata lebih kecil dibanding merbau dan matoa, bintanggur memliki keunggulan bentuk batang yang lurus dan tinggi bebas cabang rata-rata lebih baik, yaitu 18,88 m dibanding merbau,86 m. Setelah dilakukan dilineasi diketahui kandidat area ini memiliki luas ± 100 ha.

Untuk memperkaya kegiatan pembangunan demplot Babo juga dilakukan eksplorasi dan penilaian jenis kayu mewah lain yaitu kayu cina (Podocarpus sp). Jenis ini di lokasi diketemukan cukup banyak dan tersebar pada demplot. Jumlah pohon yang telah ditandai dan dinilai sebanyak 56 pohon. Diameter setinggi dada (D1.3) kayu cina di Babo berkisar antara 17 cm – 50 cm dan tinggi batang bebas cabang (TBBC) 11 m – 21 m. Jenis ini mempunyai kelebihan penampilan batang yang lurus dan silindris.

Page 69: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

68 – BP2LHK Manokwari

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Penunjukan TBT di Wasior

Pembuatan demplot sumber benih pada Areal Sumber Daya Genetik (ASDG) dan buffer hutan lindung IUPHHK PT Wijaya Sentosa yang luasannya ± 100 ha diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Telah dilakukan penunjukan tegakan benih merbau dan dipilih 152 pohon tegakan penyusun TBT di Simei-Wasior dengan hasil penilaian karakter calon pohon induk plus sebesar 87,50.

b. Telah dilakukan penunjukan tegakan benih matoa dan dipilih 290 pohon tegakan penyusun TBT di Simei-Wasior dengan hasil penilaian karakter calon pohon induk plus sebesar 85,96.

c. Telah dilakukan penunjukan tegakan benih bintanggur atau nyamplung dan dipilih 56 pohon tegakan penyusun TBT di Simei-Wasior dengan hasil penilaian karakter calon pohon induk plus sebesar 84,93.

2. Penunjukan TBT di Aroba-Babo

Pembuatan demplot sumber benih pada Areal Sumber Daya Genetik (ASDG) atau Petak Kerja 44 D IUPHHK PT Teluk Bintuni Mina Agro Karya (PT TBMAK) yang luasannya ± 100 ha diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Telah dilakukan penunjukan tegakan benih matoa dan dipilih 128 pohon tegakan penyusun TBT di Babo, dengan hasil penilaian karakter calon pohon induk plus sebesar 74,45.

b. Telah dilakukan penunjukan tegakan benih merbau dan dipilih 90 pohon tegakan penyusun TBT di Babo, dengan hasil penilaian karakter calon pohon induk plus sebesar 84,04.

c. Telah dilakukan penunjukan tegakan benih bintanggur atau nyamplung dan dipilih 23 pohon tegakan penyusun TBT di Babo, dengan hasil penilaian karakter calon pohon induk plus sebesar 73,22.

d. Telah dilakukan penunjukan tegakan benih kayu cina dan dipilih 56 pohon tegakan penyusun TBT di Babo, dengan hasil penilaian karakter calon pohon induk plus sebesar 72,79.

Rekomendasi Pada kedua lokasi penunjukan baik di Kabupaten Teluk Bintuni, Simei-Wasior Kabupaten Teluk Wondama dan di Aroba-Babo Kabupaten Teluk Bintuni di atas layak untuk disertifikasi sebagai TBT.

B. Saran

Perlu ada kerja sama dari pihak Balai Penelitian Kehutanan Manokwari dengan pihak pengelola hutan dalam bentuk MOU agar kejelasan tegakan benih yang ada di areal IUPHHK dapat dilakukan pemeliharaan dan evaluasi secara berkala.

Page 70: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 69

DAFTAR PUSTAKA Kementerian Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.1/Menhut-II/2009.

Jakarta. Lee, S. L., K. K.-S. Ng, L. G. Saw, A Norwati, M. H. S. Salwana, C. T. Lee & M. Norwati.

2002. Population Genetics of Intsia Palembanica (Leguminosae) and Genetic Conservation of Virgin Reserves in Penisular Malaysia,. American Journal of Botany 89: 447-459.

Mahfudz, S. Pudjiono, T. P. Pudja M. U, Batseba A. S. 2006. Merbau (Intsia spp) dan Upaya

konservasinya.Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogjakarta

Masripatin, M. 2004. Kata Pengantar. Dalam Mahfudz, S Pudjiono, A. Y. P. B. C.Widyatmoko dan T P Yudohartono. 2004. Merbau. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogjakarta.

Mukhtar, A. S., Masano, N Mindawati. 1993. Pembinaan dan Pelestarian Pohon Merbau

(Intsia spp) di Indonesia. Dalam Mahfudz, S Pudjiono, A. Y. P. B. C.Widyatmoko dan T P Yudohartono. 2004. Merbau. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.Yogjakarta.

Pramudityo, B. 2008.Pemapanan dan Evaluasi Uji Keturunan Merbau (Insia bijuga O Kuntze)

Sampai Umur 6 Bulan di Wanagama I Gunung Kidul DIY.Skripsi (In Press). Setiawan, R. 2008. Uji Provenans 12 Populasi Merbau (Intsia Bijuga) dan Evaluasi

Pertumbuhannya Selama 6 Bulan Di Wanagama I. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.Skripsi (In Press).

Soerianegara, I. & R. H. M. J. Lemmens. 1994. Plant Resources of South East Asia. Timber

Trees: Major Commercial Timbers 5 (1): 264-269. Bogor. Thaman, Randolph R., L. A. J.Thomson, R. DeMeo, F. Areki, and C. R. Elevitch. 1996. Intsia

Bijuga. http://www.agroforestry.net/tti/Intsia-vesi.pdf. Diakses tanggal 5 Januari 2007.

USDA. 2007. Intsia bijuga. http://www2.fpl.fs.fed.us/Techsheets/Chudnoff

/SEAsian_Oceanic/html Docs_seasian/Intsia bijuga.html. Diakses tanggal 5 Januari 2007.

Page 71: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

70 – BP2LHK Manokwari

Page 72: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 71

KEANEKARAGAMAN FLORA DAN KOEFISIEN KOMUNITAS PADA TIGA TAMAN WISATA ALAM DI PAPUA BARAT

Oleh : Krisma Lekitoo

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari

Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Papua Barat dengan luas hutan 9.377.855,06 ha, merupakan salah satu kawasan hutan hujan tropis di Indonesia yang memiliki keanekaragaman jenis flora dan fauna yang cukup beragam. Salah satu cara yang efektif bagi perlindungan keanekaragaman hayati adalah dengan cara penetapan habitatnya sebagai kawasan konservasi. Terdapat 28 kawasan konservasi di Papua Barat yang terdiri dari 16 cagar alam, 7 suaka margasatwa dan 5 taman wisata alam. Taman Wisata Alam Gunung Meja di Kabupaten Manokwari, Taman Wisata Alam Sorong di Kota Sorong dan Taman Wisata Alam Klamono di Kabupaten Sorong adalah 3 dari 5 taman wisata alam yang terdapat di Papua Barat. Ketiga TWA ini memiliki keanekaragaman jenis vegetasi yang mewakili hutan dataran rendah di kawasan kepala burung Papua Vogelkoop). Kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keanekaragaman jenis dan koefisien komunitas pada TWA Gunung Meja, TWA Sorong dan TWA Klamono. Hasil kajian menunjukan bahwa keanekaragaman jenis untuk semua tingkat pertumbuhan yaitu semai, pancang, tiang dan pohon pada TWA Gunung Meja, TWA Sorong dan TWA Klamono adalah tinggi. Berdasarkan nilai koefisien komunitas, diketahui bahwa pasangan TWA yang menunjukan kondisi sama atau serupa yaitu TWA Sorong vs TWA Klamono. Sedangkan pasangan yang menunjukan kondisi berbeda yaitu TWA Gunung Meja vs TWA Sorong serta TWA Gunung Meja vs TWA Klamono. Kata Kunci : TWA, Keanekaragaman

Page 73: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

72 – BP2LHK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Papua Barat dengan luas hutan 9.377.855,06 ha (Dirjen Planoogi, 2012) merupakan salah satu kawasan hutan hujan tropis di Indonesia yang memiliki keanekaragaman jenis flora dan fauna yang cukup beragam. Salah satu cara yang efektif bagi perlindungan keanekaragaman hayati adalah dengan cara penetapan habitatnya sebagai kawasan konservasi.

Luas kawasan konservasi di Papua Barat berdasarkan SK penunjukan kawasan hutan dan perairan oleh Dirjen Planalogi adalah seluas 2.675.946 ha. Terdapat 28 kawasan konservasi di Papua Barat yang tersebar di 10 kabupaten dan 1 kota. Kawasan konservasi tersebut terdiri dari 16 cagar alam (CA) seluas 2.010.866,770 ha, 7 suaka margasatwa (SM) seluas 194.317,728 ha dan 5 taman wisata alam (TWA) seluas 22.430,020 ha.

Dari 28 kawasan konservasi tersebut BBKSDA Papua Barat memprioritaskan 9 kawasan konservasi yang memiliki nilai konservasi yang tertinggi dengan akses yang paling mudah, dan tingkat kerawanan-gangguan paling rawan untuk dikelola secara optimal. Kesembilan kawasan konservasi prioritas tersebut antara lain TWA Gunung Meja, TWA Sorong, SM Jamursba Medi, CA Pegunungan Arfak, CA Teluk Bintuni, CA Waigeo Barat, CA Waigeo Timur, CA Pegunungan Wondiboy dan CA Pegunungan Fakfak.

TWA Gunung Meja di Kabupaten Manokwari, TWA Sorong di Kota Sorong dan TWA Klamono di Kabupaten Sorong adalah 3 dari 5 taman wisata alam yang terdapat di Papua Barat. Ketiga TWA ini selain memiliki keanekaragaman jenis vegetasi yang mewakili hutan dataran rendah di kawasan kepala burung Papua (Vogelkoop) juga memiliki akses yang sangat dekat dengan daerah perkotaan, sehingga rentan terhadap degradasi ekologi yang disebabkan oleh pemanfaatan yang berlebihan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan. Degradasi ekologi yang nampak dicirikan dengan penurunan fungsi hidrologis dan peningkatan luas kawasan degradasi. Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran keanekaragaman hayati, jenis-jenis dominan dan koefisien komunitas pada ketiga taman wisata alam tersebut sebagai dasar pengelolaan ketiga kawasan pelestarian alam tersebut.

Page 74: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 73

II. KEANEKARAGAMAN FLORA

Secara fisiognomi TWA Gunung Meja, TWA Sorong dan TWA Klamono merupakan hutan hujan tropis dataran rendah di Papua Barat. Kawasan hutan TWA Gunung Meja memiliki 253 jenis tumbuhan yang terdiri dari 153 genus dan tergolong dalam 55 famili. Famili yang dominan adalahMoraceae dengan jumlah total jenis untuk semua tingkat pertumbuhan adalah 29 jenis (Lekitoo, 2012). Pada tingkat semai terdapat 132 jenis, pancang 165 jenis, tiang 178 jenis dan pohon 153 jenis. Struktur populasi tersebut menunjukkan struktur yang tidak normal, ditunjukkan dari jumlah jenis vegetasi pada tingkat semai dan pancang yang lebih sedikit dari vegetasi tingkat tiang. Demikian pula keragaman famili pada tingkat tiang bernilai lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pohon. Famili yang dominan atau paling banyak ditemukan pada tingkat tiang adalah famili Meliaceae dengan 16 jenis vegetasi.

Gambar 1. Perbandingan Jumlah Jenis Vegetasi pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan di Taman Wisata Alam Gunung Meja

Kawasan hutan TWA Sorong terdiri dari 294 jenis tumbuhan yang terdiri dari 184 genus dan tergolong dalam 65 famili. Famili yang dominan adalah Euphorbiaceae dengan jumlah total jenis untuk semua tingkat pertumbuhan adalah 26 jenis (Lekitoo, 2014). Pada tingkat semai terdapat 194 jenis, pancang 197 jenis, tiang 162 jenis dan pohon 167 jenis. Struktur populasi tersebut menunjukkan struktur yang tidak normal, karena vegetasi pada tingkat semai dan tiang memiliki jumlah jenis lebih sedikit dari vegetasi tingkat pancang dan pohon.

Gambar 2. Perbandingan Jumlah Jenis Vegetasi pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan di Taman Wisata Alam Sorong

Kawasan hutan TWA Klamono terdiri dari 277 jenis tumbuhan yang terdiri dari 165 genus dan tergolong dalam 60 famili. Famili yang paling dominan adalah Euphorbiaceae dan Moraceae dengan jumlah total jenis untuk semua tingkat pertumbuhan adalah 24 jenis (Lekitoo, 2014). Pada tingkat semai terdapat 196 jenis, pancang 202 jenis, tiang 179 jenis dan pohon 171 jenis. Struktur populasi tersebut menunjukkan struktur yang tidak normal, ditunjukkan oleh jumlah vegetasi pada tingkat semai memiliki jumlah jenis lebih sedikit dari vegetasi tingkat pancang.

Page 75: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

74 – BP2LHK Manokwari

Gambar 3. Perbandingan Jumlah Jenis Vegetasi pada Berbagai Tingkat Pertumbuhan di Taman Wisata Alam Klamono

A. Tumbuhan Berkayu Dominan

Jenis-jenis tumbuhan berkayu tingkat semai yang dominan pada TWA Gunung Meja, TWA Sorong dan TWA Klamono secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa jenis tumbuhan dominan pada tingkat semai sangat berbeda untuk setiap TWA. Namun masih ada persamaan dimana Pometia pinnata yang merupakan jenis dominan kedua pada tingkat semai di TWA Sorong, ternyata juga merupakan jenis dominan kedua di TWA Sorong.

Tabel 1. Tiga Jenis Semai Dominan pada TWA Gunung Meja, TWA Sorong dan TWA Klamono

No. Taman Wisata Alam

Gunung Meja Sorong Klamono

1 Pometia coreacea Vatica rassak Cleytanthus papuana 2 Artocarpus fretissi Pometia pinnata Pometia pinnata 3 Ficus sp. Intsia palembanica Dillenia indica

Sumber : Data primer, 2012 dan 2014

Gambar 4. Jenis-jenis Semai Dominan pada TWA Gunung Meja, TWA Sorong dan TWA Klamono

Jenis-jenis tumbuhan berkayu tingkat pancang yang dominan pada TWA Gunung Meja, TWA Sorong dan TWA Klamono secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa tidak ada sama sekali kesamaan jenis pancang yang dominan untuk setiap TWA.

Tabel 2. Tiga Jenis Pancang Dominan pada TWA Gunung Meja, TWA Sorong dan TWA

Klamono

No. Taman Wisata Alam

Gunung Meja Sorong Klamono

1 Palaquium amboinensis Vatica rassak Cleytanthus papuana 2 Aglaia odorata Fagraea racemosa Spathiostemon javensis 3 Medusanthera laxiflora Gironniera nervosa Dillenia indica

Sumber : Data primer, 2012 dan 2014

Pometia coreaceae Vatica rassak Cleytanthus papuana

Page 76: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 75

Jenis-jenis tumbuhan berkayu tingkat tiang yang dominan pada TWA Gunung Meja, TWA Sorong dan TWA Klamono secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa jenis tumbuhan dominan pada tingkat tiang sangat berbeda untuk TWA. Namun Pometia pinnata yang merupakan dominan kedua pada TWA Gunung Meja ternyata merupakan jenis dominan pertama pada TWA Klamono.

Tabel 3. Tiga Jenis Tiang Dominan pada TWA Gunung Meja, TWA Sorong dan TWA Klamono

No. Taman Wisata Alam

Gunung Meja Sorong Klamono

1 Medusanthera laxiflora Vatica rassak Pometia pinnata 2 Pometia pinnata Gironniera nervosa Spathiostemon javensis 3 Haplolobus celebica Agathis labillardieri Macaranga mappa

Sumber : Data primer, 2012 dan 2014

Jenis-jenis tumbuhan berkayu tingkat pohon dominan yang menjadi penciri utama pada TWA Gunung Meja, TWA Sorong dan TWA Klamono secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4. Tingkat pohon pada dasarnya merupakan akhir dari proses suksesi. Jenis Pometia coreacea sebagai penciri utama bagi kawasan hutan TWA Gunung meja tidak terdapat dalam urutan 3 jenis pohon dominan pada TWA Sorong dan TWA Klamono. Sedangkan Vatica rassak merupakan penciri utama bagi kawasan hutan TWA Sorong dan menempati urutan dominansi ketiga pada TWA Klamono. Pometia pinnata merupakan penciri utama bagi kawasan hutan TWA Klamono, namun ternyata hanya menempati urutan dominasi kedua pada TWA Gunung Meja.

Tabel 4. Tiga Jenis Pohon Dominan pada TWA Gunung Meja, TWA Sorong dan TWA

Klamono

No. Taman Wisata Alam

Gunung Meja Sorong Klamono

1 Pometia coreacea Vatica rassak Pometia pinnata 2 Pometia pinnata Agathis labillardieri Teijsmaniodendron bogoriense 3 Pimelodendron

amboinicum Artocarpus chempedens

Vatica rassak

Sumber : Data primer, 2012 dan 2014

Gambar 5. Jenis-jenis Pohon Dominan pada TWA Gunung Meja, TWA Sorong dan TWA Klamono

B. Keanekaragaman Jenis (H’)

Keanekaragaman spesies (species diversity) pada awalnya dikenalkan oleh Krebs (1985) dengan istilah kekayaan spesies (species richness), lalu selanjutnya juga dikenal

Pometia coreaceae Vatica rassak

Page 77: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

76 – BP2LHK Manokwari

dengan istilah heterogenitas. Indeks keanekaragaman jenis diketahui sangat berguna dalam mencirikan struktur dan hubungan kelimpahan jenis dalam suatu komunitas. Indeks keanekaragaman jenis juga dapat digunakan untuk menduga pengaruh faktor-faktor lingkungan (abiotik) dalam komunitas serta mampu mengetahui kondisi suksesi atau stabilitas komunitas hutan. Semakin tinggi keanekaragaman jenis, maka ekosistem cenderung mempunyai stabilitas tinggi. Indeks keanekaragaman jenis menggabungkan nilai kekayaan dan kemerataan jenis ke dalam satu nilai tunggal. Sehingga, nilai indeks keanekaragaman tersebut dapat diperoleh untuk komunitas dengan kekayaan rendah dan kemerataan tinggi atau kekayaan tinggi dan kemerataan rendah.

Tingkat keanekaragaman jenis merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologi yang berada di dalamnya. Tingkat keanekaragaman jenis juga memberikan gambaran stabilitas suatu ekosistem yang terbentuk melalui proses suksesi yang terjadi di dalamnya, yaitu kemampuan suatu ekosistem untuk menjaga keberlangsungan dan kestabilan terhadap semua gangguan yang dapat terjadi, baik secara internal maupun esternal. Untuk menilai hal ini, salah satu pendekatan yang digunakan adalah melalui Indeks Shannon (Shannon Index) berdasarkan Shannon dan Wienner (1949) dalam Ludwig dan Reynolds (1988). Keanekaragaman jenis sendiri dipengaruhi oleh jumlah jenis dan penyebaran jenis (Ludwig dan Reynolds, 1988). Keanekaragaman jenis tumbuhan berkayu tingkat semai, pancang, tiang dan pohon pada TWA Gunung Meja, TWA Sorong dan TWA Klamono secara lengkap disajikan pada Tabel 5.

Keanekaragaman spesies yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi, karena interaksi spesies yang terjadi dalam komunitas itu sangat tinggi pula. Suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi jika komunitas tersebut tersusun oleh banyak spesies. Sebaliknya suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang rendah jika komunitas tersebut tersusun oleh sedikit spesies dan jika hanya ada sedikit saja spesies yang bersifat dominan. Karena dalam suatu komunitas pada umumnya terdapat berbagai jenis tumbuhan, maka makin tua atau semakin stabil keadaan suatu komunitas, semakin tinggi pula keanekaragaman jenis tumbuhannya (Fachrul, 2007).

Tabel 5. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Berkayu pada Tingkat Semai, Pancang, Tiang dan Pohon pada TWA Gunung Meja, TWA Sorong dan TWA Klamono Tingkat

Pertumbuhan TWA Gunung Meja TWA Sorong TWA Klamono

Jumlah Jenis

H’ Jumlah Jenis

H’ Jumlah Jenis

H’

Semai 132 4,070 194 4,454 196 4,714

Pancang 165 4,562 197 4,483 202 4,742

Tiang 178 4,398 162 4,353 179 4,703

Pohon 153 4,260 167 4,174 171 4,320

Sumber : Data primer, 2012 dan 2014

Keanekaragaman hayati pada dasarnya merupakan kombinasi dari 3 (tiga) penentu utama komposisi jenis, yaitu (1) kekayaan atau jumlah jenis, (2) evenness (kelimpahan relatif suatu jenis), dan (3) homogenitas dan ukuran areal yang dijadikan sampel (Ludwig & Reynolds, 1988). Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener pada TWA Gunung Meja tertinggi berada pada tingkat pancang, diikuti tingkat tiang, pohon dan semai. Keadaan ini berbeda dengan di TWA Sorong yang berturut-turut tertinggi pada tingkat pancang, semai, tiang dan akhirnya terendah pada pohon. Kondisi tersebut cenderung serupa dengan yang terjadi pada TWA Klamono, yang memiliki nilai indeks tertinggi pada pancang, diikuti berturut-turut pada semai, tiang dan terendah pada pohon. Berdasarkan nilai-nilai H‟ tersebut, ketiga TWA tersebut menunjukkan adanya proses suksesi atau kestabilan komunitas pada semua tingkat pertumbuhan yang masih stabil.

Page 78: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 77

Seluruh nilai indeks keanekaragaman jenis dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon pada ketiga TWA mencapai nilai 4 atau indeks keanekaragaman maksimal (H‟ maksimal). Hal ini menunjukkan bahwa semua jenis vegetasi pada berbagai tingkat pertumbuhan tersebut mempunyai jumlah individu yang hampir sama dan memiliki kelimpahan jenis yang terdistribusi hampir sempurna atau mendekati sempurna. Sedangkan berdasarkan kategori keanekaragaman jenis dalam Brower & Zar (1990), maka untuk semua tingkat pertumbuhan yaitu semai, pancang, tiang dan pohon memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Dengan demikian, kawasan hutan TWA Gunung Meja, TWA Klamono dan TWA Sorong dapat digolongkan dalam kategori hutan dengan keanekaragaman individu tinggi, penyebaran individu hampir merata dan kondisi kestabilan habitat tinggi.

C. Koefisien Komunitas

Untuk membandingkan dua komunitas vegetasi atau dua macam vegetasi dari dua daerah, dengan mencari nilai Koefisien Komunitas atau Indeks Kesamaan antara dua komunitas untuk menentukan pola pengelompokkan vegetasi dengan rumus :

IS = 2W/a+b x 100% ......................................................... .. 1) Keterangan : IS = Koefisien Komunitas (Indeks Kesamaan atau Indeks Similarity) W = Jumlah nilai terpenting terkecil dari jenis yang terdapat pada kedua releve

yang dibandingkan. a = jumlah dari seluruh kuantitas (INP) pada komunitas pertama. b = jumlah dari seluruh kuantitas (INP) pada komunitas kedua.

Sedangkan pola komunitas yang menunjukkan ketidaksamaan jenis dinyatakan dalam Index of Dissimilarity (Indeks Ketidaksamaan) dengan rumus : ID = 100 - IS .......................................................................... 2) Keterangan : ID = Index Dissimilarity (Indeks ketidaksamaan) IS = Index Similarity (Koefisien Komunitas)

Berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh dari perhitungan nilai IS (Index of Similarity)

dan ID (Indeks disimilarity), disusun diagram matrik kesamaan dan ketidaksamaan antara komunitas yang dibandingkan. Nilai ID diletakkan di bagian bawah garis diagonal, dan nilai IS di atas garis diagonal seperti Tabel 6.

Tabel 6. Indeks Kesamaan (IS) dan Indeks Ketidaksamaan (ID) antara TWA Gunung Meja, TWA Sorong dan TWA Klamono

Taman Wisata Alam

Indeks Kesamaan (IS)

Gunung Meja Sorong Klamono

Ind

ek

s K

eti

da

ksa

ma

an

(ID

)

Gunung Meja 0 61,792 77,494

Sorong 38,208 0 81,533

Klamono 22,506 18,467 0

Sumber : Data primer, 2012 dan 2014

Page 79: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

78 – BP2LHK Manokwari

Tujuan perbandingan seperti dalam Tabel 6 tersebut adalah untuk mengetahui perbedaan diantara kedua komunitas. Makin besar indeks kesamaan jenis, makin seragam pula komposisi vegetasi dari kedua tipe vegetasi yang dibandingkan (Lekitoo, 2011).

Menurut Sutisna dan Soeyatman (1984), besarnya nilai indeks kesamaan (IS) komunitas dapat diklasifikasikan ke dalam batasan kemiripan komunitas yaitu jika nilai indeks kesamaan (IS) berkisar pada 80–100 menunjukkan kondisi kedua komunitas sama atau serupa, IS pada kisaran 50–80 menunjukkan kondisi komunitas berbeda dan IS < 50 menunjukkan kondisi kedua komunitas sangat berbeda. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka pasangan TWA yang menunjukan kondisi yang berbeda (memiliki nilai IS=50-80) adalah TWA Gunung Meja vs TWA Sorong dan TWA Gunung Meja vs TWA Klamono, sedangkan pasangan taman wisata alam yang menunjukan kondisi sama atau serupa (memiliki nilai IS = 80-100) adalah TWA Sorong vs TWA Klamono.

Page 80: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 79

III. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Nilai indeks keanekaragaman jenis (H‟) dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon yang mencapai nilai 4 pada TWA Gunung Meja, TWA Sorong dan TWA Klamono, menunjukkan bahwa ketiga taman wisata alam tersebut memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, jumlah individu yang hampir sama dan kelimpahan jenis yang terdistribusi hampir sempurna atau mendekati sempurna.

2. Pometia coreacea merupakan penciri utama bagi kawasan hutan TWA Gunung Meja, Vatica rassak merupakan penciri utama bagi kawasan hutan TWA Sorong dan Pometia pinnata merupakan penciri utama bagi kawasan hutan TWA Klamono

3. Berdasarkan nilai koefisien komunitas, maka pasangan taman wisata alam yang menunjukan kondisi yang berbeda (memiliki nilai IS=50-80) adalah TWA Gunung Meja vs TWA Sorong dan TWA Gunung Meja vs TWA Klamono, sedangkan pasangan taman wisata alam yang menunjukan kondisi sama atau serupa (memiliki nilai IS=80-100) adalah TWA Sorong vs TWA Klamono.

B. Saran

1. Perlu adanya kegiatan pengamanan pada TWA Gunung Meja, TWA Sorong dan TWA Klamono mengingat ketiga TWA tersebut merupakan wajah dari BBKSDA Papua Barat. Pengamanan hendaknya bersifat kolaboratif, mengingat ketiga kawasan TWA tersebut sangat dekat dengan perkotaan sehingga rawan terhadap degradasi ekologi.

2. Perlu adanya pembinaan kader konservasi, sehingga pengamanan hutan TWA akan lebih efektif dan efisien

3. BBKSDA Papua Barat sangat perlu memasukkan TWA Klamono sebagai kawasan konservasi prioritas di Papua Barat mengingat kawasan ini sangat dekat dengan perkotaan.

Page 81: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

80 – BP2LHK Manokwari

DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat. 2011. Buku Informasi Kawasan

Konservasi. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan Konservasi Alam. Kementerian Kehutanan. Jakarta.

Direktorat Jenderal Planalogi Kehutanan. 2012. Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan

Tahun 2012. Kementerian Kehutanan. Jakarta. Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Krebs, C.J. 1985. Ecology, The Experimental Analysis of Distribution and Abudance. Harper

Collins Publishers, Inc., New York. Lekitoo, K. 2011. Keanekaragaman Jenis dan Pola Komunitas Pada Plot Monitoring Flora

Taman Wisata Alam Gunung Meja Kabupaten Manokwari. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Lekitoo, K. 2012. Laporan Hasil Penelitian Identifikasi Berbagai Jenis Flora Endemik dan

Areal Sumber Daya Genetik di Papua. Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manokwari. Tidak diterbitkan.

Lekitoo, K. 2013. Laporan Hasil Penelitian Identifikasi Berbagai Jenis Flora Endemik dan

Areal Sumber Daya Genetik di Papua. Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manokwari. Tidak diterbitkan.

Lekitoo, K. 2014. Laporan Hasil Penelitian Identifikasi Berbagai Jenis Flora Endemik dan

Areal Sumber Daya Genetik di Papua. Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manokwari. Tidak diterbitkan.

Ludwig, J.A., and J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology. A Primary on Method and

computing. John Wiley and Sons, New York. Sutisna, U. dan H. C. Soeyatman. 1984. Komposisi Jenis Pohon Hutan Bekas Tebangan di

Malili, Sulawesi Selatan. Lembaga Penelitian Hutan. Laporan No. 430. Bogor.

Page 82: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 81

KONDISI SOSIAL EKONOMI DAN PERSEPSI MASYARAKAT DALAM KEGIATAN

PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI TAMAN NASIONAL KEPULAUAN TOGEAN

Oleh : Rini Purwanti

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar

Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16,5 Makassar E-mail: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi dan persepsi responden dalam pengelolaan hutan mangrove Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT). Metode pengumpulan data melalui survey lapangan dan wawancara terhadap masyarakat yang berada di dalam kawasan hutan mangrove. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif melalui tabulasi data sederhana, sedangkan untuk persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove digunakan teknik scoring. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat ditunjukkan melalui umur, tingat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, jenis pekerjaan, dan tingkat pendapatan responden. Sedangkan persepsi masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove TNKT cukup baik, hal ini dapat diketahui dengan tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan mangrove serta banyaknya manfaat yang diperoleh masyarakat dengan keberadaan hutan mangrove TNKT. Kata Kunci : Hutan mangrove, Taman Nasional Kepulauan Togean.

Page 83: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

82 – BP2LHK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan mangrove kepulauan Togean diperkirakan memiliki luasan sekitar 4.800 ha, tersebar di beberapa pulau besar seperti Talatakoh, Togean, Batudaka, dan sebagian pulau Walea Bahi. Keberadaan hutan mangrove di Kepulauan Togean selain menjaga keutuhan garis pantai juga menyokong potensi perikanan dan ekosistem terumbu karang yang menjadi andalan kehidupan masyarakat Togean. Meski memiliki luasan yang tak terlalu besar, namun hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat penting bagi kepulauan Togean yang merupakan kawasan pulau-pulau kecil (Conservation International Indonesia, 2004).

Hutan mangrove memiliki banyak fungsi, yaitu fungsi fisik, biologi, sosial dan ekonomi. Beberapa fungsi hutan mangrove secara ekologis adalah (1) sebagai pelindung kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, (2) mengurangi terjadinya abrasi pantai dan intrusi air laut,(3) mempertahankan keberadaan spesies hewan laut dan vegetasi, dan (4) dapat berfungsi sebagai penyangga sedimentasi. Fungsi hutan mangrove secara ekonomis, sebagai penyedia berbagai jenis bahan baku kepentingan manusia dalam berproduksi, seperti kayu, arang, bahan pangan, bahan kosmetik, bahan pewarna, dan penyamak kulit, sumber pakan ternak dan habitat lebah penghasil madu hutan(Yuliarsana dan Danisworo, 2000).

Karena manfaatnya tersebut, hutan mangrove ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Cara masyarakat memanfaatkan hutan mangrove umumnya tergantung dari persepsinya masing-masing. Definisi persepsi secara sempit adalah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas adalah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu (Leavitt, 1978). Persepsi merupakan proses penggabungan stimulus sederhana (sensasi) yang diterima oleh panca indera manusia sehingga stimulus-stimulus tersebut memberikan makna tertentu bagi manusia (Atkinson et. al., 1983). Sementara itu Waidi (2006) menyatakan bahwa persepsi merupakan hasil kerja otak dalam memenuhi atau menilai suatu hal yang terjadi di sekitarnya. Sedangkan Suharman (2005) menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses menginterpretasikan atau menafsir informasi yang diperoleh melalui sistem indra manusia.

Berdasarkan pengertian persepsi di atas, maka dapat diketahui bahwa proses pembentukan persepsi merupakan proses yang terjadi pada diri individu. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa persepsi masyarakat merupakan suatu hal yang tidak ada. Menurut Mayo (1998:162) dalam Suharto (2005), masyarakat dapat berarti dua konsep, yaitu: (1) masyarakat sebagai sebuah “tempat bersama”, yakni sebuah wilayah geografi yang sama dan (2) masyarakat sebagai “kepentingan bersama”, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Persepsi masyarakat yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah persepsi beberapa individu yang dianggap dapat mewakili masyarakat lainnya dalam wilayah yang sama.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove dan mengetahui hubungan antara karakteristik responden dengan persepsi masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove TN Kepulauan Togean (TNKT). Untuk menjawab tujuan penelitian tersebut, maka dibuatlah pertanyaan-pertanyaan berikut: 1) Bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan mangrove TNKT? 2) Bagaimana persepsi masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove TNKT?

Page 84: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 83

II. METODE PENELITIAN

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di TN Kepulauan Togean (TNKT), Provinsi Sulawesi Tengah yang pada bulan Juli sampai dengan September 2012.

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer diperoleh dengan cara wawancara langsung dengan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove dan yang merasakan manfaat dengan keberadaan hutan mangrove TNKT yang ditemui pada saat penelitian. Wawancara ini dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara dan kuisioner untuk mengumpulkan data primer. Kegiatan wawancara dilakukan untuk mendapatkan gambaran lebih rinci/detail mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat, jenis manfaat yang diperoleh oleh masyarakat dan persepsi mayarakat terhadap hutan mangrove.

D. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survey yang bersifat deskriptif korelasional. Variabel tidak bebas dalam penelitian ini adalah persepsi masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan mangrove. Sedangkan variabel bebas dalam penelitian ini mencakup kelompok variabel faktor individu yang terdiri atas umur, asal responden, tingkat pendidikan, pendapatan, kebiasaan menanam, dan lama tinggal di sekitar hutan mangrove.

E. Metode Pengambilan Sampel

Populasi penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove TN Kepulauan Togean. Lokasi pengambilan sampel adalah desa-desa yang berada di daerah pesisir yang berbatasan langsung dengan mangrove dan masyarakatnya banyak melakukan aktifitas di sekitar hutan mangrove. Desa-desa sampel adalah Desa Wakai (berpenduduk 2.922 jiwa), Desa Lembanato (543 jiwa), Desa Bambu (1.188 jiwa), Pulau Enam (731 jiwa), Desa Bungayo (564 jiwa), Desa Tobil (1.114 jiwa), Desa Katupat (610 jiwa) dan Desa Tanjung Pude (453 jiwa) (BPS, 2011). Jumlah penduduk setiap desa sampel memang besar, tetapi yang beraktifitas di sekitar hutan mangrove hanya sebagian kecil saja, dan ditemukan hanya 32 orang yang menjadi sampel. Sampel adalah bagian dari sebuah populasi yang dianggap dapat mewakili dari populasi tersebut. Untuk menentukan besarnya sampel menurut Arikunto (2010) apabila subjek kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya penelitian populasi. Jika subjeknya lebih besar dapat diambil antara 10-15% atau 20 - 25%.

F. Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis menggunakan analisis deskriptif dan kuantitatif melalui tabulasi data sederhana, sedangkan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap fungsi dan manfaat hutan konservasi mangrove digunakan teknik scoring.

Page 85: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

84 – BP2LHK Manokwari

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

1. Umur

Struktur umur sangat ditentukan oleh perkembangan tingkat kelahiran, kematian dan migrasi. Berdasarkan tingkat usia, penduduk dapat dibagi atas anak-anak (di bawah usia 15 tahun) dan dewasa serta lanjut usia (65 tahun ke atas). Anak-anak dan lanjut usia disebut kelompok usia tidak produktif, sedangkan dewasa (15 tahun sampai dengan 64 tahun) disebut kelompok usia produktif (Pitoyo et al, 2013).

Distribusi umur masyarakat yang menjadi responden yang bermukim di sekitar hutan mangrove TNKT dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu usia produktif (15-64 tahun) dan usia non-produktif (kurang dari 15 dan lebih dari 64 tahun). Secara rinci distribusi umur masyarakat yang bermukim di dalam kawasan hutan mangrove tampak dalam Tabel 1.

Tabel 1. Distribusi Umur Masyarakat yang Bermukim di dalam Kawasan Hutan Mangrove TNKT

Kategori Distribusi Umur (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%)

Usia Produktif ( Usia 15 – 64 tahun )

Non-Produktif ( Usia > 65 tahun )

32

0

100

0

32 100

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, 2010

Tabel 1 menunjukkan bahwa di lokasi penelitian 100% masyarakat yang menjadi responden berada pada usia produktif, sehingga dengan demikian diharapkan dapat memberi nilai tambah berupa peningkatan produksi sehingga akan memberikan sumbangan pada kenaikan pendapatan petani. Masyarakat yang berada pada kategori usia produktif pada umumnya mempunyai kondisi fisik yang prima sehingga produktivitasnya dalam mencari nafkah dapat ditingkatkan. Disamping itu mereka mampu menerima dengan cepat inovasi ataupun ide–ide baru yang berkembang dalam masyarakat. Sedangkan masyarakat yang berada dalam kategori usia non-produktif meskipun secara fisik mengalami keterbatasan akan tetapi pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya masih dapat dimanfaatkan dalam proses pembangunan.

2. Tingkat Pendidikan

Pendidikan masyarakat merupakan salah satu indikator kesejahteraan dan keberhasilan pembangunan suatu daerah. Tingkat pendidikan masyarakat dapat mempengaruhi cara berpikir seseorang, terutama dalam menganalisis suatu permasalahan. Dengan tingkat pendidikan masyarakat yang tinggi diharapkan masyarakat lebih cepat menerima dan memberikan respon terhadap hal-hal yang membutuhkan kemampuan berpikir dari inovasi-inovasi baru yang dianjurkan kepadanya. Kecenderungan yang ada, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin responsif orang tersebut terhadap perubahan-perubahan.

Tingkat pendidikan responden yang dimaksud dalam penelitian ini diukur berdasarkan tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti. Kategori tingkat pendidikan dibagi atas tiga kategori yaitu rendah (SD kebawah), sedang (SLTP - SLTA), dan tinggi (Perguruan Tinggi/Akademik). Selengkapnya data tentang tingkat pendidikan responden disajikan pada Tabel 2.

Page 86: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 85

Tabel 2. Tingkat Pendidikan Masyarakat yang Bermukim di Dalam Kawasan Hutan Mangrove TNKT

Kategori Tingkat pendidikan Jumlah (orang) Persentase

(%)

Pendidikan rendah (≤ SD) Pendidikan menengah (SLTP-SLTA)

Pendidikan tinggi ((PT/Akademi)

24 8

0

75 25

0

32 100

Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata responden hanya mengenyam pendidikan

sampai Sekolah Dasar (SD) yaitu sebanyak 24 orang atau 75% dari total responden. Angka ini memberikan indikasi bahwa tingkat pendidikan di lokasi penelitian masih rendah. Tingkat pendidikan masyarakat sekitar TNKT yang rendah dapat menjadi faktor penghambat dalam pengelolaan TNKT. Namun demikian, hal ini dapat diatasi dengan melakukan kegiatan pendampingan kepada masyarakat sekitar, meningkatkan kegiatan penyuluhan dan pelatihan secara intensif sehingga tercipta kesamaan visi dan persepsi terhadap pengelolaan TNKT.

Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di lokasi penelitian disebabkan karena beberapa hal, yaitu jauhnya jarak menuju ke sekolah, susahnya sarana transportasi karena hanya bisa ditempuh dengan menggunakan perahu, mudahnya memperoleh uang serta adanya keinginan untuk segera membantu orang tua membuat banyak responden yang putus sekolah dan memilih untuk terjun langsung menjadi nelayan dan membantu orang tuanya untuk mencari nafkah.

3. Jumlah Tanggungan Keluarga

Tanggungan keluarga yang dimaksud di sini adalah semua orang yang tinggal dalam satu rumah ataupun yang berada di luar dan menjadi tanggungan kepala keluarga, yang meliputi istri, anak dan anggota keluarga lain yang ikut menumpang. Semakin banyak anggota keluarga yang tinggal bersama, semakin banyak pula biaya hidup yang harus dikeluarkan.

Pengklasifikasian jumlah tanggungan keluarga responden dikelompokkan atas 3 kategori, yaitu kecil apabila jumlah tanggungan lebih kecil atau sama dengan 3, sedang jika berjumlah 4 – 6 orang dan besar bila jumlahnya lebih besar atau sama dengan 7. Klasifikasi responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarganya dapat tampak dalam Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah Tanggungan Keluarga Masyarakat yang Bermukim di Dalam Kawasan Hutan Mangrove TNKT

Jumah Tanggungan

Keluarga Jumlah (orang)

Persentase

(%)

≤ 3 orang (sedikit) 4 – 6 orang (sedang)

≥ 7 orang (banyak)

9 17

6

28 53

19

32 100

Tabel 3 memperlihatkan bahwa rata-rata responden (17 orang atau 53% dari total

responden) mempunyai jumlah tanggungan keluarga sedang yaitu antara 4 - 6 orang. Jumlah tanggungan setiap kepala keluarga dapat mempengaruhi semangat dan tingkat kreativitas seorang kepala keluarga. Dengan banyaknya jumlah orang yang ditanggung dalam keluarga maka semakin besar biaya yang harus disiapkan untuk memenuhi

Page 87: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

86 – BP2LHK Manokwari

kebutuhan hidup keluarganya. Banyaknya jumlah tanggungan keluarga juga dapat mengindikasikan besarnya potensi tenaga kerja keluarga yang tersedia yang dapat membantu kepala keluarga dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Banyaknya jumlah tanggungan keluarga juga mempengaruhi jumlah pemakaian kayu mangrove yang digunakan terutama untuk kebutuhan kayu bakar, pemakaian air bersih, dan lain sebagainya .

4. Jenis Pekerjaan

Jenis pekerjaan masyarakat di sini dibedakan atas dua yaitu pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan. Untuk lebih jelasnya aktifitas nelayan terkait dengan jenis pekerjaannya yang dilakukan oleh masyarakat tampak dalam Tabel 4.

Tabel 4. Jenis Pekerjaan Masyarakat yang Berada di Sekitar TNKT

Pekerjaan Pokok Jumlah

(Orang)

Persentase

(%)

Pekerjaan

Sampingan

Jumlah

(Orang)

Persentase

(%)

Petani/kebun 17 53,1 Nelayan 22 68,8

Nelayan 5 15,6 Petani/kebun 6 18,8

Kades 2 6,3

Pedagang

ikan 1 3,1 Guru 1 3,1 Rumput Laut 1 3,1

Penjaga Toko 1 3,1

Tukang

perahu 1 3,1

Penambang Batu 1 3,1

pembuat

atap 1 3,1 Pedagang

ikan/kepiting 2 6,3

Pembuat atap 1 3,1 Ojek 1 3,1

Pembuat Gula 1 3,1

Tabel 4 memperlihatkan bahwa masyarakat yang berada di sekitar TNKT mempunyai

mata pencaharian pokok sebagai petani/kebun (sebanyak 53,1% dari seluruh responden) dan mempunyai pekerjaan sampingan sebagai nelayan (68,8%). Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat di sekitar TNKT lebih menggantungkan hidup mereka pada hasil-hasil kebun dan sawah dibandingkan dengan hasil perikanan atau kelautan. Masyarakat pergi ke laut untuk mencari ikan hanya untuk kegiatan sampingan saja dan kebanyakan ikan hasil tangkapan hanya digunakan untuk lauk pauk saja, meskipun jika ada kebetulan hasil tangkapannya banyak sebagian tetap mereka jual.

5. Tingkat Pendapatan Masyarakat

Pendapatan yang diperoleh responden di tempat ini berasal dari kebun dan hasil tangkapan perikanan masyarakat di sekitar hutan mangrove. Besarnya pendapatan responden diperhitungkan berdasarkan Upah Minimum Provinsi Sulawesi Tengah (UMP) – Rp 885.000/bulan,-, sehingga dibagi ke dalam 2 kategori yaitu rendah (< UMP), tinggi (> UMP).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa total pendapatan masyarakat yang berada dalam kawasan hutan mangrove TNKT berkisar antara Rp. 500.000,-/bulan – Rp. 6.000.000,-/bulan dengan rata-rata total pendapatan sebesar Rp. 1.881.034,-/bulan. Rata-rata total pendapatan masyarakat di dalam kawasan hutan mangrove lebih tinggi jika dibandingkan dengan UMP Sulawesi Tengah tahun 2012 yang ditetapkan sebesar Rp. 885.000/bulan. Hal

Page 88: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 87

ini dapat berarti bahwa sebagian masyarakat di dalam kawasan hutan mangrove TNKT telah dapat memenuhi kebutuhan minimum mereka sehari-hari. Tingkat pendapatan masyarakat disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Tingkat Pendapatan Masyarakat di Dalam Kawasan Hutan Mangrove TNKT

Tingkat Pendapatan Jumlah (orang) Persentase (%)

Rendah (< UMP)

Tinggi (> UMP )

5

27

15.62

84.38

32 100

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 52,5% responden yang berpendapatan tinggi

(di atas UMP), dan 47,5% yang berpendapatan rendah (di bawah UMP). Pendapatan masyarakat nelayan di daerah ini sangat fluktuatif, tergantung dari banyaknya hasil tangkapan /panen yang mereka peroleh tiap bulannya.

B. Persepsi Masyarakat terhadap Hutan Mangrove TNKT

Persepsi merupakan cara pandang seseorang terhadap sesuatu hal. Persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove di TNKT merupakan cara pandang masyarakat terhadap hutan mangrove yang ada di kepulauan Togean. Untuk mengetahui persepsi masyarakat ini dilakukan melalui wawancara secara mendalam dengan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove.

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa jenis tanaman bakau yang diketahui oleh masyarakat yang biasa di sebut dengan nama Lolaro (jantan dan betina), Kale, Wakatan, dan Bangkau . Dalam mengklasifikasikan jenis tumbuhan dan hewan yang tumbuh dan berkembang di hutan bakau untuk setiap desa terdapat beberapa perbedaan dan juga persamaan. Hal ini disebabkan antara lain oleh berbedanya suku yang mendiami daerah tersebut. Demikian juga halnya dengan manfaat yang dirasakan oleh responden dengan keberadaan hutan mangrove ini juga berbeda-beda antara tiap responden. Pendapat masyarakat terhadap manfaat yang dirasakan dengan keberadaan hutang mangrove ini tampak dalam Tabel 6.

Tabel 6. Persepsi Masyarakat terhadap Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove

Manfaat Hutan Mangrove Jumlah (Orang) Persentase (%)

Fisik 9 28.13

Biologi 1 3.13

Ekonomi 8 25.00

Fisik dan Biologi 3 9.38

Fisik dan Ekonomi 2 6.25

Biologi dan Ekonomi 5 15.63

Semuanya Benar 4 12.50

Jumlah 32 100

Tabel 6 menunjukkan bahwa sebanyak 28.13% responden menyatakan bahwa hutan

mangrove berfungsi sebagai fungsi fisik yaitu sebagai penahan angin dan abrasi pantai. Dengan memilih untuk menetap di daerah pesisir memang merupakan pilihan yang mempunyai banyak resiko, diantaranya adalah adanya hempasan angin keras yang sewaktu-waktu bisa merusak rumah-rumah warga. Selain itu ancaman abrasi pantai juga bisa terjadi jika hutan mangrove sudah rusak. Oleh karena itu, di beberapa tempat telah dibangun tanggul-tanggul penahan abrasi pantai akibat kerusakan hutan mangrove. Dengan menyadari pentingnya fungsi hutan mangrove ini sebagai penahan angin dan abrasi pantai,

Page 89: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

88 – BP2LHK Manokwari

akan berdampak positif bagi masyarakat sehingga mereka bisa lebih berhati-hati lagi jika ingin mengeksploitasi hutan mangrove.

Sebanyak 25% responden juga menyatakan bahwa hutan mangrove berfungsi ekonomi yaitu sebagai penyedia kayu bakar dan bahan bangunan. Hampir 100% responden menggunakan kayu bakar untuk kebutuhan memasak sehari-hari. Kayu bakar diambil oleh masyarakat di dalam kawasan hutan mangrove, dengan cara menebang pohon baik pohon yang sudah mati maupun yang masih hidup. Sedangkan untuk kayu bahan bangunan, hanya sebagian kecil saja yang menggunakan kayu bakau (ramuan rumah). Hal ini karena telah diketahui bahwa ada jenis kayu hutan yang bisa lebih tahan lama digunakan jika dibandingkan dengan kayu bakau. Oleh sebab itu, masyarakat lebih tertarik untk menggunakan kayu hutan dibanding kayu bakau.

Kawasan hutan bakau ini bagi 12.50% responden juga berfungsi fisik, biologi dan ekonomi. Fungsi biologi disini adalah bahwa hutan mangrove sebagai tempat bertelur dan berkembang biak beberapa jenis ikan, terutama jenis-jenis ikan batu/ikan karang. Dengan adanya pendapat seperti ini, berarti masyarakat sadar bahwa hutan mangrove mempunyai manfaat yang sangat banyak jika dikelola dengan baik. Hal ini bisa berdampak positif bagi masyarakat, sehingga mereka bisa lebih arif lagi dalam mengelolanya.

Menurut masyarakat terdapat beberapa hal yang bisa menyebabkan kerusakan hutan mangrove. Penyebab kerusakan mangrove dan kondisi hutan mangrove TNKT saat ini dipersepsikan masyarakat seperti dalam Tabel 7.

Tabel 7. Persepsi Masyarakat terhadap Kondisi Hutan Mangrove dan Kerusakan Hutan Mangrove di TNKT

Jumlah (Orang) Persentase (%)

Kondisi hutan mangrove saat ini

sudah rusak 18 56.25 belum rusak 6 18.75 tidak ada perubahan 8 25

32 100

Penyebab hutan mangrove rusak

Alih fungsi lahan untuk tambak 5 15.625 Alih fungsi lahan untuk perumahan 10 31.25 Penebangan (kayu bakar dan bangunan) 11 34.375 Semuanya benar 6 18.75

32 100

Sedangkan persepsi masyarakat terhadap pemanfaatan hutan mangrove baik untuk

pemanfaatan langsung maupun tidak langsung dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Pemanfaatan Hutan Mangrove oleh Masyarakat di sekitar Taman Nasional Laut Kepulauan Togean

Variabel Hasil Temuan

Manfaat langsung

1. Kayu Kayu bakar Kayu bangunan terutama untuk tiang dan kaso

2. Kulit Pewarna pukat

3. Akar Tengko-tengko perahu

4. Daun Makanan ternak (kambing)

Page 90: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 89

Hasil Tidak langsung

Hasil-hasil tangkapan perikanan (ikan,kepiting, burungo dan katude)

Manfaat langsung hutan mangrove yang dirasakan oleh masyarakat yaitu dari

kayunya, yang biasa dimanfaatkan untuk kayu bakar dan bahan bangunan. Pemakaian kayu bakar juga masih dipadukan dengan pemakaian minyak tanah dan gas, jadi masyarakat tidak sepenuhnya tergantung dengan kayu yang berasal dari alam. Demikian juga halnya dengan pemakaian kayu sebagai bahan bangunan hanya digunakan untuk tiang dan kaso saja, sementara bagian-bagian yang lain menggunakan kayu jenis lain yang menurut masyarakat bukan dari jenis mangrove dan mempunyai daya tahan yang lebih lama jika dibandingkan dengan kayu mangrove.

Pemakaian kayu bakau untuk rumah kurang karena masyarakat kurang yakin akan kekuatan kayu bakau jika dibandingkan dengan kayu darat (di hutan) sementara harga jual kayunya sama sehingga masyarakat lebih memilih untuk menggunakan kayu darat daripada kayu bakau.

Hutan bakau bagi masyarakat Togean adalah milik pemerintah, tetapi masyarakat boleh memanfaatkan hutan bakau tersebut untuk kebutuhannya. Aturan tentang pemanfaatan dan pemakaian kayu bakau sebetulnya telah di atur oleh pemerintah setempat, misalnya aturan tentang penebangan. Penebangan hanya diperbolehkan untuk perbaikan rumah dan pemenuhan kayu bakar, namun karena lemahnya pengawasan, maka masyarakat masih bisa dengan bebas melakukan penebangan pohon. Masyarakat melakukannya tanpa takut akan terkena sanksi, karena pada dasarnya memang tidak ada sanksi yang diberlakukan bagi warga yang melanggar.

Hutan bakau bagi masyarakat Togean adalah milik bersama, siapa saja dapat memanfaatkan hutan bakau tersebut untuk kebutuhannya. Dalam pemanfaatan bakau apabila bakau tersebut berada pada wilayah pesisir yang berdekatan dengan perkebunan seseorang, maka orang yang akan mengambil bakau tersebut hanya memberitahu kepada pemilik kebun. Satu hal lagi adalah apabila tempat tersebut telah dibuka untuk tambak atau adanya beberapa pohon kelapa dalam areal bakau tersebut, maka penguasaaan bakau yang berdekatan dengan tambak dan areal kelapa tersebut dikuasai oleh pemilik tambak atau pohon kelapa tersebut. Kepercayaan masyarakat akan adanya mahluk halus yang mendiami hutan bakau yang disebut dengan “pongko lolap” memberikan pengaruh untuk tidak berlama-lama di dalam hutan bakau. Tempat tersebut dijadikan tempat keramat oleh masyarakat. Kepercayaan ini mulai memudar ketika adanya pendatang dari luar Togean yang mengenalkan chainsaw dan menebang wilayah yang dikeramatkan tersebut, sehingga masyarakat menjadi lebih berani untuk masuk ke wilayah hutan bakau (Adhiasto, 2010).

Page 91: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

90 – BP2LHK Manokwari

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Kondisi sosial ekonomi masyarakat responden di sekitar hutan mangrove TN

Togean dilihat berdasarkan kelas umur yaitu 100% berada pada usia produktif,

75% berpendidikan rendah (≤ SD), sekitar 53% memiliki jumlah tanggungan

keluarga antara 4-6 orang, memiliki pekerjaan utama sebagai petani atau

mengolah kebun dan pekerjaan sampingan adalah nelayan, serta tingkat

pendapatan rata-rata sekitar Rp 1.881.034/bulan atau masih lebih tinggi dari UMP

Propinsi Sulawesi Tengah.

2. Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove TN Togean cukup

positif, hal ini dapat dlihat bahwa masyarakat merasakan banyak manfaat dengan

keberadaan hutan mangrove misalnya hutan mangrove sebagai penahan angin

dan abrasi, tempat mengambil kayu bakar, dan tempat berkembang biaknya

jenis-jenis ikan tertentu sehingga dapat meningkatkan jumlah ikan yang terdapat

di lautan. Dengan adanya pendapat seperti ini, berarti masyarakat sadar bahwa

hutan mangrove mempunyai manfaat yang sangat banyak jika dikelola dengan

baik. Hal ini bisa berdampak positif bagi masyarakat, sehingga mereka bisa lebih

arif lagi dalam mengelolanya.

B. Saran

Hutan mangrove TN Togean telah banyak beralih fungsi menjadi tambak dan

pemukiman penduduk, sehingga kegiatan rehabilitasi dan pengembangan hutan

mangrove di TNKT khususnya Kecamatan Togean semakin berkurang. Oleh sebab itu

diperlukan integrasi pengelolaan ekosistem hutan mangrove antara pihak-pihak terkait

seperti pemerintah, masyarakat, LSM dan swasta.

Page 92: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 91

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik . PT Rineka Cipta, Jakarta. Atkinson, Rita L., Richard C. Atkinson, Ernest R. Hilgard. 1983. Pengantar Psikologi, Edisi

kedelapan Jilid I, Alih bahasa: Dra. Nurdjannah Taufiq, Dra. Rukmini Barhana. Editor: Agus Dharma, SH, M. Ed. Ph. D, Michael Adryanto. Jakarta. Erlangga.

CII, 2004. Konservasi Berbasis Masyarakat Melalui Daerah Perlindungan Laut Di Kepulauan

Togean, Sulawesi Tengah. CII Togean Program, palu office Sulawesi tengah Gumilar, I., 2012. Partisipasi Masyarakat Pesisir dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan

Mangrove Berkelanjuan di Kabupaten Indramayu. Jurnal Akuatika Vol. III No.2/September 2012 (198-211). Diakses dari jurnal.unpad.ac.id pada tanggal 10 Juli 2014.

Leavitt, Harold J. 1978. Psikologi Manajemen: Sebuah Pengantar Bagi Individu dan

Kelompok di dalam Organisasi. Erlangga. Jakarta. Pitoyo, A.J., Kiswanto, E., Rahmat, P.N., dan Fauziah, S., 2013. Menjadi Produktif di Usia

Produktif. Direktorat Kerjasama Pendidikan dan kependudukan BKKBN. Jakarta. Diakses dari www.bkkbn.go.id pada tanggal 3 Juli 2014.

Kusmana, C., Wilarso, S., Iwan Hilwan, P. Pamungkas, Wibowo, C.,Tiryana, T., Triswanto, A.,

Yunasfi, dan Hamzah, 2005. Teknik Rehabilitasi Hutan Mangrove. Fakultas Kehutanan Bogor. Bogor.

Santoso, U, 2008. Hutan Mangrove, Permasalahan dan Solusinya. http://uripsantoso.wordpress.com/2008/04/03/hutan-mangrove-permasalahan-dan-solusinya/ Diakses Tanggal 16 Februari 2010.

Suharman, 2005. Psikologi Kognitif. Srikandi, Surabaya. Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Masyarakat; Kajian Strategis

Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Refika Aditama, Bandung. Yuliarsana, N. dan Danisworo, T. 2000. Rehabilitasi Pantai Berhutan Mangrove. Prosiding

Seminar Nasional Pengelolaan Ekosistem Pantai dan Pulau-pulau Kecil dalam Konteks Negara Kepulauan. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Waidi. (2006). The Art of Re-engineering Your Mind for Success . Gramedia, Jakarta.

Page 93: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

92 – BP2LHK Manokwari

Page 94: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 93

PERTUMBUHAN TANAMAN PENGAYAAN MERBAU PADA AREAL

JALAN SARAD

Oleh : Relawan Kuswandi

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari

Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat

Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas hutan alam bekas tebangan adalah dengan melakukan penanaman pengayaan (enrichment planting). Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan penanaman anakan merbau dengan menggunakan pupuk NPK dan serasah di bekas jalan sarad. Penelitian ini dilakukan di lokasi bekas jalan sarad PT. Mamberamo Alas Mandiri (MAM) Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua dengan menggunakan metode eksperimen dengan pemupukan NPK dan serasah sebagai perlakuan. Penanaman dilakukan pada areal bekas jalan sarad dan pengamatan dilakukan selama 3 tahun meliputi pertambahan diameter, tinggi dan mortalitas. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kedua perlakuan dapat dipakai untuk penanaman anakan Merbau di bekas jalan sarad. Secara khusus, perlakuan dengan menggunakan NPK memberikan hasil lebih baik dibandingkan pemberian serasah. Hasil pengukuran variabel tinggi pertumbuhan anakan menunjukkan nilai lebih tinggi pada perlakuan dengan NPK. Sedangkan pada variabel mortalitas, pada awal penanaman nilai mortalitas pada tumbuhan dengan perlakuan dengan NPK lebih tinggi daripada perlakuan dengan serasah. Namun selanjutnya, mortalitas pada perlakuan dengan menggunakan NPK menurun.

Kata kunci: semai merbau, pemupukan, serasah

Page 95: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

94 – BP2LHK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas hutan alam bekas tebangan adalah dengan penanaman pengayaan (enrichment planting). Pedoman dan petunjuk Teknis TPTI telah menyebutkan bahwa sasaran kegiatan pengayaan adalah kawasan hutan bekas tebangan yang jumlah permudaan jenis komersialnya tidak mencukupi, yang luasnya lebih (kurang) dari satu hektar. Areal tersebut dititikberatkan pada bekas jalan sarad. Namun dalam pelaksanaannya, kegiatan pengayaan pada hutan alam produksi oleh IUPHHK di Papua masih belum mendapat perlakuan yang istimewa. Kemungkinan yang terjadi adalah masih terdapatnya kendala dalam penerapan pedoman dan petunjuk teknis tersebut di atas. Kendala lainnya adalah belum dikuasainya teknik pengayaan yang tepat pada areal hutan alam produkasi bekas tebangan.

Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa potensi permudaan pada areal bekas tebangan di Papua masih cukup banyak, sehingga terjadi kecenderungan untuk tidak melaksanakan kegiatan rehabilitasi atau pengayaan sesuai dengan aturan TPTI yang digunakan dalam pengelolaan hutan. Pada kenyataannya, tingkat produktivitas hutan alam kayu komersial di Indonesia pada saat ini telah sangat rendah, yaitu berkisar antara 0,5 – 1,5 m3/ha/th (Dephut, 2005). Kondisi ini mengakibatkan pengelolaan hutan tropis tidak kompetitif, karena selain tingkat produktivitas rendah, biaya pengelolaannya juga cukup tinggi. Penanaman pada hutan bekas tebangan ini diharapkan menggunakan native species atau jenis asli setempat, dimana penanaman tersebut akan memberikan dampak perubahan pada komposisi hutan (Pryde et al, 2015).

Kegagalan dalam kegiatan pengayaan atau penanaman pada areal hutan bekas tebangan selain disebabkan oleh belum dikuasainya teknik pengayaan, juga disebabkan oleh kurangnya pemeliharaan setelah penanaman. Dalam penelitian, pengayaan pada hutan bekas tebangan dilakukan di bekas jalan sarad sehingga pada saat pelaksanaan penanaman tidak membutuhkan kegiatan pembukaan hutan. Penanaman ini merupakan kegiatan alternatif pengayaan dalam sistem silvikultur intensif. Pada penanaman anakan di lapangan, penambahan pupuk NPK dan serasah secara terpisah dipakai sebagai perlakuan yang diharapkan dapat membantu proses pertumbuhan anakan di lapangan. Pada penelitian sebelumnya, anakan yang ditanam tanpa perlakuan menunjukan persentase hidup yang rendah. Remetwa dkk (1993) melaporkan pertumbuhan jenis Intsia bijuga, Pometia coreaceae dan Flindersia amboinense yang ditanam pada jalan sarad mempunyai nilai rata-rata persentase hidup, tinggi dan diameter masing-masing: I. bijuga 64,63 %, 4,34 cm dan 0,04 cm; P. coreaceae 67 %, 1,07 cm dan 0,04 cm, serta F. amboinensis 81,81 %, 6,07 cm dan 0,06 cm.

Berkaitan dengan hal tersebut, Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan penanaman anakan merbau dengan menggunakan pupuk NPK dan serasah di bekas jalan sarad.

Page 96: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 95

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi

Penelitian ini dilakukan di lokasi bekas jalan sarad PT. Mamberamo Alas Mandiri (MAM) Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua. Waktu penanaman dan pengambilan data terakhir adalah pada Desember 2010 sampai dengan Januari 2013.

B. Metode

Metode penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan menggunakan pemupukan NPK dan serasah sebagai perlakuan. Penanaman dilakukan pada areal bekas jalan sarad.

Pelaksanaan penelitian

- Persiapan lokasi penanaman

Penentuan lokasi dilakukan berdasarkan peta kerja RKT 2010 di mana jalan sarad tersebut

adalah 0 tahun setelah penebangan.

- Penanaman

Penanaman atau pengayaan dilakukan pada areal bekas jalan sarad. Jalan sarad yang terdapat

pada IUPHHK umumnya memiliki luasan tidak sampai 1 ha, dengan penanaman yang dilakukan pada

beberapa jalan sarad, maka luas areal yang terbuka mencapai luas minimal 1 ha. Penanaman dilakukan pada petak contoh berbentuk jalur, mengikuti jalan sarad, dengan jarak tanam 3 m x 3 m.

Apabila lebar jalan sarad kurang dari 4 m, maka penanaman hanya dapat dilakukan sebanyak 1 jalur

pada areal bekas jalan sarad tersebut. Pembuatan lubang tanam dilakukan dengan ukuran 20 cm x 20 cm x 30 cm. Pada lubang tanam diberi humus yang berasal dari serasah atau top soil dari tanah di

kiri kanan jalad sarad untuk perlakuan pemupukan dengan serasah. Sedangkan untuk tanaman dengan perlakuan pemberian pupuk NPK, tanaman diberi pupuk NPK sebanyak 25 gram pada setiap

lubang tanam.

- Pengambilan data

Data diukur selama empat kali di mana pengukuran pertama sebagai time 0 selanjutnya pengukuran kedua sebagai time 1, pengukuran ketiga sebagai time 2 dan pengukuran terakhir sebagai time 3. Data yang diambil adalah jumlah anakan merbau yang mati setiap tahun, diameter anakan (cm) dan tinggi anakan (cm).

1. Variabel pengamatan

Variable pengamatan pada penelitian ada tiga yaitu:

a. Mortality rate (Tingkat mortalitas, persen/tahun)

di mana,

Mortality Ratei =jumlah anakan yang mati dalam periode ke i (persen/tahun)

Tahunt+1 =tahun pada t+1 (tahun) Tahunt =tahun pada t (tahun)

b. Pertambahan diameter (cm/tahun)

Page 97: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

96 – BP2LHK Manokwari

dimana, ∆Di = pertambahan diameter pada periode ke i (cm/tahun) Dtime t+1 = diameter pada pengukuran tahun ke t+1 (cm) Dtime t = diameterpada pengukuran tahun ke t (cm) Tahunt+1 = tahun pada t+1 (tahun) Tahunt = tahun pada t (tahun)

c. Pertambahan tinggi (cm/tahun)

di mana, ∆Ti =pertambahan tinggi pada periode ke i (cm) Ttime t+1 = tinggi pada pengukuran tahun ke t+1 (cm) Ttime t = tinggi pada pengukuran tahun ke t (cm) Tahunt+1 = tahun pada t+1 (tahun) Tahunt = tahun pada t (tahun)

2. Analisis data

Data pada variabel pengamatan dalam penelitian tidak menyebar normal, berada dalam kondisi di mana P<0.05 pada Kolmogorov-Smirnov test. Oleh sebab itu, data pertambahan diameter dan pertambahan tinggi di atas dibandingkan dengan menggunakan non-p3arametric statistics yaitu Mann-Whitney U test. Sedangkan untuk tingkat mortalitas dianalisis secara deskriptif menggunakan grafik.

Page 98: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 97

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Tingkat mortalitas

Hasil tingkat mortalitas untuk anakan merbau selama periode pengamatan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tingkat mortalitas dari anakan Merbau pada kedua perlakuan

Gambar 1 menunjukkan bahwa mortalitas pada anakan dengan pemberian pupuk NPK lebih tinggi dibandingkan dengan anakan yang menggunakan media serasah di tahun pertama. Setelah itu, mortalitas menurun selama pengamatan pada anakan yang menggunakan media pupuk NPK. Hal yang berbeda ditunjukan pada anakan yang menggunakan media serasah menunjukan kenaikan pada tahun kedua dan sedikit menurun pada tahun ketiga.

2. Pertambahan diameter anakan

Hasil pertambahan diameter (cm) anakan merbau pada dua perlakuan ditampilkan pada Tabel

1.

Tabel 1. Hasil uji Mann-Whitney U pada pertambahan diameter (cm) antara anakan yang ditanam dengan tambahan NPK dan serasah. (Result of Mann-Whitney U test for diameter growth (cm) between seedlings using NPK and litter)

Variabel Perlakuan Median Sig.

(Mann-Whitney U test)

DeltaD1 NPK 0.06 0**

Serasah 0.03

DeltaD2 NPK 1.91 0**

Serasah 1.575

DeltaD3 NPK 0.57 0.032*

Serasah 0.65 Keterangan: **=berbeda nyata (Remarks : **=significant different)

Page 99: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

98 – BP2LHK Manokwari

Hasil analisis menunjukan adanya perbedaan yang nyata pada pertambahan diameter

untuk anakan Merbau mendapatkan penambahan NPK dan serasah. Perbedaan yang nyata ini terjadi di ketiga periode pengukuran. Pada periode pertama dan kedua, pertambahan diameter anakan yang menggunakan NPK lebih tinggi daripada pertambahan diameter anakan yang menggunakan serasah. Namun, pada periode ketiga, pertambahan diameter anakan menggunakan serasah lebih tinggi dibandingkan dengan pertambahan diameter anakan yang menggunakan NPK.

Pada pengamatan selama tiga periode, terdapat kecenderungan pertambahan diameter pada anakan merbau di kedua perlakuan mengalami kenaikan dari periode pertama ke periode kedua. Namun pertambahan diameter anakan Merbau pada kedua perlakuan selanjutnya menurun dari periode kedua ke periode ketiga.

1. Pertambahan tinggi anakan

Pertambahan tinggi (cm) pada tiga periode pengukuran untuk anakan merbau dengan menggunakan NPK dan serasah ditampilkan pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Hasil uji Mann-Whitney U terhadap pertambahan tinggi (cm) antara anakan yang ditanam dengan tambahan NPK dan

Variabel Perlakuan Median Sig.

(Mann-Whitney U test)

DeltaT1 NPK 18 0**

Serasah 2

DeltaT2 NPK 101 0.493

Serasah 116

DeltaT3 NPK 40.5 0.845

Serasah 42 Keterangan: **=berbeda nyata (Remarks : **= significant different)

Pertambahan tinggi (cm) menunjukan perbedaan yang nyata antara anakan Merbau

yang ditanam dengan NPK dan serasah pada periode pertama. Pertambahan tinggi anakan Merbau yang ditanam dengan NPK lebih tinggi dibandingkan dengan pertambahan anakan yang ditanam dengan serasah. Selanjutnya, pada periode kedua dan ketiga pertambahan tinggi (cm) anakan Merbau tidak menunjukan perbedaan yang nyata antara anakan yang ditanam dengan NPK dan serasah.

Pada pengamatan selama tiga periode, pertambahan tinggi (cm) anakan merbau menunjukan kecenderungan yang sama dengan pertambahan diameter dimana pada periode pertama ke periode kedua pertambahan tinggianakan Merbau mengalami kenaikan. Kemudian, pada periode kedua ke periode ketiga pertambahan tinggi anakan Merbau menurun.

B. Pembahasan

1. Pengaruh pemupukan dengan NPK dan serasah terhadap vigor anakan

Apabila mortalitas dari kedua perlakuan pada penelitian dibandingkan dengan anakan Merbau yang ditanam tanpa perlakuan, maka mortalitas dari kedua perlakuan di atas masih lebih rendah. Penelitian dari Remetwa (1993) menunjukan bahwa mortalitas anakan tanpa perlakuan yang ditanam di bekas jalan sarad adalah 35.37%.

Jumlah anakan yang mati pada penanaman dengan menggunakan NPK menurun jumlahnya selama pengamatan. Sedangkan mortalitas yang tinggi terjadi pada periode

Page 100: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 99

penanaman pertama. Hal ini ada dapat disebabkan karena anakan Merbau tersebut masih membutuhkan penyesuaian pada saat menggunakan nutrisi, terutama dari NPK. Penyesuaian ini disebabkan karena kandungan Nitrogen pada pupuk NPK sebenarnya memberikan efek yang negatif pada akar, terutama pada akar anakan (Herdiana et al, 2008). Efek negatif tersebut juga terjadi karena nitrogen dapat menjadi pendukung soil acidification (Aber et al, 1989).

Sebelum penanaman, anakan Merbau masih menggunakan nutrisi hara organik di persemaian. Namun pada saat penanaman di jalan sarad tersebut, anakan merbau ditambah nutrisi anorganik. Pupuk NPK yang ditambahkan pada saat penanaman membutuhkan waktu untuk larut dalam tanah dan kemudian akan diserap oleh akar anakan merbau. Di samping itu, penambahan pupuk NPK ini akan mengubah sifat kimiawi tanah. Hal tersebut yang menyebabkan anakan merbau tersebut memerlukan waktu untuk penyesuaian kondisi tanah ini sehingga bagi anakan, tahun pertama atau awal penanaman di lapangan secara umum menjadi masa kritis untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan (Adjers et al, 1995).

Penggunaan serasah pada penanaman anakan Merbau tidak mengubah banyak sifat kimiawi dari tanah, sehingga pada saat penanaman anakan bisa langsung menyesuaikan diri dengan kondisi tanah yang hampir sama dengan saat sebelum ditanam di lapangan dan sesudah ditanam di lapangan. Pada saat di persemaian sebelum ditanam di lapangan, media tanam anakan merbau menggunakan tanah dari yang dikumpulkan dari lantai hutan. Keadaan ini yang menyebabkan sifat kimiawi tanah pada persemaian dan di lapangan tidak berbeda jauh karena di lapangan hanya ada penambahan serasah yang nantinya diharapkan akan menjadi penyuplai unsur hara organik pada anakan. Penggunaan serasah ini dianggap dapat menjadi alternatif pemupukan pada saat penanaman anakan di lapangan (Hardiwinoto et al, 2011)

Kondisi berbeda tampak mortalitas pada anakan Merbau yang menggunakan serasah, yang mengalami kenaikan selama tiga periode. Peningkatan mortalitas ini terjadi karena pada saat penanaman bahan organik dari media serasah belum bisa langsung diserap oleh akar, sehingga anakan Merbau tidak membutuhkan waktu untuk penyesuaian kondisi media tanah. Ketersediaan nutrisi yang terbatas pada mesia tersebut menyebabkan jumlah anakan yang mati semakin naik. Ketidaksediaan nutrisi ini dikarenakan serasah yang dipakai belum terdekomposisi dengan baik dan masih membutuhkan waktu untuk menjadi bahan organik tersedia.

2. Pertumbuhan anakan Merbau

Pertumbuhan anakan Merbau dengan menggunakan pupuk NPK tampak lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan anakan merbau dengan menggunakan serasah. Pada awal pengamatan, pertambahan tinggi dan diameter anakan tampak terjadi lebih cepat pada media NPK. Hal tersebut dimungkinkan karena NPK merupakan pupuk yang bisa langsung diserap akar anakan dan digunakan dalam proses fisiologi anakan. Berbeda dengan serasah yang masih belum terdekomposisi sempurna menjadi bahan-bahan organik. Namun, penggunaan pupuk NPK ini hanya dapat membantu anakan merbau untuk tumbuh lebih cepat selama ketersediaannya masih ada di tanah. Oleh sebab itu, untuk jangka waktu penggunaan yang lama akan membutuhkan pupuk NPK lebih banyak, sehingga dalam praktik silvikultur nantinya penggunaan pupuk anorganik seperti NPK tersebut akan menambah biaya (Schulze et al, 1994).

Sebaliknya, penggunaan serasah sebagai media tidak membantu anakan dalam pertumbuhannya pada saat setelah penanaman. Ini terjadi karena bentuk serasah adalah bahan yang belum bisa langsung diserap oleh akar anakan, namun serasah ini harus

Page 101: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

100 – BP2LHK Manokwari

terdekomposisi terlebih dahulu menjadi bahan organik tersedia. Proses dekomposisi serasah ini memerlukan waktu, sehingga pengaruh penggunaan serasah secara fisiologi terhadap anakan belum signifikan (Murdjoko, 2010).

Pertumbuhan diameter dan tinggi tampak melambat pada akhir pengamatan. Hal ini disebabkan karena anakan sudah mendapatkan cukup cahaya matahari untuk proses metabolisme (Nussbaum et al, 1995; Schulze, 2008). Ketersediaan nutrisi hasil dekomposisi di hutan tropis sesungguhnya akan tetap ada untuk menyuplai pertumbuhan vegetasi atau semai di lantai hutan (Chiti et al, 2014), sehingga perlakuan awal pada penanaman ini sebenarnya berkaitan dengan upaya menyiapkan nutrisi yang tersedia untuk pertumbuhan awal dari semai-semai tersebut. Selanjutnya, pada pertumbuhan anakan merbau tersebut ruang tumbuh dan cahaya matahari menjadi faktor-faktor penentu yang krusial (Montagnini et al, 1997).

Page 102: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 101

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kedua perlakuan dapat dipakai untuk penanaman

anakan Merbau di bekas jalan sarad. Secara khusus, perlakuan dengan menggunakan NPK memberikan hasil lebih baik dibandingkan pemberian serasah. Hasil pengukuran variabel tinggi

pertumbuhan anakan menunjukkan nilai lebih tinggi pada perlakuan dengan NPK. Sedangkan

pada variabel mortalitas, pada awal penanaman nilai mortalitas pada tumbuhan dengan perlakuan dengan NPK lebih tinggi daripada perlakuan dengan serasah. Namun selanjutnya,

mortalitas pada perlakuan dengan menggunakan NPK menurun.

B. Saran

Berdasarkan hasil pertumbuhan dan kemampuan hidup anakan dengan menggunakan kedua perlakuan, maka dapat dibuat rekomendasi bahwa penanaman anakan untuk tujuan pengayaan pada areal hutan yang merupakan bagian kegiatan TPTI dapat dilakukan di bekas jalan sarad.

Page 103: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

102 – BP2LHK Manokwari

DAFTAR PUSTAKA

Aber, J. D., Nadelhoffer, K.J., Steudler, P., Melillo, J. M. (1989). Nitrogen Saturation in

Northern Forest Ecosystems. BioScience, Vol. 39, No. 6 (Jun., 1989), pp. 378-386

Adjers, G., Hadengganan, S., Kuusipalo, J., Nuryanto, K., Vesab, L. (1995). Enrichment planting of dipterocarps in logged-over secondary forests: effect of width, direction and maintenance method of planting line on selected Shorea species. Forest Ecology and Management 73 (1995) 259-270.

Chiti, T., Grieco, E., Perugini, L., Rey, A., & Valentini, R. (2014). Effect of the replacement of tropical forests with tree plantations on soil organic carbon levels in the Jomoro district, Ghana. Plant and soil, 375(1-2), 47-59.

Departemen Kehutanan. (2005). Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif/TPII (Silvikultur Intensif). Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Hardiwinoto, S., Nurjanto, H. H., Nugroho, A. W., Widiyatno. (2011). Pengaruh Komposisi Dan Bahan Media Terhadap Pertumbuhan Anakan Pinus (Pinus merkusii). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol.8 No.1, Februari 2011,9-18

Herdiana, N., Lukman, A. H., Mulyadi, K. (2008). Pengaruh Dosis Dan Frekuensi Aplikasi Pemupukan NPK Terhadap Pertumbuhan Bibit Shorea ovalis Korth. (Blume.) Asal Anakan Alam di Peranakanan. Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. V No. 3: 289-296.

Montagnini, F., Eibl, B, Grance, L., Maiocco, D., Nozzi, D. (1997). Enrichment planting in overexploited subtropical forests of the Paranaense region of Misiones, Argentina. Forestry Ecology and Management 99 (1997) 237–246.

Murdjoko, A. (2010). Penggunaan Tanah Dari Tempat Ternaungi dan Tempat Tidak Ternaungi Sebagai Tempat Tumbuh Untuk Anakan Intsia bijuga OK. Jurnal Kehutanan Tropika. Vol. 3. No. 1. Januari – Juni 2010.

Nussbaum, R., Anderson, J., Spencer, T. (1995). Factors limiting the growth of indigenous tree seedlings planted on degraded rainforest soils in Sabah, Malaysia. Forest Ecology and Management 74 (1995) 149-159

Pryde, E. C., Holland, G. J., Watson, S. J., Turton, S. M., & Nimmo, D. G. (2015). Conservation of tropical forest tree species in a native timber plantation landscape. Forest Ecology and Management, 339, 96-104.

Remetwa, H. (1993). Keadaan Tegakan Sisa di Kawasan Hutan Manimeri, Bintuni-Manokwari. Paratropika Vol 1 No.1. Buletin Ilmiah Balai Penelitian Kehutanan.

Schulze, M. 2008. Technical and financial analysis of enrichment planting in logging gaps as a potential component of forest management in the eastern Amazon .Forest Ecology and Management 255 (2008) 866–879.

Schulze, P. C., Leighton, M., Peart, D. R. (1994). Enrichment Planting in Selectively Logged Rain Forest: A Combined Ecological and Economic Analysis. Ecological Applications, Vol. 4, No. 3 (Aug., 1994), pp. 581-592.

Page 104: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 103

PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN SEBAGAI ALTERNATIF PENGHASIL

PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KABUPATEN PEGUNUNGAN ARFAK

Oleh : Abdullah Tuharea

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari

Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Berdasarkan peraturan serta perundang-undangan tentang pengelolaan kawasan konservasi, pemanfaatan suatu kawasan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat diharapkan tidak merubah fungsi dari kawasan tersebut. Salah satu pemanfaatan yang diyakini dapat mencapai tujuan tersebut adalah pemanfaatan jasa lingkungan. Pemanfaatan jasa lingkungan di sejumlah daerah di Indonesia perkembangannya semakin meningkat. Hal yang berbeda terlihat di wilayah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat), dimana pemanfaatan jasa lingkungan belum menjadi prioritas utama dalam kegiatan pembangunan Papua. Di sisi lain, pemekaran wilayah di sejumlah daerah di wilayah Papua tidak saja terjadi pada dataran rendah tapi juga di dataran tinggi, yang awalnya merupakan kawasan konservasi. Salah satu contohnya adalah Kabupaten Pegunungan Arfak di Provinsi Papua Barat. Tujuan tulisan ini adalah untuk menggambarkan potensi jasa lingkungan yang dapat dijadikan alternatif penghasil pendapatan asli daerah khususnya bagi Kabupaten Pegunungan Arfak. Secara umum potensi sumber daya alam Kabupaten Pegunungan Arfak sangat besar, namun pengelolaan yang bijaksana sangat diperlukan mengingat sejak awalnya wilayah Pegunungan Arfak merupakan pelindung bagi daerah-daerah di sekitarnya. Pemanfaatan jasa lingkungan seperti jasa air, wisata alam, dan karbon merupakan alternatif terbaik bagi Pemda Pegunungan Arfak dalam menghasilkan Pendapatan Asli Daerah.

Kata Kunci : Jasa Lingkungan, Pendapatan Asli Daerah, Pegunungan Arfak

Page 105: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

104 – BP2LHK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

MacKinnon et al. (1993) menyebutkan bahwa suatu daerah atau kawasan yang ditetapkan dan dikelola untuk tujuan konservasi, dimaksudkan untuk melestarikan sumber daya alam di muka bumi tidak saja untuk generasi saat ini, tetapi juga untuk generasi mendatang. Namun penetapan kawasan konservasi tersebut terkadang dirasakan seperti menutup aspek pemanfaatan sumberdayanya. Pengelolaan kawasan konservasi yang bersifat konservatif tersebut telah berlangsung cukup lama dan terkadang justru menjadi biang konflik antara masyarakat dengan pengelola. Penetapan kawasan konservasi di Indonesia pada awalnya dianggap sebagai kehilangan sumber daya alam serta lingkungan terkait pembangunan ekonomi nasional (Rachmansyah dan Maryono 2011). Hal ini merupakan kesalahan konsep sejak awal dalam mengartikan kata konservasi, karena terkesan melarang masyarakat untuk memanfaatkan kawasan tersebut.

Bergulirnya era otonomi dan desentralisasi serta berubahnya paradigma pembangunan yang lebih terfokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, berimbas pula dalam pengelolaan kawasan konservasi. Hal ini terlihat dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan pemerintah dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan dalam pengelolaan kawasan hutan termasuk kawasan konservasi yang berlandaskan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan pengelolaan kawasan konservasi sudah mulai dirancang dan dikelola secara tepat untuk memberikan manfaat kepada masyarakat tanpa melupakan aspek kelestariannya.

Berdasarkan peraturan serta perundang-undangan tentang pengelolaan kawasan konservasi, pemanfaatan suatu kawasan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat diharapkan tidak merubah fungsi dari kawasan tersebut. Salah satu pemanfaatan yang diyakini dapat mencapai tujuan tersebut adalah pemanfaatan jasa lingkungan. Jasa lingkungan menurut Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam (PJLWA) Kementerian Kehutanan (2008) adalah fungsi alamiah ekosistem alami maupun buatan dan bermanfaat baik langsung maupun tak langsung bagi kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan aspek kelestariannya.

Pemanfaatan jasa lingkungan di sejumlah daerah di Indonesia mulai menunjukkan perkembangan yang semakin meningkat. Hal yang berbeda terlihat di wilayah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) dimana pemanfaatan jasa lingkungan belum menjadi prioritas utama dalam kegiatan pembangunan Papua. Komoditas hasil hutan kayu (HHK) masih menjadi primadona utama bagi setiap daerah di wilayah Papua untuk memperoleh pendapatan asli daerah (PAD). Padahal komoditas kayu dari tahun ke tahun kapasitasnya semakin berkurang disebabkan eksploitasi yang berlebihan serta pengambilan kayu secara ilegal (illegal logging).

Kebutuhan lahan untuk kegiatan pembangunan, seperti pemekaran wilayah di sejumlah daerah di wilayah Papua, secara tidak langsung membutuhkan areal hutan yang cukup luas. Namun, pembangunan tanpa perencanaan tata ruang wilayah yang baik pun akan berakibat bencana, seperti banjir, tanah longsor, dan sebagainya. Terutama bagi wilayah-wilayah yang pada awalnya merupakan daerah yang dikonservasi, seperti halnya Pegunungan Arfak. Pegunungan Arfak yang ditetapkan sebagai Cagar Alam berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 783/Kpts-II/92 tanggal 11 Agustus 1992 dengan pertimbangan karena memiliki ciri-ciri dan keadaan alam yang khas serta tempat tumbuhnya keanekaragaman flora dan fauna, sehingga perlu dijaga keutuhan dan kelestarian alamnya.

Seiring perkembangan dan kemajuan Provinsi Papua Barat serta adanya aspirasi

Page 106: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 105

masyarakat, maka dibentuklah Kabupaten Pegunungan Arfak (UU No. 24 Tahun 2012) untuk mendorong peningkatan pelayanan dalam bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah. Namun, sebagai wilayah konservasi dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan terutama dalam pemanfaatan sumber daya alamnya, pemerintah Kabupaten Pegunungan Arfak (Pegaf) harus melakukannya dengan baik dan benar. Seperti yang dikatakan oleh Petocz (1987), bahwa dari sisi historis wilayah Pegunungan Arfak secara keseluruhan termasuk areal cagar alamnya merupakan gugusan pegunungan yang memiliki fungsi sebagai water catchment yang sangat penting untuk melindungi daerah-daerah di sekitarnya.

Berdasarkan pemaparan di atas, penyusunan makalah ini bertujuan untuk menggambarkan potensi jasa lingkungan yang dapat menjadi alternatif PAD bagi Kabupaten Pegunungan Arfak.

Page 107: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

106 – BP2LHK Manokwari

II. PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN

1. Defenisi Jasa Lingkungan

Jasa lingkungan menurut UN-ESCAPE (2009) yang dikutip oleh Rizka, et al. (2013) didefinisikan sebagai manfaat yang diperoleh masyarakat dari hubungan timbal-balik yang dinamis yang terjadi di dalam lingkungan hidup, antara tumbuhan, binatang, dan jasad renik dan lingkungan non hayati. Selanjutnya dikatakan bahwa, ada 4 (empat) jenis jasa lingkungan yang dapat dipasarkan yakni jasa hidrologi (air), keindahan pemandangan, dukungan keanekaragaman hayati, dan karbon. Sedangkan menurut Pasya (2002), bahwa jasa lingkungan atau jasa bio-fisik secara praksis masih diukur sebatas fungsi-fungsi lingkungan seperti hidro-orologis, rosot karbon, iklim mikro, proteksi tata air, dan lain-lain yang masih dipengaruhi oleh ilmu ekologi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 yang telah dirubah melalui PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, pemanfaatan jasa lingkungan didefenisikan sebagai kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Secara khusus, PP No. 6 Tahun 2007 Jo PP No. 3 Tahun 2008 mengatur pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi, sedangkan pada kawasan hutan konservasi diatur pada peraturan lainnya. Jenis-jenis pemanfaatan jasa lingkungan yang dapat dilakukan pada kawasan hutan lindung dan produksi yaitu :

1. Pemanfaatan jasa aliran air. 2. Pemanfaatan air. 3. Wisata alam. 4. Perlindungan keanekaragaman hayati. 5. Penyelamatan dan perlindungan lingkungan. 6. Penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.

Menurut Sriyanto (2007) yang dikutip oleh Suprayitno (2008), jasa lingkungan didefinisikan sebagai jasa yang diberikan oleh fungsi ekosistem alam maupun buatan yang nilai dan manfaatnya dapat dirasakan langsung maupun tidak langsung oleh para pemangku kepentingan (stakeholder). Selanjutnya dikatakan bahwa hal tersebut dimaksudkan dalam rangka memelihara dan/atau meningkatkan kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat dalam mewujudkan pengelolaan ekosistem secara berkelanjutan.

2. Pemanfaatan Potensi Jasa Lingkungan di Kabupaten Pegunungan Arfak

Pemanfaatan Jasa Lingkungan adalah upaya pemanfaatan potensi jasa (baik berupa jasa penyediaan/provisioning services, pengaturan/regulating services, maupun budaya/cultural services) yang diberikan oleh fungsi ekosistem dengan tidak merusak dan mengurangi fungsi pokok ekosistem tersebut (Suprayitno, 2008). Selanjutnya dikatakan bahwa Kegiatannya dapat berupa usaha wisata alam, usaha olahraga tantangan, usaha pemanfaatan air, usaha perdagangan karbon (carbon trade) atau usaha penyelamatan hutan dan lingkungan .

Seiring dengan bergesernya paradigma pembangunan di Indonesia secara keseluruhan, sektor kehutanan pun mengalami pergeseran dari timber oriented menjadi resource based management. Hal ini tentunya mendorong pemanfaatan jasa lingkungan hutan menjadi sangat prospektif. Sebagai kawasan konservasi dengan status cagar alam potensi jasa lingkungan di Kabupaten Pegaf sangat menjanjikan untuk dikembangkan. Pengelolaan hutan secara terpadu melalui peningkatan pemanfaatan jasa lingkungan

Page 108: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 107

berpotensi mendukung pembangunan berkelanjutan baik secara ekonomi, memberikan dampak positif terhadap pranata sosial dan budaya setempat melalui partisipasi masyarakat lokal, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan.

Direktorat PJLWA (2008) menyatakan bahwa secara umum kawasan konservasi (KSA/KPA) terdiri dari berbagai perwakilan ekosistem alami yang masih utuh dengan jenis flora dan fauna yang beragam serta bernilai tinggi. Beberapa diantaranya merupakan jenis yang dilindungi, endemik setempat dan langka, sehingga potensi kawasan ini dapat memberikan nilai dan daya tarik yang besar apabila dikelola dengan baik. Selanjutnya dikatakan bahwa, kawasan konservasi sangat terkait dengan keruangan. Oleh karena itu, keberadaan dan keberhasilan pengelolaannya sangat ditentukan oleh desain penetapan dan pengelolaan sehari-hari di lapangan. Sudah selayaknya apabila perencanaan pengelolaan dan upaya pelestarian keanekaragaman hayati menjadi bagian inheren dalam setiap perencanaan pembangunan daerah termasuk di Kabupaten Pegunungan Arfak.

Berdasarkan pertimbangan di atas pengelolaan kawasan konservasi sebaiknya dikelola dan diusahakan dengan melibatkan pihak lain dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip dasar pelestarian keanekaragaman hayati berbasis ekosistem dan bioregional yang dituangkan dalam sebuah sistem dan standart pengelolaan yang jelas dan diacu oleh semua pihak (Direktorat PJLWA, 2008). Selanjutnya dikatakan bahwa, perumusan tujuan dari pengelolaan kawasan konservasi meliputi :

a. Perlindungan proses ekologi dan sistem penyangga kehidupan. b. Pengawetan keanekaragaman hayati, dan c. Pemanfaatan yang lestari.

Kabupaten Pegunungan Arfak (Pegaf) sebagai daerah pemekaran baru dari Kabupaten Manokwari yang pada awalnya merupakan daerah konservasi dengan status cagar alam, tentunya memiliki sumber daya alam yang berpotensi sebagai jasa lingkungan. Selain itu juga Kabupaten Pegaf merupakan daerah pelindung bagi daerah-daerah di bawahnya, seperti Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Manokwari Selatan. Sebagai daerah baru yang sangat membutuhkan sarana dan prasarana pendukung kegiatan pembangunan, Kabupaten Pegaf tentunya harus lebih bijak dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alamnya, khususnya pemanfaatan jasa lingkungan.

Jasa lingkungan pada dasarnya secara umum merupakan hak publik yang penyediaannya diatur melalui kebijakan pemerintah untuk menghindari kerusakan akibat mekanisme pasar yang tidak ramah lingkungan (Direktorat PJLWA, 2008). Selanjutnya dikatakan bahwa pembayaran atas jasa ligkungan pada dasarnya merupakan insentif positif bagi para penyedia, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat.

Page 109: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

108 – BP2LHK Manokwari

III. PENGELOLAAN WISATA ALAM DI PEGUNUNGAN ARFAK

1. Sejarah Pengembangan Wisata Alam di Pegunungan Arfak

Pemanfaatan jasa lingkungan khususnya potensi wisata alam di Pegunungan Arfak telah dilakukan sejak lama. Walaupun pada awalnya istilah wisata alam ini belum menjadi isu yang menarik perhatian. Sejumlah ahli biologi mendatangi Pegunungan Arfak untuk melakukan eksplorasi sumber daya alam biologinya. Namun seiring dengan perkembangan jaman, kelompok pencinta alam pun mulai tertarik untuk mengunjungi kawasan tersebut (Tuharea, 2014).

Salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal yang pada awalnya membina masyarakat di Pegunungan Arfak untuk mengelola sumber daya alam, mulai memfasilitasi pengembangan sektor pariwisata khususnya wisata alam sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Sejak tahun 2009 dengan pendanaan dari luar negeri dilakukan pengembangan wisata alam di Pegunungan Arfak berlokasi di Kampung Kwau dan Syobri. Kedua kampung tersebut dipilih karena merupakan habitat dari jenis burung endemik Pegunungan Arfak yang sangat indah dan unik, serta merupakan obyek daya tarik wisata yang sangat diminati oleh wisatawan mancanegara. Hanya saja saat ini LSM tersebut tidak lagi melakukan pendampingan terkait pengembangan wisata alam di Pegunungan Arfak.

Untuk berwisata alam di Pegunungan Arfak dengan obyek daya tarik wisata berupa keindahan dan keunikan panorama alam serta bird watching dan tracking, umumnya pengunjung mendapatkan informasi lewat situs internet yang dimiliki oleh operator wisata di Kota Manokwari. Setelah pengunjung melakukan deal dengan operator wisata, selanjutnya operator wisata akan menghubungi local guide untuk menyambut pengunjung sesuai waktu yang sudah disepakati antara pengunjung dengan operator wisata. Local guide dapat menjemput langsung di Kota Manokwari atau di jalan masuk menuju home stay di Pegunungan Arfak.

Untuk berwisata di Pegunungan Arfak khususnya di kedua kampung tersebut ada kesepakatan yang harus dipatuhi oleh pengunjung. Hal ini dimaksudkan, agar kegiatan wisata yang dilakukan dapat juga dirasakan manfaatnya oleh penduduk lainnya. Kesepakatan yang dimaksud adalah untuk bahan makanan yang diusahakan oleh masyarakat seperti sayuran diharapkan pengunjung tidak membelinya di Kota Manokwari. Sebagai kontribusi kepada masyarakat, diharapkan pengunjung membeli kebutuhan makanan yang diusahakan masyarakat tersebut langsung di lokasi wisata.

Tarif yang dikenakan kepada pengunjung untuk berwisata berdasarkan hasil wawancara adalah sebagai berikut :

1. Penginapan Rp. 50.000/orang/hari 2. Fee untuk kampung Rp. 50.000/orang 3. Jasa guide Rp. 200.000/hari 4. Jasa porter menuju home stay Rp. 50.000/porter 5. Jasa porter selama berwisata Rp. 100.000/porter/hari

Untuk jasa porter selama berwisata tarifnya akan lebih tinggi, karena menurut responden selain mengangkat barang para turis, mereka juga terlibat selama mengikuti aktivitas wisatawan, seperti mencari kayu bakar bahkan juga memasak makanan.

2. Nilai Ekonomi Wisata Alam di Pegunungan Arfak (Studi Kasus Kampung

Kwau)

Page 110: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 109

Nilai ekonomi wisata alam merupakan nilai manfaat dari kualitas jasa lingkungan suatu

lokasi wisata yang berupa ekosistem alami, keanekaragaman hayati, dan keindahan panorama alam yang didukung oleh berbagai fasilitas, sarana prasarana, serta sumber daya manusia yang mumpuni dalam pengembangan kegiatan wisata alam (Susmianto, 1999 dalam Widada, 2004). Oleh karena itu, bila kualitas sumber daya alam serta fasilitas pendukungnya semakin meningkat maka jumlah kunjungan pun akan meningkat pula. Dengan demikian, nilai ekonomi wisata alamnya pun akan meningkat.

Berdasarkan kondisi lapangan yang ditemui saat melakukan penelitian dengan segala keterbatasan, maka pendekatan yang dilakukan untuk menghitung nilai ekonomi pengembangan wisata alam di Kampung Kwau adalah dengan menggunakan pendekatan zonasi. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Fauzi (2006) bahwa pendekatan zonasi dapat digunakan apabila saat melakukan penelitian hanya terdapat data sekunder dan beberapa data sederhana saja. Selanjutnya dikatakan bahwa dengan metode ini pengunjung yang berkunjung ke lokasi wisata (Kampung Kwau) dijabarkan ke dalam zona-zona berdasarkan asal pengunjung. Dari sini akan diperoleh data jumlah kunjungan per 1000 orang penduduk, dan bersama data jarak, waktu perjalanan, serta biaya perjalanan, maka akan diperoleh biaya perjalanan secara keseluruhan.

Berdasarkan data (primer dan sekunder) yang diperoleh untuk menghitung nilai ekonomi wisata alam yang dikembangkan di wilayah Pegunungan Arfak, khususnya di Kampung Kwau, Distrik Minyambouw pada tahun 2011 diperoleh hasil sebesar Rp. 895.868.125. Nilai ekonomi dari pengembangan wisata alam (khususnya wisata alam pegunungan) ini tidak sebesar yang dimiliki Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) sebesar Rp. 1.266.590.495 (Widada, 2004). Hanya saja, nilai ekonomi sebesar itu tentunya perlu menjadi perhatian bagi pihak pengelola kawasan CAPA (BBKSDA Papua Barat) dan juga pemerintah daerah dalam mendukung pengelolaan potensi sumber daya alam yang dimiliki Kampung Kwau khususnya sebagai obyek daya tarik wisata alam dan Pegunungan Arfak secara umum.

Page 111: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

110 – BP2LHK Manokwari

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pengelolaan dan pemanfaatan jasa lingkungan di Kabupaten Pegunungan Arfak sangat menjanjikan dalam kegiatan pembangunan di wilayah tersebut. Keindahan panorama alam pegunungan yang sangat menakjupkan seperti keindahan dan keunikan flora, fauna, dan bentang alam perlu dikembangkan sebagai penghasil pendapatan, baik untuk pemerintah maupun masyarakat lokal. Potensi jasa lingkungan seperti, air, carbon, wisata alam, keanekaragaman hayati yang dimiliki Kabupaten Pegunungan Arfak harus menjadi prioritas utama dalam setiap program pembangunannya.

B. Saran

Pengembangan wisata alam sebagai salah satu bentuk pemanfaatan jasa lingkungan yang telah berlangsung sejak lama, perlu dilakukan lebih intensif lagi oleh pemerintah daerah Kabupaten Pegunungan Arfak. Pembangunan sarana dan prasarana pendukung khususnya sarana jalan untuk memudahkan aksesibilitas perlu segera dilakukan untuk memperlancar perjalanan pengunjung/wisatawan mengujungi obyek daya tarik wisata di Kabupaten Pegunungan Arfak.

Page 112: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 111

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat PJLWA. 2008. Kriteria dan Indikator keberhasilan pelaksanaan jasa lingkungan, wisata alam, dan bina cinta alam di kawasan hutan. Bogor (ID). Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam.

Fauzi A. 2006. Ekonomi sumber daya alam dan lingkungan : teori dan aplikasi. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.

Petocz RG. 1987. Konservasi alam dan pembangunan di Irian Jaya : strategi pemanfaatan sumber daya alam secara rasional. Jakarta (ID): Pustaka Grafitipers.

Rachmansyah Y, Maryono J. 2011. Pentingnya evaluasi ekonomi dalam pengelolaan kawasan konservasi yang lestari [internet]. [Diacu 2011 Maret 25]. Tersedia dari : http://yanuar20.blogspot.com/

Rizka, Y., Bambang A.N., dan Budiyono. 2013. Identifikasi pemanfaatan jasa lingkungan air di KSA/KPA Merapi Provinsi Sumatera Barat. Padang (ID). Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan : 598-603.

Suprayitno. 2008. Teknik pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam. Bahan bacaan pada pendidikan dan pelatihan kehutanan. Bogor (ID). Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan.

Tuharea, A. 2014. Penilaian ekonomi wisata alam di Cagar Alam Pegunungan Arfak Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Disertasi. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB.

Widada. 2004. Nilai manfaat ekonomi dan pemanfaatan Taman Nasional Gunung Halimun bagi masyarakat. Disertasi. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB.

Page 113: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

112 – BP2LHK Manokwari

Page 114: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 113

PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PENGGUNAAN KAYU ENERGI UNTUK INDUSTRI RUMAH TANGGA : STUDI KASUS KABUPATEN

SOPPENG DAN PANGKEP SULAWESI SELATAN

Oleh : Achmad Rizal HB, Nurhaedah Muin, dan Nur Hayati

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar

Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16,5 Makassar Email: [email protected]; [email protected]; [email protected]

Abstrak

Masyarakat sekitar hutan umumnya memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap

hutan, khususnya dalam memenuhi kebutuhan akan kayu energi. Di lokasi kajian, kayu energi digunakan untuk memenuhi berbagai keperluan, mulai dari konsumsi rumah tangga sampai untuk usaha ekonomi masyarakat. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Soppeng dan Pangkep sebagai lokasi sentra produksi gula aren di Sulawesi Selatan. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan masyarakat dengan menggunakan kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Pengambilan sampel menggunakan metode purposive melalui convenience sampling terhadap masyarakat sekitar hutan yang menggunakan kayu sebagai sumber energi. Hasil peneilitian menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap penggunaan kayu energi berhubungan dengan beberapa faktor, antara lain tingkat pendididikan, jumlah anggota keluarga dan jumlah kebutuhan kayu.

Kata Kunci: persepsi, masyarakat, kayu energi, rumah tangga

Page 115: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

114 – BP2LHK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tingginya laju degradasi hutan yang terjadi saat ini serta luasnya lahan kritis dapat menyebabkan hutan tidak dapat memberikan manfaat dan melaksanakan fungsinya dengan baik untuk menghasilkan produk kayu. Kayu merupakan salah satu komoditi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat khususnya masyarakat di sekitar hutan. Kayu bagi masyarakat sekitar hutan dibutuhkan untuk bangunan dan kayu bakar sebagai sumber energi.

Saat ini, perkembangan sumber energi terbarukan semakin pesat untuk mewujudkan sumber energi yang murah, mudah diperoleh,dan ramah lingkungan. Pemanfaatan berbagai sumber energi tersebut tampak seperti energi matahari, air, dan udara, serta pengolahan bahan baku dari berbagai jenis tumbuhan untuk biodiesel dan bioetanol. Selain itu, ada juga yang kembali mengelola sumberdaya alam penghasil energi yang paling kuno yaitu kayu (Zam et al., 2011). Kayu bakar merupakan salah satu sumber energi yang terbarukan (renewable energy), dan termasuk sumber energi biomassa yang dapat dengan cepat diperbaharui kembali oleh alam dan prosesnya berkelanjutan (Anonim, 2009c).

Indonesia mempunyai potensi energi biomassa yang besar. Pemanfaatan energi biomassa sudah sejak lama dilakukan dan termasuk energi tertua yang peranannya sangat besar khususnya di perdesaan. Peningkatan pemanfaatan energi biomassa, khususnya kayu bakar, dalam rangka diversifikasi energi juga sejalan dengan Kebijakan Energi Nasional dan sangat strategis untuk mewujudkan ketahanan energi Indonesia (Tampubolon, 2008). Diperkirakan 35% dari total konsumsi energi nasional berasal dari biomassa (Juankhan, 2008).

Masyarakat sekitar hutan umumnya memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap hutan, khususnya dalam memenuhi kebutuhan akan kayu energi sebagai salah satu alternatif sumber energi untuk keperluan sehari-hari. Hal ini disebabkan karena (1) kayu mudah temukan disekitar pemukiman masyarakat, (2) tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar hutan masih rendah sehingga berdampak pada rendahnya daya beli masyarakat, (3) harga BBM (bahan bakar minyak) relatif tinggi bagi masyarakat sekitar hutan yang memiliki tingkat daya beli yang rendah. Selain itu masyarakat terpengaruh pada faktor keamanan penggunaan kayu (Hayati et al., 2010; Yunianto et al., 2014).

Saat ini ada sekitar 1,6 milyar penduduk dunia yang masih mengalami kesulitan akses terhadap listrik, dan sekitar 2,4 milyar penduduk masih bergantung pada bahan bakar tradisional biomassa untuk memasak dan pemanas (Nuryanti et al., 2007). Sedangkan di Indonesia diperkirakan 50% penduduk Indonesia menggunakan kayu bakar sebagai sumber energi dan 80% sumber energi masyarakat pedesaan diperoleh dari kayu bakar, khususnya untuk memasak (Tampubolon, 2008).

Salah satu bentuk penggunaan kayu energi bagi masyarakat sekitar hutan adalah untuk pembuatan gula aren. Pembuatan gula aren yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan mempunyai nilai yang cukup penting dalam meningkatkan kesejahteraannya. Kayu bakar yang digunakan oleh masyarakat sekitar hutan umumnya berasal dari areal hutan rakyat maupun hutan negara (hutan produksi, konservasi dan hutan lindung). Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk menjaga supaya hutan tetap lestari sehingga akan tercipta kontinuitas sumber energi dan perekonomian masyarakat yang menggunakan kayu sebagai sumber energi pun akan tetap eksis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat sekitar hutan terhadap penggunaan kayu energi.

Page 116: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 115

II. METODE PENELITIAN

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) di Provinsi Sulawesi Selatan. Ada 2 (dua) Kabupaten di Sulawesi Selatan yang dijadikan lokasi sampel penelitian, yaitu Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Pangkep. Pemilihan lokasi ini berdasarkan asal (sumber pasokan) kayu energi yang dipergunakan sebagai kayu energi.

C. Bahan dan Peralatan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner untuk mendapatkan data dari masyarakat sekitar hutan yang memanfaatkan kayu energi untuk keperluan sehari-hari dan industri rumah tangga. Peralatan yang digunakan alat tulis dan alat pembantu lainnya untuk melengkapi data yang diperlukan, berupa alat perekam kamera/handycam.

D. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan masyarakat menggunakan kusioner, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait, antara lain Dinas Kehutanan, Dinas Usaha Kecil Menengah dan Badan Pusat Statistik dan instansi terkait lainnya.

Pengambilan sampel menggunakan metode purposive secara convenience sampling terhadap masyarakat sekitar hutan yang menggunakan kayu sebagai sumber energi. Metode ini digunakan karena besarnya peluang anggota populasi untuk terpilih sebagai sampel tidak sama, dan strategi pengambilan sampel didasarkan atas kemudahan dari arah peneliti. Pemilihan sampel dengan metode purposive secara convenience sampling dilakukan dengan mewawancarai masyarakat yang menggunakan kayu sebagai sumber energi pada saat penelitian ini dilakukan. Pemilihan sampel dilakukan dengan terlebih dahulu menanyakan kepada masyarakat apakah mereka menggunakan kayu sebagai sumber energi atau tidak.

Data/informasi yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dengan beberapa cara, yaitu:

a. Observasi, yaitu melihat dan mengamati karakteristik lapangan dan responden

secara langsung sehingga dapat mengetahui kondisi obyek yang akan diamati dan

diambil datanya.

b. Studi literatur, yaitu mendalami berbagai informasi penting seperti literatur dan

teori yang berkaitan data-data yang menunjang penelitian ini.

c. Wawancara dan pengisian kuisioner, yaitu pengumpulan fakta dan data dengan

cara melakukan wawancara secara intensif dan mendalam dengan responden.

E. Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat konklusif (conclusive research) dengan pendekatan studi deskriptif (descriptive study). Persepsi masyarakat yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah persepsi beberapa individu yang dianggap dapat mewakili masyarakat lainnya dalam wilayah yang sama.

F. Analisis Data

Data yang terkumpul kemudian ditabulasi dan selanjutnya diolah dengan menggunakan analisis chi square.

Page 117: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

116 – BP2LHK Manokwari

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat persepsi masyarakat terhadap penggunaan kayu energi di Kabupaten Pangkep

dan Kabupaten Soppeng dibagi dalam dua kategori yang didasarkan pada skor total yang diperoleh responden, yaitu persepsi tinggi dan persepsi rendah. Persepsi masyarakat dinilai rendah, jika skor total yang diperoleh berkisar 1-9, sedangkan persepsi dinilai tinggi, jika skor total yang diperoleh berkisar 10-18. Tabel 1 menunjukkan tingkat persepsi masyarakat terhadap penggunaan kayu energi di Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Soppeng.

Tabel 1. Tingkat persepsi masyarakat terhadap penggunaan kayu energi di Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Soppeng

Tingkat

Persepsi Masyarakat

Lokasi Jumlah

Kabupaten Pangkep Kabupaten Soppeng

N % N % N %

Rendah

(skor 1-9)

13 33,3 3 7,90 16 20,8

Tinggi (skor 10-18)

26 66,7 35 92,10 61 79,2

Jumlah 39 100 38 100 77 100 Sumber : Data Primer, 2010

Tabel 1 menunjukkan bahwa secara umum tingkat persepsi masyarakat terhadap penggunaan kayu energi di Kabupaten Soppeng dan Pangkep cukup tinggi. Hal ini dapat terjadi karena pada dua lokasi kajian pada umumnya masyarakat bermatapencaharian sebagai petani dan pembuat gula aren. Di samping itu juga dipengaruhi oleh jarak untuk mendapatkan kayu energi di kebun dan sekitar hutan lebih dekat dibanding jenis energi lain. Hal senada juga dikemukakan oleh Nuryanti (2007) bahwa adanya perbedaan aksesibilitas masyarakat terhadap sumber energi dapat mempengaruhi konsumsi energi.

Tingginya persepsi masyarakat terhadap penggunaan kayu bakar tergambar dalam kehidupan sehari-hari yang umumnya menggunakan kayu bakar untuk memasak kebutuhan sehari-hari. Selain penggunaan kayu bakar secara total sebagian masyarakat juga mengombinasi dengan bahan bakar lain, seperti arang yang juga berbahan dasar kayu.

A. Hubungan umur dengan tingkat persepsi masyarakat terhadap penggunaan

kayu energi

Tingkat umur seseorang dapat mempengaruhi pola pikir, wawasan, kemampuan menyerap teknologi dan kemampuan fisik dalam bekerja. Semakin tua seseorang, maka kemungkinan pola pikir dan wawasan terhadap suatu hal semakin luas, demikian pula sebaliknya. Tabel 2 menyajikan hubungan antara umur dan tingkat persepsi masyarakat terhadap penggunaan kayu energi.

Tabel 2. Hubungan antara umur dengan tingkat persepsi masyarakat terhadap penggunaan kayu energi di Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Soppeng

Tingkat

Persepsi

Kelas Umur Jumlah

Kabupaten Pangkep Kabupaten Soppeng

Usia produktif

(15-55)

Usia non produktif

(>55)

Usia produktif

(15-55)

Usia non produktif

(>55)

Page 118: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 117

Rendah

(skor 1-9)

9 0 2 1 12

Tinggi

(skor 10-18)

26 4 30 5 65

Jumlah 35 4 32 6 77 Sumber : Data Primer, 2010

Berdasarkan hasil penelitian, umur responden dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu

usia produktif (15-55 tahun) dan usia non produktif (>55 tahun). Pada Tabel 2 terlihat bahwa pada dua lokasi kajian, umumnya usia produktif memiliki persepsi yang tinggi terhadap penggunaan kayu energi. Sedangkan hasil analisis menunjukkan bahwa distribusi umur masyarakat berpengaruh tidak nyata terhadap tingkat persepsi terhadap penggunaan kayu energi. Hal ini disebabkan karena penggunaan kayu dalam memasak sehari-hari sudah merupakan kebiasaan dari orang tua yang diwarisi anak cucunya, yang bagi mereka dapat memberikan aroma dan citarasa yang lebih enak dibanding bahan bakar selain kayu.

B. Hubungan jenis suku dan tingkat persepsi masyarakat terhadap penggunaan kayu energi

Dua lokasi kajian memiliki suku yang berbeda, dimana Kabupaten Pangkep didominasi Suku Makassar, sedangkan Kabupaten Soppeng didominasi suku Bugis. Pada umumnya suku dapat mempengaruhi budaya dan adat-istiadat masyarakat, setiap suku memiliki kekhasan yang unik yang menggambarkan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Hubungan antara suku dan persepsi masyarakat terhadap penggunaan kayu energi disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hubungan antara suku dan tingkat persepsi masyarakat terhadap penggunaan kayu energi di Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Soppeng

Tingkat Persepsi

Suku Jumlah

Kabupaten Pangkep Kabupaten Soppeng

Bugis Makassar Bugis Makassar

Rendah (skor 1-9)

2 3 3 0 8

Tinggi (skor10-18)

11 23 35 0 69

Jumlah 13 26 38 0 77 Sumber : Data primer, 2010

Tabel 3 menunjukkan bahwa Suku Makassar di Kabupaten Pangkep memiliki persepsi yang lebih tinggi dibanding Suku Bugis dalam penggunaan kayu energi. Sebaliknya Suku Bugis di Kabupaten Soppeng memiliki persepsi yang lebih tinggi dibanding Suku Makassar dalam penggunaan kayu energi. Hal ini dapat dipahami karena di Kabupaten Pangkep didominasi oleh Suku Makassar, sebaliknya di Kabupaten Soppeng didominasi oleh Suku Bugis. Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis suku tidak berpengaruh nyata pada persepsi masyarakat terhadap penggunaan kayu energi. Hal ini terjadi karena kedua suku memiliki budaya yang relatif sama.

C. Hubungan tingkat pendidikan dan tingkat persepsi masyarakat terhadap kayu energi

Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi wawasan dan kemampuan seseorang dalam menyerap teknologi termasuk penggunaan energi. Pemahaman petani akan inovasi

Page 119: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

118 – BP2LHK Manokwari

teknologi membutuhkan kesiapan mental sampai mengambil keputusan untuk adopsi teknologi yang bermanfaat dan diterapkan melalui proses persepsi (Edwina dan Maharani, 2010). Pada Tabel 4 disajikan hubungan antara tingkat pendidikan dan persepsi terhadap penggunaan kayu energi.

Tabel 4. Hubungan antara pendidikan dengan t ingkat persepsi masyarakat t e rhadap p enggunaan kayu en e rg i d i Kabupa ten Pangkep dan Kabupaten Soppeng

Tingkat Persepsi

Pendidikan Jumlah

Kabupaten Pangkep Kabupaten Soppeng

Rendah Tinggi Rendah Tinggi

Rendah (skor 1-9)

6 1 3 1 11

Tinggi (skor 10-18)

20 11 28 7 66

Jumlah 26 12 31 8 77 Sumber : Data Primer, 2010

Tingkat pendidikan masyarakat pada lokasi penelitian dibagi dalam dua kategori, yaitu pendidikan rendah ≤SD dan pendidikan tinggi, yaitu SMP – SMA. Walaupun tingkat pendidikan rendah merupakan tingkat pendidikan yang mendominasi masyarakat pada dua lokasi kajian seperti disajikan pada Tabel 4, hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dan persepsi dalam penggunaan kayu energi di Kabupaten Soppeng.

D. Hubungan antara jumlah anggota keluarga dan tingkat persepsi masyarakat terhadap penggunaan kayu energi

Jumlah anggota keluarga dalam penelitian ini dibagi atas tiga kategori, yaitu rendah jika jumlah anggota keluarga berkisar 0-2 orang, sedang jika jumlah anggota keluarga berkisar 3-5 orang, dan tinggi jika jumlah anggota keluarga berkisar 6 orang ke atas. Jumlah anggota keluarga dapat mempengaruhi jumlah kebutuhan pokok yang digunakan, sehingga pengolahan bahan mentah menjadi siap saji juga akan lebih tinggi atau lebih sering. Hal ini sejalan dengan Astana (2012), bahwa konsumsi kayu bakar meningkat dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga. Hubungan antara tingkat persepsi terhadap penggunaan kayu bakar dengan jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hubungan antara tingkat persepsi masyarakat terhadap penggunaan kayu energi dengan jumlah anggota keluarga

Tingkat Persepsi Masyarakat

Jumlah anggota keluarga

Jumlah

Kabupaten Pangkep Kabupaten Soppeng

Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah (skor 1-9)

3 4 2 0 1 2 12

Tinggi (skor10-18)

8 16 6 1 27 7 65

Jumlah 11 20 8 1 28 9 77

Sumber : Data Primer, 2010

Hasil analisis menunjukkan bahwa di Kabupaten Pangkep terdapat hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan tingkat persepsi dalam penggunaan kayu bakar. Menurut Rakatama (2012) beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat ekstraksi kayu bakar dari

Page 120: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 119

kawasan adalah jumlah anggota keluarga, jarak ke sumber energi substitusi, tingkat pendapatan, luas lahan yang dimiliki, dan umur kepala rumah tangga. Semakin tinggi jumlah anggota keluarga akan semakin berpengaruh terhadap kebutuhan kayu energi.

E. Hubungan jenis pekerjaan utama dengan tingkat persepsi masyarakat

terhadap penggunaan kayu energi

Jenis pekerjaan utama masyarakat dalam penelitian ini dibagi atas dua kategori, yaitu pertama sebagai petani dan kedua non petani, sedangkan jenis pekerjaan sampingan juga dibagi atas dua kategori, yaitu pertama berkebun dan kedua pembuat gula aren, dan pekerjaan lain. Hasil analisis menunjukkan bahwa baik pekerjaan utama maupun pekerjaan sampingan tidak memiliki hubungan dengan persepsi masyarakat terhadap penggunaan kayu energi. Meskipun secara statistik tidak memiliki hubungan, namun persepsi masyarakat tetap tinggi terhadap penggunaan kayu energi. Bagi masyarakat yang berprofesi sebagai pembuat gula aren, baik sebagai pekerjaan pokok maupun sebagai pekerjaan sampingan, umumnya mereka mengambil kayu untuk keperluan pengolahan gula sekaligus untuk keperluan rumah tangga. Hal ini dilakukan dengan alasan untuk menghemat waktu dan tenaga.

F. Hubungan antara jumlah tingkat pendapatan masyarakat dengan tingkat persepsi masyarakat terhadap penggunaan kayu energi

Pada penelitian ini tingkat pendapatan masyarakat dibagi atas dua kategori, yaitu rendah < UMP Sulawesi Selatan (Rp 1 juta) dan tinggi ≥ UMP Sulawesi Selatan (Rp 1 juta) (Antara News, 2010). Tabel 6 menunjukkan hubungan antara tingkat persepsi masyarakat terhadap penggunaan kayu energi dengan tingkat pendapatan masyarakat.

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendapatan masyarakat dengan persepsi terhadap penggunaan kayu energi di Kabupaten Soppeng. Hal ini terjadi karena tingkat pendapatan dapat mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap sesuatu, termasuk bahan energi. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Astana (2012) bahwa semakin tinggi pendapatan cenderung semakin sedikit kayu energi yang dikonsumsi.

Tabel 6. Hubungan antara tingkat persepsi dengan tingkat pendapatan Masyarakat

Tingkat Persepsi

Pendapatan Jumlah

Kabupaten Pangkep Kabupaten Soppeng Rendah Tinggi Rendah Tinggi

Rendah (skor 1-9)

2 6 0 3 11

Tinggi (skor 10-18)

3 28 13 22 66

Jumlah 5 34 13 25 77 Sumber: Data Primer, 2010

G. Hubungan persepsi masyarakat terhadap penggunaan kayu energi dengan

tingkat kebutuhan kayu energi

Tingkat kebutuhan kayu energi pada penelitian ini dibagi atas tiga kategori, yaitu rendah jika kebutuhan kayu berkisar 1-5 ikat/ per bulan, sedang jika kebutuhan kayu berjumlah 6-10 ikat/bulan, dan tinggi jika kebutuhan kayu berjumlah ≥11 ikat per bulan. Pada Tabel 7 disajikan hubungan antara tingkat persepsi terhadap penggunaan kayu energi dengan tingkat kebutuhan kayu.

Page 121: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

120 – BP2LHK Manokwari

Tabe l 7. Hubungan ant a ra t i ngkat per seps i dengan t ingkat kebutuhan Kayu energi

Tingkat Persepsi Masyarakat

Kebutuhan kayu Jumlah Kabupaten Pangkep Kabupaten Soppeng

Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi

Rendah (skor 1-9)

1 3 5 0 0 3 12

Tinggi (skor 10-18)

6 9 15 2 11 22 65

Jumlah 7 12 20 2 11 25 77 Sumber: Data Primer, 2010

Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kebutuhan kayu energi memiliki hubungan

dengan tingkat persepsi masyarakat terhadap penggunaan kayu energi di Kabupaten Pangkep. Semakin tinggi persepsi maka semakin senang masyarakat menggunakan kayu energi atau kayu bakar baik secara total maupun kombinasi dalam bentuk arang yang juga berbahan dasar kayu. Menurut Dwiprabowo (2010) kayu bakar bagi masyarakat di pedesaan belum akan tergantikan secara total oleh jenis energi seperti minyak tanah dan gas, karena kemampuan daya belinya yang rendah dan sulitnya memperoleh pekerjaan alternatif di luar usahatani. Selain itu, menurut Astana (2012) minyak tanah hanya merupakan komplemen daripada sebagai barang substitusi kayu bakar. Namun, tingginya persepsi tersebut harus dibarengi dengan upaya pemenuhan kebutuhan kayu energi untuk mengurangi tekanan terhadap kawasan hutan.

Page 122: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 121

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Persepsi masyarakat terhadap penggunaan kayu energi berhubungan dengan faktor-faktor

lain. Di Kabupaten Soppeng, persepsi masyarakat terhadap kayu energi berhubungan dengan pendidikan dan pendapatan, sedangkan di Kabupaten Pangkep persepsi masyarakat

berhubungan dengan jumlah anggota keluarga dan kebutuhan kayu. Penggunaan kayu energi

sangat beragam mulai dari konsumsi rumah tangga, warung makan, pembuatan gula aren, pembakaran batu bata dan pembuatan arang.

B. Saran

Mempertimbangkan kebutuhan kayu energi di lokasi kajian untuk berbagai keperluan, mulai

dari konsumsi rumah tangga sampai kepada usaha ekonomi masyarakat, maka perlu dipikirkan

upaya pemenuhan permintaan kayu energi dengan tetap memperhatikan kelestarian kawasan hutan. Beberapa hal yang dapat disarankan adalah dengan penanaman jenis-jenis yang

berdaur pendek dan berkalor tinggi.

Page 123: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

122 – BP2LHK Manokwari

DAFTAR PUSTAKA

Astana, S. 2012. Konsumsi kayu bakar rumah tangga pedesaan dan Faktor-faktor yang mempengaruhi di Kabupaten Banjar Negara Jawa Tengah, Sukabumi Jawa Barat dan Lebak Banten. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 9 (4): Hal. 229 – 241. Bogor.

Anonim, 2009. Laju Degradasi Hutan Di Sulsel Semakin Memperihatinkan. http://www.news.id.finroll.com/news/14-berita-terkini/5660.pdf. Diakses tanggal 31 Oktober 2009.

Antara News, 2010. UMP Sul-Sel 2010 http://www.antara-sulawesiselatan.com/ Diakses 22 November 2010.

Dwiprabowo, H. 2010. Kajian kebijakan kayu bakar sebagai sumber energi di Pedesaan Pulau Jawa. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 7(1):1-11. Pusat Penelitian Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor.

Edwina, S,. dan Maharani, E. 2010. Persepsi petani terhadap teknologi pengolahan pakan di Kecamatan Kerinci Kabupaten Siak. Indonesian Journal of Agricultural Economics 2(1): 169-183.

Hayati, N., Bisjoe A.R., Dewi.I.N, Nurhaedah, Purwanti. R, Zainuddin, A. Ruru, 2010. Kajian pasokan kayu energi berkelanjutan untuk mendukung perekonomian masyarakat sekitar hutan. Laporan hasil penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Tidak dipublikasi.

Leavit, Harold, J. 1978. Psikologi Manajemen. Penerbit Erlangga. Jakarta

Nuryanti dan Herdinie S.S,. 2007. Analisis karakteristik konsumsi energi pada sektor rumah tangga di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional III SDM Teknologi Nuklir. Yogyakarta.

Pusat madia, 2009. REDD. redd-Indonesia.org. Diakses 2 November 2010.

Rakatama A. 2012. Kegiatan Ekstraksi Kayu Bakar Dari Taman Nasional Way Kambas Untuk Pemenuhan Energi Rumah Tangga. Pustaka Unpad. ac.id. Diakses 20 Oktober 2014.

Rakhmat, J. 2005. Psikologi Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Tampubolon, A.P. 2008. Kajian kebijakan energi biomassa kayu bakar. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 5(1): 29-36. Bogor.

Yunianto B., Sinaga N., Ramanda S.A.K,. 2014. Pengembangan Disain tungku bahan bakar rendah polusi dengan menggunakan dinding beton semen. Jurnal Rotasi 16(1): 28-33. Ejournal Teknik Mesin. Universitas Diponegoro. Semarang.

Wikipedia, 2009. Energi terbarui. http://id.wikipedia.org/wiki/Energi_terbarui. Diakses tanggal 31 Oktober 2009.

Zam, H.A., Syahidah dan B.Putranto. 2011. Karakteristik Pellet Kayu Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) Full Paper. Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar. repository.unhas.ac.id. Diakses tanggal 28 Maret 2014.

Page 124: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 123

PEMETAAN BIOMASSA HUTAN HUJAN TROPIS DENGAN LIDAR

Oleh: Jarot Pandu Panji Asmoro

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari

Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat

Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Hutan hujan tropis merupakan ekosistem yang memiliki kandungan karbon yang sangat kaya, namun kekayaan tersebut telah terdegradasi karena aktivitas deforestasi dan degradasi hutan yang secara langsung berakibat pada karbon yang tersimpan di dalam biomassa di atas tanah tegakan yang berada di dalam hutan. Karenanya menduga biomassa tegakan tersebut menjadi langkah yang sangat penting dalam mengkuantifikasi stok karbon hutan tropis. Berbagai metode telah tersedia guna mengestimasi biomassa hutan tropis. Salah satunya dengan mengkombinasikan pengukuran data secara langsung di lapangan dengan LiDAR (Light Detection And Ranging). Riset ini akan membahas lebih jauh penggunaan data LiDAR untuk mengestimasi biomassa di hutan hujan tropis. LiDAR dengan pesawat udara digunakan dalam penelitian ini, yang diproses lebih lanjut untuk mendapatkan model tinggi kanopi (CHM). Langkah ini dilanjutkan dengan mengaplikasikan multi resolusi segmentasi yang dikombinasikan dengan transformasi “batas air” terhadap CHM yang telah dibuat guna mendeteksi dan mengelompokkan kanopi pohon. Keakuratan dari segmentasi tersebut dievaluasi dengan pendekatan empirik. Sebagai hasilnya dibangun sebuah model prediksi biomassa diatas tanah yang didasarkan pada persamaan regresi berganda. Dalam penelitian ini penggunaan LiDAR telah mampu menjelaskan 86% dari tinggi pohon di areal penelitian dengan akurat. Estimasi biomassa diatas tanah telah menunjukkan hasil sebesar 312 MgHa- 1 dimana hasil ini serupa dengan rekomendasi IPCC yakni 120-680 MgHa-1 dan 316 MgHa-1 untuk hasil penelitian Chave untuk biomassa hutan hujan tropis. Kata kunci: hutan hujan tropis, pesawat udara, LiDAR, karbon, estimasi.

Page 125: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

124 – BP2LHK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan hujan tropis merupakan salah satu sumber daya alam terbarukan yang paling berharga di dunia karena memiliki fungsi ekonomi, sosial dan lingkungan, serta memiliki ekosistem yang kaya akan keanekaragaman hayati, kompleksitas dan kekayaan ekosistem karbon. FAO (2001) menyebutkan bahwa 47% dari luas hutan seluruh dunia merupakan hutan tropis yang memiliki nilai ekonomi dan lingkungan yang tinggi. Namun, deforestasi dan degradasi hutan belakangan ini muncul menjadi isu penting dari sektor kehutanan di dunia. Seluas 16,1 juta hektar hutan hilang setiap tahunnya selama tahun 1990, 15,2 juta hektar di antaranya merupakan hutan yang berada di daerah tropis. Diperkirakan sebagai akibat dari deforestasi, hutan hujan tropis mengemisikan ≈ 1-2 milyar ton karbon per tahun selama 1990, atau setara dengan 15-25% dari emisi gas rumah kaca tahunan secara keseluruhan (Houghton, 2005). Di Indonesia, selama lima tahun terakhir, biomassa di hutan telah mengalami penurunan sebanyak 1,7 ton per ha per tahun, sebagai akibat dari kegiatan penebangan dan aktivitas manusia (FAO, 2001).

Pendugaan biomassa dan stok karbon hutan di atas tanah merupakan langkah paling penting dalam mengkuantifikasi stok karbon yang ada di hutan tropis (Gibbs et al., 2007), karena stok karbon pohon yang tersimpan di dalam biomassa yang berada di atas tanah mendapatkan dampak langsung dari deforestasi dan degradasi. Estimasi biomassa di atas tanah (Above Ground Biomass - AGB) yang tersimpan di hutan dengan akurasi yang cukup menjadi suatu hal yang penting. Estimasi biomassa yang akurat akan sangat berguna untuk berbagai aplikasi, yang dimulai dari eksploitasi kayu komersial dengan pemodelan siklus karbon secara keseluruhan. Di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), setiap negara harus melaporkan secara teratur kondisi sumberdaya hutan mereka melalui mekanisme seperti Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD +). Oleh karena itu, setiap negara akan memerlukan metode estimasi stok karbon yang terpercaya, baik secara temporal dan spasial(UNFCCC, 2008).

Program REDD+ (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan) dirancang

untuk memberikan insentif keuangan kepada negara yang memiliki komitmen untuk mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi melalui praktik yang baik dari pengelolaan hutan lestari (UNFCCC, 2013). Terdapat beberapa elemen kunci dalam program REDD + yang harus diikuti. Salah satu fase penting adalah MRV (Measurement, Reporting and Verification - Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi), sebagai syarat utama untuk memantau emisi karbon, verifikasi pengurangan emisi, dan mencegah kebocoran. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem pengukuran yang transparan, koheren dan lengkap.

Setelah meninjau berbagai metode yang tersedia untuk mengestimasi stok karbon hutan di negara-negara berkembang berpedoman pada panduan UNFCCC, Gibbs et al. (2007) menyarankan untuk menggabungkan data penginderaan jauh dan berbasis pengukuran langsung sebagai solusi terbaik untuk pengukuran biomassa pohon. Hasil dari pendugaan dengan cara ini dapat ditingkatkan menjadi skala nasional dengan menggunakan persamaan alometrik.

Sensor laser jarak jauh seperti LIDAR (Light Detection And Ranging) merupakan salah satu teknologi maju terbaru dari penginderaan jauh yang menawarkan pengukuran yang akurat dalam mengestimasi biomassa di daerah tropis (Patenaude et al., 2005). Singkatnya, LIDAR adalah alat yang potensial untuk mengestimasi biomassa pohon. Keunikan dari LIDAR adalah kemampuannya untuk memberikan struktur tiga dimensi dari vegetasi (Song, 2007) yang akan mampu memberikan estimasi yang akurat dari karakteristik struktural hutan

Page 126: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 125

seperti: tinggi kanopi, volume pohon berdiri, basal area dan AGB (Dubayah & Drake, 2000). LIDAR juga dapat digunakan untuk analisis spasial dinamika hutan: seperti pembentukan gap kanopi, distribusi dan permudaan(Birnbaum, 2001). Sebagai penginderaan jauh aktif, LIDAR mampu mengukur ketinggian (H) dari objek secara akurat, yang merupakan salah satu parameter penting dalam mengestimasi biomassa. Jubanski et al. (2013) menyimpulkan bahwa LIDAR dapat membantu dalam up-scaling estimasi biomassa dalam cakupan wilayah yang lebih luas. Patenaude et al. (2005) dan Song (2007)menyatakan bahwa data LIDAR sangat menjanjikan untuk memberikan pendeteksian yang lebih akurat dan estimasi biomassa di atas tanah pada hutan hujan tropis dibandingkan dengan pendekatan sebelumnya (metode konvensional). Airborne LIDAR dapat digunakan untuk mengukur tinggi objek secara akurat, sehingga atribut fisik: seperti tinggi pohon, tinggi kanopi, penutupan kanopi dan informasi gap kanopi dapat digambarkan dari data LIDAR (Birnbaum, 2001; Dubayah & Drake, 2000; Zimble et al., 2003).

Penggunaan LIDAR untuk mengestimasi stok karbon pada hutan hujan tropis memerlukan penelitian lebih lanjut. Meskipun berbagai penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa LiDAR potensial mengestimasi stok karbon hutan, sebagian besar studi yang telah dilakukan dengan LIDAR berlokasi di hutan sub tropis(Koch, 2010). Kemampuan LIDAR belum sepenuhnya dikonfirmasi dalam kasus hutan hujan tropis, diindikasikan dengan terbatasnya penelitian yang dilakukan di hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis memiliki struktur yang lebih kompleks daripada hutan sub tropis, karena hutan tropis memiliki struktur kanopi bertingkat, bertahap, dan bervariasi dalam ukuran serta saling tumpang tindih. Hal ini menjadi tantangan untuk mengetahui metode yang memberikan akurasi estimasi yang dapat diandalkan dalam menduga stok karbon dan juga untuk dapat diterapkan secara global dalam ekosistem hutan hujan tropis.

Page 127: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

126 – BP2LHK Manokwari

II. METODOLOGI PENELITIAN

Metode terdiri dari empat bagian: 1) Pengolahan data LIDAR; 2) pengumpulan data diameter dan tinggi pohon; 3) segmentasi; dan 4) pengembangan model alometrik dan pembuatan peta karbon. Secara ringkas tahapan digambarkan dalam sebuah flowchart penelitian di Gambar 1.

Airborne LiDAR

DTM

(1 m resolution)

DSM

(1 m resolution)

CHM

(1 m resolution)

Field data collection

(species, dbh, height,

crown diameter)

Biomass

Allometric equation

Classification

(trees, non trees)

CHM Pit Removal

Segmentation

Manual crown

deliniation

CPA segmentation

accuracy

Q1

Crown Projection Area

(CPA) and Height

Carbon Stock

Regression Model

Q2

Model Validation

Q3

Q4

Biomass and

Carbon stock maps

Gambar 1. Tahapan penelitian Pemetaan Biomassa menggunakan LIDAR

A. LIDAR Pengolahan Data

Pengambilan data LIDAR untuk daerah penelitian ini dilakukan oleh Credent Technology Asia selama periode April 2013 menggunakan pesawat udara. Data dikumpulkan awalnya atas permintaan The Nature Conservancy Indonesia. Poin clouds rata-rata dari LIDAR per m2 adalah 5,5. Karakteristik lengkap dari Data LIDAR tercantum dalam Tabel 1. Tahapan selanjutnya adalah menyaring point clouds LIDAR untuk membedakannya antara data tanah dan non-tanah, yang dilakukan dengan bantuan software ENVI-BCAL. Proses ini memungkinkan pembuatan model terrain digital (DTM) dan model permukaan digital (DSM) dengan ukuran piksel 1 m. Ukuran tersebut dipilih berdasarkan penilaian visual yang dilakukan jumlah dari kesalahan data (yang nampak berupa lubang di gambar) yang masih bisa terjaga, demikian juga bentuk objek dalam gambar. Lubang akan berupa piksel kosong sebagai akibat dari proses interpolasi selama proses pembuatan DTM dan DSM.

Model ketinggian kanopi (CHM) didapatkan dengan mengurangkan nilai ketinggian Model terain Digital (DTM) pada setiap pixel dari nilai ketinggian Model Permukaan Digital (DSM). Perbedaan antara DSM dan DTM merupakan ketinggian absolut dari tinggi sebuah pohon di gambar CHM (Kim et al., 2010). CHM dapat memperlihatkan kesalahan data yang tampak berupa uban, karena sebuah piksel memiliki nilai yang jauh lebih rendah dari piksel di sebelahnya akibat kombinasi faktor dari proses akuisisi sampai dengan pengolahan data (Ben-Arie et al., 2009). Kehadiran lubang atau error ini tidak hanya menghasilkan `noise` dari penampilan CHM tapi juga dapat mengganggu proses deliniasi kanopi pohon pada tahap selanjutnya, sehingga akan menyebabkan kesalahan dalam mengestimasi biomassa. Oleh karena itu, untuk mengoreksi kesalahan ini, digunakan pit-filling algoritma untuk memperbaiki secara semi-otomatis semua eror yang ada.

Page 128: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 127

Pengamatan dan data pengukuran ketinggian pohon maksimum 80 m, sehingga semua poin di atas 80 m dalam data LIDAR disaring keluar karena diasumsikan sebagai kesalahan. Dalam hal ini poin di atas 80 m dianggap representasi benda lain di luar kanopi pohon, seperti: burung, awan, dan lain-lain yang ikut terambil datanya.

B. Pengumpulan Data

Seluruh daerah penelitian merupakan areal bekas tebangan, oleh karena itu dianggap sebagai salah satu strata; sehingga pengambilan sampel ditetapkan secara acak sebagai desain sampling. Simple random sampling (SRS) digunakan sebagai metode probabilitas dasar. Semua unit sampel di SRS memiliki probabilitas yang sama untuk dipilih (Mandallaz, 2008). Sebuah plot konsentris seluas 500 m2 yang memiliki radius 12,62 m di medan datar dipilih untuk parameter pengukuran pohon. Dalam plot 500 m2 tersebut, dua plot konsentris dibuat dengan radius 5,64 m (100m2) dan 2,68 m (25 m2). Plot dibuat dengan bentuk lingkaran, karena memiliki masalah mengenai pohon batas minimal (Husch et al., 2003; Lackmann, 2011). Diameter diukur dengan menggunakan phiband dan tinggi menggunakan Clinometer. Koordinat pohon ditandai dengan menggunakan sistem navigasi IPAQ / GPS yang memiliki bias 1-2 meter bila berada di bawah kanopi yang rapat. Koreksi dan penyesuaian radius petak di lapangan diterapkan di setiap plot sampel, tergantung pada kemiringan medan pada setiap plot. Tabel koreksi kemiringan digunakan ketika plot terletak di daerah lereng.

C. Segmentasi

Software e-Cognition digunakan untuk segmentasi citra berdasarkan orientasi objek. Segmentasi objek pada citra dianalisis dan diklasifikasi berdasarkan warna, bentuk, tekstur, ukuran dan konteks yang membuat objek tersebut memiliki arti (Benz et al., 2004). Objek juga dikelompokkan menurut fitur geografisnya berupa parameter skala dan homogenitas yang diperoleh dari nilai-nilai elevasi di CHM (Suárez et al., 2005). Metode ini menghasilkan akurasi lebih tinggi dibandingkan dengan metode yang didasari oleh piksel. Urutan langkah untuk mendeliniasi kanopi sebuah pohon adalah sebagai berikut: 1)menentukan besaran skala, 2)segmentasi multi-resolusi, 3)transformasi, 4)analisis morfologi dan 5)penilaian akurasi.

Tingkat heterogenitas dalam obyek gambar dikendalikan oleh parameter skala dengan ukuran yang subyektif pada perangkat lunak eCognition. Penentuan skala sangat berpengaruh pada keakuratan segmentasi. Segmentasi multi-resolusi bekerja dengan menggabungkan piksel atau benda dengan piksel di sekitarnya berdasarkan kriteria homogenitas relatif menggunakan algoritma-berdasarkan wilayah (region-based) (Benz et al., 2004; Trimble, 2011). Proses penggabungan menciptakan banyak objek/daerah kecil yang selanjutnya terus digabungkan menjadi daerah yang lebih besar berdasarkan heterogenitas antara pra-setiap segmen, hingga seluruh objek atau daerah tersegmentasi menjadi beberapa benda homogen (Trimble, 2011; Wang et al., 2013). Algoritma transformasi adalah teknik untuk mensegmentasi citra yang digunakan untuk menguraikan objek dalam cluster menjadi objek tunggal (Beucher, 1992). Transformasi sangat cocok untuk mempartisi gambar hitam-putih seperti CHM, dengan mencari tepi setiap canopi dan bagian atas kanopi pohon (Kwak et al., 2007). Transformasi ini digunakan untuk membuat cluster yang terpisah untuk menjadi satu bagian kanopi. Proses morfologi digunakan untuk menghaluskan gambar tersegmentasi. Penghalusan bagian batas kanopi dilakukan dengan melakukan penambahan dan pengurangan piksel. (Trimble, 2011). Dalam hal ini ini morfologi digunakan untuk menyempurnakan bentuk kanopi setiap pohon.

Page 129: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

128 – BP2LHK Manokwari

Keandalan hasil segmentasi harus dievaluasi sebelum model regresi pendugaan biomassa diatas tanah dibuat. Beberapa pendekatan telah tersedia untuk memvalidasi hasil segmentasi. Tiga kelompok besar proses evaluasi meliputi empirical goodness, analitis, dan perbedaan empiris (Zhang, 1996). Empirical goodness sering digunakan untuk penilaian akurasi segmentasi (Tian & Chen, 2007). Dalam penelitian ini, pendekatan empirical goodness diaplikasikan untuk mengevaluasi hasil segmentasi. Prinsip dasar dari metode empirical goodness adalah membandingkan hasil segmentasi dari perangkat lunak dengan segmentasi secara manual oleh intuisi manusia(Zhang, 1996).

D. Model Pengembangan dan Peta

Menentukan persamaan alometrik yang tepat merupakan langkah yang sangat penting. Persamaan alometrik yang salah akan mempengaruhi keakuratan prediksi biomassa pohon. Salah satu persamaan alometrik yang diusulkan Chave et al. (2005) adalah model alometrik generik (Persamaan 1). Persamaan ini ditemukan lebih tepat ketika diterapkan di hutan tropis Kalimantan (Rutishauser et al., 2013). Model ini juga telah direkomendasikan oleh pedoman IPCC dalam hal REDD + (IPCC, 2006b). Oleh karena itu, dalam penelitian ini diaplikasikan alometrik generik.

di mana,

AGB : pohon biomassa di atas tanah (kg); ρ : kayu berat jenis (g cm-3); D : diameter pohon setinggi dada (DBH) (cm); dan H : tinggi pohon (m)

Selanjutnya, cadangan karbon diperoleh dengan mengalikan faktor konversi dengan AGB (Persamaan 2). Dalam penelitian ini nilai pengalinya adalah 0,47 yang didasarkan pada pedoman IPCC (IPCC, 2007).

di mana, C: stok karbon (MgC) B: biomassa kering (kg) CF: Fraksi karbon biomassa (0.47)

Setelah model regresi ditentukan dan divalidasi, model tersebut digunakan untuk menghitung dan menghasilkan AGB dan stok karbon daerah penelitian secara keseluruhan. Kemudian, barulah dihasilkan peta biomassa di atas tanah dan stok karbon.

Page 130: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 129

III. HASIL DAN DISKUSI

Uji normalitas data telah dilakukan untuk mengetahui normalitas sampel. Normalitas sampel dihitung berdasarkan kecondongan (skewness) dan kurtosis dari sebaran data, dan kemudian kombinasi dari keduanya menjadi hasil tes statistik secara keseluruhan. Lima puluh pohon sampel telah dipilih dari 272 sampel pohon untuk dikembangkan sebagai model untuk persamaan alometrik pendugaan biomassa di atas tanah. Uji normalitas menunjukkan adanya ketidaknormalan untuk diameter pohon (DBH) sedangkan untuk tinggi pohon (H) data cukup normal (Gambar 4). Tabel 2 menunjukkan nilai probabilitas DBH mencapai <0,05, yang berarti sebaran diameter sampel tidak terdistribusi normal. Di sisi lain, tinggi pohon (H) terdistribusi normal, yakni dengan nilai probabilitas > 0,05. Karena sebaran DBH pohon sampel tidaklah normal, sehingga log transformasi perlu dilakukan untuk memperbaiki distribusi data.

Tinggi pohon yang diukur dari data LiDAR selanjutnya dibandingkan dengan tinggi pohon yang diukur langsung di lokasi (Gambar 6). Penilaian model regresi antara tinggi pohon hasil pengukuran langsung (H) dan tinggi pohon dari LiDAR (CHM) menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) mencapai 0.86 dan nilai Root Mean Square Error (RMSE) adalah 3,28. Nilai RMSE mengindikasikan perbedaan ketinggian 3,28 m antara tinggi yang diukur secara langsung dan tinggi dari CHM. Plot pencar (scatterplot) pada Gambar 6 menunjukkan bahwa tinggi pohon yang berasal dari CHM cenderung lebih rendah daripada hasil pengukuran langsung. Grafik tersebut memperlihatkan bahwa 56% hasil pengukuran langsung mengalami overestimated dan 44% underestimated. Hasil ini serupa dengan yang ditemukan oleh Heurich et al. (2004), yang menunjukkan data tinggi vegetasi yang berasal dari LiDAR berada di bawah data tinggi hasil pengukuran secara langsung. Heurich et al. (2004) mengamati bahwa tinggi pohon dari data LiDAR untuk jenis desiduous adalah 0.71 meter lebih rendah dari hasil pengukuran langsung.

Hubungan antara variabel AGB, CPA, CHM, H dan DBH kemudian diuji menggunakan analisis korelasi (Tabel 3). Hasilnya memperlihatkan bahwa DBH memiliki korelasi terkuat dengan AGB, dengan nilai koefisien korelasi mencapai 0,94. CPA memiliki koefisien korelasi terlemah dengan AGB, dengan nilai 0,14. Hubungan korelasi yang lemah antara AGB dan CPA sesuai dengan hasil uji akurasi segmentasi yang hanya sebesar 52%. Kemungkinan kedua variabel tersebut akan memiliki hubungan yang kuat jika akurasi segmentasi mencapai > 60 %. Karna (2012) telah menemukan hubungan antara CPA dan ABG di Nepal yang mengkombinasikan citra satelit Worldview dan data LIDAR memiliki akurasi segmentasi hingga 75,87%.

Sedangkan pada hubungan antara CHM dan H dengan variable dependen AGB, koefisien korelasi CHM dengan AGB menunjukkan hubungan yang lebih kuat (0.61) daripada koefisien korelasi H dengan AGB (0.54). Ini berarti tinggi yang berasal dari data LIDAR dapat meningkatkan akurasi dalam memprediksi biomassa. Hasil ini sesuai dengan hasil Jubanski et al. (2013) yang menemukan kemampuan LIDAR untuk meningkatkan estimasi AGB di hutan tropis dan seluruh jenis hutan yang berbeda.

Beberapa model regresi telah dicoba untuk mendapatkan prediksi yang paling baik dari kombinasi variabel CPA dan CHM (Ketterings et al., 2001). Nilai derminasi korelasi (R2) dari model sebesar 49%, yang berarti 49% dari variabel dapat dijelaskan oleh model (Gambar 7). Namun, ketika model yang sama diterapkan untuk 17 pohon yang dipilih secara acak sebagai control guna memvalidasi model, nilai R2 meningkat menjadi 65%. Kondisi ini menunjukkan bahwa model yang dipakai dapat menjelaskan sampai 65% dari variabel ketika diterapkan pada pohon Control (Gambar 8).

Model dalam riset ini menggunakan persamaan alometrik generic yang digunakan

Page 131: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

130 – BP2LHK Manokwari

IPCC (IPCC, 2006a), meskipun Basuki et al. (2009) telah mengembangkan persamaan alometrik khusus untuk hutan Dipterocarpaceae di dataran rendah. Hal ini disebabkan karena persamaan alometrik lokal spesifik tidak diperlukan dan persamaan umum harus digunakan secara lokal. Persamaan lokal tidak akan secara signifikan meningkatkan akurasi untuk pendugaan biomassa hutan tropis (Chave et al., 2005; Gibbs et al., 2007). Keterbatasan yang terdapat dalam penelitian ini adalah bahwa model yang dikembangkan berasal dari sampel dengan diameter 20-100 cm. Oleh karena itu, bila menerapkan model ini di luar rentang diameter di atas akan menghasilkan kesalahan ekstrapolasi (Andersen et al., 2005) Kesalahan ini pada akhirnya akan berkontribusi pada lemahnya hubungan antara estimasi biomassa dengan menggunakan data LIDAR dan biomassa terukur di lapangan. Ketidakpastian ini telah diketahui terjadi dalam penghitungan biomassa di hutan hujan tropis di Central Panama yang juga menggunakan LIDAR (Meyer et al., 2013).

Hasil biomassa di atas tanah dari daerah studi adalah sekitar 312 MgHa-1 dengan RMSE 2.1 (Gambar 5, Tabel. 4). Hasil ini masih berada dalam rentang acuan pedoman IPCC untuk biomassa di atas tanah hutan hujan tropis di Asia (120-680 MgHa-1) (IPCC, 2006b). Lebih jauh lagi, Chave et al. (2005) juga menemukan nilai rata-rata hasil biomassa di atas tanah 378 MgHa-1 di hutan alam dan 316 MgHa-1 di hutan sekunder, yang serupa dengan temuan penelitian ini.

Page 132: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 131

IV. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Walaupun hutan hujan tropis memiliki berbagai kompleksitas, metode LIDAR menjanjikan dan merupakan solusi yang sangat handal untuk skala besar dalam mengestimasi biomassa di atas tanah hutan hujan tropis. Menggabungkan data lapangan dan data LIDAR dapat meningkatkan estimasi akurasi biomassa dan stok karbon sebesar 61% dan mengurangi ketidakpastian model. Dengan menggunakan LIDAR, estimasi biomassa dapat ditingkatkan untuk menghitung wilayah pada skala yang lebih luas. LIDAR bisa lebih efektif untuk menurunkan bias pengukuran untuk wilayah dengan kondisi jumlah data lapangan terbatas, seperti misalnya di Indonesia. Hasil penelitian esta masih sesuai dengan rekomendasi biomassa di atas tanah oleh IPCC dan temuan Chave et al. (2005).

B. Rekomendasi

Penelitian ini merekomendasikan penelitian lebih lanjut pada berbagai jenis hutan dan lanskap untuk memastikan tingkat akurasi estimasi biomassa di atas tanah dengan menggunakan LIDAR.

Page 133: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

132 – BP2LHK Manokwari

DAFTAR PUSTAKA

Andersen, H.-E., McGaughey, R. J., & Reutebuch, S. E. (2005). Estimating forest canopy fuel parameters using LIDAR data. Remote Sensing of Environment, 94(4), 441-449. doi: 10.1016/j.rse.2004.10.013

Basuki, T. M., van Laake, P. E., Skidmore, A. K., & Hussin, Y. A. (2009). Allometric equations for estimating the above-ground biomass in tropical lowland Dipterocarp forests. Forest Ecology and Management, 257(8), 1684-1694. doi: DOI 10.1016/j.foreco.2009.01.027

Ben-Arie, J. R., Hay, G. J., Powers, R. P., Castilla, G., & St-Onge, B. (2009). Development of a pit filling algorithm for LiDAR canopy height models. Computers & Geosciences, 35(9), 1940-1949. doi: DOI 10.1016/j.cageo.2009.02.003

Benz, U. C., Hofmann, P., Willhauck, G., Lingenfelder, I., & Heynen, M. (2004). Multi-resolution, object-oriented fuzzy analysis of remote sensing data for GIS-ready information. Isprs Journal of Photogrammetry and Remote Sensing, 58(3-4), 239-258. doi: DOI 10.1016/j.isprsjprs.2003.10.002

Beucher, S. (1992). The watershed transformation applied to image segmentation. SCANNING MICROSCOPY-SUPPLEMENT-, 299-299.

Birnbaum, P. (2001). Canopy surface topography in a French Guiana forest and the folded forest theory Tropical Forest Canopies: Ecology and Management (pp. 293-300): Springer.

Chave, J., Andalo, C., Brown, S., Cairns, M. A., Chambers, J. Q., Eamus, D., . . . Yamakura, T. (2005). Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and balance in tropical forests. Oecologia, 145(1), 87-99. doi: 10.1007/s00442-005-0100-x

Dubayah, R. O., & Drake, J. B. (2000). Lidar remote sensing for forestry. Journal of Forestry, 98(6), 44-46.

FAO. (2001). Global Forest Resources Assessment 2000 Main Report: FAO.

Gibbs, H. K., Brown, S., Niles, J. O., & Foley, J. A. (2007). Monitoring and estimating tropical forest carbon stocks: making REDD a reality. Environmental Research Letters, 2(4). doi: Artn 045023 Doi 10.1088/1748-9326/2/4/045023

Heurich, M., Persson, Å., Holmgren, J., & Kennel, E. (2004). Detecting and measuring individual trees with laser scanning in mixed mountain forest of central Europe using an algorithm developed for Swedish boreal forest conditions. International Archives of Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, 36, 307-312.

Houghton, R. A. (2005). Tropical deforestation as a source of greenhouse gas emissions. Tropical deforestation and climate change, 13.

Husch, B., Beers, T. W., & Kershaw, J. A. (2003). Forest mensuration (Fourth edition ed.). Hoboken: Wiley & Sons.

IPCC. (2006a). 2006 IPCC guidelines for national greenhouse gas inventories, prepared by the National Greenhouse Gas Inventories Programme.

IPCC. (2006b). Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories (Vol. 4). Hayama, Japan: Institute for Global Environmental Strategies (IGES).

Page 134: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 133

IPCC. (2007). Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (pp. 996). Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.

Jubanski, J., Ballhorn, U., Kronseder, K., Franke, J., & Siegert, F. (2013). Detection of large above-ground biomass variability in lowland forest ecosystems by airborne LiDAR. Biogeosciences, 10(6), 3917-3930. doi: DOI 10.5194/bg-10-3917-2013

Karna, Y. K. (2012). Mapping above ground carbon using worldview satellite image and LIDAR data in relationship with tree diversity of forests. University of Twente Faculty of Geo-Information and Earth Observation (ITC), Enschede. Retrieved from http://www.itc.nl/library/papers_2012/msc/nrm/karna.pdf

Ketterings, Q. M., Coe, R., van Noordwijk, M., Ambagau, Y., & Palm, C. A. (2001). Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting above-ground tree biomass in mixed secondary forests. Forest Ecology and Management, 146(1), 199-209.

Koch, B. (2010). Status and future of laser scanning, synthetic aperture radar and hyperspectral remote sensing data for forest biomass assessment. Isprs Journal of Photogrammetry and Remote Sensing, 65(6), 581-590. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.isprsjprs.2010.09.001

Kwak, D. A., Lee, W. K., Lee, J. H., Biging, G. S., & Gong, P. (2007). Detection of individual trees and estimation of tree height using LiDAR data. Journal of Forest Research, 12(6), 425-434. doi: DOI 10.1007/s10310-007-0041-9

Lackmann, S. (2011). Good Practice in Designing a Forest Inventory Quito, Ecuador: Coalition for Rainforest Nations

Mandallaz, D. (2008). Sampling techniques for forest inventories. Boca Raton: Chapman & Hall.

Meyer, V., Saatchi, S. S., Chave, J., Dalling, J. W., Bohlman, S., Fricker, G. A., . . . Hubbell, S. (2013). Detecting tropical forest biomass dynamics from repeated airborne lidar measurements. Biogeosciences, 10(8), 5421-5438. doi: 10.5194/bg-10-5421-2013

Patenaude, G., Milne, R., & Dawson, T. P. (2005). Synthesis of remote sensing approaches for forest carbon estimation: reporting to the Kyoto Protocol. Environmental Science & Policy, 8(2), 161-178. doi: DOI 10.1016/j.envsci.2004.12.010

Rutishauser, E., Noor'an, F., Laumonier, Y., Halperin, J., Rufi'ie, Hergoualc'h, K., & Verchot, L. (2013). Generic allometric models including height best estimate forest biomass and carbon stocks in Indonesia. Forest Ecology and Management, 307(0), 219-225. doi: DOI 10.1016/j.foreco.2013.07.013

Song, C. (2007). Estimating tree crown size with spatial information of high resolution optical remotely sensed imagery. International Journal of Remote Sensing, 28(15), 3305-3322. doi: 10.1080/01431160600993413

Suárez, J. C., Ontiveros, C., Smith, S., & Snape, S. (2005). Use of airborne LiDAR and aerial photography in the estimation of individual tree heights in forestry. Computers & Geosciences, 31(2), 253-262. doi: 10.1016/j.cageo.2004.09.015

Tian, J., & Chen, D. M. (2007). Optimization in multi‐scale segmentation of high‐resolution

satellite images for artificial feature recognition. International Journal of Remote Sensing, 28(20), 4625-4644. doi: 10.1080/01431160701241746

Trimble. (2011). eCognition Developer 8.7: Reference Book. Munchen, Germany: Trimble Germany GmbH.

Page 135: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

134 – BP2LHK Manokwari

UNFCCC. (2008). Report of the Conference of the Parties on its thirteenth session, held in Bali from 3 to 15 December 2007. Addendum, Part 2. Document FCCC/CP/2007/6/Add.1. Bonn, Germany UNFCCC.

UNFCCC. (2013). Full Text of the Convention. Retrieved 3 June, 2013, from http://unfccc.int/essential_background/convention/background/items/1349.php

Wang, L., Chen, E., Li, Z., Yao, W., & Li, S. (2013). Object-based analysis for forest inventory. Paper presented at the Eighth International Symposium on Multispectral Image Processing and Pattern Recognition.

Zhang, Y. J. (1996). A survey on evaluation methods for image segmentation. Pattern Recognition, 29(8), 1335-1346. doi: http://dx.doi.org/10.1016/0031-3203(95)00169-7

Zimble, D. A., Evans, D. L., Carlson, G. C., Parker, R. C., Grado, S. C., & Gerard, P. D. (2003). Characterizing vertical forest structure using small-footprint airborne LiDAR. Remote Sensing of Environment, 87(2), 171-182.

Page 136: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 135

Airborne LiDAR

DTM

(1 m resolution)

DSM

(1 m resolution)

CHM

(1 m resolution)

Field data collection

(species, dbh, height,

crown diameter)

Biomass

Allometric equation

Classification

(trees, non trees)

CHM Pit Removal

Segmentation

Manual crown

deliniation

CPA segmentation

accuracy

Q1

Crown Projection Area

(CPA) and Height

Carbon Stock

Regression Model

Q2

Model Validation

Q3

Q4

Biomass and

Carbon stock maps

Gambar 1. Tahapan penelitian Pemetaan Biomassa menggunakan LIDAR

Gambar 2. DTM – DSM - CHM resolusi 1 m

Page 137: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

136 – BP2LHK Manokwari

Gambar 1 Sebelum (kiri) dan setelah (kanan) pit

removal

02

04

06

08

0

Fre

que

ncy

0 50 100 150DBH

01

02

03

04

05

0

Fre

que

ncy

0 20 40 60 80H

Gambar 2. Distribusi DBH(kiri) dan Tinggi pohon sampel (kanan)

Gambar 3. Peta Karbon dalam kg/pohon

Page 138: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 137

Summary of fit Correlation coefficient 0.9250 R Square 0.8557 Adjusted R Square 0.8526 Root Mean Square Error 3.2798 Intercept 0.9338 Slope 1.719 Observation 50

Gambar 6. Scatter plot hubungan H dan CHM

Summary of fit Correlation coefficient

0.6969

R Square 0.4858 Adjusted R Square 0.4639 Root Mean Square Error

0.7399

Intercept 0.4858 Slope 3.9615 Observation 50

Gambar 7. Scatter plot hubungan AGB dan Model

Summary of fit Correlation coefficient 0.8058 R Square 0.6494 Adjusted R Square 0.6260 Root Mean Square Error 0.6035 Intercept 0.4906 Slope 4.3201 Observation 18

Gambar 8. Scatter plot validasi model

Page 139: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

138 – BP2LHK Manokwari

Tabel 1.Karakteristik Data LiDAR

Number of files 9 tiles

MinX 470518

MinY 186880

MaxX 474717.297

MaxY 190897.201

Rectangle Size X 4199.297m

Rectangle Size Y 4017.201m

Covered Area 12.890 sqr km

Points Height Range 113.854m to 523.144m

Entries Count 71,583,252

Average density 5.553 point/m2

Projection System UTM

Datum WGS84

Units Meters

Zone 50

Tabel 2. Test Normalitas Skewness/Kurtosis ------- joint -----

-

Variable | Obs Pr(Skewness) Pr(Kurtosis) adj chi2(2) Prob>chi2

-------------+---------------------------------------------------------------

DBH | 50 0.0012 0.3171 9.67 0.0080

H | 50 0.6132 0.2645 1.57 0.4555

*null hypothesis: the variable is normally distributed

Tabel 3. Koefisien korelasi variabel AGB, CPA, CHM, H dan DBH

DBH 0.9471 0.0976 0.5582 0.4835 1.0000

H 0.5429 0.0733 0.9250 1.0000

CHM 0.6105 0.1658 1.0000

CPA 0.1427 1.0000

AGB_IPCC 1.0000

AGB_IPCC CPA CHM H DBH

(obs=50)

Tabel 4. Ringkasan biomassa dan karbon stok di area penelitian

Average

Biomass per

plot (Kg)

Average

Biomass per

ha (mg)

Average

Carbon per

plot (Kg)

Average

Carbon per

ha (mg)

Total

Biomass

(mg)

Total

Carbon

(mg)

61672.6 311.8722 28986.1 146.5799 3473944 1632754

Page 140: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 139

ANALISIS KELAYAKAN EKONOMI SISTEM SILVIKULTUR TPTI

(TEBANG PILIH TANAM INDONESIA)

(Studi Kasus pada Areal IUPHHK PT. Mamberamo Alas Mandiri, Kabupaten Mamberamo Raya dan PT. Tunas Timber Lestari Kabupaten Boven Digoel,

Provinsi Papua)

Oleh : Baharinawati Wilhan Hastanti dan Julanda Noya

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari

Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Kelestarian produksi hutan di Papua dalam beberapa tahun terakhir ini terus mengalami penyusutan secara kuantitatif maupun kualitatif. Salah satu penyebabnya adalah eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya hutan. Kondisi ini dapat dapat dikaitkan dengan keberadaan perusahaan pemegang konsesi IUPHHK di Tanah Papua. Untuk menjamin kelestarian produksi diperlukan sistem silvikultur yang efektif dalam pengelolaan hutan. Sistem silvikultur yang diterapkan untuk hutan tropis (tegakan tidak seumur) menurut aturan Kementerian Kehutanan RI adalah TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia), TPTJ (Tebang Pilih Tanam Jalur) dan TR (Tebang Rumpang). Pengelolaan hutan alam di Papua yang dilakukan perusahaan IUPHHK menerapkan sistem TPTI selama ini. Dikhawatirkan, degradasi dan deforestasi hutan alam di Papua akan mengancam kelestarian produksi dan berakibat terus menurunnya produksi kayu bulat setiap tahunnya.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan tahun 2011 di PT. Mamberamo Alas Mandiri dan PT. Tunas Timber Lestari menunjukkan bahwa TPTI masih layak dilakukan karena secara ekologis produktivitas hutan masih dapat dipertahankan, terbukti dengan melimpahnya ketersediaan jenis komersial maupun non komersial baik di areal hutan primer maupun areal bekas tebangan (LoA). Hasil penelitian tentang kelayakan finansial sistem silvikultur TPTI di kedua perusahaan yang sama menunjukkan bahwa secara finansial dengan discount rate 5.75 (Suku Bunga Bank Indonesia, 2012), implementasi TPTI masih menguntungkan dan layak dilanjutkan. Implementasi TPTI masih memungkinkan meskipun keuntungannya sangat terbatas, BCR yang diperoleh mendekati 1 dan beresiko tinggi terhadap gejolak ekonomi terkait dengan ketidakstabilan suku bunga, serta IRR yang diperoleh juga tidak terlalu tinggi.

Kata kunci : kelayakan ekonomi, sistem silvikultur, TPTI

Page 141: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

140 – BP2LHK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kelestarian produksi hutan alam di Indonesia dewasa ini semakin mengalami penurunan akibat penyusutan kuantitas maupun kualitas produksi. Hal ini disebabkan oleh penjarahan atau eksploitasi yang berlebihan, alih fungsi lahan maupun kebakaran hutan. Kelestarian hutan ditentukan oleh pengelolaan hutan yang didasarkan atas perencanaan yang benar.

Selama 3 dasawarsa terakhir telah terjadi salah kelola hutan akibat kebijakan yang tidak berpihak pada lingkungan.Untuk menjamin kelestarian hutan harus ditentukan sistem silvikultur yang tepat untuk setiap areal hutan dengan pertimbangan aspek ekologis maupun aspek ekonomis. Berdasarkan aspek ekologis diharapkan terjadinya perubahan ekosistem yang sealami mungkin. Sedangkan pertimbangan aspek ekonomis lebih berorientasi pada keuntungan dari produksi. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.11/Menhut-II/2009, sistem silvikultur adalah sistem pemanenan sesuai tapak/tempat tumbuh berdasarkan formasi terbentuknya hutan yaitu melalui proses edafis dan klimatologis dan tipe-tipe hutan yang terbentuk dalam rangka pengelolaan hutan lestari.

Sistem silvikultur yang diterapkan menurut aturan Kementerian Kehutanan pada hutan tropis Indonesia atau hutan dengan tegakan tidak seumur adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Tebang Rumpang (TR). TPTI menurut Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : P.9/VI-BHPA/2009 bertujuan untuk meningkatkan produktivitas hutan tegakan tidak seumur melalui tebang pilih dan pembinaan tegakan tinggal dalam rangka memperoleh panenan yang lestari. Pemanenan tebang pilih adalah penebangan berdasarkan limit diameter tertentu pada jenis-jenis niagawi dengan tetap memperhatikan keanekaragaman hayati setempat.

Pembinaan tegakan tinggal berarti kegiatan yang dikerjakan setelah tebang pilih perapihan, pembebasan, pengayaan dan pemeliharaan. Kegiatan TPTI terdiri atas: 1) Penataan Areal Kerja (PAK), 2) Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP), 3) Pembukaan Wilayah Hutan (PWH), 4) Pemanenan, 5) Penanaman dan pemeliharaan tanaman pengayaan, 6) Pembebasan pohon binaan, dan 7) Perlindungan dan pengamanan hutan.

Sementara itu Papua sebagai benteng terakhir bagi keberlangsungan hutan alam tropika di Indonesia juga mengalami kerusakan pada satu dasawarsa terakhir ini. Laju kerusakan hutan di Papua sejak tahun 2005 sampai 2009 mengalami peningkatan sampai seluas 1.017.841 hektar atau sekitar 254.460 hektar setiap tahunnya. Walaupun kerusakan hutan di Papua dipicu berbagai macam sebab, seperti eksploitasi hutan yang berlebihan dan alih fungsi lahan, kerusakan hutan di Papua juga tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan konsesi hutan melalui IUPHHK yang mencapai 20 perusahaan.

Selama ini perusahaan IUPHHK di Papua, sesuai dengan tipe hutannya dalam formasi klimatis (hutan hujan tropis), sistem silvikultur yang diterapkan adalah TPTI dengan permudaan alam karena hutan yang dikelola merupakan hutan alam. Hasil penelitian tahun lalu menunjukkan bahwa implementasi TPTI yang dilakukan di 2 lokasi penelitian yakni P.T. Mamberamo Alas Mandiri di Kabupaten Mamberamo dan P.T. Korindo di Kabupaten Boven Digul secara ekologis masih layak dilakukan di 2 tempat tersebut.

Keberadaan hutan Papua yang terus mengalami degradasi dan deforestasi dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini tidak akan mengancam kelestarian produksi, karena melimpahnya ketersediaan jenis komersial tebang untuk siklus tebang berikutnya di areal

Page 142: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 141

kedua perusahaan IUPHHK tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa secara ekologis penerapan sistem silvikultur TPTI di 2 perusahaan tersebut masih efektif dan sesuai dengan kebijakan yang berlaku.

Selanjutnya, selain menguji kelayakan ekologis/produktivitas hutan, kajian yang perlu dilakukan adalah menguji kelayakan finansial perusahaan dalam melaksanakan sistem silvikultur TPTI untuk kelangsungan pengelolaan ekosistem hutan yang lestari. Diperlukan kebutuhan finansial yang memadai untuk membiayai pengusahaan hutan dengan TPTI teruma terkait dengan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam TPTI untuk mencapai kelestarian produksi hutan.

B. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui besarnya tingkat kelayakan finansial pengusahaan hutan dengan sistem silvikultur TPTI.

Page 143: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

142 – BP2LHK Manokwari

II. METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada IUPHHK PT. Mamberamo Alas Mandiri di Kabupaten Mamberamo Raya dan PT. Tunas Timber Lestari Kabupaten Boven Digul Provinsi Papua.

B. Alat dan Bahan Penelitian

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah laptop atau komputer, alat tulis menulis dan kamera. Bahan yang digunakan adalah Laporan Perusahaan (5 tahun terakhir), Laporan Hasil Audit Keuangan (5 tahun terakhir), RKL dan RKT Perusahaan.

C. Prosedur Penelitian

Dilihat dari sisi finansial pembangunan, suatu proyek dianggap layak apabila investasi yang dilakukan memberikan keuntungan lebih besar kepada pengelola daripada nilai harapan keuntungan tertentu yang ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian, bila terjadi sebaliknya maka proyek tersebut akan dianggap tidak layak. Tekanan pada aspek ini terutama berada pada masalah evaluasi, apakah suatu proyek secara finansial dapat membiayai seluruh keperluan pembiayaan yang diperlukan. Keuntungan ini merupakan selisih pendapatan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan.

Gregersen et al (1978) menyatakan bahwa terdapat 5 langkah utama analisis finansial yang saling berkaitan yaitu :

- Menyusun tabel arus fisik dan output langsung dari proyek, - Menyusun tabel satuan nilai input dan output langsung berdasar harga pasar yang

berlaku. - Penggunaan input dan output langsung yang dihasilkan proyek dikalikan dengan tabel

nilai berdasarkan harga pasar dan disusun dalam bentuk cash flow. - Dengan menggunakan cash flow yang disusun, dilaksanakan perhitungan untuk

menemukan keuntungan komersial proyek, dan - Penerapan analisis kepekaan untuk menguji ketangguhan proyek terhadap perubahan

kondisi yang ada sekarang dan kelak.

Menurut Warsito (1995) Biaya pengusahaan adalah jumlah nilai seluruh faktor input yang digunakan dalam pengusahaan hutan. Sesuai dengan sifatnya, pembiayaan pengusahaan hutan terdiri atas biaya investasi dan biaya operasional (operating cost). Klasifikasi biaya tersebut diatur sesuai kriteria sebagai berikut :

- Biaya yang hanya sekali terjadi dan tidak akan terjadi lagi selamanya, contohnya adalah biaya kelayakan, biaya konstruksi jalan untuk alur jalan yang sama.

- Biaya yang hanya sekali terjadi dalam satu periode siklus pengaturan hasil (forest regulation). Biaya ini akan muncul pada setiap siklus (daur) berikutnya. Contohnya : biaya penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan pada tahun-tahun yang diperlukan.

- Biaya yang berulang terjadi pada setiap akhir masa (life time) suatu jenis proses produksi, misalnya pembelian truk dan bangunan.

- Biaya yang terjadi sepanjang tahun. Dalam hal ini bisa juga disebut sebagai biaya operasional atau pengelolaan. Misalnya biaya gaji pegawai, biaya pengoperasionalan dan pemeliharaan (operation and maintenance), peralatan dan biaya umum.

Menurut Keputusan Ditjen Pengusahaan Hutan No. 156/Kpts –IV/PPH/1995 tgl 6

Page 144: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 143

Nopember 1995 (PSAK No 32 ). Pengelompokan biaya dalam pengusahaan hutan terdiri atas : 1) Biaya produksi dan 2) Beban usaha.

Biaya pengusahaan hutan atau biaya produksi, yaitu seluruh biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemanfaatan hasil hutan. Biaya produksi berdasarkan kegiatan terdiri dari :

- Biaya perencanaan - Biaya penanaman - Biaya pemeliharaan dan pembinaan hutan - Pengendalian Kebakaran dan pengamanan hutan - Pemungutan hasil hutan - Pemenuhan kewajiban terhadap negara - Pemenuhan kewajiban lingkungan dan sosial - Pembangunan sarana dan prasarana - Beban usaha, berupa biaya umum dan administrasi yang tidak berkaitan dengan

kegiatan produksi, serta biaya pemasaran

D. Analisis Data

Untuk mengetahui tingkat keuntungan pengusahaan hutan yang dilakukan oleh perusahaan pemegang IUPHHK dalam menerapkan sistem TPTI, studi ini menggunakan beberapa parameter. Parameter-parameter tersebut mencakup antara lain: 1) nilai keuntungan bersih pengusahaan saat ini (Net Present Value), 2) Nilai rasio keuntungan bersih saat ini (Benefit Cost Ratio), dan 3) tingkat kemampuan pengusahaan/investasi pengelolaan usaha tani yang diperhitungkan terhadap nilai peluang pemanfaatan modal usaha tersebut (Internal Rate of Return). Karakteristik pengusahaan hutan merupakan kultur usaha yang memerlukan jangka waktu panjang sejak investasi awal sampai dengan pemungutan hasil, sehingga analisis ini menggunakan konsep nilai sekarang (Present Worth Value).

Gray (1991) menyatakan bahwa dalam rangka mencari ukuran menyeluruh sebagai dasar layak tidaknya suatu proyek ditinjau dari aspek finansial dan ekonomi, telah dikembangkan berbagai cara yang disebut kriteria investasi (investment criteria). Dalam penelitian ini akan digunakan 3 macam kriteria yang lazim digunakan meliputi :

Net Present Value (NPV)

Merupakan selisih present value arus benefit yang terdiskon dengan present value biaya (cost) yang terdiskon

nt

tti

CtBtNPV

0 )1(

Benefit Cost Ratio (BCR)

Merupakan perbandingan antara total biaya terdiskon dengan total pendapatan terdiskon, yang persamaan matematisnya dapat ditulis dengan

nt

tt

nt

tt

i

Ct

i

Bt

Ratioc

B

0

0

)1(

)1(

Internal Rate of Return (IRR)

Adalah nilai disscount rate yang membuat NPV=0, Rumus IRR adalah

Page 145: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

144 – BP2LHK Manokwari

0)1(0

nt

tti

CtBt

Suatu proyek dapat dikatakan memberi hasil yang menguntungkan/layak apabila:

NPV>0 IRR lebih besar daripada diskon rate yang berlaku (i>r) BCR>1

E. Asumsi, Identifikasi dan Justifikasi Variabel

- Analisis finansial dalam penelitian ini dibuat selama 5 tahun terakhir. - Implementasi sistem silvikultur TPTI berdimensi waktu sesuai dengan komoditas

yang diusahakan pada tingkat teknologi pada saat penelitian berlangsung. - Estimasi produksi (fisik) ditentukan menurut kelas diameter dan volume. - Harga input dan output menggunakan harga konstan dengan tahun dasar studi

yang dilakukan.

Page 146: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 145

III. PEMBAHASAN

Perhitungan yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan data-data

keuangan dari perusahaan yaitu berupa data-data total biaya produksi terkait dengan kegiatan TPTI berdasarkan Keputusan Ditjen Pengusahaan Hutan No. 156/Kpts –IV/PPH/1995 tgl 6 Nopember 1995 (PSAK No 32 ).

A. PT. Mamberamo Alas Mandiri (MAM)

Hasil penelitian tentang implementasi sistem silvikultur TPTI di PT. Mamberamo Alas Mandiri menunjukkan bahwa secara finasial sistem silvikultur TPTI di areal perusahaan tersebut masih layak dilakukan (Tabel 4).

Tabel 4. Hasil Rekapitulasi CashFlow TPTI PT. Mamberamo Alas Mandiri

No Uraian Biaya

Tahun (Rp)

2006 2007 2008 2009 2010

1. Perencanaan 758.990.630 3.119.722.630 3.880.455.389 3.488.141.020 2.159.227.000

2. Pembinaan Hutan

2.662.992.500 5.930.352.200 687.822.884 2.579.233.967 2.605.839.000

3. Pemanenan 7.040.670.622 56.146.067.393 116.133.807.343

124.680.461.321

96.042.502.850

3 TUK-Log Pond-TPK

33.508.838.738

4. Operasional Base Camp

3.640.191.977 37.560.074.741 23.025.375.125 29.489.617.711 22.983.623.605

5. Kewajiban pada Negara

6.453.089.564 23.313.162.139 34.734.854.931 46.178.335.031 47.689.996.500

6. Kelola Sosial 1.624.756.000 6.218.930.485 7.065.752.100 10.667.902.577 13.144.764.100

7. Kelola Lingkungan

8.300.000 166.700.000 115.221.567 118.026.725

8. Sarana dan Prasarana

12.543.940.062

8.691.426.133 598.700.840 3.748.141.231 1.649.125.000

Total Biaya 44.872.571.417

143.890.209.354

186.23.478.092 254.461.857.663

183.401762.330

Pendapatan 6.489.684.607 119.528.514.232

191.906.513.453

262.458.101.718

185.606.146.761

Discount Rate 5.75

NPV (842.422.756) (79.212.950) 2.593.057 570.647 23.306

BCR 1,01

IRR 7%

Hasil perhitungan secara finansial menunjukkan bahwa sistem TPTI yang dilaksanakan pada areal PT. MAM masih layak dilakukan. Dengan menggunakan kriteria kelayakan proyek berdasarkan cara kriteria investasi Grey (1991), suatu proyek secara ekonomi dapat dikatakan memberikan hasil yang menguntungkan atau dapat dilanjutkan apabila memenuhi persyaratan: 1) Nilai NPV> 0, 2) IRR > discount rate yang berlaku (pada penelitian ini digunakan discount rate sebesar 5.75 sesuai dengan suku bunga Bank Indonesia pada tahun 2012 saat berlangsungnya penelitian), dan 3) Nilai BCR > 1. Berdasarkan kriteria tersebut, hasil penelitian menunjukkan bahwa pada beberapa tahun NPV yang diperoleh < 1. Hal ini terjadi akibat bisnis pengusahaan hutan merupakan investasi jangka panjang, sehingga membutuhkan modal awal dan pengorbanan yang besar serta membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menghasilkan keuntungan yang besar. Tabel 4 menunjukkan bahwa pada tahun-tahun selanjutnya NPV bergerak secara positif. Perhitungan IRR yang mencapai 8% menunjukkan bahwa secara finansial sistem TPTI yang diterapkan masih menguntungkan untuk dilanjutkan, karena IRR yang diperoleh lebih besar dari discount rate yang berlaku.

Page 147: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

146 – BP2LHK Manokwari

Nilai BCR yang dihasilkan dalam penelitian ini lebih besar dari 1, sehingga dapat dikatakan bahwa pengusahaan hutan yang dilakukan secara TPTI menguntungkan untuk dilanjutkan.

B. PT. Tunas Timber Lestari (TTL)

Hasil penelitian tentang implementasi TPTI di PT. Tunas Timber Lestari secara finansial menunjukkan bahwa kegiatan tersebut dapat dikatakan layak dan menguntungkan. Keberlangsungan kegiatan ini masih memungkinkan meskipun hasil perhitungan yang dilakukan sesuai investment criteria, keuntungan yang diperoleh amat kecil dan rentan terhadap gejolak ekonomi terlebih terkait dengan tidak stabilnya suku bunga yang berlaku. Hasil rekapitulasi perhitungan NPV, BCR dan IRR dalam implementasi TPTI di areal PT. Tunas Timber Lestari dapat disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Rekapitulasi Cash Flow TPTI PT. Tunas Timber Lestari

No Uraian Biaya Tahun (Rp)

2006 2007 2008 2009 2010

1. Perencanaan 598.204.885 618.559.646 620.270.954 931.560.619 11.478.659.629

2. Penanaman 377.567.675 439.148.300 4.224.641.337

3.936.265.884

3. Pemeliharaan 1.607.507.079

1.739.922.044

1.670.437.139

1.410.362.085

3 Pembinaan Hutan 99.780.351

4. Pengendalian Kebakaran Hutan

98.928.968 110.717.863 51.298.829.724

22.800.000 30.800.000

5. Pemungutan Hasil Hutan 19.459.794.729

44.938.536.382

27.251.572.417

17.818.644.704

12.319.780.351

6. Kewajiban pada Negara 15.956.754.901

25.738.528.940

1.431.124.140

14.255.959.378

17.868.218.619

7. Kewajiban pada Lingkungan

1.138.416.400

1.475.711.000

889.091.479 908.310.103 1.345.058.770

8. Sarana dan Prasarana 19.467.163.755

45.320.395.211

62.889.091.479

38.550.118.097

32.299.268.928

9. Litbang 53.810.016

10. Administrasi Umum 3.176.804.676

Total Biaya 58.704.338.392

120.381.519.386

149.502.711.137

77.834.020.870

78.672.181.340

Pendapatan 120.500.076.731

96.199.395.612

111.184.670.322

68.754.613.886

88.484.653.475

Discount Rate 5.75

NPV 653.969 (1.725.741) (124.592.522)

(29.522.026) 251.362.906

BCR 1,02

IRR 8%

Berdasarkan tabel diatas, secara finansial implementasi TPTI di areal PT. Tunas Timber Lestari layak dan menguntungkan untuk dilanjutkan karena memenuhi kriteria yang disyaratkan dalam investment criteria (Grey, 1991), yaitu :1) NPV > 0, 2) BCR > 1 dan 3) IRR > dari discount rate yang berlaku. Penelitian ini menunjukkan bahwa NPV selama 5 tahun menggambarkan keadaan yang tidak menguntungkan. Dapat dipastikan hal ini terjadi akibat bisnis pengusahaan hutan merupakan investasi yang berlangsung jangka panjang, pengembalian modalnya berlangsung lama, sehingga pada awal-awal pengusahaan biasanya memerlukan banyak pengorbanan dan modal yang kuat. Tabel 5 menunjukkan bahwa dalam tahun-tahun tertentu terdapat NPV yang bernilai positif atau kondisi yang menguntungkan. Hasil perhitungan BCR pada penelitian ini menunjukkan nilai lebih dari 1,

Page 148: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 147

sehingga dapat dikatakan pelaksanaan TPTI dalam pengusahaan hutan berjalan secara layak dan menguntungkan dalam artian dapat mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Sedangkan IRR yang dihasilkan lebih dari discount rate yang berlaku pada saat penelitian, sehingga secara finansial bisnis ini mampu bertahan sampai pada suku bunga 8%.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Implementasi TPTI pada PT. Mamberamo Alas Mandiri di Kabupaten Mamberamo dan PT. Tunas Timber Lestari di Kabupaten Boven Digul secara finansial masih layak dan menguntungkan. Kondisi ini masih dapat dipertahankan walaupun tingkat keuntungannya amat terbatas karena nilai BCR yang kecil dan riskan terhadap gejolak perekomian, dan IRRnya hanya mampu bertahan pada kisaran discount rate yang rendah.

B. Saran

Perusahaan diharapkan melakukan pembenahan secara teknis terhadap TPTI yang diimplementasikan, agar keuntungan yang diperoleh meningkat secara finansial dan tangguh menghadapi gejolak ekonomi terkait dengan suku bunga yang tidak stabil.

Page 149: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

148 – BP2LHK Manokwari

DAFTAR PUSTAKA

Andayani, W. 2006. Analisis Keuntungan Pengusahaan Hutan Pinus di KPH Pekalongan Barat. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol XII No. 3.

Gittinger , J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian (Terjemahan). Jakarta. UI Press.

Gray, C.L., L. Karlina dan Kadariah. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek Edisi Revisi. Jakarta. Lembaga Penerbit UI.

Gregersen, H dan C Arnold. 1978. Economic Analysis of Forestry Project. Roma. FAO.

Page 150: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 149

POTENSI BIODIVERSITAS JENIS FLORA MANGROVEB DI KLALIN 6 KABUPATEN

SORONG

Oleh : Ezrom Batorinding dan Krisma Lekitoo

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari

Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang unik karena berada pada zona peralihan antara ekosistem darat dan laut. Keberadaannya sangat penting dalam menunjang kehidupan masyarakat pesisir karena sangat berperan baik secara ekologi maupun sosial ekonomi. Dalam rangka upaya pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari, maka diperlukan data dan informasi yang berkaitan dengan upaya-upaya dan langkah pengelolaan. Data dan informasi yang dianggap mendesak untuk mendukung kegiatan tersebut adalah potensi biodiversitas dan riap jenis flora mangrove. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2014 ini bertujuan untuk menyediakan data dan informasi potensi biodiversitas mangrove dan riap jenis flora di hutan mangrove wilayah Klalin 6 Kabupaten Sorong Papua Barat. Metode penelitian menggunakan metode deskriptif dengan teknik survei dan observasi dilanjutkan dengan identifikasi jenis.Hasil penelitian menunjukkan bahwaKomposisi jenis vegetasi penyusun hutan mangrove pada PUP di lokasi penelitian adalah sebanyak 16 jenis dari 9 famili.Jenis-jenis vegetasi mangrove dominan di lokasi penelitian adalah untuk tingkat semai dan pancang yaitu jenis R. apiculata dan C. tagal sedangkan untuktingkat pohon yaitu R. apiculata dan X. granatum.Keanekaragaman jenis (species diversity) vegetasi mangrove di Klalin 6 Kabupaten Sorong termasuk kategori sedang. Kata kunci : biodiversitas, riap, mangrove, Sorong, Papua

Page 151: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

150 – BP2LHK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan mangrove diduga terus menurun luasan dan jumlahnya di seluruh dunia. Luas mangrove dunia diperkirakan 18,1 juta km2 tetapi saat ini diduga telah berada di bawah angka 15 juta km2. Sekitar 90% dari hutan mangrove terletak di negara-negara berkembang dan berada dalam kondisi kritis serta terancam punah, bahkan diprediksi dapat punah dalam 100 tahun mendatang.

Berkaitan dengan hal itu, saat ini upaya-upaya pelestarian sangat ditekankan dalam pengelolaan hutan mangrove demi menjaga stabilitas dan keberadaannya. Untuk memberikan pemanfaatan secara berkesinambungan perlu dilakukan berbagai kegiatan yang mencakup eksplorasi, cara-cara pemanfaatan yang ramah lingkungan, serta upaya konservasi. Pengetahuan mengenai keanekaragaman (biodiversitas) flora mangrove bermanfaat untuk memberikan informasi bahwa hutan mangrove memiliki keanekaragaman hayati yang cukup besar dan memiliki banyak fungsi bagi masyarakat baik fungsi ekologi maupun fungsi ekonomi. Tiga aspek penting dalam biodiversitas adalah variasi habitat (aspek ekologi), jumlah jenis dan variasi dalam setiap jenis.

Sebagai salah satu negara yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (mega biodiversity) setelah Brazil dan Zaire, kondisi ini merupakan modal dasar yang sangat berharga bagi Indonesia dalam proses pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peranan nyata pemanfaatan biodiversitas dalam kehidupan masyarakat meliputi berbagai bidang antara lain kesehatan, pertanian, peternakan, perikanan, dan perlindungan lingkungan, serta penyediaan sumber energi.

Masalah utama dalam pengelolaan mangrove antara lain tampak pada pengurangan luasan mangrove yang diakibatkan oleh tekanan penduduk sekitar kawasan. Walaupun demikian, disisi lain juga dapat dijumpai kearifan tradisional masyarakat yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan mangrove yang ada di sekitar masyarakat. Untuk memecahkan masalah yang dihadapi, maka diperlukan dukungan data dan informasi yang akurat, mencakup biodiversitas flora dan pertumbuhan riap diameter jenis-jenis mangrove. Data dan informasi ini akan bermanfaat dalam pengelolaan mangrove berkelanjutan. Sehubungan dengan hal di atas, penelitian ini dilakukan untuk menyediakan data dan informasi mengenai potensi keanekaragaman jenis flora mangrove. Selanjutnya, sasaran yang diharapkan adalah tersedianya data dan informasi mengenai potensi keanekaragaman jenis flora mangrove.

Page 152: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 151

II. METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian dilakukan di hutan mangrove Klalin 6 di sekitar pesisir pantai Kabupaten Sorong, Papua Barat pada bulan Oktober-Nopember 2014 (Gambar 1).

Gambar 1. Peta lokasi penelitian (arah panah)

B. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah vegetasi mangrove, meter roll, baterai besar, tally sheet dan alat tulis-menulis, sarung tangan kain, kertas, tisu gulung, silica gel, alkohol, plastik specimen, kantong kain, kotak spesimen atau toolkit, kertas koran, pita ukur, tali rafia, kuas kecil, cat, label pohon, plastik berklip sedang, plakban besar, kantong plastik biasa, plastik trash bag dan tali nilon Selain itu digunakan juga kompas, GPS, spidol, parang, guntik stek, mini caliper dan phi-band.

C. Prosedur Kerja

Pengamatan dan pendataan vegetasi dilakukan dalam plot-plot pengamatan dengan intensitas sampling 100%. Untuk vegetasi pohon pengamatan dan pendataan dilakukan dalam sub plot berukuran 10m x 10m, tingkat pancang dalam subplot ukuran 5m x 5m, sedangkan semai dalam ukuran subplot 2m x 2m. Data yang akan diambil pada setiap tingkatan vegetasi meliputi :

Pohon : jenis, jumlah dan diameter batang Pancang : jenis, jumlah Semai : jenis dan jumlah

Page 153: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

152 – BP2LHK Manokwari

Kriteria yang digunakan dalam pengelompokan vegetasi adalah mengikuti kriteria Beangen (1999), sebagai berikut:

Pohon : Diameter > 4 cm Pancang : Diameter < 4 cm; Tinggi > 1 m Semai : Tinggi < 1 m

Selanjutnya data yang terkumpul dianalisis berdasarkan penghitungan densitas, frekuensi, dan dominansi. Seluruh nilai relatif dari ketiga penghitungan tersebut dijumlahkan untuk mendapatkan Indeks Nilai Penting (INP). Nilai INP akan menunjukkan jenis pohon yang mendominasi di lokasi penelitian. Persamaan-persamaan untuk memperoleh nilai-nilai tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

Kerapatan (K) contoh luas

individujumlah

Kerapatan Relatif (KR) 100%jenis semuakerapatan

jenissuatu kerapatan

Frekuensi (F)

plotseluruh

jenissuatu nyaditemukannplot

Frekuensi Relatif (FR) 100% jenis semua frekuensi

jenissuatu frekuensi

Dominansi (D) contohplot luas

dasar bidang luas

Dominansi Relatif (DR) 100% jenis semua dominasi

jenissuatu dominasi

INP = KR + FR + DR

Sedangkan untuk mengetahui keanekaragaman jenis mangrove digunakan rumus indeks diversitas Shanon-Wiener (Indriyanto, 2006):

H’ = -∑ {(ni/N) log (ni/N)} Keterangan:

H‟ = indeks keanekaragaman Shannon-Wienner

ni = jumlah individu jenis ke-i

N = jumlah total individu dalam sampel

Batasannya yang dipakai untuk nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner adalah:

Jika nilai H > 3, maka keanekaragaman jenis cenderung tinggi Jika nilai H: 1 < H < 3, maka keanekaragaman jenis cenderung sedang Jika nilai H < 1, maka keanekaragaman jenis cenderung rendah

Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis secara deskriptif-kualitatif didukung dengan tabel, gambar dan grafik.

Page 154: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 153

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Komposisi Vegetasi di Lokasi Penelitian

Komposisi jenis vegetasi atau tumbuhan dalam suatu ekosistem pada dasarnya merupakan variasi jenis flora dan merupakan daftar floristik jenis tumbuhan yang menyusun suatu komunitas berdasarkan hasil deskripsi (Soerianegara dan Indrawan, 2005). Daftar floristik sangat berguna dalam proses analisis vegetasi karena akan menjadi salah satu parameter guna mengetahui keanekaragaman jenis tumbuhan (species diversity) di dalam komunitasnya.

Hasil pengamatan flora untuk setiap tingkat pertumbuhan pada Petak Ukur Permanen atau lokasi monitoring biodiversitas (PUP) di hutan mangrove Klalin 6 menunjukkan adanya perbedaan antara jumlah jenis maupun jumlah individu. Pada vegetasi tingkat semai terdapat 11 jenis, tingkat pancang 13 jenis dan tingkat pohon 13 jenis. Jumlah total semua jenis yang ditemukan pada tingkat semai, pancang dan pohon sebanyak 16 jenis yang berasal dari 10 genus dan 9 famili. Famili Rhizoporaceae merupakan family dengan jumlah jenis tertinggi yaitu 7 jenis. Sebaran jenis dalam petak pengamatan berdasarkan tingkatan vegetasi selanjutnya diuraikan dalam Tabel 1. Tabel 1. memperlihatkan bahwa jumlah jenis penyusun PUP di lokasi penelitian adalah sebanyak 16 jenis dari 9 famili. Dari keenam belas jenis yang dijumpai, jenis-jenis yang merupakan mangrove sejati adalah genus Aegiceras, Bruguiera, Ceriops, Rhizophora dan Xylocarpus. Sedangkan yang lainnya merupakan jenis mangrove ikutan atau jenis yang berasosiasi dengan jenis mangrove. Hal ini menunjukkan bahwa komposisi jenis vegetasi pada PUP dilokasi penelitian cenderung memiliki keanekaragaman jenis (species diversity) yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian Susanto, et al. (2011), tentang struktur komunitas mangrove ditemukan 7 jenis dari 4 famili pada lokasi yang berbeda.

Tabel 1. Komposisi Jenis Vegetasi Penyusun PUP Hutan Mangrove di Klalin 6 Sorong

No Nama Jenis Famili

1 Aegiceras corniculatum Myrcinaceae

2 Bruguiera eksaristata Rhizophoraceae

3 Bruguiera gymnorhyza Rhizophoraceae

4 Bruguiera parviflora Rhizophoraceae

5 Ceriops tagal Rhizophoraceae

6 Diospyros maritima Ebenaceae

7 Ficus sp. Moraceae

8 Guettarda speciosa Burceraceae

9 Heritiera littoralis Sterculiaceae

10 Planchonella sp. Sapotaceae

11 Policias sp. Araliaceae

12 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae

13 Rhizophora mucronata Rhizophoraceae

14 Rhizophora stylosa Rhizophoraceae

15 Xylocarpus granatum Meliaceae

16 Xylocarpus moluccensis Meliaceae

B. Indeks Nilai Penting Jenis (Importance Value Index)

Indeks Nilai Penting (INP, atau IVI - Importance Value Index) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi atau tingkat penguasaan jenis-jenis dalam suatu komunitas tumbuhan (Soegianto, 1994). Nilai INP suatu jenis dalam

Page 155: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

154 – BP2LHK Manokwari

suatu komunitas tumbuhan memperlihatkan tingkat kepentingan atau peranan jenis tersebut dalam komunitasnya. Menurut Gopal dan Bhardwaj (1979), untuk kepentingan deskripsi suatu komunitas tumbuhan diperlukan minimal tiga macam parameter kuantitatif mencakup densitas (kerapatan), frekuensi dan dominansi.

C. Vegetasi Tingkat Semai

Vegetasi tingkat semai di hutan mangrove Klalin 6 didominasi oleh jenis-jenis dari famili Rhizophoraceae dan Meliaceae (Tabel 2). Tabel 2 memperlihatkan bahwa lima jenis vegetasi tingkat semai yang memiliki INP paling besar berturut-turut adalah jenis R. apiculata (74,26%), disusul oleh C. tagal (36,03%), B. gymnorrhyza (35,43%), X. granatum (21,25%) dan B. parviflora (15,09%).

Tabel. 2 INP Vegetasi Mangrove pada Tingkat Semai di Klalin 6 Kabupaten Sorong

No. Nama Jenis Famili KR (%) FR (%) INP

1. Aegiceras corniculatum Myrcinaceae 1.20 2.03 3.22

2. Bruguiera eksaristata Rhizophoraceae 0.48 0.68 1.15

3. Bruguiera gymnorrhyza Rhizophoraceae 16.51 18.92 35.43

4. Bruguiera parviflora Rhizophoraceae 7.66 7.43 15.09

5. Ceriops tagal Rhizophoraceae 19.14 16.89 36.03

6. Planchonella sp. Sapotaceae 0.24 0.68 0.91

7. Rhizophora apiculata Rhizophoraceae 41.15 33.11 74.26

8. Rhizophora mucronata Rhizophoraceae 1.67 3.38 5.05

9. Rhizophora stylosa Rhizophoraceae 2.39 3.38 5.77

10. Xylocarpus granatum Meliaceae 9.09 12.16 21.25

11. Xylocarpus moluccensis Meliaceae 0.48 1.35 1.83

100.00 100.00 200.00

Spesies-spesies yang dominan (“berkuasa”) dalam suatu komunitas tumbuhan akan

memiliki nilai INP yang tinggi atau paling besar. Hal ini dapat dijelaskan oleh Smith (1977), yang menyatakan bahwa jenis dominan adalah jenis yang dapat memanfaatkan lingkungan yang ditempatinya secara efisien dari pada jenis lain dalam tempat yang sama. Kondisi zonasi di hutan mangrove menunjukkan bahwa kelima jenis dominan ini umumnya tumbuh subur di daerah mangrove bagian tengah hingga bagian dalam, serta di daerah muara sungai dengan ketebalan lumpur yang lembut. Kondisi lingkungan seperti ini sama dengan yang dijumpai pada lokasi penelitian. Sedangkan jenis yang memiliki INP terkecil adalah Planchonella sp. dengan nilai 0,91%. Jenis ini sejatinya bukan merupakan bagian komponen utama penyusun ekosistem mangrove, namun hanya sebagai komponen tambahan. Jenis ini bukan merupakan bagian yang penting dari mangrove, seringkali hanya terdapat pada daerah tepi sampai daerah kering dan jarang sekali membentuk tegakan murni.

D. Vegetasi Tingkat Pancang

Vegetasi tingkat pancang juga masih didominasi oleh jenis-jenis dari famili Rhizophoraceae dan Meliaceae, sebagaimana pada tingkat semai (Tabel 3). Tabel 3 memperlihatkan bahwa lima jenis vegetasi pancang yang memiliki INP paling besar berturut-turut adalah jenis R. apiculata (74.36%) disusul oleh C. tagal (39.12%), B. gymnorrhyza

Page 156: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 155

(29.58%), X. granatum (21.59%) dan X. moluccensis (9.48%).

Tabel. 3 INP Vegetasi Mangrove pada Tingkat Pancang di Klalin 6 Kabupaten Sorong

No. Nama Jenis Famili KR (%) FR (%) INP

1 Aegiceras corniculatum Myrcinaceae 0.58 0.75 1.33

2 Bruguiera gymnorrhyza Rhizophoraceae 13.16 16.42 29.58

3 Bruguiera parviflora Rhizophoraceae 3.51 2.24 5.75

4 Ceriops tagal Rhizophoraceae 20.47 18.66 39.12

5 Diospyros maritima Ebenaceae 1.75 2.99 4.74

6 Ficus sp. Moraceae 0.29 0.75 1.04

7 Guettarda speciosa Rubiaceae 0.58 0.75 1.33

8 Heritiera litoralis Sterculiaceae 0.58 1.49 2.08

9 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae 41.52 32.84 74.36

10 Rhizophora mucronata Rhizophoraceae 0.58 0.75 1.33

11 Rhizophora stylosa Rhizophoraceae 3.80 4.48 8.28

12 Xylocarpus granatum Meliaceae 9.65 11.94 21.59

13 Xylocarpus moluccensis Meliaceae 3.51 5.97 9.48

100.00 100.00 200.00

Hal ini menunjukkan bahwa kelima jenis tersebut memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga kestabilan ekosistem. Jenis tersebut secara umum dapat menggunakan variasi yang lebar dari lingkungan (mempunyai toleransi yang lebar). Sementara jenis yang mempunyai nilai INP paling kecil adalah Ficus sp. dengan nilai 0.29%. Jenis ini sejatinya bukan merupakan komponen utama penyusun mangrove namun hanya merupakan asosiasi mangrove yang biasanya hidup bersama tumbuhan darat. Dapat dilihat bahwa pada tingkat pancang proses suksesi masih terus berlangsung, komposisi jenis, kerapatan dan frekwensi merupakan gambaran awal bagi proses ekologi yang terjadi dalam habitat.

Kerapatan atau densitas pada dasarnya merupakan besarnya populasi dalam suatu unit ruang, yang pada umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu-individu dalam setiap unit luas atau volume (Gopal dan Bhardwaj, 1979). Kerapatan populasi akan bervariasi menurut waktu dan tempat. Dalam mengkaji suatu kondisi populasi atau komunitas hutan, kerapatan populasi merupakan parameter utama yang perlu diketahui. Kerapatan populasi merupakan salah satu faktor yang menentukan pengaruh populasi terhadap komunitas atau ekosistem. Kerapatan juga sering dipakai untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam populasi pada saat tertentu. Perubahan yang dimaksud adalah berkurang atau bertambahnya jumlah individu dalam setiap unit luas atau volume.

E. Tingkat Pohon

Pertumbuhan fase pohon merupakan tahap akhir terjadinya suksesi pada suatu habitat. Jenis-jenis pohon yang mendominasi kawasan mangrove di lokasi penelitian Klalin 6 adalah jenis-jenis dari famili Rhizophoraceae dan Meliaceae, sama seperti pada kedua tingkat pertumbuhan lainnya (Tabel 4).

Page 157: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

156 – BP2LHK Manokwari

Tabel 4. INP Vegetasi Mangrove pada Tingkat Pohon di Klalin 6 Kabupaten Sorong

No Nama Jenis Famili KR (%) FR %) DR %) INP

1 Bruguiera eksaristata Rhizophoraceae 0.45 0.88 0.090 1.42

2 Bruguiera gymnorrhyza Rhizophoraceae 8.83 14.91 20.02 43.77

3 Bruguiera parviflora Rhizophoraceae 1.20 3.07 2.175 6.44

4 Ceriops tagal Rhizophoraceae 8.83 14.47 8.825 32.13

5 Diospyros maritima Ebenaceae 1.20 2.19 0.215 3.61

6 Guettarda speciosa Burceraceae 0.90 1.75 0.229 2.88

7 Heritiera litoralis Sterculiaceae 1.05 1.32 0.340 2.70

8 Polycias sp. Araliaceae 0.15 0.44 0.024 0.61

9 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae 49.85 33.33 52.382 135.57

10 Rhizophora mucronata Rhizophoraceae 0.90 1.75 0.958 3.61

11 Rhizophora stylosa Rhizophoraceae 0.60 1.75 0.420 2.77

12 Xylocarpus granatum Meliaceae 22.46 15.79 12.325 50.57

13 Xylocarpus moluccensis Meliaceae 3.59 8.33 1.995 13.92

100.00 100.00 100.00 300.00

Tabel 4 memperlihatkan bahwa 5 jenis vegetasi pohon yang memiliki INP paling besar berturut-turut adalah jenis R. apiculata (135.57%) disusul X. granatum (50.57%), B. gymnorrhyza (43.77%), C. tagal (32.13%) dan X. moluccensis (13.92%). Jenis dengan nilai INP besar menandakan bahwa jenis tersebut mempunyai peranan yang besar dalam komunitasnya.

Salah satu faktor yang diduga sangat berperan dalam menentukan dominansi jenis adalah spesialisasi jenis pada lingkungan tempat tumbuh atau habitatnya. Kelima jenis dengan nilai INP terbesar tersebut merupakan jenis-jenis mangrove sejati yang dapat tumbuh pada kondisi lingkungan tersebut, sehingga secara umum jenis-jenis tersebut mempunyai toleransi yang lebar secara meluas dan melimpah.

Menurut Price (Krebs, 1978) suatu jenis dapat menjadi dominan dalam suatu ekosistem melalui 3 cara:

1) Jenis tersebut memperoleh sumber baru dan mampu meningkatkan diri secara cepat sehingga menjadi melimpah sebelum bersaing dengan jenis yang lain.

2) Suatu jenis menjadi dominan karena mempunyai spesialisasi dalam suatu bagian dari himpunan sumber yang tersebar secara meluas dan melimpah.

3) Jenis tersebut secara umum dapat menggunakan variasi yang lebar dari lingkungan (mempunyai toleransi yang lebar).

F. Indeks Diversitas (Diversity Indices)

Keanekaragaman jenis pada dasarnya merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya. Indeks keanekaragaman jenis sangat berguna untuk mencirikan struktur dan hubungan kelimpahan jenis dalam suatu komunitas. Selain itu indeks keanekaragaman jenis juga dapat digunakan untuk menduga pengaruh faktor-faktor lingkungan atau abiotik dalam komunitas serta mampu mengetahui kondisi suksesi hutan. Semakin tinggi keanekaragaman jenis, maka suatu ekosistem cenderung mempunyai kondisi stabilitas yang tinggi.

Hasil perhitungan nilai indeks diversitas vegetasi mangrove pada tingkat pertumbuhan

Page 158: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 157

semai, pancang dan pohon dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel. 5 Indeks Diversitas (Diversity Indices)

No. Tingkat Pertumbuhan Indeks Diversitas Shannon Kategori Indeks

1. Semai 1.67 Sedang 2. Pancang 1.75 Sedang

3. Pohon 1.53 Sedang

Tabel 5 memperlihatkan bahwa tingkat pancang memiliki nilai Indeks (1.75) dan

terendah adalah pada tingkat pohon (1.53). Secara umum nilai ini menunjukkan bahwa nilai keanekaragaman jenis pada lokasi penelitian berada pada tingkat sedang. Kondisi ini cukup berbeda bila dibandingkan dengan hasil penelitian Susanto, et al. (2011) tentang struktur komunitas mangrove yang menemukan 7 jenis dari 4 famili pada lokasi dan kondisi yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis pada lokasi penelitian di Klalin 6 dapat dikatakan cenderung tinggi karena memiliki jenis-jenis penyusun yang lebih banyak yaitu 16 jenis mangrove dari 9 famili.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Komposisi jenis vegetasi penyusun hutan mangrove pada PUP di lokasi penelitian adalah sebanyak 16 jenis dari 9 famili.

2. Berdasarkan tingkat pertumbuhan, jenis-jenis vegetasi mangrove dominan di lokasi penelitian adalah untuk tingkat semai dan pancang yaitu jenis Rhizopora apiculata dan Ceriops tagal sedangkan untuk tingkat pohon yaitu R. apiculata dan Xylocarpus granatum.

3. Keanekaragaman jenis (species diversity) vegetasi mangrove di Klalin 6 Kabupaten Sorong termasuk kategori sedang.

B. Saran

Penelitian serupa harus dilakukan pada beberapa lokasi yang bisa mewakili semua zonasi pada hutan mangrove sehingga nantinya akan diperoleh data keterwakilan jenis pada setiap zona yang ada.

Page 159: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

158 – BP2LHK Manokwari

DAFTAR PUSTAKA

Ewusie, J.Y. Ekologi Tropika. 1990. ITB. Bandung.

Holguin, G., P. Vasquez & Y. Bachan. 2001. The role of sediment organisms in productivity, conservation, and rehabilitation of mangrove ecosystem: an overview. Review article. Biol. Fertil. Soils (2001) 33: 265-278.

Hutchings, P., & P. Saenger. 1987.Ecology of Mangrove. Aust, Eco. Series.University of Queensland Press. St Lucia, Quensland.

Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology.Harpercollins publisher Inc. New York.

Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi.IPB. Bogor.

Kitamoru, S., Anwar. C., Chaniago A. & Baba. S. 1997. Buku Panduan Mangrove di Indonesia. Dephut RI dan JICA.

Kustanti, A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB Press.

Lal, A.B. 1960. Silviculture System and Forest Management. Jugal Kishore and Co. India.

Ludwig, J.A. dan J. F.Reynolds, 1998. Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing, John Willey and Sons, Inc., New York.

Marsono, D. dan S. Setyono., 1993.Pendekatan Ekologis Rehabilitasi Kawasan Mangrove.Studi Kasus di Pantai Pemalang.Buletin Ilmiah Instiper Yogyakarta Vol. 4 No.2.

Sihite, J.. 2005. Masyarakat dan Cagar Alam Teluk Bintuni, Antara Fakta dan Harapan. The Nature Conservancy (TNC), Southeast Asia Center for Marine Protected Areas (SEA CMPA) dan Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, pp:164.

Page 160: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 159

PENGAMATAN HAMA PENTING PENYEBAB KERUSAKAN PADA TANAMAN Metroxylon sp DI KOYANI SP- 6 PRAFI MANOKWARI

Oleh : Absalom Kehek

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari

Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Sagu (Metroxylon spp) merupakan salah satu tumbuhan asli Indonesia yang menjadi sumber karbohidrat di beberapa daerah di Indonesia. Sagu tumbuh di lahan gambut, rawa, payau atau lahan yang sering tergenang air, yang di wilayah Papua mencapai luasan lahan sagu yang terbesar di dunia. Tujuan penelitian ini adalah melakukan pengamatan hama dan gulma yang mengganggu tanaman sagu. Lokasi penelitian di demplot sagu Balai Penelitian Kehutanan Manokwari di SP6 Prafi, Manokwari Distrik Masni pada bulan Desember 2014 sampai dengan Februari 2015. Jenis hama perusak utama yang menyerang tanaman sagu berumur 5 tahun pada penelitian di demplot adalah Kumbang badak(Oryctes rhinoceros), Kumbang Sagu (Rhynchophorus sp.) dan Ulat daun Artona (Artona catoxantha Hamps. atau Brachartona catoxantha). Kerusakan akibat penyerangan terjadi di bagian batang, pelepah dan daun pada tingkat semai sampai dengan tanaman dewasa.

Kata kunci: hama tanaman, sagu (Metroxylon spp.)

Page 161: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

160 – BP2LHK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sagu (Metroxylon spp.) secara alami tersebar hampir di setiap pulau atau kepulauan di Indonesia dengan luasan terbesar terpusat di Papua. Sedangkan sagu semi budidaya tumbuh di lahan-lahan di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Populasi tanaman sagu di Indonesia diperkirakan terbesar di dunia, luas areal sagu potensial sekitar 1,2 juta ha dan 90% diantaranya tumbuh di propinsi Papua dan Maluku. Namun dari luasan hutan sagu alam tersebut, hanya 40% yang merupakan areal penghasil pati produktif dengan produktivitas pati 7 ton/ha/tahun atau setara dengan etanol 3,5 KL/ha/tahun.

Sagu merupakan komoditas pangan masyarakat lokal di Papua, yang dalam posisi ini sering dipertentangkan apabila sagu tersebut digunakan sebagai bahan baku bioetanol. Namun, jumlah yang mungkin tersedia dari luasan yang ada tersebut jauh lebih besar dibanding konsumsi pati sagu sebagai bahan pangan dalam negeri (hanya 210 ton per tahun atau 4-5 % dari potensi produksi sagu), sehingga pemanfaatan sagu untuk pengembangan bioetanol tidak akan menjadi masalah (Sumaryono, 2007). Pemanfaatan hutan tanaman sagu di Papua selama ini masih mengandalkan ketersediaan potensi alam dan belum banyak diupayakan pelestariannya. Upaya pelestarian yang telah dilakukan di Indonesia dikenal dengan sistim silvikultur intensif dalam bentuk hutan tanaman dan ekologi binaan atau budidaya pohon hutan. Pada hutan tanaman, komposisi tegakan hutannya terdiri dari jumlah jenis yang terbatas atau bahkan seringkali berupa sistem monokultur. Dalam keadaan demikian, aspek ekologinya cenderung memacu peningkatan populasi hama dan penyakit, seperti halnya terjadi pada ekosistim pertanian dan perkebunan. Ekosistem ini lebih rentan terhadap kerusakan oleh hama dan penyakit karena tidak adanya keanekaragaman jenis tanaman dan adanya perubahan iklim mikro yang disebabkan oleh ulah manusia. Masalah ini umumnya kurang mendapat perhatian dari para perencana atau pengelola hutan dan baru dirasakan arti pentingnya setelah terjadi kerusakan yang biasanya sudah terlambat untuk diatasi (Natawiria, 1986; Anggraeni 1995).

Keadaan ini merupakan alasan utama mengapa monitoring dan perhatian yang serius sangat diperlukan sejak awal menyangkut penanggulangan hama dan penyakit tanaman sagu. Monitoring dan perhatian ini diharapkan sejak masih tanaman berupa benih sampai pada tanaman dewasa, misalnya dalam bentuk penelitian mengenai teknik pencegahan dan pengendalian hama, penyakit dan gulma di hutan tanaman. Untuk tahun 2014, penelitian ini dimulai dengan eksplorasi dan identifikasi terhadap hama penting yang banyak merusak tanaman sagu di demplot Koyani SP 6 Prafi Manokwari Papua Barat.

B. Tujuan dan Sasaran

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data dan informasi mengenai jenis hama yang banyak merusak tanaman sagu. Sedangkan sasaran yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah tersedianya data dan informasi jenis hama perusak, gejala dan bagian yang diserang pada demplot Sagu (Metroxylon spp.) Koyani SP-6 Prafi.

Page 162: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 161

II. METODOLOGI

A. Lokasi dan waktu Penelitian

Pengumpulan data dilakukan di Demplot Sagu (Metroxylon spp.) Balai Penelitian Kehutanan Manokwari pada SP 6 Prafi, Distrik Masni, Manokwari, Papua Barat. Penelitian ini berlangsung dari bulan Desember 2014 sampai dengan bulan Februari 2015.

B. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan adalah tanaman Sagu (Metroxylon spp.) berumur 5 tahun di Demplot Sagu Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Sedangkan alat yang digunakan adalah binokuler, loop, kamera, alat ukur, alat tulis menulis, parang dan lain-lain.

C. Prosedur Kerja

Pengamatan Hama Perusak Pengamatan dilakukan terhadap individu tanaman sagu yang terserang hama perusak

di lapangan berupa tanda dan gejala serta ciri-ciri lainnya. Langkah berikutnya adalah dengan melakukan pengamatan yang diarahkan pada bagian tanaman yang diserang oleh hama, yaitu bentuk kerusakan pada batang, pelepah, daun (tunas dan daun) dan akar. Selanjutnya dilakukan pencatatan, pengambilan gambar dan sampel hama perusak yang menyerang tanaman sagu. Turut dilakukan pula pengukuran dan pengamatan karakteristik secara manual terhadap panjang, lebar, warna dan ciri-ciri lain seperti berbulu atau tidak terhadap tubuh hama. Pengamatan dilakukan pada hama baik berupa hama dewasa, kepompong dan yang telah mengalami metamorfosis menjadi kupu-kupu.

D. Analisa Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif terhadap bagian tanaman sagu, baik batang pelepah dan daun yang terserang hama perusak, Data disajikan dalam bentuk gambar.

Page 163: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

162 – BP2LHK Manokwari

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukan bahwa hama yang sering menyebabkan kerusakan pada tanaman sagu di Demplot Koyani adalah Kumbang badak (Oryctes rhinoceros), Kumbang Sagu (Rhynchophorus sp.) dan Ulat daun Artona (Artona catoxantha, Hamps. atau Brachartona catoxantha).

1. Kumbang badak (Oryctes rhinoceros sp)

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kumbang badak (Oryctes rhinoceros) yang ditemukan memiliki ciri tubuh berbulu pendek dan sangat rapat pada bagian ekornya, sehingga dapat dipastikan bahwa kumbang badak yang ditemukan adalah kumbang badak betina (Gambar 1). Sunarko (2014) menyatakan bahwa serangga jantan dicirikan dengan tanduk di kepala (caput) yang lebih panjang dan tidak memiliki bulu-bulu halus di tubuh belakang (posterior) bagian bawah, sedangkan betina bertanduk pendek dan memiliki bulu-bulu halus di tubuh (posterior) bagian bawahnya. Kumbang dewasa berwarna hitam mengkilap dengan warna kemerahan di bawah permukaan tubuh, berukuran 3-5 cm. Serangga ini tidak aktif pada siang hari, karena ditemukan dalam lubang galiannya pada pelepah sagu, seperti dilaporkan Kusumowarno (2014). Imago (kumbang dewasa) meninggalkan rumah kepompongnya pada malam hari dan terbang ke pohon sagu. Kepompong berwarna kuning dengan ukuran yang lebih kecil daripada lundi, terbungkus dalam bahan yang terbuat dari tanah.

Gambar 1. Kumbang badak (Oryctes rhinoceros) yang menyerang tanaman Sagu (Metroxylon spp.) pada Demplot Tanaman Sagu Balai Penelitian Kehutanan Manokwari

Hasil pengamatan terhadap gejala kerusakan tanaman sagu yang diserang hama ini

menunjukkan bahwa terdapat lubang pada pucuk daun bekas gerekan kumbang. Lubang ini setelah berkembang akan tampak terpotong seperti digunting dalam bentuk segitiga, dan lubang gerekan kumbang ini dapat berada pada bagian pelepah sampai pada batang dari tanaman sagu (Gambar 2). Selain itu terdapat pula lubang hasil penyerangan pada daun atau pucuk daun muda yang baru muncul, sehingga akan menghambat pertumbuhan daun ini untuk mencapai dewasa. Keadaan ini ditandai dengan warna daun yang menguning sampai akhirnya kecoklatan dan akhirnya mati, juga terdapat irisan pada pelepah yang masih muda. Sayangnya, sagu tidak mampu membentuk daun lagi diketahui bila titik tumbuhnya rusak dan kondisi ini dapat menyebabkan sagu tersebut mati pada akhirnya. (Kementerian Negara Riset dan Teknologi, 2014).

Page 164: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 163

Deposit hama yang dijumpai ini diduga merupakan akibat dari pembukaan lahan sebelum penanaman tanaman sagu yang tidak didahului pembakaran sisa tanaman yang

dibabat. Sunarko (2014) menyatakan bahwa pembukaan lahan tanpa pembakaran

(zero burning) disinyalir dapat meningkatkan kemungkinan serangan lebih besar daripada pembukaan lahan dengan burning.

Gambar 2. Kerusakan tanaman Sagu (Metroxylon spp.) akibat serangan Kumbang badak (Oryctes rhinoceros)

2. Kumbang Sagu (Rhynchophorus sp)

Individu Kumbang sagu (Rhynchophorus sp) tidak ditemukan secara langsung dalam peneitian ini, namun berdasarkan ciri pohon yang terserang dapat diduga bahwa kumbang sagu merupakan salah satu agen penyebab kerusakan tanaman sagu pada Demplot Koyani SP-6. Batang sagu yang terserang ulat sagu menunjukkan gejala adanya lubang gerekan kumbang pada bagian rhizome , atau banir tempat menyimpan makanan, sehingga batang tampak membusuk secara perlahan.

Terdapat beberapa jenis kumbang sagu, yaitu: (1) Rhynchophorus ferrugineus Oliv (kumbang sagu); (2) Rhynchophorus ferrugineus Oliv var. Schach, F dan (3) Rhynchophorus ferrugineus Oliv var Papuanus, Kirsch. Perbedaan ketiga jenis ini terletak pada bentuk, ukuran dan rupa kumbang dewasa. Ciri serangan bersifat sekunder, terjadi setelah kumbang Oryctes biasanya meletakkan telur di lubang atau luka di pohon bekas serangan Oryctes. Bila serangan terjadi pada titik tumbuh maka serangan kumbang ini dapat menyebabkan kematian pohon. Pengendalian jenis ini umumnya sama dengan kumbang Oryctes.

Page 165: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

164 – BP2LHK Manokwari

Gambar 3. Bentuk kerusakan akibat serangan pada Demplot Sagu Koyani SP-6 Prafi Manokwari dan imago Kumbang sagu (Rhynchophorus sp) yang diperoleh dari surfei pengambilan sagu di Distrik sidey Manokwari

3. Ulat daun Artona (Artona catoxantha, Hamps. atau Brachartona

catoxantha)

Berdasarkan ciri yang terlihat pada tanaman sagu, dijumpai adanya ciri kerusakan pohon yang disebabkan oleh ulat daun Artona. Serangan ini banyak terlihat pada tanaman sagu di demplot, baik pada daun yang sudah tua maupun daun muda. Serangan yang terjadi tampak seperti titik-titik, karena ulat atau larva yang baru menetas masuk dalam jaringan daun dan memakan daging anak daun. Bekas serangan ini dari bawah tampak sebagai bintik-bintik kecil yang tidak tembus. Ciri daun yang terkena serangan ulat daun adalah memiliki warna bercak bekas serangan ulat daun yang berwarna hijau, yang lama-kelamaan berubah menjadi coklat. Pola bercak serangan ulat daun berbentuk memanjang dan tidak beraturan, dengan warna tepian bercak bekas serangan berwarna kuning, sementara warna daun di sekitar bekas akan berwarna hijau. Serangan di pinggiran atau tepi daun sagu umumnya dilakukan oleh ulat Artona yang lebih besar atau tua, yang berpindah tempat ke bagian tepi dan memakan bagian tepi anak daun. Serangan akhir adalah pada tingkatan ini menyebabkan daun-daun menjadi sobek. Daun yang paling disenangi serangga ini adalah daun tua. Dan daun bekas serangan akan tampak seperti terbakar.

Individu kupu-kupu Artona catoxantha Hamps. diketahui berukuran panjang 9-14 mm, dengan jarak sayap 12-15 mm dan warna sayap hitam merah kecoklatan. Pada punggung depan, bagian perut dan pinggir sayap depannya terdapat sisik berwarna kuning. Kupu-kupu Artona bergerak aktif pada siang hari dan malam hari. Sedangkan ulat Artona berwarna putih kuning dan dapat berukuran panjang sampai 10 mm. Pada punggungnya terdapat garis lebar berwarna kemerah-merahan. Bagian depan badan ulat ini lebih besar dibanding bagian balakang. Bentuk ciri serangan ulat Artona dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Daun yang terserang hama Ulat daun Artona (Artona catoxantha Hamps. atau Brachartona catoxantha) dan kepompong yang telah mengalami metamorfosi menjadi kupu-kupu

Page 166: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 165

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Jenis Hama perusak utama yang menyerang tanaman sagu berumur 5 tahun pada penelitian di Demplot Sagu (Metroxylon spp.) Balai Penelitian Kehutanan Manokwari pada SP-6 Prafi, Distrik Masni, Manokwari adalah Kumbang (Oryctes rhinoceros), Kumbang Sagu (Rhynchophorus sp.) dan Ulat daun Artona (Artona catoxantha Hamps atau Brachartona catoxantha)

2. Kerusakan akibat penyerangan terjadi di bagian batang, pelepah dan daun pada tingkat semai sampai dengan tanaman dewasa.

B. Saran

Perlu dilakukan pengamatan pula tentang penyakit dan gulma yang menyerang tegakan sagu untuk memastikan jenis dan bentuk serangannya. Selain itu perlu dilakukan uji coba penanggulangan pada serangan dini. Pada akhirnya, untuk meningkatkan keberhasilan pertumbuhan sagu di dalam demplot, perlu dilakukan pembukaan lahan dengan membakar sisa tanaman, sehingga dapat mengurangi deposit hama perusak yang menyerang tanaman Sagu (Metroxylon spp).

Page 167: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

166 – BP2LHK Manokwari

DAFTAR PUSTAKA

Allorerung, D. 1993. Sumberdaya sagu dalam pembangunan daerah Irian Jaya. Warta Litbang Pertanian. Bogor. Hlm. 4 - 7.

Anggraeni, I. 1995. Teknik pengenalan Beberapa Hama dan Penyakit Tanaman Accacia mangium. Departemen Kehutanan. Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Bogor

Barus, E. 2003. Pengendalian Gulma di Perkebunan. Kanisius. Jakarta.

Boonsermsuk, S., T. Anay, K. Hasegawa and S. Hisajima. 1996. Trial and determination of molecular biological variation of sago palm (Metroxylon spp) in Thailand. Proceedings of Sixth International Sago Symposium “Sago: The Future Source of Food and Feed. Pekanbaru 9-12 December 1996. Riau. Hlm. 7 – 25.

Ehara, T. Hattory, S. Susanto, H.M.H. Bintoro, J. Wattimena and I.P. Siwa. 1996. Rapd analysis of spiny and spineless sago palm. Proceedings of Sixth International Sago Symposium “Sago: The Future Source of Food and Feed. Pekanbaru 9-12 December 1996. Riau. Hlm. 27 – 31.

Flach, M. 1983. The Sago Palm Domestication Exploitation And Product. FAO Plant Production And Protection Paper. Roma.

Haska, N. and Ohta, Y. 1991. Pretreatment effects on hydrolysis of sago starch granules by raw starch-digesting amylase from Penicillium brunneum. In Towards Greater Advancement of the Sago Industry in the „90s. Proceeding of the Fourth International Sago Symposium held August 6-9, 1990. Kuching, Sarawak, Malaysia. pp. 166-172.

Kusumowarno,S. Pengendalian Hama Sagu Kementerian Pertanian Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian Sumber : Dari berbagai sumber Teknologi Bertanam sagu. (online) www.budidaya_ tanamansagu.com Tanggal Artikel : 13-11-2014

Miftahorrahman., H. Novarianto. dan D. Allolerung. 1996. Identificatin of sago species and rehabilitation to increase productivity of sago (Metroxylon sp.) in Irian Jaya. Proceedings of Sixth International Sago Symposium “Sago: The Future Source of Food and Feed. Pekanbaru 9-12 December 1996. Riau. pp. 79 – 95.

Kementerian Negara Riset dan Teknologi, 2014. SAGU(Metroxylon sp.) BUDIDAYA PERTANIANHal. 9/ 16.Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Gedung II Lantai 6 BPP Teknologi, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340

Herman, D. 1984. Mengenal lebih dekat sagu sebagai sumber bahan pangan. Majalah kehutanan Indonesia No.2.

Jong, F. S. 1995. Research for the development of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) cultivation in Sarawak, Malaysia. Thesis. 135 pp.

Sunarko, H. 2014. Kumbang Tanduk, Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae): Hama Utama Tanaman Kelapa Sawit (online). http://herrysoenarko.blogspot.co.id/ 2014/04/kumbang-tanduk-oryctes-rhinoceros.html

Page 168: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 167

PELESTARIAN MERBAU (Intsia spp.) BERBASIS POLA SEBARAN SPASIAL DI HUTAN TAMAN WISATA ALAM GUNUNG MEJA MANOKWARI PAPUA BARAT

Oleh : Ezrom Batorinding; Krisma Lekitoo; Permenas Dimomonmau

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari

Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat

Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Merbau (Intsia spp.) merupakan salah satu jenis kayu yang banyak dimanfaatkan dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Tingginya tingkat eksploitasi jenis ini untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang pesat saat ini tanpa disertai upaya pelestariannya dikhawatirkan akan mengurangi ketersediaannya di alam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola sebaran spasial merbau di hutan alam dataran rendah Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Meja Manokwari, Papua Barat. Pengumpulan data dilaksanakan dalam 5 plot pengamatan berukuran masing-masing 100m x 100m, yang selanjutnya dibagi dalam 500 plot pengamatan berukuran 10m x 10m yang diletakkan secara kontinyu. Pengamatan dilakukan terhadap semua vegetasi yang berdiameter > 10 cm. Perhitungan Indeks Dispersi (ID) menggunakan parameter-d dilakukan untuk mengetahui pola sebaran spasial jenis merbau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara spasial jenis merbau di hutan TWA Gunung Meja Manokwari cenderung mengikuti pola sebaran acak. Kata kunci: Merbau, Intsia spp., pelestarian, sebaran spasial

Page 169: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

168 – BP2LHK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Merbau atau ipil adalah nama sejenis pohon penghasil kayu keras berkualitas tinggi yang merupakan anggota suku Fabaceae (Leguminosae). Karena kekerasannya, di wilayah Maluku dan Papua kayu ini juga dinamai sebagai kayu besi. Merbau (Intsia spp.) merupakan salah satu jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi karena sudah sangat dikenal dalam perdagangan kayu di Indonesia maupun untuk keperluan ekspor. Kayu merbau menjadi incaran banyak perusahaan kayu yang beroperasi di Papua maupun di luar Papua karena nilai ekonominya tinggi (Untarto, 1998).

Di Tanah Papua terdapat dua jenis Merbau, yaitu Intsia bijuga Ok dan I. palembanica. Sedangkan di Papua New Guinea dikenal tiga jenis Merbau yaitu Intsia bijuga Ok, I. palembanica dan I. acuminata (Tokede et al., 2007). Di tanah Papua, umumnya I. palemba-nica lebih banyak dijumpai mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi dengan elevasi 0-1000 meter di atas permukaan laut (dpl). Sedangkan I. bijuga umumnya sesuai tumbuh pada tanah kering berbatu. Kayu ini merupakan jenis endemik Papua yang memiliki keunggulan lebih bila dibanding dengan jenis lainnya, terutama dalam hal kekuatan dan keawetannya. Karena itu merbau sangat sering ditebang baik legal maupun illegal.

Seiring dengan pesatnya pembangunan yang membutuhkan banyak bahan baku, eksploitasi jenis ini juga semakin meningkat. Apabila keadaan ini terus dibiarkan tanpa diimbangi dengan upaya-upaya pelestarian, maka dikhawatirkan akan semakin mengurangi ketersediaannya di alam. Kondisi ini diperparah lagi dengan keadaan di era otonomi saat ini yang telah mengubah kewenangan pengelolaan hutan yang sebelumnya di pusat untuk secara perlahan berpindah ke daerah (Marsono, 2004). Kelestarian merbau menjadi semakin penting ketika kebutuhan kayu terus meningkat, sedangkan kelestarian bahan baku baik kuantitas maupun kualitasnya terus mengalami penurunan.

Salah satu karakter penting dalam komunitas ekologi hutan adalah adanya interaksi individu dengan lingkungannya maupun dengan individu lainnya. Interaksi inilah yang kemudian membentuk pola sebaran spasial tumbuhan. Salah satu model strategi pelestarian jenis merbau yang mungkin dilakukan adalah dalam bentuk pembangunan bank plasma nutfah In-situ atau semacam kebun benih. Bank plasma nutfah in-situ merupakan tempat dimana kumpulan plasma nutfah alami yang bernilai bagi pembiakan tanaman atau ternak, budidaya baru dan bioteknologi (termasuk rekayasa genetika), dilindungi dan dijaga dalam habitat aslinya. Bank plasma ini dapat dibuat dalam kategori kawasan yang dilindungi seperti cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional dan kawasan pelestarian alam lainnya (Prescott-Allen, 1984; dalam MacKinnon et al., 1990). Tujuan dari perlindungan plasma nutfah In-situ adalah terjaganya plasma nutfah (materi genetika) dalam jangka panjang tetapi alasan pelestariannya adalah agar di masa datang jenis yang dilindungi tersebut masih dapat dimanfaatkan. Salah satu cara untuk menjawab tantangan itu adalah melalui penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pola sebaran spasial jenis merbau di hutan alam dataran rendah Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari.

Page 170: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 169

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada Petak Monitoring Biodiversitas Flora atau Petak Ukur Permanen Balai Penelitian Kehutanan di kawasan hutan Taman Wisata Alam Gunung Meja, Distrik Manokwari Barat Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat (Gambar 1). Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Mei 2011.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

(Figure 1. Research Site Map)

B. Metode Penelitian

Lokasi sampling ditentukan berdasarkan hasil survei awal dengan bantuan peta lokasi penelitian, GPS dan kompas. Beberapa hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan lokasi sampling adalah, harus ada jenis merbau di dalam lokasi yang disampling, komposisi dan struktur tegakan sedapat mungkin mewakili kondisi hutan di daerah tersebut. Luas populasi sampling sebesar 5 ha atau dengan intensitas sampling (IS) 1,1%.

Penelitian diawali dengan membuat 5 petak pengamatan dengan ukuran masing-masing petak 100m x 100m. Pada setiap petak diletakkan plot pengamatan secara kontinyu dengan ukuran 10m x 10m, sehingga jumlah seluruh plot pengamatan mencapai 500 plot. Pengamatan dilakukan terhadap semua vegetasi yang berdiameter > 10 cm. Untuk mengetahui pola sebaran jenis merbau dianalisis dengan menghitung indeks dispersi (ID) dengan menggunakan parameter d. Di dalam setiap plot diidentifikasi nama jenis dan jumlah individu dari setiap vegetasi yang berdiameter ≥ 10 cm dengan menggunakan tally sheet lapangan. Pengukuran data fisik lingkungan (abiotik) seperti suhu dan kelembaban dilakukan dengan thermohygrometer. Sementara untuk pengambilan sampel tanah

Page 171: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

170 – BP2LHK Manokwari

dilakukan secara komposit disertai pengukuran pH tanah dengan alat pH meter. Untuk data tambahan lainnya seperti jumlah curah hujan, serta informasi penunjang dari laporan hasil-hasil penelitian diperoleh dari BMG Manokwari dan Fakultas Kehutanan Universitas Papua.

C. Analisis Data

Distribusi Spasial Pola sebaran spasial ditentukan dengan menggunakan koefisien Blackman (Greigh-

Smith, 1983) yaitu dengan membandingkan varian dengan nilai rata-rata. Rumus yang digunakan adalah:

Keterangan:

S2 = varians x = nilai tengah/nilai rata-rata xi = banyaknya individu suatu jenis pada petak contoh ke-i N = banyaknya petak contoh

Pola penyebaran spasial atau horizontal mengikuti kriteria berikut:

a. Jika nilai ID = 1, maka individu tumbuhan berdistribusi secara acak (random patterns) b. Jika nilai ID > 1, maka individu tumbuhan berdistribusi secara mengelompok (clumped

patterns) c. Jika nilai ID < 1, maka individu tumbuhan berdistribusi secara seragam (uniform

patterns)

Pada jumlah sampel yang sedikit (N < 30), dilakukan uji statistic menggunakan uji chi-square (Ludwig dan Reynold, 1988). Selanjutnya untuk sampel yang berukuran besar (N > 30) uji statistic yang dilakukan untuk menentukan pola sebaran spasial menggunakan parameter d. Uji statistik untuk parameter d dapat dihitung sebagai berikut:

Dimana: d = hasil uji statistik untuk sampel yang besar (N>30) χ2 = nilai χ2

(hitung) N = jumlah sampling unit

Hasil uji ini pada tingkat signifikan 95% sesuai Ludwig dan Reynolds (1988) adalah:

a. Jika nilai d < 1,96, maka pola sebaran spasial dari suatu jenis bersifat acak (random) b. Jika nilai d < -1,96, maka pola sebaran spasial dari suatu jenis bersifat teratur (regular) c. Jika nilai d > 1,96, maka pola sebaran spasial dari suatu jenis bersifat mengelompok

(clumped).

Seluruh perhitungan dan analisis data menggunakan fungsi-fungsi statistik pada program Excel versi 2007.

Page 172: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 171

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Struktur dan Komposisi Vegetasi di Lokasi Penelitian

Hasil pengamatan flora pada petak monitoring biodiversitas (PUP) di lokasi penelitian dari tingkat semai sampai tingkat pohon menunjukkan adanya variasi jumlah jenis maupun jumlah individu pada masing-masing petak pengamatan(Batorinding, 2011). Jumlah jenis terbanyak pada tingkat semai terdapat pada petak C yaitu 22 jenis, sedangkan jenis terbanyak pada tingkat pancang ditemukan pada petak D sebanyak 20 jenis. Jumlah jenis terbanyak pada tingkat tiang dan pohon dijumpai pada petak C masing-masing sebanyak 58 jenis. Jumlah total semua jenis yang ditemukan pada tingkat tiang dan pohon mencapai 90 jenis, 74 genus dan 33 famili. Famili Euphorbiaceae menjadi famili dengan variasi jenis tertinggi yaitu 9 jenis. Sementara hasil perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) menunjukkan bahwa 5 (lima) jenis yang mempunyai INP terbesar adalah Spathiostemon javensis, Medusanthera laxiflora, Pimeliodendron amboinicum, Haplolobus celebicus dan Pometia coreaceae.

B. Pola Sebaran Spasial Merbau.

Pengamatan terhadap 500 plot/kuadrat contoh yang digunakan untuk mendeteksi pola sebaran jenis merbau menunjukkan bahwa pola distribusi spasial jenis merbau cenderung acak dengan nilai ID = 1,0. Nilai ini sama dengan nilai yang diperoleh dari uji peluang sebaran normal menggunakan parameter d, dimana nilai d untuk jenis merbau adalah 1,34 yang termasuk dalam pola acak (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil Perhitungan Distribusi Spasial Merbau

JENIS ∑ ẍ S2 ID χ2 d POLA

Merbau 17 0,03 0,04 1,0 541,8 1,34 random

Pola sebaran acak dalam suatu populasi mengindikasikan bahwa lingkungan bersifat homogen dan perilaku individu tidak selektif. Salah satu karakter penting dalam komunitas ekologi hutan adalah adanya interaksi individu dengan lingkungannya maupun dengan individu lainnya. Interaksi inilah yang pada akhirnya membentuk suatu sebaran spasial organisme yang tidak saja dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar individu (ekstrinsik) tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor dari dalam individu itu sendiri (intrinsik) (Ludwig dan Reynolds, 1988).

Menurut Marsono (2010), pola distribusi spasial untuk seluruh jenis di hutan tropika pada umumnya berpola acak (random) dan untuk jenis-jenis Dipterocarpaceae berpola mengelompok (clumped). Hal ini sama seperti yang juga dikemukakan oleh Rosalina (1996), bahwa sebagian besar jenis flora khususnya di daerah tropis, pola sebarannya adalah acak. Sedangkan untuk jenis-jenis Dipterocarpaceae sebarannya adalah mengelompok.

Hal-hal yang diduga berpengaruh terhadap pola sebaran acak dari jenis merbau meliputi beberapa faktor berikut.

1. Faktor lingkungan yang seragam

Page 173: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

172 – BP2LHK Manokwari

Tanah pada hutan TWA Gunung Meja sangat bervariasi dan umumnya memiliki top soil yang sangat tipis (< 30 cm). Variasi tanah tersebut adalah tanah liat, tanah berkapur, tanah berbatu dan tanah berkarang. Adanya variasi pada tanah tersebut mengakibatkan adanya perbedaan vegetasi yang tumbuh pada kawasan hutan tersebut. Kondisi tanah pada hutan ini bersifat agak masam (kisaran pH 5,94-6,56), sampai dengan netral (kisaran pH 6,71-6,98). Sedangkan dari segi unsur hara, kandungan C-organik tersedia sangat rendah-tinggi, N-total tersedia sangat rendah-rendah, P2O5 tersedia sedang-tinggi, Kapasitas Tukar Kation (KTK) tersedia rendah-sedang, Ca tersedia rendah-sedang, Mg tersedia sedang-tinggi, K tersedia rendah sampai sedang, Na tersedia rendah-sedang, dan kejenuhan basa (KB) tersedia rendah-sedang. Berdasarkan sifat-sifat tanah di atas, kawasan TWA Gunung Meja termasuk tanah marginal dengan tingkat kesuburan sangat rendah sampai rendah (Leppe dan Tokede, 2006).

Secara umum iklim di kawasan TWA Gunung Meja tergolong dalam tipe iklim A atau hutan hujan tropika basah, yang dicirikan oleh tingginya jumlah curah hujan tahunan tanpa ada perbedaan yang jelas antara musim penghujan dan musim kemarau. Curah hujan tahunan mencapai rata-rata 2.084,20 mm/tahun. Kondisi curah hujan seperti ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Thaman (2006), bahwa rata-rata jumlah curah hujan yang disukai oleh jenis merbau adalah pada curah hujan tahunan dengan kisaran 1500-2300 mm/tahun dengan suhu rata-rata 29°C.

Pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa tempat tumbuh merbau di hutan TWA Gunung Meja bersifat relatif seragam yaitu pada tanah berkarang, dengan kedalaman tanah < 30 cm, suhu rata-rata 29C, kelembaban rata-rata 79%, dan elevasi atau ketinggian mencapai 130-145m dpl. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis merbau dalam penyebarannya tidak saling tergantung dan memiliki perilaku individu yang tidak selektif.

Faktor lingkungan yang cenderung seragam merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola sebaran acak. Bruenig (1995) mengemukakan bahwa terbentuknya pola sebaran acak pada suatu jenis disebabkan karena jenis tersebut dalam proses hidupnya dapat bertahan dan perkembangannya berlangsung relatif baik tanpa memerlukan persyaratan khusus dalam hal cahaya dan unsur hara. Sedangkan Berrie et al. (1987) dan Resosoedarmo et al. (1985), mengungkapkan bahwa komponen-komponen dalam faktor edafik diperkirakan menjadi faktor yang memegang peranan penting dalam menentukan kehadiran atau ketidakhadiran suatu jenis tumbuhan di hutan hujan tropis. Hal ini didukung pula oleh Hutchinson et al. (1999) dan Sollins (1998) yang menyatakan bahwa kandungan hara dan unsur kimia tanah, keasaman (pH) tanah, batuan induk serta topografi memegang peranan penting dalam persebaran jenis pohon di hutan hujan tropis dataran rendah.

2. Pemencaran atau Penyebaran buah Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola sebaran acak merbau adalah

pemencaran atau penyebaran yang dilakukan oleh agen perantara. Cara pemencaran

tumbuhan dapat melalui perantara atau agen, yaitu burung (ornitokori), hewan menyusui (mamaliokori) seperti kelelawar, angin, (anemokori), air (hidrokori), semut (mirmekokori), pemencaran oleh tumbuhan sendiri (autokori) dan gravitasi. Agen perantara yang secara alami dapat membantu penyebaran buah merbau adalah kelelawar, burung kakatua, burung rangkong, binatang-binatang pengerat, dan kemungkinan lain adalah manusia.

3. Asosiasi Jenis Merbau merupakan jenis yang diketahui berasosiasi positif dengan jenis tumbuhan

dominan yang dijumpai pada lokasi penelitian. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan

Page 174: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 173

Spathiostemon javensis dan Pimelodendron ambonicum sebagai dua jenis tumbuhan dominan di kawasan Gunung Meja. Pola distribusi kedua jenis tersebut cenderung bersifat mengelompok. Tokede et al., (2007) melaporkan bahwa penyebaran merbau di setiap tempat tumbuh alaminya sangat bervariasi, ada yang terpencar tunggal (acak), ada yang

berkelompok, dan terkadang tumbuh dominan diantara pohon-pohon tropika lainnya. Diduga, kondisi sebaran acak kedua jenis dominan tersebut menyebabkan pola distribusi merbau juga bersifat acak, karena kecenderungan jenis ini untuk selalu berasosiasi dengan jenis-jenis dominan di suatu lokasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Thaman et al., (2006) yang menyatakan bahwa asosiasi jenis merbau tergantung pada lokasi-lokasi dimana jenis ini ditemukan.

4. Gap (Celah Kanopi Hutan) Gap atau celah kanopi hutan merupakan kejadian alam yang umum dijumpai di hutan

hujan tropika. Gap di dalam hutan terbentuk karena proses dinamika hutan. Ukuran gap merupakan salah satu hal penting yang akan berpengaruh terhadap komposisi jenis dan pola distibusi spasial dalam hutan. (Whitmore, 1986). Gap besar dapat memberikan pengaruh terhadap pola spasial dan menyebabkan jenis-jenis pohon tersebar secara acak (random), sedangkan gap kecil dapat menyebabkan pola spasial pohon menjadi mengelompok (Armesto et al., 1986 dalam Niyama et al. 1999).

Berdasarkan pengamatan, gap yang dijumpai di lapangan lebih disebabkan karena faktor-faktor alami seperti pohon yang mati, tumbang, patah atau rebahnya batang atau dahan pohon akibat berbagai faktor seperti usia, angin, kilat, serangan serangga dan jamur, dan juga faktor yang dilakukan secara sengaja seperti penebangan pohon secara ilegal. Walaupun hasil perhitungan secara statistik menunjukkan bahwa jenis merbau mempunyai pola sebaran spasial acak, namun berdasarkan pengamatan di lapangan juga terdapat kecenderungan pola sebaran merbau yang mengelompok. Faktor yang diduga turut berpengaruh terhadap kondisi ini adalah aspek biologi dari jenis merbau.

Beberapa spesies pohon pada hutan tropis diketahui memiliki dua kali musim berbunga dan berbuah dalam setahun (Ewusie, 1990). Secara umum siklus tersebut mengikuti pola tumbuhan-bunga-buah-biji-semai-tumbuhan dan disebut siklus hidup seksual (generatif). Sifat dan karakteristik dari buah ini akan sama dengan induknya. Salah satu sifat dan karakteristik buah ini adalah mempunyai masa dormansi yang lama, buah akan jatuh di sekitar pohon induk dan akan membentuk anakan yang tumbuh secara mengelompok. Sifat dan karakteristik tersebut pada umumnya juga berlaku pada jenis merbau.

Pola sebaran jenis merbau cenderung bersifat acak sehingga akan memudahkan pekerjaan deliniasi kawasan saat kita akan membuat atau membangun suatu kawasan “Bank Plasma Nutfah Jenis Merbau” atau semacam kebun benih untuk tujuan pelestarian. Namun demikian, luas kawasan yang dibutuhkan untuk jenis yang tersebar secara acak seperti merbau ini akan berukuran relatif lebih besar dari jenis-jenis yang mengikuti pola sebaran mengelompok atau seragam.

Page 175: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

174 – BP2LHK Manokwari

IV. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pola sebaran spasial jenis merbau di kawasan hutan TWA Gunung Meja cenderung mengikuti pola sebaran acak. Pola ini berarti pada tingkat tiang dan pohon perilaku individu lebih banyak tidak bersifat selektif karena kondisi habitat atau lingkungan tempat tumbuhnya relatif homogen.

Page 176: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 175

DAFTAR PUSTAKA

Basuni, S. dan Haidir. 1997. Studi Pola Penyebaran, Potensi dan Habitat Kayu Pucat (Harpulia arborea) Dalam Rangka Pembangunan Bank Plasma Nutfah In Situ Di Taman Nasional Kerinci Seblat. Media Konservasi Vol. V, 2, September 1997: 85-88.

Batorinding, 2011. Pelestarian Merbau (Intsia spp.) Berbasis Asosiasi dan Distribusi Spasial Di Hutan Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari. Tesis Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. (Tidak Dipublikasikan)

Berrie, G.K., A. Berried an J. M. O. Eze.1987. Tropical Plant Science. Hongkong: Longman Scientific dan Technical.

Bruenig, E.F. 1995. Conservation and Management of Tropical Rain Forests: An Integrated Approach to Sustainability CAB Internasional.

Ewusie, J.Y. Ekologi Tropika. 1990. ITB. Bandung.

Fitter, A. H dan Hay, R. K. M. 1994. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Yogyakarta: UGM Press

Lekitoo, K., O. P. Matani., H. Remetwa. dan C. D. Heatubun. 2010. Keanekaragaman Flora Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari. Papua Barat.

Leppe, D. dan M. J. Tokede., 2006. Potensi Biofisik Hutan TWA Gunung Meja Manokwari. BPK Papua-Maluku.

Ludwig, J. A. dan J. F. Reynolds., 1998. Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing, John Willey and Sons, Inc., New York.

Manokaran, N., La Frankie, J. V., Kochummen, K. M., Quah, E. S., Kalahn, J. E., Ashton, P. S. & Hubbell, S. P. 1992. Stand table and distribution of species in the 50-ha research plot at Pasoh Forest Reserve. Forest Research Institute of Malaysia, Kepong.

Marsono, D. 2010. Peningkatan Kualitas Kelola Lingkungan Dalam Sistem Silvikultur Hutan Tanaman. Makalah kerjasama APHI dengan Fahutan UGM. Yogyakarta.

___________, 2009. Modul Mata Kuliah Konservasi Ekosistem. Minat Magister Manajemen Konservasi Sumber Daya Alam dan lingkungan. PSIK, Pasca Sarjana UGM.

___________, 2004. Konservasi Sumberdaya alam dan Lingkungan Hidup. Penerbit BIGRAF Publishing Bekerjasama dengan STTL YLH Yogyakarta.

Poedjirahajoe, E., 2009. Metodologi Penelitian dan Filsafat Ilmu., 2009. Bahan Kuliah MKSDAL Program Studi Ilmu Kehutanan UGM, Yogyakarta.

Rachman, E. 2003. Pengelolaan Kayu Merbau di Hutan Alam: Kajian Potensi dan eksploitasi kayu merbau di hutan alam produksi. Dalam Prosiding Lokakarya Ekspose Hasil-Hal Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Tahun 2003. BPK Manokwari. pp : 110 -122.

Susanti, A.R., C. Kusmana., dan A. Kusmayadi. 2000. Pola Sebaran Spasial Shorea leprosula Di Hutan Hujan Tropika (Studi Kasus Di Areal Kerja HPH PT. Sari Bumi Kusuma, Propinsi Kalimantan Tengah) J.II.Pert.Indon. Vol. 9(2). 2000.

Thaman, R.R., L.A.J. Thomson, R. DeMeo, R. Areki, and C.R. Elevitch. 2006. Intsia bijuga (vesi), ver. 3.1. In: Elevitch, C.R. (ed.). Species Profiles for Pacific Island Agroforestry. Permanent Agriculture Resources (PAR), Hōlualoa, Hawai„i.

Tokede, M.J., B.V. Mambai., L.B. Pangkali., dan Z. Mardiyadi., 2006. Persediaan Tegakan Alam Dan Analisis Perdagangan Merbau Di Papua. WWF Region Sahul Papua.

Page 177: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

176 – BP2LHK Manokwari

Jayapura, 2006.

Untarto, T.M. 1998. Merbau (Intsia spp.) Jenis Andalan Yang Unggul (AYU) Irian Jaya. Informasi Teknis “Matoa”No.5/1998. BPK Manokwari.

Whitmore. T.C. 1986. Tropical Rain Forest of the Far East. Second Edition. Clarendon Press, Oxford.

Page 178: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 177

PEMANFAATAN TUMBUHAN SEBAGAI BAHAN BAKU BENDA SENI BUDAYA MASYARAKAT MINYAMBOW DI PEGUNUNGAN ARFAK, MANOKWARI, PAPUA

BARAT

Oleh : Julanda Noya dan Hadi Warsito

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari

Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Pengetahuan pemanfaatan jenis tumbuhansecara di Papua umumnya diperoleh secara turun

temurun. Terutama pada masyarakat di pedesaan, daerah terpencil, atau di sekitar hutan. Minyambow merupakan daerah pegunungan Arfak, Masyarakat asli yang tinggal di sekitar kawasan hutan, mereka memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan dan melengkapi keperluan yang diambil dari kawasan hutan. Berbagai jenis tumbuhan yang dapat diambil disekitar kawasan hutan digunakan sebagai bahan baku pembuatan perkakas atau benda seni budaya yang tentunya belum tentu sama di daerah lain di Papua. Pemanfaatan tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan barang seni yang bernilai budaya perlu mendapat perhatian, dimana bahan baku merupakan pelengkap dasar dalam pembuatan berbagai barang seni yang bernilai budaya di Minyambow merupakan aset budaya daerah akan hilang bila tidak dilestarikan dan dijaga sebagai warisan bangsa.

Kata Kunci: Pemanfaatan, tumbuhan, benda seni, Minyambow. Papua Barat.

Page 179: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

178 – BP2LHK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kekayaan flora di Indonesia diketahui sangat beragam jumlahnya. Keragaman jenis flora yang ada merupakan sumber daya alam hayati yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Lebih dari 110 jenis tumbuh-tumbuhan penghasil karbohidrat non biji dari berbagai jenis akar-akaran, sagu dan jenis lainnya, juga tanaman penghasil gula, semuanya digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk sumber karbohidrat sehari-hari (Indrawan dkk. 2007). Siemonsma & Piluek (1994), melaporkan sedikitnya terdapat lebih dari 200 jenis tumbuhan lokal yang dapat digunakan untuk sayuran dan sumber kebutuhan vitamin dan mineral. Suku-suku asli di Indonesia memiliki cita rasa yang tinggi terhadap masakan, dan untuk kebutuhan bahan makanan tercatat telah menggunakan lebih dari 120 jenis tumbuhan sebagai bumbu-bumbu atau rempah-rempah, yang separuh dari angka tersebut masih harus dikumpulkan langsung dari alam (de Guzman & Siemonsma, 1999).

Selain jumlah di atas, sedikitnya terdapat 60 jenis bambu yang telah digunakan untuk berbagai macam kebutuhan, mulai dari kontrusi perumahan hingga kudapan, sementara 45 jenis diantaranya merupakan jenis-jenis dengan nilai kegunaan dan ekonomi yang cukup tinggi (Dransfield & Widjaja 1995). Selanjutnya Dransfield & Manokaran (1994) menuliskan bahwa bambu dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan lebih dari 120 jenis rotan untuk furnitur, alat rumah tangga, alat pertanian, alat kerajinan tangan dan alat-alat musik lainnya.

Seluruh suku yang ada di Indonesia diketahui memiliki pengetahuan akan potensi dan manfaat jenis tumbuhan yang ada di wilayahnya. Variasi geografi yang ada di wilayah tempat tinggal suku-suku tersebut dapat menimbulkan berbagai kekhasan pemanfaatan tumbuhan di sekitar mereka sesuai dengan kemampuan tingkat pengetahuan, adat istiadat dan tata cara yang berlaku pada tiap-tiap suku itu.

Pengetahuan pemanfaatan jenis tumbuhan di Papua umumnya telah diketahui dan diperoleh secara turun temurun. Pemanfaatan ini berlaku pada masyarakat di pedesaan, daerah terpencil maupun di sekitar hutan. Pengetahuan tentang tumbuhan yang dapat dibuat berbagai kelengkapan baik perkakas rumah tangga, sebagai alat pertanian atau berkebun juga sebagai benda-benda seni yang bernilai budaya telah dilakukan oleh masyarakat di Papua. Hal ini juga tampak pada penduduk Minyambow, yang tinggal di daerah pegunungan Arfak. Sebagai masyarakat asli yang tinggal di sekitar kawasan hutan, masyarakat Minyambouw memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan dan melengkapi keperluan yang diambil dari kawasan hutan. Berbagai jenis tumbuhan yang dapat diambil di sekitar kawasan hutan digunakan sebagai bahan baku pembuatan perkakas atau benda seni budaya yang tentunya belum tentu sama dengan di daerah lain di Papua. Pemanfaatan tumbuhan yang dapat dijadikan bahan baku dalam pembuatan barang seni yang bernilai budaya perlu mendapat perhatian. Tumbuhan bahan baku ini merupakan pelengkap dasar dalam pembuatan berbagai barang seni yang bernilai budaya di Minyambow, yang juga merupakan aset budaya daerah akan hilang bila tidak dilestarikan dan dijaga sebagai warisan bangsa. Oleh karena itu, kegiatan penggalian informasi mengenai pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan baku benda seni di Minyambow perlu diketahui, sehingga diharapkan pada akhirnya dapat dilakukan pemeliharaan tumbuhan tersebut sebagai bahan informasi dan data base jenis tumbuhan yang berguna dan bernilai seni budaya di Papua.

Page 180: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 179

B. KEADAAN UMUM

Kampung Mbenti merupakan salah satu kampung yang berada dalam wilayah administratif Distrik Minyambou, Kabupaten Pegunungan Arfak. Secara geomorfologi, Kampung Mbenti berada pada ketinggian ± 1602 m dpl. Jarak Kampung Mbenti dari ibukota Kabupaten Manokwari sekitar 72 km yang dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat selama ± 2 jam. Secara geografis wilayah kampung Imbenti berbatasan dengan Kampung Indabri di sebelah Utara, Kampung Simerbey di sebelah selatan, Kampung Anggra di sebelah Timur, dan Kampung Mitieide di sebelah Barat. Menurut Hasan (2000), tanah di kampung Mbenti umumnya memiliki tingkat kesuburan hampir merata dengan jenis tanah golongan tanah podsolik keabu-abuan dan jenis alluvial dengan tekstur tanah berliat dan sedikit berkerikil.

Sebagian besar dari masyarakat Kampung Mbenti hidup dari berladang atau berkebun. Hasil kebun pada umumnya merupakan tanaman palawija dan sayur mayur seperti betatas (Ipomea batatas), keladi atau talas (Xantosoma sagittifolium), jagung (Zea mays), kacang hijau (Phaseolus), kacang tanah (Arachis hypogea), sawi (Brasica oleivera), kubis (Brassica), wortel (Dauchus carota), kentang (Solanum tuberrosum), labu (Cucurbita moschatea) dan lain-lain. Berdasarkan data dan informasi Badan Meteorologi dan Geofisika Manokwari, Kampung Mbenti berada pada ketinggian berkisar ± 1604 meter dpl, dengan curah hujan yang cukup tinggi berkisar antara 253,2 mm/bulan. Suhu rata-rata 16°C(pada malam hari)-21°C dengan kelembaban yang cukup tinggi, dan penyinaran matahari yang cukup rendah.

Page 181: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

180 – BP2LHK Manokwari

II. PEMANFAATAN TUMBUHAN

A. JENIS TUMBUHAN

Sebagai suatu komunitas yang memiliki adat istiadat, masyarakat Moile di kampung Mbenti tidak terlepas dari kehidupan seni dan budaya. Hal ini diwujudkan dalam benda-benda seni budaya hasil kearifan lokal, dimana dalam pembuatannya sebagian besar menggunakan sumberdaya alam berupa tumbuhan, namun tidak sedikit yang dihasilkan dari hewan. Jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pembuatan benda seni budaya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bahan baku benda seni budaya oleh masyarakat Kampung Mbenti.

No. Nama Jenis Famili Tipe Pertumbuhan Lokal Ilmiah

1. Bimbuai Alstonia scholaris Apocynaceae Pohon 2. Baba Callamus sp. Poaceae Herba 3. Kibikiba Dendrocalamus asper Poaceae Herba 4. Ndong ayai Eria sp. Orchidaceae Epifit 5. Gelegah Fragnites karka Poaceae Herba 6. Njungtui Gleichenia lynearis Gleicheniaceae Semak 7. Miriga Hydriastele sp. Arecaceae Pohon 8. Pandan / tai Pandanus sp. Pandaneceae Terna 9. Kimcaw Pipturus sp. Urticaceae Perdu 10. Hambui Schizostachyum blumei Poaceae Herba 11. Bempash Tristania oreophilla Myrtaceae Pohon

Sumber : Data Primer

Tabel 1 menunjukkan bahwa setidaknya terdapat 11 jenis tumbuhan yang tergolong dalam 11 genus dan 8 famili yang dimanfaatkan untuk pembuatan benda seni budaya. Dimana jenis dari famili Poaceae adalah yang terbanyak (4 jenis). Tumbuh-tumbuhan tersebut tumbuh secara merata dan dapat ditemukan mulai dari ketinggian 1.300 m dpl sampai dengan ketinggian 2.100 m dpl.

Jumlah jenis tumbuhan yang terdapat pada daerah ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan jenis-jenis tumbuhan di daerah lain. Muyapa (2000) melaporkan hasil penelitian pada masyarakat etnik Mee di kampung Tuguwai Distrik Paniai, diketahui terdapat 21 spesies yang tergolong dalam 18 famili untuk bahan baku benda seni dan budaya. Semantara itu, masyarakat Karon Madik yang bermukim disekitar Cagar Alam Pegunungan Tamrau Utara sebanyak 16 spesies (Rumbiak dan Leppe, 2002). Adanya perbedaan jumlah jenis tumbuhan yang dimanfaatkan atau digunakan sebagai bahan baku benda seni budaya kemungkinan karena adanya perbedaan kearifan trasional. Perbedaan kearifan tradisonal setiap etnik di Papua berbeda demikian pula dalam pengelolaan alamnya. Sehingga kearifan tradisional yang ada sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosial budaya serta ketersediaan sumber daya alam di lingkungan sekitar.

B. BAGIAN, CARA PENGOLAHAN KEGUNAAN TUMBUHAN

Bagian-bagian tumbuhan yang dimanfaatkan beserta cara pengolahan dan bentuk produk yang dihasilkan disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Bagian Tumbuhan Cara Pengolahan Serta Bentuk Produk yang Dihasilkan Pada Suku Arfak di Kampung Mbenti.

Page 182: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 181

No. Nama Lokal Bagian Tumbuhan

Proses Pengolahan Produk yang

Dihasilkan

1. Kimcauw Batang & ranting muda

Kikis kulit bagian luar batang, lalu jemur sampai kering dan dipatahkan untuk diperoleh seratnya. Serat-serat ini dipilih menjadi benang lalu di anyam.

Noken

2. Hambui Batang (tua) Potongan bambu di jemur hingga kering lalu dilubangi dengan paku yang dipanaskan. Salah satu ujung bambu disumbat/tutup dengan kayu

Suling

3. Njung Tui

Ndong Ayai

Batang

Batang

Batang dibelah dan dihaluskan dengan pisau setelah halus, dianyam dengan tali baba (Calamus sp.)

Gelang /Ri

4. Pandan / Tai Daun Dibersihkan, dipanaskan hingga layu dan lentur, lalu dijahit dengan serat kayu kwet (Chrysophylum lanceolatum).

Kwe Tin / Tikar

5. Bimbuai Batang Batang dikuliti, dibersihkan, lalu dipahat Tifa

6. Kibikiba Batang Potongan batang bambu yang sudah diukur sesuai keinginan di jemur diatas para-para dekat tungku selama 3 minggu – 1 bulan sampai lentur/ditarik tidak patah.

Busur panah

7. Baba / Rotan Batang Batang dikuliti kulit luarnya, dijemur sampai kering lalu dibelah-belah, sesuai ukuran yang dikehendaki

Tali busur

8. Gelegah Batang Batang yang sudah dipotong sesuai ukuran di ukir lalu diasapi agar gambar terlihat bagus dan batang lebih lentur.

Anak panah dan tombak

9. Bempash

Miriga

Batang

Batang

Batang dibersihkan, dipotong sesuai ukuran yang dikehendaki lalu dibentuk dengan parang, dihaluskan dengan beling setelah itu diukir.

Mata tombak dan

mata anak panah

10. Bempash Batang Batang dibersihkan lalu dipotong dalam ukuran kecil-kecil dan dihaluskan di sambung satu persatu sehingga menyerupai rumah kaki seribu dengan tali rotan/baba (Calamus sp.)

Miniatur rumah Kaki Seribu

(Igmpimig)

11. Pandan / Tai Daun Diasapi sampai layu dan lentur, kemudian dijahit satu persatu dengan serat kwet.

Atap rumah Kaki Seribu

(Igmpimig)

12. Kibikiba Batang Batang dibersihkan, dipotong sepanjang + 30 cm dibelah, lalu bagian tengahnya diikat dengan serat kayu atau nelon lalu mulai dibentuk menjadi sisir.

Sisir

Sumber : Data Primer

Tabel 2 menunjukkan bahwa batang menjadi bagian tumbuhan yang paling sering dimanfaatkan. Hal ini mungkin terjadi karena batang memiliki sifat keawetan yang lebih baik bila dibandingkan dengan bagian yang lain, sehingga bila dibentuk tidak mudah rusak dan dapat dimanfaatkan untuk jangka waktu yang lama. Selain itu, dapat pula diketahui bahwa jenis-jenis alat musik yang dihasilkan oleh masyarakat adalah Tifa dan Suling. Tifa merupakan hasil pengetahuan dari luar komunitas yang diadopsi oleh masyarakat. Sebelumnya masyarakat menggunakan alat musik Kaijow yang terbuat dari bambu Kibikiba yang dipotong sepanjang +1 meter dan dilubangi salah satu ujungnya. Penggunaan bambu ini dengan cara dipukul dan ditumbukkan pada lantai secara berulang-ulang, namun saat ini masyarakat sudah tidak memanfaatkannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, diketahui bahwa suling pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat Arfak oleh para Zending pada tahun 1962. Tifa maupun suling sering dipergunakan oleh

Page 183: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

182 – BP2LHK Manokwari

masyarakat pada pesta pernikahan dan pesta adat lainnya, untuk mengiringi nyanyian dan tarian yang dibawakan.

Benda-benda seni dalam bentuk kerajinan yang dibuat oleh masyarakat yaitu Kwe tin (Tikar), Noken dan Gelang/Ri. Kwe tin digunakan sebagai payung dan alas duduk mempelai pada pesta pernikahan. Noken digunakan untuk mengisi hasil-hasil kebun agar memudahkan pengangkutannya ke rumah ataupun pasar. Gelang/Ri merupakan aksesoris yang dikenakan pria maupun wanita pada saat pesta dan upacara-upacara yang berkaitan dengan adat. Masyarakat juga membuat miniatur rumah kaki seribu (Igmpimig) beserta sisir bambu yang tujuan pemanfaatannya untuk dipasarkan sebagai cinderamata yang bernilai seni.

Budaya orang Arfak secara tradisional adalah berburu dan meramu. Oleh karena itu, masyarakat membuat tombak dan panah untuk menunjang kegiatan tersebut. Budaya ini juga tercermin lewat tari-tarian masyarakat yang umumnya menceriterakan tentang proses perburuan dan perang suku. Dimana pada saat membawakannya penari dilengkapi dengan peralatan tombak dan panah. Sekarang ini, selain kayu, masyarakat banyak memanfaatkan besi sebagai mata tombak dan mata anak panah yang diperoleh dengan cara membeli dari pasar di ibu kota Kabupaten. Jenis tumbuhan yang di gunakan oleh masyarakat di kampung Anggra dapat dilihat pada Gambar 1 sampai dengan Gambar 15.

1. Kimcauw (Pipturus sp.) 2. Noken 3. Panah dan Busur

4. N dong Ayai (Eria sp.) 5. Ndong Tui (Eria sp.) 6. Sisir Bambu

Page 184: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 183

7. Pandan/tai (Pandanus sp.) 8. Rumah Kaki Seribu 9. Gelagah (Fragmites karka)

10. Baba (Calamus sp.) 11. Bambu 12. Pakaian Adat dan Asesorisnya

13. Suling 14. Jukulele & Gitar 15. Miniatur rumah kaki seribu

Salah satu hal yang menarik adalah masyarakat juga telah memanfaatkan jenis-jenis

tumbuhan tertentu untuk mewarnai bahan baku benda seni sebelum dibentuk menjadi suatu produk. Jenis-jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bahan pewarna adalah Jingei brioy (Leea sp.) dan Kemura (Bixa orellana L). Keduanya digunakan untuk mewarnai benang dari serat kayu yang akan dianyam menjadi noken. Selain itu masyarakat juga menggunakan kulit batang Urer (Decaspermum fruticosum) untuk mewarnai tombak dan mata panah yang telah dibuat. Dalam upacara-upacara adat, masyarakat juga memanfaatkan buah Ninnuma (Ricinus communis) untuk merias diri. Jenis tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat Anggra untuk mewarnai bahan baku dapat dilihat pada Gambar 16 dan Gambar 17.

Page 185: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

184 – BP2LHK Manokwari

16. Jingei brioy (Leea sp.) 17. Urer (Decaspermum fruticosum) 18. Tifa

C. Tradisi dan Pola Pewarisan Pengetahuan

Pengetahuan masyarakat tentang pembuatan benda seni budaya merupakan suatu bentuk pengetahuan yang telah lama dikenal. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa tidak terdapat adanya larangan atau pantangan maupun anjuran adat sehubungan dengan tata cara pembuatan maupun pengambilan bahan baku. Kepemilikan dan pewarisan pengetahuan tidak mengenal batas, dapat dimiliki oleh siapapun baik dari dalam komunitas maupun pendatang atau masyarakat luar melalui proses belajar.

Pengetahuan tentang pembuatan benda seni diperoleh secara turun-temurun dari orang tua maupun dengan belajar pada orang lain yang memiliki pengetahuan tersebut. Proses penurunan pengetahuan oleh orang tua biasanya dilakukan dengan cara melibatkan anaknya baik dalam proses pengambilan bahan baku di alam, pengolahannya, sampai dengan proses pembuatan. Interaksi masyarakat dengan lingkungan diluar komunitas memberikan perubahan dimana telah terjadi pergeseran pengetahuan akibat adanya adopsi pengetahuan luar yang dilakukan oleh masyarakat. Sehingga beberapa pengetahuan lokal mengenai pembuatan benda seni budaya menjadi terabaikan bahkan lambat laun hilang.

D. Pemasaran

Beberapa jenis benda seni yang dihasilkan oleh etnik Moile diketahui bernilai bernilai ekonomi dan dipasarkan oleh masyarakat. Benda-benda itu meliputi sisir bambu, miniatur rumah kaki seribu (Igmpimig) dan panah. Pola pemasaran dari ketiga jenis benda tersebut ada yang langsung dijual di pasar dan ada pula yang melalui pemesanan terlebih dahulu. Biasanya jenis benda yang langsung dijual dipasar yaitu sisir bambu, sedangkan untuk panah dan Igmpimig harus dipesan dahulu. Namun terkadang, sisir bambu juga melalui pemesanan. Konsumen dari benda-benda seni umumnya masyarakat dari luar kawasan Cagar Alam Pegunungan Arfak yang membelinya sebagai cinderamata. Saat ini terdapat sebuah yayasan (Yayasan PERDU) yang membantu masyarakat dalam mencari pasar dan penyaluran benda seni.

Harga dari benda seni inipun bervariasi. Untuk sisir bambu biasanya dijual Rp. 2.000,- s/d Rp. 5.000,-/buah tergantung besar kecilnya sisir. Sebuah busur panah beserta anak-anak panahnya dijual dengan harga Rp. 20.000,-. Sedangkan sebuah Igmpimig dijual masyarakat dengan harga Rp. 50.000,-/buah, karena pembuatannya tergolong rumit. Hasil dari penjualan benda seni ini dapat menunjang kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari.

Page 186: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 185

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah T dkk, 2002. Pemanfaatan Tumbuhan dalam Kehidupan Sehari-hari Penduduk Desa Wekari Kecamatan Amberbaken, Kabupaten Manokwari. Manokwari.

De Guzman, C.C & J.S. Siemonsma. 1999 Plant resources of Southeast Asia no. 13. Spesies.

Dransfield, J. & N. Manokaran (eds).1994 Plant resources of Southeast Asia no. 6. Rattans. PROSEA Foundation, Bogor.

Dransfield, J. & E.A. Widjaja (eds).1995 Plant resources of Southeast Asia no. 7. Bamboos. PROSEA Foundation, Bogor

Indrawan, M., R.B. Primack & J. Supriatna, 2007. Biologi Konservasi. Edisi Revisi. Yayasan Obor Indonesia

Petocz, R. G. 1987. Konservasi Alam dan Pembangunan di Irian Jaya Pustaka Grafiipers. Jakarta

Saputra, A. P. 1995. Persepsi dan Sikap Masyarakat Terhadap Kawasan Cagar Alam Pegunungan Arfak di Kampung Mboiti Desa Imhasuma Kecamatan Manikwari. (Skripsi Sarjana Pertanian, Tidak Di Terbitkan)

Siemonsma, J.S dan K. Pileuk (eds). 1994. Plant resources of Southeast Asia no. 8. PROSEA Foundation, Bogor.

WWF, 1991. Usulan Pengelolaan Cagar Alam Pegunungan Arfak

Page 187: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

186 – BP2LHK Manokwari

Page 188: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 187

PENGELOMPOKAN JENIS-JENIS KAYU KOMERSIL DI TANAH PAPUA BERDASARKAN SK.MENTERI KEHUTANAN

NO.163/KPTS-II/2003

Oleh : Krisma Lekitoo

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari

Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat

Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Dalam pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia, pemerintah melalui Menteri Kehutanan telah menetapkan regulasi berupa SK Menteri Kehutanan No.163/KPTS-II/Menhut/2003 tentang Pengelompokan Jenis Kayu sebagai Dasar Pengenaan Iuran Kehutanan. Regulasi tersebut telah menetapkan bahwa semua perusahaan hutan atau IUPHHK-HA yang beroperasi pada hutan alam produksi di Indonesia harus membayar Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) berdasarkan pengelompokan jenis kayu yang terdapat dalam regulasi tersebut, yaitu kelompok kayu indah, kelompok kayu meranti dan kelompok kayu rimba campuran (mix). Pengelompokan kayu tersebut bersifat umum dan berlaku bagi seluruh wilayah di Indonesia. Namun jika dicermati secara lebih baik, regulasi tersebut pengelompokan jenis kayu tersebut lebih mewakili atau hanya berlaku untuk wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi namun belum mewakili jenis-jenis kayu perdagangan di Papua. Pengelompokan jenis kayu tersebut tidak berlaku untuk wilayah Papua. Berdasarkan fakta tersebut, dipandang sangat perlu untuk dilakukan perbaikan dan penambahan informasi dari jenis-jenis kayu potensial yang telah ada, khususnya jenis kayu komersil di Papua. Perbaikan dan penambahan ini mencakup segi jenis, sifat fisik dan mekanik, serta pengelompokan jenis kayu komersil tersebut, sehingga menjadi lebih baik dan mendekati sempurna.

Kata Kunci : PSDH,Kayu Komersil, Papua

Page 189: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

188 – BP2LHK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Undang-Undang No.41 Tentang Kehutanan). Hutan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, sebagai kekayaan sumberdaya alam yang memberikan manfaat serbaguna baik langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat Indonesia. Hutan seyogyanya dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang.

Hutan tropis Indonesia merupakan salah satu wilayah hutan alam tropika basah yang terbesar dan terkaya akan keragaman flora dan fauna. Sekitar 25.000 – 30.000 spesies tumbuhan berbunga atau berbiji menghuni hutan alam Indonesia dan sekitar 4.000 jenis berupa pohon, yakni tumbuhan berkayu yang memiliki batang utama yang jelas terpisah dari tajuknya. Keragaman flora lainnya meliputi lumut, ganggang, paku-pakuan, epifit, palem, bambu dan tumbuhan bawah. Kekayaan tersebut disebabkan oleh biogeografi Indonesia yang membentang di antara dua kawasan biogeorafi utama yaitu Indomalaya dan Australasia.

Hutan tropis di Indonesia, umumnya terdapat pada 5 pulau utama dan dua gugusan kepulauan yaitu Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Papua, Kepulauan Sunda Kecil dan Kepulauan Maluku. Menurut Suhendang (2002), hutan tropika di Indonesia berdasarkan fungsinya dapat dikelompokkan menjadi hutan lindung (protection forest), hutan produksi (production forest) dan hutan konservasi (conservation forest). Sumberdaya hutan tropis di Indonesia merupakan kekayaan alam yang sangat berharga, sehingga harus dikelola secara bijaksana agar lestari dan dapat bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia (Papua) terutama yang berada di dalam atau di sekitar kawasan hutan.

Dalam pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia, pemerintah melalui Menteri Kehutanan telah menetapkan regulasi berupa SK Menteri Kehutanan No.163/KPTS-II/Menhut/2003 tentang Pengelompokan Jenis Kayu sebagai Dasar Pengenaan Iuran Kehutanan. Berdasarkan regulasi tersebut, semua perusahaan hutan atau IUPHHK-HA yang beroperasi pada hutan alam produksi di Indonesia harus membayar Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) berdasarkan pengelompokan jenis kayu yang terdapat dalam regulasi tersebut, yaitu: kelompok kayu indah, kelompok kayu meranti dan kelompok kayu rimba campuran (mix). Pengelompokan kayu tersebut bersifat umum dan berlaku bagi seluruh wilayah di Indonesia.

Namun jika dicermati secara baik, SK Menhut No. 163/KPTS-II/2003 tersebut nampak jelas bahwa pengelompokan jenis kayu tersebut hanya berlaku untuk wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Pengelompokan jenis kayu tersebut tidak berlaku untuk wilayah Papua (Lekitoo, 2013).

Hal ini disebabkan oleh sedikitnya dua hal. Pertama, dalam aturan tersebut dicantumkan tentang pengelompokan jenis Kayu Meranti atau jenis Komersil Satu, yang sebenarnya tidak dapat diberlakukan untuk Wilayah Papua. Kelompok meranti umumnya merupakan nama perdagangan untuk jenis Shorea spp., sementara di Papua sama sekali tidak terdapat jenis Shorea spp. Kedua, banyak jenis kayu di Papua yang telah lama dieksploitasi sebagai jenis kayu komersil tetapi jenis tersebut belum terdaftar atau tercantum dalam SK Menhut No.163/KPTS-II/2003 tentang Pengelompokan Jenis Kayu

Page 190: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 189

Komersil tersebut. Sebagai contoh untuk jenis Flindersia pimentelliana dan Rhus taitensis yang merupakan jenis komersil asli Papua namun belum tercantum dalam SK tersebut.

Keadaan ini sudah tentu akan menimbulkan kerugian bagi Negara. Oleh karena itu, dipandang sangat perlu dilakukan revisi terhadap SK Menhut No. 163/KPTS-II/2003 tentang Pengelompokan Jenis Kayu Komersil tersebut. Salah satu strategi dalam revisi adalah dengan melakukan pendataan jenis-jenis kayu komersil di Papua yang belum tercantum dalam regulasi tersebut.

Page 191: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

190 – BP2LHK Manokwari

II. DASAR TEORI DAN FAKTA

A. Penyebaran Jenis Pohon (Kayu) Komersil di Indonesia

Hutan tropis Indonesia memiliki keanekaragaman jenis pohon (kayu) komersil yang sangat tinggi. Namun salah satu kelemahan yang berkaitan adalah penyebaran jenis-jenis kayu komersil tidak merata pada semua pulau atau gugusan kepulauan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan proses geologi pembentukan pulau-pulau tersebut.

Penyebaran pohon (kayu) komersil pada hutan tropis Indonesia secara umum berada pada lima pulau utama atau lima pulau terbesar dan dua gugusan kepulauan di Indonesia. Secara ekologi pembagian tersebut menjadi 1) Flora Sumatera (Andalas), 2) Flora Kalimantan (Borneo), 3)Flora Jawa (Javaensis), 4)Flora Sulawesi (Celebes), 5)Flora Papua (Papuasia), 6) Flora Maluku (Moluccas), dan 7) Flora Bali, NTT dan NTB (Sunda Kecil). Jenis-jenis pohon komersil yang terdapat pada setiap daerah di Indonesia sangat berbeda antar satu daerah dengan daerah lainnya. Perbedaan tersebut sangat bervariasi yakni berkisar dari kecil, sedang dan besar. Menurut Primack (1998), keragaman flora yang terdapat pada suatu daerah dipengaruhi oleh faktor biogeografi pulau yang khas serta faktor-faktor fisik lainnya, misalnya ketinggian tempat, curah hujan serta garis lintang dan jauh dekatnya suatu daerah atau pulau dari pulau lainnya.

Sebagai contoh, jenis-jenis pohon komersil yang terdapat pada daerah Sumatera dan Kalimantan memiliki banyak persamaan dengan perbedaan yang kecil, karena umumnya didominasi oleh famili Dipterocarpaceae. Namun, pohon-pohon di Sumatera dan Kalimantan memiliki persamaan dengan perbedaan yang sedang jika dibandingkan dengan jenis-jenis pohon komersil di Jawa, dan jika dibandingkan dengan jenis-jenis pohon komersil di Papua akan memiliki persamaan yang rendah dengan banyak perbedaan atau perbedaan yang tinggi.

Penyebaran flora di berbagai wilayah di Indonesia telah menciptakan berbagai tipe hutan. Tipe hutan merupakan suatu istilah yang digunakan bagi kelompok tegakan yang mempunyai ciri-ciri yang sama dalam susunan jenis dan perkembangannya. Umumnya tipe hutan dibedakan berdasarkan sebaran di setiap negara sesuai dengan kawasannya.

B. Penyebaran Jenis Pohon (Kayu) Komersil di Papua

Penyebaran flora di Papua sangat dipengaruhi oleh isolasi geografi berupa lautan yang sangat luas, pegunungan yang sangat tinggi dan bentangan alam lainnya seperti sungai, lembah yang luas, tebing yang curam dan patahan-patahan geologi yang ekstrim. Faktor lainnya yang juga sangat mempengaruhi penyebaran flora adalah lingkungan. Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap penyebaran tumbuh-tumbuhan pada suatu wilayah meliputi:

1. Faktor Iklim, mencakup curah hujan, suhu, kelembaban atmosfer, angin, cahaya dan kesetimbangan energi

2. Faktor Fisiografi dan edafik, mencakup topografi, faktor edafik (tanah dan lapis alas geologi)

Faktor-faktor lingkungan yaitu iklim, edafik (tanah), topografi dan biotik antara satu dengan yang lain sangat berkaitan erat dan sangat menentukan kehadiran suatu jenis tumbuhan di tempat tertentu, namun cukup sulit mencari penyebab terjadinya kaitan yang erat tersebut (Syafei, 1994). Marsono (1977) menambahkan bahwa kehadiran suatu jenis pada suatu tempat atau areal ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain habitat, waktu,

Page 192: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 191

dan vegetasi lain. Kondisi habitat akan menyebabkan adanya seleksi terhadap jenis yang mampu beradaptasi dengan lingkungan setempat. Sedangkan waktu yang diperlukan untuk mengatasi hal ini, sebab dengan berjalannya waktu vegetasi akan berkembang ke arah yang stabil. Kehadiran satu jenis dapat ditentukan pula oleh vegetasi yang berada disekitarnya.

Sebagai akibat dari sejarah geologi dan faktor lingkungan, Papua terbagi menjadi empat wilayah utama keragaman hayati yaitu : daerah utara, daerah selatan, daerah kepala burung (Vogelkop) dan daerah dataran tinggi (Muller, 2005). Pada daerah-daerah tersebut, sejarah geologis yang berbeda menghasilkan vegetasi yang berbeda dan pada tingkat tertentu jenis hewan yang ada akan berbeda pula. Keadaan lingkungan yang spesifik dan adanya penghalang (isolasi geografi) untuk melakukan penyebaran, menyebabkan kebanyakan jenis tumbuhan dan hewan mempunyai wilayah penyebaran yang terbatas sehingga meningkatkan tingkat keendemikan.

Page 193: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

192 – BP2LHK Manokwari

III. PEMBAHASAN

A. Keterwakilan Jenis Komersil di Papua

Hutan hujan tropis Papua merupakan salah satu formasi hutan hujan tropis Indomalaya yang kaya akan jenis, genera dan famili yang khas serta tidak dijumpai di daerah lain di Indonesia. Jumlah flora Papua diperkirakan mencapai 20.000-25.000 jenis (Jhons, 1997) dengan 1.465 marga dan paling sedikit 142 marga bersifat endemik, dimana 50–90% dari jumlah tersebut merupakan jenis endemik (De Fretes, 2000), baik endemik dalam skala terbatas maupun luas.

Van Bolgooy (1976) dalam Petocz (1987) menyatakan bahwa tipe hutan Papua mengandung banyak jenis flora yang dapat dijadikan tanaman berguna bagi manusia. Namun hingga kini kekayaan flora tersebut belum diketahui dengan pasti, belum cukup dikenal dan belum diketahui informasi botani dan biologis serta penyebarannya. Kondisi keterbatasan ini berlaku pula terhadap pemanfaatan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat yang masih dalam skala kecil dan bersifat tradisional.

Keadaan ini disebabkan karena adanya beberapa faktor pembatas, antara lain berupa bentangan lahan yang sangat luas, topografi yang cukup berat, kurangnya penelitian atau ekspedisi dalam bidang taksonomi, serta faktor politik dan keamanan. Faktor pembatas lainnya adalah kurangnya sumberdaya manusia dalam bidang taksonomi, terbatasnya waktu dan biaya akibat kurangnya perhatian pemerintah akan pentingnya data base keanekaragaman hayati flora di Tanah Papua.

Pepatah “tak kenal maka tak sayang” mempunyai makna tertentu. Tanpa mengenal jenis-jenis tumbuhan yang ada, kita tak mungkin mengetahui potensi, keanekaragaman, sifat-sifat lainnya maupun kemungkinan pemanfaatannya. Secara riil Dinas Kehutanan propinsi Irian Jaya (sekarang Papua) pada tahun 1976 telah menerbitkan buku jenis-jenis kayu komersil di Papua yang memuat sekitar 150 jenis komersil Papua. Sayangnya, secara ilmiah buku tersebut belum mampu menjelaskan dengan terperinci potensi jenis-jenis komersil di seluruh Tanah Papua yang meliputi Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat. Kondisi ini dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain :

1. Buku ini hanya menjelaskan secara garis besar jenis-jenis pohon komersial yang diketahui dengan pasti pada masa itu. Sementara di sisi lain, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, telah dikenal dan diketahui lebih banyak lagi jenis kayu yang potensial. Dalam praktek pengelolaan IUPHHK-HA, jenis-jenis kayu yang baru dikenal tersebut pada akhirnya digolongkan kedalam “jenis kayu komersil kurang dikenal” atau “Lain-Lain” dan dimasukkan sebagai kelompok Rimba Campuran

2. Jenis-jenis kayu potensial (komersil) yang terdapat di dalam buku ini, boleh dikatakan hanya mewakili wilayah utara daerah Papua (belum mewakili daerah tengah dan daerah selatan Papua)

3. Jenis-jenis pohon potensial yang dikemukakan dalam buku ini masih bersifat umum (General) sehingga sifat fisik dan mekanik yang ditampilkan dalam buku ini tidak dapat digunakan sebagai acuan. Sebagai contoh pada jenis Aglaia spp. Pengelompokan ini masih bersifat sangat umum, karena di dalam genus Aglaia terdapat banyak spesies yang komersil antara lain Aglaia argentea, Aglaia spechtabilis, dll. Sehingga pemakaian sifat fisik dan mekanik pada Aglaia spp. tidak dapat dipakai untuk Aglaia spechtabilis, Aglaia argentea dan lain-lain.

Dalam praktek pengusahaan hutan oleh pihak HPH, jenis-jenis pohon yang tidak termasuk dalam SK Menteri Kehutanan No. 163/KPTS-II/2003 paling sering dimasukkan dalam kelompok kayu “Lain-lain”. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

Page 194: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 193

1. Status taksonomi, nama komersil dan manfaat pohon tersebut belum dikenal dan diketahui dengan pasti, tetapi karena pohon tersebut dapat dikomersilkan maka lantas digolongkan ke dalam kelompok kayu komersil dengan status “lain-lain”. Sebenarnya secara ilmiah, tidak mungkin ada pohon yang nama jenisnya lain-lain dan jumlahnya tidak terbatas, sehingga tampaknya keadaan ini hanya berlaku untuk kayu komersil saja.

2. Pengetahuan kita tentang jenis pohon komersial di Papua sangat dipengaruhi oleh pengetahuan jenis komersial dari daerah lain di Indonesia. Hal ini disebabkan karena kita tidak pernah memiliki rasa ingin tahu dan kurang memiliki kesempatan untuk mengetahui dengan pasti dan benar berapa sebenarnya potensi jumlah jenis pohon kita yang komersil. Sebagai contoh, para pengusaha IUPHHK-HA yang telah lama bekerja di Kalimantan atau Sumatera lalu pindah untuk berbisnis di daerah Papua pastilah masih membawa ilmu tentang jenis-jenis komersil dari Sumatera dan Kalimantan untuk diberlakukan di Papua. Keadaan ini sebenarnya tidak dibenarkan karena jenis pohon di Sumatera dan Kalimantan sangat berbeda jauh dengan di Papua.

3. Penggolongan kayu komersial di Papua yang masih menggunakan kategori “Kayu Indah”, “Rimba campuran”, “Meranti” dan “Lain-lain” harus ditinjau kembali, karena pengelompokan ini terkesan sangat mengikuti sistem pengelompokan di Sumatera dan Kalimantan yang secara ilmiah tidak dapat dibenarkan. Kementerian Kehutanan perlu meninjau ulang hal ini. Sebagai contoh, penggolongan kayu ke dalam kelompok “Meranti” dirasakan sangat tidak masuk akal, karena kelompok meranti adalah kelompok kayu komersil yang berasal dari famili Dipterocarpaceae, khususnya genus Shorea spp. Hal ini akan terkesan sangat janggal dan tidak masuk akal, karena marga Shorea (Shorea spp.) menurut data terakhir tidak terdapat dan tidak ditemukan di wilayah Papua. Meskipun selama ini banyak ilmuwan lokal dan pengenal jenis menyatakan bahwa jenis Shorea spp ada di Papua, namun hingga saat ini hal tersebut belum terbukti. Apabila memang dijumpai ada Shorea spp. di wilayah Papua berarti ini adalah record atau catatan yang sangat baru, maka sangat tidak logis kalau “Meranti” termasuk salah satu kelompok kayu komersil di Papua.

Situasi yang digambarkan pada point 1-3 di atas sudah tentu akan menciptakan kerugian atau keuntungan antara negara dan pihak perusahaan (IUPHHK-HPA). Kerugian-kerugian tersebut meliputi :

1. Jika ternyata jenis kayu yang digolongkan dalam kayu “Lain-Lain” ternyata sangat potensial, maka negara akan merugi. Namun jika ternyata jenis kayu tersebut tidak potensial, maka negara tidak rugi.

2. Hal ini pasti akan berlaku juga untuk Iuran DR dan IHH, pengelompokan kayu yang salah akan mengakibatkan iuran DR dan IHH kurang, atau mungkin bertambah.

3. Selama ini beberapa jenis kayu yang seharusnya dimasukkan ke dalam kelompok “Kayu Indah” ternyata hanya dimasukan dalam kelompok “Lain-lain” (Rimba campuran), yang sudah tentu merugikan Negara.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dipandang sangat perlu dilakukan perbaikan dan penambahan informasi dari jenis-jenis kayu potensial yang telah ada, baik jenisnya maupun sifat fisik dan mekanik dari setiap jenis tersebut, agar pengelompokan jenis kayu komersil tersebut menjadi lebih baik dan mendekati sempurna.

Secara teoritis, hal yang paling mendesak dan harus diperhatikan dalam mendata jenis-jenis kayu potensial di Papua dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Papua merupakan salah satu daerah berbentuk kepulauan yang di dalam wilayah administrasinya juga meliputi daerah-daerah lain yang berbentuk kepulauan. Akibat adanya pengaruh biogeografi pulau (seperti adanya isolasi geografi, iklim dan jarak

Page 195: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

194 – BP2LHK Manokwari

antar pulau), juga pengaruh geologi dan tipe hutan, menyebabkan timbulnya perbedaan dalam penyebaran atau kondisi geografi flora di wilayah ini. Perbedaan ini terjadi baik pada Pulau Papua maupun pulau-pulau lainnya yang terdapat di wilayah ini, seperti Biak, Yapen, dan lain-lain). Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan yang sangat nyata pada vegetasi di wilayah utara dan wilayah selatan pulau Papua.

2. Perbedaan seperti pada point 2 di atas mengakibatkan jenis-jenis komersil pada daerah selatan akan sedikit berbeda dengan daerah utara. Demikian pula jenis-jenis komersial pada daerah kepulauan (Biak dan Yapen) akan sedikit berbeda satu dengan lainnya, maupun dengan daerah utara dan selatan Papua. Sudah pasti, selanjutnya jenis komersil pada daerah utara akan berbeda dengan selatan, serta dengan daerah kepulauan. Strategi pemahaman akan perbedaan potensi kayu komersil berdasarkan lojasi ini akan terjawab apabila setiap instansi pemerintah yang terkait pada setiap daerah dapat menginventarisasi jenis-jenis komersil pada wilayah administrasinya. Sebagai contoh, kayu besi (Intsia spp.) tidak terdapat di daerah Kabupaten Merauke, sehingga sebagai gantinya (subtitusi) masyarakat mengenal adanya kayu besi lapang (Planchonia sp. dan Metrosideros sp.) yang memang tumbuh di wilayahnya.

3. Penggolongan kayu komersial berdasarkan manfaat dan kegunaannya sangat perlu dilakukan, baik kayu komersil daerah maupun nasional. Hal ini sangat perlu diperhatikan guna mengurangi kesimpangsiuran dalam pengertian kayu komersil. Sebagai contoh jenis Eucalyptus spp. yang banyak terdapat di bagian selatan Papua sangat cocok untuk pembuatan tripleks sehingga dikenal dengan kayu tripleks. Namun jenis ini tidak cocok untuk pembuatan balok dan papan, sehingga jenis ini kadang-kadang tidak dimasukkan dalam jenis komersil, karena menurut instansi terkait dan masyarakat jenis tidak dapat digunakan untuk pembuatan balok dan papan. Contoh lainnya adalah Durio zibethinus (pohon durian), yang dikenal selama ini oleh masyarakat sebagai pohon penghasil buah. Jenis ini menurut Departemen Kehutanan jenis ini termasuk ke dalam daftar jenis kayu perdagangan, namun oleh masyarakat Papua tidak dianggap sebagai jenis komersil karena merupakan pohon penghasil buah. Sebenarnya jenis kayu perdagangan dari marga Durio (Durio spp.) sangat tepat bila diberlakukan di Kalimantan karena di wilayah tersebut terdapat banyak jenis pohon dari marga Durio (Durio spp.) yang bukan penghasil buah.

Berdasarkan beberapa penjelasan dan informasi di atas, dipandang sangat perlu adanya daftar minimal jenis-jenis pohon potensial (komersil) di Tanah Papua. Namun sebagai informasi, jenis-jenis komersil tersebut perlu juga diperiksa ulang di lapangan, karena hingga saat ini masih banyak terjadi kesimpangsiuran. Selain itu jenis-jenis yang terdapat di dalam daftar ini perlu untuk diperiksa kepastian status taksonominya, sudah direvisi atau belum, juga sudah tepat kepastian status taksonominya atau belum.

Pada prinsipnya, jika dalam revisi terdapat tiga jenis yang dikelompokan menjadi satu, namun ternyata sifat fisik, mekanik dan tektur kayunya, berbeda maka secara ekonomis kita harus tetap membedakan jenis-jenis tersebut ke dalam tiga jenis yang berbeda berdasarkan sifat-sifatnya itu. Sebagai contoh pohon Pometia acuminate, Po. coreacea dan P. pinnata yang secara taksonomi telah direvisi menjadi satu jenis, yaitu Pometia pinnata dengan 3 varietas yaitu acuminate, coreacea dan pinnata. Apabila ternyata sifat fisik, mekanik dan tekstur dari ketiga jenis yang secara taksonomi disatukan ini berbeda, maka ketiganya tetap harus dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan sifat fisik, mekanik dan teksturnya. Karena berdasarkan hasil penelitian ternyata jenis kayu P. acuminate dapat saja memiliki sifat yang lebih baik jika dibandingkan dengan jenis P. coreacea dan P. pinnata.

B. Dasar Pengelompokan Jenis Komersil

Page 196: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 195

Apabila dicermati secara baik, dasar pengelompokan jenis-jenis kayu komersil yang terdapat pada SK Menhut No. 163/KPTS-II/203 meliputi empat kelompok. Keempat kelompok tersebut adalah Kelompok Jenis Meranti/Komersil Satu, Kelompok Jenis Kayu Rimba Campuran/Kelompok Komersil Dua, Kelompok Jenis Kayu Eboni/Kelompok Indah Satu dan Kelompok Jenis Kayu Indah/Kelompok Indah Dua. Sayangnya, pembagian kelompok tersebut dapat dianggap belum memiliki dasar yang baik.

Salah satu contoh akibat yang timbul dari kurang baiknya dasar pembagian kayu tersebut tampak pada jenis Adina multifolia dan A. fagifolia. Kedua jenis tersebut berada dalam satu marga, tetapi A. multifolia dimasukkan pada Kelompok Rimba Campuran atau Komersil Dua dan A. fagifolia dimasukkan pada Kelompok Jenis Kayu Indah atau Kelompok Indah Dua. Contoh lainnya adalah Intsia spp. dan Eusideroxylon zwageri yang sama-sama dikenal dengan sebutan “kayu besi” (kayu besi Papua dan kayu besi Sumatera dan Kalimantan) karena memiliki kelas kuat dan awet yang sama, ternyata dimasukkan pada kelompok kayu komersil yang berbeda.

Intsia spp. dimasukkan pada Kelompok Kayu Meranti atau Komersil Satu sedangkan Eusideroxylon zwageri dimasukan pada Kelompok Jenis Kayu Indah atau Kelompok Indah Dua. Bila memang pengelompokan dilakukan berdasarkan kelas kuat dan awet kayu, seharusnya kayu besi (Intsia spp.) dimasukkan pada kelompok yang sama dengan kayu besi (Eusideroxylon zwagerii). Penampakan tekstur kedua kayu yang memiliki kemiripan kelas kuat awet ini ditunjukkan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Tekstur kayu merbau (Intsia palembanica) dan ulin (Eusideroxylon zwagerii), dengan kelas kuat dan awet yang sama ternyata dikelompokan dalam kayu komersil yang berbeda

Selain itu, apabila pengelompokan jenis kayu dilakukan berdasarkan tekstur kayu (warna kayu), maka pengelompokan jenis-jenis pohon komersil berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 163/KPTS-II/203 yang baik dan benar adalah seperti pada Gambar 2.

Intsia palembanica Eusideroxylon zwagerii

Diospyros celebica Pterocarpus indicus

Kelompok Eboni/Indah Satu Kelompok Indah Dua

Page 197: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

196 – BP2LHK Manokwari

Gambar 2. Pengelompokan jenis kayu komersil berdasarkan warna kayu

C. Keterwakilan Ekosistem di Tanah Papua

Secara umum SK Menhut No. 163/KPTS-II/2003 hanya dapat diberlakukan bagi jenis-jenis pohon atau kayu komersil yang terdapat pada hutan dataran rendah di Tanah Papua. Regulasi ini belum dapat mewakili jenis-jenis komersil yang terdapat pada hutan dataran tinggi di Tanah Papua. Sebagai contoh, jenis-jenis kayu komersil yang sering digunakan oleh beberapa kabupaten pada daerah dataran tinggi di Papua seperti Nothofagus spp., Lithocarpus spp. dan Sauraia spp. hingga kini belum termuat dalam SK Menhut ini.

Pometia pinnata Anthocephalus chinensis

Kelompok Meranti/Komersil Satu Kelompok Rimba

Campuran/Komersil dua

Page 198: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 197

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Secara umum, Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 163/KPTS-II/2003 tentang

Pengelompokan Jenis-Jenis Kayu Komersil sebagai Dasar Pengenaan Iuran

Kehutanan tidak memiliki dasar pengelompokan yang jelas dan belum mewakili jenis-

jenis kayu komersil yang terdapat di Tanah Papua

2. Masih banyak kayu potensial komersil di Papua yang belum terdaftar dalam SK

Menhut No. 163/KPTS-II/2003 tersebut. Untuk itu perlu dilakukan penambahan

informasi untuk penyempurnaan regulasi tersebut

B. Saran

1. Sesuai payung pukum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus bagi Provinsi Papua, Pemerintah Daerah (Kabupaten dan Provinsi) dapat

membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengelompokan Jenis-Jenis Kayu

Komersil pada wilayah administatifnya

2. Perlu adanya penelitian sifat fisik mekanik untuk jenis-jenis kayu potensial komersil

di Papua yang belum dikenal dan belum terdaftar dalam SK Menhut No. 163/KPTS-

II/2003 tersebut, terutama jenis-jenis kayu yang seharusnya masuk dalam kelompok

kayu indah.

Page 199: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

198 – BP2LHK Manokwari

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tentang Kehutanan. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2008. Data Strategis Departemen Kehutanan. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2003. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 163/Kpts-II/2003 Tentang Pengelompokan Jenis Kayu Sebagai Dasar Pengenaan Iuran Kehutanan. Jakarta.

Eddows, P.J. 2010. The Utilization of Papua New Guinea Timbers. Forest Industries Association (Inc.). Waigani NCD. Papua New Guinea.

John, R. 1997. Common Forest Trees of Irian Jaya Papua – Indonesia. Royal Botanical Garden, Kew. Inggris.

Kartawinata, K. 2010. Dua Abad Mengungkap Kekayaan Flora dan Ekosistem di Indonesia. Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture X, 23 Agustus 2010, Jakarta. Tidak diterbitkan.

Kusmana, C dan Agus Hikmat. 2005. Keanekaragaman Hayati Flora di Indonesia. Tidak dipublikasikan.

Lekitoo, K. 2013. Kekayaan, Pelestarian dan Pemanfaatan Jenis Flora di Tanah Papua. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari dan Balai Penelitin Kehutanan Manado. Manado.

Marsono, D. 1977. Deskripsi Vegetasi dan Tipe-tipe Vegetasi Tropika. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Martawijaya A., Iding Kartasujana, Kosasi Kadir dan Soewanda Among Prawira. 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Martawijaya A., Iding Kartasujana, Y.I. Mandang, Soewanda Among Prawira dan Kosasi Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Jilid II. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Muller, K. 2005. Keanekaragaman Hayati Tanah Papua. Editor : Frans Wanggai, A. Sumule; Alih Bahasa : Fenny Ismoyo, A. Killmaskossu, Sintje Lumatauw, Doan Nainggolan, M. St. E. Kilmaskossu, Saraswati Prabawardani. Universitas Negeri Papua, Manokwari.

Petocz, R. 1987. Konservasi Alam dan Pembangunan Irian Jaya. PT. Gramedia. Jakarta.

Pigram, C.J. and H.L. Davies. 1987. Terranes and the Accreation History of the New Guinea Orogen. Bureau of Mineral Resources, J. Aust. Geol. Geophys. 10:193-211.

Powell, J. M. 1976. Ethnobotany. In K. Paijmans (Editor). New Guinea Vegetation: 106-170. The Australian National University Press. Canberra.

Primack, R. B. 1998. Biologi Konservasi. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Sastrapradja, D.S. Adisoemarto, K. Kartawinata, S. Sastrapradja dan M.A. Rifai., 1989. Keanekaragaman Hayati Untuk Kelangsungan Hidup bangsa. Puslitbang Bioteknologi – LIPI. Bogor.

Sirami E.V., Krisma Lekitoo, Alfredo O Wanma dan Victor I. Simbiak. 2009. Inventarisasi Hutan Pada Distrik Koweda Kabupaten Waropen. Tidak diterbitkan.

Page 200: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 199

Steenis-kruseman MJ van & CGGJ van Steenis,, 1950. Malaysian Plant Collectors nd Collections, being a Cyclopedia of Botanical Exploration in Malaysia and a Guide to the Concerned Literature up to the year 1950. Hal. i-clii & 1-639 dalam CGGJ van Steenis (Ed.), Flora Malesiana, I, 19. Noordhoff-Kolff NV, Djakarta.

Suhendang, E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan (YPFK), IPB Bogor. Bogor.

Syafei, E. S. 1994. Pengantar Ekologi Tumbuhan. FMIPA Institut Teknologi Bandung. Bandung

Whitmore, T. C., I. G. M. Tantra dan U. Sutisna. 1997. Tree Flora Of Indonesia. Check List For Irian Jaya. Ministry Of Forestry. Forestry Research And Development Agency. Bogor.

Page 201: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

200 – BP2LHK Manokwari

Page 202: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 201

PENUNJUKAN TEGAKAN BENIH TERIDENTIFIKASI (TBT)

DI TERASAI, BINTUNI DAN BONGGO, SARMI

Oleh : Pudja Mardi Utomo dan Ette Panus

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari

Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Hutan Papua termasuk dengan diversitas tinggi karena 5 % keragaman dunia bisa ditemukan di hutan di sini. Dari keragaman tersebut terdapat beberapa jenis kayu unggulan yang memiliki nilai ekonomis tinggi yaitu merbau (Instia sp) dan matoa (Pometia sp) serta jenis-jenis lain pada areal demplot yang sama. Mengantisipasi kebutuhan akan jenis-jenis tersebut, BPK Manokwari merencanakan untuk mengkonservasi serta memuliakan jenis-jenis tersebut dengan membangun demplot sumber benih di beberapa lokasi. Pembangunan demplot ini selain bertujuan untuk memelihara keberadaan jenis-jenis dimaksud, juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas benih serta kayu yang dihasilkan sehingga dapat berkontribusi banyak secara ekonomi dalam peningkatan kualitas hasil hutan kayu dari jenis tersebut dalam waktu yang relatif singkat. Salah satu nya dengan cara penunjukan sumber benih. Hasil yang dicapai pada tahun 2013 adalah pembangunan demplot (penunjukan TBT) jenis merbau dan matoa di Terasai Kabupaten Teluk Bintuni dan Bonggo Kabupaten Sarmi. Pada tahun tersebut juga telah dilakukan penunjukan TBT di Terasai jenis dao (Dracontomelon sp). Berdasarkan penilaian, semua lokasi penunjukan di atas layak untuk disertifikasi sebagai TBT. Perlu ada kerja sama dari pihak Balai Penelitian Kehutanan Manokwari dengan pihak pengelola hutan dalam bentuk MOU agar kejelasan tegakan benih yang ada di areal konsesi dapat dilakukan pemeliharaan dan evaluasi secara berkala.

Kata Kunci: merbau, matoa, dao, benih, Terasai, Bintuni, Bonggo, Sarmi

Page 203: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

202 – BP2LHK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Papua sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia juga dikenal dengan luas tutupan hutannya. Namun demikian, seiring dengan pertumbuhan ekonomi, spesies tumbuhan penyusun hutan mengalami ancaman kepunahan. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah dan institusi lain yang berkepentingan telah berupaya menciptakan kebun koleksi dan konservasi, sayangnya sebagian besar kegiatan ini dilakukan dalam bentuk eksitu di luar wilayah Papua, sedangkan untuk di Papua sendiri belum ada yang dianggap cukup memadai terutama untuk pengadaan benih.

Kementerian Kehutanan telah menjadikan Ditjen DASPS/BPDAS untuk menjadi ujung tombak pelaksanaan kegiatan pengadaan benih dan penanaman untuk menyukseskan program OBITnya (One Billion Indonesian Trees). Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan secara umum dan Balai Penelitian kehutanan (BPK) Manokwari secara khusus berkewajiban menyediakan bantuan iptek untuk kegiatan tersebut.

Khusus untuk Tanah Papua (Papua dan Papua Barat) hingga saat ini, BPDAS sendiri seringkali mengalami kesulitan dalam pengadaan benih yang bermutu terutama karena kekurangan atau ketiadaan sumber benih yang bisa digunakan, terutama untuk jenis-jenis lokal. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, BPK Manokwari diharapkan dapat membantu memenuhi kebutuhan tersebut melalui program pembangunan sumber benih di beberapa lokasi di Tanah Papua.

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah tersedianya demplot sumber benih merbau dan matoa serta jenis unggulan lain dengan klasifikasi Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT) di Papua (Bonggo, Sarmi) dan Papua Barat (Terasai, Bintuni).

Page 204: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 203

II. METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Dalam pembangunannya, Demplot sumber benih ini dibangun melalui beberapa tahapan meliputi survei, inventarisasi materi genetik dan ploting area pembangunan sumber benih pada tegakan alam. Data pohon benih yang berhasil dikumpulkan selanjutnya diukur dan dianalisis, selain dipetakan posisinya.

B. Penunjukan TBT

Pemilihan lokasi pembangunan tegakan menitikberatkan pada kesediaan jenis tujuan (merbau dan matoa) pada suatu lokasi, serta kemudahan akses untuk mengambil sumber benih setelah ditetapkan. Berdasarkan rencana tahun 2014, prioritas pembangunan TBT untuk jenis merbau dan matoa berada di lokasi kabupaten Simei-Wasior Teluk Wondama dan Karang-Bonggo Kabupaten Sarmi. TBT ini direncanakan untuk luasan tegakan ± 100 ha dengan meng-upgrade kualitas tegakan yang ada. Adapun persyaratan umum Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT) meliputi sumber benih dengan kualitas tegakan rata-rata, yang ditunjuk dari hutan alam atau hutan tanaman dan lokasinya teridentifikasi dengan tepat; yaitu mencakup aspek assesibilitas, pembungaan, keamanan, kesehatan, batas areal dan terkelola dengan baik. Sedangkan persyaratan khusus TBT adalah asal tegakan berasal dari hutan alam atau hutan tanaman atau tegakan berasal dari hutan tanaman yang tidak direncanakan dari awal untuk dijadikan sebagai sumber benih, asal-usul benihnya tidak diketahui, Jumlah pohon dalam TBT ditetapkan minimal 25 pohon induk dan diusahakan memiliki jarak pohon yang tetap {pohon benih|50m≤pohon benih≤100m}. Selain itu kualitas tegakan bersifat rata-rata, jalur isolasi tidak diperlukan, dan penjarangan tidak perlu dilakukan (Gambar 1).

Gambar 1. Ilustrasi Penunjukan Tegakan Benih Teridentifikasi

TEGAKAN BENIH TERIDENTIFIKASI

HUTAN ALAM ATAU HUTANTANAMAN

IDENTIFIKASI DAN DESKRIPSI TEGAKAN

BENIH UNTUKPROGRAM PENANAMAN

TEGAKAN BENIH TERIDENTIFIKASI

DITE RIMA SE BAGAI S UMBER BENIHKARENA

AKSES SIBILITAS MUDAH

KUALITAS TEGAKAN RATA-RATA

Page 205: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

204 – BP2LHK Manokwari

C. Peralatan Penelitian

Adapun peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah GPS, Tallysheet, Skoring untuk jenis dan Software Arcview atau ArcGIS.

D. Analisis Data

Data sebaran jenis yang berhasil dikumpulkan selanjutnya dianalisis menggunakan program GIS untuk mengetahui pola distribusi dan sebaran tiap jenis di kandidat lokasi TBT dan APB. Selain itu data skoring digunakan untuk memilih kandidat pohon benih selanjutnya dikalkulasi untuk menghitung nilai minimal pemilihan pohon benih.

Page 206: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 205

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Terasai, Bintuni, Kabupaten Teluk Bintuni

Areal PT. Manokwari Mandiri Lestari (PT MML) yang menjadi sasaran penelitian ini terletak dalam wilayah kelompok hutan sungai Muturi-sungai Jakati secara geografis terletak pada 01º 4‟- 02 º 23‟ LS dan 133 º 08‟ BT. Secara administrasi areal ini terletak di wilayah Kabupaten Teluk Bintuni-Propinsi Papua Barat.

Berdasarkan peta geologi Bandung tahun 1993 skala 1:1.000.000 tanah di lokasi dibentuk oleh batuan kuarter dan tersier. Bahan kuarter terdiri dari formasi allumenium sedangkan tersier terdiri dari formasi Tpss,Tpsm, Tmk, Til, Tei, Kue, dan Kuem. Formasi TPss tersusun dari bahan batu pasir batu lumpur, TPsm tersusun dari bahan batu lempung dan batu lumpur, Tmk tersusun dari bahan napal, Til tersusun dari bahan Kalsit, Tei tersusun dari bahan gamping, kapur dan napal, Kue tersusun dari bahan batu pasir, batu lempung dan batu pasir. Jenis tanah yang terdapat pada areal PT MML mencakup jenis Aluvial, Red Yellow Podsolik, Gray Brown Podsolik, dan Complex soil.

Kondisi vegetasi hutan dalam areal PT MML termasuk tipe hutan hujan tropika dan sebagian mangrove dengan di dominasi jenis merbau (Intsia spp.) 17.64 %, Matoa (Pometia spp.) 10.95 %, pulai (Alstonia spp.) 10.48 %, ketapang (Terminalia spp.) 6.44 %, resak (Vatica rassak) 6.33% dan vegetasi lainnya antara lain: rotan, bamboo, semak dan sagu.

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, kelompok hutan sungai Muturi, sungai Jakati dan sekitarnya tergolong beriklim tipe A dengan nilai sekitar 7,4 %. Curah hujan maksimum 362 mm yang terjadi pada bulan Maret dan curah hujan minimum 130 mm yang pada bulan Juli, total dari keseluruhan curah hujan tahunan 2,859 mm. Bulan basah menyebar pada setiap bulan sepanjang tahun. Jumlah hari rata-rata hujan bulanan berkisar antara 9,2-17,3 hari atau sekitar 12,65 hari. Suhu rata-rata di sekitar areal berkisar antara 54,4º-17,3ºC dan kelembaban udara rata-rata berkisar antara 40-70 %.

Penunjukan calon tegakan sumber benih merbau, matoa dan dao di Terasai, Bintuni ditetapkan di Areal Sumber Daya Genetik (ASDG) dalam RKT 2005/2006 yang luasannya ± 60,5 ha.

Merbau Kegiatan pengamatan dan eksplorasi di Terasai, Bintuni berhasil mengumpulkan 53

kandidat pohon sumber benih. Hasil pengamatan dan pemetaan pohon-pohon tersebut menunjukkan bahwa penyebaran calon pohon induk untuk jenis merbau (Intsia sp.) pada demplot yang dibangun menyebar cukup merata kecuali pada bagian tenggara. Berdasarkan penilaian karakter pohon induk, demplot ini memiliki nilai tegakan pohon plus 61,55. Hasil analisis dengan program GIS pola sebar jenis merbau di Terasai, Bintuni dapat dilihat pada Gambar 2.

Page 207: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

206 – BP2LHK Manokwari

Gambar 2. Peta Sebaran Calon Pohon Induk Merbau di Terasai, Bintuni

Matoa Untuk jenis matoa (Pometia sp.) di Terasai Bintuni juga memiliki pola penyebaran yang

mirip dengan merbau, yaitu menyebar cukup merata kecuali pada bagian tenggara. Berdasarkan posisinya, letak calon pohon induk memiliki jarak yang cukup baik sama halnya dengan merbau. Kegiatan pengamatan dan eksplorasi di Terasai, Bintuni meghasilkan 79 kandidat pohon sumber benih. Berdasarkan penilaian karakter pohon induk, demplot ini memiliki nilai tegakan pohon plus 70,20. Hasil analisis dengan program GIS pola sebar jenis merbau dan di Terasai, Bintuni dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Peta Sebaran Calon Pohon Induk Matoa di Terasai, Bintuni

Dao Selain jenis merbau dan matoa, juga dilakukan eksplorasi dan pengamatan jenis lain,

yaitu jenis dao (Dracontomelon sp). Dao merupakan salah satu jenis kayu yang termasuk kelompok kayu mewah. Walaupun hanya diperoleh 26 calon pohon induk selama pengamatan, jenis ini memiliki profil calon pohon induk plus dengan nilai karakter calon pohon induk plus 75,73. Hasil analisis dengan program GIS pola sebar jenis merbau di Terasai, Bintuni dapat dilihat pada Gambar 4.

Page 208: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 207

Gambar 4. Peta Sebaran Calon Pohon Induk Dao di Terasai, Bintuni

2. Bonggo, Kabupaten Sarmi

Penunjukan calon tegakan sumber benih merbau dan matoa di Bonggo ditetapkan di Petak 22 G areal IUPHHK PT Wapoga Mutiara Timber masing-masing seluas 100 ha dengan lebar jalur penyangga 50 m mengelilingi demplot.

Merbau Untuk calon tegakan sumber benih jenis merbau diperoleh 110 kandidat pohon

sumber benih dari hasil pengamatan. Hasil pengamatan dan eksplorasi disertai pemetaan letak penyebaran calon pohon induk untuk jenis merbau (Instia sp) menunjukkan bahwa pohon induk pada demplot yang dibangun menyebar cukup merata kecuali pada bagian tenggara. Berdasarkan penilaian karakter pohon induk, demplot ini memiliki nilai tegakan pohon plus 73,42. Hasil analisis dengan program GIS pola sebar jenis merbau di Bonggo, Sarmi dapat dilihat pada Gambar 5. Kandidat area ini setelah dilakukan delineasi diketahui memiliki luas ± 100 ha.

Gambar 5. Peta Sebaran Calon Pohon Induk Merbau di Bonggo, Sarmi

Page 209: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

208 – BP2LHK Manokwari

Matoa Pola sebaran jenis matoa (Pometia sp) di Bonggo juga memiliki pola penyebaran yang

mirip dengan merbau, yaitu menyebar merata pada kandidat areal kebun benih. Sedangkan letak antar calon pohon induk tampak memiliki jarak yang cukup baik sama halnya dengan merbau. Pengamatan dan eksplorasi di Bonggo menghasilkan 205 kandidat pohon sumber benih. Berdasarkan penilaian karakter pohon induk, demplot ini memiliki nilai tegakan pohon plus 71,21. Hasil analisis dengan program GIS pola sebar jenis merbau di Bonggo, Sarmi dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Peta Sebaran Calon Pohon Induk Matoa di Bonggo, Sarmi

3. Asosiasi

Kondisi vegetasi hutan di Terasai, Bintuni termasuk tipe hutan hujan tropika dan sebagian berupa hutan mangrove, dengan didominasi jenis merbau (Intsia spp.) 17.64 %, Matoa (Pometia spp.) 10.95 %, pulai (Alstonia spp.) 10.48 %, ketapang (Terminalia spp.) 6.44 %, resak (Vatica rassak) 6.33% dan vegetasi lainnya antara lain rotan, bambu, semak dan sagu. Demikian juga kondisi vegetasi hutan di Bonggo termasuk tipe hutan hujan tropika dan sebagian berupa rawa, merbau dan matoa berasosiasi dengan Alstonia spp., Suzygium sp, Myristica sp, Terminalia spp., Vatica sp dan vegetasi lainnya antara lain rotan, bambu, semak dan sagu.

Gambar 7. Jenis-jenis lain yang berasosiasi dengan merbau dan matoa.

Page 210: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 209

B. Pembahasan

Hasil pengamatan dan perngukuran dari 53 kandidat pohon pohon induk sumber benih jenis merbau (Intsia sp.) di Terasai, Bintuni dan Bonggo menunjukkan sebaran yang cukup merata. Diameter setinggi dada (dbh) berkisar antara 25-173 cm (rata-rata 64,35 cm) dan tinggi batang bebas cabang (TBBC) 9-24 m (rata-rata 13,72 m). Sedangkan di Bonggo memiliki diameter rata-rata 54,65 cm (19-147 cm) dan Tinggi batang bebas cabang (TBBC) rata-rata 15,87 m (9-23 m).

Berdasarkan penilaian karakter pohon induk jenis merbau, demplot Terasai Bintuni memiliki nilai tegakan pohon plus 61,55 dan di Bonggo memiliki nilai karakter calon pohon induk plus yang lebih baik, yaitu 73,42 . Berdasarkan penilaian karakter calon pohon induk dan luas tegakan, kandidat area sumber benih Terasai, Bintuni memiliki luas ± 60.5 ha dan di Bonggo dengan luas 100 ha bisa dan layak dicalonkan sebagai kandidat TBT. Salah satu calon pohon induk benih merbau yang mempunyai karakter yang baik, dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Salah satu calon pohon induk benih merbau terpilih.

Untuk jenis matoa (Pometia sp) di Terasai Bintuni dan Bonggo juga memiliki pola penyebaran yang mirip dengan merbau, yaitu menyebar cukup merata. Berdasarkan letak, antar calon pohon induk memiliki jarak yang cukup baik. Hasil pengamatan dan eksplorasi di Terasai, Bintuni diperoleh 79 kandidat pohon sumber benih dan di Bonggo diperoleh 205 kandidat pohon sumber benih. Diameter setinggi dada (dbh) berkisar antara 15 cm- 121 cm dan tinggi batang bebas cabang (TBBC) 4-31 m. Sedangkan di Bonggo, diameter setinggi dada (dbh) berkisar antara 19-142 cm dan tinggi batang bebas cabang (TBBC) 9-22 m. Secara umum, tegakan matoa Bonggo memiliki karakter yang lebih baik dibanding di Terasai, Bintuni.

Berdasarkan penilaian karakter pohon induk, pada demplot Terasai, Bintuni memiliki nilai tegakan pohon plus 70,20 yang lebih kecil dibanding di Bonggo dengan nilai tegakan pohon plus 73,42. Setelah dilakukan delineasi diketahui kandidat area Terasai memiliki luas ± 60.5 Ha dan di Bonggo dengan luas 100 ha bisa dan layak dicalonkan sebagai kandidat TBT.

Page 211: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

210 – BP2LHK Manokwari

Gambar 8. Calon pohon induk benih (a) matoa dan (b) dao terpilih.

Selain kedua jenis di atas, Terasai, Bintuni juga dilakukan eksplorasi dan pengamatan jenis lain, yaitu jenis dao (Dracontomelon sp). Jenis ini merupakan salah satu jenis kelompok kayu mewah. Walaupun hanya diperoleh 26 calon pohon induk, jenis ini memiliki profil calon pohon induk dengan nilai karakter calon pohon induk plus 75,73. Berdasarkan peta persebaran, jenis ini memiliki jarak antar pohon induk yang cukup ideal disbanding jenis merbau dan matoa. Diameter setinggi dada (dbh) berkisar antara 29-68 cm dan tinggi batang bebas cabang (TBBC) 13-24 m. Walaupun memiliki diameter rata-rata lebih kecil dibanding merbau dan matoa, dao memliki keunggulan bentuk yang lurus dan tinggi bebas cabang rata-rata lebih baik, yaitu 18,88 m dibanding merbau dan matoa berturut-turut 13,71 m dan 13,86 m. Setelah dilakukan dilineasi diketahui kandidat area ini memiliki luas ± 60.5 ha.

Page 212: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 211

IV. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

1. Penunjukan TBT di Terasai, Bintuni

Pembuatan demplot sumber benih pada Areal (Rencana) Sumber Daya Genetik (ASDG) IUPHHK PT Manokwari Mandiri Lestari yang luasannya ± 61,5 ha diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Telah dilakukan penunjukan tegakan benih matoa dan dipilih 79 pohon tegakan penyusun TBT di Terasai, Bintuni dengan hasil penilaian karakter calon pohon induk plus sebesar 70,20.

b. Telah dilakukan penunjukan tegakan benih merbau dan dipilih 53 pohon tegakan penyusun TBT di Terasai, Bintuni, dengan hasil penilaian karakter calon pohon induk plus sebesar 61,55.

c. Telah dilakukan penunjukan tegakan benih dao dan dipilih 26 pohon tegakan penyusun TBT di Terasai, Bintuni, dengan hasil penilaian karakter calon pohon induk plus sebesar 75,73.

2. Penunjukan TBT di Bonggo, Sarmi

Pembuatan demplot sumber benih pada Petak 22 D IUPHHK PT Wapoga Mutiara Timber yang luasannya ± 100 ha diperoleh hasil sebagai berikut:

a. Telah dilakukan penunjukan tegakan benih merbau dan dipilih 110 pohon tegakan penyusun TBT di Bonggo, dengan hasil penilaian karakter calon pohon induk plus sebesar 73,42 dan segera dibersihkan lantai hutan tersebut.

b. Telah dilakukan penunjukan tegakan benih matoa dan dipilih 205 pohon tegakan penyusun TBT di Bonggo, dengan hasil penilaian karakter calon pohon induk plus sebesar 71,21 dan segera dibersihkan lantai hutan tersebut.

B. Saran

1. Pada kedua lokasi penunjukan baik di Kabupaten Teluk Bintuni, Simei-Wasior Kabupaten Teluk Wondama dan di Aroba-Babo Kabupaten Teluk Bintuni di atas telah layak untuk

disertifikasi sebagai TBT.

2. Perlu ada kerja sama dari pihak Balai Penelitian Kehutanan Manokwari dengan pihak pengelola hutan dalam bentuk MOU agar kejelasan tegakan benih yang ada di areal

IUPHHK dapat dilakukan pemeliharaan dan evaluasi secara berkala.

Page 213: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

212 – BP2LHK Manokwari

DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.1/Menhut-II/2009. Jakarta.

Lee, S. L., K. K.-S. Ng, L. G. Saw, A Norwati, M. H. S. Salwana, C. T. Lee & M. Norwati. 2002. Population Genetics of Intsia Palembanica (Leguminosae) and Genetic Conservation of Virgin Reserves in Penisular Malaysia,. American Journal of Botany 89: 447-459.

Mahfudz, S. Pudjiono, T. P. Pudja M. U, Batseba A. S. 2006. Merbau (Intsia spp) dan Upaya konservasinya.Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogjakarta

Masripatin, M. 2004. Kata Pengantar. Dalam Mahfudz, S Pudjiono, A. Y. P. B. C.Widyatmoko dan T P Yudohartono. 2004. Merbau. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogjakarta.

Mukhtar, A. S., Masano, N Mindawati. 1993. Pembinaan dan Pelestarian Pohon Merbau (Intsia spp) di Indonesia. Dalam Mahfudz, S Pudjiono, A. Y. P. B. C.Widyatmoko dan T P Yudohartono. 2004. Merbau. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.Yogjakarta.

Pramudityo, B. 2008.Pemapanan dan Evaluasi Uji Keturunan Merbau (Insia bijuga O Kuntze) Sampai Umur 6 Bulan di Wanagama I Gunung Kidul DIY.Skripsi (In Press).

Setiawan, R. 2008. Uji Provenans 12 Populasi Merbau (Intsia Bijuga) dan Evaluasi Pertumbuhannya Selama 6 Bulan Di Wanagama I. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.Skripsi (In Press).

Soerianegara, I. & R. H. M. J. Lemmens. 1994. Plant Resources of South East Asia. Timber Trees: Major Commercial Timbers 5 (1): 264-269. Bogor.

Thaman, Randolph R., L. A. J.Thomson, R. DeMeo, F. Areki, and C. R. Elevitch. 1996. Intsia Bijuga. http://www.agroforestry.net/tti/Intsia-vesi.pdf. Diakses tanggal 5 Januari 2007.

USDA. 2007. Intsia bijuga. http://www2.fpl.fs.fed.us/Techsheets/Chudnoff /SEAsian_Oceanic/html Docs_seasian/Intsia bijuga.html. Diakses tanggal 5 Januari 2007.

Page 214: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 213

KUANTIFIKASI EMPULUR SAGU UNTUK BIOETANOL DI SEGET

Oleh : Batseba A. Suripatty

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari

Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Sagu (Metroxylon spp.) diketahui merupakan salah satu tumbuhan asli Indonesia penghasil

karbohidrat yang cukup tinggi dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Bioetanol dari sagu dapat dimanfaatkan sebagai energy mix atau sebagai pencampur Premium dan Pertamax (E…..) bahkan dalam kondisi mesin tertentu dapat digunakan secara penuh (E100). Apabila mengacu pada target pemenuhan bioetanol dari periode 2005 – 2025 yang meningkat dari tahun ke tahun (ESDM, 2008), maka variasi keragaman genetik yang berimplikasi pada keragaman kandungan patinya merupakan peluang untuk melakukan seleksi jenis atau tipe melalui program pemuliaan tanaman sehingga dapat dihasilkan tanaman sagu berproduktivitas pati tinggi dengan daur yang pendek. Tujuan penelitian ini adalah melakukan analisis bobot dan rendemen empulur sagu pada beberapa aksesi sagu dan identifikasi kualitas empulur sagu sebagai bahan baku bioetanol. Penelitian berlokasi di hutan sagu Seget, Distrik Seget pada bulan Juli 2014. Hasil penelitian menunjukan bahwa jenis atau varietas sagu di lokasi berdasarkan karakter morfologis mencakup 5 jenis M. sagu yaitu varietas wirere pelepah hijau, wirere pepelah kuning coklat, wafok, wamda pelepah hijau, dan wamda pelepah abu-abu dengan karakteristik pertumbuhan yang berbeda antara masing-masing varian jenis. Produksi sagu yang terbanyak terdapat pada jenis sagu wamda pelepah hijau dari pada bagian pangkal. Sedangkan kadar air untuk jenis Metroxylon sagu varietas wirere lebih tinggi dari pada varietas wafok dan wamda. Nilai karbohidrat dan nilai pati yang terdapat untuk jenis M. sagu varietas wafok, wamda dan wirere yang dianalisa mempunyai rata-rata nilai yang sangat tinggi sehingga dapat juga dijadikan sebagai bahan cadangan bioetanol. Secara umum, jenis-jenis sagu yang dianalisa mempunyai nilai karbohidrat dan pati yang sangat tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan penghasil bioetanol, sedangkan untuk kadar lemak dan pati tidak terdeteksi.

Kata kunci: bioetanol, empulur, sagu (Metroxylon spp), pati, produksi, variasi

Page 215: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

214 – BP2LHK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sagu (Metroxylon spp.) secara alami tersebar hampir di setiap pulau atau kepulauan di Indonesia dengan luasan terbesar terpusat di Papua, sedangkan sagu semi budidaya terdapat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Tempat tumbuh dan keragaman genetik sagu diketahui sangat bervariasi. Hasil eksplorasi dan identifikasi jenis-jenis sagu di desa Kehiran, Jayapura, Irian Jaya menemukan 20 jenis sagu (nama lokal), dan dari 20 jenis sagu ini 9 sagu merupakan sagu yang berduri sedang 11 lainnya merupakan sagu tidak berduri (Allorerung et al., 1994). Hasil eksplorasi plasma nutfah sagu di Pulau Seram, Maluku menunjukkan adanya 5 jenis sagu yaitu tuni, ihur, makanaro, duri rotan dan molat (Miftahorrachman et al., 1996). Sedangkan hasil survei yang dilakukan oleh Widjono et al (2000), telah diketahui 61 jenis dan tipe sagu yang tersebar di Jayapura (35 jenis), Manokwari (14 jenis), Merauke (3 jenis) dan Sorong (9 jenis) dari sagu berduri dan sagu tidak berduri. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), Papua telah mengoleksi 74 aksesi (lokasi koleksi sagu) dari 42 jenis dan tipe sagu yang berasal dari Kabupaten Jayapura, Merauke, Manokwari dan Sorong, yang telah tumbuh dan beradaptasi dengan baik.

Sesuai lokasi sebaran alaminya, setiap pohon sagu akan menghasilkan rendemen pati sagu yang berbeda. Efisiensi produksi pati sagu akan lebih tinggi pada lahan-lahan yang tidak tergenang. Hal ini sesuai pula dengan berat kering pati pada satu contoh yang berasal dari lahan tidak tergenang yang mencapai berat 13,89 gram, lahan tergenang sementara 9,59 gram dan lahan tergenang tetap 10,93 gram, meskipun kadar pati pada lahan tergenang tetap lebih rendah (79,17%) dari kedua lahan lainnya (Sitaniapessy, 1996). Sementara dari hasil survei Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) mengidentifikasi produktivitas pati per pohon dari beberapa tipe sagu yaitu Osonghulu (sagu tidak berduri) dengan produksi pati per pohon sebesar 207,5 kg, Ebesung (sagu berduri) 207,0 kg, Yebha (tidak berduri) 191,5 kg; Polo (tidak berduri) 176 kg; Wanni (tidak berduri) 160,5 kg; dan Yaghalobe (berduri) 155,5 kg.

Populasi tanaman sagu di Indonesia diperkirakan terbesar di dunia, luas areal sagu potensial sekitar 1,2 juta ha dan 90% diantaranya tumbuh di propinsi Papua dan Maluku. Namun dari luasan hutan sagu alam tersebut, hanya 40 % merupakan areal penghasil pati produktif dengan produktivitas pati 7 ton/ha/tahun atau setara dengan etanol 3,5 KL/ha/tahun.

Walaupun sagu merupakan komoditas pangan masyarakat lokal di Papua, yang dalam posisi ini sering dipertentangkan apabila digunakan sebagai bahan baku energi alternatif, namun karena berdasarkan perkiraan potensi produksi sagu tersebut jauh lebih besar dibanding konsumsi pati sagu sebagai bahan pangan dalam negeri (hanya 210 ton per tahun atau 4-5 % dari potensi produksi sagu), maka pemanfaatan sagu untuk pengembangan bioetanol tidak akan menjadi masalah (Sumaryono , 2007) .

Produksi sagu yang utama adalah karbohidrat dalam bentuk polisakarida yaitu pati, disamping bahan lain yang berbentuk serat dari empulur batang sagu. Secara teoritis pati dapat dihidrolisa untuk menghasilkan gula sederhana atau glukosa secara sempurna, maka konversi pati ke glukosa bobot/bobot akan melebihi 100% (106 – 109%). Molekul pati yang terhidrolisa akan bereaksi dengan air pada rantai C yang terlepas hingga berat molekulnya bertambah. Perkembangan menunjukkan upaya untuk menghidrolisa serat dan bahan berkayu sebagai bahan baku penghasil bioetanol atau bentuk lain dari energi yang terbaharukan terus berkembang. Pembuatan etanol dicanangkan pada dua macam bahan

Page 216: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 215

baku yaitu pati sagu dan serat sagu. Pemisahan pati dan serat dilakukan melalui tahapan: 1) Pemisahan empulur dari kulit batang, 2) Pemarutan empulur, 3) Pemisahan pati sagu dan serat dengan saringan berputar dan aliran air.

Empulur batang sagu segar terdiri dari pati, serat dan air, dengan perbandingan sebagai berikut, pati 27- 31%, serat 20-24% dan air 45-53%. Secara teoritis, tidak hanya pati yang dapat dihidrolisa untuk menghasilkan glukosa, selulosa dan hemiselulosa juga dapat dihidrolisa untuk menghasilkan gula pereduksi. Untuk bioetanol berbasis empulur (pati dan serat) sagu, dilakukan proses melalui langkah a) Hidrolisa bahan menjadi oligoscharida; b) Hidrolisa oligisacharida menjadi gula; c) konversi gula menjadi etanol; d) pemurnian etanol (penghilangan kadar air) sampai mencapai produk bioetanol.

Setelah penebangan, batang sagu dipotong berupa tual dengan panjang sekitar 1,2 m. Belahan tual diparut atau digiling melalui press ulir agar terjadi campuran pati dan serat sehalus mungkin tapi masih mudah melakukan pemisahan antara pati dan serat. Bagian pati akan mengendap di bagian bawah air, yang selanjutnya langsung diproses dijadikan oligosacharida. Bagian serat yang tersisa pada saringan dikumpulkan dan langsung diproses dijadikan oligosacharida. Pada kegiatan ini tidak diperlukan proses pengeringan baik untuk pati sagu maupun pengeringan bagian serat, sehingga tahapan kegiatannya lebih singkat dan menghemat tenaga, waktu dan biaya.

Proses produksi bioetanol dari pati sagu melalui dua tahap utama, yaitu, proses hidrolisa pati menjadi gula dan proses fermentasi gula untuk menghasilkan alkohol atau bioetanol. Untuk mendapatkan kualitas etanol yang diharapkan, dilakukan beberapa tahapan proses lanjutan, sehingga bioetanol yang dihasilkan dapat digunakan baik sebagai bahan bakar maupun sebagai bahan kimia untuk berbagai keperluan.

Dibandingkan dengan granula pati jagung dan granula pati beras, maka granula pati gandum dan pati sagu diketahui sangat resisten terhadap aktivitas enzim glukoamilase yang dihasilkan Rhizopus sp. dan Penicillin brunneum. Untuk meningkatkan respon granula pati sagu terhadap reaksi enzim, pada granula pati sagu yang dihasilkan, sebelum proses pengering diberikan perlakukan peningkatan suhu di bawah suhu gelatinisasi, yaitu hingga suhu 60°C pada pH 2.0 selama 1-2 jam. Perlakuan ini efektif dalam meningkatkan kemampuan enzim glukoamilase untuk menghidrolisa pati sagu menjadi glukosa, granula pati dapat terhidrolisa sempurna setelah 48 jam reaksi enzim (Haska and Ohta, 1991).

Meskipun identifikasi tingkat keragaman genetik melalui genetika molekuler juga sudah mulai dilakukan di Indonesia dan Thailand (Ehara et al., 1996; Boonsermsuk et al., 1996), namun penajaman keragaman genetis tersebut perlu dilakukan untuk tujuan sagu sebagai penyedia bioetanol di kawasan hutan Papua di masa datang. Identifikasi potensi dan keragaman empulur di dalam jenis/tipe (intra species) atau di antara jenis/tipe sagu (inter species) tersebut berupa data karakteristik morfologis, fisiologis, genetis, terkait dengan kuantifikasi potensi dan keragaman kuantitas dan kualitas empulurnya pada beberapa aksesi di kawasan hutan alam sagu potensial Papua.

B. Tujuan dan Sasaran

Tujuan dari kegiatan ini adalah:

1. Mendapatkan data karakteristik morfologis, terkait dengan kuantifikasi potensi pohon (Belum Masak Tebang-BMT dan Masak Tebang-MT) dan keragaman kuantitas serta kualitas empulurnya pada beberapa aksesi di kawasan hutan alam sagu potensial Papua

2. Membuat rekomendasi pengembangan sagu tentang Pembangunan Hutan Tanaman Sagu di Papua dan Papua Barat

Page 217: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

216 – BP2LHK Manokwari

C. C. Luaran/Output

Output dari kegiatan penelitian adalah

a. Data rendemen dan kandungan pati serta serat pada jenis/tipe sagu. b. Informasi ciri morfologi dalam pada jenis sagu. c. Rekomendasi pengembangan sagu dengan model Hutan Tanaman Sagu

Page 218: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 217

II. METODOLOGI

A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kampung Seget, Distrik Seget, Kabupaten Seget Provinsi Papua Barat. Kegiatan ini dilakukan pada bulan Maret-Desember tahun 2014.

B. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan adalah hutan sagu, kamera, chain saw, parang, mesin parut, kain, air, timbangan, tally sheet. Informasi dari masyarakat diperoleh dari penduduk desa atau responden yang memiliki hutan sagu di Seget, Distrik Seget Kabupaten Sorong, Propinsi Papua Barat.

C. Prosedur Kerja

1. Analisis Bobot dan Rendemen Empulur sagu (Metroxylon spp)

Penelitian ini menggunakan metode survei berdasarkan luasan populasi pohon sagu dengan sifat/morfologi duri yang dominan. Eksplorasi kandungan empulur dalam satu jenis/tipe sagu dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

- Pendekatan dengan masyarakat lokal di sekitar hutan sagu. - Seleksi jenis/tipe sagu berdasarkan sifat morfologi duri, sesuai asal aksesi tersebut

(Seget). - Pemilihan pohon model berdasarkan morfologi duri tersebut ditunjang juga oleh

informasi masyarakat lokal tentang kedekatan ciri-ciri (panjang, jarak antar duri dan warna) duri di antara jenis/tipe sagu.

- Pengambilan sampel pohon model yang mewakili kandungan empulur sagu dilakukan pada 3-4 pohon sagu Masak Tebang (MT) per tipe sagu.

- Pemisahan pati dengan serat dilakukan secara tradisional dan kemudian dilakukan pencatatan terhadap kuantitas (bobot pati, bobot serat, rendemen pati) dan kualitas (warna dan kekerasan pati serta periode fermentasi).

2. Indentifikasi Kualitas Empulur Jenis/Tipe Sagu Sebagai Bahan Baku

Bioetanol dari Kawasan Hutan Sagu Seget di kampung Seget Distrik

Seget, kabupaten Sorong.

Analisis kandungan empulur (pati dan serat) sampel pohon dalam satu jenis/tipe sagu pada aksesi yang ada. Sampel sagu diambil dalam batang pohon di bagi 5 (lima) bagian, setiap bagian dipotong melingkar batang dengan ukuran masing-masing 15 cm dan ditimbang. Setiap bagian diambil sejumlah 1/8 untuk di timbang, kemudian empulur di blender dan disaring, kemudian pati diambil dan dimasukan ke dalam botol untuk kemudian dikirim ke Bogor dan selanjutnya dianalisa.

Produksi sagu yang utama adalah karbohidrat dalam bentuk polisakarida yaitu pati disamping bahan lain yang berbentuk serat dari empulur batang sagu. Secara teoritis pati dapat di hidrolisa untuk menghasilkan gula sederhana atau glukosa secara sempurna, maka konversi pati ke glukosa bobot/bobot akan melebihi 100% (106 – 109%). Molekul pati yang terhidrolisa akan bereaksi dengan air pada rantai C yang terlepas hingga berat molekulnya bertambah.

Page 219: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

218 – BP2LHK Manokwari

Pembuatan etanol dari sagu menggunakan cara hidrolisis asam (Demirbas. 2005). Dalam metode hidrolisis asam, bahan baku dilarutkan dalam larutan asam (1% and 3%) dengan ratio larutan asam dan bahan baku 12 : 1 dan 15 : 1, dan suhu 150 dan 180oC. Selanjutnya, ethanol yang dihasilkan dipisahkan dari campuran tersebut. Ethanol yang dihasilkan dihitung rendemen dan sifat-sifatnya.

D. Analisa Data

Analisa data yang dilakukan adalah analisa terhadap bobot rendemen empulur dalam satu jenis/tipe sagu (inter species). Sedangkan analisa kualitas empulur sagu sebagai bahan baku etanol dilakukan pengumpulan secara tabulasi dan diolah menggunakan analisa varian.

Page 220: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 219

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Bobot dan Rendemen Empulur sagu (Metroxyllon spp)

Setelah ditebang, sagu dipotong dalam potongan-potongan berupa ring berukuran 10 cm untuk mengukur berat empulur, ampas dan tepung atau pati sagunya .

1. Sagu Wirere (pelepah hijau)

Gambar 1. Grafik Perbandingan Empulur, Ampas, dan Tepung Sagu Wirere Pelepah Hijau

Untuk jenis sagu wirere pelepah hijau pohon sagu yang diambil diameter pangkal 45 cm, tengah 65 cm dan ujung 70 cm, dengan tinggi 9,5 meter, mempunyai rata-rata berat empulur bagian pangkal adalah 775 gr, tengah adalah 750 gr, dan berat ujung adalah 650 gr. Untuk berat ampas rata-rata bagian pangkal adalah 350 gr, bagian tengah 300 gr, bagian ujung adalah 275 gr, dan berat tepung bagian pangkal adalah 500 gr, tengah adalah 450 gr dan ujung adalah 350 gr. Jumlah tepung sagu yang dihasilkan adalah sebanyak 20 tumang (istilah lokal), dimana ukuran 1 tumang beratnya 10 kg (panjang tumang 90 cm, diameter tumang 25 cm). Jadi jumlah tepung untuk sagu wamda pelepah hijau adalah 220 kg.

2. Sagu Wirere pelepah kuning coklat

Untuk jenis sagu wirere pelepah kuning coklat pohon sagu yang diambil diameter pangkal pohon 40 cm, tengah 55 cm, dan bagian ujung 65 cm, dengan tinggi 10 meter, mempunyai rata-rata berat empulur bagian pangkal adalah 800 gr, tengah adalah 650 gr, dan berat ujung adalah 550 gr.

Untuk berat ampas rata-rata bagian pangkal adalah 300 gr, bagian tengah 270 gr, bagian ujung adalah 200 gr, dan berat tepung bagian pangkal adalah 500 gr, tengah adalah 330 gr dan ujung adalah 300 gr. Jumlah tepung sagu yang dihasilkan adalah sebanyak 20 tumang. Jadi jumlah tepung untuk sagu wirere pelepah kuning coklat adalah 210 kg.

Page 221: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

220 – BP2LHK Manokwari

Gambar 2. Grafik Perbandingan Empulur, Ampas, dan Tepung Sagu Wirere Pelepah Kuning Coklat

3. Sagu Wafok

Gambar 3. Grafik Perbandingan Empulur, Ampas, dan Tepung Sagu Wafok

Untuk jenis sagu wafok pohon sagu yang diambil diamater pangkal pohon 55 cm, tengah 60 cm, dan ujung 70 cm. Dengan tinggi 9 meter, mempunyai rata-rata berat empulur bagian pangkal adalah 825 gr, bagian tengah adalah 720 gr, dan bagian ujung adalah 650 gr. Untuk berat ampas rata-rata bagian pangkal adalah 425 gr, bagian tengah 325 gr, bagian ujung adalah 300 gr, dan berat tepung bagian pangkal adalah 425 gr, tengah adalah 395 gr dan ujung adalah 330 gr. Jumlah tepung sagu yang dihasilkan adalah sebanyak 23 tumang. Jadi jumlah tepung untuk sagu wafok adalah 230 kg.

4. Sagu Wamda pelepah hijau

Tinggi pohon 12 m dan diameter 80 - 90 cm. Jumlah tepung sagu yang dihasilkan

Page 222: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 221

adalah sebanyak 30 tumang, 1 tumang beratnya 10 kg (panjang tumang 90 cm, diameter tumang 25 cm). Jadi jumlah tepung untuk sagu wamda pelepah hijau adalah 300 kg. Untuk jenis sagu wamda pelepah hijau pohon sagu yang diambil diamater pangkal pohon 60 cm, tengah 70 cm, dan ujung 80 cm. Dengan tinggi 11 meter, mempunyai rata-rata berat empulur bagian pangkal adalah 825 gr, bagian tengah adalah 700 gr, dan bagian ujung adalah 650 gr.

Gambar 4. Grafik Perbandingan Empulur, Ampas, dan Tepung Sagu Wamda Pelepah Hijau

Untuk berat ampas rata-rata bagian pangkal adalah 425 gr, bagian tengah 375 gr, bagian ujung adalah 300 gr, dan berat tepung bagian pangkal adalah 400 gr, tengah adalah 325 gr dan ujung adalah 300 gr. Jumlah tepung sagu yang dihasilkan adalah sebanyak 30 tumang (istilah lokal), dimana ukuran 1 tumang beratnya 10 kg (panjang tumang 90 cm, diameter tumang 25 cm). Jadi jumlah tepung untuk sagu wamda pelepah hijau adalah 300 kg.

5. Sagu Wamda pelepah abu-abu

Gambar 5. Grafik Perbandingan Empulur, Ampas, dan Tepung Sagu Wamda Pelepah Abu-abu

Page 223: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

222 – BP2LHK Manokwari

Untuk jenis sagu wirere pelepah hijau pohon sagu yang diambil diamater pangkal 45

cm, tengah 65 cm dan ujung 70 cm, dengan tinggi 9,5 meter, mempunyai rata-rata berat empulur bagian pangkal adalah 775 gr, tengah adalah 750 gr, dan berat ujung adalah 650 gr. Untuk berat ampas rata-rata bagian pangkal adalah 350 gr, bagian tengah 300 gr, bagian ujung adalah 275 gr, dan berat tepung bagian pangkal adalah 500 gr, tengah adalah 450 gr dan ujung adalah 350 gr. Jumlah tepung sagu yang dihasilkan adalah sebanyak 20 tumang. Jadi jumlah tepung untuk sagu wamda pelepah abu-abu adalah 220 kg.

Dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa dari sampel yang diambil pada bagian pangkal, tengah dan ujung memberikan jumlah hasil tepung yang tertinggi adalah pada jenis sagu wamda pelepah abu-abu, sagu wirere pelepah hijau dan wirere pelepah kuning coklat. Sedangkan untuk produksi tepung yang paling banyak terdapat pada bagian pangkal dari pohon sagu untuk kelima jenis tanaman sagu.

B. Indentifikasi Kualitas Empulur Jenis/Tipe Sagu Sebagai Bahan Baku Bioetanol dari Kawasan Hutan Sagu Seget Distrik Seget, kabupaten Sorong

- Metroxylon sp Varietas Wafok

Untuk sampel sagu wafok mempunyai kadar air 7,27-9,72%, kadar abu 0,07-0,18%, kadar serat kasar 8,25-14,99%, karbohidrat 90,18-92,96%, Kadar Pati 99,01-99,52%, amilose 31,93-44,30%, amilopektin 55,70-68,07%, sedangkan kadar lemak dan kadar protein tidak terdeksi.

8,25 10,21

8,54 8,85

14,99

0

5

10

15

20

Kadar Serat Kasar

90,18

93,73 92,96

92,48

90,18

88

89

90

91

92

93

94

WFK- 1

WFK- 2

WFK- 3

WFK- 4

WFK- 5

Kadar Karbohidrat

Page 224: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 223

- Metroxylon sp Varietas Wamda

Kandungan sampel sagu wamda mempunyai kadar air 5,47-8,49%, kadar abu 0,07-0,20%, kadar serat kasar 8,25-10,21%, karbohidrat 90,66-92,53%, Kadar Pati 98,53-99,07%, amilose 36,89-44,30%, amilopektin 55,70-68,07%, kadar lemak dan kadar protein tidak terdeksi.

- Metroxylon sp Varietas Wirere

Untuk sampel pohon wirere terlihat mempunyai kadar air 7,27 %- 9,27%, kadar abu

6,12 6,92

5,49 5,47

8,49

0123456789

Kadar Air

Page 225: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

224 – BP2LHK Manokwari

0,09--0,20 %, kadar serat kasar 8,25- 10,21 %, karbohidrat 90,6%- 92,53%, Kadar Pati 98, 53-99,50 %, kadar amilose 31,93-44,30 %, amilopektin 55,70--59,35 %, sedangan kadar lemak dan kadar protein tidak terdeksi.

Dari hasil analisis yang diperoleh terlihat bahwa kadar air untuk jenis Metroxylon sp.

varietas wamda lebih kecil dari Metroxylon sp. varietas wafok, dan Metroxylon sp. varietas wirere. Kadar abu untuk jenis Metroxylon sp. varietas wafok lebih kecil dari Metroxylon sp. varietas wamda dan Metroxylon sp. varietas wirere, tetapi antara Metroxylon sp. varietas wamda dan Metroxylon sp. varietas wirere tidak terdapat perbedaan. Kada serat kasar Metroxylon sp. varietas wafok lebih tinggi dari Metroxylon sp. varietas wamda dan Metroxylon sp. varietas wirere, dan antara kedua vareitas tersbut tidak terdapat perbedaan. Karbohidrat dan pati untuk Metroxylon sp. varietas wafok, Metroxylon sp. varietas wamda dan Metroxylon sp. varietas wirere mempunyai nilai yang sama dan tinggi. Amilose yang tertinggi adalah pada Metroxylon sp. varietas wamda, sedangkan Metroxylon sp. varietas wafok dan Metroxylon sp. varietas wirere mempunyai nilai yang sama. Amilopektin untuk Metroxylon sp. varietas wafok dan Metroxylon sp. Dan Metroxylon sp. varietas wamda mempunyai nilai yang sama dan lebih tinggi dari Metroxylon sp. varietas wirere. Kadar lemak dan kadar protein tidak terdeksi. Data yang ada juga menunjukan bahwa walaupun pengambilan sampel satu sampai lima dari satu jenis pohon, terlihat juga bahwa masih terdapat perbedaan antara masing-masing sampel. Nilai karbohidrat yang terdapat mempunyai rata-rata nilai yang tinggi, sehingga dapat dikatakan jenis lima sagu yang dianalisa dapat juga dijadikan sebagai bahan cadangan bioetanol, karena nilai karbohidrat dan pati sangat tinggi.

IV. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

1. Produksi sagu yang terbanyak adalah pada jenis sagu wamda pelepah hijau dan

pada bagian pangkal.

2. Jenis sagu yang dianalisa mempunyai nilai karbohidrat dan pati yang sangat tinggi

sehingga dapat digunakan sebagai bahan penghasil bioetanol, sedangkan untuk

kadar lemak dan pati tidak terdeteksi.

Page 226: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 225

DAFTAR PUSTAKA

Allorerung, D. 1993. Sumberdaya sagu dalam pembangunan daerah Irian jaya. Warta Litbang Pertanian. Bogor. Hlm. 4 - 7.

Boonsermsuk, S., T. Anay, K. Hasegawa and S. Hisajima . 1996. Trial and determination of molecular biological variation of sago palm (Mtroxylon spp) in Thailand. Proceedings of Sixth International Sago Symposium “Sago: The Future Source of Food and Feed. Pekanbaru 9-12 December 1996. Riau. Hlm. 7 – 25.

Demirbas, A., 2005. Bioethanol from Cellulosic Materials:A Renewable Motor Fuel from Biomass. Energy Sources, 21:'iTl-'i'yi, 2005.

Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral, 2008. Kemajuan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN). Dep. ESDM. Jakarta.

Ehara, T. Hattory, S. Susanto, H.M.H. Bintoro, J. Wattimena and I.P. Siwa. 1996. Rapd analysis of spiny and spineless sago palm. Proceedings of Sixth International Sago Symposium “Sago: The Future Source of Food and Feed. Pekanbaru 9-12 December 1996. Riau. Hlm. 27 – 31.

Haska, N. and Ohta, Y. 1991. Pretreatment effects on hydrolysis of sago starch granules by raw starch-digesting amylase from Penicillium brunneum. In Towards Greater Advancement of the Sago Industry in the „90s. Proceeding of the Fourth International Sago Symposium held August 6-9, 1990. Kuching, Sarawak, Malaysia. pp. 166-172.

Miftahorrahman., H. Novarianto. dan D. Allolerung. 1996. Identificatin of sago species and rehabilitation to increase productivity of sago (Metroxylon sp) in Irian Jaya. Proceedings of Sixth International Sago Symposium “Sago: The Future Source of Food and Feed. Pekanbaru 9-12 December 1996. Riau. pp. 79 – 95.

Rostiwati, T., Y Lisnawati., S. Bustomi., B. Leksono., D. Wahyono., S. Pradjadinata., R. Bogidarmanti., D. Djaenudin., E. Sumadiwangsa. dan N. Haska. 2009. Sagu (Metroxylon spp) sebagai sumber energi bioetanol potensial. Badan Litbang Kehutanan, Jakarta. (in press).

Sitaniapessy, P. M. 1996. Sagu: suatu tinjauan ekologi. Prosiding Simposium Nasional Sagu III, Pekanbaru, 27 – 28 Februari 1996. Riau. Hlm.57 – 69.

Sumaryono. 2007. Tanaman sagu sebagai sumber energi alternative. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, vol. 29, no. 4. Hlm. 3 – 4.

Wiyono, B. dan T. Silitonga. 1988. Potensi sagu dan turuannnya sebagai bahan baku industri. Jurnal Penelitian dan Pengembangan kehutanan, vol. IV, no. 1. Hlm. 1 - 8.

Jong, F. S. 1995. Research for the development of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) cultivation in Sarawak, Malaysia. Thesis. 135 pp.

Page 227: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

226 – BP2LHK Manokwari

Page 228: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 227

PEMODELAN PENDUGA VOLUME POHON KELOMPOK JENIS KOMERSIAL PADA

AREAL IUPHHK PT. TUNAS TIMBER LESTARI, PAPUA

Oleh : Relawan Kuswandi

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari

Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Hingga kini, perangkat penduga volume pohon untuk berbagai jenis atau kelompok jenis di

setiap kondisi tumbuh secara lengkap khusus di wilayah Papua masih belum tersedia. Terkait dengan kondisi tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menyusun model penduga volume pohon yang akurat untuk jenis komersial. Penelitian dilakukan pada areal IUPHHK PT Tunas Timber Lestari (TTL) di Distrik Sesnukt Kabupaten Boven Digul. Pengukuran pohon contoh dilakukan terhadap 214 pohon contoh dengan sebaran diameter 11,1 cm – 113 cm. Perhitungan regresi menunjukkan bahwa pada hubungan antara diameter (d) dan panjang (p) tidak terdapat keeratan korelasi. Persamaan model penduga volume pohon yang terbaik berdasarkan uji validasi model pada IUPHHKA PT Tunas Timber Lestari dapat dirumuskan dalam persamaan log V = - 3.52 + 2.28 log d dan log V = - 3.52 + 1.14 log d2.

Kata kunci: selang diameter, validasi model, simpangan agregatif

Page 229: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

228 – BP2LHK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam pengelolaan hutan alam, kelestarian dan stabilitas produksi kayu akan terjaga apabila setiap unit pengelolaan (IUPHHK) melaksanakan kegiatan pengelolaannya dengan mengacu kepada suatu rencana pengelolaan yang mengintegrasikan prinsip-prinsip ekonomi-optimasi serta prinsip-prinsip kelestarian (produksi maupun sumber daya). Penerapan konsep perencanaan pengelolaan hutan yang demikian memerlukan beberapa perangkat pengaturan hasil yang teliti dan akurat. Salah satu perangkat pengaturan hasil berupa model penduga volume pohon yang berguna untuk membantu perhitungan potensi tegakan.

Hingga kini, perangkat penduga volume pohon untuk berbagai jenis atau kelompok jenis di setiap kondisi tempat tumbuh secara lengkap belum tersedia di Papua. Sementara dalam kebijakan pengelolaan hutan yang berhubungan dengan penerapan ecolabelling, tercantum bahwa komponen tersedianya tabel volume pohon merupakan salah satu dasar penilaian pengelolaan hutan secara lestari pada suatu unit pengelolaan hutan produksi (Imanudin dan Bustomi, 2004). Sehubungan dengan hal tersebut, maka penyusunan tabel volume pohon untuk setiap jenis atau kelompok jenis di masing-masing unit pengelolaan hutan produksi merupakan hal yang perlu dilaksanakan.

Dewasa ini pendugaan volume pohon pada umumnya masih menggunakan faktor angka bentuk. Pendugaan volume pohon berdasarkan angka bentuk dapat menimbulkan hasil dugaan yang menimbulkan bias selain juga kurang praktis. Selain itu menurut Krisnawati dan Bustomi (2004), adanya variasi pertumbuhan pohon, yang disebabkan oleh perbedaan jenis, tempat tumbuh maupun tindakan silvikultur, akan menyebabkan perbedaan bentuk dan ukuran batang. Dengan adanya perbedaan ini, pendugaan pohon yang bersifat umum sebaiknya dihindarkan karena akan menghasilkan dugaan yang kurang akurat.

Salah satu cara pendugaan volume pohon yang lebih teliti dan akurat ialah dengan menggunakan tabel volume pohon, yang dibuat berdasarkan persamaan atau model matematis penduga volume pohon. Permodelan penduga volume pohon dapat menggunakan bentuk persamaan regresi sederhana dengan volume pohon sebagai peubah tak bebas serta menggunakan satu peubah bebas yaitu diameter pohon (Prodan, 1965), atau dengan bentuk persamaan regresi berganda dengan volume pohon sebagai peubah tak bebas, serta diameter dan tinggi pohon sebagai peubah bebas (Husch, 1963). Persamaan regresi yang dibangun memberikan hubungan antara dimensi pohon yang mudah diukur (diameter dan tinggi pohon) dengan volume pohon, sehingga model penduga volume pohon dapat menjadi dasar dalam penyusunan tabel volume pohon. Suchomel. et al. (2012), Qirom dan Supriyadi (2013) menyebutkan bahwa penggunaan ekstrapolasi dari suatu model alometrik volume menyebabkan pendugaan terhadap volume tidak akurat. Keakuratan dan ketepatan suatu model alometrik dapat ditingkatkan dengan menyusun model alometrik yang bersifat spesifik (Brandies .et al., 2006)

Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini menyangkut model alometrik yang spesifik menjadi sangat penting untuk dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model penduga volume pohon yang akurat untuk jenis komersial di areal IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari.

Page 230: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 229

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada areal IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari (TTL) di Distrik Sesnukt Kabupaten Boven Digul. Keadaan umum topografi pada areal IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari relatif datar sampai bergelombang ringan dengan kemiringan 0 - 8 % dan ketinggian dari muka laut 20 - 50 m. Jenis tanah yang ada di lokasi penelitian mencakup Ultisol, Podsolik coklat kelabu, Podzolik Merah Kuning dan Aluvial. Keadaan iklim di areal ini termasuk tipe A dengan rata-rata curah hujan 4.196 mm/th, dan jumlah hari hujan setiap bulan berkisar antara 11-24 hari.

B. Metode

1. Pengumpulan Data Data untuk penyusunan tabel volume dikumpulkan dengan mengukur pohon contoh

yang dipilih secara sengaja berdasarkan sebaran diameter dan tinggi pohon di dalam petak coba. Dari setiap pohon contoh dilakukan pengukuran diameter setinggi dada (1,30 m) atau 20 cm di atas banir dan tinggi pangkal tajuk.

Kegiatan pengukuran dilakukan terhadap pohon contoh yang telah rebah yang kemudian dibagi dalam satuan seksi-seksi batang. Setiap seksi batang panjangnya 2 meter dan diukur mulai dari pangkal sampai dengan percabangan pertama. Jika panjang seksi pada bagian ujung batang kurang dari 1 meter, maka dijadikan satu dengan panjang seksi sebelumnya. Jika lebih dari 1 m, maka akan dijadikan seksi tersendiri. Pengukuran keliling dilakukan pada bagian pangkal dan ujung dari tiap seksi. Panjang total batang bebas cabang didapatkan dengan menjumlahkan hasil pengukuran dari panjang total dari seluruh seksi batang yang ada. Selain data keliling/diameter pangkal dan ujung, panjang total, juga dicatat jenis pohon contoh.

2. Pengolahan dan Analisis Data a. Perhitungan volume aktual

Volume pohon aktual dihitung dengan menjumlahkan volume setiap seksi yang membentuk batang. Sedangkan volume setiap seksi batang dihitung dengan menggunakan rumus Smallian ( Chapman & Meyer, 1949; dan Husch, 1963).

Dimana : Vs = Volume seksi batang (m3) Va = Volume aktual pohon (m3) Bp = Luas bidang dasar pangkal seksi (m2)

Bu = Luas bidang dasar ujung seksi (m2) L = Panjang seksi (m)

b. Penyusunan persamaan regresi model penduga volume pohon

Bentuk persamaan regresi yang akan dihitung dalam penelitian ini mengikuti rumus yang dikemukakan oleh Husch (1963), dengan dua peubah bebas yaitu diameter setinggi dada dan tinggi pohon. Model yang diuji adalah persamaan Burkhart (1977), baik melalui

Page 231: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

230 – BP2LHK Manokwari

transformasi maupun tanpa transformasi ke bentuk liniernya.

V = b0+ b1 D2h

dimana : V = volume kayu tiap pohon D = diameter setinggi dada (1,3 m) h = panjang pangkal tajuk b0,b1 = koefisien regresi

c. Pengujian model

Langkah selanjutnya dalam penyusunan model persamaan adalah pengujian keabsahan atau keberlakuan (validation) untuk memilih model regresi terbaik dalam menyusun model penduga pohon. Menurut Spurr (1951), Husch (1963), Prodan (1965) dan Marcelino (1966), kriteria yang digunakan dalam pemilihan model terbaik dilakukan berdasarkan nilai simpangan baku (s) terkecil, koefisien determinasi (R2) (Subedi and Sharma, 2012; Suchomel et al, 2012; Zewdie et al, 2009), simpangan agregatif (SA) dan simpangan rata-rata (SR)

Pengujian keakuratan model penduga volume pohon dilakukan berdasarkan simpangan yang dihasilkan, baik simpangan rata-rata maupun simpangan agregatif. Nilai SR memberikan gambaran besarnya perbedaan antara volume hasil dugaan dengan volume hasil pengukuran sebenarnya dilapangan secara rata-rata. Nilai SA memberikan gambaran simpangan volume dugaan dan volume sebenarnya secara agregat. Persamaan untuk menghitung SR dan SA adalah sebagai berikut :

SR = ∑{[(Vd – Va)/Vd] X 100%}/N

SA = {(∑Vd - ∑Va)/∑Vd} X 100%

dimana : SR = simpangan rata-rata SA = simpangan agregat Va = volume aktual (volume hasil pengukuran dilapangan) Vd = volume dugaan (berdasarkan model pendugaan volume pohon) N = jumlah pohon

Page 232: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 231

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sebaran Diameter Dan Tinggi Pohon Contoh

Hasil pengukuran pohon contoh yang telah dilakukan pada IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari sebanyak 214 pohon contoh dengan sebaran diameter pohon contoh mulai dari diameter 11,1 cm sampai dengan 113 cm. Sebaran pohon yang digunakan dalam membuat penyusunan model pendugaan tabel volume pada areal IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Jumlah pohon contoh berdasarkan (a) selang diameter dan (b) panjang

batang/tinggi

B. Model Penduga Volume Pohon

Untuk menduga adanya hubungan antara panjang/tinggi pohon dengan diameter sebagai peubah bebas dalam penyusunan model penduga volume pohon digunakan persamaan regresi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah dalam menyusun persamaan penduga volume pohon dapat digunakan satu variabel saja yaitu diameter atau keduanya. Hubungan antara diameter dan panjang/tinggi pohon dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Hubungan antara diameter dan panjang/tinggi bebas cabang pohon

Page 233: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

232 – BP2LHK Manokwari

Hasil regresi hubungan antara diameter (d) dan panjang (p) menunjukkan tidak adanya keeratan korelasi, yang juga terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yaitu sebesar 32.8%. Selanjutnya, untuk mengetahui variabel peubah bebas yang dapat dihilangkan dilakukan dengan uji regresi berganda dengan metode stepwise. Berdasarkan hasil uji tersebut, maka variabel peubah bebas yang dapat dihilangkan dalam penyusunan persamaan penduga tabel volume adalah panjang atau tinggi pohon.

Model-model persamaan regresi yang diperoleh untuk menduga volume pohon pada IUPHHKA PT. Tunas Timber Lestari berdasarkan peubah bebas diameter pohon seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Persamaan model pendugaan volume pohon berdasarkan peubah bebas diameter

No. Model Persamaan Statistik (%)

R2 s SR SA

1.

2. 3.

V = 0.978 – 0.0619 d + 0.0017 d2

Log V = - 3.52 + 2.28 log d Log V = - 3.52 + 1.14 log d2

95.4

95.7 95.7

0.707

0.090 0.090

0.27

1.47 1.47

0.15

- 1.69 - 1.69

Tabel 1 menunjukan bahwa keeratan hubungan antara volume sebagai peubah tak bebas dengan diameter sebagai peubah bebas dapat dilihat dari besarnya nilai koefisien determinasi (R2). Dilihat dari besarnya nilai-nilai koefisien tersebut, maka volume dengan diameter pohon terdapat hubungan yang erat, dimana lebih dari 90 % keragaman volume diterangkan oleh keragaman diameter pohon. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai R2 lebih tinggi bila dibandingkan dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap jenis jelutung rawa dengan R = 83,4% (Qirom dan Supriyadi, 2012); jenis Acacia mangium, Mahoni, dan Gmelina dengan R2 berturut 74,6%; 83,8%; dan 83,9% (Susanty dkk., 2006).

Hasil analisis statistik penggunaan peubah bebas diameter setinggi dada dalam menduga volume pohon total yang diperoleh cukup memenuhi syarat ketelitian persamaan dalam menduga volume pohon, baik dari nilai R2, s, SR dan SA. Spurr (1951), Husch (1963), Sumardi dan Siahaan (2010), Qirom dan Supriyadi (2013) menyatakan bahwa model penduga volume pohon dikatakan cukup valid apabila memberikan simpangan agregatif (SA) kurang dari 1% dan simpangan rata-rata (SR) kurang dari 10%. Dari hasil analisis besarnya nilai SR dan SA dari persamaan yang dibangun sudah menunjukkan tingkat kevalidan dengan nilai SR dibawah 10% dan nilai SA di bawah 1%. Hal ini menunjukan bahwa peubah diameter cukup mampu menjelaskan variasi dari peubah volume pohon

C. Validasi Model Penduga Volume

Selanjutnya, pemilihan model persamaan regresi terbaik dapat dilihat dari nilai-nilai statistik saat penyusunan model regresi dan uji validasi model yang ditunjukan dari jumlah nilai skor terendah seperti nampak pada Tabel 2.

Tabel 2. Model persamaan terbaik berdasarkan model regresi dan uji validasi

No. Model Persamaan Statistik (%)

Jml Skor R2 S SR SA

1.

2.

3.

V = 0.978 – 0.0619 d + 0.0017 d2

Log V = - 3.52 + 2.28 log d

Log V = - 3.52 + 1.14 log d2

2

1

1

2

1

1

2

1

1

2

1

1

6

4

4

Page 234: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 233

Tabel 2 menunjukan bahwa model penduga volume pohon terbaik ditunjukkan pada persamaan 2 dan 3 dengan model persamaan log V = - 3.52 + 2.28 log d dan log V = - 3.52 + 1.14 log d2 . Hal ini nampak dari jumlah skor terkecil yang diperoleh masing-masing model persamaan. Dengan demikian, persamaan 2 dan 3 dapat digunakan secara bersama-sama untuk menduga tabel volume pohon jenis komersial pada IUPHHK PT. Tunas Timber Lestari karena mempunyai jumlah skor yang sama dan terendah dibandingkan dengan persamaan 1. Penggunaan peubah diameter dalam kegiatan inventarisasi cukup valid digunakan untuk menduga volume pohon. Zewdie et al. (2009) serta Qirom dan Supriyadi (2013)menyatakan bahwa pengambilan data diameter di lapangan akan lebih mudah dan murah dengan tingkat akurasi yang tinggi.

IV. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

1. Hasil regresi hubungan antara diameter (d) dan panjang (p) tidak memiliki keeratan korelasi, yang terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2).

2. Persamaan model penduga volume pohon yang terbaik berdasarkan uji validasi model pada IUPHHKA PT. Tunas Timber Lestari dengan persamaan log V = - 3.52 + 2.28 log d dan log V = - 3.52 + 1.14 log d2.

Page 235: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

234 – BP2LHK Manokwari

DAFTAR PUSTAKA

Brandies, T.J., M. Delaney, B.R. Parresol, and L. Royer. 2006. Development of Equations for

Predicting Puerto Rican Subtropical Dry Forest Biomass and Volume. Forest Ecology and Management 233: 133-142.

Bruce, D and F.X. Schumacher. 1950. Forest mensuration. Mc. Grow Hill Book Com. Inc. New York.

Chapman, H.H and W.H. Meyer. 1949. Forest mensuration. Mc. Grow Hill Book. Company. Inc. New York.

Husch, B., 1963. Forest mensuration and statistics. The Ronald Press Company, New York.

Imanuddin, R. dan S. Bustomi. 2004. Model Pendugaan Volume Pohon Acacia mangium Wild di PT. Inhutani II Kalimantan Selatan. Buletin Penelitian Hutan . Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Krisnawati, H. dan S. Bustomi. 2004. Model Penduga Isi Pohon Bebas Cabang Jenis Sungkai (Peronema canescens Jack.) di KPH Banten. Buletin Penelitian Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan KonservasiAlam. Bogor.

Marcelino, M.M. 1966. A Commercial volume table for Red Lauan (Shorea negrosensis Foxw) in Claveria, Cagayan Prov. The Phil, of For. No. 18. Dept. of Agr. And Resource, Manila.

Prodan, M. 1965. Holzmesslehre, J.D. Sauerleanders Verlag. Frankfurt am Main.

Qirom, M.A. dan Supriyadi. 2013. Model Penduga Volume Pohon Nyawai (Ficus variegata Blume) di Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.10 No.4, Desember 2013, 173 - 184

Simon, H. 1996. Methode Inventore Hutan. Aditya Media,Yogyakarta.

Spurr, S.H. 1951. Forest inventory. The Ronald Press Company, New York.

Subedi, M.R., and R.P. Sharma. 2012. Allometric Biomass Models for Bark of Cinnamomum tamala in Mid-Hill of Nepal. Biomass and Bioenergy 47: 44-49.

Suchomel, C., P. Pyttel, G. Becker, and J. Bauhus. 2012. Biomass Equations for Sessile Oak (Quercus petraea (Matt.) Liebl.) and hornbeam (Carpinus betulus L.) in Aged Coppiced Forests in Southwest Germany. Biomass and Bioenergy 46: 722-730.

Sumardi, A. Dan H. Siahaan. 2010. Model Penduga Volume Pohon Kayu Bawang (Disoxylum Molliscimum Burm F.) Di Provinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.5, Desember 2010, 227 – 231

Susanty, F.H, A. Supriyanto, M. Budiono, dan D. Suprayitno. 2006. Analisis Model Pendugaan Volume Jenis Acacia mangium, Gmelina arborea dan Switenia mahagoni di Hutan Tanaman. Prosiding Seminar Bersama Hasilhasil Penelitian Tanggal 12 April 2006. Samarinda.

Zewdie, M., M. Olsson, and T. Verwijst. 2009. Aboveground Biomass Production and Allometric Relations of Eucalyptus globulus Labill. Coppice Plantations along a Chronosequence in the Central Highlands of Ethiopia. Biomass and Bioenergy 33: 421-428.

Page 236: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 235

POTENSI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN KAWASAN KONSERVASI DI PAPUA

Oleh : Hadi Warsito

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari

Jalan Inamberi – Susweni, Manokwari 98131, Papua Barat Telp. (0986)-213437 / 213440 ; Fax. (0986)-213441 / 213437

Abstrak

Kawasan hutan Papua masih menyimpan banyak potensi yang dapat dikembangkan, mulai dari daerah pesisir hingga hutan pengunungan tinggi, termasuk di dalamnya kawasan lindung yang perlu dijaga keberadaannya. Hutan konservasi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan alam dan satwa liar serta ekosistemnya, disamping untuk menghasilkan jasa lingkungan dan obyek wisata alam. Kawasan konservasi yang ada belum sepenuhnya terproteksi dalam kegiatannya, namun unsur dari potensi yang ada perlu dikelola, dibudidayakan, dan dimanfaatkan untuk kemasalahatan masyarakat sekitar kawasan tersebut. Hingga kini masih banyak potensi yang masih belum banyak dilirik oleh masyarakat di Papua, baik potensi kayu maupun non kayu yang besar kemungkinannya untuk dikembangkan sebagai andalan daerah tersebut. Potensi yang ada kawasan konservasi, diharapkan dapat dikembangkan dan menjadi kegiatan sampingan yang berujung pada peningkatan perekonomian masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada.

Kata kunci: Potensi, konservasi, pemanfaatan dan Papua.

Page 237: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

236 – BP2LHK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyak habitat alami telah dikonversi menjadi tanah pertanian atau tempat tinggal. Pemanfaatan sumber daya berlangsung tak terelakkan, sehingga penambahan populasi manusia langsung berperan besar bagi kepunahan keanekaragaman hayati (Cincota dan Engelman 2000; Mckee et al. 2003). Beberapa ancaman tersebut sering terjadi dan menimbulkan permasalahan baru juga di kawasan konservasi.

Kawasan konservasi adalah suatu daerah biogeografi tertentu yang ditetapkan atau diatur dan dikelola untuk mencapai tujuan pelestarian tertentu. Menurut Undang-Undang nomor 41 tahun 1999, hutan konservasi (atau dikenal juga dengan sebutan kawasan konservasi) adalah suatu kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun perairan, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan alam dan satwa liar serta ekosistemnya, disamping menghasilkan jasa lingkungan dan obyek wisata alam (DitJen PHKA, 2006).

Luasnya kawasan konservasi di Papua yang mencapai kisaran 11.041.251,74 ha dan terbentuk dalam 52 unit penetapan kawasan (DitJen PHKA 2006), merupakan hal yang tidak mudah dalam pengawasannya. Dijumpai banyak kendala dan hambatan yang terjadi dalam penggelolaan kawasan-kawasan tersebut. Beberapa diantaranya yang menjadi masalah kronis adalah penebangan liar (illegal logging), perburuan flora dan fauna liar, dan perubahan habitat karena peruntukan lainnya (seperti jalan, lahan perkebunan dan pertanian, serta pemukiman). Sedangkan potensi baik flora maupun fauna yang ada dalam kawasan hutan konservasi, kemungkinan belum banyak terdokumentasi dengan baik. Indrawan et al. (2007), menuliskan bahwa di Papua dan Irian Jaya Barat terdapat tidak kurang dari 250 kelompok etnik masyarakat setempat yang banyak diantaranya membangun aturan untuk hidup harmonis dengan alam. Kelompok ini termasuk masyarakat Asmat di pesisir Teluk Bintuni, masyarakat Papasena di DAS Mamberamo, masyarakat Ekari di danau-danau Paniai, dan masyarakat Dani di Pegunungan Lembah Baliem, Papua yang mampu hidup berdampingan dengan alam. Selain itu terdapat sebagian dari kelompok masyarakat di Papua yang memiliki etika konservasi atau dapat disebut kearifan lokal yang kuat dalam pengelolaan alam. Masyarakat lokal seringkali menerapkan pengetahuan ekologi tradisional sekalipun samar atau kurang jelas (Folke dan Colding 2001). Pengetahuan teknologi ini diterapkan untuk menciptakan praktek-praktek pengelolaan lingkungan yang berhubungan dengan sistem nilai dan kepercayaan setempat, serta didukung aturan baik berasal dari kesepakatan komunitas maupun tokoh masyarakat setempat.

Pada umumnya masyarakat sekitar kawasan hutan di Papua merupakan masyarakat peramu. Masyarakat ini memanfaatkan secara langsung sumber daya hutan yang ada untuk mencukupi keperluan sehari-hari, baik itu dalam kebutuhan pangan keluarga, atau dijual untuk mencukupi kebutuhan perekonomian mereka. Sumitro & Alhamid (1997) menyatakan bahwa sebagian besar penduduk atau masyarakat Papua tinggal di daerah pedesaan dan daerah terpencil lainnya serta masih sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya alam sekelilingnya. Lebih lanjut dikatakan, keterkaitan masyarakat Papua dengan hutan sangat erat interaksinya, karena hutan bagi mereka merupakan tempat penghasil pangan (sagu, sayuran dan satwa buru) juga penghasil keperluan hidup lainnya seperti: kayu kontruksi, kayu sebagai perkakas, tanaman obat dan manfaat sosial ekonomi lainnya. Sebagai masyarakat peramu, mereka juga telah menggunakan berbagai jenis tumbuhan sebagai media pengobatan alternatif (Yeni & Noya, 2006).

Page 238: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 237

II. PERANAN KAWASAN KONSERVASI

Peranan hutan sebagai sumber devisa untuk pembangunan nasional merupakan hal yang sangat penting, karena pendapatan pemerintah dari sektor minyak dan gas bumi mulai menurun. Timbul suatu tuntutan agar pemerintah memacu sumber pendapatan lainnya, termasuk sektor kehutanan. Produk hasil hutan penyumbang devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas bumi, senilai sekitar US $ 6 milyar/tahun (Wahid 2000). Sedangkan hasil devisa dari ekspor mebel tahun 2011-2013 berturut-turut mencapai US $ 176 miliar, US $ 183 miliar dan US $ 181 miliar (DepHut 2014). Sementara sektor kehutanan tersebut juga mencakup kawasan konservasi yang memiliki kemungkinan besar mendukung penghasil sumber devisa tersebut.

Kawasan konservasi memiliki peranan yang tidak kalah penting dalam memberikan kontribusi nyata baik pada pemerintah maupun masyarakat sekitar kawasan. Konservasi sumber daya hayati yang ada di dalamnya harus dimanfaatkan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya, sesuai UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Berhasilnya upaya konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, terkait erat dengan tercapainya tiga sasaran pokok konservasi atau yang disebut dengan Strategi Konservasi(Dirjen PHPA Departemen Kehutanan RI, 1990), yaitu:

1. Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan, yaitu menjamin terpeliharanya proses ekologi yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia.

2. Pengawetan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dan Satwa, yaitu dengan menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya, sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan teknologi memungkinkan kebutuhan manusia yang menggunakan sumberdaya alam hayati bagi kesejahteraan.

3. Pemanfaatan Secara Lestari Sumberdaya Alam Hayati, yaitu merupakan suatu usaha pembatasan/pengendalian dalam pemanfaatan sumberdaya alam hayati sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilakukan secara terus menerus di masa mendatang dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistemnya.

Strategi konservasi tersebut juga didasarkan pada amanat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menyatakan bahwa“sumberdaya alam yang kita miliki baik di darat, laut maupun di udara, yang berupa tanah, air, mineral, flora, fauna termasuk plasma nutfah dan lain-lain harus dikelola dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dengan tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup, sehingga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pembangunan dan kesejahteraan baik bagi masa kini maupun bagi generasi mendatang”.

Berdasarkan hasil Konferensi Nasional Pembangunan Berkelanjutan (KNPB) yang digelar di Yogyakarta tahun 2004, dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan tidak dapat lepas dari Rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan yang salah satunya adalah keanekaragaman hayati yang mencakup 9 sub butir (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004).

Adapun 9 sub butir dalam Rencana Tindak tentang keanekaragaman hayati tersebutadalah :

1. Menurunkan laju kemerosotan/kerusakan keanekaragaman hayati secara nyata melaluipeningkatan kelestarian fungsi dan keseimbangan ekosistem sehingga tercapai pemulihankelestarian keanekaragaman hayati pada tahun 2010.

Page 239: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

238 – BP2LHK Manokwari

2. Meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan pemanfaatan serta mengurangi degradasisumberdaya keanekaragaman hayati.

3. Mengefektifkan upaya konservasi (perlindungan ekosistem penyangga kehidupan, pengawetan plasma nutfah, pemanfaatan berazas pelestarian), pengawasan peredaran keanekaragaman hayati secara terus menerus serta pemberian sanksi yang tegas pada setiap pelanggaran.

4. Mengefektifkan keterlibatan masyarakat dan komunitas local dalam pengelolaan keanekaragaman hayati.

5. Memetakan potensi dan ketersediaan keanekaragaman hayati dalam rangka penatagunaandan pemanfaatan yang berkelanjutan mulai tahun 2004.

6. Mengintegrasikan pendekatan ekosistem dalam pembuatan kebijakan pengelolaankeanekaragaman hayati sejak tahun 2003.

7. Menyediakan pembiayaan bagi investasi dan pengelolaan bank genetik, melalui mekanisme dana amanah mulai tahun 2004.

8. Mengembangkan balai kliring, riset, teknologi rekayasa dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dini, dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual (intelectual property right) bagi individu dan kelompok masyarakat mulai tahun 2004.

9. Menyusun legislasi nasional untuk menjamin akses dan pembagian keuntungan yang berkeadilan dalam pengelolaan keanekaragaman hayati.

Page 240: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 239

III. PEMBAHASAN

A. Potensi sektor kehutanan di Papua

Pengelolaan hutan pada awalnya perlu direncanakan dengan baik sehingga tidak menimbulkan dampak penting terhadap sumberdaya hutan dan jasa lingkungan. Sasaran pengelolaan ini adalah pelestarian pemanfaatan, dimana unsur-unsur ekologis dan biodiversitas yang mendukung pemanfaatan berkelanjutan menjadi acuan utama. Menurut SK Menhut No. 352 tahun 1993, salah satu indikator aspek pelestarian yang mendukung pemanfaatan hutan yang lestari diantaranya adalah penetapan dan pengelolaan wilayah konservasi di dalam hutan produksi, yang belum terealisasikan hingga kini. Saat ini tercatat lebih dari 50% hutan Indonesia berfungsi sebagai hutan produksi, yang mengindikasikan bahwa hampir semua spesies satwaliar yang endemik, langka atau bernilai ekonomi (daging, tanduk, kulit, binatang peliharaan, obat-obatan, dll) tersebar di hutan produksi. Dengan arti kata bahwa kelestarian populasi atau ancaman kepunahan akan sangat tergantung dari cara pengelolaan hutan konservasi Indonesia. Mengingat pentingnya pengelolaan sumberdaya hutan dan fauna di hutan ini, dengan keragaman satwa endemik dan langka serta kawasan yang memiliki potensi satwaliar spesies kunci di luar kawasan konservasi seperti di daerah penyangga dan cagar biosfer maka perlu dukungan penelitian untuk menunjang pengelolaan, pemanfaatan dan konservasinya.

Hutan Papua sebagai salah satu hutan hujan tropis dan juga merupakan paru-paru dunia yang masih tersisa di wilayah Indonesia, ternyata menyimpan begitu banyak kekayaan hutan seperti flora, fauna dan hasil tambang serta mineralnya. Namun terdapat juga hasil hutan non kayu yang belum diekspoitasi dan dikelola secara efektif dan efisien guna peningkatkan ekonomi masyarakat lokal. Hasil hutan yang selama ini lebih dikenal masyarakat luas adalah hasil hutan kayu gelondongan, yang kemudian dikelola berdasarkan kepentingan dan jenis industri yang mengelolanya. Selain hasil kayu gelondongan yang telah dieksploitasi dan dikelola, juga terdapat hasil hutan non kayu, misalkan gaharu, gambir dan minyak kayu putih.

Potensi hutan Papua yang menyimpan hasil hutan non kayu seperti: gaharu, sagu, rotan, kayu lawang, minyak kayu putih dan beberapa jenis lainnya yang diperkirakan cukup melimpah. Pesona potensi seperti gaharu telah membuat banyak orang mencari dan mengambilnya. Namun ternyata dalam proses pengambilan tersebut terjadi perusakan pohon yang mengakibatkan tidak adanya kesinambungan atau keberlanjutan hidup dari pohon gaharu, akibat pengelolaannya yang masih bersifat simultan dan belum terorganisir dengan baik. Beberapa potensi lainnya yang terinventarisir oleh Badan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (BPLH) Provinsi Papua melaporkan sebagai berikut:

1. Potensi Rotan Luas kawasan hutan yang merupakan habitat alam rotan yang ada mencapai sekitar

215.625 ha. Berdasarkan orientasi cruising, penyebaran rotan antara lain berada di wilayah Kabupaten Nabire (Sima, Yaur, S. Nauma, S. Buami,. Wabi-Wammi, S. Wanggar), Kabupaten.Jayapura (Unurum Guay, Lereh, Pantai Timur), Manokwari (Masni, Bintuni, Ransiki, S. Kasi, Sima), dan Merauke (Desa Poo, dengan potensi mencapai 2.062,22 kg/ha). Jenis-jenis rotan yang dijumpai terdiri dari: Daemonorops sp., Korthalsia sp., Foser sp., Calamus sp., Sersus sp., Ceratolobus sp., Plectocomia sp., dan Myrialepsis sp. (BPLH Papua 2012). Berdasarkan beberapa kajian ilmiah yang telah dilakukan, potensi rotan belum dimanfaatkan secara optimal, sehingga masih terbuka untuk investasi pemanfaatan rotan skala industri.

Page 241: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

240 – BP2LHK Manokwari

2. Potensi Sagu Hutan sagu di provinsi Papua mencapai luas sekitar 4.769.548 ha, sementara hutan

sagu yang telah dimanfaatkan secara tradisional mencapai 14.000 ha). Potensi sagu kisaran 0,33 batang/ha sampai dengan 5,67 batang/ha (BPLH Papua 2012). Penyebaran sagu terutama berada di wilayah, Kabupaten Jayapura (Distrik Sentani, Sarmi), Kabupaten Merauke (Distrik Kimaam, Asmat, Atsy, Bapan, Pantai kasuari), Kabupaten Waropen dan sebagian besar tegakan sagu tumbuh pada daerah gambut pantai. Jenis-jenis tegakan sagu terdiri dari; Metroxylon rumphii var Silvester, Metroxylon rumphii var longispinum, Metroxylon rumphii Mart, Metroxylon rumphii varmicrocantum dan Metroxylon sago Rottb. Potensi sagu hingga kini belum dimanfaatkan secara optimal sehingga masih dimungkinkan pengusahaannya dalam skala industri. Kegiatan industri untuk pemanfaatan sagu akan diusahakan di kabupaten Nabire dan kabupaten Mamberamo Raya oleh pihak swasta untuk pembuatan bahan bakar (bioenergi).

3. Potensi Kayu Lawang Informasi potensi kayu lawang (Cinnamonum spp.) hingga kini belum diketahui secara

akurat, terutama karena penyebaran alaminya bersifat sporadis). Hasil monitoring sentra-sentra produksi minyak lawang telah menunjukkan bahwa potensi kayu lawang cukup menjanjikan dan dapat dikembangkan menjadi hutan tanaman masyarakat setempat atau lokal. Sentra-sentra produksi dan penyebaran kayu lawang selama ini dijumpai di wilayah Kaimana, Fakfak, Sorong dan Manokwari (Papua Barat), Jayapura, Nabire, dan Merauke (BPLH Papua 2012). Untuk selanjutnya, dapat dilihat bahwa potensi Kayu Lawang masih dapat ditingkatkan pemanfaatannya.

4. Potensi Minyak Kayu Putih Penyebaran kayu putih di tanah Papua terutama berada pada Kabupaten Merauke,

dalam kawasan Taman Nasional (TN)Wasur. Daun kayu putih merupakan bahan baku pembuatan minyak kayu putih, yang dilakukan dengan cara penyulingan. Hasil penyulingan daun minyak kayu putih masyarakat dapat mencapai 125 kg atau 2,5 liter minyak kayu putih/hari (BPLH Papua 2012). Minyak kayu putih dalam nomenklatur kehutanan merupakan hasil hutan non kayu, yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa merusak ekosistem hutan yang ada. Adapun pohon penghasil minyak kayu putih di Merauke berasal dari jenis Melaleuca yaitu Asteromyrthus simpocarpa, yang tumbuh secara alami dalam kawasan TN Wasur, tentunya menyimpan potensi besar untuk menunjang kegiatan perekonomian masyarakat lokal khususnya, dengan harapan kelak dapat menjadi salah satu ciri khas kota Merauke.

Memang harus disadari bahwa kondisi flora di Papua sangat beragam namun baru sebagian kecil saja yang diteliti dan dimengerti. Padahal berdasarkan data yang ada, diperkirakan sekitar 60-90 % tumbuhan di pulau Papua merupakan spesies endemik, sehingga hanya terdapat di Papua. Hampir 80 % luas wilayah Papua masih dalam bentuk hutan yang masih relatif utuh dapat menjadi rumah bagi lebih dari 50 % jenis satwa dan tumbuhan yang ada di Indonesia (Conservation International, 1999). Hal ini jelas membuat Papua memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan status Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia. Namun sayangnya laju deforestasi di Papua cukup tinggi, tercatat terjadi peningkatan dari hanya sekitar 5.91.930 ha pada tahun 2001 dan selanjutnya pada tahun 2004 berubah menjadi 8.136.718 ha (BPKH 2009).

Page 242: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 241

IV. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

1. Kawasan konservasi merupakan kawasan yang memiliki ciri khas, yang terletak baik di daratan maupun di perairan

2. Masih terdapat sebagian dari masyarakat di Papua yang mengandalkan sumber daya hutan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

3. Peranan kawasan konservasi masih sebatas pada perlindungan kawasan dan keragaman hayati yang ada di dalamnya.

4. Potensi yang terkandung dalam kawasan konservasi masih belum dimanfaatkan dengan baik dan maksimal, serta masih membutuhkan banyak perhatian untuk pengembangannya.

Page 243: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

242 – BP2LHK Manokwari

DAFTAR PUSTAKA

Anoniomus 2009. Potensi Besar Kayu Putih di Papua. http//bisnisukm.com. Diakses tanggal

25 April 2015.

Anoniomus 2014. SLVK Dongkrak Ekspor Mebel. Silk.dephut.go.id/index.php/article/ vnews/92. Diakses 18 Mei 2015.

Badan Pengelolaan Simber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Papua. 2012. Potensi Kehutanan. www.bapesdalhpapua.com. Diakses 18 Mei 2015.

Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah X Jayapura. 2009. Statistik Kehutanan Papua 2009. Jayapura.

Cincota, R.P & R. Engelman 2000. Nature‟s Place: Human Populations and The Future of Biological Diversity. Population Action International, Washington, D.C.

Dirjen PHKA, UNESCO & CIFOR 2003. Buku Panduan 41 Taman Nasional di Indonesia. Departemen Kehutanan RI, UNESCO dan CIFOR. Jakarta-Bogor.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dephutbun RI. Jakarta.

Departemen Kehutanan RI, 1990. Konservasi Sumberdaya Alam, Perlindungan, Pengawetan, Pelestarian dan Pemanfaatan. Makalah disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pendidikan Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, 1-3 Juli 1990 Di IKIP Yogyakarta dan WANAGAMA

Departemen Kehutanan 1990. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Departemen Kehutanan RI. Jakarta

Folke, C. & J. Colding. 2001. Tradisional conservation practices. In S.A Levin (ed.) Encyclopedia of Biodiversity. Vol 5. hlm.. 681-694.

Indrawan, M., R.B. Primack. & J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. 2007.

Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2003. Jakarta)

Kementerian Lingkungan Hidup, 2004. Rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan : Indikator Keberhasilan, Program dan Kegiatan. Jakarta.

McKee J.K., P.W, Sciulli, C.D. Fooce & T.A. Waite, 2003. Forecasting global biodiversity threats associated whit human population grwoth. Biology Conservation 115: 161-164.

Nurfatriani, F & Doddy S. Sukadi 2001. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pengelolaan Hutan Dimasa Depan berdasarkan Paradigma Baru Pembangunan Kehutanan diabad 21. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Sumitro & H. Alhamid. 1997. Hasil Hutan Bukan Kayu dan Peranannya Terhadap Pendapatan Penduduk Lokal; Studi Kasus Desa Manimeri Kecamatan Bintuni. Buletin Penelitian Kehutanan No. 1 Tahun 1997; 1-9. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Manokwari

Wahid, P. 2000. Rimba Indonesia. Pembangunan Kehutanan Menjelang Milenium ke-III. Persatuan Peminat dan Ahli Kehutanan (Indonesia Forestry Association). Jakarta

Yeni, I. & Y. Noya. 2006. Kekayaan Tumbuhan Penghasil Obat di Papua. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian dan Pameran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Papua dan Maluku. Manokwari

Page 244: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 243

HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNGGULAN PAPUA DAN STRATEGI

PENGEMBANGANNYA

Oleh : Herman Firdaus Sauri

Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XVII Manokwari

Jalan Angkasa Mulyono, Manokwari 98131, Papua Barat

Abstrak

Keragaman jenis tanaman hutan Indonesia tercatat 30.000 – 40.000 jenis tumbuhan tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Hampir setengah populasi keragaman jenis tersebut terancam keberadaannya karena meningkatnya kebutuhan akan hasil hutan. Untuk mengurangi laju degradasi hutan yang semakin meningkat, pemanfaatan akan hasil hutan bukan kayu harus dimaksimalkan. Komoditas HHBK di Papua memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi di pasar domestik maupun internasional, namun sistem pemasaran/tataniaga di tingkat petani masih lemah. Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) unggulan untuk memberikan rujukan bagi pelaku usaha, masyarakat dan para pihak terkait dalam pengembangan HHBK. Adapun tujuannya adalah memberikan informasi tentang jenis HHBK unggulan dan pengembangannya, menumbuhkan minat dan motifasi pelaku usaha dan kelompok tani hutan dalam pengembangan HHBK unggulan sebagai sumber mata pencaharian, menggali potensi daerah dalam pengembangan HHBK sebagai alternatife mendukung ketersedian sumber bahan pangan, sumber obat-obatan, sumber serat dan lainnya, mendukung kebijakan nasional dalam mengembangkan dan meningkatkan produksi HHBK, menciptakan lapangan kerja baru, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

Kata kunci: Potensi, HHBK, Papua.

Page 245: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

244 – BP2LHK Manokwari

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keragaman jenis tanaman hutan Indonesia sudah banyak diketahui

manfaatnya, baik manfaat langsung (tangible) maupun manfaat tidak langsung (intangible). Tercatat 30.000 – 40.000 jenis tumbuhan tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Sejak kran eksport kayu dibuka, kondisi hutan di Indonesia semakin hari semakin mencemaskan. Laju degradasi hutan semakin meningkat sementara usaha untuk merehabilitasi masih banyak menemukan kendala.

Sudah saatnya Indonesia mulai mengelola sumberdaya alam bukan kayu potensial secara lebih bijaksana dan terarah sehingga produk-produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) terutama jenis-jenis yang merupakan andalan setempat dapat meningkatan nilai ekonomis. Beberapa jenis komoditas yang cukup berperan dalam perdagangan di dalam dan luar negeri antara lain rotan, kulit gemor, biji tengkawang, kopal, resin/tanin, getah jelutung, kayu manis, gaharu dan lain-lain.

HHBK didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bersifat material (bukan kayu) yang diambil dari hutan untuk dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomi dan peningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam upaya mengubah haluan pengelolaan hutan dari timber extraction menuju sustainable forest management, HHBK atau Non Timber Forest Product (NTFP) memiliki nilai yang sangat strategis. HHBK merupakan salah satu sumberdaya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan bersinggungan langsung dengan masyarakat di sekitar hutan.

Sejalan dengan perkembangan IPTEK maka beberapa jenis pohon HHBK manfaatnya tidak sebatas hanya satu fungsi saja namun multifungsi, seperti fungsi sebagai bioenergi (bioethanol, biofuel, biogas) meliputi: mimba (Azadirachta indica), saga hutan (Adenanthera pavonina), mangapari (Pongemia pinnata), bintangur (Calophyllum sp.), kesambi (Scheleira oleosa).

Beberapa produk HHBK di Indonesia telah lama diusahakan dan diambil hasilnya oleh masyarakat di sekitar hutan, bahkan sebagian masyarakat menggunakan produk HHBK sebagai sumber utama atau bahkan satu-satunya sumber penghasilan. Dari hasil studi dari 18 kasus komersialisasi HHBK yang dilaksanakan di Negara Bolivia dan Mexico pada tahun 2007 oleh Elaine Marshall, dkk (2007) melaporkan bahwa HHBK merupakan hal yang sangat penting sebagai mata pencaharian penduduk miskin di pedesaan. HHBK memberikan kontribusi sebesar 7% - 95% pendapatan keluarga per tahun, dan menyediakan cadangan pangan manakala sumber pendapatan lainnya gagal.

Di Indonesia sampai saat ini budidaya tanaman HHBK belum banyak dilaksanakan, sebagian besar produk HHBK masih diambil dari dalam hutan sehingga produksi HHBK yang berkesinambungan tidak lagi terjamin. Akibatnya sumberdaya HHBK menjadi hancur bahkan beberapa jenis masuk kategori langka, seperti gaharu, damar rasak, jelutung, kapur barus, jermang, ketiau, balau dan lain-lain sudah masuk ke dalam daftar Appendix II CITES (Sumadiwangsa dan

Page 246: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 245

Mas‟ud, 1999). Berdasarkan hasil penelitian Sumadiwangsa dan Setyawan (2001), ternyata HHBK tidak terbatas hanya madu, rotan, damar dan gaharu saja, akan tetapi juga termasuk hasil-hasil produksi turunannya termasuk juga jasa lingkungan.

Pengembangan HHBK sampai saat ini belum beranjak dari orientasi bahwa HHBK merupakan hasil ikutan dari proses pembalakan, sehingga belum banyak diusahakan dalam skala perusahaan. Pada umumnya jenis HHBK ditanam bersama dengan beberapa jenis pohon buah-buahan atau tanaman keras lainnya atau tumpangsari dengan tanaman pangan. Demikian juga dengan teknik pemanenan dan pengelolaan masih diusahakan secara tradisional atau secara turun temurun. Informasi IPTEK tentang teknik budidaya jenis tanaman HHBK masih terbatas dan kurang lengkap. Oleh karena itu sampai saat ini sebagian besar produk HHBK baru terbatas hanya kegiatan pemungutan saja dan merupakan pekerjaan sampingan masyarakat sekitar hutan.

Menurut Rostiwati (2006) permasalahan HHBK mulai terjadi ketika produk-produknya sudah bergeser menjadi komoditi perdagangan. Beberapa permasalahan HHBK yang masih ditemukan antara lain:

1. Permasalahan teknologi silvikultur/budidaya belum banyak dikuasai, dilain pihak produktivitas hasil di hutan alam menurun, beberapa jenis menuju kepunahan, luas hutan semakin berkurang (perubahan fungsi hutan, perambahan, dan kebakaran hutan).

2. Permasalahan teknologi hasil hutan berupa: teknologi pengolahan produk HHBK yang belum banyak diketahui masyarakat.

3. Permasalahan sosial ekonomi dan kebijakan berupa: kewenangan kelembagaan yang tidak jelas, pasar tidak menentu, masyarakat tidak mempunyai akses ke pasar dan tidak mempunyai cukup modal.

Sejalan dengan program Departemen Kehutanan dalam mengembangkan perhutanan sosial yang mengakomodasi berbagai bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta masyarakat dan berbagai pihak, baik dilakukan di kawasan hutan milik negera maupun milik pribadi dan kelompok, dengan memadukan kegiatan perlindungan, kesejahteraan masyarakat lokal dan tujuan produksi yang lestari. Dengan program ini diharapkan masyarakat ikut berperan aktif dalam melindungi dan memanfaatkan hasil hutan. Dari beberapa studi tentang HHBK maka pembenaran (justifikasi) peranan HHBK dalam meningkatkan ekonomi masyarakat dan pelestarian lingkungan adalah:

a. HHBK dapat menyediakan berbagai kebutuhan untuk menunjang kehidupan masyarakat local.

b. Pengusahaan HHBK menimbulkan dampak terhadap lingkungan hutan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan pembalakan hutan sehingga memberikan model pengelolaan hutan yang lebih menunjang upaya pelestarian.

c. Peningkatan nilai komersial HHBK akan berdampak pada peningkatan nilai hutan baik pada masyarakat lokal maupun skala nasional, sehingga meningkatkan insentif untuk melestarikan hutan bila dibandingkan dengan mengkonversi hutan untuk tujuan lain.

Page 247: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

246 – BP2LHK Manokwari

Beberapa komoditas HHBK di Provinsi Papua memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi di pasar domestik maupun internasional, namun sistem pemasaran/tataniaga di tingkat petani masih lemah, karena umumnya harga masih ditentukan oleh pedagang pengumpul atau pengusaha HHBK tersebut.

Oleh karena itu dalam rangka peningkatan peran HHBK, berbagai hambatan khususnya yang menyangkut kebijakan tataniaganya perlu mendapat perhatian, terlebih lagi untuk Provinsi Papua di era otonomi sekarang ini. Informasi tentang tataniaga HHBK di Papua belum banyak diketahui, namun hal tersebut sangat dibutuhkan guna mengetahui aliran tataniaga, sehingga dapat diketahui efektivitas penerapan kebijakannya di masa mendatang.

Beberapa HHBK unggulan di Provinsi Papua dan Papua Barat diantaranya adalah gaharu, minyak atsiri dan sagu. Berikut ini penjelasan mengenai beberapa HHBK unggulan yang ada tersebut.

A. Gaharu (Aquillaria sp.)

Gaharu merupakan komoditi HHBK andalan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi terutama untuk pemenuhan kebutuhan pasar industri kosmetik dan farmasi. Permintaannya yang tinggi serta ketersediaannya yang terbatas di alam menyebabkan harga komoditi ini relatif sangat tinggi.

Potensi gaharu di Papua sendiri dapat dikatakan mengalami degradasi akibat kegiatan pemanfaatannya tanpa adanya upaya regenerasi. Dewasa ini kegiatan pencarian gaharu cenderung jauh berhari-hari memasuki hutan. Mekanisme memperoleh gaharu bagi pelaku usaha dilakukan dengan melakukan kontrak atau perjanjian kerja tak tertulis dengan masyarakat pencari gaharu dengan dibekali dengan alat dan bahan makanan yang dibutuhkan selama rentang waktu pencarian tersebut. Selanjutnya jika diperoleh gaharu, maka pencari selanjutnya menjual hasil usahanya kepada pengusaha/pedagang pengumpul dengan harga yang telah ditentukan/disepakati sebelumnya. Masyarakat pencari selanjutnya mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan tersebut setelah dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan sebelumnya.

Proses pencarian atau pengumpulan gaharu ini bersifat untung-untungan, sehingga jika dalam upaya pencarian/pengumpulan tersebut masyarakat pencari tidak mendapatkan target pengumpulan yang disepakati, baik dari segi waktu maupun jumlah gaharu yang dikumpulkan maka kondisi tersebut dikatakan rugi yang sepenuhnya ditanggung pengusaha/pedagang pengumpul. Jika para pencari mendapatkan gaharu tanpa melibatkan pedagang pengumpul maka mereka bebas menjual kepada pedagang pengumpul manapun dengan harga kesepakatan sesuai dengan mekanisme harga pasar yang berlaku pada waktu dan tempat terjadinya transaksi penjualan.

Berdasarkan kondisi yang ada, masyarakat pengumpul gaharu cenderung berada pada posisi tawar yang rendah seperti penentuan harga disebabkan mekanisme pengambilan gaharu oleh perusahaan yang lebih mengikat, rendahnya pengetahuan mayarakat terhadap perkembangan harga pasar serta dominasi perusahaan HHBK pengelola dalam pengusahaan

Page 248: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 247

gaharu. Hal ini dilihat dengan rantai pemasarannya yang relatif pendek dan lembaga tataniaga yang berperan di dalamnya lebih cenderung merupakan orang-orang perusahaan yang bersangkutan. Keterlibatan masyarakat setempat terbatas dan lebih banyak pada proses pencarian dan pengumpulan karena merekalah yang lebih mengetahui dan memahami kondisi di lapangan sementara proses penyortiran sesuai kelasnya serta pengiriman gaharu masih didominasi oleh pihak perusahaan.

B. Minyak Atsiri

Minyak atsiri dikenal dengan nama minyak eteris atau minyak terbang merupakan bahan yang bersifat mudah menguap (volatile), mempunyai rasa getir, dan bau mirip tanaman asalnya yang diambil dari bagian-bagian tanaman seperti daun, buah, biji, bunga, akar, rimpang, kulit kayu, bahkan seluruh bagian tanaman. Minyak atsiri selain dihasilkan oleh tanaman, dapat juga sebagai bentuk dari hasil degradasi oleh enzim atau dibuat secara sintetis.

Proses produksi minyak atsiri dapat ditempuh melalui 3 cara, yaitu: (1) pengempaan (pressing), (2) ekstraksi menggunakan pelarut (solvent extraction), dan (3) penyulingan (distillation). Penyulingan merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk mendapatkan minyak atsiri. Penyulingan dilakukan dengan mendidihkan bahan baku di dalam ketel suling sehingga terdapat uap yang diperlukan untuk memisahkan minyak atsiri dengan cara mengalirkan uap jenuh dari ketel pendidih air (boiler) ke dalam ketel penyulingan.

Minyak atsiri merupakan salah satu komoditas ekspor agroindustri potensial yang dapat menjadi andalan bagi Indonesia untuk mendapatkan devisa. Data statistik ekspor-impor dunia menunjukan bahwa konsumsi minyak atisiri dan turunannya naik sekitar 10% dari tahun ke tahun. Kenaikan tersebut terutama didorong oleh perkembangan kebutuhan untuk industri food flavouring, industri komestik dan wewangian.

Potensi Indonesia sebagai Sumber Atsiri

Beberapa contoh tanaman sumber minyak atsiri yang tumbuh di Indonesia dan bagian tanaman yang mengandung minyak atsiri:

Akar : Akar wangi, Kemuning

Daun: Nilam, Cengkeh, Sereh lemon, Sereh Wangi, Sirih, Mentha, Kayu Putih, Gandapura, Jeruk Purut, Karmiem, Krangean, Kemuning, Kenikir, Kunyit, Kunci, Selasih, Kemangi.

Biji: Pala, Lada, Seledri, Alpukat, Kapulaga, Klausena, Kasturi, Kosambi.

Buah: Adas, Jeruk, Jintan, Kemukus, Anis, Ketumbar.

Bunga: Cengkeh, Kenanga, Ylang-ylang, Melati, Sedap malam, Cemopaka kuning, Daun seribu, Gandasuli kuning, Srikanta, Angsana, Srigading.

Page 249: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

248 – BP2LHK Manokwari

Kulit kayu: kayu manis, Akasia, Lawang, Cendana, Masoi, Selasihan, Sintok.

Ranting: Cemara gimbul, Cemara kipas.

Rimpang: Jahe, Kunyit, Bangel, Baboan, Jeringau, Kencur, Lengkuas, Lempuyang sari,Temu hitam, Temulawak, Temu putri.

Seluruh bagian: Akar kucing, Bandotan, Inggu, Selasih, Sudamala, Trawas.

C. Sagu (Metroxylon spp.)

Sebagai salah satu jenis bahan makanan pokok tradisional di Papua, peran sagu dalam pemenuhan kebutuhan pangan dewasa ini telah bergeser ke jenis bahan pangan berupa beras. Sagu termasuk dalam famili Palmae. Diperkirakan luas tanaman sagu Indonesia ± 1.398.000 Ha). Di Papua diperkirakan ± 1.200.000 Ha atau 86%dari total luas sagu yang ada di Indonesia. Hingga saat ini telah dibudidayakan 5 varietas oleh masyarakat yaitu sagu molat, sagu ihur, sagu tuni, sagu makaranu, dan sagu rotan. Berdasarkan ciri morfologinya, sagu dibedakan menjadi dua kelompok yaitu sagu berduri dan sagu tidak berduri. Manfaat utama sagu adalah sebagai sumber karbohidrat, yang digunakan sebagai bahan makanan dan bahan baku industri makanan (mie, roti, bisckuit, sumber alkhohol), bioethanol. Manfaat lainnya yaitu daun untuk atap, pelepah sagu untuk dinding rumah, tulang daun sagu untuk sapu lidi, ampas sagu dapat digunakan sebagai media tanaman jamur, media untuk ulat sagu, bahan baku industri papan partikel.

Strategi Pengembangan HHBK di Papua

Kendala yang dihadapi dalam pengembangan HHBK di Papua saat ini antara lain pemanfaatan HHBK masih menggantungkan pada pemungutan hasil dari hutan alam seperti madu dan rotan, bukan dari hasil budidaya sehingga ketika hutan alam rusak produksi HHBK juga mengalami penurunan, belum berkembangnya teknologi budidaya maupun pemanfaatan HHBK, keterampilan petani/ pelaku usaha masih rendah, tenaga penyuluhan masih terbatas serta akses pasar terbatas.

Dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di pedesaan/kampung khususnya yang berdomisili sekitar kawasan hutan, peran para pelaku ekonomi pedesaaan utamanya usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) perlu mendapat perhatian, untuk dukungan dan peran pemuda sebagai unsur penggerak sangatlah penting.

Permasalahan klasik UMKM yang dihadapi adalah produktivitas. Keadaan ini disebabkan oleh masalah internal yang dihadapi UMKM yaitu : rendahnya kualitas SDM UMKM dalam manajemen, organisasi, penguasaan teknologi, budaya, pengolahan dan pemasaran, lemahnya kewirausahaan dari para pelaku UMKM, serta terbatasnya akses UMKM terhadap permodalan, informasi, teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Sedangkan masalah eksternal yang dihadapi oleh UMKM diantaranya adalah besarnya biaya transaksi akibat iklim usaha yang kurang

Page 250: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 249

mendukung dan kelangkaan bahan baku.

Maksud program pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) unggulan untuk memberikan rujukan bagi pelaku usaha, masyarakat dan para pihak terkait dalam pengembangan HHBK. Adapun tujuannya adalah memberikan informasi tentang jenis HHBK unggulan dan pengembangannya, menumbuhkan minat dan motifasi pelaku usaha dan kelompok tani hutan dalam pengembangan HHBK unggulan sebagai sumber mata pencaharian, menggali potensi daerah dalam pengembangan HHBK sebagai alternatife mendukung ketersedian sumber bahan pangan, sumber obat-obatan, sumber serat dan lainnya, mendukung kebijakan nasional dalam mengembangkan dan meningkatkan produksi HHBK, menciptakan lapangan kerja baru, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

Program pengembangan HHBK unggulan mengacu pada peraturan perundang- undangan yang berlaku dan sebagai dasar operasionalnya adalah:

a) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu;

b) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2009 tentang Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu;

c) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.21/Menhut-II/2009 tentang Kriteria dan indikator Penetapan Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan;

d) Keputusan Gubernur Banten Nomor 522.2.12/Kep.490-Huk/2011 tentang Penetapan Komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan Provinsi Banten.

Memperhatikan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2007, tentang Hasil Hutan Bukan Kayu, potensi HHBK di wilayah Papua cukup besar yang dapat dikembangkan baik yang berada di kawasan hutan negara maupun hutan milik. Namun demikian untuk memberikan hasil yang optimal pengembangannya lebih diarahkan pada jenis komoditas unggulan atau yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan melibatkan banyak masyarakat.

Dalam rangka pengembangan komoditas HHBK unggulan dan komoditas HHBK yang telah diusahakan masyarakat di wilayah Papua, upaya yang mampu dilaksanakan dapat mencakup program peningkatan daya saing dan pemasaran produk HHBK tersebut. Dengan program pengembangan HHBK unggulan pada wilayah kawasan hutan maupun luar kawasan hutan/ hak milik diharapkan dapat : menciptakan lapangan kerja baru disektor kehutanan di wilayah pedesaan, peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan dari HHBK, mengurangi ketergantungan pada hasil hutan kayu, optimalisasi pemanfaatan HHBK, yang meliputi jumlah jenis, bentuk dan tahap pengolahan serta mutu, optimalisasi potensi daerah dalam pengembangan HHBK sebagai alternatif sumber pangan, sumber bahan obat-obatan dan penghasil serat.

Hasil yang diharapkan dari pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) unggulan adalah Pengelolaan, pemanfaatan dan pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu unggulan lebih terencana, fokus dan optimal untuk meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat melalui wadah perkoperasian.

Page 251: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

250 – BP2LHK Manokwari

Diagram Pengembangan HHBK

Page 252: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 251

Pembentukan Klaster HHBK

Pembentukan Klaster HHBK adalah upaya pemusatan dan optimalisasi daya saing komoditas HHBK mulai dari aspek produksi (upstream industry) sampai dengan pemasaran (down stream industry) baik berupa barang maupun jasa.

Upaya pembentukan paling tidak memerlukan waktu selama 5 tahun dengan 3 tahap:

- Tahap I (3 tahun pertama) persiapan infrastruktur

- Tahap II (tahun ke-4) tahapan produksi massal

- Tahap III (tahun ke-5 dan seterusnya) kegiatan produksi kreatif

Adapun manfaat dari pembentukan klaster HHBK yaitu :

Mengkonsentrasikan inovasi produksi, manajemen dan pemasaran.

Mengintegrasikan proses produksi dan rantai suplai dalam peningkatan daya saing sisi suplai.

Mempertemukan mitra usaha dalam mekanisme transaksi yang menjamin keberlanjutan bisnis.

Memonitor efektivitas keterkaitan usaha di dalam kesatuan rantai nilai.

Membangun gugus pekerja berkualitas.

Membangun pemasaran yang efektif dalam rangka peningkatan daya saing sisi permintaan.

Page 253: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

252 – BP2LHK Manokwari

Mengefisienkan pelayanan finansial.

Mencegah praktek kecurangan usaha.

Sentra HHBK

Sentra HHBK adalah Pusat Pengembangan HHBK mulai dari Sektor Hulu (Penanaman atau Bahan Baku), Sektor Tengah (Industri Pengolahan) sampai dengan Sektor Hilir (Industri Kreatif dan Pemasaran).

Strategi yang dapat dikembangkan diantaranya adalah:

a) Fasilitasi Penetapan HHBK Unggulan (P.21/2009)

Koordinasi dan Sosialisasi HHBK Unggulan.

Pembentukan Tim Penetapan HHBK Unggulan (Bupati).

Penilaian dan Penetapan HHBK Unggulan.

b) Penetapan Lokasi Sentra HHBK Unggulan

Survey lokasi sentra HHBK (lokasi penanaman – industri) oleh tim yang ditetapkan oleh Bupati

Penetapan Sentra HHBK (Bupati atau Walikota/Gubernur/Menteri) c) Pembentukan Forum HHBK

Unsurnya : Instansi Pemerintah, LSM, Perguruan Tinggi, Swasta/Pelaku Usaha, Asosiasi, Kelompok Tani, Perbankan dll)

Sifatnya Terbuka Pejabat Penetapan Forum : Menteri, Gubernur atau Bupati Kelengkapan Organisasi : Pengurus, AD/ART, Rencana Kerja Fungsi : Solution Center

Rekomendasi Kegiatan Pada Tiap Tahapan Pembentukan Klaster HHBK

1. Tahapan Pra-kondisi Membangun leadership network mulai dari kalangan pemerintah daerah, bisnis

dan pendamping masyarakat petani. Membangun kelembagaan klaster, dimulai dari penetapan cluster manager

hingga pola kelembagaan kolaboratif.

Page 254: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 253

Menata kembali aturan di tingkat pusat maupun di daerah agar tercipta lingkungan aturan yang tunggal, jelas, sederhana, mendukung dan bersifat insentif.

Pemetaan potensi dan sebaran HHBK. Analisis investasi dan pendanaan pembangunan klaster. Perumusan strategi pelayanan finansial usaha budidaya HHBK di dalam klaster.

2. Tahapan Inisiasi

Penguasaan rantai suplai dengan cara membangun jaringan pasokan. Penguasaan rantai suplai dilakukan melalui regristrasi petani, kelompok tani,

koperasi dan pedagang lokal. Pelayanan finansial dimaksimalkan antara lain dengan mewujudkan pelayanan

perbankan bagi UKM melalui lembaga keuangan mikro. Pelayanan pemasaran bagi petani, kelompok tani atau koperasi petani. Pelatihan bidang budidaya tanaman, administrasi produksi, administrasi usaha.

Penyediaan penyuluh/pendamping usaha budidaya dan pemasaran HHBK. Pembangunan sumber benih. Perluasan budidaya tanaman.

3. Tahapan Peningkatan Produksi dan Pemasaran

Registrasi produksi dan labeling. Peningkatan kualitas produk. Sertifikasi standar produk. Pelayanan penatausahaan HHBK. Pemasaran dan pelayanan pemasaran. Perbanyakan unit usaha produktif.

4. Tahapan Peningkatan Ekonomi Industri HHBK

Pelayanan pembangunan industri primer. Registrasi unit usaha industri primer. Pelatihan kompetensi kerja industri hulu. Standarisasi dan labeling produk olahan. Diversifikasi produk HHBK.

5. Peranan Pemerintah (Pusat, Provinsi dan Kabupaten) Regulasi, Secara prinsip diarahkan pada upaya peningkatan produktivitas dan

daya saing sehingga regulasi yang menghambat secara bertahap akan dideregulasi.

Pembangunan Pilot Project, Pemerintah membangun unit HHBK secara langsung mulai dari produksi bahan baku sampai unit-unit industry pengolahannya.

Penyediaan Sarana Prasarana (benih unggul, mesin pemroses, pupuk dll.) Penguatan Kelembagaan, antara lain: Penyiapan pedoman, Pelatihan Teknis,

Pelatihan Manajerial, Studi Banding, Pertemuan-pertemuan, Pemasaran. Promosi, melalui : Aktivitas Penyuluhan, Penyebarluasan Informasi, Penguatan

Jejaring Kerja. Monitoring dan Evaluasi

Page 255: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

254 – BP2LHK Manokwari

Page 256: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 255

DAFTAR PUSTAKA

Moko, Hidayat. 2008. Menggalakan Hasil Hutan Bukan Kayu Sebagai Produk Unggulan. Informasi Teknis Vol. 6 No. 2, September 2008. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.35 / Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu. Permenhut No.P.21/Menhut-II/2009 tentang Kriteria dan Indikator Penetapan Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan. Undang-Undang Nomor : 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Penetapan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Unggulan. Direktorat Bina Perhutanan

Sosial. Direktorat Jenderal Bina PDAS dan Perhutanan Sosial. Jakarta

Page 257: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

256 – BP2LHK Manokwari

Page 258: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 257

LAMPIRAN

Page 259: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

258 – BP2LHK Manokwari

Page 260: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 259

Lampiran 1

Jadwal Kegiatan Ekspose Hasil-hasil Penelitian BP2LHK Manokwari 2015

Page 261: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

260 – BP2LHK Manokwari

Page 262: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 261

Lampiran 2.

Daftar Hadir Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015

NO NAMA INSTANSI

1 A. Ardi BBTNTC

2 Abdul Solichin PERDU Manokwari

3 Ahmad Syihabi SMK Kehutanan

4 Apner Marar BPK Manokwari

5 Ayati BKSDA

6 B. A. Hallatu Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong

7 Baharinawati Wilhan Hastanti

BPK Manokwari

8 Batseba A. Suripatty BPK Manokwari

9 BE. Susanto BP2HP Wilayah XVIII

10 Christian Moai BP2HP Wilayah XVIII

11 Daud Bano Dinas Kehutanan

12 Demianus Aska Masyarakat GM

13 Ditha Aryanti UNIPA

14 Dody Rahmansyah BPK Manokwari

15 Donatus Awujani BBTNTC

16 Donatus Marani UNIPA

17 Dwi Korani BPK Manokwari

18 Edwin Lodewiyk Yoroh BPK Manokwari

19 Eko Suwarno BP2HP Wilayah XVIII

20 Elim Kalua BLK Manokwari

21 Esie Mega Wangi BBTNTC

22 Estiko Tri Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat

23 Ezrom Batorinding BPK Manokwari

24 Ferry Manufandi Yalhimo Manokwari

25 Fitryanti Pakiding UNIPA

26 Frank Lambori BBTNTC

27 Freddy J. Hutapea BPK Manokwari

28 Fredikus Sutaji BPK Manokwari

29 Garsetiasih Puskonser Bogor

30 Gidzon Mandacan BPK Manokwari

31 Harisetijono BPK Manokwari

32 Hendrik Runaweri Kadishut

33 Hendy K. BP2HP Wilayah XVIII

34 Hermadi BBTNTC

35 Indah Maria Ratna N. UNIPA

36 Indun Isyunanjo BP2HP Wilayah XVIII

Page 263: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

262 – BP2LHK Manokwari

NO NAMA INSTANSI

37 Inseren D. Marisan Dinas Kehutanan Kabupaten Papua Barat

38 Isak H. Ainusi Dinas Kehutanan Kabupaten Papua Barat

39 Ishak Silamba UNIPA

40 J. BakArbessy Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat

41 J.J. Kesaulija Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat

42 Johan A. Rumawak BPK Manokwari

43 Jufri Thaib BPK Manokwari

44 Julanda Noya BPK Manokwari

45 Junus Tambing BPK Manokwari

46 Ketut Arta KASDIM 1703 Manokwari

47 L. Rumawak BPK Manokwari

48 Laban Mandibodibo BPK Manokwari

49 Lidia Tesa BBTNTC

50 M. Ronsumbre Polsek Bandara

51 M. Siregar BBTNTC

52 Mamat R. BPKH

53 Marga T. SMK Kehutanan

54 Maria I. Arim, SP, M.Sc UNIPA

55 Mariana T. Puskonser Bogor

56 Marie Elen Tohitoe, S.Hut SMK Kehutanan

57 Markones Karubaba Dinas Kehutanan Kabupaten Papua Barat

58 Max J. Tokede UNIPA

59 Meidy Utomo BKSDA

60 Melky B. Panie BPK Manokwari

61 Moh. Tabakore BPK Manokwari

62 Mohamad Saleh, S.Hut, M.Si

BPDAS Remu Ransiki

63 Naris Arifin BPK Manokwari

64 Nithaniel M.H Benu BPK Manokwari

65 Obed Degopia BPK Manokwari

66 Oto Djuari BPKH XVII

67 Pdt. Edy Kirihio Masyarakat GM

68 Pieter Wamaer Zekbet CII-TNC-WME

69 Pudja Mardi Utomo BPK Manokwari

70 Regina Rusmina Maai BPK Manokwari

71 Relawan Kuswandi BPK Manokwari

72 Richard Gatot Nugroho BPK Manokwari

73 Rika Razali BP2HP Wilayah XVIII

Page 264: JUDUL TESIS UNTUK S2 TEKNIK ELEKTRO (S2 TE) FT UGMbalithutmanokwari.or.id/wp-content/uploads/2018/05/Prosiding-2015a.pdf · unit pelaksana tugas ... kata pengantar iiii daftar isi

Ekspose Hasil-hasil Penelitian 2015 - 263

NO NAMA INSTANSI

74 Rini Purwanti BBTNTC

75 Sahrul BPDAS Remu Ransiki

76 Salmon Kasi BPKH

77 Samsul Rahman BBTNTC

78 Sarah Yuliana BPK Manokwari

79 Sarina Maai BPK Manokwari

80 Simon Patollong BPK Manokwari

81 Son Diamar UP4B Deputi V

82 Sulastri BPK Manokwari

83 Sumule UNIPA

84 Sunardi BPK Manokwari

85 Supanto BPK Manokwari

86 Supatmini BPK Manokwari

87 Susan T. Salosa BPK Manokwari

88 Triadi Gumilar BPKH XVII

89 Trijoko Mulyono Setbadan Litbang

90 Wilson Palelingan UNIPA

91 Yacob Wamaer BPK Manokwari

92 Yafet Ayok Dinas Kehutanan

93 Yahya Sayori Dinas Kehutanan Kabupaten Manokwari

94 Yakob Lutlutur BPK Manokwari

95 Yenni Salosa UNIPA

96 Yermias Mandacan Kampung Ayambori

97 Yoel Tandirerung BPK Manokwari

98 Yoslianto BBTNTC

99 Yusup H. Hashari BPKH

100 Yusup Komendi BPK Manokwari